Proposal Tesis Strategi Guru Pendidikan
Proposal Tesis Strategi Guru Pendidikan
Proposal Tesis Strategi Guru Pendidikan
A. Konteks Penelitian
Berbagai macam adat-istiadat dengan beragam ras, suku bangsa, agama
dan bahasa itulah bangsa indonesia. Indonesia adalah salah satu negara
multikultural terbesar didunia.1 Kekayaan dan keanekaragaman agama, etnik dan
kebudayaan, ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kekayaan ini merupakan
khazanah yang patut dipelihara dan memberikan nuansa dan dinamika bagi
bangsa, dan dapat pula merupakan titik pangkal perselisihan, konflik vertikal dan
horizontal. Krisis multidimensi yang berawal sejak pertengahan 1997 dan
ditandai dengan kehancuran perekonomian nasional, sulit dijelaskan secara
mono-kausal.2 Keragaman ini diakui atau tidak, banyak menimbulkan berbagai
persoalan sebagaimana yang kita lihat saat ini. Kurang mampunya individu-
individu di Indonesia untuk menerima perbedaan itu mengakibatkan hal yang
negatif.
Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya
keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan
keindahan. Untuk itu maka sudah selayaknya wawasan multikulturalsisme
dibumikan dalam dunia pendidikan kita. Wawasan multikulturalisme sangat
penting utamanya dalam memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa sesuai
dengan semangat kemerdekaan RI 1945 sebagai tonggak sejarah berdirinya
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, Indonesia
sebagaimana dikuatkan oleh para ahli yang memiliki perhatian besar terhadap
pendidikan multi etnik, justru menjadikan multikulturalisme sebagai
1
pembelajaran yang berbasis bhineka tunggal ika, dominansi kebudayaan
mayoritas, warisan dari persepsi dan pengelolaan Bhinneka Tunggal Ika yang
kurang tepat di masa lalu berelampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat
Indonesia saat ini. Kurangnya pemahaman multicultural yang komprehensif
justru menyebabkan degradasi moral generasi muda. Sikap dan perilaku yang
muncul seringkali tidak simpatik, bahkan sangat bertolak belakang dengan nilai-
nilai budaya luhur nenek moyang. Sikap-sikap seperti kebersamaan, penghargaan
terhadap orang lain, kegotongroyongan mulai pudar. Adanya arogansi akibat
dominansi kebudayaan mayoritas menimbulkan kurangnya pemahaman dalam
berinteraksi dengan budaya maupun orang lain.3
Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi
bergabai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini mengingat pendidikan
multikultural adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai,
keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspek dalam
masyarakat.4 Penanaman nilai-nilai multikultur tersebut harus ditanamkan pada
setiap jenjang pendidikan dan harus melibatkan berbagai tatanan masyarakat
dalam membentuk karakter anak didik khususnya dalam memahami dan saling
mengormati antara berbagai suku, sehingga menjadi kontribusi dalam usaha
mentransformasikan nilai dan karakter budaya lokal yang berwawasan
nasionalisme.5
Pendapat Kamanto Sunarto, “Pendidikan multikultural biasa diartikan
sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga
diartikan sebagai pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman
3 Rosita Endang Kusmaryani. Pendidikan Multikultural sebagai Altemati' Penanaman Nilai Moral
dalam Keberagaman. Jurnal Paradigma, edisi. 2. Tahun. 2006. hal. 50.
4 Sitti Mania. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Pembelajaran. Jurnal Lentera
2
budaya dalam masyarkat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk
membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat”.6
Sementara itu, Calarry Sada dengan mengutip tulisan Sleeter dan Grant,
menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna (model),
yakni, (1) pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimilasi
kultural, (2) pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial,
(3) pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial
dalam masyarakat, dan (4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk
meningkatkan pluralisme dan kesamaan.7
Pendidikan mempunyai peran penting dalam membentuk kehidupan publik,
selain itu juga diyakini mampu memainkan peranan yang signifikan dalam
membentuk politik dan kultural. Dengan demikian pendidikan sebagai media
untuk menyiapkan dan membentuk kehidupan sosial, sehingga akan menjadi
basis institusi pendidikan yang sarat akan nilai-nilai idealisme.8
Srategi dan peran guru merupakan faktor penting dalam
mengimplementasikan nilai-nilai keberagaman yang insklusif dan moderat
(seperti yang disarankan pendidikan multikultural) di sekolah. Guru mempunyai
peran penting dalam pendidikan multikultural karena dia merupakan salah satu
target dari strategi pendidikan ini. Memiliki keberagaman yang insklusif dan
moderat, maksudnya guru memiliki pemahaman keberagaman yang harmonis,
diologis-persuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial, apabila guru
menpunyai paradigma tersebut, dia akan mampu untuk mengajarkan dan
mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan di sekolah.
3
Pendidikan agama islam gagasan multikultural ini dinilai dapat
mengakomodir kesetaraan budaya yang mampu meredam konflik vertikal dan
horizontal dalam masyarakat yang heterogen di mana tuntutan akan pengakuan
atas ekstensi dan keunikan budaya, kelompok, etnis sangat lumrah terjadi.
Muaranya adalah tercipta suatu sistem budaya (culture system) dan tatanan sosial
yang mapan dalam kehidupan masyarakat yang akan menjadi pilar kedamaian
sebuah bangsa.9 Oleh karena itu seorang guru Pendidikan Agama Islam
diharapkan mampu memahami dan mengimplementasikan serta menanamkan
nilai-nilai multikultural dalam tugasnya sehingga mampu melahirkan peradaban
yang toleransi, demokrasi, tenggang rasa, keadilan, harmonis serta nilai-nilai
kemanusiaan lainnya. Dengan demikian, kalau ingin mengatasi segala
problematika masyarakat dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis
dalam pendidikan, sebagai salah satu komponen dalam pembelajaran. Untuk
memperbaiki realitas masyarakat, perlu dimulai dari proses pembelajaran
multikultural bisa dibentuk dengan menggunakan pembelajaran berbasis
multikultural. Yaitu Proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya
menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan
dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Dalam belajar dan mengajar beberapa metode yang digunakan idealnya
berfariatif, baik antar teknik yang berpusat pada guru dengan teknik-teknik yang
melibatkan siswa. Dengan demikian diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai
dalam diri siswa akan tumbuh dan berkembang sikap efekifnya. Salah satu
metode yang diterapkan adalah dengan menggunakan model komunikatif dengan
menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Metode diolog ini sangat efektif,
apalagi dalam proses belajar mengajar yang bersifat kajian berbandingan agama
dan budaya. Sebab dengan diolog memungkinkan setiap komunitas yang
notabenenya memiliki latar belakang agama yang berbeda dapat mengemukakan
4
pendapatnya secara argumentatif. Dalam proses inilah diharapkan nantinya
memungkinkan adanya sikap lending and borrowing serta saling mengenal antar
tradisi dari setiap agama yang dipeluk oleh masing-masing anak didik. Sehingga
bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan, bahkan kalau
mungkin dapat dibuang jauh-jauh.10
Dari uraian di atas dapat dipahami bawha sekolah adalah epitome (skala
kecil) dari masyarakat, salah satu bentuk pendidikan dalam masyarakat adalah
pendidikan formal (sekolah). Sekolah inilah yang menjadi salah satu media
pemahaman tentang menanamkan nilai-nilai multikultural tersebut. Oleh karena
itu proses Pendidikan di sekolah pun harus menanamkan nilai-nilai multikultural.
Asumsi di atas sangat dibutuhkan termasuk guru PAI yang berperan sebagai
mediator untuk memotivasi semangat belajar peserta didik. Sebab guru
dipandang sebagai orang yang banyak mengetahui kondisi belajar dan juga
permasalahan belajar yang dihadapi oleh anak didik. Guru yang kreatif selalu
mencari bagaimana caranya agar proses belajar mengajar mencapai hasil belajar
sesuai dengan tujuan yang direncanakan.
Kota Bima adalah kota sederhana baru saja pemekaran dari Kabupaten
Bima, dan mengalami perkembangan dalam struktur sosial yang tidak hanya
mempunyai penduduk lokal. Tetapi memiliki masyarakan yang multikultural,
karena banyak sekali pendatang, baik dari kalangan siswa dan siswi yang
bersekolah di sekolah menengah lanjutan pertama. Melihat adanya perbedaan
kultur dalam masyarakat dengan berbagai agama yang berbeda (Kristen, Katolik,
Protestan dan Kong Hu Cu Cina) ini, maka Bima rawan akan terjadinya
perseteruan, karena perbedaan kultural masyarakat tersebut. Untuk membina
kerukunan antar perbedaan kultur dalam masyarakat setempat (mengingat adanya
perbedaan kultur), maka diperlukan adanya satu kesepemahaman tentang nilai-
10 Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Cet 2 (RajaGrafindo Jakarta: 2002), hal
79.