Referat Tonsilitis Kronik
Referat Tonsilitis Kronik
Referat Tonsilitis Kronik
TONSILITIS KRONIK
Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132
Pembimbing:
dr. Ermalinda, Sp.T.H.T.K.L
Judul:
TONSILITIS KRONIK
Oleh:
Agani Salsabila 04084821921160
Andhika Diaz Maulana 04084821921135
Aulia Ananditia Putri 04011381621226
M. Ammar Luthfi 04084821921143
Putri Indah Wulandari Ray Pura 04084821921132
Pembimbing:
dr. Ermalinda, Sp.T.H.T.K.L
Referat ini diajukan untuk memnuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
“TONSILITIS KRONIK”. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas referat yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya pada
Departemen Ilmu Kesehatan THT-KL RSMH Palembang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Ermalinda, Sp.T.H.T.K.L selaku
pembimbing yang telah banyak membimbing dalam penulisan dan penyusunan
referat ini, serta semua pihak yang telah membantu hingga selesainya referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan
kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan referat di masa mendatang. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi
pembaca.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Tonsil..................................................................2
2.2 Tonsilitis Kronik......................................................................................8
2.2.1 Definisi.........................................................................................8
2.2.2 Epidemiologi................................................................................8
2.2.3 Etiologi.........................................................................................9
2.2.4 Patofisiologi.................................................................................9
2.2.5 Faktor Predisposisi.....................................................................10
2.2.6 Gejala Klinis..............................................................................12
2.2.7 Pathways....................................................................................11
2.2.8 Penegakkan Diagnosis...............................................................14
2.2.9 Diagnosis Banding.....................................................................15
2.2.10 Penatalaksanaan.........................................................................15
2.2.11 Komplikasi.................................................................................18
2.2.12 Prognosis....................................................................................19
BAB III KESIMPULAN....................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................21
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
tersebut secara mandiri dan tuntas. Hal ini menunjukkan dokter harus mampu
mengenali gambaran klinis dari kasus tonsilitis, mengetahui apa saja pemeriksaan
yang perlu dilakukan dalam proses penegakkan diagnosis, bagaimana tatalaksana
yang tepat serta apa saja komplikasi yang mungkin terjadi. Karena
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan di atas, penulis memutuskan untuk
membuat referat berjudul tonsillitis kornis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Vaskularisasi
4
Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil6
Tonsil mendapat darah dari arteri palatina asenden, cabang tonsillar dari arteri
fasialis, arteri faring asendens dan arteri lingualis dorsal. Vena-vena menembus
m.constrictor pharyngeus superior dan bergabung dengan vena palatine eksterna,
vena pharyngealis, atau vena facialis.6
Fisiologi Tonsil
8
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan
tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat membesar
disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan
dapat mengeluarkan detritus.7
2.2.2 Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak. Tonsilitis yang disebabkan
oleh spesies Streptokokus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,8 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit tonsilitis kronik merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi Streptokokus group A yang asimptomatis yaitu: 10,9% pada
usia kurang dari 14 tahun, 2,3% pada usia 15-44 tahun, dan 0,6 % pada usia 45 tahun
keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering penderita
tonsilitis kronik adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50 % . Sedangkan
Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita tonsilitis kronik terbanyak
sebesar 62 % pada kelompok usia 5-14 tahun.9
2.2.3 Etiologi
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk bakteri
aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis kronik, jenis
kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup A (SBHGA).
Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan nasofaring. Namun
dapat menjadi patogen infeksius yang memerlukan pengobatan. Selain itu infeksi juga
dapat disebabkan Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae
dan Morexella catarrhalis.4,1
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan khusus
karena dapat ditangani sendiri oleh daya tahan tubuh. Penyebab paling banyak dari
infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks (pada remaja).
9
Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi oleh coxackie virus A, yang
menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil. Epstein-Barr yang
menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan pembesaran tonsil secara
cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas yang akut.10
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di kalangan
bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.10
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi tonsilitis kronis Menurut Farokah (2003) bahwa adanya infeksi
berulang pada tonsil maka pada suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua
kuman sehingga kuman kemudian menginfeksi tonsil. Pada keadaan inilah fungsi
pertahanan tubuh dari tonsil berubah menjadi tempat infeksi (fokal infeksi). Dan satu
saat kuman dan toksin dapat menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan
umum tubuh menurun. Proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan
limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta
melebar. Secara klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus (akumulasi epitel yang
mati, sel leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat
berwarna kekuning kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan
akhirnya timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu
kuman bisa menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.1
Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripta tonsil mengakibatkan
peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripta, juga terjadi penurunan
integritas epitel kripta sehingga memudahkan bakteri masuk ke parenkim tonsil.
Bakteri yang masuk ke dalam parenkim tonsil akan mengakibatkan terjadinya infeksi
tonsil. Pada tonsil yang normal jarang ditemukan adanya bakteri pada kripta, namun
pada tonsilitis kronis bisa ditemukan bakteri yang berlipat ganda. Bakteri yang
10
menetap di dalam kripta tonsil menjadi sumber infeksi yang berulang terhadap
tonsil.17
11
Gambar 3. Gambaran Tonsilitis kronik4
12
Gambar 4. Gambar Pembesaran Tonsil: (A) T1 (B) T2 (C) T3 (D) T410
2.2.7 Pathways
13
2.2.8 Penegakkan Diagnosis
14
Anamnesis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsilitis berulang
berupa nyeri tenggorok berulang atau menetap, rasa ada yang mengganjal
ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, dan obstruksi pada saluran
cerna atau saluran napas yang paling sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi.
Gejala lain yang dapat ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok.1
a. Sulit menelan (41,3%)
b. Bau mulut (27%)
c. Perubahan suara (plummy voice – seperti terdapat makanan di mulut), hilang
suara
d. Nyeri telinga (reffered pain)
e. Demam, menggigil, kejang
f. Nyeri kepala
g. Nyeri rahang dan tenggorokan (bila ada trismus, curiga abses peritonsil)
h. Rasa mengganjal saat menelan
i. Tidur mendengkur
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapati:
a. Tonsil hipertropi atau atropi
b. Dapat terlihat pus kekuningan pada permukaan medial tonsil
c. Kripta melebar
d. Bila dilakukan penekanan pada kripta dapat keluar detritus
e. Warna kemerahan pada arkus anterior atau posterior bila dibanding dengan
mukosa faring,
f. Pembesaran KGB submandibula
15
Dalam penegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan pembesaran tonsil dalam
ukuran T0 – T4 (Friedman Grading Scale)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada kasus tonsilitis akut adalah
kultur dan uji sensitivitas. Biakan idealnya diambil dengan aspirasi dari dalam tonsil,
namun dapat pula diambil dari swab tenggorok. Pemberian antibiotik sesuai dengan
hasil uji sensitivitas dapat menurunkan angka resistensi bakteri dan mencegah
kekambuhan infeksi pada tonsil. Jaringan tonsil harus dilakukan pemeriksaan
histopatologi. Pada tonsilitis kronik, dapat ditemui adanya hiperplasia pada jaringan
tonsil diserai infiltrasi limfosit, pusat nekrosis, dan area yang mengalami fibrosis.5,6
16
2.2.10 Diagnosis Banding
Tonsilitis akut Tonsilitis kronis
Etiologi Sering: EBV atau Patogen bervariasi
streptococcus β-hemolitikus Faktor risiko: perokok berat,
Jarang: Pneumokokus, hygiene mulut buruk, makanan
Streptokokus viridians, tertentu, cuaca, kelelahan fisik,
Streptokokus piogenes pengobatan tonsillitis tidak
adekuat
Onset Cepat, terjadi dalam beberapa Lama, beberapa bulan-tahun
hari-minggu (menahun)
Gejala Nyeri tenggorokan, demam, Rasa mengganjal di tenggorokan,
lesu rasa kering, napas berbau
Pemeriksaan Tonsil edema dan hiperemis, Tonsil membesar tidak hiperemis,
Fisik detritus (+), kripta tidak permukaan tidak rata, kripta
melebar, pembesaran KGB melebar, detritus (-)
servikal
2.2.11 Penatalaksanaan
Tonsilitis kronis
EDUKASI Higiene mulut dengan berkumur atau obat hisap
FARMAKOLOGI Antibiotik sesuai kultur
Simptomatik
OPERATIF Indikasi tonsilektomi:
Indikasi absolut:
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran
napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi
kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan
medis dan drainase
Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
Tonsilitis yang membutuhkan biopsy untuk menentukan
patologi anatomi
Indikasi relatif:
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan
terapi antibiotic adekuat
Halitosis akibat tonsillitis kronik yang tidak membaik dengan
17
pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang
tidak membaik dengan pemberian antibiotic β-laktamase
resisten
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma akibat alat.
Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan pasien dan faktor
operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila terdapat jaringan parut
yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis akut atau abses peritonsil.
Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil, kemungkinan terjadi
manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit sehingga perdarahan juga
akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh darah kapiler atau vena kecil
yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu dengan tampon tekan.
Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari pembuluh darah yang lebih
besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan kauterisasi. Bila dengan cara di atas
tidak menolong, maka pada fosa tonsil diletakkan tampon atau gelfoam kemudian
pilar anterior dan pilar posterior dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi
arteri karotis eksterna.9
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu terjadinya yaitu
immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa
perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera
atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih dipengaruhi
obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat menyumbat jalan
napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena hemostasis yang tidak
cermat atau terlepasnya ikatan. 6 Perdarahan dan iritasi mukosa dapat dicegah dengan
meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan lunak dan minuman dingin. 6
18
Komplikasi yang terjadi kemudian (intermediate complication) dapat berupa
perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi paru dan otalgia.
Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24 jam pasca bedah.
Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab tersering adalah
infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena ikatan jahitan yang
terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu cepat terlepas sebelum
luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya terbuka dan terjadi perdarahan.
Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya berasal dari pembuluh darah
permukaan. Cara penanganannya sama dengan perdarahan primer.
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan bilateral
pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi, komplikasi infeksi
melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti ginjal dan sendi atau
mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya merupakan nyeri alih dari
fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala otitis media akut karena
penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses parafaring akibat tonsilektomi
mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil berhubungan dengan ruang
parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi, komplikasi paru jarang terjadi dan ini
biasanya akibat aspirasi darah atau potongan jaringan tonsil.
Komplikasi Lambat (Late complication) pasca tonsilektomi dapat berupa
jaringan parut di palatum mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan
menimbulkan rinolalia. Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila
sedikit umumnya tidak menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat
mengakibatkan tonsilitis akut atau abses peritonsil.
2.2.12 Komplikasi
Tonsilitis kronik dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh
19
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endocarditis, artritis,
myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1
20
c. Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis
d. Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura
e. Artritis dan fibrositis.3,8
2.2.13 Prognosis
Prognosis untuk tonsillitis kronik adalah dubia ad bonam. Angka keberhasilan
tonsilektomi cukup tinggi, dimana pendarahan post tonsilektomi hanya sekitar 1,9%
pada balita, 3% pada anak usia 5-15 tahun, dan 4,9% pada anak diatas 15 tahun.
Pendarahan biasanya terjadi dalam 6 jam post operasi. Angka mortalitas tonsilektomi
hanya sekitar 0,03%. Sekitar 3,2% pasien dewasa yang menjalani tonsilektomi perlu
menjalani reoprasi. Angka ini jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan pasien
anak-anak yang berkisar antara-0,5%-2,1%13
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
Ontario. Bc Decker 2003:p.1020-47.
13. Chen, M.M., Roman, S.A., Sosa, J.A., dan Judson, B.L. 2014. Safety
of Adult Tonsilectomy A population Level Analysis of 5968 Patients..
JAMA Otolaryngology–Head & Neck Surgery Januari 2014; 140(3):
197-202.
24