Laporan Pendahuluan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN

MULTIPLE SCLEROSIS ASPEK PSIKOLOGI

Untuk memenuhi tugas matakuliah


Keperawatan Paliatif
Yang dibina oleh Ibu Lingling Marinda Palupi, S.Kep, Ns, M.Kep

Oleh:
Sri Mulyati (P17212205013)
Betty Gea Citra Puspita (P17212205028)
Nuri Annisa Faradila (P17212205076)

KEMENTERIAN KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDY PROFESI KEPERAWATAN MALANG
September 2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh
pembentukan antibody terhadap myelin susunan saraf pusat. System saraf perifer tidak
terkena. Respon  peradangan berperan menimbulkan penyakit dengan menyebabkan
pembengkakan dan edema yang merusak neuron neuron dan menyebabkan pembentukan
flak jaringan parut pada myelin. Mutiple sklerosis merupakan penyakit berat yang secara
medis obatnya sampai detik ini belum ditemukan dan sampai sekarang belum ada orang
yang sembuh 100 %. Multiple sclerosis memang merupakan penyakit yang terasa atau
kelihatan cukup aneh, bukan saja bagi orang lain tetapi juga bagi penderitanya sendiri.
Gejala gejala yang timbul terjadi secara tiba tiba dan bias hilang lagi secara sekejap.
Atau menetap selama berhari hari atau berminggu minggu atau  bahkan berbulan bulan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah multiple Sclerosis itu?
2. Bagaimanakah konsep asuhan keperawatan pada multiple sclerosis

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan konsep penyakit multiple sclerosis
2. Menjelaskan konsep asuhan keperawatan pada multiple sclerosis
BAB II
KONSEP PENYAKIT (MULTIPLE SCLEROSIS)

2.1 DEFINISI
Multipel Sklerosis (MS) adalah penyakit degenerati sistem saraf   pusat (SSP)
kronis yang meliputi kerusakan mielin (material lemak & protein dari selaput saraf). MS
secara umum dianggap sebagai penyakit autoimun, dimana sistem imun tubuh sendiri,
yang normalnya bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh terhadap penyakit
virus dan bakteri, dengan alasan yang tidak diketahui mulai menyerang jaringan tubuh
normal. Pada kasus ini menyerang sel yang membentuk mielin (Brunner & Suddarth,
2013).
Multipel sklerosis (MS) merupakan kelainan susunan saraf pusat yang paling
banyak mengenai usia muda dan paruh baya. Penyakit ini memiliki manifestasi yang
beragam dan perjalanan yang bervariasi,lesi demielinating memiliki spektrum klinis yang
luas, mulai dari episode tunggal yang ringan hingga yang berpotensi fatal (Aminoff,
2015).
2.2 ETIOLOGI
Penyebab pasti multipel sklerosis belum diketahui, menurut Richman (2011) dan Price
(2005) menyatakan ada beberapa faktor yang berkaitan dengan multipel sklerosis adalah
a. Faktor genetik
Adanya riwayat keluarga meningkatkan resiko multipel sklerosis terutama saudara
tingkat pertama pasien beresiko 1-5% terserang penyakit tersebut atau kira-kira 8
kali lebih sering pada keluarga dekat.
b. Faktor lingkungan
Kejadian multipel sklerosis meningkat dengan semakin jauh jaraknya dari
ekuator/khatulistiwa. Studi menunjukkan bahwa migrasi yang dilakukan oleh orang
yang lahir di daerah resiko tinggi multiple sklerosis ke daerah resiko rendah multiple
sklerosis sebelum usia 15 tahun maka akan mempunyai resiko sesuai dengan tempat
tinggal barunya. Jika orang bermigrasi dari resiko tinggi MS ke daerah resiko rendah
MS setelah usia dewasa maka tetap mempunyai resiko tinggi MS. Data
menunjukkan bahwa paparan agen lingkungan sebelum pubertas dapat
mengembangkan MS dikemudian hari. Sedangkan hubungannya dengan vitamin D
(yang dapat diproduksi secara alami karena paparan 8 sinar matahari) menunjukkan
bahwa orang yang dekat khatulistiwa terpapar sinar matahari sepanjang tahun
sehingga produksi vitamin D lebih tinggi yang berdampak menguntungkan terhadap
sistem kekebalan tubuh dan membantu melindungi tubuh terhadap penyakit
autoimun seperti MS.
c. Infeksi
Paparan awal terhadap virus, bakteri dan mikroba lainnya selama masa kanak-kanak
dapat memicu terkena MS. Menurut National MS Society (2012) beberapa alasan
virus dapat menjadi penyebab MS adalah :
1. Virus diketahui dapat menyebabkan penyakit demielinasi pada hewan dan
manusia. Demieliasi (kerusakan myelin atau selubung lemak yang melapisi dan
mengisolasi serabut saraf pada sistem saraf pusat) akan menyebabkan impuls
saraf diperlambat atau dihentikan sehingga menghasilkan gejala-gejala MS.
2. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa paparan agen infeksi merupakan
penyebab yang berjalan lambat atau laten antara paparan awal dengan
munculnya gejala klinis.
3. Peningkatan antibodi dengan virus yang berbeda telah ditemukan dalam darah
dan cairan serebrospinal orang yang menderita MS.
Beberapa agen infeksi tersebut antara lain virus Epsstein-Barr, virus campak
(rubella), Canine distemper, human herpes virus-6 dan Chlamydia pneumonia.
d. Immunologi
Secara umum multiple sklerosis ini melibatkan proses autoimun yaitu respon
abnormal dari sistem kekebalan tubuh yang menyerang mielin (kompleks protein
lemak yang melapisi dan mengisolasi serabut atau tonjolan saraf) pada sistem saraf
pusat (yaitu pada otak, sumsum tulang belakang dan saraf optik).
Menurut Arif (2008), multiple skleriosis biasanya disebabkan oleh beberapa hal seperti :
1. Lapisan merujuk pada destruksi myelin, lemak dan material protein yang menutupi
lapisan saraf tertentu dalam otak dan medulla spinalis.
2. Lapisan mengakibatkan gangguan transmisisi implus saraf.
3. Perubahan inflamasi mengakibatkan jaringan parut (scar) yang berefek terhadap
lapisan saraf.
4. Penyebab tidak diketahui tetapi kemungkinan berhubungan dengan disfungsi
autoimun, kelainan genetic, atau proses infeksi.
5. Prevalensi terbanyak diwilayah lintang utara dan diantara bangsa (caucasion)
2.3 PATOFISIOLOGI
Pada MS klasik, proses primernya salah satunya adalah demielinisasiyang
menyebabkan hilangnya mielin pada akson susunan saraf pusat. Hilangnya mielin
muncul bersamaan dengan proses patologi lain yang juga mempengaruhi akson, elemen
glia, atau pembuluh darah. Oligodendrosit pada susunan saraf pusat bertanggung jawab
pada perluasan mielin otak. Struktur ini didominasi lipid (70%), dengan sisanya adalah
protein. Satu bagian, mielin berbahan dasar protein, terutama rentan secara imunologi
dan ensefalitogeniksecara eksperimental (AminoffMJ, 2015).
Multiple Sclerosis ditandai dengan inflamasi kronis, demylination dan gliokis
(bekas luka). Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi inflamatori, mediasi
imune, demyelinating proses. Yang beberapa percaya bahwa inilah yang mungkin
mendorong virus secara genetik mudah diterima individu. Diaktifkannya sel T merespon
pada lingkungan, (ex: infeksi).
T sel ini dalan hubunganya dengan astrosit, merusak barier darah otak, karena itu
memudahkan masuknya mediator imun. Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya
digodendrosyt (sel yang membuat mielin) hasil dari penurunan pembentukan mielin.
Makrofage yang dipilih dan penyebab lain yang menghancurkan sel. Proses penyakit
terdiri dari hilangnya mielin, menghilangnya dari oligodendrosyt, dan poliferasi astrosyt.
Perubahan ini menghasilkan karakteristik plak , atau sklerosis dengan plak yang tersebar.
Bermula pada sarung mielin pada neuron diotak dan spinal cord yang terserang.
Cepatnya penyakit ini menghancurkan mielin tetapi serat saraf tidak dipengaruhi dan
impulsif saraf akan tetap terhubung. Pada poin ini klien dapat komplain (melaporkan)
adanya fungsi yang merugikan (ex : kelemahan). Bagaimanapaun mielin dapat
beregenerasi dan hilangnya gejala menghasilkan  pengurangan. Sebagai peningkatan
penyakit, mielin secara total robek/rusak dan akson menjadi ruwet. Mielin ditempatkan
kembali oleh jeringan pada bekas luka, dengan bentuk yang sulit, plak sklerotik, tanpa
mielin impuls saraf menjadi lambat, dan dengan adanya kehancuranpada saraf, axone,
impuls secara total tertutup, sebagai hasil dari hilangnya fungsi secara permanen. Pada
banyak luka kronik, demylination dilanjutkan dengan penurunan fungsisaraf secara
progresif. (Mary,AM. 2012).

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis untuk multiple sclerosis memeiliki spesifikasi yang berbeda-
beda tergantung pada area system saraf pusat mana yang terjadi demielinasi :
a. Gejala sensorik : paralise ekstremitas dan wajah, parestesia, hilang sensasi sendi dan
proprioseptif, hilang rasa posisi, bentuk, tekstur dan rasa getar.
b. Gejala motorik : kelemahan ekstremitas bawah, hilang koordinasi, tremor
intensional ekstremitas atas, ataxia ekstremitas bawah, gaya jalan goyah dan spatis,
kelemahan otot  bicara dan facial palsy.
c. Deficit cerebral : emosi labil, fungsi intelektual memburuk, mudah tersinggung,
kurang  perhatian, depresi, sulit membuat keputusan, bingung dan disorientasi..
d. Gejala pada medulla oblongata : kemampuan bicara melemah, pusing, tinnitus,
diplopia, disphagia, hilang pendengaran dan gagal nafas.
e. Deficit cerebellar : hilang keseimbangan, koordinasi, getar, dismetria.
f. Traktus kortikospinalis : gangguan sfingter timbul keraguan, frekuensi dan urgensi
sehingga kapasitas spastic vesica urinaria berkurang, retensi akut dan inkontinensia.
g. Control penghubung korteks dengan basal ganglia : euphoria, daya ingat hilang,
demensia.
h. Traktus pyramidal dari medulla spinalis : kelemahan spastic dan kehilangan refleks
abdomen.
2.5 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Arif (2008), pemeriksaan diagnostik pada multiple sclerosis dapat
dilakukan melalui pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:
1. Pemeriksaan elektroforesis terhadap CSS : untuk mengungkapkan adanya ikatan
oligklonal (beberapa pita imunoglobulin G, yang menunjukkan abnormalitas
immunoglobulin
2. Pemeriksaan potensial bangkitan : dilakukan untuk membantu memastikan luasnya
proses penyakit dan memantau perubahan penyakit.
3. CT Scan : dapat menunjukkan atrofi cerebral.
4. MRI : untuk memperlihatkan plak-plak kecil dan untuk mengevaluasi perjalanan
penyakit dan efek pengobatan.
5. Pemeriksaan urodinamik untuk mengetahui disfungsi kandung kemih.
6. Pengujian neuropsikologik dapat diindikasikan untuk mengkaji kerusakan kognitif.

2.6 PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan atau pelaksanaan multiple sclerosis adalah untuk menghilangkan
gejala dan membantu fungsi klien. Menurut (Batticaca dan Fransisca (2008),
penatalaksanaan meliputi penatalaksanaan pada serangan akut dan kronik.
1. Penatalaksanaan akut
a. Hormon kortikosteroid dan adrenokortikosteroid digunakan untuk menurunkan
inflamasi, kekambuhan dalam waktu singkat atau eksaserbasi (exacerbation).
b. Imunosepresan (immunosuppressant) dapat menstabilkan kondisi penyakit.
c. Beta Interferon (Betaseron) digunakan untuk mempercepat penurunan gejala.
2. Penatalaksanaan kronik
a. Pengobatan spastik seperti bacloferen (Lioresal), dantrolene (Dantrium),
Diazepam (valium), terapi fisik, intervensi pembedahan.
b. Kontrol kelelahan dengan namatidin (Simmetrel).
c. Pengobatan depresi dengan antidepresan dan konseling.
d. Penatalaksanaan kandung kemih dengan antikolinergik dan pemasangan kateter
tetap.
e. Penetalaksanaan BAB dengan laksatif dan suppositoria.
f. Penatalaksanaan rehabilitasi dengan terapi fisik dan terapi kerja.
g. Kontrol distonia dengan karbamazim (Treganol).
h. Penatalaksanaan gejala nyeri dengan karbamazepin (Tegratol), fenitoin
(Dilantin), perfenazin dengan amitriptilin (Triavili).
BAB III
KONSEP ASKEP

3.1 PENGKAJIAN
a. Identitas
Pada umumnya terjadi pada orang-orang yang hidup di daerah utara dengan
temperatur tinggi, terutama pada dewasa muda (20-40 th).
b. Keluhan utama
c. Muncul keluhan lemah pada anggota badan bahkan mengalami spastisitas/kekejangan
dan kaku otot, kerusakan penglihatan.
d. Riwayat penyakit dahulu
Biasanya klient mengalami penyakit autoimun.
e. Riwayat penyakit sekarang
Pada umumnya terjadi deliminasi irreguler pada susunan saraf pusat perifer yang
mngakibatkan berbagai derajat penurunan motorik, sensorik, dan juga kognitif.
f. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit ini sedikit lebih banyak ditemukan diantara keluarga yang pernah menderita
penyakit tersebut, yaitu kira-kira 6-8 kali lebih sering pada keluarga dekat.
g. Pengkajian psikososiokultural
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klient untuk menilai respons emosi
klient terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klient dalam keluarga
dan masyarakat serta respons atau pengaruhhnya dalam kehidupan sehari-harinya,
baik dalam keluarga atauapun dalam masyarakat. Adanya perubahan hubungan dan
peran karena klient mengalami kesulitan untuk berkomunikasi akibat gangguan
bicara. Pada pola persepsi dan konsep diri, didapatkan klient merasa tidak berdaya,
tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Perubahan yang terpentiing
pada klient dengan penyakit multiple sclerosis adalah adanya gangguan afek, berupa
euforia. Keluhan lain yang melibatkan gangguan serebral dapat berupa hilangnya
daya ingat dan demensia.
h. Pemerksaan fisik
1. Keadaan umum
Klien dengan mutiple sclerosis umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran.
Adanya  perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, hipotensi, dan
penurunan frekuensi  pernapasan berhubungan dengan bercak lesi di medula
spinalis.
2. B1 (Breathing)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami gangguan pada
sistem  pernapasan.pada beberapa klien yang telah lama menderita mutiple
sclerosis dengan tampak dari tirah baring lama, mengalami gangguan fungsi
pernapasan. Pemeriksaan fisik yang didapat mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Inspeksi umum : didapatkan klien batuk atau penurunan kemampuan untuk
batuk efektif,  peningkatan produksi sputum, sesak nafas, dan penggunaan otot
bantu napas.
b) Palpasi : taktil premitus seimbang kanan dan kiri
c) Perkusi : adanya suara resonan pada seluruh lapangan paru
d) Auskultasi : bunyi napas tambahan seperti napas stridor,ronkhi pada klien
dengan peningkatan  produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun
yang sering didapatkan pada klien dengan inaktivitas.
3. B2 (Blood)
Pada umumnya klien dengan mutiple sclerosis tidak mengalami gangguan pada
sistem kardiovaskuler.akibat dari tirah baring lama dan inaktivitas biasanya klien
mengalami hipotensi  postural.
4. B3 (Brain)
Pengkajian B3 (brain) merupakan pengkajian fokus atau lebih lengkap
dibandingkan pengkajian  pada sistem lainnya. Inspeksi umum didapatkan
berbagai manifestasi akibat perubahan tingkah laku.
5. B4 (Bladder)
Disfungsi kandung kemih. Lesi pada traktus kortokospinalis menimbulkan
gangguan pengaturan spingtersehingga timbul keraguan, frekuensi dan urgensi
yang menunjukkan berkurangnya kapasitas kandung kemih yang spatis.selalin itu
juga timbul retensi dan inkontinensia.
6. B5 (Bowel)
Pemenuhan nutrisi berkurang berhubungan dengan asupan nutrisi yang kurang
karena kelemahan fisik umum dan perubahan status kognitif. Penurunan aktivitas
umum klien sering mengalami konstipasi.
7. B6 (Bone)
Pada keadaan pasien mutiple sclerosisbiasanya didapatkan adanya kesuliatan
untuk beraktivitas karena kelemahan spastik anggota gerak.kelemahan anggota
gerak pada satu sisi tubuh atau terbagi secara asimetris pada keempat anggota
gerak.merasa lelah dan berat pada satu tungkai, dan pada waktu berjalan terlihat
jelas kaki yang sebelah terseret maju, dan pengontrolan yang kurang sekali. Klien
dapat mengeluh tungkainya seakan-akan meloncat secara spontan terutama
apabila ia sedang berada di tempat tidur.keadaan spatis yang lebih berat disertai
dengan spasme otot yang nyeri.
2.2 Diagnosa
2.3 Rencana Keperawatan
BAB IV
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Sklerosis multipel merupakan penyakit pada sistem Persyarafan yang ditandai
dengan lemah, mati rasa, hilnganya fungsi pendengaran dan penglihatan yang biasanya
terjdi pada umur 18-40 tahun dan kapan saja. Sklerosis multipel timbul karena pola
makan yang tidak teratur, pola diet,  penggunaan obat, konsumsi alcohol, merokok dan
kurang beraktifitas. Klien perluh diberikan  pendidikan kesehatan tentang
pencegahan,dan pengobatan agar dapat menjaga kesehatannya.
5.2 Saran
Sebagai perawat disarankan untuk memberi dukungan kepada pasien, dan
menganjurkan pasien maupun keluarga untuk tidak putus asa terhadap kemungkinan
buruk yang akan terjadi, serta menganjurkan pasien untuk mengikuti terapi yang
dianjurkan. Selain itu juga perawat harus memperhatikan personal hygiene untuk
mengurangi dampak yang terjadi pada saat memberikan pelayanan kesehatan pada
penderita multiple skleriosis
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2008). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan System Syaraf. Jakarta :
EGC.
AminoffMJ, GreenbergDA, Roger PS. 2015. Clinical Neurology. McGraw-Hill Education /
Medical; 9 edition. p232-237.
Batticaca, Fransisca. B. 2008. Asuhan Keperawatan pada klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika
Brunner & Suddarth, (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta EGC.

Anda mungkin juga menyukai