Nursalam
Nursalam
Nursalam
Skripsi
Oleh
TUJU A. NURSALAM
NIM. 20100110070
munaqasyah.
iii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
NIM : 20100110070
Pesantren.
benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia
merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau
seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Penyusun
Tuju. A. Nursalam
NIM. 20100110070
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
DEWAN PENGUJI
( SK DEKAN NO. 1865 TAHUN 2014 )
Disahkan Oleh:
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Alauddin Makassar
iv
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرمحن الرحيم
الذى علم بالقلم علم االنسان مامل يعلم والصالة والسالم على،احلمد هلل رب العاملني
أشرف األ نبياء واملرسلني
Segala puji hanya milik Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya yang
senantiasa dicurahkan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini hingga selesai dan
pertama dan penutup para nabi dalam menjalankan aktivitas keseharian kita.
Melalui tulisan ini pula, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
tulus, teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, ayahanda Abd. Wahab dan
ibunda Hj. Rosmini serta segenap keluarga besar kedua belah pihak yang telah
selesainya skripsi ini, kepada beliau penulis senantiasa memanjatkan doa semoga
Allah swt mengasihi, memberi kesehatan, umur yang panjang, dan mengampuni
Penulis menyadari tanpa adanya bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak
skripsi ini tidak mungkin dapat terselesaikan seperti yang diharapkan. Oleh karena itu
v
1. Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing,. HT., M.Si Rektor UIN Alauddin Makasar
beserta wakil Rektor I,II,III, dan IV.
2. Dr. H. Salehuddin, M.Ag., Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN
Alauddin Makassar beserta wakil dekan I,II, dan III.
3. Drs. Nuryamin, M. Ag dan Drs. Muhammad Yahdi, M. Ag selaku Ketua
dan Sekertaris Jurusan PendidikanAgama Islam UIN Alauddin Makassar.
4. Prof. Dr. H. Bahaking Rama, MS dan Dr. Moh. Ibnu Sulaiman S., M. Ag
selaku pembimbing I dan II yang telah memberi arahan, pengetahuan baru dan
koreksi dalam penyusunan skripsi ini, serta membimbing penulis sampai taraf
penyelesaian.
5. Bapak Dr.H.Muzakkir, Ibu Munirah, S.Ag. M.Ag serta Ibu Nur Khalishah,L,
S.Ag., M.Pd. selaku penguji konfrehensif.
6. Para dosen, karyawan dan karyawati Fakultas Tarbiyah dan Keguruan yang
secara konkrit memberikan bantuannya baik langsung maupun tak langsung.
7. Sahabatku tercinta (Kak Ilham, Kak Rahman, Kak Yasser dan Hisnuddin,
S.Pd.I) yang telah memberikan motivasi, materi dan dorongan serta selalu
memberikan semangat sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Kerabat-kerabatku tersayang alumni DDI Cambalagi Maros (Rusdi Yusuf,
Sulaiamn, Rian Firdaus, Alwi, Rahmat, Asrul, dll) yang telah bersama-
sama menimbah ilmu, yang sama-sama merasakan manis pahitnya sebuah
perjuangan, sehingga penyusun mampu menyelesaikan skripsi ini, semoga
kalian sukses, sehat selalu dan panjang umur. Terkhusus lagi bagi bapak Wajdi
dan bapak Jamil selaku kepala MTs dan MA DDI Cambalagi.
9. Sahabat-sahabat seperjuanganku IKAPPNU 2010 (Ikatan Keluarga Alumni
Pondok Pesantren Nahdlatul ‘Ulum) yang telah memberikan saya motivasi
dan dorongan agar selalu istiqomah dalam menyelesaikan skripsi ini, dan
terkhusus kepada pimpinan pondok NU Al Maghfurlah AGH. Dr. Sanusi
Baco, Lc. Yang senantiasa mengharapkan barakahnya kepada setiap santrinya
yang prnah mondok di NU.
10. Sahabat-sahabat seperjuanganku di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) yang senantiasa memberikan ilmu, bakti dan semangat pergerakan
Aswaja sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
11. Sahabat-Sahabatku tercinta (Hisnuddin, S.PdI dan komunitas GUS
DURian) yang selalu memberikan motivasi dan dorongan serta selalu
memberikan semangat sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.
vi
12. Rekan-rekan seperjuangan (Hardiyanti, Elis, Melati, Isom, Wahyu Sastra,
Takdir, Hamdan, Hisnuddin, Syamsul, Jufri, Haris, Fadli, Hardianto,
Ahmad Kamal, Mawardi, Faiz, Andi Irwan, Irwansyah) dan semua teman-
teman Jurusan Pendidikan Agama Islam angkatan 2010 yang tidak dapat
kusebutkan namanya satu persatu.
13. Teman-teman KKN Reguler angkatan 49 UIN Alauddin Makassar, Posko kab.
Pangkep, kec. Pangka Je’ne, Kel. Mappasaile: Hamka, S.Pd, Haikal Wahyu,
S.Pd.I, Khaidir, ST, Muthmainnah, S.Sos, Nur Fadhillah, S.Pd, Jumriani,
S.Pd. Terima Kasih, kalian bukan lagi orang baru, bukan pula teman biasa,
tapi kita sudah menjadi keluarga kecil. Terkhusus lagi bagi Bapak dan Ibu Pak
Saad, S.Sos dan almh. Ibu Watriani selaku penggantiorang tua kami selama
KKN di Pangkep.
14. Semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu yang telah
banyak memberikan sumbangsih kepada penulis selama kuliah hingga
penulisan skripsi ini selesai.
di sisi Allah swt, serta semoga skripsi ini bermanfaat dan barokah bagi semua
orang, bagi NUSA (NU dan BangSA) khususnya bagi penyusun sendiri. Amin
ya rabbal alamin.
Penulis,
Tuju A. Nursalam
20100110070
vii
DAFTAR ISI
viii
ABSTRAK
Nama : Tuju A. Nursalam
Nim : 20100110070
Judul Skripsi : Pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang Penanaman Nilai-
Nilai Pendidikan Karakter Terhadap Peserta Didik di Pesantren
Adapun tujuan penelitan yang dilakukan adalah untuk mengetahui lebih jauh
tentang sosok Gus Dur sebagai tokoh besar NU yang kebanyakan orang menilai
pemikirannya liberal yang melenceng dari konsep Ahlussunnah Wal Jama’ah atas
sumbangsinya terhadap bangsa melalui pendidikan karakter itu sendiri.
Adapun metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
(1) jenis penelitian; jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka murni (Library
Research). (2) sumber bahan, jurnal penelitian, buku-buku, dan laporan ilmiah. (3)
metode penelitian, Pengolahan data yang penulis lakukan adalah dengan cara
membandingkan, menghubungkan dan kemudian diselaraskan serta diambil
kesimpulan dari data yang terkumpul. (4) teknik penelitian. Penelitian ini termasuk
penelitian kepustakaan. Oleh karena itu, penulis menggunakan teknik pengumpulan
data, yaitu bahan-bahan data yang koheren dengan objek penelitian yang dimaksud.
Skripsi ini juga adalah suatu jenis penelitian kepustakaan dengan pokok
permasalahannya adalah menggambarkan tentang nilai-nilai pendidikan karakter
lewat analisis pemikiran KH. Abdurrahman Wahid.
Nilai-nilai pendidikan karakter pesantren perspektif Gus Dur adalah (1)
memandang kehidupan secara keseluruhan sebagai ibadah, (2) kecintaan pada ilmu-
ilmu pengetahuan agama, (3) keikhlasan atau ketulusan bekerja untuk tujuan-tujuan
bersama. Proses penanamannya yang dapat diterapkan di pesantren yaitu pertama
dilihat dari fungsi kemasyarakatannya secara umum, kedua dilihat dari sudut
pengolahan pendidikan di dalamnya.
Setelah diadakan penelitian, maka peneliti dapat menemukan dan
mendeskripsikan bahwa nilai-nilai pendidikan karakter hasil analisis pemikiran Gus
Dur dapat dipertanggungjawabkan dan ketika dihubungkan intelektuil maupun kyai
NU ataupun intelektuil dari kalangan umum bisa menumbuhkan suasana bangsa yang
berkarakter. Baarakallaahu Fiih
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik
agar dapat memainkan peranan dalam berabagai lingkungan hidup secara tepat di
dilakukan oleg guru epada peserta didik untuk mencapai suatu tujuan dengan
1
Redja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan (Sebuah studi awal tentang dasar-dasar
pendidikan pada umumnya dan pendidikan di indonesia), PT Raja Grafindo Persada, cet. I,
Jakarta, 2001, hal. 11
2
Kamsinah, Pembaharuan Pendidikan di Rumah Tangga, Alauddin University Press,
Makassar, 2012, h. 11
1
2
Artinya:
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan.3
Secara empirik, pendidikan di Indonesia secara umum masih dititikberatkan
pada kecerdasan kognitif dan lemah akan skill. Hal ini dapat dilihat dari orientasi
sekolah-sekolah yang ada masih disibukkan dengan ujian. Mulai dari ujian mid,
ujian akhir hingga ujian nasional. Ditambah latihan-latihan soal harian dan
tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari para siswa. Bukti yang nyata bahwa
pendidikan secara teori tidak sejalan dengan fakta pengalaman yang telah meraja
lain yang dimana memiliki wilayah daratan dan lautan yang luas, tetapi pada
dengan ilmu pengetahuan serta karakter yang tidak memadai. Oleh karena itu
sebagai salah satu latar belakang pendidikan adalah mecerdaskan manusia pada
3
Depatemen Agama RI, al-Qur‟an dan Terjemahnya, Sygma, Bandung, 2009
4
Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2008), h. 7
3
salah seorang tokoh yang sudah dikenal karena pernah memimpin salah satu
ormas Islam terbesar di Indonesia yakni NU yang tentu diketahui pula sebagai
pendiri pesantren Tebu Ireng Jawa Timur, yaitu KH. Abdurrahman Wahid yang
Gus Dur melihat pondok pesantren dari berbagai sudut. Pondok pesantren
Islam yang membentuk karakter peserta didik yang bersandar pada silabi yang
dibawakan oleh Imam Al- Suyuti lebih dari 500 tahun-nan yang lalu dalam Itman
al-dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pondok pesantren tradisional
selama ini, dengan pengembangan kajian Islam yang terbagi dalam 14 macam
disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa arab klasik
hingga tafsir al-Qur‟an dan teks hadist nabi, semuanya dipelajari dalam
lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Melalui
B. Rumusan Masalah
Karakter ?
terhadap isi skripsi ini, serta untuk memberikan pengertian yang lebih terarah
berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia,
lingkungan dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan,
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan
anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga
membentuk mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri,
A.Ed).
5
akan penegetahuan, baik itu agama maupun dengan pengetahuan umum yang
sebagaimana halnya untuk menjadi pribadi yang dicontoh dan dijadikan panutan
di tengah-tengah masyarakat.
D. Kajian Pustaka
“rabba”. 5 Kata kerja rabba sudah digunakan pada zaman nabi Muhammad saw.,
seperti yang terlihat dalam ayat al-Qur‟an dan Hadist, sebagai contoh di dalam al-
Terjemahnya:
Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang
dan ucapkanlah, „Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.6
Secara akademik, bahwa sebelumnya sudah dibahas judul tentang
pendidikan karakter, baik dalam jurnal penelitian maupun dalam bentuk karya
tulis ilmiah. Karakter sendiri meiliki arti dasar seperti di dalam kamus ilmiah
kebiasaan. 7
5
Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, (Cet II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 25.
6
Departemen Agama RI, 2002, h. 285.
7
Syahrul Ramadhan, Kamus Ilmiah Populer (untuk SD, SMP, SMU dan Umum),
Khazanah Media Ilmu, Surabaya, 2010.
6
E. Metodologi Penelitian
1. Sumber Bahan
Dalam penyusunan skripsi ini penulis mengambil data dari pendapat para
ahli yang dikemukakan baik dalam bentuk jurnal penelitian, buku-buku, maupun
2. Pengolahan Data
karya tulis ilmiah yang diterbitkan oleh Alauddin Press, Jalan Sultan Alauddin
4. Teknik Penelitian
tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara, editing dan organizing serta
masalah.
7
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui deskripsi dari pada pemikiran Gus Dur yang selama ini
mulai dari tanah air sendiri sampai kepada ke belahan bumi bagian barat
2. Kegunaan Penelitian
d. Sebagai referensi bagi para penulis, agar tidak sulit dalam menerbitkan setiap
karya tulisnya.
BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER
atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut baik terhadap
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
Hasilnya dapat dilihat dan dirasakan, dimana banyak dilahirkan pejuang Islam
hebat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat lainnya. Ada beberapa
dan penyiapan kader. Fakta itu dapat dilihat sejak beliau mulai mendapatkan
amanah dakwah. Tugas menyebarkan Islam dijalankan dengan mencari bibit
kepemimpinan unggul dan berhati bersih. Dakwah beliau fokus tidak menyentuh
segi kehidupan politik Makkah. Selain faktor instabilitas dan kekuatan politik,
karakter dalam islam adalah fokus, bertahap dan konsisten terhadap pembinaan
8
http://eprints.walisongo.ac.id/12/1/Hery%20Nugroho_Sinopsis%20Tesis.pdf. Diakses
pada tanggal 30 Mei 2014.
8
9
Aisyah menyebut Rasulullah SAW sebagai Al Qur’an yang berjalan. Sebutan itu
rekonstruksi pemikiran dan tindakan Rasulullah saw. Beliau berbuat dulu, baru
teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha
fitrah (condong kepada kebenaran) hanya orang tuanya yang akan membuat
membuat manusia itu berubah. “Seorang bayi tidak dilahirkan (ke dunia ini)
mengacu kepada hadist ini orang tua dalam arti luas keluarga adalah faktor
budayanya. Di pihak lain manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan
gerak dinamis diakletis, berupa tanggapan individu atau impuls natural (fisik dan
2
http://immasrullah.blogspot.com/2012/11/pendidikan-karakter-islam.html. Diakses pada
tanggal 30 Mei 2014.
10
berelasi secara sehat dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan otonomi
yang ada dalam lembaga pendidikan. Untuk ini, dua paradigma pendidikan
karakter merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Peranan nilai
dalam diri siswa dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai
pendidikan. 3
kebaikan yang telah digariskan oleh-Nya. Dengan adanya pendidikan karakter ini
diharapkan degradasi moral yang dialami bangsa ini dapat berkurang. Tentu hal
ini tidaklah mudah, membutuhkan perjuangan dan kerja keras dari semua pihak.
Pendidikan karakter pada anak usia dini merupakan salah satu wujud nyata
3
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/03/pendidikan-karakter-dalam-
perspektif.html. Diakses pada tanggal 31 Mei 2014.
4
Muhammad Fadhillah & Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini:
Konsep & Aplikasinya dalam PAUD. (Cet. I; Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 27.
11
1) Anak akan menjadi pribadi yang hormat dan patuh kepada kedua orang tua
kepala keluarga).
1) Anak akan memilih hubungan yang baik antar tetangga, dan tenggang rasa.
2) Anak akan memiliki jiwa sosial yang baik, ringan tangan atau suka
kelompok.
3) Jika di percaya sebagai pemimpin di harapkan menjadi pemimpin yang adil,
5
http://desipurbasaripgsd-ipab.blogspot.com/2013/01/manfaat-pendidikan-karakter.html.
12
f. Membangun sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan
manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan
negara Indonesia yang bersifat negative dan memperkuat peran keluarga, satuan
6
https://www.google.co.id/search?biw=1366&bih=649&q=manfaat+pendidikan+karakter
+bagi+generasi+muda&revid=1477957031&sa=X&ei=U71YU_1FkIHyBejxgKAN&sqi=2&ved=
0CG4Q1QIoAw.
7
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: konsep dan implementasi. (Cet II; Bandung:
Alfabeta, 2012), h. 30.
8
https://www.google.co.id/#q=panduan%20pelaksanaan%20pendidikan%20karakter.
13
b) Penyaring
sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi
karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang
bermartabat.
media elektronik seperti TV dan internet. Apabila bobot dari media tersebut lemah
karakter, maka akan berpengaruh pula terhadap pembentukan karakter anak
target penyampaian harus ditonjolkan. Pada akhir cerita, berikan satu sesi untuk
tanya jawab terkait dengan muatan pendidikan karakter utamanya karakter positif
gambar. Sekarang ini telah terdapat buku mewarnai gambar dengan disertai cerita.
Sedikit modifikasi adalah membuat buku mewarnai gambar dengan cerita yang
9
https://www.academia.edu/4898437/Pendidikan_Karakter_melalui_Media_Massa.
14
penjelasan karakter positif atau negatif yang terdapat dalam mewarnai gambar
d. Melalui Dongeng
tersebut harus terdapat pendidikan karakter yang akan disampaikan kepada anak-
Media wayang atau boneka merupakan media yang menarik bagi anak-
anak karena sifatnya yang kongkret, lucu, dan memungkinkan terjadi dialog
antara wayang atau boneka dengan anak-anak. Wayang atau boneka yang
ceria dan drama yang menarik bagi anak-anak. Melalui lirik lagu ataupun dialog
karakter.10
identik dengan akhlaq, yaitu kecenderungan jiwa untuk bersikap dan bertindak
secara otomatis. Akhlaq yang sesuai ajaran Islam disebut dengan akhlaqul
karimahatau akhlaq mulia yang dapat diperoleh melalui dua jalan. Pertama,
10
http://www.ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/44/Memanfaatkan-Berbagai-Media-
untuk-Pendidikan-Karakter.html.
15
bawaan lahir, sebagai karunia dari Allah. Contohnya adalah akhlaq para nabi.
pengetahuan” karena ide ini berpengaruh baik bagi manusia. Sedangkan Islam
kehidupan. Ilmu, kesadaran, maupun rezeki hanya mungkin dicapai apabila Allah
bagaimana melatih emosi anak agar dapat berperilaku baik. Emosi anak yang
ditekan dapat menjadikan anak tumbuh sebagai individu yang masa bodoh.
nilai-nilai akhlaq.
16
kecerdasaan emosi.
Seseorang yang beristri lebih mudah untuk menghalau keinginan berzina daripada
mereka yang membujang. Seseorang yang kenyang akan terhindar dari mencuri
bersabda: “Barangsiapa mati meninggalkan harta, maka itu hak ahli warisnya.
dalam memandang nilai. Ada seorang siswa laki-laki sekolah menengah trauma
ke sekolah akibat digundul secara paksa oleh gurunya. Perbedaan persepsi rambut
panjang bahkan pernah berujung menjadi tawuran antara orang tua murid dengan
guru. Islam memiliki konsep prioritas perbuatan, yang terbagi dalam 5 kategori,
yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Penilaian moralitas tidak
17
terlepas dari kelima tingkatan prioritas ini. Islam tidak melarang laki-laki
11
http://insistnet.com/enam-prinsip-pendidikan-karakter-islami/. Di akses pada tanggal
29 Mei 2014.
BAB III
Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur merupakan
keturunan darah biru. Darah biru bukan dalam arti kebangsawanan, melainkan
bekal dari Allah Subhanahu Wata‟ala berupa kecerdasan luar biasa. Dia anak
seorang tokoh besar umat Islam, khususnya NU. Ayahnya, KH Wahid Hasyim,
Tidak jelas kapan tepatnya tanggal kelahiran beliau, karena walaupun dia
selalu berulang tahun pada tanggal 4 Agustus, sebenarnya itu bukanlah hari
kelahiran beliau yang sesungguhnya, Gus Dur memang dilahirkan pada hari
keempat bulan kedelapan, akan tetapi perlu diketahui bahwa tanggal itu adalah
menurut kalender islam yakni tanggal 4 Sya‟ban 1940 yang jika ditelusuri maka
oleh ayahnya yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari dinasti Umayyah.
baik dari garis ayah maupun ibu, Gus Dur merupakan sosok yang menempati
strata sosial tinggi dalam masyarakat Indonesia. Namun, sejarah kehidupannya tak
19
Greg Barton, Biografi Gus Dur The Authorized Biography of ABDURRAHMAN
WAHID, Yogyakarta, LkiS, 2006, h. 25
18
19
atau memanggil anak kiai. Di beberapa daerah Jawa Barat, sebutan Gus diganti
Kang atau Ning. Karena namanya Abdurrahman Wahid, dia lebih populer
Dia diajar mengaji dan membaca Al Quran oleh kakeknya, Kiai Haji
tama belajar membaca dan menulis dalam tulisan Arab, Kiai Haji Wahid Hasyim
lantas mengajarinya membaca huruf latin serta bahasa yang merupakan alat
percakapan orang Belanda dan orang Indonesia yaitu bahasa Melayu lokal.
Kiai Haji Wahid Hasyim yang juga merupakan ayah Gus Dur adalah
untuk kebangkitan bangsa Indonesia, ini terbukti dari keterlibatan beliau dalam
berbagai organisasi seperti MIAI (Majlis Islam A‟la Indonesia), kemudian beliau
juga turut andil besar dalm proses pembentukan Hizbullah yang merupakan sayap
militer MIAI.
Pada tahun 1944, berdasarkan kesepakatan dengan sang ayah, Kiai Haji
Wahid Hasyim bersama keluarga pindah ke Jakarta untuk menjadi kuasa beliau
mengurusi Shumubu yang pada akhirnya nanti berganti nama menjadi Masyumi.
Tinggal di daerah menteng menjadikan Gus Dur kecil banyak bertemu dengan
tokoh-tokoh besar dari berbagai kalangan, sebut saja Tan Malaka, pemimpin
Pada saat Jepang menyerah, tahun 1945, Gus Dur dan keluarga pindah ke
Jombang, namun tidak lama setelah itu, tepatnya tahun 1949, keluarga ini harus
2
Greg Barton, LkiS, Yogyakarta, 2002, hal. 37
20
kembali lagi ke Jakarta, karena sang ayah, Kiai Haji Wahid Hasyim terlibat
kegiatan pemerintahan.
setelah memasuki kelas empat dia pindah sekolah yang berada didekat rumah
tinggalnya, yang kedua-duanya adalah sekolah biasa untuk ukuran seorang putra
menteri. Pada tahap ini pendidikan Gus Dur sepenuhnya bersifat sekuler, namun
tentunya dia sudah pernah belajar bahasa Arab dan membaca Al Qur‟an ketika
masih kecil. Dirumahnya, terdapat perpustakaan pribadi yang besar dan terdapat
beberapa surat kabar, bahkan ada beberapa diantaranya merupakan terbitan orang
katholik atau orang non muslim lainya.
Dari sini, Gus Dur kecil kaya akan khasanah pengetahuan dan luas akan
berumur 12 tahun. Setahun kemudian dia lulus sekolah dasar untuk kemudian
sedih saat ditinggal sang ayah masih terasa, ia sempat mengulang pada saat kelas
satu, namun sebenarnya dia pandai, namun pada saat yang sama dia cenderung
kota Yogyakarta yang diasuh Kiai Khudori. Pada saat yang sama dia juga belajar
paro waktu di pesantren Denanyar Jombang yang di asuh oleh kakeknya sendiri,
Kiai Bisri Syamsuri. Gus Dur hanya butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan
pelajarannya, dua tahun lebih cepat dari yang semestinya, bahkan sebagian besar
apresiasi Gus dur terhadap film jauh lebih serius daripada yang ditunjukkan oleh
teman sebayanya. Di Yogyakarta Gus Dur juga mulai menyukai wayang kulit
yang merupakan pertunjukan wayang tradisional. Di kota inilah dia juga banyak
yang menceritakan pendekar-pendekar silat Cina yang kaya akan falsafah itu.
Pada tahun 1959, Gus Dur pindah ke Jombang untuk belajar secara penuh
Kiai Bisri Syamsuri. Pada tahun yang sama, dia melanjutkan studinya ke
Departemen Agama. Saat itu usianya 23 tahun. Di sana ia menimba ilmu dengan
kuliah. Dari Kairo dia pindah ke Baghdad, Irak, dengan mengambil spesialisasi
sastra dan ilmu humoris. Di sinilah Gus Dur berkenalan dengan pemikiran tokoh-
maupun para guru yang terlibat -secara langsung atau tidak- dalam satu
lokal, nasional dan global. Diversitas budaya ini akan mungkin tercapai
dalam pendidikan jika pendidikan itu sendiri mengakui keragaman yang ada,
sosoknya sebagai seorang plralis tulen. Seorang yang sadar sepenuhnya bahwa ia
hidup dalam sebuah negara yang bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika. Karena
itu, baik dalam agama, pendidikan dan politik, Gus Dur adalah seorang yang
inklusif dan tidak eksklusif. Ia terbuka bagi siapa saja tanpa merasa perlu tahu asal
usul dan latar belakngnya. Gus Dur sangat percaya, jika kita melakukan perbuatan
baik‟ orang lain tidaka akan pernah bertanya apa agama kita.3
kebudayaan sekolah (empowering school culture). Hal yang kelima ini adalah
3
Pengantar buku Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur yang ditulis oleh Dr. Ali Masykur
Musa.
23
hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Walaupun ada beberapa orang yang
terus terang mengakui, maupun yang menganggap pendidikan Islam yang benar
pendidikan Islam yang benar memang terjadi, tapi tidak ada seorang pesertapun
yang menafikan dan mengingkari peranan berbagai corak pendidikan Islam yang
telah ada. 5
sebagainya, adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Islam,
4
James A. Banks. “Multicultural Education: Historical Development, Dimensions,
and Practice” dalam James A. Banks dan Cherry A. McGee, San Francisco: Jossey-Bass, 2001.
Lihat pula Will Kymlicka. “Multicultural Citizenship: A Liberal Theory Of Minority
(Kewargaan Multikultural, Teori Liberal Mengenai Hak-Hak Minoritas), Press Inc, New York.
1995.
5
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006, h.223.
24
terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadaran kepada hal itu justru belum
ada dalam pendidikan Islam di mana-mana. Hal inilah yg merisaukan hati Gus
Dur, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang benar atas pernyataan
natural dari perkembangan pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus
yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sendiri. Ini merupakan
pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus ditangani dengan baik.
Jelas dari uraian diatas, pendidikan karakter Islam memiliki begitu banyak
model pengajaran baik yang berupa pendidikan sekolah, maupun pendidikan non-
seperti sekolah dan madrasah di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan
Islam, hanyalah akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam itu
sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi belaka dari pendidikan
Islam, dan melupakan sisi non-formal dari pendidikan karakter Islam itu sendiri.
Tentu saja menjadi berat tugas para perencana pendidikan karakter Islam,
karakter Islam.
Senada dengan apa yang disampaikan oleh Gus Dur, banyak pemikir yang
pada dasarnya pendidikan karakter Islam adalah upaya untuk mencapai kemajuan
perkembangan bagi individu peserta didik. Dalam Islam yang disebut kemajuan
25
itu adalah mencakup kemajuan fisik material dan kemajuan mental spritual yang
memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
perbuatan bermanfaat.
memodifikasi diri agar sesuai dan sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
perbuatan bermanfaat.7
6
Kamrani Buseri. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah, UII Press, Yogyakarta. . 2003,
h.123
7
kedaulatan-rakyat.com.tanggal 26 oktober 2002.
26
Sehingga sampai saat ini, di pentas nasional, kita mengenal Gus Dur, Nurcholish
Najib, Ali Yafie, Quraish Shihab dan banyak lagi tokoh lain yang merupakan
lulusan dari pendidikan pesantren. Alumni pesantren yang disebutkan di atas telah
menjadi pelopor bukan saja di bidang keagamaan, tetapi juga menjadi bahagian
kaum muslimin diberbagai penjuru dunia. Tetapi, disini juga terdapat benih-benih
kaum muslimin lainnya dari kawasan yang lain pula. Tentang perbedaan antara
kaum muslimin di suatu kawasan ini, Gus Dur pernah mengajukan sebuah
makalah kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980-an. Tentang perlu
adanya study kawasan tentang Islam di lingkungan Afrika Hitam, budaya Afrika
Utara dan negeri-negeri Arab, budaya Turki, Persia, Afghan, budaya Islam di Asia
kawasan-kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area study's) ini
8
Ismail S. Wekke, dalam Majalah Independensia, edisi Juli 2007.
27
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita (Agama Masyarakat Negara
Demokrasi), Jakarta:nThe Wahid Institute, 2006. hal. 224.
27
tentang pesantren sendiri sebagai berikut: bilamana dari puluhan ribu santri yang
yang ketat sekali dalam pesantrenmasa sekarang. Inilah titik balik dari
pendidikan. dalam saat di mana semua mereka yang memiliki darah biru
masyarakat yang tidak ditampung dalam lembaga pendidikan kraton. Karena itu,
kriterium dengan sendirinya bergerak menuju penciutan lapangan bagi orang yang
akan dikirim di pesantren, yaitu orang-orang yang merasa dirinya santri dan
kriterium semacam ini maka bisa dilihat bahwa pesantren adalh lembaga
10
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, 2000, h.113.
28
kira tahun tujuh puluhan ini. Pada tahun-tahun terakhir ini, timbul elemen baru di
mana pesantren merupakan penampung ribuan bahkan puluhan ribu mereka yang
karena alasan tertentu tidak dapat ditampung di sekolah-sekolah luar baik karena
karena fasilitas, biaya dan lain sebagainya, maupun karena tidak dapat memenuhi
standarisasi, entah itu akhlak atau persyaratan lain yang terdapat di sekolah
umum. Bahkan pada tahun-tahun terakhir, pesantren itu juga dapat tambahan
fungsi untuk menampung anak-anak nakal yang tidak dapat diatasi oleh sekolah-
sekolah lain atau oleh orang tuanya. Bahkan pesantern juga menjadi penampung
anak-anak yangb menjadi korban erosi kultur dalam kota-kota besar.11
fleksibel dan progresif yang ditemukan pada beberapa ulama NU, termasuk
diantaranya pendahulunya, yaitu Kiai Ahmad Siddiq. Ulama lain yang dapat
diidentifikasi seperti itu adalah kakek Abdurrahman Wahid yaitu, Kiai Hasyim
Asy‟ari kemudian ayahnya yaitu, Wahid Hasyim, saudara tua Kiai Ahmad Siddiq
yaitu, Kiai Mahfudz Siddiq dan bahkan Kiai wahab Hasbullah. Ada beberapa
kesamaan antaraAbdurrahman dengan semua tokoh tadi, walaupun ada juga
intelektual, keserjanaan Islam dan barat modern. Elemen-elemen ini dapat dilihat
pada setiap tokoh yang disebut di atas.tapi yang paling kental ada pada
Abdurrahman Wahid.
11
Abdurrahman Wahid, LKiS, Yogyakarta, 2000, h.114.
29
pesantren dan pendidikan barat modern. Dia generasi pertama yang banyak
terkenal itu adalah KH. Abdurrahman Wahid dan teman sejawatnya dari Jombang,
memiliki sistem pengajaran yang dikenal dengan nama pengajian kitab kuning.
Selain itu, dia juga mampu menyerap sejumlah inovasi secara berangsur-angsur
selama beberapa abad. Atas dasar kemampuan kenyal seperti itu tetap hidup,
maka pesantren memiliki keungglan sendiri yang tidak ada di tempat lain. Bagian
ini akan memeriksa asal usul tradisi keilmuan di pesantren dan sekaligus melihat
kenyataan yang merupak inti dari fungsi tradisi tersebut dalam kehidupan
pesantren.
ilmu-ilmu keagamaan sejak ada dalam masyarakat Islam pertama. Salah satu
watak utama dari Islam adalah tekanan pada aspek pendidikan. sebagaimana dapat
dilihat pada sejumlah sumber, seperti ayat-ayat al- Qur‟an dan Hadist yang
menggambarkan pentingnya arti ilmu bagi Islam dalam pandangan Allah dan
dalam pandangan Nabi Muhammad saw. Atas dasar itulah maka Islam telah
spesialisasi. Bahkan sejak masa pertama Madinah, kita kenal dengan orang ahli
dalam penafsiran al-Qur‟an seperti sahabt Abdullah ibnu Abbas, orang yang
menjadi ahli dalam hukum agama seperti, Abdullah ibnu Mas‟ud, ada juga yang
menjadi penghafal al-Qur‟an dan pencatatnya seperti Zaid ibnu Tsabit. Mereka
ilmu, bukannya sekedar sebagai wadah pengalaman, seperti yang dilakukan oleh
30
Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla, Gila Gus Dur (Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid), LkiS, Yogyakarta, 2000, hal. 121-122.
30
khalifh yang ke III (Utsman ibnu Affan) yang dikenal dengan orang shaleh yang
senantiasa berhasil membaca habis (khatam) al-Qur‟an dalam waktu yang singkat
secara periodik.
bermula pada penjarahan daerah-daerah timur tengah oleh Iskandar Agung dari
kecil yang pada akhirnya pula membentuk apa yanh dikenal dalam agama kristen
sebagai sekte-sekte bidat, seperti sekte Nestoria. Islam mengambil dari itu semua.
Maka besar sekali adanya proses peneyerapan yang dilakukan peradaban Islam
pada masa awal ketika terjadi benturan budaya antara peradabanIslam dengan
peradaban lain. 13
Ada lima elemen yang dapat disimpulkan dari pemikiran Gus Dur.
respons dengan penuh percaya diri dan cerdas. Sembari tetap kritis terhadap
walaupun dia juga berpendapat hal ini perlu diikatkan pada dasar-dasar
teistik.
13
Achmad Mufid AR, Ada Apa Dengan Gus Dur, KUTUB, cet. I, yogyakarta, 2005,
hal.135-136.
31
pancasila sangat penting bagi kesejahteraan dan kejayaan bangsa. Gus Dur
menegaskan bahwa ruang yang paling cocok untuk Islam adalah ruang sipil
toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli untuk menjaga harmoni dalam
masyarakat.
5. Pemikiran Gus Dur mempresentasikan sintesis cerdas pemikiran Islam
arabia, khususnya di mekah dan kembali ke tanah air untuk mendirikan pesantren-
pesantren besar. Kedua gelombang inilah yang menjadi sumber dari tradisi
Islam yang datang kemari adalah dalam bentuk tasawwuf dan ilmu-ilmunya
tentujuga tidak lepas dari ilmu-ilmu syar‟iyyah pada umumnya. Fiqh memang
dipelajari, tauhid demikian pula dan tentu saja alat bantu dalam bahasa arab dan
14
Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla, LkiS, Yogyakarta, 2000, hal .124
32
sebagainya, juga ada ilmu hadist, tafsir, akhlaq dan ilmu-ilmu yang ada di
kawasan Timur Tengah waktu itu. Masa abad ke 13 itu, Islam datang ke Indonesia
sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia kemudian dianut benua India,
yaitu berorientasi sangat kuat pada tasawwuf. Oleh karena itulah kita dapati
tasawwuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi
fiqh dengan amal akhlaq merupakan bahan pelajaran utama. Di antaranya adalah
Ihya‟ Ulumuddin al-Ghazali merupakan karya fiqh sufistik yang paling menonjol
pesantren, yaitu:
harfiah atas suatu kitab (teks) tertentu. Pendekatan yang digunakan adalah
dengan pembacaan kitab lain. Ciri utama ini masih dipertahankan hingga
15
Achmad Mufid AR, KUTUB, cet. I, yogyakarta, 2005, hal.138.
33
kurikulum klasikal.
untuk bertirakat dalam usaha untuk mencapai keluhuran budi dan jiwa,
adalah totalitas kehidupan yang diridhoi Allah, betapa remeh dan tidak
berartinya sekalipun totalitas itu bila dilihat dari sudut pandangan duniawi. 16
cukup banyak kelebihan. Pengembangan tata nilai tradisional inilah yang akan
16
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Esai-Esai Pesantren), LkiS, Yogyakarta,
2001, hal. 72. Lihat pula Prasaran pada Seminar Peningkatan Pendidikan Pesantren, Pondok
Pesantren Bahrul „Ulum Tambakberas, Jombang, 21-22 Agustus 1975
34
pengajaran yang ada, harus dirumuskan sebuah filsafat pendidikan agama yang
tradisional, jelas dan terperinci. Dari filsafat pendidikan yang sedemikian itu,
terdapat kurang lebih 200 buah mandala yang tersebar di wilayah kerajaan
harus diuji dengan pengkajian atas persoalan apakah benar situasi politik yang
menguntungkan para pembawa agama Islam di masa itu (yang antara lain
tercermin dalam berduyun-duyunnya para pembesar Majapahit memasuki agama
Islam) telah membuat para pemimpin mandala untuk juga menerima Islam
sebagai agama mereka yang baru. Dasar dari konsep sejarah ini adalah proses
“islamisasi dari atas”, sseperti yang dikonstruksikan oleh van Leur atas hinduisasi
berlawanan dengan teori “islamisasi dari bawah” melalui perniagaan, seperti yang
17
Abdurrahman Wahid, LkiS, Yogyakarta, 2001, hal. 77.
35
menghadapi penetrasi kebudayaan luar, terutama dalam paro kedua abad yang
lalu. Fungsi yang sedemikian itu menghendaki adanya proses pemurnian agama
hukum agama) di pesantren di abad yang lalu. Para ulama terkemuka merasa
terdorong untuk mulai menghadapkan aspek syara‟ pada aspek mistik dari
kehidupan beragama Islam pada masa itu, seperti yang dilakukan oleh Syekh
Nawawi Banten, Syekh Mahfudz Termas dan di penghujung abad yang lalu,
Syekh Hasyim Asy‟ari. Proses pemurnian yang serba terbats ini sedikit sekali
mendapat sorotan dari para ahli studi Indonesia karena terhalang oleh proses
pemurnian lain yang terjadi setelah itu, yaitu dengan munculnya pengikut-
kebutuhan beribadah intensif dalam mendekatkan diri kepada Allah maka dalam
masa penonjolan aspek syara‟ itu pendidikan masa lalu memiliki fungsi
kultural secara total. Kisah para kiai yang babat mendirikan pesantren dengan
36
melakukan kerja transformasi di atas. Secara kultural pula dewasa ini dapat
pesantren telah berkembang karakter hidup mandiri, yang ditopang oleh latar
D. Kurikulum Pesantren
Sistem pendidikan di pondok pesantren yang termasuk kategori salaf
(kutub al-muqarrarah) yang hampir bersamaan atau diluar materi pelajaran yang
khas pesantren salaf, sekaligus merupakan tanda atas kebebasan dari tujuan
pendidikan.19 Tapi setidaknya pemetaan akan materi ajar dalam pesantren telah
jelas, antara lain tauhid, akhlaq, fiqih, tafsir, hadits, ilmu bahasa dan perangkat
18
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Esai-Esai Pesantren), LkiS, Yogyakarta,
2001, hal. 121-125.
19
Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren pendidikan Alternatif Masa Depan, Gema
Insani Press, Jakarta, 1997. h. 85
37
akhlak. 20
a) Pemberian waktu yang terbanyak dilakukan pada unsur nahwu, shorof dan
fiqh, karena kedua unsur ini masih memerlukan pengulangan, setidaknya
b) Mata pelajaran lain hanya diberikan selama setahun tanpa diulang pada
tahun-tahun berikutnya.
20
Wahjoetomo, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.h. 162-163
21
Wahjoetomo, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.h. 164.
38
menjadi tradisi yang awalnya tidak tersistematika kemudian akan menjadi lebih
(c) Secara keseluruhan kurikulum yang ada berwatak lentur dan fleksibel, dalam
22
Wahjoetomo, Gema Insani Press, Jakarta, 1997.h. 87.
39
ahli-ahli agama yang dikemudian hari akan menunaikan tugas untuk melakukan
jenis kurikulum utama yang perlu ditinjau sepintas lintas dalam hubungan ini:
semua santri. Akan tetapi , ini tidak berarti pendidikannya sendiri telah menjadi
sebagian besar sekolah agama tradisional ini telah memasukkan mata pelajaran
23
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Esai-Esai Pesantren), LkiS, Yogyakarta,
2001, hal. 145. Lihat pula Prasaran pada Lokakarya Output Pesantren dan Penyediaan Angkatan
Kerja, Puslitbang Pendidikan Agama, Badan Peneletian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 9-11
Januari 1978.
40
nantinya.
masing kelompok mata pelajaran agama dan nonagama telah menjadi bagia
integral dari sebuah sistem yang telah bulat dan berimbang. Akan tetapi, di sini
ilmu-ilmu keislaman sejak ia dalam masyarakat Islam yang pertama. Salah satu
watak utam dari Islam adalah tekanan yang berat sekali pad aspek pendidikan,
sebagaimana dapat dilihat pada sejumlah sumber motivatif, seperti ayat-ayat al-
Qur‟an dan hadist yang menggambarkan pentingnya arti ilmu bagi Islam dalam
pandangan Allah dan dalam pandangan Nabi Muhammad. Atas dasar itulah maka
telah melakukan spesialisasi. Bahkan sejak masa Madinah , kita kenal adanya
orang yang ahli dalam penafsiran al-Qur‟an, seperti sahabat Abdullah ibn Abbas,
orang yang menjadi ahli dalam hukum agama, seperti Abdullah ibn Mas‟ud, ada
juga yang menjadi penghafal al-Qur‟an dan pencatatnya, seperti Zaid bin Tsabit
24
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Esai-Esai Pesantren), LkiS, Yogyakarta,
2001, hal. 151-152. Lihat pula Prasaran pada Lokakarya Output Pesantren dan Penyediaan
Angkatan Kerja, Puslitbang Pendidikan Agama, Badan Peneletian dan Pengembangan Agama,
Jakarta, 9-11 Januari 1978.
41
Qur‟an dan Hadist sebagai objek ilmu. bukannya sekedar sebagai wadah
pengalaman, seperti yang dilakukan oleh khalifh yang ke III (Utsman ibnu Affan)
yang dikenal dengan orang shaleh yang senantiasa berhasil membaca habis
(khatam) al-Qur‟an dalam waktu yang singkat secara periodik. Kesalehan seperti
itu pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak ilmiah, tetapi merupakan pengalaman
pada wataknya. Justru di tangan para ilmuan agama pemulalah, seperti pada saat
adanya penghafal al-Qur‟an dan juga para penjaga hukum agama terbentuk suatu
kecil yang pada akhirnya pula membentuk apa yanh dikenal dalam agama kristen
sebagai sekte-sekte bidat, seperti sekte Nestoria. Islam mengambil dari itu semua.
Maka besar sekali adanya proses peneyerapan yang dilakukan peradaban Islam
pada masa awal ketika terjadi benturan budaya antara peradaban Islam dengan
peradaban lain. 25 Ketika ilmu-ilmu Islam berkembang di tangan para ahli agama
yang mengkhsusukan diri pada al-Qur‟andan Hadist itu maka terasa adanya suatu
pada al-Qur‟an dan Hadist, yaitu apa yang dikatakan kajian bahasa (dirasah
lughawiyah). Kajian dan penelitian di bidang bahasa dilkukan oleh para ulama
muslim yang agung, bahkan para ahli hukum agama, seperti Imam Syafi‟ justru
25
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Esai-Esai Pesantren), LkiS, Yogyakarta,
2001, hal. 216. Lihat pula Prasaran pada Lokakarya Output Pesantren dan Penyediaan Angkatan
Kerja, Puslitbang Pendidikan Agama, Badan Peneletian dan Pengembangan Agama, Jakarta, 9-11
Januari 1978. Baca pula buku karangan Achmad Mufid AR, Ada Apa Dengan Gus Dur, KUTUB,
cet. I, yogyakarta, 2005, hal.135-136.
42
dikenala sebagai ahli bahasa yang mampu menegakkan timbangan bahasa yang
luas dan yang kedua, gelombang ketika para ulama kawasan Nusantara menggali
ilmu di semenanjung arabia, khususnya di Mekah dan kembali setelah itu ke tanah
manifestasi keilmuan Islam yang datang kemari adalah dalam bentuk tasawwuf
dan ilmu-ilmunya yang tentu juga tidak lepas dari ilmu-ilmu syari‟ah pada
umumnya. Fiqh memang dipelajari, tauhid demikian pula dan tentu saja alat bantu
dalam bahasa arab dan sebagainya, juga ada ilmu hadist, tafsir, akhlaq dan ilmu-
ilmu yang ada di kawasan Timur Tengah waktu itu. Masa abad ke 13 itu, Islam
itulah kita dapati tasawwuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan
watak tradisi keilmuan di pesantren pada saat itu. Buku-buku tasawwuf yang
antaranya adalah Ihya‟ Ulumuddin al-Ghazali merupakan karya fiqh sufistik yang
pesantren.26 Dalam perjalanan sejarahnya yang panjang sejak abad ke 13, yaitu
26
Abdurrahman Wahid, LkiS, Yogyakarta, 2001. Lihat pula Achmad Mufid AR, Ada Apa
dengan Gus Dur, KUTUB, cet. I, yogyakarta, 2005, hal.138.
43
wahdaniyah atau wahdat al wujud. Hal ini dapat kita jumpai pada Abdurrauf
Singkel dan beberapa tokoh lain dari masa itu. Perdebatan ar-Raniry dengan
16, menunjukkan dengan jelas bahwa manifestsi fiqhi sufistik talah merasuki
keseluruhan kehidupan ilmiah orang Islam. Waktu itu yang dipentingkan adalah
pemahaman sufistik pada kehdupan. Buku utama yang dipakai tentunya adalah
Syarh Hikam karya ibn Atha‟illah Askandary, salah seorang di antra penulis sufi
yang paling terkenal. Salah satu di antara peninggalannya al-Hikam adalah kata
kalimat:
Laa tashhab man laa yunhidhuka ilaa Allah haaluhu, wa laa yadulluka ila
Allah maa qaaluhu.(janganlah kamu bersahabat dengan orang yang hal ihwalnya
tidak membangkitkan kamu kepada Tuhan dan janganlah berteman dengan orang
yang ucapan-ucapannya tidak menunjukkan kamu kepada Allah).
Dari kata laa yunhidhuka atau tidak membangkitkan inilah lalu secara
ulama). Disini saja sudah tampak sangat besar pengaruh dari manifestasi keilmuan
daerah, selain pabrik-pabrik gula dengan kebun tebunya yang luas, dengan
kekayaan semakin bertambah dari masa ke masa dan dalam watu 20 sampai 30
44
Timur Tengah untuk belajar di sana.pada saat yang bersamaan, pelayaran dengan
kapal motor secara teratur antara Eropa dan Hindia Belanda telah berlangsung
sejak dibukanya Terusan Suez pada awal abad ke 19 itu. Dengan demikian
Timur Tengah akhirnya mereka menghasilkan korps ulama yang tangguh yang
Lahirlah ulama-ulama besar seperti Kiai Nawawi Banten, Kiai Mahfudz Tremas,
Kiai Abdul Ghani Bima, Kiai Arsyad Banjar, Kiai Abdus Shomad Palembang,
Kiai Hasyim Asy‟ari, Kiai Khalil Bangkalan dan deretan ulama lain yang tidak
para ulama besar Indonesia, seperti Sabil al Muhtadin dari Tuan Guru Arsyad
Banjar, Nur azh Zhalam dari Kiai Nawawi Banten dan sebagainya. Merekalah
pesantren Tebuireng masih terlihat koleksi kiai Hasyim Asy‟ari yang berupa
al Alibba fith Thabaqaat ul Udabaa (Taman Orang Pandai dalam Tingkatan para
Sastrawan). Bahwa seorang ulama fiqhi dan hadist seperti kiai Hasyim Asy‟ari
itu meninjau kehidupan secara lebih bulat danlebih tuntas. Tidak hanya aspek
45
akhlak saja yang dipentingkan atau dengan kata lain aspek pengalaman hukum
manusia itu sendiri. Pemekaran pun terjadi juga dengan sendirinya pada
hasil yang positif yang dibawa oleh para ulama Indonesia yang mengalami
pendidikan di Timur Tengah pada abad ke 19, terutama tahun- tahun akhir abad
itu.
satu pihak, kita melihat adanya kitab-kitab fiqhi yang mendalam dengan
penguasaan alat-alat bantu yang sangat mengagumkan tetap diajarkan di
keilmuan yang ada di pesantren yang menghasilkan sesuatu yang unik yang jarang
didapati di dunia Islam mana pun saat ini. Dan hasilnya pun sangat
mengagumkan, umpamanya pada karya kiai Ihsan Jampes yang menulis Siraj ath
Ghazali. Dalam buku dua jilid dengan tebal lebih kurang 600 halaman beliau
macam, namun pada saat yang sama menampilkan pula wajah sufistik dari
seorang ilmuan yang mengamalkan syari‟at secara penuh. Selain itu, masih ada
karya beliau yang belum dicetak, yang berjudul Manaahij al Imdaad yang
dilupakan dan kita hanya terbuai oleh sebuah pendekatan yang dangkal yang
46
hanya melihat pada pentingnya satu sisi saja. Terpulang pada pesantren di masa
depanlah untuk mencari aplikasi baru dari kedua kecenderungan yang telah
27
Abdurrahman Wahid, LkiS, Yogyakarta, 2001, hal. 230.
BAB IV
yang luhur dengna berdasarkan pada al-Qur‟an dan al-Hadits, serta untuk
Bagi Gus Dur, lembaga pendidikan harus mampu membangun basis dan
pondasi. Basis itu adalah kearifan lokal. Di sini, yang dimaksud kearifan lokal
oleh Gus Dur adalah nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan dalam ajaran
agama. M. Sufyan Al- Nashr menjelaskan bahwa dalam bahasa Gus Dur, kearifan
lokal itu pribumisasi Islam, dimana ajaran Islam dan tradisi lokal dijadikan
maka kearifan lokal (tradisi dan ajaran agama Islam) harus dijadikan ruh dalam
proses pendidikan. Di samping itu, adat istiadat dalam suatu tatanan masyarakat
menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Norma adat
ajaran agama sebagai pedoman hidup agar sesuai dengan tuntunan dalam kitab
suci. Kearifan lokal yang terbentuk dari tradisi dan lokalitas ajaran mampu
1
Library. Walisongo.ac.id. 2011, diakses pada tanggal 9 September 2014.
47
48
sadar dengan hal itu, sehinnga dia juga merumuskan bagaimana kurikulum
pendidikan mampu mengisi nilai moral bagi peserta didik. Menurut Faisal, Gus
Dur memiliki perspektif sendiri dalam soal kurikulum ini. Bagi Gus Dur ada
karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah
dijelaskan maknanya, maka sudah barang tentu, pendidikan karakter itu berpijak
2
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam (Upaya Mengembalikkan Esensi Pendidikan di
Era Global), Jogjakarta: Ar-Ruz Media, 2012.
49
Tauhid. Itulah sebenarnya makna dan konsep yang paling tepat bagi pendidikan
Karakter di Indonesia, sesuai dengan makna Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul awwal 1404 H/21 Desember 1983 memutuskan
sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang antara lain
menegaskan: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia
bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan
untuk menggantikan kedudukan agama. (2) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”
sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang
Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut
pengertian keimanan dalam Islam. (3) Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah
akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan
tercantum dalam Piagam Jakarta, karena dua alasan. Pertama, bahwa Ketuhanan
Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam. Kedua, demi
menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah negara yang baru diproklamasikan sehari
3
Munawar Fuad Noeh dan Mastuki HS (ed), Menghidupkan Pemikiran KH. Achmad
Siddiq,( Jakarta: Pustaka Gramedia Utama, 2002), hal. 118-145.
50
ini ialah Wahid Hasyim, tokoh NU yang memiliki reputasi nasional ketika itu.
Jadi rumusan deklarasi itu hakekatnya menegaskan kembali apa yang telah
disepakati sejak negara ini baru dilahirkan tanggal 18 Agustus 1945 yang lalu. 4
Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya
orang komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang
komunis, atau ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani,
Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia
bukan hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang
Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar adab laksana seorang ibu yang
mengejar anak satu-satunya yang hilang. Lalu Syaikh Hasyim Asy‟ari mengutip
wujudnya iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid dan iman
mewajibkan syariat, maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia
tidak memiliki iman dan tidak bertauhid dan syariat mewajibkan adanya adab
4
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994), h. 285-286.
5
Hasyim Asy‟ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, (Jombang: Maktabah Turats Islamiy,
1415 H). hal. 11.
51
maka barangsiapa yang tidak beradab maka (pada hakekatnya) tiada syariat, tiada
iman dan tiada tauhid padanya. Dari segi pandangan lain bisa dikatakan sebagai
yaitu etos kerja keras. Hal semacam itu selalu menjadi tekanan pokok dalam
terkoordinir dan tidak direncanakan dan itu dibuat kerangkanya. Akibatnya, akan
keterampilan. Usaha semacam itu adalah usaha yang terpuji dan bukanlah suatu
yang buruk dalam dirinya. Akan tetapi, kegunaannya menurun bilaman sistem
konsumsi kota besar, dia tidak berfungsi bagi sekolah yang tempatnya di desa dan
berorientasi menuju desa, karena memenag bukan semua tamatannya akan menuju
bagi masyarakat di desa. Yang jauh lebih penting ialah pendidikan pengusahaan
6
Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, LKiS, Yogyakarta, 2000, h.116
52
Pesantren memiliki sistem nilainya sendiri yang jauh berbeda dari apa
yang terdapat di luarnya. Sistem nilai itu mendukung sebuah sikap hidup yang
pendudikannya. Sistem nilai itu dapat dikenal dari adanya beberapa nilai utama.
secermat mungkin hingga pada penentuan jalan hidup yang akan dipilih seorang
itu sendiri dinilai sebagai perbuatan beribadah. Mulai dari pola penggunaan waktu
sendiri sepulang menjadi seorang guru atau kalau mungkin kiai, diperolehnya
7
Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi (Esai-Esai Pesantren), LkiS, Yogyakarta:
2001, h.147
53
pandangan ini, adalah melalui upaya menuntut ilmu-ilmu agama secara tidak
dan ibadah dengan sendirinya lalu memunculkan kecintaan yang mendalam pada
ilmu-ilmu agama sebagai nilai utama lainna yang berkembang di pesantren.
sangat dalam kepada ahli-ahli ilmu agama, kesediaan berkorban dan bekerja untuk
menguasai ilmu-ilmu agama itu sendiri dan kesediaan nantinya untuk bekerja
Kecintaan itu pulalah yang akan mendorong seorang santri mencari pola-pola
kerja sendiri sepulang dari pesantren, mulai dari cara menerima santri di
pesantrennya sendiri hingga nanti pada sistem evaluasi hasil belajar mereka. 8
Menjalankan semua apa yang diperintahkan oleh kiai dengan tidak ada
rasa berat sedikit pun, bahkan dengan penuh kerelaan adalah bukti paling mudah
yang dapat dikemukakan bagi nilai utama ini. Seorang kiai harus membuka pintu
rumahnya dua puluh empat jam sehari semalam untuk menerima tamu, haruslah
memiliki nilai ini untuk untuk bertahan secara psikologis. Hidup pribadi kiai dan
8
Abdurrahman Wahid, LkiS, Yogyakarta: 2001, h.148 .
54
santrinya, dilihat dari satu segi, larut sepenuhnya dalam irama pesantren yangv
dipimpinnya, tujuan dan pamrih lain menjadi soal sekunder dalam pandangan ini. 9
nilai itu memperlihatkan wajah saling bertentangan di mata orang luar pesantren,
ilmu agama yang disertai kesempitan dan ketertutupan pandangan terhadap hal-
hal yang tidak berbau agama. Akan tetapi, dalam kesatuan berbentuk sistem nilai,
gambaran yang disuguhkan adalah justru orisinalitas perwatakan hidup pesantren
itu sendiri. Sistem nilai pendidikan karakter itu menopang berkembangnya fungsi
perubahan itu sendiri akan berarti perubahan fungsi dan tugas kehidupan
pesantren.
tentu saja memberikan bekas yang mendalam pada jiwa seorang santri dan bekas
9
Abdurrahman Wahid, LkiS, Yogyakarta: 2001, h.149-150 .
55
ini pulalah yang pada gilirannya nanti akan membentuk sikap hidupnya. Sikap
luar, sudah barang tentu akan merupakan pilihan ideal bagi sikap hidup
rawanyang serba tidak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba
dari dua sudut, yaitu: fungsi kemasyarakatan pesantren secara umum dan dari pola
sebagai subkultur bagi kehidupan masyarakat secara umum, namun harus diberi
namun ia justru tidak merupakan bagian dari sesuatu kultur atas apa pun.
sendiri sehingga ia lebih merupakan sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari
dunia lain di luarnya. Dorongan menegakkan kebenaran agama, dikenal dengan
nama amar ma’ruf nahi munkar misalnya, pesantren memiliki intensitas luar biasa
pada sikap bermoral agama secara lahiriah belaka), membawa pesantren pada
kultural total ini, ia justru akan ditransformasikan oleh keadaan di luarnya itu.
10
M. Dawam Rahardjo (ed) Artikel yang dimuat dalam antologi Pesantren dan
Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1974.
56
suplementernya kedua cara hidup itu, yang menunjukkan pula keterbatasan watak
subkultural dari pesantren itu sendiri. Penilakan yang dahulu dilakukan oleh
pesantren pada bantuan lembaga-lembaga lain di luarnya (dalam hala ini dari
ini.
uluran tangan dari pihak lain. Banyak unsur yang menunjang watak mandiri itu,
apa pun. Begitu pula kesediaan santri untuk tinggal di pesantren dalam kondisi
fisik yang tidak menyenagkan selama bertahun- tahun, dengan bilik sempit tanpa
peralatan, penerangan, dan terkadang tanpa persediaan air yang cukup. Kesmuka
kesukaran itu di tanggungkan dengan satu kesadaran bahwah pesantren adalah
umpamanya saja dengan menyediakan diri sebagai tenaga kerja tak di bayar pada
fininsial pesantren sangat kecil dengan cara hidup seperti itu, suatu hal yang di
pribadatandalam artian memberikan contoh ahlak yang baik dan kepercayaan akan
sendiri. Dengan cara seperti inilah watak hidupnya yang mandiri, antara lain,
Watak mandiri pesantren dapat dilihat, baik dalam sistem pendidikan dan
strukturnya maupun dalam pandangan hidup yang di timbulkan dalam diri santri.
sangat besar. Semua orang, tidak peduli dari stratat sosial mana pun, di terima
dengan terbuka di pesantren, tanpa hambatan administratif atau fininsial apa pun.
Seorang santri yang tidak memilii bekal apapun dapat saja tinggal dan belajar di
pesantren, dengan cara mencari bekal sendiri, seperti menjadi pelayan kiai atau
bahkan orang lain di sekitar pesantren. Penerimaan siswatanpa sleksi ini memaksa
pesantren untuk melenturkan struktur pendidikanya. Pada dasarnya, tidak ada
dapat menjadi santri untuk waktu 20 tahun, dapat pula hanya sehari saja. Apa
yang di berikan kepada seorang siswa dapat berupa perangkat ilmu-ilmu agama
yang lengkap sebagai bekal untuk menjadi kiai, dapat pula berupa hanya beberapa
baris doa yang di rasakanya perlu untuk kebutuhan peribadatan pribadinya. Tidak
di dapati perbedaan besar dalam perlakuan antara santri dari berbagai tingkat
pendidikan, kecuali bebrapa orang yang telah di anggap mencapai derajat guru,
yang biasanya memang di jadikan guru oleh kiai yang memimpin pesantren itu.
Struktur pendidikan seperti ini jelas memeiliki watak mandiri karena di dasarkan
58
pesantren.
bila di lihat dari keseluruhan. Bermula dari pengajaran sorogan, dimana seorang
kiai mengajar santrinya yang masih berjumlah sedikit secara bergilir santri per
kompleks. Pengajian sorogan dii oleh diikuti oleh pengajian weton, dimana sang
kiai duduk di lantai mesjid atau beranda rumahnya sendiri membacakan dan
santri dapat memilih unit-unit mana saja yang diikutinya, biasanya setelah
yang sangat fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan pribadi seorang santri sendiri.
Dalam menetukan kurikulum dan pelayanan individual kepada santri inilah baru
muncul watak elitis dari pesantren, yaitu dalam pemberian prioritas kepada
bentuk pemberian pelajaran tersendiri oleh kiai, adalah potensi kecerdasan yang
tinggi atau hubungan sosial yang intensif antara orang tua santri dan kiai. Anak-
anak sesama kiai tentu saja memperoleh perhatian yang tersndiri, begitu pula
59
anak-anak yang sudah tampak kecerdasanya yang tinggi pada usia dini. Elitisme
tarbatas dalam sistem pendidikan di pesantren ini justru bagian dari watak
materi anak didk sehingga dapat di jamin ketinggian mutu produl santri yang di
hasilkan nanti. Ketinggian mutu ini, tercermin antara lain dalam sedidkit attau
pesantren-pesantren yang lain, hal mana berarti hak hidup bagi pesantren melalui
persaingan yang cukup tajam. Dengan persaingan seperti inilah watak mandiri di
tumbuhkan dalam bentuk dorongan mengembangkan kelengkapan pendidikan
tidaknya seorang santri dalam belajar lalu diukur dengan diploma tertulis, yang
melemahkan sistem transmisi oral sekaligus melemhkan juga kecintaan pada ilmu
hadapi. Mulai muncullah kelas guru permanen yang mencukupkan diri dengan
menjadi guru tnpa menjadi kiai. Kalau tadinya guru-guru yang di waktu tidak
mengajar justru menjadi petani, pedagang di pasar, dan berbagai macam profesi
lain yang merupakan corak yang dominan di pesantren, dengan timbulnya sistem
pada kerja pengajar saja. Akibatnya adalah pemunculan kebutuhan akan gaji
tetap, yang dewasa ini berkulminasi pada upaya menjadi guru agama negeri di
mengancam watak mandiri yang ada di pesantren, jika tidak dikelolah dengan
11
Abdurrahman Wahid, LkiS, Yogyakarta: 2001, h. 142.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
yang luhur dengan berdasarkan pada al-Qur‟an dan al-Hadits, serta untuk
membangun basis dan pondasi. Basis itu adalah kearifan lokal. Di sini, yang
dimaksud kearifan lokal oleh Gus Dur adalah nilai-nilai yang terkandung dalam
tradisi dan dalam ajaran agama. M. Sufyan Al- Nashr menjelaskan bahwa dalam
bahasa Gus Dur, kearifan lokal itu pribumisasi Islam, dimana ajaran Islam dan
diterapkan di pesantren.
61
62
masyarakat secara umum, namun harus diberi batasan lain pada peranan
tersebut.
dengan sikap dan keterampilan. Hal ini bertujuan agar pendidikan mampu
melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral. Untuk itu, KH. Abdurrahman
Wahid atau dikenal dengan sapaan Gus Dur memiliki konsep tentang pendidikan
juga ajaran agama Islam. Dalam bahasa Gus Dur, kearifan lokal itu disebut
dengan pribumisasi Islam dimana ajaran agama Islam dan tradisi lokal dijadikan
lokal (tradisi dan ajaran agama Islam) harus dijadikan ruh dalam proses
bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Norma adat yang
akan dikenai sanksi yang biasanya bersifat moral. Sedangkan ajaran agama
63
menjadi pedoman hidup agar sesuai dengan tuntunan Allah swt. Kearifan lokal
yang terbentuk dari tradisi lokal dan lokalitas ajaran agama mampu memberikan
B. Saran
1. Bagi akademisi kampus maupun para aktivis mahasiswa UIN tidak ada
salahnya jika kita menelusuri kembali karya-karya Gus Dur sebagai bahan
2. Beliau (Gus Dur) pernah berkata “jika kalau ada orang yang berbuat
kebaikan, maka jangan ditanya apa agama kita.” Dari sinilah penulis
meskipun penulis masih kurang dalam hal intelektual, untuk itu juga lewat
jembatan skripsi ini, penulis berusaha mengembangkan pengetahuan yang
referensi, dan waktu yang dimiliki penulis. Dengan demikian kritik dan
saran dari berbagai pihak sangat dinanti guna penyempurnaan skripsi ini
3. Adapun skripsi ini telah selesai, tetapi masih banyak hal yang kurang dan
C. Penutup
shalawat kepada baginda Nabiullah Muhammad Saw., atas segala ridho dan
Buseri, Kamrani. Antologi Pendidikan Islam dan Dakujah, UII Press, Yogyakarta.
2003.
Daradjat, Zakiah. Ilmu Pendidikan Islam, (Cet II; Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
http://desipurbasaripgsd-ipab.blogspot.com/2013/01/manfaat-pendidikan-
karakter.html.
http://eprints.walisongo.ac.id/12/1/Hery%20Nugroho_Sinopsis%20Tesis.pdf.
http://immasrullah.blogspot.com/2012/11/pendidikan-karakter-islam.html.
http://insistnet.com/enam-prinsip-pendidikan-karakter-islami/.
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/03/pendidikan-karakter-dalam-
perspektif.html.
https://www.academia.edu/4898437/Pendidikan_Karakter_melalui_Media_Massa
https://www.google.co.id/#q=panduan%20pelaksanaan%20pendidikan%20karakt
er.
64
65
http://www.ubaya.ac.id/2013/content/articles_detail/44/Memanfaatkan-Berbagai-
Media-untuk-Pendidikan-Karakter.html.
Kamsinah, Pembaharuan Pendidikan di Rumah Tangga, Alauddin University
Press, Makassar, 2012
Kedaulatan-rakyat.com.tanggal 26 oktober 2002.
Mufid AR, Achmad. Ada Apa Dengan Gus Dur, KUTUB, cet. I, yogyakarta,
2005.
Pengantar buku Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur yang ditulis oleh Dr. Ali
Masykur Musa.
Ramadhan, Syahrul. Kamus Ilmiah Populer (untuk SD, SMP, SMU dan Umum),
Khazanah Media Ilmu, Surabaya, 2010.
Rahardjo, M. Dawam (ed). Artikel yang dimuat dalam antologi Pesantren dan
Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1974.
Suaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdalla. Gila Gus Dur (Wacana Pembaca
Abdurrahman Wahid), LkiS, Yogyakarta, 2000).
Wahid, Abdurrahman, Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara
Demokrasi, The Wahid Institute, Jakarta, 2006.
anak ketiga dari 5 bersaudara dan buah hati dari pasangan Abd.
Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar pada tahun 2010 melalui jalur UML dan
pendidikan yang merupakan bekal untuk masa depan. Penulis berharap semoga