Laporan Praktikum Kultur Jaringan Kel 3 - 5a2
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Kel 3 - 5a2
Laporan Praktikum Kultur Jaringan Kel 3 - 5a2
Disusun oleh:
Kelompok 3
Ruhama Nuri Syahidah (11180950000012)
Dewi Saputri (11180950000024)
Niken Ayu Safitri (11180950000030)
Berlian Hasan (11180950000034)
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga kami berhasil menyelesaikan laporan akhir
mata kuliah praktikum kultur jaringan ini yang alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.
Laporan ini berisikan tentang keseluruhan materi praktikum kultur jaringan untuk
mempelajari dan mengetahui seperti apa mekanisme praktikum kultur jaringan. Laporan ini
dibuat agar pembaca dapat memperluas pengetahuan bioteknologi modern salah satunya
adalah kultur jaringan. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih banyak kepada dosen pengampu
mata kuliah praktikum kultur jaringan yang telah membimbing kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan akhir praktikum ini dengan baik dan benar. Kami menyadari bahwa
laporan akhir ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari dosen dan
teman-teman yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi lebih baiknya laporan ini.
Akhir kata, semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dan semoga Allah SWT
senantiasa meridhoi segala usaha kita, Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................... 4
1.1. Latar Belakang ...................................................................................................... 4
1.2. Tujuan Pembahasan .............................................................................................. 5
iii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kultur jaringan didasari teori totipotensi sel yang menyebutkan bahwa setiap sel
tanaman memiliki kapasitas untuk beregenerasi menjadi tanaman secara utuh. Kultur jaringan
tanaman atau yang dikenal dengan nama kultur in-vitro adalah suatu teknik untuk
menumbuhkan sel, jaringan atau organ tanaman pada media buatan yang mengandung hara
secara aseptik di laboratorium. Kondisi aseptik ini merupakan syarat mutlak agar pekerjaan
kultur dapat berjalan dengan baik dan berhasil. Untuk itu maka diperlukan alat-alat khusus
untuk mendukung kondisi aseptik tersebut.
Salah satu faktor pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan adalah kontaminasi
yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa kultur. Kontaminasi dapat berasal dari: (1)
Eksplan, baik eksternal maupun internal; (2) Mikroorganisme yang masuk ke dalam media;
(3) Botol tanam atau alat-alat tanam yang kurang steril; Lingkungan kerja dan ruang kultur
yang kotor; dan (5) Kecerobohan dalam pelaksanaan. Bakteri tidak saja berada pada eksplan
bagian permukaan tetapi terkadang ada pada bagian dalam eksplan. Biasanya bila ada di
permukaan, respon kontaminasinya sangat cepat yaitu dalam tempo dua kali 24 jam sudah
tampak. Tetapi bila bersifat internal, responnya muncul setelah beberapa hari bahkan
terkadang baru tampak dalam hitungan bulan, di mana sudah terjadi induksi kalus atau mulai
terbentuk organogenesis (Santoso dan Nursandi, 2000).
Keberhasilan teknik kultur jaringan terutama dalam perbanyakan tanaman juga
ditentukan oleh perlakuan subkultur. Subkultur adalah usaha untuk menggantikan media
dalam kultur jaringan dengan media yang baru, sehingga kebutuhan nutrisi untuk
pertumbuhan kalus dapat terpenuhi. Subkultur merupakan salah satu tahap dalam
perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan. Pada dasarnya subkultur adalah memotong,
membelah dan menanam kembali eksplan yang telah tumbuh sehingga jumlah tanaman akan
bertambah banyak.
Waktu pelaksanaan subkultur tergantung pada beberapa hal, misalnya eksplan yang
ada dalam botol sudah tumbuh setinggi botol, atau eksplan tersebut sudah berada lama di
dalam botol sehingga pertumbuhannya sudah mulai berkurang akibat mulai kekurangan hara.
Pada media dalam botol sendiri kelihatan mulai menipis, berwarna kecoklatan atau hitam
sebagai hasil reaksi pertumbuhan tanaman, bekas bagian tanaman yang mati dan lain-lain.
Bisa saja tanaman baru 4-6 minggu di dalam botol namun pertumbuhannya sudah setinggi
botol maka segera dilakukan subkultur. Bisa juga tanaman belum setinggi botol namun sudah
berada lebih dari empat bulan sehingga perlu disubkultur.
Dalam teknik perbanyakan tanaman melalui kultur, tidak hanya dibutuhkan peralatan
kultur jaringan yang memadai. Penggunaan media kultur juga mempengaruhi sukses tidaknya
melakukan perbanyakan tanaman, dikarenakan pada media kultur mengandung berbagai
macam nutrisi yang dibutuhkan eksplan yang ingin dikultur. Namun, tidak semua media
dapat digunakan pada proses kultur tanaman, dikarenakan media kultur memiliki sifat dan
karakteristik yang berbeda-beda, dalam kata lain beberapa media memiliki perbedaan
kandungan dan konsentrasi zat-zat yang diperlukan saat kultur (Elimasni et al., 2006).
Medium tumbuh pada kultur jaringan sangat besar pengaruhnya bagi pertumbuhan
dan perkembangan eksplan, sehingga berbagai komposisi media kultur telah diformulasikan
4
untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dikultur. Medium
kultur akan memenuhi syarat apabila mengandung nutrient makro dan mikro dalam kadar
tertentu, seperti sumber karbon (sukrosa), serta mengandung vitamin, maupun ZPT. Medium
umumnya dapat berupa padatan maupun dalam bentuk cair, dimana pada medium padat
digunakan agen pemadat berupa agar.
Pembuatan medium harus memperhatikan sterilitas, dimana medium yang dibuat
haruslah terhindar dari segala jenis kontaminan yang bersifat patogenik terhadap eksplan.
Keberadaan kontaminan sangat mempengaruhi pertumbuhan dari eksplan yang akan dikultur.
Aspek penting yang harus diperhatikan pada komposisi suatu media yaitu kebutuhan terhadap
zat pengatur tumbuh, khususnya kombinasi dan konsentrasi dari zat pengatur tumbuh yang
digunakan, serta memperhatikan kesterilan suatu medium dari segala bentuk kontaminan.
Oleh karena itu, percobaan pembuatan medium penting dilakukan agar dapat mengetahui
teknik pembuatan medium yang optimal dan sesuai kebutuhan eksplan dalam kultur jaringan.
1.2. Tujuan pembahasan
- Untuk mengetahui apa saja alat-alat yang dipakai dalam praktikum kultur jaringan
serta kegunaannya.
- Memahami dan mempraktekkan langkah-langkah pembuatan stok-stok nutrisi.
- Memahami dan mempraktekkan langkah-langkah pembuatan media untuk
subkultur.
- Memahami dan mempraktekkan langkah-langkah penanaman eksplan ke dalam
media tumbuh untuk tujuan perbanyakan dan pengakaran.
- Memahami dan mempraktekkan langkah-langkah pembuatan media cair.
- Memahami langkah-langkah proses inisiasi dan mengerjakannya secara tertib dan
benar, mengetahui cara sterilisasi di dalam laminar airflow serta menerapkan
teknik penanaman pada beberapa tanaman.
- Memahami dan mempraktekkan langkah-langkah : (1) penanaman eksplan ke
dalam media cair, (2) peranan agitasi di dalam pertumbuhan eksplan dan (3) daya
adaptasi beberapa ekplan tanaman pada media cair teragitasi.
- Dapat mengetahui bagaimana tentang tata cara aklimatisasi planlet hasil kultur
jaringan
II. METODOLOGI
2.1. Pengenalan peralatan tanam dan peralatan pembuatan media tanam serta teknik
sterilisasi
a. Alat dan bahan
Peralatan tanam dan peralatan pembuatan media
b. Prosedur kerja
Diamati peralatan yang digunakan dalam praktikum kultur jaringan
Disterilisasi alat-alat yang digunakan dengan teknik yang telah dipelajari
Disertakan gambar (foto) alat dan fungsinya.
2.2. Perhitungan dan pembuatan stok nutrisi penyusun media
a. Alat dan bahan
Alat yang digunakan antara lain botol reagen 250 ml, labu ukur 250 ml, pipet
ukur 10 ml, timbangan analitik, spatula, alumunium foil, beaker glass, hot plate dan
5
magnetic stirrer, botol semprot, label dan tabel formulasi media MS. Sedangkan
bahan yang digunakan antara lain KH2PO4 dan akuades.
b. Prosedur kerja
6
2.4. Subkultur eksplan
a. Alat dan bahan
Laminar Air Flow, pinset, gunting, scalpel, korek api, aquades, alumunium,
tissue, label, petridish, bunsen, plastik wrapping, eksplan anggrek Dendrobium sp.,
alkohol 70 dan 96% dan media tanam sesuai perlakuan.
7
b. Prosedur kerja
8
b. Prosedur kerja
9
2.6. Inisiasi tanaman
a. Alat dan bahan
Alat dan bahan yang digunakan antara lain labu Erlenmeyer, botol kultur,
autoklaf, petridish, LAF (Laminar Air Flow), gelas ukur, scalpel, pinset,
handsprayer, lampu spiritus, eksplan umbi wortel, alkohol, baycline, fungisida dan
aquades.
b. Prosedur kerja
10
b. Prosedur kerja
1. Peralatan Gelas
Tabel 1. Peralatan gelas
No. Nama Alat Fungsi
Untuk mengencerkan larutan sampai pada volume
tertentu.
1
Gambar 1.1. Labu ukur
(Sumber : google.com)
11
Sebuah wadah untuk sterilisasi, media kultur dan
sebagai media alkohol 90%dan wadah aquades.
12
Gambar 1.6. Gelas arloji
(Sumber : google.com)
Untuk menyimpan dan melarutkan bahan kimia
Mengukur volume larutan/ cairan tepung pada
berbagai skala ukuran dengan ketelitian sedang
13
Untuk menjepit/ mengambil bahan
Untuk menahan eksplan
14
Untuk tempat menuangkan bahan media kedalam
botol kultur
15
Memanaskan aquades atau pelarutan lainnya dalam
pembuatan larutan dan lemak
Membantu mengkondisikan steril pada proses
inokualasi
16
5. Alat Sterilisasi
Tabel 5. Alat sterilisasi
No Nama Alat Fungsi
Untuk sterilisasi alat dan bahan
18
waktu dan suhu yang digunakan maka semakin besar tekanan yang dihasilkan dalam chamber
sehingga proses sterilisasi akan lebih cepat selesai, tetapi dalam proses sterilisasi sudah
ditentukan besarnya suhu dan lamanya waktu sterilisasi tergantung pada hasil kualifikasinya
dan dari setiap bahan atau alat yang akan diseterilisasikan. Sebelum melakukan sterilisasi cek
dahulu banyaknya air dalam autoclave, jika air kurang dalam batas yang ditentukan maka
dapat ditambah air sampai batas tersebut (gunakan air hasil destilasi), masukkan peralatan
dan bahan dan selanjutnya tutup autoclave dengan rapat lalu kencangkan baut pengaman agar
tidak ada uap yang keluar dari bibir autoclave, klep pengaman jangan dikencangkan terlebih
dahulu nyalakan autoclave pada suhu 121°C, tunggu hingga air mendidih sehingga airrnya
memenuhi kompartemen autoclave dan terdesak keluar dari klep pengaman serta jika alaram
tanda selesai berbunyi maka tunggu tekanan dalam kompartemen turun hingga sama dengan
tekanan di lingkungan. Lama steril untuk alat yaitu 45 menit sedangkan media 35 menit.
Namun demikian, beberapa penelitian menunjukkan bahwa kontaminasi tetap terjadi dan
terdapat 19 jenis kontaminan bakteri maupun jamur yang teridentifikasi berasosiasi dengan
kultur jaringan di berbagai lingkungan laboratorium (Odutayo, Amusa, Okutade, &
Ogunsanwo, 2007). Cassells (2016) melaporkan bahwa kontaminan jamur endogen atau
endofitik dapat berubah menjadi patogen tanaman inang bila kultur aksenik tidak didapatkan
pada kondisi lingkungan in vitro.
Sterilisasi adalah kegiatan dalam kultur jaringan yang harus dilakukan ditempat steril,
yaitu di Laminair Air Flow dan menggunakan alat-alat yang steril. Kondisi yang aseptik
merupakan syarat yang mutlak dalam tahapan perbanyakan tanaman secara kultur jaringan.
Lingkungan aseptik sebagai salah satu syarat utama suksesnya kegiatan kultur jaringan
sehingga perlu diterapkan dengan sungguh-sungguh. Teknik sterilisasi secara berulang
dengan waktu inkubasi tertentu setelah dikultur pada penelitian ini berdasarkan pertimbangan
kemampuan mikrobia untuk bertahan atau menghindar dari senyawa antimikrobia seperti
pada pembentukan dormansi. Bertahan hidup jamur dapat berupa miselium atau spora
dorman (Dworkin & Shah, 2010).
3.1. Perhitungan dan pembuatan stok nutrisi penyusun media
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan. Sebelum
membuat media terlebih dahulu dilakukan pembuatan larutan stok. Larutan stok merupakan
larutan yang berisi satu atau lebih komponen media yang konsentrasinya lebih tinggi daripada
konsentrasi komponen tersebut dalam formulasi media yang akan dibuat. Larutan stok
biasanya dibuat dengan konsentrasi 10, 100 atau 1000 kali lebih pekat. Jika larutan stok
dibuat, pembuatan media dapat dilakukan dengan cara mengambil sejumlah larutan stok
sehingga konsentrasinya menjadi sesuai dengan yang terdapat pada formulasi media yang
dikehendaki (Yusnita, 2003). Prinsip dasar dalam pembuatan larutan stok yaitu melarutkan
satu persatu unsur hara secara berurutan dimulai dari bobot molekul yang paling kecil ke
bobot molekul yang paling besar. Setiap unsur dilarutkan satu persatu sampai benar-benar
larut kemudian unsur yang lain berikutnya (Syahid & Hadipoentyanti, 2017).
Stok nutrisi penyusun media yang dibuat dalam parktikum ini adalah stok KH 2PO4
sebanyak 250 ml. Stok KH2PO4 termasuk dalam stok D (stok makro MS) yang memiliki
konsentrasi 170 mg/l dalam media MS. Pembuatan stok KH 2PO4 dilakukan dengan terlebih
dahulu menghitung kebutuhan KH2PO4 yang harus ditimbang untuk membuat stok KH2PO4
sebanyak 250 ml (Terlampir). Hasil perhitungan menunjukkan untuk membuat stok KH2PO4
19
250 ml, kebutuhan KH2PO4 yang harus ditimbang adalah sebanyak 4,25 ml. KH2PO4 yang
telah ditimbang kemudian dilarutkan dengan akuades ± 150 ml dalam beaker glass dan
dengan bantuan hot plate dengan magnetic stirrer (tidak perlu dipanaskan). Larutan KH2PO4
yang telah homogen kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml dan ditera dengan
akuades hingga batas tanda tera tepat 250 ml. Larutan KH2PO4 selanjutnya dimasukkan ke
dalam botol stok 250 ml dan diberi label dengan keterangan nama stok, kegunaan dan
tanggal.
Pembuatan larutan stok KH2PO4 ini sesuai dengan komposisi media dasar MS
(Murashige dan Skoog) dimana konsentrasi KH2PO4 yang dibutuhkan untuk membuat 1 liter
media MS adalah sebanyak 170 mg/l. Sedangkan volume larutan stok KH 2PO4 yang
dibutuhkan untuk membuat 1 liter media MS adalah sebanyak 10 ml. Media Murashige and
Skoog (MS) banyak digunakan sebagai media kultur. Menurut George and Sherington
(1984), media MS mengandung garam-garam anorganik yang tinggi. Media MS merupakan
media yang sangat luas pemakaiannya karena mengandung unsur hara makro dan mikro yang
lengkap sehingga dapat digunakan untuk berbagai spesies tanaman. Komposisi media MS
terdiri dari unsur hara makro, unsur hara mikro, besi, vitamin, myoinositol, sukrosa dan
bahan pemadat (agar). Unsur hara makro MS terdiri dari: MgSO 4.7H2O, KH2PO4, NH4.NO3,
KNO3, CaCl2.2H2O, sedangkan unsur hara mikro terdiri dari: NaMoO4.2H2O, H3BO3,
MnSO4.4H2O, ZnSO4.4H2O, CuSO4.5H2O, KI, CoCl2.6H2O, besi yaitu FeSO4.7H2O dan
Na2.EDTA. Vitamin MS terdiri dari: Thiamine-HCL, Pyridoxine-HCL, Nicotinic Acid dan
Glyicne. Selain komposisi media dasar tersebut juga dapat ditambahkan zat pengatur tumbuh
sesuai perlakuan yang diinginkan (Syahid & Hadipoentyanti, 2017).
Larutan stok dibuat dengan tujuan untuk menghindari penimbangan yang berulang-
ulang kali saat akan memuat media, karena hal tersebut kurang praktis dan kurang efisien.
Manfaat pembuatan larutan stok antara lain dapat menghemat kegiatan menimbang bahan
media setiap kali akan membuat media, mengatasi kesulitan penimbangan dalam jumlah yang
sangat kecil dan mengurangi kerusakan bahan kimia penyusun media akibat terlalu sering
dibuka dan ditutup. Dengan adanya larutan stok, maka pembuatan media selanjutnya hanya
dengan teknik pengenceran dan pencampuran saja (Marlin et al., 2007).
Kandungan unsur fosfat (P) dalam KH2PO4 diperlukan sebagai aktifator enzim untuk
memacu pertumbuhan pada jaringan meristematik. Namun, kelebihan unsur P dapat
menghambat pertumbuhan eksplan, karena akan terjadi persaingan penyerapan dengan unsur
lain seperti seng (Zn), besi (Fe) dan tembaga (Cu). Unsur kalium (K) dalam KH 2PO4 sangat
diperlukan untuk memacu pembelahan sel, sintesa karbohidrat dan protein, pembuatan
klorofil serta untuk mereduksi nitrat. Kalium berpengaruh pada hidratasi, menambah atau
mengurangi hidratasi pada misel sehingga mempengaruhi keluar masuknya nutrien ke dalam
sel (Silalahi, 2015).
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan larutan stok nutrisi penyusun media
antara lain stok media sebaiknya tidak disimpan lebih dari 2 bulan sebelum digunakan, stok
hara makro dan mikro waktu simpan antara 4-8 minggu, stok vitamin dan ZPT 1-2 minggu
dan stok hormon 2-4 minggu; Larutan stok yang terlalu pekat dapat menyebabkan
pengendapan, pengendapan dapat dihindari dengan membuat larutan yang tidak terlalu pekat
atau tidak menggunakan larutan campuran, yaitu membuat satu larutan stok hanya untuk satu
jenis bahan; Pembuatan media dikelompokkan berdasarkan jenis bahan kimia yang
20
digunakan agar tidak terjadi interaksi yang menghasilkan senyawa baru (Marlin et al., 2007);
Larutan stok dalam bentuk cair disimpan dalam lemari es; stok hara makro dibutuhkan dalam
jumlah besar, maka sebaiknya dibuat dalam stok tunggal; Larutan stok yang sudah
mengendap dan ditumbuhi mikroorganisme tidak dapat digunakan lagi; Dan alat-alat dan
tempat kegiatan pembuatan larutan stok harus steril untuk menghindari kontaminan.
3.2. Pembuatan media tanam subkultur
Media merupakan salah satu faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur jaringan.
Keberhasilan perbanyakan dan perkembangbiakan tanaman dengan metode kultur jaringan
secara umum sangat tergantung pada jenis media yang digunakan. Media tumbuh pada kultur
jaringan sangat besar pengaruhnya terhadap partumbuhan dan perkembangan eksplan serta
bibit yang dihasilkannya (Tuhuteru et al., 2012). Pembuatan media yang dilakukan dalam
praktikum ini digunakan sebagai media tanam subkultur eksplan. Subkultur merupakan
merupakan proses pindah tanam eksplan ke media baru untuk mendapatkan bibit yang lebih
banyak dalam periode waktu tertentu (Azizi et al., 2017). Prinsip dasar dalam pembuatan
media adalah penyediaan larutan stok yang akan digunakan untuk membuat berbagai media
perlakuan. Adanya larutan stok yang tersedia, pembuatan media dapat dilakukan lebih praktis
dan efisien yaitu dengan teknik pengenceran dan pencampuran (Syahid & Hadipoentyanti,
2017).
Media tanam subkultur yang dibuat dalam praktikum ini sebanyak 250 ml dengan
larutan stok yang digunakan adalah stok makro (stok A, B,C, D dan E) dipipet sebanyak 2,5
ml, stok mikro (stok F1 dan F2) dipipet sebanyak 1,25 ml dan stok vitamin (myo-inositol
dipipet sebanyak 1,25 ml; tiamin-HCl, piridoksin, asam nikotinat dan glisin dipipet sebanyak
0,25 ml). Larutan stok volume 2,5 dan 1,25 ml dipipet menggunakan pipet serological 5 ml,
sedangkan larutan stok volume 0,25 dipipet menggunakan mikropipet dengan tip warna
kuning. Proses pelarutan semua larutan stok di dalam erlenmeyer menggunakan ±100 ml
akuades. Sumber karbon dalam media menggunakan sukrosa sebanyak 7,5 gram dan bahan
pemadat menggunakan agar vita gel sebanyak 1 gram. Sukrosa dihomogenkan dengan
campuran larutan stok diatas hot plate dengan bantuan magnetic stirrer. Penambahan sukrosa
tidak dibarengi dengan penambahan agar karena dikhawatirkan media cepat memadat dan
akan mempersulit pengerjaan selanjutnya seperti pada pengukuran pH. Pengukuran pH juga
dilakukan sebelum penambahan agar untuk menghindari pemadatan agar yang akan
menempel pada kertas indikator sehingga pengukuran pH menjadi sulit. Penambahan agar
dilakukan setelah pengukuran pH yang kemudian erlenmeyer ditera hingga 250 ml dan
dihomogenisasi diatas hot plate dengan bantuan magnetic stirrer.
Botol media yang digunakan harus dalam keadaan steril dengan cara disterilisasi
kering didalam oven pada suhu 150ºC selama 2 jam untuk menghilangkan segala kontaminan
yang dapat merusak media yang dibuat. Homogenat media yang telah dihomogenisasi
dituangkan ke dalam beaker plastik untuk mempermudah pemindahan ke dalam botol media.
Media dipindahkan ke dalam botol acid (±15-20 ml) dan botol jar (±20-35 ml). Botol media
ditutup rapat menggunakan kertas alumunium foil dengan cara ditekan-tekan dengan kuat dan
dipastikan dalam keadaan kedap udara untuk menghindari terjadinya kontaminasi. Botol
media kemudian dibungkus menggunakan plastik tahan panas dan diikat menggunakan karet,
begitu pula dengan alat tanam dan cawan petri untuk disterilisasi basah menggunakan
autoklaf. Sterilisasi pada autoklaf tersebut dilakukan pada suhu 121ºC selama 15 menit dan
21
tekanan 1 atm. Sebelum proses sterilisasi pastikan akuades di dalam autoklaf cukup dan
exhaust dalam keadaan close agar sterilisasi berjalan lancar.
Media kultur jaringan merupakan campuran air dan hara yang mengandung zat
anorganik, vitamin dan zat pengatur tumbuh. Zat anorganik terdiri dari unsur-unsur hara
makro (N, P, K, Ca, Mg dan Na) dan unsur-unsur hara mikro (B, Co, Mn, I, Fe, Zn dan Cu).
Makronutrien merupakan kelompok zat yang dibutuhkan dalam konsentrasi besar hingga
lebih dari 0,5 mM/l, sedangkan mikronutrien merupakan nutrien yang dibutuhkan dengan
konsentrasi kurang dari 0.05 mM/l. Tanaman membutuhkan unsur hara tersebut untuk
melakukan proses-proses metabolisme, terutama pada masa vegetatif. Diharapkan unsur yang
terserap dapat digunakan untuk mendorong pembelahan sel dan pembentukan sel-sel baru
guna membentuk organ tanaman seperti daun, batang, dan akar yang lebih baik sehingga
dapat memperlancar proses fotosintesis (Syahid & Hadipoentyanti, 2017). Zat-zat tambahan
juga dibutuhkan dalam jumlah yang sangat kecil namun sangat esesnsial dalam pertumbuhan
tanaman seperti vitamin dan ZPT (Silalahi, 2015). Namun dalam pembuatan media kali ini
tanpa menggunakan ZPT. Menurut Heriansyah et al. (2014), vitamin yang ditambahkan
dalam media berfungsi sebagai kofaktor dalam pembentukan enzim, menstimulir proliferasi
jaringan, dan memperlancar respirasi.
Media kultur jaringan tidak hanya terdiri dari unsur hara makro, mikro, vitamin dan
zat pengatur tumbuh, tetapi juga karbohidrat yang pada umumnya berupa gula untuk
menggantikan karbon yang biasanya diperoleh dari atmosfer melalui proses fotosintesis
(Syahid & Hadipoentyanti, 2017). Gula merupakan sumber enargi utama dalam kultur
jaringan. Jenis gula yang ditambahkan dalam pembuatan media ini adalah sukrosa yang
berfungsi sebagai sumber energi atau sumber karbon untuk pertumbuhan dan pembelahan sel
secara in vitro (Silalahi, 2015). Pengujian pH pada media yang dibuat penting dilakukan
karena pH mempengaruhi absopsi ion-ion dan juga kepadatan medium. pH optimum untuk
kultur sebelum disterilisasi adalah 5,8. Jika pH kurang dari 4,5 atau lebih dari 7,0 maka akan
menghambat pertumbuhan dan perkembangan kultur in vitro. pH medium biasanya akan
turun sekitar 0,3-0,5 unit setelah diautoklaf. Penambahan agar dalam media yang dibuat
berfungsi sebagai zat pemadat karena yang dibuat kali ini adalah media padat. Zat pemadat
digunakan untuk membuat medium kultur jaringan semi padat atau medium padat. Medium
padat memungkinkan eksplan kontak dengan zat nutrien yang terdapat pada media (hanya
salah satu sisi yang kontak dengan media) sedangkan permukaan yang lain kontak dengan
udara. Agar merupakan polisakarida yang diperoleh dari rumput laut dan dapat mengikat air
(Silalahi, 2015).
Proses sterilisasi dbertujuan untuk menghilangkan semua jenis mikroorganisme yang
hidup dalam suatu benda seperti protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, dan virus. Sterilisasi
berfungsi menjaga kebersihan atau sterilitas suatu benda yang akan dipergunakan. Sterilisasi
menggunakan cara pemanasan basah (sterilisasi basah) dapat membunuh mikroorganisme
karena pemanasan basah dapat menyebabkan denaturasi protein, termasuk enzim-enzim di
dalam sel (Istini, 2020). Sterilisasi basah menggunakan autoklaf memanfaatkan panas dalam
suatu ruangan bertekanan dengan temperatur 121°C selama 15 menit. Alasan penggunaan
suhu 121°C karena suhu tersebut merupakan suhu kritis, yaitu suhu yang mampu mematikan
seluruh kontaminan sehingga tidak mampu bertahan (Nurrobifahmi et al., 2017). Sterilisasi
menggunakan autoklaf membutuhkan pembungkus pada alat dan bahan yang akan diterilkan,
dalam praktikum ini menggunakan plastik tahan panas. Plastik tersebut berguna untuk
melindungi peralatan dan bahan selama proses sterilisasi dengan tekanan dan suhu tinggi di
22
dalam alat autoklaf. Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan
dibanding bahan pengemas lain karena bersifat ringan, transparan, kuat, murah, mudah
didapat ditoko plastik. Plastik juga memiliki kelemahan yaitu, beberapa jenis tidak tahan
panas, dan plastik termasuk bahan yang tidak dapat dihancurkan dengan cepat dan alami
(non-biodegradable) (Istini, 2020).
3.3. Subkultur eksplan
Subkultur merupakan cara yang sederhana dengan metode kultur untuk
memperbanyak suatu tanaman. Dalam praktikum ini, subkultur dilakukan pada tanaman
anggrek yang sudah tersedia di lab kultur (planlet) untuk diperbanyak dalam medium baru.
Sebelum melakukan subkultur, hal yang dilakukan yakni mensterilisasi alat dan bahan
penanaman di dalam LAF selama 45menit. Tujuan mensterilisasi yakni untuk menghindari
terjadinya kontaminasi.
Menyiapkan dan mesterilisasi alat dan bahan merupakan tahap persiapan untuk
penanaman subkultur. Sebelum melakukan proses subkultur, LAF perlu dibersihkan
menggunakan alkohol 70% beserta alat-alat yamg diperlukan. Alat yang dimasukkan dalam
LAF yakni petridish untuk media pemotongan planlet, skalpel untk memotong planlet, pinset
untuk mengambil plantlet dari botol, lampu spirtus untuk media sterilisasi supaya dalam
pengerjaan subkultur tetap dalam keadaan steril, korek untuk menyalakan api lampu spirtus,
dan tisue untuk membersihkan bagian dalam LAF (meja kultur). Sedangkan bahan yang
dimasukkan yakni medium MS yang sebelumnya telah dibuat dan dimasukkan dalam botol
kultur dan plantlet anggrek.
Kegiatan praktikum kali ini adalah subkultur anggrek dendrobium. Subkultur
dilakukan ketika planlet sudah terlalu penuh pada media sebelumnya dan media telah
menipis. Seperti yang disebutkan oleh George et al. (2007) dalam bukunya bahwa subkultur
sangat penting dilakukan ketika kepadatan sel, jaringan, atau organ dalam suatu media kultur
telah menjadi berlebihan. Lebih lanjut disebutkan bahwa subkultur dilakukan untuk
meningkatkan hasil bididaya atau untuk meningkatkan jumlah organisme yang dihasilkan.
Subkultur biasanya dilakukan dengan cara memotong atau membelah planlet yang berasal
dari hasil kultur jaringan sebelumnya. Hal ini bertujuan untuk memperbanyak dan
mengoptimalkan hasil yang diperoleh dari kultur jaringan. Namun, dalam kegiatan subkultur
anggrek dendrobium yang dilakukan kali ini planlet dipotong daun dan akarnya yang terlalu
panjang sehingga memudahkan proses pemindahan atau penanaman planlet pada media yang
baru. Planlet yang akan disubkultur dikeluarkan dari dalam botol kultur secara aseptik di
dalam LAF untuk menjaga kesterilannya. Kultur jaringan dilakukan terkadang dengan tujuan
untuk mendapatkan pucuk steril untuk kegiatan selanjutnya yaitu subkultur.
23
Setelah dilakukan pengamatan beberapa minggu sejak pelaksanaan pertama subkultur
dilakukan dapat dikatakan bahwa subkultur planlet anggrek Dendrobium sp. berhasil karena
tidak terjadi kontaminasi pada hari ke-1 sampai hari ke -13 dapat dilihat pada Gambar 1. dan
Gambar 2. dan planlet tumbuh dengan baik. Tidak terjadinya kontaminasi menandakan
pelaksanaan subkultur telah dilakukan dengan benar oleh praktikan sehingga kesterilan pada
saat subkultur dapat terjaga. Namun apabila planlet terkontaminasi dapat terlihat jaringan
yang rusak pada ujung daun planlet. Jaringan yang rusak tersebut ditandai dengan perubahan
warna hijau menjadi putih kecoklatan terutama pada daun planlet yang berukuran kecil.
Kerusakan jaringan yang terjadi bukan disebabkan karena kontaminasi maupun penyakit
karena setelah dilakukan pengamatan terus menerus, kerusakan jaringan tidak meluas dan
tanaman masih terus tumbuh meskipun jaringan diujung daun mengalami kerusakan.
Keterangan:
HST = Hari Setelah Tanam
Apabila terjadi kerusakan jaringan pada ujung daun planlet anggrek Dendrodium sp.
tersebut disebabkan oleh ujung pinset yang digunakan untuk memindahkan planlet dari botol
lama ke botol baru masih terlalu panas karena ujung pinset memang harus dipanaskan
terlebih dahulu untuk menjaga kesterilan pada saat inokulasi subkultur. Sebenarnya ujung
pinset sudah tidak terlalu panas karena praktikan menggunakan dua pinset pada saat
subkultur sehingga pinset telah didinginkan terlebih dahulu. Namun karena pinset terbuat
dari bahan logam, maka pinset masih dapat menyimpan panas meskipun telah didinginkan.
Selain itu ukuran daun planlet yang sangat kecil menjadikannya lebih sensitif terhadap panas
dibanding daun yang telah berukuran besar. Hal ini dibuktikan dari kerusakan jaringan yang
hanya terjadi pada daun planlet yang berukuran kecil, sedangkan pada daun berukuran lebih
besar tidak terjadi kerusakan jaringan.
Bagaimanapun keberhasilan pada inokulasi subkultur tidak dapat lepas dari media
yang digunakan. Karena media adalah tempat bagi jaringan untuk tumbuh dan
mengambil nutrisi yang mendukung kehidupan jaringan. Media tumbuh menyediakan
24
berbagai bahan yang diperlukan jaringan untuk hidup dan memperbanyak dirinya. Inokulasi
subkultur planlet anggrek Dendrobium sp. ini menggunakan media MS dengan penambahan
ZPT. Menurut Wetter dan Constabel (2007) medium MS mempunyai kandungan nitrat,
kalium dan ammonium yang layak untuk untuk memenuhi kebutuhan banyak jenis sel
tanaman dalam kultur in vitro. Media MS yang digunakan dibuat dari campuran unsur
makro, unsur mikro, vitamin, dan gula, dengan penambahan norit dan ZPT salah satunya
BAP. BAP (Benzyl Amino Purine) merupakan zat pengatur tumbuh golongan sitokinin.
Sitokinin merupakan salah satu dari golongan zat pengatur tumbuh yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan dengan teknik jaringan. Menurut Gunawan (2006), sitokinin adalah
turunan adenin, yang berperan sangat penting dalam pengaturan pembelahan sel dan
morfogenesis.
3.4. Pembuatan media cair
Kegiatan praktikum kali ini yaitu pembuatan media cair. Media cair berupa nutrisi
yang dilarutkan di dalam air, bersifat tenang, tergantung kebutuhan dan campuran komponen-
komponen zat kimia dengan air suling. Penggunaan media cair bertujuan untuk
memperbanyak kalus yang sudah terbentuk sebelumnya, keperluan isolasi dan fusi protoplas.
Cara yang harus dilakukan adalah meletakkan kalus dalam botol erlenmayer yang berisi
media cair diatas shaker dengan kecepatan tertentu terus menerus, fungsi penggoyangan pada
media untuk mendapatkan aerasi dan distribusi larutan hara yang merata dan fungsi
penggoyangan secara keras untuk memisahkan sel-sel atau kumpulan kalus.
Pada tahap induksi dan pemeliharaan kalus di media cair, kecambah wortel digunakan
sebagai eksplan yang dikultur selama 1 minggu pada medium MS tanpa zat pengatur tumbuh
sebagai media kontrol dan pada medium MS+ dengan zat pengatur tumbuh 2,4 D 1 mg/l.
Setelah dikultur, eksplan tampak mengalami perubahan warna pada medium dari hari ke-0
(media kontrol) hingga pada medium hari ke-7(MS+2,4 D). Pada medium kontrol hari ke-7
pada Gambar 1. warna sampel nya kecoklatan, medium hari ke-3 pada Gambar 2. medium
(MS+2,4 D) ketiga botol erlenmayer warna nya berubah menjadi bening dan
medium(MS+2,4 D) hari ke-7 pada Gambar 3. ketiga erlenmayer berubah warna menjadi
putih. Perubahan warna pada botol eksplan ini menurut Meagher dan Green (2002)
merupakan hasil interaksi yang sangat kompleks antara eksplan, komposisi medium, zat
pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan selama periode inkubasi.
George et al., (2008) menyatakan 2,4-D umum digunakan sebagai sumber auksin
eksogen terutama untuk menginisiasi pembentukan kalus embriogenik pada proses
embriogenesis somatik, tetapi embrio somatik tidak dapat berkembang lebih lanjut sebelum
konsentrasi auksin dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali dari medium kultur. Dari
25
hasil pengamatan, warna kalus yang berwarna putih bening atau kekuningan merupakan kalus
yang dapat mengikuti pola embriogenik.
Hasil yang sama dari penelitian Capuana dan Debergh (2009) menunjukkan bahwa
kalus yang dihasilkan dari perlakuan 2,4-D mempunyai tekstur remah dan berwarna
kekuningan. Sel-sel kalus tersebut dapat berkembang membentuk embrio somatik.
Shimizu et al., (2010) juga menemukan kalus yang berwarna putih atau kekuningan dengan
tekstur remah merupakan kalus yang kompeten membentuk embrio somatik.Sel yang
mempunyai kemampuan menjadi embriogenik sangat tergantung pada tingkat awal
diferensiasi sel serta kondisi lingkungan yang mendukungnya terutama interaksi kandungan
hormon endogen dengan konsentrasi zat pengatur tumbuh eksogen yang diberikan sehingga
konsentrasi zat pengatur tumbuh di dalam sel berubah. Perubahan konsentrasi tersebut
merupakan triggering factor atau faktor pemicu yang dapat mempengaruhi ekspresi gen
dalam menentukan embriogenesis somatik.
3.5. Inisiasi tanaman
Inisiasi merupakan pengambilan eksplan dari bagian tanaman yang akan dikulturkan.
Inisiasi merupakan tahap awal pembentukan tunas tanaman baru secara kultur jaringan.
Inisiasi yang digunakan dalam pengamatan ini ialah pada umbi wortel.
26
HARI KE-3
27
sebagai kontaminan. Fungsi chlorox adalah sebagai desinfektan, yang kemudian dibilas
menggunakan aquades steril yang bertujuan utuk membersihkan atau membilas larutan lain
agar tidak mengganggu pertumbuhan kultur (Gunawan, 1998).
Penggunaan eksplan yang tepat merupakan hal penting yang juga harus diperhatikan
pada tahap ini. Umur fisiologis dan ontogenetik tanaman induk, serta ukuran eksplan bagian
tanaman yang digunakan sebagai eksplan, merupakan faktor penting dalam tahap ini. Bagi
kebanyakan tanaman, eksplan yang sering digunakan adalah tunas pucuk (tunas apikal) atau
mata tunas lateral pada potongan batang berbuku. Umur fisiologis dan umur ontogenetik
jaringan tanaman yang dijadikan eksplan juga berpengaruh terhadap potensi
morfogenetiknya. Umumnya, eksplan yang berasal dari tanaman juvenile mempunyai daya
regenerasi tinggi untuk membentuk tunas lebih cepat dibandingakan dengan eksplan yang
berasal dari tanaman yang sudah dewasa.
Masalah yang sering dihadapi pada kultur tahap inisiasi ini adalah terjadinya
pencokelatan atau penghitaman bagian eksplan (browning). Hal ini disebabkan oleh senyawa
fenol yang timbul akibat stress mekanik yang timbul akibat pelukaan pada waktu proses
isolasi eksplan dari tanaman induk. Senyawa fenol tersebut bersifat toksik, menghambat
pertumbuhan atau bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.
Berdasarkan hasil pengamatan, yaitu eksplan dari umbi wortel tidak ada yang tumbuh
karena belum mengalami poliferasi, Pertumbuhan kultur kalus paling cepat terjadi pada 14
hari setelah ditanam dimedia perlakuan, sedangkan paling lambat terjadi pada 28 hari setelah
penanaman. Serta mengalami kontaminasi bakteri dan jamur pada eksplan dapat dilihat pada
gambar 1,2 dan 3 inisiasi hari ke-7 media berubah warna menjadi putih pucat. Umbi wortel
yang mengalami kontaminan jamur terlihat lebih berwarna pucat, dan muncul hifa jamur
pada tanaman yang terserang dan biasanya dapat dicirikan dengan adanya benang yang
berwarna putih ke abu-abuan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kalus antara
lain bahan sterilisasi, kandungan unsur kimia dalam media, hormon yang digunakan,
substansi organik yang ditambahkan dan terang gelapnya saat inkubasi (Zulkarnain, 2009).
Kontaminan yang disebabkan oleh bakteri ditandainya dengan munculnya bercak-bercak
putih berlendir pada umbi wortel yang dikultur. Umbi wortel yang tidak tumbuh,
menunjukkan belum adanya sifat totipotensi sel karena umbi wortel terlihat tidak membentuk
kalus (Heru, 2005).
Dalam kultur kalus sel atau irisan jaringan tanaman yang disebut eksplan secara
aseptik diletakkan dan dipelihara dalam media padat atau media cair yang cocok dan dalam
keadaan steril, dengan demikian sebagian sel pada permukaan irisan akan mengalami
proliferasi dan membentuk kalus (Ibrahim et al., 2013). Menurut Sulistiani dan Yani (2014),
faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kalus antara lain bahan sterilisasi, kandungan
unsur kimia dalam media, hormon yang digunakan, substansi organik yangditambahkan dan
terang gelapnya saat inkubasi. Kultur kalus sel atau irisan jaringan tanaman yang disebut
eksplan secara aseptik diletakkan dan dipelihara dalam media padat atau media cair yang
cocok dan dalam keadaan steril. Sebagian sel pada permukaan irisan akan mengalami
proliferasi dan membentuk kalus (Sriyanti, 1994).
28
3.6. Aklimatisasi tanaman
Aklimatisasi merupakan tahap akhir dari teknik kultur jaringan. Pada tahap
aklimatisasi, diperlukan ketelitian karena tahap ini merupakan tahap kritis dan seringkali
menyebabkan kematian planlet. Kondisi mikro planlet ketika dalam botol kultur adalah
dengan kelembaban 90-100 %. Sebelum ditanam, planlet diberi perlakuan terlebih dahulu
dengan merendam planlet dalam larutan fungisida selama 3 menit. Perlakuan ini
dimaksudkan agar tanaman terbebas dari kontaminasi (Rohayati, 2009).
Menurut Zulkarnain (2009), masa aklimatisasi merupakan masa yang kritis karena
plantlet yang diregenerasikan dari kultur in vitro menunjukkan beberapa sifat yang kurang
menguntungkan, seperti kutikula tidak berkembang dengan baik, kurangnya lignifikasi
batang, jaringan pembuluh dari akar ke pucuk kurang berkembang, dan stomata sering kali
tidak berfungsi (tidak menutup ketika penguapan tinggi). Keadaan ini dapat menyebabkan
pucuk-pucuk in vitro sangat peka terhadap transpirasi, serangan cendawan dan bakteri,
cahaya dengan intensitas yang tinggi dan suhu yang tinggi, selain itu media tumbuh juga
memiliki peranan penting khususnya jika pucuk-pucuk mikro yang diaklimatisasi belum
membentuk sistem perakaran yang baik.
Menurut Zulkarnain (2009) bahwa di dalam botol kultur, kelembaban hampir selalu
100%. Aklimatisasi merupakan tahap kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca, rumah
plastik, rumah bibit, dan lapangan sangat jauh berbeda. Kondisi di luar botol kelembabannya
lebih rendah, tidak aseptik, dan tingkat intensitas cahayanya jauh lebih tinggi dari pada
kondisi di dalam botol. Planlet atau tunas mikro lebih bersifat heterotrofik karena sudah
terbiasa tumbuh dalam kondisi berkelembaban sangat tinggi, aseptik, serta suplai hara
mineral dan sumber energi berkecukupan.
29
Bibit yang ditumbuhkan secara in vitro mempunyai kutikula yang tipis dan jaringan
pembuluh yang belum sempurna (Wetherell, 1982). Kutikula yang tipis menyebabkan
tanaman lebih cepat kehilangan air dibanding dengan tanaman yang normal dan ini
menyebabkan tanaman tersebut sangat lemah daya bertahannya. Walaupun potensialnya lebih
tinggi, tanaman akantetap menjadi layu karena kehilangan air yang tidak terbatas (Pospisilova
et al., 1996). Kondisi tersebut menyebabkan tanaman tidak dapat langsung ditanam dirumah
kaca (Wetherelll, 1982).
Mengacu pada penjelasan tersebut di atas maka planlet terlebih dahulu harus ditanam
didalam lingkungan yang memadai untuk pertumbuhannya kemudian secara perlahan dilatih
untuk terus dapat beradaptasi dengan lingkungan sebenarnya di lapang.
Lingkungan yang tersebut secara umum dapat diperoleh dengan cara memindahkan planlet
kedalam plastik atau boks kecil yang terang dengan terus menurunkan kelembaban udaranya.
Planlet-planlet tersebut kemudian diaklimatisasi secara bertahap mengurangi kelembaban
relatif lingkungannya, yaitu dengan cara membuka penutup wadah plastik atau box secara
bertahap pula (Torres, 1989).
Proses aklimatisasi merupakan tahap yang paling penting karena mempengaruhi
presentase keberhasilan tanaman yang hidup. Berdasarkan hasil pengamatan, persentase
tumbuhnya planlet pisang yang diaklimatisasi tidak mencapai 50%, maka proses aklimatisasi
tersebut tidak berhasil. Hal ini disebabkan karena beberapa faktor seperti suhu yang tidak
tetap, faktor keterampilan dan ketelitian pun sangat berpengaruh pada tahapan ini. Selain itu
pemberian air setiap saat juga sangat diperlukan oleh planlet karena merupakan tahap
penyesuaian agar tidak mengalami kematian (Zulkarnain, 2009).
Beberapa faktor yang mempengaruhi tahap aklimatisasi antara lain adalah akar,
ukuran bibit, dan intensitas cahaya. Jangkauan akar yang luas akan memenuhi kebutuhan air
secara cepat yang hilang karena adanya laju respirasi yang tinggi. Sehingga, semakin banyak
dan panjang akar pada suatu plantlet akan menyebabkan meningkatnya bidang serapan zat
hara (Hendaryono dan Wijayani, 2002). Ukuran bibit kultur juga mempengaruhi keberhasilan
pada tahap aklimatisasi suatu tanaman. Semakin besar bibit yang digunakan maka peluang
untuk tumbuh baik dan sehat pun besar, karena penggunaan bibit kultur yang kurang vigor
akan menyebabkan tanaman tersebut tidak dapat tumbuh bahkan mati (Wuryan, 2008).
Menurut Zulkarnain (2000) faktor lingkungan juga menjadi pengaruh keberhasilan dari tahap
aklimatisasi, salah satunya intensitas cahaya. Intensitas cahaya pada areal aklimatisasi harus
diperhatikan supaya suhu dan kelembaban juga dapat dipertahankan sehingga tidak
membahayakan plantlet.
Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi, yaitu kelembaban,
intensitas cahaya dan temperature. Pertama adalah kelembaban. Mempertahankan
kelembaban relatif yang tinggi untuk beberapa hari pertama setelah aklimatisasi
merupakan hal yang penting untuk meningkatkan daya hidup planlet. Penurunan kelembaban
dan penurunan intensitas cahaya harus selambat mungkin dilakukan untuk membentuk
tanaman yang makin kuat sehingga tanaman tidak stres. Beberapa teknik mendapatkan
kelembaban yang sesuai adalah dengan menggunakan sistem penutupan dengan kantong
30
plastik bening (sungkup), sistem ini terbukti lebih baik dan relatif murah dan mudah dalam
pengerjaannya.
Tujuan digunakannya sungkup berupa plastik yaitu agar mengurangi evaporasi pada
planlet, karena planlet yang dipelihara dalam keadaan steril dalam lingkungan yang suhu dan
kelembabannya optimal, sangat rentan terhadap lingkungan luar (lapang). Planlet yang
ditumbuhkan dalam kultur memiliki karakteristik daun yang berbeda dengan planlet yang
tumbuh di lingkungan luar. Daun dari planlet yang umumnya memiliki stomata yang lebih
terbuka, jumlah stomata tiap satuan luas lebih banyak dan sering tidak memiliki lapisan lilin
pada permukaannya, dengan demikian planlet sangat rentan terhadap kelembaban rendah,
sehingga jika tidak diberi perlakuan seperti pemasangan sungkup, akan menyebabkan planlet
mudah mengalami penguapan berlebih (Nugroho dan Heru, 2005).
Selain itu, tanaman juga memerlukan akar untuk menyerap hara agar dapat tumbuh
dengan baik sehingga dalam tahap aklimatisasi ini diperlukan suatu media yang
dapat mempermudah pertumbuhan akar dan dapat menyediakan hara yang cukup
bagi tanaman (planlet) yang diaklimatisasi tersebut. Dalam aklimatisasi diperlukan media
tanam yang baik agar pertumbuhan bibit lebih cepat. Menurut (Wardiyati, 1998), bahwa
media yang digunakan untuk aklimatisasi merupakan campuran antara tanah, pasir dan bahan
organik (pupuk kandang, humus, sabut kelapa, sekam bakar, serbuk gergaji, azolla, dan
kompos). Diketahui bahwa beberapa persyaratan media tumbuh yang baik adalah (1) mampu
mengikat dan menyimpan air dan hara yang baik, (2) memiliki aerasi dan drainase yang baik,
(3) tidak menjadi sumber penyakit, (4) tahan lama, dan (5) mudah diperoleh dan murah
harganya (Purwanto, 2006).
Media yang remah akan memudahkan pertumbuhan akar dan melancarkan aliran air,
mudah mengikat air dan hara, tidak mengandung toksin atau racun, kandungan unsur haranya
tinggi, tahan lapuk dalam waktu yang cukup lama. Media aklimatisasi bibit kultur jaringan
krisan dan kentang di Indonesia saat ini adalah media arang sekam atau media campuran
arang sekam dan pupuk kandang (Marzuki, 1999).
Arang sekam merupakan salah satu media hidroponik yang baik karena
memiliki beberapa keunggulan sebagai berikut; mampu menahan air dalam waktu yang
relatif lama, termasuk media organik sehingga ramah lingkungan, lebih steril dari bakteri dan
jamur karena telah dibakar terlebih dahulu, dan hemat karena bisa digunakan hingga
beberapa kali (Sinaga, 2001).
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Alat-alat yang digunakan dalam kultur jaringan beserta fungsinya antara lain botol
kultur untuk menyimpan media, cawan petridish untuk tempat planlet yang telah di potong-
potong, wrapping plastic untuk menutup botol kultur, autoclave untuk sterilisasi basah,
hotplate untuk homogen dan pemanasan, laminar air flow untuk penanaman, dan oven untuk
sterilisasi alat-alat laboratorium seperti botol kultur, gunting, pinset, pisau dan lain-lain.
Pembuatan larutan stok bertujuan agar pembuatan media dapat dilakukan lebih praktis
dan efisien. Prinsip pembuatan larutan stok yaitu melarutkan satu persatu unsur hara secara
31
berurutan dimulai dari bobot molekul yang paling kecil ke bobot molekul yang paling besar.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah penyatuan beberapa komponen media sekaligus
dalam suatu larutan stok dan harus mempertimbangkan kecocokan dan kestabilan dari sifat
kimianya.
Pembuatan media adalah salah satu tahapan penting dari kultur jaringan dengan
prinsip dasar berupa penyediaan larutan stok yang akan digunakan untuk membuat berbagai
media perlakuan. Ada berbagai metode dalam pembuatan media, Murashige dan Skoog (MS),
Linsmaier dan Skoog (LS), Woody Plant Medium (WPM), Knop, Knudson-C, Anderson dan
lain-lain. Dalam media MS digunakan beberapa bahan yang mengandung hara makro, hara
mikro, vitamin, sukrosa dan zat pemadat.
Inokulasi subkultur planlet anggrek Dendrobium sp. yang telah dilakukan dikatakan
berhasil karena tidak terjadi kontaminasi dan planlet tumbuh dengan baik yang ditandai
dengan pertambahan jumlah daunnya. Inisiasi tanaman wortel di dalam media cair terjadi
beberapa perubahan warna pada masing-masing medium karena hasil interaksi yang sangat
kompleks antara eksplan, komposisi medium, zat pengatur tumbuh dan kondisi lingkungan
selama periode inkubasi.
4.2. Saran
Sebelum sterilisasi dilakukan, sebaiknya bahan tanaman yang akan digunakan
permukaannya digosok dengan pemotong untuk menghilangkan lapisan lilin yang melekat
pada permukaan daun agar penyerapan nutrisi berlangsung lebih mudah. Pada saat
melakukan praktikum kultur jaringan diharapkan agar lebih berhati hati dalam bekerja
supaya tidak terjadi kontaminasi pada media yang akan di tanam, dan ketika bekerja di
laminar air flow jangan terlalu banyak tindakan yang lain lain diluar kegiatan penanaman
karena hal tersebut dapat memacu terkontaminannya bahan kultur jaringan.
32
DAFTAR PUSTAKA
Aisyah, S. & Dedi S. (2011). Teknik Sterilisasi Rimpang Jahe Sebagai Bahan Perbanyakan
Tanaman. Buletin Teknik Pertanian Vol. 16.
Anonim. (2011). Pengenalan Alat Laboratorium Bioteknologi. Fakultas Pertanian.
Universitas Hasanuddin.
Azizi, A.A.A., Roostika, I. & Efendi, D. (2017). Multiplikasi Tunas In Vitro Berdasarkan
Jenis Eksplan pada Enam Genotipe Tebu (Saccharum officinarum L.). Jurnal Littri,
23(2), 90-97.
Capuana M. and P.C Debergh. (2009). Improvement of the maturation and germination of
horse chesnut somatic embryos. Plant Cell Tiss. Org.Cult. 48:23-29.
Cassells, A. C. (2016). Detection and Elimination of Microbial Endophytes and Prevention of
Contamination in Plant Tissue Culture. In R. N. Trigiano & D. J. Gray (Eds.), Plant
Tissue Culture, Development, and Biotechnology (p. 608). CRC Press.
Dworkin, J., & Shah, I. M. (2010). Exit from dormancy in microbial organisms. Nature
Reviews
Elimasni et al. (2006). Teknik Kultur Jaringan. Yogyakarta:.Yayasan Kanisius.
George E.F., Hall M.A., Jan De Clerk G. (2008). Plant propagation by tissue culture 3rd
edition.Volume 1.
George, Edwin F. Hall, Michael A. Jan De Klerk, Geert. (2007). Plant Propagation by Tissue
Culture 3rd Edition. Netherland: Springer.
Gunawan L.W. (2006). Teknik Kultur Jaringan. Bogor: Laboratorium Kultur Jaringan
Tanaman. PAU Bioteknologi IPB.
Hallmann, (2001). Manfaat Teknik Kultur Jaringan Pada Tanaman. Yogyakarta: UGM
Press.
Heriansyah, P., Sagiarti, T. & Rover. (2014). Pengaruh Pemberian Myoinositol dan Arang
Aktif pada Media Sub Kultur Jaringan Tanaman Anggrek (Dendrobium sp.). Jurnal
Agroteknologi, 5(1), 9 – 16.
Heru, Sugito. (2005). Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Istini. (2020). Pemanfaatan Plastik Polipropilen Standing Pouch Sebagai Salah Satu Kemasan
Sterilisasi Peralatan Laboratorium. Indonesian Journal of Laboratory, 2(3), 41-46.
Marlina, N dan E. Rohayati. (2009). Teknik Perbanyakan Mawar Dengan Kultur Jaringan.
Teknik Pertanian. 14(2): 65-66.
Marlin, et al. (2007). Penuntun Praktikum Kultur Jaringan. Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu, Bengkulu.
Nurrobifahmi, Anas, I., Setiadi, Y. & Ishak. (2017). Pengaruh Metode Sterilisasi Radiasi
Sinar Gamma Co-60 dan Autoklaf terhadap Bahan Pembawa, Viabilitas Spora
Gigaspora margarita dan Ketersediaan Fe, Mn, dan Zn. Jurnal Tanah dan Iklim,
41(1), 1-8.
Odut, O. I., Amusa, N. A., Okutade, O. O., & Ogunsanwo, Y. R. (2007). Determination of the
Microbiology, 8, 890-896.
Rohayati E, Marlina N. (2009). Teknik Aklimatisasi Plantlet Anyelir (Dianthus caryophyllus
L.) untuk Tanaman Induk. Bulletin Teknik Pertanian. 14(2), 72-75.
33
Santoso dan Nursandi, (2000). Tehnik Kultur Jaringan Tumbuhan. Laboratorium Kultur
Jaringan Tanaman Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Shimizu K, N.. Nagaike., T. Yobuya. and T. Edachi. (2010). Plant regeneration from
suspension culture of Iris germica. Plant Cell Tiss. Org. Cult. 50: 27-31. The
background. Springer. P: 183-197.
Silalahi, M. (2015). Bahan Ajar Kultur Jaringan. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Kristen Indonesia.
Syahid, S.F. & Hadipoentyanti, E. (2017). Informasi Teknologi Tanaman Rempah dan Obat:
Protokol Perbanyakan Benih Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) Secara In Vitro.
Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Tanaman Jahe Secara In Vitro.
Trimanto. (2014). Aklimatisasi Tumbuhan Hasil Ekplorasi Dan Perbanyakan Tanaman Unit
Seleksi Dan Pembibitan Kebun Raya Purwodadi. Surabaya: Prosiding Seminar
Nasional Jurusan Penddidikan Biologi, FKIP UNS.
Tuhuteru, S., Hehanussa, M.L. & Raharjo, S.H.T. (2012). Pertumbuhan dan Perkembangan
Anggrek Dendrobium anosmum pada Media Kultur In Vitro dengan Beberapa
Konsentrasi Air Kelapa. Jurnal Agrologia, 1(1), 1-12.
Wetter, L. R. dan F. Constabel, (2007). Metode Kultur Jaringan Tanaman. ITB, Bandung.
Yusnita. (2003). Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Tangerang:
P.T Agromedia Pustaka.
Zulkarnain. (2009.). Kultur jaringan Tanaman Solusi Perbanyak Tanaman Budi Daya. Bumi
Aksara: Jakarta.
34
LAMPIRAN
Perhitungan :
Perhitungan dan pembuatan stok nutrisi penyusun media
Diketahui :
Konsentrasi KH2PO4 dalam media MS : 170 mg/l
Volume botol stok : 250 ml
Volume pipet : 10 ml
Maka, kebutuhan KH2PO4 yang harus ditimbang adalah 4,25 gram untuk membuat
250 ml stok KH2PO4 (Stok D) dan jika akan membuat 1 liter media MS, diambil 10
ml dari larutan stok KH2PO4.
Stok A : 10 ml/L
Stok B : 10 ml/L
Stok C : 10 ml/L
Stok D : 10 ml/L
Stok E : 5 ml/L
35
Stok F1 dan F2 : 1 ml/L
2) Sukrosa : 30 gr/L
3) Agar : 4 gr/L
36