Refleksi Kasus Jiwa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

REFLEKSI KASUS JULI 2020

“GANGGUAN DEPRESI DENGAN


GEJALA PSIKOTIK”

Nama : dr. Musyarafa


Pembimbing : dr. Merry Tjandra, Mkes Sp. Kj

ILMU KEDOKTERAN JIWA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MADANI
PALU
2020

1
PENDAHULUAN

Gangguan depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood


sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresi, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif
unipolar serta bipolar. Gangguan depresi merupakan gangguan medik serius
menyangkut kerja otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam
beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu
fungsi keseharian seseorang1.

Gangguan depresi masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan


periode terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan
murung dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan, perubahan
berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah,
perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan
depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut
dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya2.

Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210


juta jiwa penduduk.( Friedman, dkk. 2014) Pada saat setelah pubertas resiko untuk
depresi meningkat 2- 4 kali lipat, dengan 20% insiden pada usia 18 tahun.
Perbandingan gender saat anak-anak 1:1, denga peningkatan resiko depresi pada
wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal
ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan
estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang
berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita3.

Skizoafektif merupakan gangguan yang memiliki ciri skizofrenia dan


gangguan afektif atau mood3. Gangguan skizoafektif adalah penyakit dengan
gejala psikotik persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi bersamasama
dengan masalah suasana atau mood disorder seperti depresi, manik, atau episode

2
campuran. Statistik umum gangguan ini yaitu kira-kira 0,2 % di amerika serikat
dari populasi umum sampai sebanyak 9 % orang dirawat di rumah sakit karena
gangguan ini. (World Health Organization. World suicide prevention day 2012)
Gangguan skizoafektif diperkirakan lebih sering terjadi daripada gangguan
bipolar. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala
definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat
yang bersamaan atau simultaneously, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah
yang lain, dalam episode penyakit yang sama, bilamana, sebagai konsekuensi dari
ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria. baik skizofrenia episode manik atau
depresi4.

Suatu gangguan psikotik dengan gejalagejala skizofrenia dan defresif yang


sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit yang sama. Gejala-gejala
afektif diantaranya yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja), dan menurunnya aktivitas4.

Pengobatan untuk dengan gangguan Skizoafektif tipe depresif merespon


baik terhadapat pengobatan dengan obat antipsikotik yang dikombinasikan dengan
obat anti depresan atau pengobatan dengan antipsikotik saja, Karena pengobatan
yang konsisten penting untuk hasil terbaik, psikoedukasi pada penderita dan
keluarga, serta menggunakan obat long acting bisa menjadi bagian penting dari
pengobatan pada gangguan skizoafektif2.

3
KASUS

1. IDENTITAS PENDERITA
 Nama : Tn A A
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Tanggal lahir : 07 Oktober 2002
 Usia : 18 tahun
 Agama : Islam
 Tanggal masuk : 12 April 2020

2. ANAMNESIS
 Keluhan Utama : Gelisah dan bicara tidak nyambung
 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan gelisa dan
bicara tidak nyambung telah dialami sejak 2 tahun SMRS, namun
memberat ±1 minggu SMRS. Pasien sering merasa sendiri di dunia ini,
dan merasa dirinya jelmaan “poenggiso” (mahluk halus yang di tuakan di
kampung halamannya), pasien juga merasa terkena corona dan merasa
takut . Sebelumnya pasien memiliki riwayat patah hati 3 tahun yang lalu,
setelah itu mulai terjadi perubahan perilaku, pasien jadi lebih sering
murung, berkurung diri di dalam kamar, tidak mau makan bahkan pernah
memiliki keinginan bunuh diri. Pasien juga ingin menyetubuhi semua
wanita di dunia ini karena merasa wanita akan menyakiti hatinya lagi.
Pasien juga mengalami sulit tidur sejak 3 hari SMRS, nafsu makan kurang,
demam (-), batuk (-), mual muntah (-), BAB dan BAK (+) seperti biasa.
 Riwayat penyakit sebelumnya: -
 Riwayat penyakit keluarga : -

4
3. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan umum : Sakit Sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Berat Badan : 44 Kg
 Tinggi Badan : 160 cm
 Status IMT : 15,6 kg/m2 (kurang)
 Tanda Vital
- Denyut nadi : 88 Kali/menit
- Suhu : 36, 4o C
- Respirasi : 20 kali/menit
- TD : 110/70 mmhg
 Kulit : ruam (-), RLT (+), CRT > 2detik
 Kepala : Normosefal, conjuntiva anemis (-/-), sclera kterik (-/-)
 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening (-)
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
 Thorax
Paru-paru
- Inspeksi : Simetris bilateral, retraksi (-)
- Palpasi : Vokal fremitus (+) kesan normal, massa (-), nyeri tekan (-)
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi: Vesikuler (+/+), Ronkhi (-/-), Wheezing (-)
Jantung
- Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V linea midclavicula sinistra
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V
linea parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V linea axilla anterior
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar, massa (-), distensi (-), cicatrix (-)

5
- Auskultasi: Peristaltik (+) kesan normal
- Perkusi : timpani di 4 kuadran abdomen
- Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan (-)
Genital : Tidak ditemukan kelainan
Anggota gerak : Ekstremitas atas dan bawah akral dingin (-), edema (-)
Punggung : Skoliosis (-), Lordosis (-), Kyphosis (-)
Otot-otot : Atrofi (-), Tonus otot baik
Refleks : Fisiologis (+), Patologis (-)

STATUS PSKIATRI

a.Keadaan umum :
Penampilan : Tampak seorang pria mengenakan pakaian kaos berwarna
merah dengan celana olahraga berwarna biru Perawatan diri
cukup
Kesadaran : Compos Mentis
Orientasi : Baik (waktu/tempat/orang baik)
Sikap dan tingkah laku : Gelisah/ kooperatif
b. Gangguan berpikir :
Bentuk pikir : Berpikir lambat dan ragu – ragu
Isi pikir : Takut mati dan merasa sendiri
Arus pikir : Rambling
c. Alam perasaan :
Mood : Hipotimia
Afek : Datar
d. Persepsi
Halusinasi : Visual (-) Audiotorik ( -)
Ilusi : (-)
e. Fungsi Intelektual :
Daya Konsentrasi : Terganggu
Orientas : Waktu/Orang/Tempat Baik
Daya Ingat : Terganggu

6
Pikiran Abstrak : Terganggu
f. Pengendalian Impuls : Terganggu
g. Daya nilai : Terganggu
h. Tilikan/insight : Tilikan satu
i. Taraf dapat dipercaya : Dapat dipercaya
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (IGD, tanggal 12 April 2020)
Darah Rutin
Red Blood Cell 4,3. 1012/L (3,60-6,50 1012/L)
Hematocrit 31 % (35,0-55,0%)
Platelet 392.109/L (150-450 109/L)
White Blood Cell 11,8.109/L (3,5-10,0 109/L)
Hemoglobin 10,4 g/dl (11,5-16,5 g/dl)

5. RESUME
6. Pasien datang diantar oleh keluarganya dengan keluhan gelisah dan
bicara tidak nyambung telah dialami sejak 2 tahun SMRS, namun
memberat ±1 minggu SMRS. Pasien sering merasa sendiri di dunia ini,
dan merasa dirinya jelmaan “poenggiso” (mahluk halus yang di tuakan
di kampung halamannya), pasien juga merasa terkena corona dan
merasa takut . Sebelumnya pasien memiliki riwayat patah hati 3 tahun
yang lalu, setelah itu mulai terjadi perubahan perilaku, pasien jadi
lebih sering murung, berkurung diri di dalam kamar, tidak mau makan
bahkan pernah memiliki keinginan bunuh diri. Pasien juga ingin
menyetubuhi semua wanita. Pasien juga mengalami sulit tidur sejak 3
hari SMRS, nafsu makan menurun (+), demam (-), batuk (-), mual
muntah (-), BAB dan BAK (+) seperti biasa. Pemeriksaan umum
dalam batas normal. Laboratorium: HB : 10,4 mg/dl, leukosit : 11,8.109/L

7. DIAGNOSIS
Gangguan Depresi berat dengan gejala psikotik

7
8. DIAGNOSIS BANDING
Skizoafektif
Bipolar
9. TERAPI
Medikamentosa:
Stelosi5 mg 2 x 1/2 tab
Clozapin 25 mg 0-0-1
Rawat ruang sawo
Non medikamentosa
Cognitive Behavioral Terapi
Family support teraphy
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien untuk teratur minum obat
Pada pasien tidak dilakukan follow up karena pasien pulang atas
permintaan sendiri.

8
PEMBAHASAN

Depresi dengan gejala psikotik

Pendahuluan

Gangguan depresif masuk dalam kategori gangguan mood, merupakan


periode terganggunya aktivitas sehari-hari, yang ditandai dengan suasana perasaan
murung dan gejala lainnya termasuk perubahan pola tidur dan makan, perubahan
berat badan, gangguan konsentrasi, anhedonia (kehilangan minat apapun), lelah,
perasaan putus asa dan tak berdaya serta pikiran bunuh diri. Jika gangguan
depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia) maka orang tersebut
dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri dari pergaulan, karena ia
kehilangan minat hampir disemua aspek kehidupannya1.

Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210


juta jiwa penduduk.( Friedman, dkk. 2014) Pada saat setelah pubertas resiko untuk
depresi meningkat 2- 4 kali lipat, dengan 20% insiden pada usia 18 tahun.
Perbandingan gender saat anak-anak 1:1, denga peningkatan resiko depresi pada
wanita setelah pubertas, sehingga perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal
ini berhubungan dengan tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan
estradiol dan testosteron saat pubertas, atau persoalan sosial budaya yang
berhubungan dengan perkembangan kedewasaan pada wanita2.

Skizoafektif merupakan gangguan yang memiliki ciri skizofrenia dan


gangguan afektif atau mood.( Mellisa CS, 2013) Gangguan skizoafektif adalah
penyakit dengan gejala psikotik persisten, seperti halusinasi atau delusi, terjadi
bersamasama dengan masalah suasana atau mood disorder seperti depresi, manik,
atau episode campuran. Statistik umum gangguan ini yaitu kira-kira 0,2 % di
amerika serikat dari populasi umum sampai sebanyak 9 % orang dirawat di rumah
sakit karena gangguan ini. (World Health Organization. World suicide prevention

9
day 2012) Gangguan skizoafektif diperkirakan lebih sering terjadi daripada
gangguan bipolar. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-
gejala definitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol
pada saat yang bersamaan atau simultaneously, atau dalam beberapa hari yang
satu sesudah yang lain, dalam episode penyakit yang sama, bilamana, sebagai
konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi kriteria. baik skizofrenia
episode manik atau depresi4.

Suatu gangguan psikotik dengan gejalagejala skizofrenia dan defresif yang


sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit yang sama. Gejala-gejala
afektif diantaranya yaitu afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah
yang nyata sesudah kerja sedikit saja), dan menurunnya aktivitas4.

Definisi

Gangguan depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood


sebagai masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresi, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif
unipolar serta bipolar. Gangguan depresi merupakan gangguan medik serius
menyangkut kerja otak, bukan sekedar perasaan murung atau sedih dalam
beberapa hari. Gangguan ini menetap selama beberapa waktu dan mengganggu
fungsi keseharian seseorang5.

Epidemiologi

Prevalensi penderita depresi di Indonesia diperkirakan 2,5 - 9 juta dari 210


juta jiwa penduduk.9 Pada saat setelah pubertas resiko untuk depresi meningkat 2-
4 kali lipat, dengan 20% insiden pada usia 18 tahun. Perbandingan gender saat
anak-anak 1:1, denga peningkatan resiko depresi pada wanita setelah pubertas,
sehingga perbandingan pria dan wanita menjadi 1:2. Hal ini berhubungan dengan
tingkat kecemasan pada wanita tinggi, perubahan estradiol dan testosteron saat
pubertas, atau persoalan sosial budaya yang berhubungan dengan perkembangan
kedewasaan pada wanita.10 Depresi sering terjadi pada wanita dengan usia 25-44

10
tahun, dan puncaknya pada masa hamil. Faktor sosial seperti stres dari masalah
keluarga dan pekerjaan. Hal ini disebabkan karena harapan hidup pada wanita
lebih tinggi, kematian pasangan mungkin juga menyebabkan angka yang tinggi
untuk wanita tua mengalami depresi6.

Etiologi

Dasar umum untuk gangguan depresi berat tidak diketahui, tetapi diduga
faktor-faktor dibawah ini berperan:6

 Faktor Biologis Data yang dilaporkan paling konsisten dengan hipotesis


bahwa gangguan depresi berat adalah berhubungan dengan disregulasi
pada amin biogenik (norepineprin dan serotonin). Penurunan serotonin
dapat mencetuskan depresi dan pada beberapa pasien yang bunuh diri
memiliki konsentrasi metabolik serotonin di dalam cairan serebrospinal
yang rendah serta konsentrasi tempat ambilan serotonin yang rendah di
trombosit. Faktor neurokimiawi lain seperti adenylate cyclase,
phospotidylinositol dan regulasi kalsium mungkin juga memiliki relevansi
penyebab. Kelainan pada neuroendokrin utama yang menarik perhatian
dalam adalah sumbu adrenal, tiroid dan hormon pertumbuhan.
Neuroendokrin yang lain yakni penurunan sekresi nokturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin karena pemberian tryptopan, penurunan
kadar dasar folikel stimulating hormon (FSH), luteinizing hormon (LH)
dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki.
 Faktor Genetika Data genetik menyatakan bahwa sanak saudara derajat
pertama dari penderita gangguan depresi berat kemungkinan 2 sampai 3
kali lebih besar daripada sanak saudara derajat pertama subyek kontrol
untuk penderita gangguan depresi berat. Penelitian terhadap anak kembar
menunjukkan angka kesesuaian pada kembar monozigotik adalah kira-kira
50 %, sedangkan pada kembar dizigotik mencapai 10 sampai 25 % terjadi
gangguan depresi berat.

11
 Faktor Psikososial Peristiwa kehidupan dan stress lingkungan, suatu
pengamatan klinis yang telah lama direplikasi bahwa peristiwa kehidupan
yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode pertama
gangguan mood daripada episode selanjutnya, hubungan tersebut telah
dilaporkan untuk pasien dengan gangguan depresi berat. Data yang paling
mendukung menyatakan bahwa peristiwa kehidupan paling berhubungan
dengan perkembangan depresi selanjutnya adalah kehilangan orang tua
sebelum usia 11 tahun. Stressor lingkungan yang paling berhubungan
dengan onset satu episode depresi adalah kehilangan pasangan. Beberapa
artikel teoritik dan dari banyak laporan, mempermasalahkan hubungan
fungsi keluarga dan onset dalam perjalanan gangguan depresi berat. Selain
itu, derajat psikopatologi didalam keluarga mungkin mempengaruhi
kecepatan pemulihan, kembalinya gejala dan penyesuaian pasca
pemulihan.4

Patofisiologi

Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter


aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter
di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter
tersebut di post sinaps sistem saraf pusat. Pada depresi telah di identifikasi 2 sub
tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua reseptor
inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon
pada semua golongan anti depresan. Pada penelitian dibuktikan bahwa terjadinya
depresi disebabkan karena menurunnya pelepasan dan transmisi serotonin
(menurunnya kemampuan neurotransmisi serotogenik). Beberapa peneliti
menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah neurotransmiter lain
yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin, asetilkolin dan
dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau
beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada
sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai

12
berikut: 1.) Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya
kemampuan neurotransmisi serotogenik. 2.) Menurunnya pelepasan atau produksi
epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas
alfa 2 adrenoreseptor presinaptik. 3.) Menurunnya aktivitas dopamin. 4.)
Meningkatnya aktivitas asetilkolin5.

Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya


neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung
oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada
pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)
dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian
obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase. Belakangan ini dikemukakan
juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan bahwa terjadinya depresi
disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik yang berlebihan
dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi
yang berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi
timbul karena dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil.
Hipotesis yang belakangan ini dibuktikan dengan pemberian anti depresan
golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake Enhancer) yang justru
mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat. Dengan demikian
maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi
menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi.
Mekanisme biokimiawi yang sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan
dan pengembangan obat-obat anti depresan6.

Diagnosis

Seperti pada DSM-III-R, DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk


gangguan depresi berat dengan gejala psikotik secara terpisah dari kriteria
diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi. Dan juga menuliskan
deskriptor keparahan untuk episode depresif berat. Adanya gejala psikotik dalam

13
gangguan depresi berat mencerminkan penyakit yang parah dan merupakan
indikator prognostik yang buruk. Faktor berikut ini telah dihubungkan dengan
prognosis yang buruk : durasi episode yang lama, disosiasi temporal antara
gangguan mood dan gejala psikotik, dan riwayat penyesuaian sosial pramorbid
yang buruk. Pasien dengan gangguan depresi berat dengan gejala psikotik hampir
selalu memerlukan obat antipsikotik disamping antidepresan atau mungkin
memerlukan terapi elektrokonvulsif (ECT) untuk mendapatkan perbaikan klinis.
Berikut kriteria diagnosis gangguan depresi berat yang disertai gejala psikotik

14
menurut DSMIV : KRITERIA DIAGNOSIS GANGGUAN DEPRESI BERAT
MENURUT DSM IV7.

Kriteria Untuk Penentu Keparahan/Psikotik/Remisi Untuk Episode Depresi Berat


Menurut Dsm IV7.

Penatalaksanaan

Bila diagnosa depresi sudah dibuat, maka perlu dinilai taraf hebatnya
gejala depresi dan besarnya kemungkinan bunuh diri. Hal ini ditanyakan dengan
bijkasana dan penderita sering merasa lega bila ia dapat mengeluarkan pikiran-
pikiran bunuh diri kepada orang yang memahami masalahnya, tetapi pada
beberapa penderita ada yang tidak memberitahukan keinginan bunuh dirinya
kepada pemeriksa karena takut di cegah. Bila sering terdapat pikiran-pikiran atau
rancangan bunuh diri, maka sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit dengan
pemberian terapi elektrokonvulsi di samping psikoterapi dan obat anti depresan.
Sebagian besar klinisi dan peneliti percaya bahwa kombinasi psikoterapi dan
farmakoterapi adalah pengobatan yang paling efektif untuk gangguan depresi

15
berat6. Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi
interpersonal dan terapi perilaku, telah diteliti tentang manfaatnya di dalam
pengobatan gangguan depresi berat. Terapi Fisik dan Terapi Perubahan Perilaku6

1. Electro Convulsive Therapy (ECT) ECT adalah terapi dengan


melewatkan arus listrik ke otak. Metode terapi semacam ini sering
digunakan pada kasus depresif berat atau mempunyai risiko bunuh diri
yang besar dan respon terapi dengan obat antidepresan kurang baik. Pada
penderita dengan risiko bunuh diri, ECT menjadi sangat penting karena
ECT akan menurunkan risiko bunuh diri dan dengan ECT lama rawat di
rumah sakit menjadi lebih pendek. Pada keadaan tertentu tidak
dianjurkan ECT, bahkan pada beberapa kondisi tindakan ECT memiliki
kontra indikasi. ECT tidak dianjurkan pada keadaan:
 Usia yang masih terlalu muda ( kurang dari 15 tahun )
 Masih sekolah atau kuliah
 Mempunyai riwayat kejang
 Psikosis kronik • Kondisi fisik kurang baik
 Wanita hamil dan menyusui,

Selain itu, ECT dikontraindikasikan pada : penderita yang menderita


epilepsi, TBC milier, tekanan intra kranial tinggidan kelainan infark
jantung. Depresi berisiko kambuh manakala penderita tidak patuh,
ketidaktahuan, pengaruh tradisi yang tidak percaya dokter, dan tidak
nyaman dengan efek samping obat. Terapi ECT dapat menjadi pilihan
yang paling efektif dan efek samping kecil. Terapi perubahan perilaku
meliputi penghapusan perilaku yang mendorong terjadinya depresi dan
pembiasaan perilaku baru yang lebih sehat. Berbagai metode dapat
dilakukan seperti CBT (Cognitive Behaviour Therapy) yang biasanya
dilakukan oleh konselor, psikolog dan psikiater.

2. Psikoterapi merupakan terapi yang digunakan untuk menghilangkan


atau mengurangi keluhan-keluhan dan mencegah kambuhnya gangguan

16
psikologik atau pola perilaku maladaptif. Terapi dilakukan dengan jalan
pembentukan hubungan profesional antar terapis dengan penderita.
Psikoterapi pada penderita gangguan depresif dapat diberikan secara
individu, kelompok, atau pasangan disesuaikan dengan gangguan
psikologik yang mendasarinya. Psikoterapi dilakukan dengan
memberikan kehangatan, empati, pengertian dan optimisme. Dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan psikoterapi sangat dipengaruhi
oleh penilaian dari dokter atau penderitanya
3. Terapi Farmakologi Saat merencanakan intervensi pengobatan, penting
untuk menekankan kepada penderita bahwa ada beberapa fase
pengobatan sesuai dengan perjalanan gangguan depresi:
 Fase akut bertujuan untuk meredakan gejala
 Fase kelanjutan untuk mencegah relaps
 Fase pemeliharaan/rumatan untuk mencegah rekuren

Prognosis

Gangguan depresi berat bukan merupakan gangguan yang ringan. Keadaan


ini cenderung merupakan gangguan yang kronis dan pasien cenderung mengalami
relaps. Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif memiliki kemungkinan 50 % untuk pulih di dalam tahun pertama.
Rekurensi episode depresi berat juga sering, kira-kira 30 sampai 50 % dalam dua
tahun pertama dan kira-kira 50 sampai 70 % dalam 5 tahun. Insidensi relaps
adalah jauh lebih rendah dari pada angka tersebut pada pasien yang meneruskan
terapi psikofarmakologis profilaksis dan pada pasien yang hanya mengalami satu
atau dua episode depresi5.

17
Daftar Pustaka

1. M Ismail, Irawati R dan Siste, Kristiana. 2013. Gangguan Depresi : Buku Ajar
Psikiatri UI.Edisi kedua. Jakarta : Badan Penerbit FKUI.
2. Kusumawardhani, AAA. (2010). Gangguan Mental Organik Lain. Buku Ajar
Psikiatri hal 106-111. FKUI.
3. Hawari D. Pendekatan Holistik pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta:
BalaiPenerbit FKUI; 2006.
4. Kaplan HI, Saddock BJ, Sinopsis Psikiatri: ed saddock BJ. Vol. 1. Edisi ke-6.
USA: William and Wilkins; 2010.
5. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya; 2015.
6. Kaplan, Harorld I, Benjamin J, Sadock, Jack AG. Gangguan Delusional.
Jakarta: Binapura Aksara; 2010.
7. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Obat Psikotropika. Edisi ke-2. Jakarta;
2015.
8. World Health Organization. World suicide prevention day 2012. World Health
Organization [internet]. 2012. [disitasi pada 1 juli 2020]. Tersedia
dari:http://www.who.int/mediacentre/events/annual/

18

Anda mungkin juga menyukai