Penatalaksanaan Fisioterapi Rekonstruksi Aclknee Dextrahamstring Graft
Penatalaksanaan Fisioterapi Rekonstruksi Aclknee Dextrahamstring Graft
Penatalaksanaan Fisioterapi Rekonstruksi Aclknee Dextrahamstring Graft
GRAFT
Agatha Dilla Maralisa*, Syahmirza Indra Lesmana
Abstrak
Latar Belakang: Rekonstruksi ACL adalah operasi penggantian ligamen anterior cruciate dengan cangkok
jaringan untuk mengembalikan fungsi seperti sebelumnya. kondisi pasca rekonstruksi, penatalaksanaan
rehabilistasi dilakukan guna mencegah komplikasi seperti bengkak, deficit ruang lingkup gerak, kelemahan
otot, penurunan keseimbangan serta pengembalian kemampuan fungsional lutut. Pada fase pemulian
ditemukan adanya kompensasi pada jaringan di sekitar lutut sehingga menyebabkan adanya masalah baru,
seperti adanya kondisi jumpers knee. Hal ini banyak ditemukan seiring berjalannya fase pemulihan pasca
rekonstruksi ACL hamstring graft. Case Presentation: Pasien memiliki riwayat cedera saat bermain sepak
bola pada februari 2019. Satu bulan kemudian dibawa ke RS Fatmawati dilakukan MRI dengan hasil
kerobekan ACL. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 2019 dilakukan rekonstruksi ACL dengan graft hamstring
di RS Fatmawati. Pasien 1 bulan kemudian melakukan fisioterapi di Klinik Esa Unggul dan telah menjalani
terapi selama 3 bulan dan telah memasuki rehabilitasi fase 2. Pasien datang dengan keluhan masih ada sedikit
nyeri dibagian bawah lutut serta kemampuan untuk olahraga masih belum ada. Modalitas Ultrasound
diaplikasikan pada kondisi jumpers knee guna mengurangi adanya penebalan pada tendon dan meregenerasi
jaringan. Terapi latihan yang bertujuan untuk mengulur tendon patella dengan latihan eksentric quadriceps.
Tujuan: penulisan laporan studi kasus ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan proses fisioterapi pada
gangguan gerak dan fungsi lutut pasca rekonstruksi ACL hamstring graft. Hasil: Pasien memiliki tingkat hasil
evaluasi keseluruhan fase 2 yang baik, namun masih memiliki kekuarangan pada kemapuan struktural yang
masih kurang yaitu keseimbangan dinamis kekuatan 1 RM tungkai bawah. Adanya peningkatan nilai evaluasi
subjektif IKDC (International Knee Documentation Comitee) pre 50% dan post 57% yang artinya kemampuan
aktivitas sehari-hari lebih tinggi namun rendah pada kemampuan berolahraga. Kesimpulan: Pemberian
modalitas ultrasound dan latihan eccentric quadriceps efektif dalam mengurangi dan mengulur nyeri tendon
patella pada kondisi pasca rekonstruksi ACL
KATA KUNCI : Rekonstruksi ACL; Hamstring Graft; International Knee Documentation Comitee
Pendahuluan
Cedera olahraga adalah cedera pada sistem integumen, otot dan rangka yang
disebabkan oleh kegiatan olahraga. Cedera ini dikelompokan menjadi dua yaitu cedera akut dan
overuse (pemakaian berlebih) (Setiawan, 2011). Suatu studi epidemiologi menyatakan bahwa
orang dewasa terutama pria lebih sering mengalami cedera dimana prevalensi terbesar terdapat
pada cabang olahraga lari, basket, sepak bola dan latihan beban (Bueno et al, 2018). Cedera
olahraga disebabkan oleh berbagai faktor antara lain kesalahan metode latihan, kelainan
struktural maupun kelemahan fisiologis fungsi jaringan penyokong dan otot.
Cedera terkait olahraga 60% terjadi pada tungkai bawah. Salah satunya adalah
kerobekan ligamen terutama pada lutut dengan tingkat kejadian sebesar 16% (Lambers et al,
2019). Salah satu ligamen pada lutut yang sering mengalami cedera adalah ligamen anterior
cruciatem (ACL). Cedera ACL sering terjadi pada kegiatan olahraga yang pada dasarnya terdapat
gerakan jongkok, memutar, menghentikan gerakan, dan melompat (Wiratna, 2015). Tingkat
kejadian cedera ACL terjadi pada 38 – 78 orang dari 100.000 orang/tahun (Gans et al, 2018).
Cedera pada ligamen ini dapat terjadi secara kontak atau non-kontak, studi oleh Montavo et al
Identifikasi Masalah
Identifikasi permasalahan dalam laporan studi kasus ini meliputi gangguan yang
disebabkan oleh kondisi post rekonstruksi ACL hamstring graft seperti gangguan gerak dan
fungsi lutut serta perubahan morfologi yang juga terjadi terkait kondisi seperti nyeri, bengkak,
kelemahan otot, penurunan keseimbangan statis dan dinamis, penurunan daya tahan serta
fleksibilitas otot. Selain itu identifikasi permasalahan lainnya juga meliputi bentuk-bentuk
penatalaksanaan proses fisioterapi terkait kondisi pasien dengan pasca rekonstruksi ACL
hamstring graft di Klinik Fisioterapi Esa Unggul.
Epidemiologi
Robeknya ligament ACL adalah salah satu cedera lutut yang paling umum terjadi. Cedera
lutut hampir mendekati 60% cedera olahraga pada tingkat sekolah menengah. Ruptur ACL
sendiri dihitung lebih dari 50% pada kejadian cedera lutut. Cedera ini mengganggu sejumlah
olahragawan, dimana gangguannya sebesar 80% dari semua cedara olahraga (Sayampanathan
et al., 2017). Selanjutnya pada proses perbaikan, rekonsonstruksi ACL menjadi pilihan utama.
Rekonstruksi ACL adalah prosedur keenam yang paling umum dilakukan pada ortopedi. Menurut
Paschos &Howell (2016: 398), diperkirakan bahwa sekitar 200.000 rekonstruksi ACL dilakukan
Stuktur sendi lutut sangat kompleks dengan berbagai macam jaringan di sekitarnya.
Sendi lutut adalah merupakan salah satu sendi besar yang menahan axial loading cukup berat
(Flandry & Hommel 2011). Sendi lutut merupakan sendi sinovial hinge type dengan pergerakan
fleksi, ekstensi, dikombinasikan dengan pergeseran dan berputar atau rotasi (Ángel et al. 2012).
Sebagai sendi sinovial, sendi lutut memiliki suatu membran sinovium dengan cairan sinovial
sebagai suatu lubrikan yang mengurangi friksi beban kerja dari sendi.
Ligamen memegang peranan dalam mempertahankan stabilitas sendi lutut. Terdapat
limaligamen ekstrakapsular yang memperkuat kapsul sendi yaitu: ligamen patella, ligamen
kolateral fibula, ligamen kolateraltibialis, ligamen poplitea oblique, dan ligamen poplitea
arkuata. Selain itu terdapat dua ligamen intraartikular dalam sendi lutut yaitu ligamen cruciatum
(Claes et al., 2013). Ligamen crutiatum memiliki peran krusial terhadap stabilitas anteroposterior
sedangkan ligamen kolateral berperan terhadap stabilitas valgus/varus. Setiap ligamen crutiate
memiliki dua buah bundel. Ligamen crutiate anterior (ACL) memiliki bundle anteromedial dan
posterolateral, sedangkan ligament cruciatumposterior (PCL) memiliki bundel anterolateral dan
posteromedial. Ligamen cruciatum menghubungkan femur dan tibia, meyilang di dalam kapsul
sendi tapi berada diluar celah artikular. Ligamen cruciatum melintang satu sama lain secara
oblique seperti huruf X. Selama rotasi medial dari tibia pada femur, ligamen cruciatum berputar
satu sama lain sehingga jumlah rotasi medial terbatas sekitar 10°. Karena terlepas satu sama lain
selama rotasi lateral, hampir 60° rotasi lateral yang mungkin ketika lutut fleksi > 90°. Titik
persimpangan dari ligamen cruciatum berfungsi sebagai poros gerakan berputar di sendi lutut,
ketika sendi lutut fleksi pada sudut yang benar, tibia tidak dapat ditarik anterior karena dipegang
oleh ACL. Saat fleksi lutut dengan loading, PCL adalah faktor utama untuk menstabilkan tulang
femur (Helito et al, 2013).
Anterior Cruciate Ligament (ACL) membentang secara miringdari aspek posterior dan
lateral tulang femur, berorigin pada aspek medial dari condylus lateral femur dan berinsersi pada
area intercondylar tibia di sebelah belakang dari meniscus medial. Ligamen ini memiliki panjang
kira kira 31 hingga 38 mm. Ligamen ACL terdiri dari dua berkas yang terpisah, yaitu berkas
anteromedial (AM) dan berkas posterolateral (PL), dinamakan berdasarkan letak insersi
relatifnya pada tibia. Pada saat lutut dalam posisi ekstensi maksimal, kedua berkas ligamen
berjajar paralel dan pada saat lutut dalam posisi fleksi, kedua berkas ligament saling menyilang.
Berkas PL mencapai ketegangan maksimal saat posisi lutut ekstensi sementara berkas AM
mencapai ketegangan maksimal saat posisi lutut fleksi 60° (Hewison, 2015).
Deskripsi Kasus
Cedera ACL
ACL dipertimbangkan sebagai stabilisator utama sendi lutut, karena berkontribusi
terhadap 85% stabilitas lutut, memungkinkan gerakan fleksi dan rotasi lutut yang halus. Dan
sebagai konsekuensinya, ACL menjadi ligamen pada lutut yang paling sering mengalami cedera
dan menjadi fokus studi dalam beberapa dekade terakhir (Abulhasan & Grey, 2017). ACL
berperan untuk mencegah terjadinya translasi anterior tibia terhadap femur. Selain itu juga
berperan penting dalam mencegah rotasi internal tibia yang berlebihan (Hewison, 2015).
Mekanisme Cedera
Hampir seluruh cedera ligamen lutut terjadi saat lutut sedang dalam posisi fleksi,
dimana kapsul sendi dan ligamen dalam keadaan rileks dan femur dapat dengan bebas berotasi
pada tibia. Dorongan dari femur dapat mengakibatkan tibia terdesak dan menghasilkan tekanan
yang dapat menyebabkan cidera pada ligamen pada sendi lutut. Salah satu contoh dari
Indonesian Journal of Physiotherapy Research and Education 6
IJoPRE Vol. 1 No. 1 (December 2020)
mekanisme tersebut adalah saat seorang pemain sepakbola melakukan tackle dimana terdapat
kombinasi desakan femur dan rotasi femur pada tibia. Cedera ligamen cruciatum dapat terjadi
tersendiri maupun bersamaan dengan cedera pada bagian yang lain. Anterior Cruciate Ligament
(ACL) adalah yang lebih sering terkena cedera (Solomon, 2010).
Klasifikasi Cedera
Cedera ligamen dapat diklasifikasikan menjadi 3 grade. Grade 1 yaitu ligamen telah
sedikit teregang namun masih bisa menjagakestabilan sendi. Sedikit serabut yang putus disertai
nyeri ringan dan bengkak tetapi tidak ada perpanjangan kerusakan pada ligamen. Grade 2 yaitu
titik dimana regangan ligamen semakin lebar dan sudah terjadi robekan parsial ligamen.
Ligamen biasanya akan sembuh tanpa operasi. Dapat berfungsi terbatas dengan sedikit
ketidakstabilan. Grade 3: yaitu sudah terjadi robekan komplit ligamen. Ligamen telah terpisah
menjadi dua bagian dan sendi lutut menjadi tidak stabil dan seringkali sangat sulit untuk
menyangga meskipun menggunakan tongkat, operasi sering diperlukan untuk perbaikan
(Fischer, 2014).
Manifestasi Klinis
Pasien dengan cedera ligamen lutut terkadang akan mendengar bunyi popping saat
lututnya terhentak. Lutut membengkak dan terasa sakit terutama jika melakukan banyak
gerakan. Manifestasi klinis dapat bervariasi bergantung robeknya ligamen secara komplit atau
hanya sebagian. Robekan komplit kadang tidak memberikan rasa nyeri sama sekali sementara
pada robekan sebagian akan memberikan rasa nyeri yang luar biasa. Pembengkakan juga akan
memburuk pada robekan sebagian karena pendarahan tertahan didalam kapsul sendi
sementara pada robekan komplit, pendarahan dapat berdifusi melalui celah pada robekan
kapsul sendi (Solomon, 2010).
Rekonstruksi ACL
Rekonstruksi ACL adalah operasi penggantian ligamen anterior cruciate dengan cangkok
jaringan untuk mengembalikan fungsi seperti sebelumnya. Operasi ini biasa dilakukan dengan
bantuan arthroscopy (Canale, 2007). Arthroscopy merupakan alat yang digunakan untuk
memeriksa bagian dalam suatu sendi untuk melakukan prosedur diagnosis atau terapetik di
dalam sendi tersebut.
Rekonstruksi ACL menggunakan cangkok atau autograft tendon hamstring melibatkan
ahli bedah menggunakan satu atau dua tendon hamstring pada sisi medial (sisi paling dekat
dengan garis tengah) lutut. Rekonstruksi ini juga merupakan pilihan graft ACL yang populer.
Tindakan ini menjadi pilihan paling umum untuk rekonstruksi cedera pada anak-anak yang
memiliki tulang muda karena untuk meminimalkan risiko perlambatan pertumbuhan pasca
rekonstuksi. Kemungkinan dan kekhawatiran dengan autografts hamstring adalah
ketidaknyamanan di belakang lutut atau paha dan merasa kelemahan pada fleksi lutut yang
dialami beberapa pasien pasca rekonstruksi. Keuntungan dari pemilihan graft hamstring adalah
lebih besarnya cross-sectional area dan menjaga integritas mekanisme ekstensor. Selanjutnya
kekuatan tegangan dari hamstring graft mendekati tiga kali lebih besar dibandingkan ACL
normal. Tingkat kembali dari level pre-operasi ke aktivitas olahraga adalah 69%. Tingkat
komplikasi (hilangnya ekstensi, nyeri lutut anterior dan infeksi) lebih rendah dibandingkan
dengan graft pattelar. Kekurangan dari hamstring graft meliputi waktu kesembuhan dan
integrasi graft dengan tulang yang lebih lama. Selain itu, kurangnya hamstring dalam proteksi
dan stabilisasi selama gerakan tertentu, kondisi ini menjadi faktor predisposisi rupturnya graft
ACL. Pasien dengan graft hamstring memiliki gaya tekut yang lebih rendah dengan pasien yang
menggunakan graft patellar (Cerulli et al., 2013).
Rehabilitasi pasca-operasi dimulai sehari setelah operasi. Empat fase rehabilitasi pasca
operasi Program ini akan memiliki efek langsung pada fungsi pasien dan kembali ke olahraga.
Oleh karena itu, untuk dapat mencapai target- target diperlukan intervensi berupa modalitas
dan exercise. Terdapat 4 fase dalam rehabilitasi pasca rekonstruksi ACL yang meliputi 4 fase.
Fase I, dimulai setalah rekonstruksi hari pertama dan sampai dengan 4 minggu setelah
rekonstruksi. Tujuan dari fase awal ini adalah untuk proteksi proses penyembuhan fiksasi graft,
mengembalikan fungsi quadriceps dan kontrol otot tungkai bawah. Fase II, setelah kriteria fase
pertama telah tercapai (4 minggu setelah operasi). Tujuan fase ini adalah normalisasi gait,
mencegah penekanan berlebih pada sisi yang difiksasi, close-chain kontrol tungkai bawah. Fase
III, biasanya dimulai 11-12 minggu setlah rekonstruksi. Dimana tujuan dari fase ini meliputi
normal gait ketika berlari tanpa ada kompensasi, kontrol mendarat 2 kaki. Fase IV, dimulai
biasanya pada minggu ke 16-20 setalah rekonstruksi. Fase ini berujuan untuk menormalkan
tingkat atas aktivitas multi planar serta kontrok double leg landing.
Meskipun rekonstruksi ACL kini semakin canggih dengan hanya terdapat sedikit sayatan
pada lutut, namun pasca rekonstruksi ACL biasanya akan menimbulkan permasalahan seperti
kekakuan pasca operasi (ROM menurun), nyeri pasca operasi, bengkak, penurunan kekuatan
otot bahkan dapat terjadi hypotrophy otot. Akibat dari permasalahan pasca rekonstruksi
tersebut serta penyembuhan cangkok jaringan pasca rekonstruksi ACL, rehabilitasi pasca operasi
(rekonstruksi) memerlukan jangka waktu yang cukup panjang. Untuk dapat kembali ke aktivitas
normalseperti atlet, biasanya akan dibutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Wilk et al., 2012).
Patofisiologi
Pada pasca rekonstruksi ACL, arthrofibrosis mewakili suatu gangguan yang meliputi
seluruh kompartemen dari sendi lutut dan jaringan lunak ekstra articular baik secara lokal dan
menyeluruh. Delay surgery akan memberikan waktu untuk jaringan lunak sembuh, kembali ke
kekuatan normalnya, dan kembali ke range gerak normalnya. Pasien yang menjalani
rekonstruksi ACL dalam 1 minggu menunjukkan peningkatan secara signifikan kejadian
arthrofibrosis dibandingkan yang ditunda 3 minggu. Patofisiologi terjadinya arthrofibrosis
dipercaya dipengaruhi oleh transforming growth factor-β (TGF-β).
Adanya cedera menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi yang akan menginisiasi
produksi reactive oxygen species (ROS). Produksi dari ROS akan menyebabkan pelepasan dari sel
mast dan proliferasi Fibroblast Growth Factor (FGF). TGF-β dan growth factor dari platelet
lainnya akan menginisiasi kaskade yang menghasilkan protein matriks ekstraseluler dan
protease inhibitor, serta inhibisi produksi enzim proteolitik. Autoregulasi dari TGF-β
menghasilkan mekanisme umpan balik. Overekspresi dari TGF-β akan menyebabkan deposisi
matriks dan fibrosis jaringan sehingga menyebabkan fibrosis. Respon inflamasi yang berlebihan
berkontribusi pada arthrofibrosis yang menyebabkan aktivasi dan proliferasi sel fibroblast yang
akan memproduksi peningkatan level kolagen tipe VI dan protein matriks ekstrasel (Haklar et
al., 2015).
Kemungkinan arthrofibrosis dapat dicegah dengan menghindari rekonstruksi pada
minggu pertama cedera, dan memulai protokol rehabilitasi pre-operatif yang tepat.
Rekonstruksi dini dari ACL juga mempengaruhi recovery dari otot kuadrisep. Setelah evaluasi
selama 6 bulan, pada pasien dengan delay rekonstruksi ACL memiliki kekuatan otot 80%
dibandingkan dengan early rekonstruksi yaitu 47% (Paschos and Howell, 2016).
Timbulnya oedem pada post arthroskopi Rekonstruksi ACL disebabkan oleh luka
sayatan waktu operasi yang mengakibatkan terpotongnya pembuluh darah yang selanjutnya
menyebabkan kerusakan pada dinding kapiler, plasma darah merembes keluar dan tertimbun
dalam jaringan. Oleh karena itu, tekanan osmotik antar darah dan cairan jaringan diubah
Indonesian Journal of Physiotherapy Research and Education 8
IJoPRE Vol. 1 No. 1 (December 2020)
sehingga cairan meninggalkan pembuluh dan memasuki ruangan jaringan. Lebih jauh hal ini
didukung oleh peningkatan tekanan hidrostatic capillary yang disebabkan oleh dilatasi
arteriole. Cairan NaCL yang disemprotkan ke dalam sendi Karena terjadi kerusakan jaringan,
maka absorbsi menjadi buruk. Cairan NaCL tidak sepenuhnya tersedot tetapi masih ada yang
tertinggal di dalam sendi sehingga meningkatkan jumlah cairan yang ada dalam sendi.
Luka akibat cedera ligamen itu sendiri. Setelah injury, terjadi perdarahan akibat
robeknya pembuluh darah kapiler dan akan menginfiltrasi ruang (space) antar jaringan dan
membeku. Selama proses inflamasi akan terasa nyeri karena adanya tekanan eksudate yang
diberikan kepada ujungujung syaraf panca indera (sensory nerve endings), mediator kimiawi
yang menyebabkan vasodilatasi, timbulnya efek dari substansisubstansi lain yang
menimbulkan rasa nyeri, zat kimiawi yang dilepaskan karena cedera sel.
Diagnosis
Diagnosis berupa gold standard bagi individu yang mengalami cedera ACL dapat
diketahui dengan pemeriksaan penunjang berupa Magnetic Resonance Imaging (MRI). Zein
(2013), pemeriksaan penunjang Magnetic Resonance Imaging (MRI) bisa memberikan
gambaran yang jelas untuk mengetahui cedera jaringan lunak (ligamen, tendon, dan bantal
sendi). MRI memiliki sensitivitas sebesar 95% dan spesitivitas sebesar 88% dalam penegakan
diagnosis robekan ACL.
Prognosis
Pasien yang dilakukan operasi rekonstruksi memiliki tangka kesembuhan jangka
panjang yang baik mencapai 82-95%. Namun, pasien dengan ruptur ACL meskipun telah
melalui operasi rekonstruksi yang sukses memiliki resiko terkena osteoarthritis (Gammons,
2014).
Instrumen Pengukuran
Instrumen pengukuran yang digunakan untuk mendeteksi peningkatan atau
penurunan gejala, fungsi dan aktivitas olahraga yang disebabkan oleh gangguan lutut dapat
digunakan outcome measure yaitu IKDC (International Knee Documentation Comitee).
Instrumen ukur ini biasa digunakan oleh pasien dengan kondisi yang bervariasi meliputi cedera
ligament, cedera meniscus, lesi kartilago articular dan nyeri patelofemorral.
Domain dari alat ukur ini terdiri dari tiga domain yaitu gejalan (nyeri, kaku, bengkak,
mengunci, giving way), olahraga dan aktivitas sehari-hari, fungsi lutut dan fungsi utama lutut.
Jumlah item alat ukur sebanyak 18 item dimana 7 item untuk gejala, 1 item untuk partisipasi
olahraga, 9 item untuk aktivitas sehari-hari dan satu item untuk fungsi terkini lutut. Skor
interpretasi dalam rentang 0 – 100, dimana skor 100 berarti tidak adanya limitasi. Studi oleh
Collins et al. (2015) menyatakan IKDC sebagai alat ukur yang konsisten sehingga valid dan
reliable untuk mengukur kodisi gangguan lutut dengan nilai deteksi perubahan minimal
sebesar 8,8 dan 15,6.
Presentasi Kasus
Informasi Pasien
Seorang pasien berusia 30 tahun dengan nama Tn. K yang bekerja sebagai karyawan
swasta di sebuah perusahaan memiliki hobi bermain sepak bola memiliki riwayat cedera saat
bermain sepak bola pada februari 2019. Satu bulan kemudian dibawa ke RS Fatmawati
dilakukan MRI dengan hasil kerobekan ACL. Kemudian pada tanggal 10 Oktober 2019 dilakukan
rekonstruksi ACL dengan graft hamstring di RS Fatmawati. Pasien 1 bulan kemudian melakukan
fisioterapi di Klinik Esa Unggul dan telah menjalani terapi selama 3 bulan dan telah memasuki
rehabilitasi fase 2.
Pasien datang ke klinik Esa Unggul (15/1/2020) dengan keluhan masih ada sedikit nyeri
dibagian bawah lutut saat melakukan aktivitas naik turun tangga, pasien mengeluhkan kakinya
masih sering terasa lemas dan cepat lelah. Kemampuan untuk olahraga masih belum ada.
Tabel 1. Q-angle
Sinistra 150
Dextra 100
6. Panjang Tungkai
Tabel 2. Panjang Tungkai
7. ROM
Tabel 3. ROM
AROM PROM
8. Lingkar Otot
Sinistra Dextra
40,1
Mid Pattela (MP) 40,5 cm
cm
20 cm di atas MP 57 cm 55,7 cm
9. Kekuatan Otot
Tes Keterangan
Lachman test -
ADT -
PDT -
Data Penunjang
Diagnosa Fisioterapi
Diagnosa fisioterapi pada laporan kasus ini adalah: gangguan gerak dan fungsi pada lutut
kanan karena adanya nyeri local tendon pattela, muscle tightness dan muscle imbalance otot
hamstring, quadriceps dan ITB, penurunan fleksibilitas, daya tahan serta keseimbangan dinamis
(propioseptif sendi lutut kanan) akibat post reconstruction ACL hamstring graft disertai jumpers
knee.
Perencanaan Tindakan
Perencanaan fisioterapi pada kasus ini dapat berupa tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka panjang yang meliputi:
- Jangka Pendek: Mengurangi nyeri tendon patelofemoral, me-release thigthness pada otot
sekitar lutut, peningkatan fleksibilitas otot, penguatan otot serta daya tahan dan
keseimbangan dinamis.
- Jangka Panjang: Mengembalikan kemampuan fungsional melompat, kecepatan dan
kelincahan.
Intervensi Fisioterapi
1. Ultrasound (US)
a. Tujuan
Remodeling jaringan parut sekitar sendi, meningkatkan metabolism selular.
b. Dosis
Waktu : 5 menit
Intensitas : 1.0 mA
Frekuansi : 3 MHz
2. Release ITB
a. Tujuan
Release thigtness pada otot ITB.
b. Dosis
Waktu : 10-15 menit
Teknik : massages stroking.
3. Isometric Contraction Exercises
a. Tujuan
Meningkatkan kekuatan statis, membentuk kontrol otot berkelanjutan (daya tahan),
1. Quadriceps setting
Dosis: 3set, 10reps, hold 10s
2. Hamstring setting
Dosis: 3set,10reps, hold 10s
3. Gluts Setting
Dosis: 2 set, 10reps, hold 10s
4. Squat slumboard (eccentric Quadriceps exercise)
10 cm di 46,5 cm
47 cm 46 cm 47 cm
atas MP
Lingkar 20 cm di
57 cm 55,7 cm 57 cm 56 cm
Otot atas MP
9 cm di
bawah 39,8 39 cm 39,8 39,3 cm
Tub Tibia
TL 94 cm 93 cm 94 cm 93 cm
Panjang 90,5 cm
AP 89,5 cm 90,5 cm 89,5 cm
Tungkai
BL 102 cm 103,5 cm 102 cm 103,5 cm
98 mmhg
Kekuatan Fleksor 105 mmhg 90 mmhg 105 mmhg
Otot Ekstensor 110 mmhg 100 mmhg 110 mmhg 105 mmhg
b. Evaluasi Fase 2
Evaluasi fase 2 dilakukan pada tanggal 20 Februari 2020.
Baik: Baik
Tes Alignment
- Menjaga keseimbangan
Fungsional
- Gerakan halus
Home programme yang diberikan pada pasien berupa bentuk latihan active ROM
dengan pasien diminta untuk posisi berlutut dan arahkan pantat ke tumit tangan disilangkan di
bahu dan tahan selama 15 detik 5 repetisi sebanyak 3 set. Latihan selanjutnya berupa latihan
nordic hamstring sebanyak 5 kali 2 set. Untuk membantu meningkatkan komponen stabilisasi
dinamis pasien melakukan latihan core stability di rumah. Front plank 45 detik 2 set, side plank
30 detik 2 set, bridging 45 detik 2 set. Selain itu pasien juga di edukasi untuk melakukan
stretching atau perengangan setelah melakukan aktivitas berat serta ditambah dengan
pemakaian kompres es selama 15 menit.
Pembahasan
Berdasarkan hasil pengukuran dan evaluasi di atas menunjukkan adanya nilai selisih
antara tungkai kanan dan kiri. Pada pengukuran AROM Fleksi dextra di awal dan akhir
pengukuran menunjukan peningkatan sebanyak 50, sehingga kedua kaki kemampuannya sudah
mampu mencapai 1450. Sedangkan pada PROM fleksi tidak menunjukkan adanya perubahan
namun masih terdapat kaku sedikit di awal awal gerakan. Pada PROM ekstensi dextra diawal
dan akhir pengukuran menunjukkan 00. Pada AROM ekstensi dektra tidak menunjukkan adanya
perubahan.
Terdapat perbedaan antara sudut Quadriceps antara tungkai kanan dan kiri, hal ini
menunjukkan karena adanya athropy pada tungkai kanan sehingga sudut quadriceps tungkai
kanan lebih kecil dengan nilai 100. Panjang tungkai antara kanan dan kiri terdapat perbedaan
namun masih dalam batas normal dengan selisih rata-rata 1,3 cm. Kemampuan otot fleksor dan
ektensor pada tungkai kanan menunjukkan adanya peningkatan sebesar 8mmHg pada grup otot
fleksor dan sebesar 5mmHg pada grup otot ekstensor.
Pengukuran nyeri (VAS) yang dirasakan pada tendon patella di awal dan akhir pengukuran
mengalami penurunan dari nilai 7/10 menjadi 4/10. Instrumen pengukuran IKDC (International
Knee Documentation Comitee) untuk mendeteksi peningkatan atau penurunan gejala, fungsi dan
aktivitas olahraga menunjukan adanya peningkatan dari 50% menjadi 57%. Pasien memiliki nilai
evaluasi subjektif IKDC yang tinggi pada kemampuan aktivitas sehari-hari namun rendah pada
kemampuan berolahraga. Tingginya nilai evaluasi fase 2 hanya menggambarkan kemampuan
secara struktural pasien tapi tidak pada kemampuan fungsional dalam berolahraga.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil laporan studi kasus yang telah dijelaskan dalam pembahasan
sebelumnya dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu pasien memiliki tingkat hasil evaluasi
keseluruhan fase 2 yang baik, namun masih memiliki kekuarangan pada kemapuan struktural yang
masih kurang yaitu keseimbangan dinamis dan kekuatan 1RM tungkai bawah. Pemberian
modalitas ultrasound dan latihan eccentric quadriceps efektif dalam mengurangi dan mengulur
nyeri tendon patella pada kondisi pasca rekonstruksi ACL.
Keterbatasan Penulisan
Saran
Berdasarkan hasil laporan studi kasus yang telah dijelaskan sebelumnya maka penulis
memberikan beberapa saran:
1. Penatalaksanaan fisioterapi pada laporan ini, sesuai dengan hasil laporan evaluasi maka
intervensi latihan lebih di fokuskan pada kebutuhan struktural berupa keseimbangan dinamis
dan kekuatan otot paha serta tungkai bawah serta latihan fungsional.
2. Pemberian intervensi untuk meningkatkan keseimbangan dapat dilakukan dengan
memberikan latihan core stability.
3. Pemberian variasi latihan dapat digunakan guna untuk melatih otot dan adaptasi latihan yang
lebih baik
Daftar Pustaka
Bahr, R. and L. Holme (2003). Risk factors for sports injuries a methodological approach.
Britishjournalofsportsmedicine37(5):384.
Bueno, AM et al., (2018). Injury Prevalence Across Sports Descriptive Analysis on a
Representative Sample of the Danish Population. Int J Epidemiology, 5:6.
Canale, S (2007). Campbell’s Operative Orthopaedics. Elsevier.
Cerulli, Guillano, Giacomo Placella, Francesco Manfreda (2013). ACL Reconstruction: Choosing
the Graft. Joint 1(1) 18-24.
Chan C X, Wong K L, Krishna L (2018). Epidemiology of Patients with Anterior Cuciate Ligament
Injuries undergoing reconstruction surgery in a multi-ethnic Asian population. Research
in Sport Med, 1-3.
Collins, NJ et al., (2015). Measure of Knee Function.Arthritis Care Res (HONOKEN). 63(0-11):
S208-S288.
Flandry, F. G, Hommel (2011). Normal Biomechanics of the Knee.Sport Med and Arthroscopy
Review. 19(2)82-92.
Gans, Itai. Julia S Rtzky, Miho J Tanaka (2018). Epidemiology of Recurrent Anterior Cruciate
Ligament Injuries in National Colligiate Athletic Asscociation Sports: The Injury
Surveillance Program, 2004 – 2014. Orth Journal of Sports Medicine.
Gammon, M (2014). Anterior Cruciate Ligament Injury. Medscape.
Helito CP et al., (2013). Anatomy d Histology of the Knee Anterolateral Ligament.Orth J of Sport
Med.
Hewison CE et a.l (2015). Lateral Extra-articular Tenodesis Reduces Rotational Laxity when
Combined with Anterior Cruciate Ligament Reconstructions: A Systematic Review of the
Literature. Arthroscopy, 31(10):2035.
Huang W et al., (2106). Clinical Examination of Anterior Cruciate Ligament Rupture: a systematic
Review and Meta-analysis. Acta Ortho Traumatology.
Lambers, Kai. Daan Ootes; David Ring (2012). Incidence of Patients with Lower Extremity Injuries
Presenting to US Emergency Departments by Anatomic Region, Disease Category and
Age. Clinincal Orthopaedic and Related Research 470 (1): 284 – 290.
Montalvo, AM. Scheineider; Webster KE (2019). Anterior Cruciate Ligament Injury Risk in Sport:
a Systematic Review and Meta Analysis of Injury Incidence by Sex and Sport Clasification.
J Ath Train, 54(5):472 – 482.