MAKALAH ULUMUL HADIST Tentang Hadist Marfu, Muwquf, Maqthu
MAKALAH ULUMUL HADIST Tentang Hadist Marfu, Muwquf, Maqthu
MAKALAH ULUMUL HADIST Tentang Hadist Marfu, Muwquf, Maqthu
PEMBAGIAN HADIST II
Hadist Marfu’ , Hadist Muwquf , Hadist Maqthu
Dosen pembimbing :
Baiti Rahmah
Khusnul Khatimah
2021 M / 1442 H
KATA PENGANTAR
Puji syukur tak lupa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT , atas segala karuni dan
rahmat Nya serta hidayah sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah yang membahas tentang
PEMBAGIAN HADIST II pada mata kuliah ULUMUL HADIST.
Penyusunan makalah yang membahas tentang pembagian hadist II yang terdiri dari hadist
marfu’, hadist muwquf , dan hadist maqthu.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahu lebih banyak tentang
pembagian hadist II , yang akan dibahas terdiri dari hadist marfu’, hadist muwquf, hadist
maqthu.
Jika dalam penulisan makalah ini banyak kekurangan dan terdapat berbagai kesalahan
dalam pembuatan makalah ini ,kami memohon maaf yang sebesar- besar nya. Oleh karena sangat
kami harapkan kritik dan saran.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Muhammad Zaim, M.Pd.I selaku dosen
pembimbing. Yang telah membimbing dalam proses pembuatan makalah ini.
Tim penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul.....................................................................................................................
Kata Pengantar....................................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................
A. Kesimpulan..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist di lihat dari sumber berita, dari siapa berita itu di muculkan pertama kali terdapat
4 macam, yaitu qudsi, marfu’, mawquf, dan maqthu. Secara umum dapat di katakan jika sumber
berita itu berasal dari Allah swt di namakan hadist Qudsi, jika sumber berita datangnya dari Nabi
di sebut hadist Marfu’ , jika datangnya sumber berit itu dari sahabat di sebut hadist mawquf, dan
jika datagnya dari tabi’in disebut hadist maqthu’. Sumber pertama berita di atas tidak dapat
menentukan keshahihan suatu hadist sekalipun datangnya dari Allah atau Nabi, karena tinjauan
kualitas shahih, hasan dan dha’if tidak hanya di lihat dari sumber berita akan tetapi lebih di lihat
dari sumber-sumber pembawa berita. Dengan demikian hadist qudsi, marfu’, mawquf, maqthu’
tidak mutlak keshahihannya, terkadang shahih, hasan dan dha’if.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dan kegunaan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh dosen mata kuliah Ulumul hadits, untuk
menjelaskan HADITS MARFU, MAUQUF dan MAQTHU agar dapat diketahui, di
pahami, dan diaplikasikan oleh pembaca, khususnya oleh mahasiswa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADIST MARFU’
Marfu’ menurut bahasa “yang di angkat” atau “yang di tinggikan” Sedangkan menurut
istilah sebagian ulama hadits mengatakan, hadits marfu adalah sesuatu perkataan yang di
sandarkan kepada Nabi Muhammad saw secara khusus, baik perkataan, perbuatan, taqrir, baik
sanadnya itu muttashil (bersambung-sambung tiada berputus-putus), maupun munqathi’ ataupun
mu’dhal. Al-khatib al-bagdadi juga mengatakan, bahwasanya hadits marfu ialah hadits yang di
kabarkan oleh sahabat tentang perbuatan Nabi SAW ataupu sabdanya.
Dari beberapa pengertian di atas dapat di simpulkan, bahwa hadits marfu adalah berita
yang di sandarkan kepada nabi baik berupa perkataan, perbuatan, sifat dan persetujuan sekalipun
sanadnya tidak bersambung atau terputus, seperti hadits mursal, muttasil dan munqathi.
Marfu’ secara hukum maksudnya adalah isinya tidak terang dan tegas menunjukkan
marfu’, namun dihukumkan marfu’ karena bersandar pada beberapa indikasi.
Hadist yang di-marfu’-kan kepada Nabi Muhammad saw dengan sharih adalah hadis yang tegas-
tegas di katakan oleh seorang sahabat bahwa hadist tersebut di dengar atau di lihat dan di setujui
dari Rasulullah saw, misalnya perkataan seorang sahabat dengan kata :
Hadits marfu terdiri dari qawli, fi’li, dan taqriri, contoh marfu qawli, seperti yang di beritakan
oleh abu sa’id al-khudri, berkata :
Artinya : telah bersabda rasulullah SAW : sesunguhnya orang yang beriman itu terhadap
sesamanya, sama dengan keadaaan batu tembok, satu dengan yang lain saling mengikat. (HR.
Al-bukhari, muslim, at-tirmidzi, dan An-nasa’i)
Bahwa nabi SAW membetulkan shaf-shaf kami apabila kami akan shalat, maka setelah shaf itu
lurus, maka barulah nabi bertakbir. (HR. Bukhari, Muslim, At-tirmidzi dan an-nasa’i).
مس و كان رسول هللا صلَّى هللا عليه وسلم يَرانا ولم يأْ ُمرْ نا و لم ي ْنهنا ِ ُكنّا نُصلِّي ركعتين بع َد غرو
ِ ب ال َّش
Bahwa kami (para sahabat) sembahyang dua rakaat setelah terbenamnya matahari. Rasullalah
melihat pekerjaan kami itu dan tidak mencegahnya. (HR.Muslim).
3. Defenisi hadist marfu’
b) Perkataan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan dari shahabat yang tidak
mengambil dari cerita Israilliyaat berkaitan dengan perkara yang terjadi di masa lampau seperti
awal penciptaan makhluk, berita tentang para nabi. Atau berkaitan dengan masalah yang akan
datang seperti tanda-tanda hari kiamat dan keadaan di akhirat. Dan diantaranya pula adalah
perkataan shahabat : “Kami diperintahkan seperti ini”; atau “kami dilarang untuk begini”; atau
termasuk sunnah adalah melakukan begini”.
c) Perbuatan yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat : “Aku telah melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan begini”.
d) Perbuatan yang marfu’ secara hukum : seperti perbuatan shahabat yang tidak ada celah
berijtihad di dalamnya dimana hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut bukan dari
shahabat semata (melainkan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari,”Adalah Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radliyallaahu
‘anhum berbuka puasa dan mengqashar shalat pada perjalanan empat burud [Burud merupakan
jamak dari bard, yaitu salah satu satuan jarak yang digunakan di jaman itu (sekitar 80 km)].
e) Penetapan (taqrir) yang marfu’ tashrih : seperti perkataan shahabat,”Aku telah melakukan
perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”; atau “Si Fulan telah
melakukan perbuatan demikian di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam – dan dia
(shahabat tersebut) tidak menyebutkan adanya pengingkaran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam terhadap perbuatan itu.
f) Penetapan yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Adalah para shahabat
begini/demikian pada jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”.
g) Sifat yang marfu’ tashrih : seperti perkataan seorang shahabat yang menyebutkan sifat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits Ali radliyallaahu
‘anhu,”Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam itu tidak tinggi dan tidak pula pendek”; atau “Adalah
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkulit cerah, peramah, dan lemah lembut”.
h) Sifat yang marfu’ secara hukum : seperti perkataan shahabat,”Dihalalkan untuk kami
begini”; atau “Telah diharamkan atas kami demikian”. Ungkapan seperti secara dhahir
menunjukkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menghalalkan dan mengharamkan.
Ini dikarenakan sifat yang secara hukum menunjukkan bahwa perbuatan adalah sifat dari
pelakunya, dan Rasulullah shalllallaahu ‘alaihi wasallam adalah yang menghalalkan dan
mengharamkan; maka penghalalan dan pengharaman itu merupakan sifat baginya. Poin ini
sebenarnya banyak mengandung unsur tolerir yang tinggi, meskipun bentuk seperti ini dihukumi
sebagai sesuatu yang marfu’.
B. HADIST MAUQUF
Mawquf menurut bahasa waqaf = berhenti atau stop. Di dalam Al-Qur’am terdapat tanda-
tanda waqaf yang harus di patuhi oleh si pembacanya. Barang waqaf terhenti tidak boleh di jual
belikan kepada orang lain, karena amal lillahi ta’ala sampai hari kiamat tiba.
“Sesuatu yang disandarkan kepada sahabat, baik dari perkataan, perbuatan, atau taqrir, baik
bersambung sanadnya maupun terputus.”
الحديث الذي اسند إلى الصحابي دون النبي صل هللا عليه وسلم
“Hadis yang disandarkan seseorang kepada sahabat, tidak sampai kepada Rasulullah SAW”.
Dari definisi di atas dapat di simpulkan, bahwa hadist Mawquf adalah sesuatu yang di
sandarkan kepada seseorang sahabat atau beberapa golongan sahabat, baik berupa perkataan,
perbuatan ataupun persetujuan, baik bersambung sanadnya atau terputus. Jadi sandaran hadist itu
hanya sampai kepada para sahabat ridak sampai kepada Nabi. Jelasnya, hadist ini perkataan
seseorang sahabat atau perbuatan dan persetujuannya.
Sebagaimana penjelasan di atas bahwa hadits mawquf terdiri dari qawli, fi’li, dan taqriri, contoh
mawquf qawli, seperti;
Artinya : ali bin abi thalib berkata : berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa yang mereka
ketahui, apakah engkau menghendaki Allah dan rasulnya di dustakan? (HR. Al-Bukhari).
Aku melakukan begini di hadapan salah seorang sahabat dan ia tidak mengingkariku.
ada prinsipnya hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada qarinah yang
menunjukkan (menjadikan) marfu’,. karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata,
tidak disandarkan kepada Rasulullah saw.
Sesuatu yang disandarkan pada seseorang selain Rasulullah saw tidak bisa dijadikan hujjah, dan
tidak halal menyandarkan hal tersebut kepada Rasulullah saw, karena tergolong ihtimal (dugaan
yang kecenderungan salahnya lebih besar) dan bukan dzan (dugaan yang kuat kebenarannya).
Ihtimal tidak bernilai apa-apa.
Di antara hadis mauquf terdapat hadist yang lafaz dan bentuknya mauquf, namun setelah
dicermati hakikatnya bermakna marfu’, yaitu berhubungan dengan Rasulullah saw. Hadist yang
demikian dinamai oleh para ulama hadist dengan alMauquf Lafzhan al-Marfu’ Ma’nan, yaitu
secara lafaz berstatus mauquf namun scara makna berstatus marfu’ (hadist marfu’ hukmi),
sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan hadist marfu’ sebelumnya.
C. HADIST MAQTHU
Menurut bahasa kata maqthu‟ berasal dari akar kata ع ٌ ْ•اط ٌع َو َم ْقطُ••و ْ َقَطَّ َع يُقَطِّ ُع قyang berarti
ِ •َط ًع••ا ق
terpotong atau teputus, lawan dari maushul yang berarti bersambung. Kata terputus di sini
dimaksudkan tidak sampai kepada Rasulullah saw, hanya sampai kepada tabi’in saja.
ِ َُما ا
ض ْيفَ إِلَيالتابعي أو من دونه من قول أو فعل
“Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi‟in dan orang setelahnya daripada Tabi’in
kemudian orang-orang setelah mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya.
Perbedaan antara hadis maqthu’ dengan munqathi’ adalah bahwasannya al-maqthu’ adalah
bagian dari sifat matan, sedangkan al-munqathi’ bagian dari sifat sanad. Hadis yang maqthu’ itu
merupakan perkataan tabi’in atau orang yang di bawahnya, dan bisa jadi sanadnya bersambung
sampai kepadanya. Sedangkan munqathi’ sanadnya tidak bersambung dan tidak ada kaitannya
dengan matan.
Dari berbagai definisi di atas dapat kita fahami bahwa segala sesuatu yang disandarkan kepada
tabi‟in atau orang setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau persetujuannya, bersambung
sanadnya maupun terputus disebut dengan hadis maqthu’.
1. Contoh hadist maqthu
a) Hadist maqthu’ qauli (yang berupa perkataan) seperti perkataan Hasan al Bashri tentang
sholat di belakang ahli bid’ah:
b) Hadist maqthu’ fi’li (yang berupa perbuatan) seperti perkataan Ibrahim bin
Muhammad al-Muntasyir.
كان مسروق يرخي الستر بينه وبين أهله ويقبل على صالته ريخليهم ودنياهم
“Masruq membentangkan pembatas antara dia dan keluarganya (istrinya) dan menghadapi
shalatnya, dan membiarkan mereka dengan dunia mereka”
c) Hadist maqthu‟ taqriri (yang berupa persetujuan) seperti perkataan Hakam bin
‘Utaibah, ia berkata: “Adalah seorang hamba mengimami kami dalam mesjid itu, sedang syuraih
(juga) shalat disitu.”
Syuraih adalah seorang tabi`in. Riwayat hadis ini menunjukan bahwa Syuraih membenarkan
seorang hamba tersebut untuk menjadi imam.
Dengan demikian, hadis maqthu’ tidak dapat dijadikan sebagai hujjah atau dalil untuk
menetapkan suatu hukum dan bahkan lebih lemah dari hadis mauquf, karena status dari
perkataan tabi’in sama dengan perkataan ulama lainnya.
BAB III
PENUTUP
Syukur alhamdulillah penulisan makalah ini dapat berjalan dengan lancar tanpa ada halangan
yang berarti. Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini.
Hanya penjelasan ini yang dapat kami berikan semoga dapat menjadi suatu pembelajaran dan
pengetahuan. karena bukan hanya dari makalah ini kita mengambil referensi tetapi semoga
makalah ini hanya menjadi pengantar materi Studi Al-HaditsHadis Marfu’, Mauquf, Dan
Maqthu’.
A. KESIMPULAN
a) Hadis marfu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah saw, baik
perkataan, perbuatan, ataupun taqrir. baik yang bersifat jelas ataupun secara hukum (disebut
marfu’ = marfu’ hukman), baik yang menyandarkannya itu sahabat atau bukan, baik sanadnya
muttashil (bersambung) atau munqathi’ (terputus).
b) Hadis mauquf adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada seorang sahabat atau
segolongan sahabat, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik bersambung sanadnya
maupun terputus. Sandaran hadis ini hanya sampai kepada sahabat, tidak sampai kepada
Rasulullah saw.
c) Hadis maqthu’ adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada tabi’in atau orang
setelahnya, baik perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, baik bersambung sanadnya maupun
terputus.