Blok 14

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

Penatalaksana Fraktur Maxilla Le Fort I

Agnes Imelda Sipangkar

102019078

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

JL. Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat

Email : [email protected]

Abstrak :

Fraktur wajah adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang epifisis atau tulang rawan sendi. Ada banyak
faktor etiologi yang menyebabkan fraktur wajah dapat terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas,
kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olahraga, kecelakaan akibat peperangan dan juga sebagai akibat
dari tindakan kekerasan. Tetapi penyebab terbanyak adalah kecelakaan lalu lintas. Fraktur wajah
mempunyai banyak variasi antara lain, dapat berupa fraktur maksila, fraktur mandibula, fraktur nasal,
dan fraktur dentoalveolar atau kombinasinya. Dari beberapa macam fraktur tersebut, ada dua macam
fraktur yang memiliki pembagian tipe tersendiri, seperti fraktur maksila terbagi atas fraktur le fort I, le
fort II, dan le fort III sedangkan untuk fraktur mandibula terdiri dari fraktur symfisis, angulus, dan
body. Fraktur Le Fort merupakan pola cedera wajah kompleks yang terjadi akibat trauma wajah
tumpul. Sekarang ini treatment fraktur Le Fort tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki oklusi
sebelum fraktur, tapi juga proyeksi, lebar, dan panjang wajah serta integritas kavitas nasal, dan orbita

Kata kunci : fraktur maxilla le fort, fraktur wajah, trauma

Abstract:

A facial fracture is a break in the continuity of the bone, epiphyseal bone or joint cartilage. There are
many etiological factors that cause facial fractures to occur, such as traffic accidents, work
accidents, sports accidents, accidents caused by war and also as a result of acts of violence. But the
most common cause is traffic accidents. Facial fractures have many variations, among others, can be
in the form of maxillary fractures, mandibular fractures, nasal fractures, and dentoalveolar fractures
or a combination thereof. Of the several types of fractures, there are two types of fractures that have
different types, such as maxillary fractures divided into le fort I, le fort II, and le fort III fractures,
while mandibular fractures consist of symphysis, angulus, and body fractures. Le Fort fractures are a
pattern of facial injuries that occur as a result of blunt facial trauma. Currently the treatment of Le
Fort fractures aims not only to correct the pre-fracture occlusion, but also the projection, width and
length of the face as well as the integrity of the nasal cavity and orbit.

Key words: maxilla le fort I fracture, facial fracture, trauma

Pendahuluan

Rahang atas merupakan jembatan antara dasar kranial superior dan bidang oklusal gigi secara

inferior. Hubungannya yang erat dengan rongga mulut, rongga hidung, dan orbit serta banyaknya
struktur yang terkandung di dalamnya dan berdekatan dengannya menjadikan rahang atas sebagai
struktur yang penting secara fungsional dan kosmetik. Fraktur tulang ini berpotensi mengancam jiwa
dan juga menodai. Perbaikan tepat waktu dan sistematis dari fraktur ini memberikan kesempatan
terbaik untuk memperbaiki deformitas dan mencegah gejala sisa yang tidak diinginkan. Fraktur
rahang atas adalah salah satu keadaan darurat paling umum yang terjadi pada kondisi akut. Karena
anatomi yang kompleks di wilayah ini dan kedekatannya dengan struktur vital, termasuk otak,
diagnosis dini dan perencanaan perawatan yang tepat menjadi sangat penting. Berbagai metode
pengobatan dipraktikkan dengan baik secara global, dan ini bertujuan untuk memulihkan kualitas
hidup pasien.1
 Anamnesis

Anamnesis yang dilakukan yaitu menanyakan keluhan utama yang paling dirasakan atau yang
paling berat sehingga mendorong pasien datang berobat atau mencari pertolongan medis. Kemudian
menanyakan riwayat penyakit sekarang untuk menegakkan diagnosis. Selanjutnya menanyakan
riwayat penyakit dahulu untuk mendapatkan informasi tentang riwayat penyakit dahulu secara
lengkap, karena seringkali keluhan atau penyakit yang sedang diderita pasien saat ini merupakan
kelanjutan atau akibat dari penyakit-penyakit sebelumnya. Dari skenario kasus pasien tersebut yaitu
seorang pasien tersebut mengeluh jatuh dan rahang atas membentur dinding. Mulut pasien berdarah,
nyeri pada rahang atas dan kiri dan kanan terutama nyerinya pada saat mulut di tutup, bila mengigit
terasa sakit sekali, giginya tidak ada yang tanggal.

 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-temuan
dalam anamnesis. Teknik pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan visual atau pemeriksaan pandang
(Inspeksi), periksa raba (Palpasi), pemeriksaan ketok (Perkusi), dan pemeriksaan dengar dengan
menggunakan stetoskop (Auskultasi).
Tanda-Tanda Vital :
 Suhu: Untuk mengukur suhu tubuh, digunakan termometer demam. Suhu tubuh yang normal
adalah 36º-37ºC.
 Tekanan darah: Tekanan darah diukur dengan menggunakan tensimeter (sfigmomanometer).
Tekanan darah normal biasanya 120/80 mmHg.
 Denyut nadi: Pemeriksaan nadi biasanya dilakukan dengan melakukan palpasi a. radialis.
Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali per menit.
 Respiratory rate: Dalam keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali per menit.

Pada skenario kasus pasien ini didapatkan TTV normal, ada nyeri tekan pada bawah hidung, nyeri
tekan pada rahang kiri dan kanan bagian bawah, pada saat buka mulut gusi rahang atas depan
didapatkan luka robek memanjang, adanya oedem sepanjang rahang atas kiri dan kanan, mukosa
rahang bawah tidak ada luka, rahang atas saat digerakkan ke depan dan kebelakang ada gravitasi, ada
maloklusi rahang atas geser ke belakang, dan rahang bawah tidak ada kelainan.

 Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan penunjang, dilakukan x-ray dan didapat fraktur maxilla horizontal, dengan garis
fraktur memanjang dari kiri ke kanan.

 Working diagnosis

Setelah dilakukan anamnesis, dan pemeriksaan fisik pada pasien, diagnosis kerja di dalam kasus ini
dapat ditegakkan yaitu Fraktur maxilla Le Fort I

 Etiologi

Penyebab patah tulang rahang atas bervariasi tergantung pada status sosial ekonomi negara,
budaya olahraga, peraturan kendaraan bermotor, dan undang-undang lainnya. Distribusi patah tulang
rahang atas pada orang dewasa cenderung didominasi sebagai akibat dari perilaku berisiko tinggi
seperti kekerasan interpersonal atau kecelakaan lalu lintas jalan raya (RTA). Yang paling umum dari
keduanya adalah RTA, dimana insiden sepeda motor paling sering (73,6%) dibandingkan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor (9,5%). Sebagian besar dari cedera ini terjadi dalam konteks
penggunaan alkohol (53%) atau obat-obatan terlarang (47%). Kekerasan dan penyerangan
antarpribadi, dengan atau tanpa penggunaan senjata, umumnya dilaporkan dan merupakan 19% dari
semua patah tulang rahang atas dalam sebuah penelitian Swiss terhadap 471 pasien. 2

Cedera olahraga menyebabkan 6% sampai 33% dari patah tulang rahang atas. Etiologi sangat
bergantung pada budaya olahraga di negara tempat studi. Sepak bola Gaelik (35,3%), sepak bola
(22,3%), rugby (12,4%), dan olahraga kuda (12,4%) terutama bertanggung jawab atas cedera olahraga
rahang atas di Irlandia, misalnya. Di Italia, Jerman, dan Prancis, sepak bola adalah penyebab
utamanya. Sebaliknya, di negara-negara seperti Swiss dan Austria, ski adalah penyebab cedera
olahraga yang paling umum. Untuk kelompok pediatrik dan geriatri, penyebab utama patah tulang
rahang atas adalah jatuh . Fraktur lefort jarang terjadi pada kelompok pediatrik dan cenderung muncul
pada kasus trauma besar, seperti kecelakaan kendaraan bermotor, di mana diperkirakan akan terjadi
benturan kecepatan tinggi. Di antara populasi geriatri, cedera ini sering dikaitkan dengan morbiditas
signifikan lainnya, peningkatan keparahan patah tulang, dan risiko kematian yang lebih tinggi. 2

Gambar Fraktur maxilla

Sumber : Phillips BJ, Turco LM. Le Fort Fractures: A Collective Review. Bull Emerg Trauma.
2017;5(4):221–30.

 Jenis Jenis Fraktur Maxilla


a. Fraktur Le Fort I (horizontal) dapat terjadi akibat gaya cedera yang mengarah ke bawah pada
tepi alveolar rahang atas ke arah bawah. Fraktur meluas dari septum hidung ke tepi pirus
lateral, bergerak secara horizontal di atas apeks gigi, melintasi di bawah persimpangan
zygomaticomaxillary, dan melintasi persimpangan pterigomaksilaris untuk memotong pelat
pterigoid.
b. Fraktur Le Fort II (piramidal) dapat terjadi akibat pukulan ke rahang atas atau midmaxilla.
Fraktur semacam itu memiliki bentuk piramidal dan memanjang dari jembatan hidung pada
atau di bawah jahitan nasofrontal melalui proses frontal rahang atas, secara inferior melalui
tulang lakrimal dan dasar orbital inferior dan tepi melalui atau dekat foramen orbital inferior,
dan secara inferior melalui dinding anterior sinus maksilaris; ia kemudian bergerak di bawah
zigoma, melintasi celah pterigomaksilaris, dan melalui pelat pterigoid. Lihat gambar di bawah
ini.3
c. Fraktur Le Fort III (transversal), juga disebut disjungsi kraniofasial, dapat terjadi setelah
benturan ke batang hidung atau rahang atas. Fraktur ini dimulai dari jahitan nasofrontal dan
frontomaxillary dan meluas ke posterior sepanjang dinding medial orbit melalui alur
nasolakrimal dan tulang ethmoid. Tulang sphenoid yang lebih tebal di bagian posterior
biasanya mencegah berlanjutnya fraktur ke dalam kanal optik. Sebaliknya, fraktur berlanjut
sepanjang dasar orbit sepanjang fisura orbital inferior dan berlanjut secara superolateral
melalui dinding orbital lateral, melalui sambungan zygomaticofrontal dan lengkung
zygomatik. Secara intranasal, cabang fraktur meluas melalui dasar pelat tegak lurus ethmoid,
melalui vomer, dan melalui antarmuka pelat pterigoid ke dasar sphenoid. 3

Gambar fraktur le fort I - III

Sumber : Phillips BJ, Turco LM. Le Fort Fractures: A Collective Review. Bull Emerg Trauma.
2017;5(4):221–30.

 Epidemiologi

Sebuah penelitian di Malaysia terhadap 473 pasien mengungkapkan prevalensi cedera rahang atas
yang signifikan pada laki-laki (82,2%). Usia rata-rata adalah 30,6 tahun, dengan usia termuda tujuh
bulan dan yang tertua 87 tahun. Kelompok usia yang paling terpengaruh adalah 11 sampai 20 tahun
(34,5%), diikuti oleh 21 sampai 30 tahun (23,3%). Hal ini diduga karena meningkatnya kemungkinan
partisipasi dalam aktivitas berisiko tinggi, olahraga kontak, dan kekerasan antarpribadi. Sebuah studi
di Rumah Sakit Royal Perth, Australia Barat, juga mendukung prevalensi pada laki-laki (87%),
dengan usia rata-rata 27 tahun. Namun, dominasi pria ini menurun pada kelompok pasien lanjut usia,
kemungkinan besar karena jatuh menjadi penyebab paling umum dari patah tulang pada umumnya
pada populasi lansia. Di antara pasien di bawah usia 18 tahun, kemungkinan patah tulang meningkat
seiring bertambahnya usia, mungkin sebagai akibat dari keterlibatan yang lebih besar dalam aktivitas
berisiko tinggi dan perubahan anatomi [2]. Tidak ada dominasi jenis kelamin laki-laki di antara
kelompok usia yang lebih muda, tetapi ini muncul selama tahun-tahun masa kanak-kanak dan remaja.
Fraktur wajah pada anak di bawah usia 5 tahun jarang terjadi, mencapai 1,4% kasus. 4

 Manifestasi Klinis

Pemeriksaan klinis pada fraktur Le Fort 1 dilakukan dalam dua pemeriksaan yakni secara exstra
oral dan intra oral. Pada pemeriksaan ekstra oral, pemeriksaan dilakukan dengan visualisasi dan
palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya edeme pada bibir atas dan ekimosis. Sedangkan
secara palpasi bilateral dapat menunjukkan step deformity pada sutura zygomaticomaxillary,
mengindikasikan fraktur pada rima orbital inferior. Pada pemeriksaan intra oral, pemeriksaan
dilakukan secara visualisasi dan palpasi. Secara visualisasi dapat terlihat adanya open bite
anterior. Sedangkan secara palpasi terdapat rasa nyeri. Selanjutnya pemerikdaan Le Fort 1
dilakukan dengan foto rontgen dengan proyeksi wajah anterolater. 5

 Penatalaksanaan

Prinsip penanganan fraktur yaitu reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta kekuatan normal
dengan rehabilitasi. Reduksi yaitu mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi
anatomis. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat frakturnya.
Metodereduksi fraktur adalah reduksi tertutup, traksi, dan reduksi terbuka. Reduksi tertutup dilakukan
dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi
dan imobilisasi. Beratnya traksi harus disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Pada fraktur
tertentu memerlukan reduksi terbuka dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi
interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi. Tahap
selanjutnya yang dilakukan setelah reduksi fraktur, adalah mengimobilisasi dan mempertahankan
fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi interna dan eksterna. Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang,
dapat dilakukan dengan reduksi dan imobilisasi. Status neorovaskular dipantau, latihan isometrik dan
setting otot, serta partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga diri.6

 Terapi Bedah
Fiksasi segmen patah tulang yang tidak stabil ke struktur yang stabil adalah tujuan dari perawatan
bedah definitif untuk patah tulang rahang atas. Prinsip ini, meski tampaknya sederhana, menjadi lebih
kompleks pada pasien dengan fraktur ekstensif atau panfasial. Pada fraktur rahang atas yang terisolasi,
kranium stabil di atas dan pelat oklusal di bawah menyediakan sumber fiksasi yang stabil. Salah satu
tujuan pengobatan adalah memulihkan hubungan anatomi yang tepat. Secara khusus, usahakan untuk
menormalkan integritas guling penyangga kerangka wajah, tinggi dan proyeksi bagian tengah, serta
oklusi gigi dan fungsi pengunyahan.7

 Detail Sebelum Operasi

Setelah semua masalah medis lain yang lebih kritis telah distabilkan, pasien dapat
dipertimbangkan untuk memperbaiki cedera maksilofasial. Sediakan film polos dan pencitraan CT
yang memadai di ruang operasi untuk panduan intraoperatif. Satu set pelapisan maksilofasial lengkap
harus tersedia. Sebelum operasi, beri tahu pasien implikasi dari prosedur yang diantisipasi. Beri
konseling kepada pasien tentang batasan dan durasi fiksasi maksilomandibular (MMF). Selain itu,
pasien harus memahami risiko dan kemungkinan komplikasi dari prosedur ini, termasuk paresthesia
sementara atau permanen, kebocoran cairan serebrospinal, meningitis, infeksi sinus atau mukosel,
anosmia, maloklusi, infeksi implan, osteomielitis, malunion atau nonunion, kelainan bentuk eksternal,
plat eksposur, cedera gigi, dan kemungkinan kebutuhan untuk operasi tambahan. 8

Gambar Rontgen 1 hari post operasi

Sumber : Lestari D.Y, Hafiz A, Huriyati E. Diagnosis dan Penatalaksanaan Fraktur Le Fort I-II
disertai Fraktur Palatoalveolar Sederhana. J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 3):78.

 Detail Pasca Operasi

Untuk meminimalkan edema pasca operasi, balutan bertekanan ringan yang terdiri dari kain kasa
dan penutup kepala dapat dipasang di atas area operasi. Jika pembalut tetap kering, pembalut dapat
dilepas setelah 2-5 hari. Pendapat ahli bedah berbeda-beda tentang kebutuhan antibiotik pasca operasi.
Namun, jika lokasi fraktur asli terbuka ke lingkungan luar atau dalam komunikasi dengan ruang
intraoral atau intranasal, terapkan antibiotik profilaksis yang mencakup organisme gram positif dan
anaerobik selama 5-10 hari. Setelah operasi, amati pasien semalaman untuk perdarahan, masalah
saluran napas, dan muntah. Jika fiksasi kawat digunakan untuk MMF, letakkan pemotong kawat di
dekat pasien setiap saat pada periode awal pasca operasi untuk memungkinkan pasien mengeluarkan
bahan yang dimuntahkan. Lepaskan kabel atau karet gelang jika pasien mulai merasa mual. Sebelum
dipulangkan, instruksikan pasien tentang cara mengeluarkan MMF jika muntah. Juga, konseling
pasien tentang membatasi diet mereka pada asupan bubur atau cairan. 8

 Komplikasi

Kematian adalah komplikasi dari fraktur rahang atas. Fraktur lefort ditemukan memiliki angka
kematian 11,6%, dan fraktur midface sederhana memiliki angka kematian 5,1%. Namun, ini
tergantung pada mekanisme cedera, tingkat keparahan, dan adanya cedera terkait. Fraktur rahang atas,
khususnya fraktur Lefort, juga berhubungan dengan masalah penglihatan yang signifikan (47%),
diplopia (21%), dan epifora (37%). Komplikasi umum lainnya termasuk infeksi, trismus, defisit saraf
wajah, malunion, dan asimetri wajah. Cedera saraf infraorbital dilaporkan pada 30% sampai 80%
pasien dengan fraktur ZMC yang mengakibatkan sensasi yang berubah sepanjang perjalanannya.
Penting juga untuk dicatat bahwa faktor kunci dalam mencegah komplikasi termasuk teknik bedah
yang baik serta pendidikan pasien sehubungan dengan perawatan pasca operasi dan tindak lanjut.
Area utama komplikasi lainnya adalah maloklusi. Bahkan dengan teknik pembedahan yang sangat
baik, gigitannya bisa terlepas sedikit, yang dapat dilihat oleh pasien. Hal ini umumnya dapat dengan
mudah diperbaiki pada fase pasca operasi menggunakan elastik jika terdapat batang lengkung, dan
jika perlu, berkonsultasi dengan ortodontis.9
 Prognosis

Prognosis pasien yang mengalami patah tulang rahang atas bergantung pada sejumlah faktor,
termasuk tingkat keparahan patah tulang dan lokasinya, cedera yang terjadi bersamaan, dan
kemampuan untuk mempertahankan jalan napas setelah cedera. Prognosis dalam hal fungsi dan
estetika setelah cedera tergantung pada tingkat keparahan cedera, metode pembedahan yang
digunakan, keterampilan ahli bedah, dan perawatan pasien pasca operasi. Umumnya, fraktur Lefort
memiliki prognosis yang sangat baik dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Angka kematian
untuk fraktur Le Fort lebih tinggi daripada fraktur midface sederhana. 9

Kesimpulan

Pasien pada kasus tersebut mengalami fraktua maxilla Le fort 1. Fraktur maxilla Le Fort 1 adalah
Fraktur horizontal dari sinus maxillaris diatas gigi yang menyebabkan terpisahnya procesus alveolaris
dan palatum durum. Fraktur ini merupakan jenis fraktur traumatik, penyebab fraktur ini pasien
tersebut jatuh dari tangga sehingga rahang atas membentur didinding. Diagnosis ini dapat ditegakkan
dengan melalui gejala-gejala yang ditimbulkan dari pasien, pemeriksaan fisik, dan hasil pemeriksaan
penunjang berupa foto rontgen yang mendukung diagnosis pasti.

Daftar Pustaka

1. Louis M, Agrawal N, Truong TA. Midface Fractures II. Semin Plast Surg. 2017;31(2):94–9.

2. Meldrum J, Yousefi Y JA. Maxillary Fracture. 2020; Available from:


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK562162/

3. Kris S Moe, MD, FACS; Chief Editor: Deepak Narayan, MD F. Maxillary and Le Fort
Fractures Treatment & Management. 2020; Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1283568-treatment#d12

4. Sataloff RT, Johns MM, Kost KM. Le Fort Fractures Imaging.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5423805/

5. Shankar A, Shankar V, Hegde N, Sharma PR. The pattern of the maxillofacial fractures - A
multicentre retrospective study. J Cranio-Maxillofacial Surg. 2012;40:675–9.

6. Reksodiputro MH, Aldino N. Penatalaksanaan fraktur simfisis mandibula dengan dua


perpendicular mini-plates. Oto Rhino Laryngol Indones. 2018;47(2):185.

7. Phillips BJ, Turco LM. Le Fort Fractures: A Collective Review. Bull Emerg Trauma.
2017;5(4):221–30.
8. Lestari DY, Hafiz A, Huriyati E. Diagnosis dan Penatalaksanaan Fraktur Le Fort I-II disertai
Fraktur Palatoalveolar Sederhana. J Kesehat Andalas. 2018;7(Supplement 3):78.

9. Freye K, Lammers W, Bartelt D, Pohlenz O. Fraktur. Radiol Wörterb. 2019;126–7.

Anda mungkin juga menyukai