Revisi LP Dan Askep HDR SUSED
Revisi LP Dan Askep HDR SUSED
Revisi LP Dan Askep HDR SUSED
D
DENGAN DIAGNOSA MEDIS HARGA DIRI RENDAH DI
RSUD dr.DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA
Oleh :
DISUSUN OLEH
NAMA :
SUSED 2018.C.10a.0986
Mengetahui,
Ketua Program Studi S1 Keperawatan, Pembimbing Akademik
Dengan memanjatkan Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
anugerah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan Laporan Pendahuluan yang berjudul
“Laporan Pendahuluan Dan Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Tn. K Dengan Diagnosa Medis
Harga Diri Rendah”.Laporan pendahuluan ini disusun guna melengkapi tugas (PPK III).
Laporan Pendahuluan ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, saya
ingin mengucapkan terimakasih kepada :
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKES Eka Harap Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku Ketua Program Studi Ners STIKES Eka Harap
Palangka Raya.
3. Efrie Dulie,S.Kep.,Ners selaku pembimbing akademik yang telah banyak memberikan
arahan, masukkan, dan bimbingan dalam penyelesaian asuhan keperawatan ini
4. Ibu Ika Paskaria,S.Kep., Ners selaku koordinator Praktik Pra Klinik Keperawatan III
Program Studi Sarjana Keperawatan.
5. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam pelaksaan kegiatan pengabdian kepada
masyarakat ini.
Saya menyadari bahwa laporan pendahuluan ini mungkin terdapat kesalahan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari
pembaca dan mudah-mudahan laporan pendahuluan ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan
sehingga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iv
BAB IPENDAHULUAN.........................................................................................1
2.1.2 Definisi........................................................................................................5
2.1.3 Etiologi........................................................................................................6
2.1.7 Komplikasi................................................................................................10
2.2.1 Pengkajian.................................................................................................13
3.1 Pengkajian....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34
SAP
LEAFLET
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap perubahan situasi kehidupan baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi
keseimbangan fisik, mental, dan psikososial seperti konflik yang dialami sehingga berdampak
sangat besar terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien
gangguan jiwa (Keliat, 2011). Gangguan jiwa merupakan manifestasi dari bentuk penyimpangan
perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga ditemukan ketidakwajaran dan bertingkah laku.
Hal ini terjadi karena menurunnya semua fungsi kejiwaan (Muhith,2011). Menurut (Herman,
2011) gangguan jiwa adalah terganggunya kondisi mental atau psikologi seseorang dipengaruhi
dari faktor diri sendiri dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi prilaku manusia ialah
keturunan dan konstitusi, umur dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-
isitadat, kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan
kematian orang yang dicintai, rasa permusuhan hubungan antar manusia.Gangguan jiwa
menyebabkan pasien tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi menguasai
diri untuk mencegah mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti diri sendiri untuk itu perlu
dilakukan asuhan keperawatan jiwa.
World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia 2016 menunjukkan
tidak kurang dari 450 juta penderita mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa
mengalami gangguan jiwa saat ini, 25% diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
tertentu. Gangguan jiwa yang mencapai 13%, kemungkinan akan berkembang 25% pada tahun
2030. Menurut WHO gangguan jiwa ditemukan sebanyak 450 juta orang di dunia terdiri dari 150
juta depresi, 90 juta gangguan penggunaan zat dan alkohol 38 juta epilepsi, 25 juta skizofrenia,
serta hampir 1 juta melakukan bunuh diri di setiap tahun, dan hampir ¾ beban global penyakit
neuropsikiatrik didapati berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Jumlah pasien
gangguan jiwa di Indonesia saat ini menurut Riskesdas (2013) adalah 236 juta orang dengan
kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17% menderita gangguan jiwa berat,
14,3% diantaranya mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk berusia 15,24 tahun
mengalami gangguan jiwa. Dari 34 provinsi di Indonesia, Sumatera Barat merupakan peringkat
ke 9 dengan jumlah gangguan jiwa sebanyak 50.608 jiwa dan prevalensi masalah skizofrenia
pada urutan ke-2 sebanyak 1.9 permil. Peningkatan gangguan jiwa yang terjadi saat ini akan
menimbulkan masalah baru yang disebabkan ketidakmampuan dan gejala-gejala yang
ditimbulkan oleh pasien.
Gangguan jiwa yang menjadi masalah utama di negara-negara berkembang adalah
skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan
timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan prilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia
terbentuk secara bertahap dan klien tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya
dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhinya menjadi
skizofrenia akut. Periode skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi
penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan berpikir, dan harga diri rendah (Yosep, 2011). Harga
diri rendah adalah suatu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya kepercayaan diri, gagal
mencapai tujuan yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung. Harga diri rendah
merupakan semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan tentang dirinya dan mempengaruhi orang
lain. Harga diri tidak terbentuk dari lahir, tetapi dipelajari dari pengalaman unik seseorang dalam
dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan dengan lingkungan (Stuart, 2013). Menurut (Keliat,
2011) tanda dan gejala harga diri rendah yaitu mengkritik diri sendiri, perasaan tidak mampu,
pandangan hidup yang pesimis, penurunan produktifitas, penolakan terhadap kemampuan diri.
Selain tanda dan gejala diatas, dapat juga mengamati penampilan seorang dengan harga diri
rendah yang tampak kurang memperhatikan diri, berpakaian tidak rapi, selera makan menurun,
tidak berani menatap lawan bicara, lebih banyak menunduk dan bicara lambat dengan nada suara
rendah. Pasien dengan harga diri rendah beresiko muncul masalah gangguan jiwa lain apabila
tidak segera diberikan terapi dengan benar, karena pasien dengan harga diri rendah cenderung
mengurung diri dan menyendiri, kebiasaan itulah yang memicu munculnya masalah isolasi
sosial. Isolasi sosial menyebabkan pasien tidak dapat memusatkan perhatian yang menyebabkan
suara atau bisikan muncul sehingga menimbulkan masalah halusinasi, masalah lain yang
kemudian terjadi adalah resiko perilaku kekerasan, rasa tidak terima tentang suatu hal karena
merasa direndahkan seseorang maupun suara bisikan yang menghasut untuk melakukan tindakan
merusak lingkungan dan menciderai orang lain (Direja, 2011).
Berdasarkan masalah tersebut,saya tertarik untuk memberikan informasi yang
komprehensif tentang “Asuhan Keperawatan Harga Diri Rendah”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis membatasi
penelitian bagaimana pemberian Asuhan Keperawatan pada pasien Tn.K
dengan Harga Diri Rendah di RSUD Doris Sylvanus Palangka Raya.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum ini adalah untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman langsung tentang
bagaimana menerapkan Asuhan Keperawatan Dengan Diagnosa Medis Harga Diri Rendah .
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mahasiswa mampu menjelaskan konsep dasar Harga Diri Reandah?
1.3.2.3 Mahasiswa mampu menjelaskan Manajemen Asuhan Keperawatan Pada Pasien Harga
Diri Rendah?
1.3.2.4 Mahasiswa mampu melakukan pengkajian keperawatan Pasien Harga Diri Rendah?
1.3.2.5 Mahasiswa mampu menentukan dan menyusun intervensi keperawatan pada Pasien
Harga Diri Rendah?
1.3.2.6 Mahasiswa mampu melaksanakan implementasi keperawatan pada Pasien Harga Diri
Rendah?
1.3.2.7 Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada Pasien Harga Diri Rendah?
1.3.2.8 Mahasiswa mampu menyusun dokumentasi keperawatan pada Pasien Harga Diri
Rendah ?
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Untuk Mahasiswa
Mengedukasi pembaca agar lebih memahami dan menjadi bahan referensi bagi perawat
dalam memberikan pendidikan pentingnya pengetahuan tentang asuhan keperawatan yang
komprehensif pada pasien dengan Harga Diri Rendah.
1.4.2 Untuk Klien Dan Keluarga
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan informasi atau wawasan bagi pasien dan
Keluarga pada pasien Harga Diri Rendah.
Positif identitas
2. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian
tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang
menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi
secara situasional atau kronik. Secara situsional misalnya karena trauma yang muncul
tiba-tiba, sedangkan yang kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit atau sebelum
dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan memingkat saat dirawat (yosep,
2016).
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:
1) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa yang
mengancam kehidupan
2) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan dan
individu mengalaminya sebagai frustasi
a) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan dengan
pertumbuhan
b) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya anggota
keluarga melalui kelahiran atau kematian.
c) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan sehat dan
keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh kehilangan bagian tubuh;
perubahan ukuran, bentuk, penampilan atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang
berhubungan dengan tumbuh kembang normal; prosedur medis dan keperawatan.
2.1.4 Klasifikasi
Klasifikasi harga diri rendah dalam diagnosa keperawatan NANDA 2010 adalah:
1. Harga diri rendah situasional
Harga diri rendah situasional adalah persepsi negatif tentang diri sendiri karena adanya
situasi yang terjadi seperti, karena adanya trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya, harus
dioperasi, kecelakaan, perkosaan atau dipenjara termasuk dirawat di rumah sakit bisa
menyebabkan harga diri rendah karena penyakit fisik atau pemasangan alat bantu yang membuat
lingkungan klien tidak nyaman, kegagalan yang dialami, perubahan peran sosial dan adanya
penolakan dari lingkungan. Tanda dan gejala adalah merasa tidak mampu menghadapi suatu
peristiwa, merasa bimbang, merasa tidak berguna, bicara lambat, dan perilaku tidak asertif
(tidak mampu mengkomunikasikan keinginannya).
2. Harga diri rendah kronik
Perasaan negatif tentang diri sendiri yang berlangsung lama. Individu dengan harga diri
rendah kronik sebelum sakit atau sebelum dirawat klien sudah memiliki negatif dan meningkat
saat dirawat. Faktor pendukung peyebab harga diri rendah kronik yaitu tidak dapat beradaptasi
dengan lingkungan, kurang kasih sayang, kurang mengambil bagian dalam suatu masyarakat,
tidak dianggap di lingkungan, ketidaksesuaian perilaku dengan norma yang ada, tidak melakukan
aturan norma spiritual, merasa tidak dihargai orang lain, gangguan psikiatrik, mengalami
kegagalan yang berulang, berpikir negatif, adanya peristiwa yang mengakibatkan trauma. Tanda
dan gejala adalah bergantung dengan orang lain, merasa tidak mampu mengahadapi suatu
peristiwa, berpikir negatif yang berlebihan tentang diri sendiri, merasa bersalah, merasa malu,
sering kurang berhasil dalam suatu kegiatan, tidak mau mencoba situasi baru, merasa ragu,
kontak mata kurang, perilaku tidak asertif, mengkritik diri sendiri dan menolak hal positif yang
ada pada dirinya (menolak diri sendiri).
2.1.5 Patofisiologi (Pathway)
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri rendah
situasional yang tidak terselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu tidak pernah
mendapat feed back dari lingkungan tentang prilaku klien sebelumnya bahkan kecendrungan
lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah.
Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada suatu
situasi yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak
mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu terhadap diri sendiri
karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi harga diri rendah situasional, jika
lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara
terus menerus akan mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis.
Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan
Isolasi Sosial
(Fitria, 2014)
Nama : Tn. K
Umur : 30 Tahun
Hub. Dengan Pasien : Saudara Pasien
Pekerjaan : Kuli Bangunan
Alamat : Jl. Kecipir Lewu Tatau 02 No.112
Aniaya seksual
Penolakan
Tindakan kriminal
Jelaskan No. 1, 2, 3 : 1. Pasien penah mengalami gangguan jiwa
2. Pasien pernah berobat sebelumnya tetapi tidak berhasil
3. Pasien pernah mengalami penolakan
Masalah Keperawatan : Regimen Koping Tidak Efektif
4. Adakah anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa Ya Tidak
Hubungan keluarga Gejala Riwayat pengobatan/perawaran
…………………… ……………………. ………………….
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
5. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
Pasien menikah,di karunia seorang anak perempuan kemudian sekitar 3 bulan pasien
tidak mampu menafkahi keluarga karena di PHK.pasien juga pernah bekerja di luar negeri
tetapi tidak di gaji kemudian pulang tetapi belum memiliki pekerjaan yang tetap
Masalah Keperawatan: Koping individu tidak efektif
VI.FISIK
1. Tanda vital : TD : 120/90 mmh N :70 x menit
2. Ukur : TB : 154 cm BB :40 kg
3. Keluhan fisik : Ya Tidak
Jelaskan :-
Masalah keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan
VII.PSIKOSOSIAL
Keterangan :
1. Meninggal Dunia
2. Klien
3. Laki-laki
4. Tinggal Serumah
5. Perempuan
2. Konsep diri :
a. Gambaran diri :Pasien mengatakan tidak ada bagian tubuh yang tidak disukai /kecacatan
di tubuh klien
b. Identitas : klien merasa puas menjadi seorang laki-laki
c. Peran : klien mangatakan dirumah berperan sebagai seorang pekerja tidak tetap
d. Ideal diri : Pasien mengatakan sebagai seorang ayah dan kepala keluarga
seharusnya menafkahi anak dan istrinya tetapi karena pasien berada di rumah sakit maka
tidak dapat menafkahi seperti kepala keluarga yang lain.
e. Harga diri : klien mangatakan bahwa hubungannya dengan orang-orang sekitarnya
tidak baik seperti pada saat di Rumah sakit ini berinteraksi dengan orang lain jika ada hal
yang penting-penting saja, dikarenakan pasien kurang percaya diri.
Masalah Keperawatan :Harga Diri Rendah
3. Hubungan Sosial
a. Orang yang berarti : Klien mengatakan orang yang berarti baginya adalah
orang tua,saudara dan anaknya
b. Peran serta dalam kegiatan kelompok / masyarakat : klien mangatakan kurang aktif dalam
ruangan pada saat dirumah sakit saat ini ,berinteraksi dengan orang lain jika ada hal yang
penting-penting saja,
c. Hambatan dalam berbuhungan dengan orang lain : pasien merasa dirinya tidak bisa
merangkai kata-kata ,merasa minder juga ingin bergaul dengan teman-temannya dan
merasa malu untuk berhubungan dengan orang lain sehingga pasien sering menyendiri dan
melamun
Masalah keperawatan : Kerusakan Interaksi sosial
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan :Pasien beragama kristen dan pasien mengatakan
Ibadah itu sangat penting
b. Kegiatan ibadah :Selama pasien di rawat pasien selalu menjalankan
Ibadah pada hari minggu seperti biasanya
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
IV. STATUS MENTAL
1. Penampilan
√ Tidak rapi Penggunaan pakaian √ Cara berpakaian
tidak sesuai tidak seperti biasanya
Jelaskan : Klien belum mampu berpakaian rapi dan berpakaian seperti biasa
Masalah Keperawatan: Defisit Perawatan Diri
2. Pembicaraan
Cepat Keras Gagap Inkoheren
Apatis √ Lambat Membisu Tidak mampu memulai
pembicaraan
Jelaskan : klien tidak berbicara dengan jelas dan nada suara sangat rendah
Masalah Keperawan : Kerusakan Komunikasi
3. Aktivitas Motorik:
Lesu Tegang Gelisah Agitasi
Tik Grimasen Tremor Kompulsifmemulai
Jelaskan : Pasien tampak lesu
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
4. Alam perasaaan
Sedih Ketakutan Putus asa Khawatir Gembira berlebihan
Jelaskan : Klien mengatakan sedih karena bercerai
Masalah Keperawatan :Tidak ada masalah keperawatan
5. Afek
Datar Tumpul Labil Tidak sesuai
Jelaskan :Ekspresi wajah datar saat diajak berinteraksi
Masalah Keperawatan :Tidak ada masalah keperawatan
6. lnteraksi selama wawancara
Bermusuhan Tidak kooperatif Mudah tersinggung
9. Isi Pikir
Obsesi Fobia Hipokondria
Depersonalisasi Ide yang terkait Pikiran Magis
Waham
Agama Somatik Kebesaran Curiga
Nihilistic Sisip pikir Siar pikir Kontrol pikir
Jelaskan : -
Masalah Keperawatan :Tidak ada masalah keperawatan
10. Tingkat kesadaran
Bingung Sedasi Stupor
Disorientasi
Waktu Tempat Orang
Jelaskan : Pasien sadar dan tidak mengalami disorientasi, waktu,
tempat danorang
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
11. Memori
Gangguan daya ingat jangka panjang Gangguan daya ingat jangka pendek
Gangguandaya ingat saat ini Konfabulasi
Jelaskan : Saat di kaji Pasien dapat mengingat dengan baik
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
Makanan Pakaian
Keamanan Uang
Perawatan
kesehatan
Mandi
BAB/BAK
Kebersihan
Ganti Pakaian
Makan
- Nafsu makan
- BB : 58 kg
- Diet khusus
c. Tidur
Ya Tidak
5. Apakah pasien menikmati saat bekerja, kegiatan yang menghasilkan atau hobi
Ya Tidak
Jelaskan : Pasien mengatakan tidak ingin melakukan kegiatan
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
Regimen
individu Kerusakan Kerusakan Interaksi
Isolasi sosial tidak
Effect komunikasi Sosial
efektif
Core problem Gangguan Konsep diri : harga diri rendah Gangguan Pola Tidur
Kurang pengetahuan
Tentang Harga Diri Rendah
Sused
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Nama Klien: Tn.D Diagnosa Medis : Harga Diri Rendah
NIRM : ` Ruangan :
Diagnosa Perencanaan
NO Tgl. Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
1 Rabu, Gangguan TUM: Setelah 1x Intervensi SP 1:
10-03-2021 Konsep diri : - Pasien terlindung Klien menunjukkan tanda- 1.Bina hubungan saling
harga diri dari kecelakaan tanda percaya kepada percaya
09.20 WIB rendah - Pasien dapat memenuhi perawat : 2.nama panggilan perawat
kebutuhan nutrisi dan 1. Wajah cerah, dan tujuan perawat
kebutuhan sehari-hari tersenyum berkenalan
2. Mau berkenalan 3. Tanyakan dan panggil
TUK: Bersedia menceritakan nama kesukaan klien
-Pasien dapat membina perasaan 4.Tanyakan perasaan klien
hubungan saling percaya dan masalah yang
3. Pasien menunjukkan
-Pasien dapat dihadapi klien
tanda-tanda percaya
meningkatkan pengertian 5. Dengarkan dengan
pada perawat
tentang respon maladaptive penuh perhatian ungkapan
4. Pasien dapat
dan mengembangkan perasaan klien
menggunakan koping
respon yang adaptif 6.Buat kontak interaksi
adaptif
dengan jelas
2. Kamis, 11 Harga diri TUM : Setelah tindakan Setelah 1x Intervensi SP 2 :
Maret 2021 rendah keperawatan selama 1 Klien dapat :
1.Bina hubungan saling
11:00 WIB hari klien melakukan 1. Menjelaskan
percaya
aktivitas yang cara-cara sehat
2.Harga diri rendah yang
konstruktif sesuai mengatasi harga diri
timbul pada dirinya dapat
dengan minatnya yang rendah
diminimal-kan
dapat mengalihkan 2. Diskusikan
focus klien dari harga hobi/ aktivitas yang 3. Menghargai
diri rendah disukainya kemampuan klien serta
3. Anjurkan menunjukkan kemampuan
klien memilih dan yang klien miliki selain
melakukan aktivitas kemampuan yang klien
yang membutuhkan miliki sebelumnya
perhatian dan
4. Memasukkan kegiatan
keterampilan fisik
dalam jadwal kegiatan
4. Ikutsertakan
harian merupakan proses
klien dalam aktivitas
untuk membiasakan klien
fisik yang
melakukan aktifitas rutin
membutuhkan
yang dapat meningkatkan
perhatian sebagai
pengisi waktu luang harga diri
5. Bicara
dengan klien topic-
topik yang nyata
6. Anjurkan
klien untuk
bertanggung jawab
secara personal dalam
mempertahankan/
meningkatkan
kesehatan dan
pemulihannya
7. Beri
penghargaan bagi
setiap upaya klien
yang positif
3. Jumat, 12 Harga diri 3.Klien mendapat Setelah 1x Intervensi SP 3 :
Maret 2021 rendah dukungan keluarga Keluarga : 1. Diskusikan pentingnya
11.00 WIB untuk mengontrol 1. Menjelaskan cara peran serta keluarga
perasaan harga diri merawat klien perasaan sebagai pendukung
rendah negative harga diri rendah klien untuk mengatasi
2. Mengungkapkan rasa harga diri rendah
puas dalam merawat klien 2. Diskusikan potensi
keluarga untuk
membantu klien
mengatasi harga diri
rendah
3. Jelaskan pengertian
penyebab, akibat dan
cara merawat klien
dengan harga diri
rendah yang dapat
dilaksanakan oleh
keluarga
4. Peragakan cara
merawat klien
(menangani HDR)
5. Beri kesempatan
keluarga untuk
memperagakan ulang
6. Beri pujian kepada
keluarga setelah
peragaan
7. Tanyakan perasaan
keluarga setelah
mencoba cara yang
dilatihkan
4. Sabtu, 13 Harga diri 4. Klien menggunakan 4. Setelah 1x Intervensi SP 4 :
Maret 2021 rendah obat sesuai program Klien menjelaskan 1. Jelaskan manfaat
11:00 WIB yang telah ditetapkan - Manfaat minum obat menggunakan obat
- Kerugian tidak minum secara teratur dan
obat kerugian jika tidak
- Nama obat menggunakan obat
- Bentuk dan warna obat 2. Jelaskan kepada klien :
- Dosis yang diberikan - Jenis obat (nama,
kepadanya warna, dan bentuk
- Waktu pemakaian obat)
- Cara pemakaian - Dosis yang tepat
- Efek yang dirasakan untuk klien
- Klien menggunakan - Waktu pemakaian
obat sesuai program - Cara pemakaian
- Efek yang akan
dirasakan klien
3. Anjurkan klien
- Minta dan
menggunakan obat
tepat waktu
- Lapor ke
perawat/dokter jika
mengalami efek yang
tidak biasa
4. Beri pujian terhadap
kedisplinan klien
menggunakan obat
DOKUMENTASI HASIL ASUHAN KEPERAWATAN
Nama Klien : Tn.D Diagnosa Medis : Harga Diri Rendah
NIRM : Ruangan :
TGL IMPLEMENTASI EVALUASI
Rabu, 10-03-2021 SP 1: S:
1. Membina hubungan saling percaya - Pasien mengatakan “Nama
09.20 WIB 2. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan saya D”
perawat berkenalan O:
3. Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien - Pasien tampak tenang
4. Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi - Pasien tampak kooperatif
klien ketika ditanyakan
5. Membantu klien mengenal harga diri rendah - Kontak mata (+) meski hanya
6. Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan sekali-sekali saja
klien A: Gangguan Konsep diri : Harga
7. Mengajarkan klien untuk melakukan kegiatan agar diri rendah
meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri. P:
8. Memotivasi klien melakukan kegiatan dan aspek - Pertahankan hubungan saling
positif yang dimiliki setiap kali perasaan harga diri percaya
rendah datang - Masukkan ke dalam jadwal
9. Buat kontak interaksi dengan jelas. kegiatan harian
- Lanjutkan intervensi SP 2
mengikut sertkan pasien
dalam aktivitas fisik yang
membutuhkan perhatian
sebagai pengisi waktu luang.
P:
8. Pertahankan hubungan
dengan klien
9. Masukan ke dalam
jadwal kegiatan harian
10. Lanjutkan Intervensi SP
3
Menjelaskan kepada keluarga
pengetian HDR dan latihan Kegiatan
pada klien HDR
RESUME
Di Susun Oleh:
NAMA :
SUSED 2018.C.10a.0986
Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah Electro Convulsif Therapy (ECT) merupakan terapi penunjang untuk
mengobati berbagai gangguan jiwa, yang masih digunakan hingga saat ini. Electro
Convulsif Therapy adalah perlakukan dengan melakukan serangan pada otak
menggunakan listrik.1 Terapi ini menggunakan aliran listrik melalui elektroda dan
dipasang pada kepala sehingga menyebabkan kejang. Dokter psikiatri sering
menggunakan Electro Convulsif Therapy untuk mengobati pasien gangguan jiwa karena
hasilnya sangat efektif dan proses penyembuhanya lebih cepat. Indikasi dilakukan Electro
Convulsif Therapy pasien dengan gangguan jiwa menurut pedoman American Psychiatric
Association (APA) dalam Dian Sita Hapsari dan Suksmi Yitnamurti (2014), pada tahun
2001 dan kumpulan data serta consensus sebelum dipertimbangkan untuk Electro
Convulsif Therapy pasien harus memenuhi tiga kriteria meliputi: diagnosis gangguan
bipolar, depresi mayor atau mania persisten dengan atau tanpa gejala psikotik, gangguan
skizoafektif, skizofrenia, keparahan gejala dan derajat gangguan fungsional yang dialami
pasien yaitu berat atau ada agitasi ekstrim dan berkelanjutan, sedang dengan gejala telah
ada bertahun–tahun, pasien berada pada situasi yang mengancam kehidupan berupa
kelemahan akibat kurang makanan, resiko bunuh diri atau membunuh dan kurangnya
respon pengobatan yaitu kegagalan untuk merespon pada setidaknya dua uji coba
psikofarmakologi yang adekuat.2 Sedangkan indikasi dilakukan Electro Convulsif
Therapy menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.02.02/Menkes/73/2015 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa yaitu:
skizofrenia katatonik dan skizofrenia refrakter, tendensi bunuh diri berulang, gangguan
afektif bipolar (GB), gangguan obsesif kompulsif.
Electro Convulsif Therapy dapat dilakukan segera bila pasien gangguan jiwa tidak
menunjukan perbaikan dengan pengobatan farmokologi, jika terapi Electro Convulsif
Therapy menunjukan perbaikan maka dokter psikiatri dapat melakukan kembali terapi
tersebut. Tindakan Electro Convulsif Therapy mempunyai efek samping dan resiko,
untuk mencegah adanya hal-hal yang tidak diinginkan dokter psikiatri melakukan
tindakan Electro Convulsif Therapy harus melaksanakan praktik kedokteran sesuai
dengan Standar Operasional Prosedur (SPO) yang telah dibuat oleh rumah sakit sehingga
meminimalkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan dan perlunya dokter psikiatri
memberikan informasi kepada pasien atau keluarga pasien terkait tindakan yang akan
dilakukan. Electro Convulsif Therapy juga mempunyai beberapa efek samping yaitu
dapat menyebabkan kesehatan dan fisik karena obat anestesi dan obat relaksasi otot dapat
berefek pada jantung, trauma fisik dan nyeri, kejang yang berlangsung lama dan
kematian, resiko kerusakan memori ingatan. Pasien atau keluarga pasien harus diberikan
informasi tentang resiko hilang ingatan untuk sementara tergantung kondisi pasien dan
kerusakan pada alat Electro Convulsif Therapy, sebelum melakukan tindakan ECT alat
harus dipersiapkan terlebih dahulu dan di cek kembali apakah dapat digunakan atau
alatnya mengalami kerusakan karena akan mempengaruhi dengan hasil terapi yang tidak
optimal.
Efek sampingnya dari tindakan adalah gangguan memori sementara, sakit kepala,
nyeri otot, henti nafas, detak jantung/irama jantung tidak teratur, patah tulang atau
fraktur. Untuk meminimalkan terjadinya resiko dapat dilakukan pemberian anestesi
sebelum dilakukan tindakan Electro Convulsif Therapy yang dikenal dengan Electro
Convulsif Therapy Premedikasi dengan aliran arus listrik terkendali yang telah
diperhitungkan secara medis, Electro Convulsif Therapy (ECT) termasuk tindakan medis
yang beresiko dilakukan secara tim, sehingga sebelum melakukan tindakan Electro
Convulsif Therapy harus meminta Informed Consent terlebih dahulu pada pasien atau
keluarga pasien. Dokter harus meminta persetujuan kepada keluarga pasien karena
sebagai perlindungan hukum bagi pasien, persetujuan tindakan medis disebut Informed
Consent. Informed Consent adalah suatu izin (consent) atau pernyataan setuju dari pasien
yang diberikan dengan bebas dan rasional, sesudah mendapatkan informasi dari dokter
dan sudah dimengerti olehnya.Pemberian informed consent harus diberikan oleh dokter
yang merawat pasien, kemudian dokter berkewajiban memberikan informasi secara
lengkap kepada pasien atau keluarga pasien dengan bahasa yang mudah dipahami
sehingga informasi yang diberikan dapat tersampaikan dengan baik.
Peraturan yang mengatur tentang Informed Consent adalah Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
290 Tahun 2008 Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran dan menjelaskan “Semua
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan”.Tindakan medis yang diberikan pada pasien dapat diberikan setelah pasien
menyetujui dan menerima penjelasan Informed Consent yang diberikan sekurang-
kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang
dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, komplikasi terhadap tindakan serta
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.Tetapi pasien dengan gangguan jiwa tidak
cakap hukum untuk melakukan persetujuan tindakan kedokteran karena mengalami
gangguan mental sehingga tidak mampu membuat keputusan secara bebas.Walaupun
Orang Dengan Gangguan Jiwa tidak berkompeten memberikan persetujuan tetapi dalam
rekam medis harus ada tanda tangan pasien. Karena sudah diatur dalam Undang–Undang
Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa bahwa, “Persetujuan
tindakan medis secara tertulis dilakukan oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa yang
bersangkutan”. Dalam hal Orang Dengan Gangguan Jiwa dianggap tidak cakap dalam
membuat keputusan, persetujuan tindakan medis dapat diberikan oleh suami/istri, orang
tua, anak, atau saudara sekandung yang paling sedikit berusia 17 (tujuh belas) tahun, wali
atau pengampu atau pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam penentuan kecakapan Orang Dengan Gangguan Jiwa untuk
mengambil keputusan dalam memberikan persetujuan tindakan medis dilakukan oleh
dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter yang memberikan layanan medis saat itu.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam penelitian tesis ini dapat
dibuat perumusan masalah, yaitu sebagai berikut:
1.2.1 Mahasiswa mampu mengetahui Definisi Electro Convulsive Therapy (ECT)
1.2.2 Mahasiswa mampu mengetahui Pemeriksaan ECT
1.2.3 Mahasiswa mampu mengetahui Indikasi Electro Convulsive Therapy (ECT)
1.2.4 Mahasiswa mampu mengetahui Kontraindikasi ECT
1.2.5 Mahasiswa mampu mengetahui Komplikasi Electro Convulsive Therapy (ECT)
1.2.6 Mahasiswa mampu mengetahui Persiapan Alat Electro Convulsive Therapy (ECT)
1.2.7 Mahasiswa mampu mengetahui Persiapan ECT (Pra-ECT)
1.2.8 Mahasiswa mampu mengetahui Pelaksanaan ECT
1.2.9 Mahasiswa mampu mengetahui Post ECT
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk Mengidentifikasi dan Mendeskripsikan Hak Atas Informed Consent pada Pasien
Gangguan Jiwa dalam Tindakan Electro Convulsif Therapy Premedikasi.
2. Untuk Mengidentifikasi dan Mendeskripsikan Tugas dan Wewenang Dokter dan
Perawat Terkait Hak Atas Informed Consent pada Pasien Gangguan Jiwa.
3. Untuk Mengidentifikasi dan Mendeskripsikan Faktor–Faktor yang Mempengaruhi
Terhambatnya Hak Atas Informed Consent sebelum dilakukan Tindakan Electro
Convulsif Therapy Premedikasi pada Pasien
BAB 2
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Electro Convulsive Therapy (ECT)
ECT (Electroconvulsive) adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik dan
menimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini adalah bentuk
terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda yang ditempelkan pada
pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan
suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik digunakan pada otak melalui elektroda yang
ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup menimbulkan kejang grand mal, yang darinya
diharapkan efek yang terapeutik tercapai. Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui,
tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan perubahan-perubahan biokimia didalam otak
(Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin) mirip dengan obat anti depresan. Jadi bukan
kejang yang ditampilkan secara motorik melainkan respon bangkitan listrik di otak. Terapi ini
dilakukan dengan cara mengalirkan listrik sinusoid ke tubuh sehingga penderita menerima aliran
yang terputus – putus. Alatnya dinamakan konvulsator, di dalamnya ada pengatur voltase
(tekanan listrik) dan pengatur waktu yang secara otomatis memutuskan aliran listrik yag keluar
sesudah waktu yang ditetapkan. Setelah aliran listrik yang masuk dikepalanya, pasien menjadi
tidak sadar seketika. Konvulsi terjadi mirip epilepsy, diikuti fase kloni, kemudian relaksasi otot
dengan pernapasan dalam dan keras. Kemudian tidak sadar (kurang lebih 5 menit) dan setelah
bangun kemudian timbul rasa kantuk, kemudian pasien tertidur.
Terapi elektrokonvulsif (ECT) merupakan suatu jenis pengobatan somatik dimana arus listrik
digunakan pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut cukup
menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek yang terapeutik tercapai.
Mekanisme kerja ECT sebenarnya tidak diketahui, tetapi diperkirakan bahwa ECT menghasilkan
perubahan-perubahan biokimia didalam otak (Peningkatan kadar norepinefrin dan serotinin)
mirip dengan obat anti depresan.
2.2 Pemeriksaan ECT
Pada penanganan klien gangguan jiwa di Rumah Sakit baik kronik maupun pasien baru
biasanya diberikan psikofarmaka, psikotherapi, terapi modalitas yang meliputi terapi individu,
terapi lingkungan, terapi kognitif, terapi kelompok terapi perilaku dan terapi keluarga. Biasanya
pasien menunjukan gejala yang berkurang dan menunjukan penyembuhan, tetapi pada beberapa
klien kurang atau bahkan tidak berespon terhadap pengobatan sehingga diberikan terapi
tambahan yaitu ECT (Electro Convulsive Therapy).
2.3 Indikasi
1. Gangguan afek yang berat: pasien dengan depresi berat atau gangguan bipolar, atau
depresi menunjukkan respons yang baik pada pemberian ECT (80-90% membaik versus
70% atau lebih dengan antidepresan). Pasien dengan gejala vegetatif yang jelas (seperti
insomnia, konstipasi; riwayat bunuh diri, obsesi rasa bersalah, anoreksia, penurunan berat
badan, dan retardasi psikomotor) cukup bersespon.
2. Skizofrenia: skizofrenia katatonik tipe stupor atau tipe excited memberikan
respons yang baik dengan ECT. Tetapi pada keadaan schizofrenia kronik hal ini tidak
teralalu berguna.
3. Indikasi terapi kejang listrik adalah klien depresi pada psikosa manik depresi, klien
schizofrenia stupor katatonik dan gaduh gelisah katatonik. ECT lebih efektif dari
antidepresan untuk klien depresi dengan gejala psikotik (waham, paranoid, dan gejala
vegetatif), berikan antidepresan saja (imipramin 200-300 mg/hari selama 4 minggu)
namun jika tidak ada perbaikan perlu dipertimbangkan tindakan ECT. Mania (gangguan
bipolar manik) juga dapat dilakukan ECT, terutama jika litium karbonat tidak berhasil.
Pada klien depresi memerlukan waktu 6-12x terapi untuk mencapai perbaikan, sedangkan
pada mania dan katatonik membutuhkan waktu lebih lama yaitu 10-20x terapi secara
rutin. Terapi ini dilakukan dengan frekuensi 2-3 hari sekali. Jika efektif, perubahan
perilaku mulai kelihatan setelah 2-6 terapi.
2.4 Kontraindikasi
1. Tumor intra kranial, karena dapat meningkatkan tekanan intrakranial.
2. Kehamilan, karena dapat mengakibatkan keguguran
3. Osteoporosis, karena dapat berakibat terjadinya fraktur tulang.
4. Infark Miokardium, karena dapat terjadi henti jantung.
5. Asthma bronchiale, dapat memperberat keadaan penyakit yang diderita
2.5 Komplikasi
1. Amnesia (retrograd dan anterograd) bervariasi dimulai setelah 3-4 terapi berakhir 2-3
bulan (tetapi kadang-.kadang lebih lama dan lebih berat dengan metode bilateral, jumlah
terapi yang semakin banyak, kekuatan listrik yang meningkat dan adanya organik
sebelumnya.
2. Sakit kepala, mual, nyeri otot.
3. Kebingungan.
4. Reserpin dan ECT diberikan secara bersamaan akan berakibat fatal
5. Fraktur jarang terjadi dengan relaksasi otot yang baik.
6. Suksinilkolin diperlama pada .keadaan defisiensi hati dan bisa menyebabkan hipotonia.
2.6 Persiapan Alat
Persiapan klien
a. Anjurkan klien dan keluarga untuk tenang dan beritahu prosedur tindakan yang akan
dilakukan.
b. Lakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium untuk mengidentifikasi adanya kelainan
yang merupakan kontraindikasi ECT
c. Siapkan surat persetujuan
d. Klien berpuasa 4-6 jam sebelum ECT
e. Lepas gigi palsu, lensa kontak, perhiasan atau penjepit rambut yang mungkin dipakai
kliendapun alat-alat yang perlu disiapkan sebelum tindakan ECT, adalah sebagai berikut:
a. Konvulsator set (diatur intensitas dan timer)
b. Tounge spatel atau karet mentah dibungkus kain
c. Kain kasa
d. Cairan Nacl secukupnya
e. Spuit disposibel
f. Obat SA injeksi 1 ampul
g. Tensimeter
h. Stetoskop
i. Slim suiger
j. Set konvulsator
2.7 Persiapan ECT (Pra-ECT)
1. Lengkapi anamnesis dan pemeriksaan fisik, konsentrasikan pada peme¬riksaan jantung
dan status neurologic, pemeriksaan darah perifer lengkap, EKG, EEG atau CT Scan jika
terdapat gambaran Neurologis tidak abnormal. Hal ini penting mengingat terdapat
kontraindikasi pada gangguan jantung, pernafasan dan persarafan.
2. Siapkan pasien dengan, informasi, dan. dukungan, psikologis.
3. Puasa setelah tengah malam.
4. Kosongkan kandung kemih dan lakukan defekasi
5. Pada keadaan ansietas berikan 5 mg diazepam 1-2 jam sebelumnya
6. Antidepresan, antipsikotik, diberikan sehari sebelumnya
7. Sedatif-hipnotik, dan antikonvulsan (dan sejenisnya) harus dihentikan -sehari
sebelumnya.
2.8 Pelaksanaan ECT
1. Buat pasien merasa nyaman. Pindahkan ke tempat dengan permukaan rata dan cukup
keras.
2. Hiperekstensikan punggung dengan bantal.
3. Bila sudah siap, berikan premedikasi dengan atropin (0,6-1,2 mg SC, IM atau IV).
Antikolinergik ini mengendalikan aritmia vagal dan menurunkan sekresi gastrointestinal.
4. Sediakan 90-100% oksigen dengan kantung oksigen ketika respirasi tidak spontan.
5. Beri natrium metoheksital (Brevital) (40-100 mg IV, dengan cepat). Anestetik barbiturat
kerja singkat ini dipakai untuk menghasilkan koma yang ringan.
6. Selanjutnya, dengan cepat berikan pelemas otot suksinilkolin (Anectine) (30-80 mg IV,
secara cepat awasi kedalaman relaksasi melalui fasikulasi otot yang dihasilkan) untuk
menghindari kemungkinan kejang umum (seperti plantarfleksi) meskipun jarang.
7. Setelah lemas, letakkan balok gigi di mulut kemudian berikan stimulus listrik (dapat
dilakukan secara bilateral pada kedua pelipis ataupun unilateral pada salah satu pelipis
otak yang dominan)
2.9 Post ECT
1. Awasi pasien dengan hati-hati sampai dengan klien stabil kebingungan biasanya timbul
kebingungan pasca kejang 15-30 menit.
2. Pasien berada pada resiko untuk terjadinya apneu memanjang dan delirium pascakejang
(5 10 mg diazepam IV dapat membantu)
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ECT adalah suatu tindakan terapi dengan menggunakan aliran listrik
danmenimbulkan kejang pada penderita baik tonik maupun klonik. Tindakan ini
adalahbentuk terapi pada klien dengan mengalirkan arus listrik melalui elektroda
yangditempelkan pada pelipis klien untuk membangkitkan kejang grandmall. Therapi
ECTmerupakan peubahan untuk penderita psikiatrik berat, dimana pemberian arus
listriksingkat dikepala digunakan untuk menghasilkan kejang tonik klonik
umum.Padaterapi ECT ini,ada efek samping yang di hasilkan.Oleh karena itu perawat
harusmemperhatikan efek samping yang akan terjadi.Dan peran perawat dalam
terapiECT yaitu perawat sebelum melakukan terapi ECT, harus mempersiapkan alat
danmengantisipasi kecemasan klien dengan menjelaskan tindakan yang akandilakukan.
3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan dan sasarannya. Untuk
segala kekurangan dalam makalah ini maka kami selalu membuka diri untuk menerima saran dan
kritik dari semua pihak yang sama-sama bertujuan membangun makalah ini demi perbaikan dan
penyempurnaan dalam pembuatan makalah kami ke depannya.
DAFTAR PUSTAKA
Guze, B., Richeimer, S., dan Siegel, D.J. (2019). The Handbook of Psychiatry.
California: Year Book Medical Publishers
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2019). Synopsis of Psychiatry. New York:
Williams and Wilkins
Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2019). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed
ke-7). St. Louis: Mosby,
Inc. http://www.neurotherapy.asia/eeg_brain_mapping.htm
Dalami, Ermawati dkk. 2009. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Jiwa.
Jakarta : Trans Info Media Maramis, W.F. 1994. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya
: Airlangga University
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L.M., dkk. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa Teori dan Aplikasi Praktik
Klinik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.
Carpenito-Moyet, L. J. 2017. Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Edisi 10. Jakarta: EGC
Direja Surya, Herman Ade. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika
Erna Cahyani. 2016. Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Harga diri rendah.
(Online. Available) From: https://www.scribd.com/document/320503011/LP-SP-Hargadiri
rendah
Hawari, Dadang. 2018. Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta : FK Universitas Indonesia
Maslim, Rusdi. 2013. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
Jakarta : Bagian Ilmu Kedokleran Jiwa FK Unika Atma
Jaya