Askep Gadar Kelompok 6
Askep Gadar Kelompok 6
Askep Gadar Kelompok 6
ASUHAN KEPERAWATAN
KELOMPOK 6
1.KHOLIFAH NUR AZZAKIYAH ( 180103050 )
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA PURWOKERTO
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat ALLAH SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga
makalah ini telah terselesaikan.
Kami sadar bahwa terselesaikannya makalah ini tidak terlepas dari dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, Kepada berbagai pihak yang telah membantu terselesainya makalah ini
penulis mengucapkan terima kasih.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun tetap penulis harapkan untuk kesempurnaan makalah ini di masa yang
akan datang. Harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin
Penusun
DAFTAR ISI
Cover................................................................................................................................ i
a) Latar Belakang.................................................................................................... 1
b) Tujuan.................................................................................................................. 1
a) Pengertian............................................................................................................ 2
b) Etiologi.................................................................................................................. 2
c) Tanda dan Gejala................................................................................................ 3
d) Faktor Resiko ...................................................................................................... 5
e) Patofisiologi ......................................................................................................... 7
f) Pathway................................................................................................................ 9
g) Pemeriksaan ........................................................................................................ 10
h) Penatalaksanan Keperawatan Atau Medis....................................................... 10
a) Kasus ....................................................................................................................... 14
b) Asuhan Keperawtan............................................................................................... 14
BAB IV Penutup.............................................................................................................. 20
a) Kesimpulan.......................................................................................................... 20
b) Saran..................................................................................................................... 20
Daftar Pustaka................................................................................................................. 21
Lampiran
a) Jurnal 1.............................................................................................................. 22
b) Jurnal 2.............................................................................................................. 30
c) Jurnal 3.............................................................................................................. 40
BAB 1
PENDAHULUAN
a) Latar belakang
b) Tujuan
1. Tujuan umum :
Untuk memperoleh informasi mengenai penyakit open pneumotoraks pada pasien dengan
gawat darurat
2. Tujuan khusus :
b. Untuk mengetahui cara penanganan secara darurat pada pasien dengan open pneumotoraks
c. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang ditimbulkan jika tidak ditangani secara segera
pada pasien open pneumotoraks
BAB II
KONSEP TEORI
a) Pengertian
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya pneumotorak
hanya temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan
pneumotorak bilateral, (Danusantoso dalam Wijaya dan Putri, 2013). Penumotorakhanya
adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura (Price, 2006). Pneumothorak
merupakan suatu keadaan terdapatnya udara di dalam rongga paru pleura (Muntaqqin,
2008). Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pneumothorak adalah
keadaan adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura
b) Etiologi
Pneumithorak dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru pecah dan
memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke rongga pleura. Hal ini dapat terjadi ketika
luka beberapa tusukan dinding dada yang memungkinkan udara luar masuk ke ruang
pleura. Pneumothorak spontan dapat terjadi tanpa trauma dada, dan biasanya disebabkan
oleh kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista tersebut dapat terjadi tanpa penyakit
paru-paru yang berhubungan, atau mereka dapat berkembang karena gangguan paru-paru
yang mendasari, emfisema yang paling umum, (Tschopp dalam .2014)
c) Tanda dan Gejala
Peningkatan tekanan udara di dalam pleura akan menghalangi paru-paru untuk
mengembang saat menarik napas. Akibatnya, dapat muncul gejala berupa:
1. Nyeri dada
2. Sesak napas
3. Keringat dingin
4. Warna kulit kebiruan atau sianosis
5. Jantung berdebar
6. Lemas
7. Batuk
d) Faktor Resiko
Pneumotoraks bisa menyerang seseorang yang tak memiliki riwayat penyakit paru-paru.
Kondisi ini biasanya sering terjadi pada pria yang berusia 20-40 tahun, terutama
merekayang memiliki fisik tinggi dan kurus. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang
bias meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks, antara lain:
1. Merokok.
2. Genetik, beberapa jenis penyakit ini merupakan penyakti keturunan.
3. Mengidap penyakit atau gangguan pada paru-paru.
4. Mengidap Sindrom Marfan.
5. Cedera akibat kontak olahraga, seperti sepak bola.
6. Aktivitas ekstrim yang menyebabkan kerusakan pada dada.
7. Pernah mengalami pneumotoraks sebelumnya.
e) Patofisiologi
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung oleh jaringan
ikat,pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga pleura dibatasi
oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang melapisi otot-otot
dinding dada, tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup kedalam pleura dan tidak
sinsitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-20ml) dan berfungsi
sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura, (Prince. 2006).
f) Pathway
g) Pemeriksaan
1. Pola pengkajian Pola fungsi kesehatan daat dikaji melalui pola Gordon dimana
pendekatan ini memungkinkan perawat untuk mengumpulkan data secara sistematis
dengan cara mengevaluasi pola fungsi kesehatan dan memfokuskan pengkajian fisik
pada masalah khusus. Model konsep dan tipologi pola kesehatan fungsional menurut
Gordon:
a. Pola persepsi manajemen kesehatan Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan
penanganan kesehatan. Persepsi terhadap arti kesehatan, dan penatalaksanaan
kesehatan, kemampuan menyusun tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
Sensorik dan motorik menurun atau hilang, mudah terjadi injuri, perubahan persepsi
dan orientasi.
b. Pola nutrisi metabolik Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan
elektrolit, nafsu makan, pola makan, diet, fluktasi BB dalam 1 bulan terakhir,
kesulitan menelan, mual/muntah, daya sensori hilang di daerah lidah, pipi,
tenggorokan dan dyspagia. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi penurunan
nafsu makan akibat mual dan muntah.
c. Pola eliminasi Manajemen pola fungsi ekskresi, kandung kemih dan kulit,
kebiasaan defekasi, ada tidaknya masalah defekasi, masalahmiksi (oliguri, disuria,
dll), frekuensi defekasi dan miksi, karakteristik urine dan feses, pola input cairan,
infeksi saluran kemih, distensi abdomen, suara usus hilang. Pada klien post
craniotomy pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik
usus. Setelah pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan
mempergunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
Kadang-kadang kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang
d. Pola latihan aktivitas Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernapasan,
dan sirkulasi, riwayat penyakit jantung. Kesulitan aktifitas akibat kelemahan,
hilangnya rasa, paralisis, hemiplegi, mudah lelah. Dalam aktivitas sehari-hari dikaji
pada pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit.
e. Pola kognitif perseptual Menjelaskan persepsi sensori kognitif. Pola persepsi
sensori meliputi pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, dan kompensasinya
terhadap tubuh. Gangguan penglihatan (penglihatan kabur), dyspalopia, lapang
pandang menyempit. Hilangnya daya sensori pada bagian yang berlawanan
dibagian ekstremitas dan kadang-kadang pada sisi yang sama di muka.
f. Pola istirahat dan tidur Menggambarkan pola tidur, istirahat dan persepsi tentang
energi. Jumlah jam tidur pada siang dan malam.
g. Pola konsep diri persepsi diri Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan
persepsi terhadap kemampuan.
h. Pola peran hubungan Mengambarkan dan mengetahui hubungan peran pasien
terhadap anggota keluarga.
i. Pola reproduksi seksual Menggambarkan pemeriksaan genital.
j. Pola koping stres Mengambarkan kemampuan untuk mengalami stress dan
penggunaan sistem pendukung. Interaksi dengan orang terdekat, menangis, kontak
mata.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Kepala Pasien pernah mengalami trauma kepala, adanya hemato atau riwayat
operasi.
d. Telinga Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak
melibatkan saraf vestibulokoklearis)
TINJAUAN KASUS
A. Asuhan Keperawatan
Tn.A umur 54 tahun, datang ke RS Harapan Bangsa Purwokerto dengan saudaranya. Klien
datang dalam keadaan sadar. Klien mengeluh sesak nafas dan nyeri pada dada sebelah kiri
setelah terjatuh dari ketinggian ± 8 meter 3 hari yang lalu.
B. Pengkajian
1. Pengkajian Primer
a. Airway :
Sumbatan : Tidak ada
b. Breathing :
Frekuensi :26 x/menit
Irama : Tidak teratur
Dada klien tampak simetris
Suara nafas pada paru kiri menurun
c. Circulation :
Suhu : 37°C
Nadi : Nadi klien kuat, 85x/menit
Warna kulit : Kulit klien normal, tidak pucat
Perdarahan : Tidak ada
Turgor kulit : Baik
d. Disability :
Tingkat kesadaran : Composmentis
Pupil : Isokor
Reflek : Normal
e. Exposure
Adanya jejas trauma di dada sebelah kiri.
2. Pengkajian Sekunder
Head To Toe
No Dx Keperawatan NOC
1 Ketidakefektifan Pola Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam,
Nafa diharapkan pola nafas menjadi efektif dengan criteria hasil :
Status Pernafasan (0415)
Indikator Awal Akhir
Frekuensi pernafasan 2 4
Irama pernafasan 3 5
Suara auskultasi nafas 3 5
Keterangan :
1. Berat
2. Cukup berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada
E. Intervensi
diperlukan, mini-WSD.
misalnya nebulizer
BAB IV
PENUTUP
a) Kesimpulan
Pneumothorak adalah adanya udara dalam rongga pleura. Biasanya pneumotorak hanya
temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan pneumotorak
bilateral. Penumotorakhanya adanya udara dalam rongga pleura akibat robeknya pleura.
b) Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu dibutuhkan kritik dan saran
dari para pembaca yang sifatnya membangun.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/26525956/LP_and_ASKEP_PNEUMOTHORAX_KONSEP_DASA
R_PNEUMOTORAKS
https://www.alodokter.com/pneumothorax
https://www.halodoc.com/kesehatan/pneumotoraks
https://id.scribd.com/doc/215269086/Makalah-Pneumothorax-baru-docx
DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf11201
Penanganan Gawat Darurat Tension Pneumothorax Dengan Needle Thoracocentesis ICS ke-5 &
Pemasangan Mini-WSD: A Case Report
Ricat Hinaywan Malik
Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret /
Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang; [email protected] (koresponden)
ABSTRACT
Background: Tension pneumothorax is an emergency with high mortality rate that can be handled with
simple action. Besides due to many thoracic trauma, tension pneumothorax is rarely caused by infectious
diseases such as pulmonary tuberculosis. During this time, the treatment is with needle thoracocentesis
in the second intercostal space in mid-clavicle line and installation of chest tube-WSD in the fifth
intercostal space. Objective: To discuss emergency treatment with limited facilities and resources in
tension pneumothorax patients using needle thoracocentesis in the fifth intercostal space in mid-clavicle
line and mini-WSD installation. Methods: Case report, case choosed from a rare case that emergency
which patient treated and can survive until discharge from hospital with limited facilities and resources.
Results: A 38-year-old man was admitted to a hospital ward with shortness of breath that was getting
heavier the last week, coughing up sparse phlegm, and a fever. Physical examination: composmentis,
normal blood pressure, HR 132x/min, RR 34 x/min, temperature 37,5 oC, SpO2 80%. There is an increase
in JVP, asymmetric chest (left higher than right), right chest motion left behind, no chest pain,
hypersonor right chest, right chest auscultation sounds like air passing through water pipe, left chest
sounded roughly crackles. Support: leukocytosis, HIV positive on VCT, chest X-ray showing severe right
pneumothorax and left pulmonary tuberculosis. Patient was diagnosed with tension pneumothorax
secondary to pulmonary tuberculosis, other than AIDS. Emergency needle thoracocentesis is performed
in the right fifth intercostal space, mid-axilla line just above the 6th rib, and connected with mini-WSD.
The result is clinical improvement. Patient was survive until definitive action and further treatment can
be taken by the experts. Conclusion: The needle thoracocentesis of the fifth intercostal space in mid-
axilla line and mini-WSD is easier to perform and improve the clinical state of tension pneumothorax
patient.
Keywords: thoracocentesis; decompression; intercostal space; mini-water sealed drainage; secondary
tension pneumothorax
ABSTRAK
Latar Belakang: Tension pneumothorax merupakan keadaan gawat darurat dengan angka kematian
tinggi yang bisa ditangani dengan tindakan sederhana. Selain banyak disebabkan karena trauma toraks,
tension pneumothorax jarang disebabkan penyakit infeksi seperti tuberkulosis paru. Selama ini
penanganannya dengan needle thoracocentesis di sela iga kedua linea mid-klavikula dan pemasangan
chest tube-WSD di sela iga kelima. Tujuan: Mendiskusikan penanganan emergensi dengan keterbatasan
fasilitas dan sumber daya pada pasien tension pneumothorax menggunakan needle thoracocentesis di
sela iga kelima linea mid-klavikula dan pemasangan mini-WSD. Metode: Laporan Kasus, kasus dipilih
dari kasus emergensi yang jarang terjadi berupa kasus emergensi dimana pasien diberi penanganan dan
dapat bertahan hidup hingga pulang dari rumah sakit dengan keterbatasan fasilitas dan sumber daya.
Hasil: Seorang laki-laki, 38 tahun, dirawat di bangsal rumah sakit dengan sesak nafas yang semakin
memberat 1 minggu terakhir, batuk berdahak jarang, dan demam. Pemeriksaan fisik: komposmentis, TD
normal, HR 132x/min, RR 36 x/min, suhu 37,5 oC, SpO2 80%. Terdapat peningkatan JVP, dada asimetris
(kiri lebih tinggi dibanding kanan), gerak dada kanan tertinggal, tak ada nyeri tekan dada, dada kanan
hipersonor, auskultasi dada kanan terdengar seperti udara yang melewati pipa air, dada kiri terdengar
ronki kasar. Penunjang: leukositosis, VCT positif HIV, foto toraks menunjukkan pneumotoraks kanan
berat dan TB aktif paru kiri. Pasien didiagnosis tension pneumothorax sekunder karena TB paru, selain
AIDS. Dilakukan tindakan emergensi needle thoracocentesis di ICS 5 linea mid-aksila kanan tepat di atas
kosta ke-6, dan disambung dengan mini-WSD. Hasilnya terdapat perbaikan klinis. Pasien bertahan hidup
hingga dapat dilakukan tindakan definitif dan penanganan lebih lanjut oleh ahlinya. Kesimpulan:
Needle thoracocentesis sela iga kelima linea mid-aksila dan mini-WSD lebih mudah dilakukan dan
memperbaiki keadaan klinis pasien tension pneumothorax.
Kata kunci: torakosintesis; dekompresi; sela iga; mini-WSD; tension pneumothorax sekunder
PENDAHULUAN
Pneumotoraks spontan dibagi menjadi 2, yaitu primer (terjadi tanpa adanya penyakit paru yang
diketahui, termasuk iatrogenik) dan sekunder (terjadi pada pasien yang mengidap penyakit paru). (1,2)
Pneumotoraks spontan sekunder tersering terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK) sebanyak 70%, diikuti penyakit paru lain seperti tuberkulosis. (2) Angka kejadian pneumotoraks
spontan terdapat 18 hingga 28 kasus pada laki-laki dan 2 hingga 6 kasus pada wanita untuk tiap 100.000
populasi.(1)
Simple pneumothorax dapat berubah cepat menjadi tension pneumothorax bila tak segera dikenali.
(3)
Tension pneumothorax adalah keadaan yang mengancam nyawa.(4,5) Tension pneumothorax terjadi
melalui mekanisme kebocoran udara “katup satu arah” dari paru-paru atau melalui dinding dada. Udara
terperangkap dalam kavum pleura dan dengan cepat membuat paru-paru kolaps. Mediastinum
terdorong ke sisi yang berlawanan dari sisi pneumothorax. Gejala dan tanda tension pneumothorax
diantaranya adalah: nyeri dada, ingin makan udara (air hunger), takipnea, distres respirasi, takikardi,
hipotensi, deviasi trakhea menjauhi sisi pneumotoraks, distensi vena leher, tidak adanya suara nafas di
sisi pneumotoraks, perkusi didapatkan hiperresonan/hipersonor, dan sianosis (manifestasi terlambat),
serta saturasi arteri dengan pulse oxymeter hasilnya
menurun.(5) Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi pada kasus berat. (2)
Diagnosis dilakukan secara klinis tanpa pemeriksaan radiologi yang menunda penanganan. (4,5) Tension
pneumothorax biasanya ditangani secara darurat dengan dekompresi jarum (needle decompression atau
disebut juga needle thoracocentesis) dengan cara memasukkan kateter jarum besar ke dalam ruang
pleura (kavum pleura).(2,5) Lokasi penusukan di interkostal kedua (ICS II) di linea mid-klavikula. (4) Karena
faktor tebalnya dinding dada, kekakuan kateter, dan komplikasi teknis atau anatomis, dekompresi
dengan jarum bisa gagal. Faktor ketebalan dinding dada, misalnya pasien dengan otot dada tebal atau
obesitas(4) mempengaruhi keberhasilan dekompresi needle.(5) Selain itu, kesalahan identifikasi ICS kedua
juga sering terjadi.(6) Panjang needle 5 cm akan dapat menembus kavum pleura >50%, sedangkan
panjang needle 8 cm dapat menembus kavum pleura >90%. Bukti terbaru mendukung penempatan
kateter needle ukuran besar di interkostal kelima (ICS V).(5) Dokter umum memiliki kompetensi bisa
melakukan needle dekompresi secara mandiri.(7) Tidak semua rumah sakit memiliki chest tube yang
disambungkan ke Water Sealed Drainage (WSD) dan tidak semua dokter bedah (atau sub-bedah)
standby terutama di rumah sakit daerah pedalaman (rural area), sehingga dokter umum setempatlah
yang berperan menyelamatkan nyawa pasien tension pneumothorax.
Laporan kasus ini akan mendiskusikan kasus seorang laki-laki dengan tension pneumothorax sekunder
yang dilakukan tindakan emergensi needle thoracocentesis di spatium intercostal kelima linea mid-aksila
dan pemasangan mini-WSD di rumah sakit dengan fasilitas dan sumber daya yang terbatas.
METODE
Metode yang digunakan oleh penulis adalah Case Report. Studi dilakukan di rumah sakit dengan
keterbatasan fasilitas dan jumlah sumber daya di kota Demak, dicari kasus pasien yang bersifat
emergensi (mengancam nyawa) yang jarang terjadi yaitu tension pneumothorax tetapi berada di bangsal
antara tahun 2013 hingga tahun 2014.
Setelah ditemukan pasien dengan diagnosis tersebut, disiapkan semua alat dan bahan yang dibutuhkan,
yaitu: lidokain, spuit, kasa steril, alkohol, IV cath no.14G, plester, infus/transfusion set, flabot kosong
(bekas infus 500 cc berisi cairan sekitar separuhnya, dan gunting. Semua alat dan bahan tersebut
seharusnya berada di IGD maupun bangsal rumah sakit manapun (termasuk rumah sakit terpencil).
Pasien dilakukan anestesi lokal di sela iga kelima (ICS V) linea mid-aksila. Setelah anestesi lokal, sebuah
IV cath ukuran terbesar (14G) ditusukkan sebagai torakosintesis di spatium interkosta kelima (ICS 5)
tepat di sisi atas kosta ke-6 linea midaksila kanan sesuai update terbaru Advance Trauma Life Support
(ATLS).(5) Jarum (needle) diambil dan cath tetap menancap yang kemudian difiksasi dengan plester.
Setelah tidak didapatkan udara keluar dari needle, dilanjutkan pemasangan mini-water sealed drainage
(mini-WSD) yang dapat dibuat menggunakan alat sederhana. Mini-WSD terdiri dari selang infus yang
disambungkan dengan IV cath di satu sisi, sedangkan sisi lainnya digunting/dipotong sebelum ujungnya
dan dimasukkan ke dalam botol infus yang berisi air setengah botol, dengan ujung selang infus
tenggelam hingga dasar botol. Pasien dievaluasi undulasi dan gelembung udara (bubble) yang muncul
tiap pasien inspirasi.
Pasien diikuti perkembangannya (follow-up) dan data didokumentasikan secara lengkap, untuk
kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan kasus (case report).
HASIL
Seorang laki-laki berusia 38 tahun dibawa ke IGD, dilanjutkan foto toraks dan rawat inap di bangsal
rumah sakit dengan keluhan sesak nafas. Pasien mengeluh sesak sejak sekitar 1 minggu yang lalu, telah
diperiksakan ke perawat dekat rumahnya, didiagnosis asma dan mendapat obat tetapi sesak nafas tidak
berkurang dan semakin berat. Pasien mengeluh demam sejak 4 hari terakhir, batuk jarang sejak 5 bulan
terakhir dengan dahak kadang putih, kuning, dan hijau kental. Pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya, bukan perokok, tidak pernah menjalani pengobatan TB dan hipertensi. Pasien memiliki
riwayat trauma dada sekitar 1 minggu yang lalu karena jatuh di toilet dan dadanya membentur pipa,
nyeri dan tidak langsung sesak saat itu.
Pemeriksaan fisik di bangsal: status generalis tampak sulit bernafas, kesadaran komposmentis, gizi
cukup. Tanda vital: tekanan darah 120/80 mmHg, HR 132 kali/menit, RR 36 kali/menit, dan suhu tubuh
37,5oC (aksila). Saturasi oksigen perifer (SpO2) 80% dan dikoreksi menjadi 91% dengan oksigen non-
rebreathing mask (NRM). Rambut, kepala, kulit, mata, hidung, telinga, mulut, tenggorokan, jantung,
abdomen, anogenital, dan
ekstremitas dalam batas normal. Lehernya simetris, tidak teraba deviasi trakhea, tetapi tampak jelas peningkatan
tekanan vena jugularis( dilatasi vena).
(a) (b)
Gambar 2. Foto toraks pertama saat masuk rumah sakit (Gambar 2a).
Foto toraks kedua beberapa jam post Needle Thoracocentesis dan pemasangan Mini-WSD yang diaplikasikan selama
beberapa jam (hari kedua di rumah sakit) (Gambar 2b).
Inspeksi toraks tampak asimetris, hemitoraks kiri lebih tinggi daripada kanan, pergerakan hemitoraks kanan tertinggal
serta tidak dapat mengembang dengan baik, dan tampak tato di dada kiri atas. Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan di
seluruh lapang toraks. Perkusi hipersonor di hemitoraks kanan, sedangkan hemitoraks kiri sonor. Auskultasi suara
jantung terdengar cepat, tanpa gallop maupun murmur. Hemitoraks kanan tidak terdengar vesikuler, tidak ada ronki,
tidak ada wheezing, suara seperti udara yang melewati pipa dan lebih kuat di thoraks tengah kanan baik saat inspirasi
maupun ekspirasi. Hemitoraks kiri terdengar vesikuler, ronki kasar lebih keras di apeks terutama saat ekspirasi, dan
tanpa wheezing.
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 15.3 g%, leukosit 16.900/mm 3, hitung jenis
leukosit eosinofil/basofil/stab/segmen/limfosit/monosit berturut-turut 0/0/0/82/15/3, platelet 397.000/mm 3, LED 1 dan
2 jam berturut-turut 78 dan 104. Gula Darah Sewaktu (GDS) sebanyak 149 mg/dl, urea 47 mg/dl, kreatinin 1.27 mg/dl,
SGOT 65 mg/dl, SGPT 40 mg/dl, BTA sewaktu negatif dan BTA pagi juga negatif. VCT dari HIV ditemukan reaktif.
EKG didapatkan hasil sinus takikardi (Gambar 1). Pemeriksaan radiologi dari X-foto toraks pertama (saat masuk RS)
didapatkan hasil Ahli Radiologi: pneumotoraks kanan berat (ada deviasi trakhea), paru kanan kolaps berat, tampak
tuberkulosis aktif, dan tidak didapatkan kardiomegali (Gambar 2a).
Gambar 3. Skema Needle Thoracocentesis sela iga kelima dilanjutkan pemasangan Mini-Water Sealed Drainage
(Mini-WSD)
Pasien diberikan oksigenasi adekuat dan diberikan penanganan gawatdarurat tanpa adanya dokter spesialis bedah dan
dokter spesialis paru yang standby saat itu, dan tanpa adanya chest-tube serta WSD di bangsal tersebut. Setelah anestesi
lokal, sebuah IV cath ukuran terbesar (14G) ditusukkan sebagai torakosintesis di spatium interkosta kelima (ICS 5) tepat
di sisi atas kosta ke-6 linea mid-aksila kanan. Suara seperti ban bocor terdengar sangat keras. Jarum (needle) diambil dan
cath tetap menancap yang kemudian difiksasi dengan plester. Sekitar setengah jam kemudian sudah tidak ada suara
udara keluar lagi, kemudian IV cath disambungkan dengan WSD kecil (mini-WSD). Mini-WSD terdiri dari selang infus
yang disambungkan dengan IV cath yang menancap di dada pada satu sisi, sedangkan sisi lainnya digunting/dipotong
sebelum ujungnya dan dimasukkan ke dalam botol infus yang berisi air setengah botol, dengan ujung selang infus
tenggelam hingga dasar botol (Gambar 3). Tampak undulasi dan gelembung udara (bubble) berlebihan yang muncul tiap
pasien inspirasi.
Pemeriksaan follow-up 2 jam setelah pemasangan mini-WSD, pasien masih tampak sesak nafas tetapi hasil anamnesis
merasa lebih baik (sesak berkurang, RR menjadi 32 kali/menit), dan sudah tidak tampak undulasi dan bubble lagi. Mini-
WSD dilepas dan luka bekas jarum ditutup dengan kasa povidon iodin dan diplester. Pemeriksaan radiologi X-foto toraks
ulang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber daya manusia, sehingga baru dapat dilakukan 6 jam kemudian
(masuk hari kedua), dengan hasil menurut Ahli Radiologi bahwa pneumothorax kanan relatif sama, emfisema subkutis
kanan, dan masih tampak TB aktif paru kiri. Tak tampak cairan di kedua sisi hemotoraks (Gambar 2b).
Hari kedua, pasien ditangani dengan penanganan standar berupa continuous WSD dan obat antituberkulosis (OAT) oleh
Ahli Paru (pulmonologis), serta antibiotik, anti-HIV, dan simtomatik oleh Ahli Penyakit Dalam (internis), dan dilakukan
fisioterapi dada oleh Fisioterapis selama rawat inap. Paru mulai mengembang (Gambar 4) dan keadaan pasien berangsur
membaik. WSD standar dilepas setelah 20 hari, dan pasien keluar dari rumah sakit dengan lama rawat inap seluruhnya
21 hari (Tabel 1).
(a) (b)
Gambar 4. Foto toraks ketiga setelah WSD-Chest Tube terpasang, paru kanan mulai mengembang (hari kesembilan di
rumah sakit) (Gambar 4a). Foto toraks keempat dimana pengembangan paru kanan relatif sempurna saat WSD-Chest
Tube masih terpasang (hari ketujuh belas di rumah sakit) (Gambar 4b).
Tabel 1. Hasil Follow-Up setelah tindakan dekompresi Needle dan pemasangan Mini-WSD
PEMBAHASAN
Diagnosis
Diagnosis kasus ini dikonfirmasi setelah melihat foto toraks di bangsal, karena sudah dilakukan foto ketika dikirim dari
IGD. Diagnosis tension pneumothorax seharusnya tegak dan ditangani di IGD ketika pasien datang. Hal ini tidak sesuai
dengan Sutton & Jonas(4) dan American College of Surgeons(5) dimana diagnosis
tension pneumothorax ditegakkan secara klinis, tanpa melakukan pemeriksaan radiologi sehingga akan
menunda penanganan. Bila ada ultrasonografi, dapat didiagnosis dengan pemeriksaan FAST yang
diperluas (extended FAST/eFAST).(5)
Datangnya pasien dalam keadaan tension pneumothorax yang merupakan komplikasi pneumotoraks
spontan sekunder akibat TB merupakan keterlambatan. Bagaimanapun juga menurut Zarogoulidis et al.,
(2)
beberapa pasien membutuhkan waktu beberapa hari sebelum mencari pertolongan medis. Telah
diamati bahwa pneumotoraks spontan primer jarang menyebabkan tension pneumothorax.
Penanganan
Pasien dilakukan penanganan needle thoracocentesis sebagai upaya drainase dan dilanjutkan dengan
mini-WSD sebagai upaya re-ekspansi paru. Ini sesuai dengan Nason et al.(8) yang menyatakan bahwa
manajemen pneumotoraks spontan sekunder serupa dengan pneumotoraks spontan primer yaitu
membutuhkan drainase dan re-ekspansi paru.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemasangan needle yaitu lokasi penempatan, ketebalan
dinding dada, panjang needle, karakteristik pasien, body mass index (BMI), umur, jenis kelamin, dan
posisi lengan pasien.(9–13) Penempatan needle di ICS V linea mid aksila pada kasus ini juga sesuai dengan
American College of Surgeons(5) yang menyatakan bahwa ada bukti terbaru yang mendukung
penempatan kateter needle ukuran besar di interkostal kelima (ICS V).
Chang et al.(11) menjelaskan bahwa ketebalan dinding dada ICS keempat di linea aksila anterior lebih tipis
dibandingkan ICS kedua linea midklavikula. Rentang ketebalan dinding dada di ICS kedua linea
midklavikula adalah antara 4,33 – 4,67 cm, sedangkan di ICS keempat linea aksila anterior antara 3,76 –
3,99 cm. Sejalan dengan itu, Akoglu et al.(12) juga menjelaskan bahwa rata-rata ketebalan dinding dada
ICS kedua linea midklavikula pada laki-laki 3,8 cm, sedangkan pada perempuan 5,2 cm. Sedangkan rata-
rata ketebalan dinding dada ICS kelima linea mid aksila pada laki-laki 3,3 cm, sedangkan pada
perempuan 3,8 cm.
Sehingga juga dibutuhkan panjang needle setidaknya 5 cm di linea mid aksila ICS ke-4 atau ke-5 agar
kemungkinan besar bisa menembus hingga kavum pleura. Hal ini didukung pernyataan Ball et al.(14)
bahwa penggunaan kateter dengan panjang minimal 4,5 cm dengan lokasi di daerah aksila
meningkatkan angka keberhasilan pada pasien obesitas.
Follow-up kasus ini kurang lengkap karena hanya melihat undulasi dan bubble di hari pertama walaupun
foto toraks dilakukan berulang. Ini karena terbatasnya jumlah sumber daya dan catatan medis tidak
lengkap. Hal ini tidak sesuai dengan Hisyam & Budiono (15) yang menjelaskan bahwa follow-up yang
lengkap meliputi penilaian undulasi, bubble, warna dan jumlah cairan dalam 24 jam, serta foto rontgen
dada ulang.
Foto toraks kedua menunjukkan hasil tension pneumothorax yang relatif sama dengan foto pertama.
Seharusnya needle yang disambungkan Mini-WSD tidak langsung dilepas walaupun bubble dan undulasi
menghilang, sampai terpasang chest tube-WSD definitif. Ini tidak sesuai dengan Hisyam & Budiono (15) dan
Zarogoulidis et al.(2) yang menyatakan bahwa jarum atau kanul tetap dibiarkan di tempat sampai chest
tube bisa dimasukkan. Kateter yang tercabut, kusut, tersumbat, atau bila akumulasi udara masuk
berlebihan melebihi kemampuan evakuasi kateter bisa menyebabkan terjadinya tension pneumothorax
lagi.(6)
Permasalahannya adalah untuk memfiksasi needle dengan plester saja tidak kuat (mudah lepas sehingga
tidak masuk cavum pleura) sehingga seharusnya dipegang terus hingga terpasang chest tube-WSD yang
baru bisa dipasang beberapa jam kemudian. Bertambahnya komplikasi pneumotoraks seperti emfisema
subkutis dan gambaran radiologis pneumotoraks yang relatif sama beberapa jam setelah Mini-WSD
dicabut, yang seharusnya ada perbaikan gambaran radiologis, bisa dikarenakan kembali meningkatnya
tension pneumothorax walaupun sudah dilakukan dekompresi. Hal ini sesuai dengan Gordon et al.(16)
yang menyatakan bahwa pneumotoraks iatrogenik sering menjadi komplikasi dari torakosintesis dan
sering membutuhkan pemasangan chest tube.
Pemeriksaan ulang terus menerus dibutuhkan setelah tindakan dekompresi. (5) Walaupun sudah dirawat
bersama beberapa dokter, lamanya perawatan pasien mencapai 3 minggu yang menunjukkan
penanganan pneumotoraks kadang tidak mudah dilakukan. Ini sesuai dengan Zarogoulidis et al.(2) yang
menyatakan bahwa penanganan pneumotoraks tergantung beberapa faktor dan dapat bervariasi,
termasuk faktor dokter yang menangani pasien.
Dengan tindakan needle thoracocentesis di ICS 5, dokter jaga berhasil mengurangi keluhan sesak
sementara. Ini sesuai dengan American College of Surgeons (5) bahwa needle dekompresi mengubah
tension pneumothorax menjadi simple pneumothorax, dan sesuai dengan Wernick et al.(6) bahwa
alternatif yang lebih baik sebagai pertimbangan adalah penempatan needle thoracocentesis di linea mid-
aksila kelima.
Penanganan mini-WSD yang disambungkan dengan needle tidak bertahan lama dalam mengatasi
masalah sesak pasien seperti pada kasus ini, bahkan beberapa kasus pengalaman penulis gagal karena
tidak bisa menembus cavum pleura. Ini seperti pernyataan American College of Surgeons (5) bahwa
bagaimanapun juga, tindakan needle dekompresi tidak selalu berhasil. Sehingga guideline National
Institute for Health and Care Excellence (17) merekomendasikan penanganan tension pneumothorax
menggunakan open thoracostomy (dekompresi dengan jari) daripada needle decompression bila
penolong memiliki keahlian tersebut. Pemasangan tube thoracostomy tetap diperintahkan setelah
tindakan needle atau dekompresi dengan jari.(5)
KESIMPULAN
Pada penanganan tension pneumothorax, needle thoracocentesis di sela iga kelima linea mid-aksila dan
pemasangan mini-WSD lebih mudah dilakukan dan bisa dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas kurang
dan sumber daya terbatas, bahkan di bawah standar. Needle thoracocentesis di sela iga kelima lebih
mudah dilakukan dikarenakan dinding dada yang lebih tipis daripada di sela iga kedua linea mid
klavikula. Mini-WSD juga bisa dilakukan, terutama bila tidak ada chest tube, WSD definitif, ahli paru
maupun ahli bedah. Needle thoracocentesis dan mini-WSD dapat memperbaiki keadaan pasien tension
pneumothorax. Penanganan open thoracostomy dianggap lebih baik dan direkomendasikan bila penolong
memiliki keahlian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ashby M, Haug G, Mulcahy P, Ogden KJ, Jensen O WJ. Conservative Versus Interventional
Management for Primary Spontaneous Pneumothorax in Adults. Cochrane Database Syst Rev.
2014;12(12):CD010565. doi:10.1002/14651858.CD010565.pub2
2. Zarogoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, et al. Review Article: Pneumothorax: From Definition to
Diagnosis and Treatment. J Thor Dis. 2014;6(4). doi: 10.3978/j.issn.2072-1439.2014.09.24
3. Hefny AF, Kunhivalappil FT, Paul M, Almansoori TM, Zoubeidi T A-ZF. Anatomical locations of air for
rapid diagnosis of pneumothorax in blunt trauma patients. World J Emerg Surg. 2019;14:44.
doi:https://dx.doi.org/10.1186%2Fs13017-019-0263-0
4. Sutton D, Jonas M. The Management of Major Injuries. In: Apley & Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma 10th Ed. CRC Press; 2018:651-710.
5. ACS “American College of Surgeons.” Thoracic Trauma. In: Advanced Trauma Life Support Student
Course Manual 10th Ed. ; :65-66.
6. Wernick B, Hon H, Mubang R, et al. Complications of Needle Thoracostomy: A Comprehensive
Clinical Review. Int J Crit Illn Inj Sci. 2015;5(3):160-169. doi:10.4103/2229-5151.164939 7. KKI
“Konsil Kedokteran Indonesia.” Standar Kompetensi Dokter Indonesia.; 2012.
8. Nason K, Maddaus M, Luketich J. Chapter 19: Chest Wall, Lung, Mediastinum, and Pleura. In:
Schwartz’s Principles of Surgery 10th Ed. ; 2015:605-694.
9. Zengerink I, Brink P, Laupland K, Raber E, Zygun D, Kortbeek J. Needle Thoracostomy in The
Treatment of A Tension Pneumothorax in Trauma Patients: What Size Needle. J Trauma.
2008;64:111-114. doi:10.1097/01.ta.0000239241.59283.03
10. Sanchez L, Straszewski S, Saghir A, et al. Anterior Versus Lateral Needle Decompression of Tension
Pneumothorax: Comparison by Computed Tomography Chest Wall Measurement. Acad Emerg
Med. 2011;18:1022-1026. doi:DOI: 10.1111/j.1553-2712.2011.01159.x.
11. Chang SJ, Ross SW, Kiefer DJ, Anderson WE, Rogers AT, Sing RF CD. Evaluation of 8.0-cm needle at
the fourth anterior axillary line for needle chest decompression of tension pneumothorax. J
Trauma Acute Care Surg. 2014;76:1029-1034. doi:10.1097/TA.0000000000000158
12. Akoglu H, Akoglu EU, Evman S, Akoglu T, Altinok AD, Guneysel O, Onur OE ES. Determination of the
appropriate catheter length and place for needle thoracostomy by using computed tomography
scans of pneumothorax patients. Injury. 2013;44:1177-1182. doi:10.1016/j.injury.2012.10.005
13. Powers W, Clancy T, Adams A, West T, Kotwall C, Hope W. Proper catheter selection for needle
thoracostomy: A height and weight-based criteria; Injury. Injury. 2014;455:107-111. doi:DOI:
10.1016/j.injury.2013.08.026.
14. Ball CG, Wyrzykowski AD, Kirkpatrick AW, Dente CJ, Nicholas JM, Salomone JP, Rozycki GS, Kortbeek
JB FD. Thoracic Needle Decompression for Tension Pneumothorax: Clinical Correlation with
Catheter Length. Can J Surg. 2010;53(3):184-188.
15. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV Jilid II. ; :1646-
1649.
16. Gordon CE, Feller-Kopman D, Balk EM et al. Pneumothorax Following Thoracentesis: A Systematic
Review and Meta-analysis. Arch Intern Med. 2010;170(4):332-339.
doi:10.1001/archinternmed.2009.548
17. NICE “National Institute for Health and Care Excellence.” Major Trauma: Assessment and Initial
Management. NICE Guidel. 2016:1-23.
JURNAL 2
53
JURNAL
RESPIRASI
JR
Vol. 1 No. 2
Mei 2015
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr Soetomo
ABSTRACT
Background. Primary spontaneous pneumothorax (PSP) can be caused by a ruptured blep emfisematus subpleural.
People who smoke tobacco and marijuana simultaneously arise PSP will be more risky than just smoking tobacco.
Pneumothorax in cannabis smokers may occur due to coughing at the time was holding their breath, when they were
smoking marijuana. Case. We report the case of 33-year-old woman with recurrent shortness of breath as a result of
primary spontaneous pneumothorax in the right hemithorax. The patient’s tobacco and marijuana smokers. Patients
had undergone previous pleurodesis. Chest X-ray picture of the lines conveniently indicates lung collapse and air-fluid
level in the right hemithorax. Thoracoscopic showed a large bronchopleural fistula. During thoracotomy found one
bronkopeural fistula, three large blep, and more than 15 small blep. Then do the suturing of fistula and blep. Patients
recover in a short time and in good condition during treatment. Conclusion. Tobacco and marijuana smoking is a risk
factor that is synergistic to the occurrence of primary spontaneous pneumothorax. These patients consume both are
irregular but have resulted in multiple blep that can rupture and cause a pneumothorax.
KASUS
kurang dari setengah pak perbulan. Sekitar 3 tahun
yang lalu penderita juga merokok (digunakan secara
Seorang perempuan, Ny I, berusia 33 tahun, bersama) dengan mariyuana, tetapi tidak rutin dan
berdomisili di jalan Lebak Jaya Utara dan bekerja berlangsung selama enam bulan. Riwayat memakai
pada Hotel sebagai Supervisor Resepsionis. Masuk shabu-shabu selama 2 tahun, tetapi tidak pernah
rumah sakit (MRS) dengan keluhan sesak napas. memakai narkotika jenis lain. Penderita juga
Penderita merasakan sesak napas sejak delapan hari alkoholik. Riwayat seks bebas disangkal.
yang lalu. Sesak napas mendadak dan sesak terasa
semakin berat. Sesak napas tidak berkurang dengan Berdasarkan Pemeriksaan fisik; Penderita datang
dengan keadaan umum cukup, kesadaran kompos
istirahat atau perubahan posisi. Batuk jarang dan
mentis dengan GCS 456, tensi 110/80 mmHg, nadi
tidak ada dahak. Keringat malam dan penurunan
88x/menit, frekuensi napas 28 x/menit, dan suhu
berat badan tidak didapatkan. Nyeri dada didapatkan.
aksiler 36,4 C. Kepala dan leher tidak didapatkan
Buang air besar dan buang air kecil tidak terdapat
tanda-tanda anemis, ikterus, sianosis, serta tidak ada
kelainan. Penderita dirujuk dari rumah sakit swasta
pembesaran kelenjar getah bening maupun
setelah dirawat selama delapan hari. Penderita telah
peningkatan vena jugularis. Pada regio toraks,
dilakukan pemasangan drainase torakal yang
inspeksi tampak pergerakan dada asimetris dengan
disambungkan ke WSD. Setelah beberapa kali
hemitoraks kanan tertinggal. Pada palpasi didapatkan
dilakukan foto evaluasi dan paru tetap
fremitus raba hemitoraks kanan menurun. Pada
mengembang, satu hari sebelum masuk rumah sakit
perkusi didapatkan hipersonor pada hemitoraks kanan.
(SMRS) dilakukan pleurodesis dengan povidon
Pada auskultasi tidak didapatkan suara vesikuler pada
iodine, setelah dilakukan pleurodesis, keesokan
hemitoraks kanan. Tidak didapatkan suara wheezing
harinya dilakukan foto toraks evaluasi dan paru
dan ronki pada kedua hemitorak. Didapatkan egofoni
terlihat kolaps kembali, dan penderita dirujuk ke
pada hemitoraks kanan bawah. Pada pemeriksaan
RSUD Dr. Soetomo dalam kondisi masih terpasang
jantung, suara jantung (S1 dan S2) tunggal, tidak
drainase torakal.
didapatkan murmur maupun gallop.
Berdasarkan riwayat, penderita merokok (rokok Berdasarkan pemeriksaan abdomen, hepar dan lien
tembakau) sejak 15 tahun yang lalu sekitar 2-3 pak tidak teraba, tidak didapatkan massa intra
perhari dan mulai berkurang sejak 1 tahun sebelum abdomen maupun nyeri tekan. Bising usus dalam
MRS menjadi batas normal.
SEQUENCE OF EVENT
Inflamasi
Protease kronik
akan Ruptur alveoli yang Robekan blep
parenkim
mendegradasparu Bronkiolus dan alveolus
berisiko
i elastin kehilangan elastisitas pneumotoraks
Influks sel Hilang kemampuan
inflamasi ke paru menahan tekanan alveoli
Sesak napas
Kumatuti dan Marhana: Seorang Perempuan Perokok Tembakau dan Mariyuana 55
Pemeriksaan anggota gerak tidak ada edema, jari dekstra post pleurodesis. Dilakukan rawat bersama
tabuh, serta tidak didapatkan pembesaran kelenjar dan tindakan latihan pernapasan berupa deep
getah bening di ketiak maupun lipatan paha. breathing dan pursed-lip breating, breathing control
Berdasarkan pemeriksaan darah;Hb15,1 gr/dl, dan relaksasi; AROM excersise, dan latihan
Leukosit 12.500 / ul, Granulosit 77,1%, mobilisasi duduk-berdiri. Pemeriksaan faal paru di
Trombosit245.000 /ul, HCT 46,7 %, dapatkan hasil: FVC 1160 mL (42% predicted),
Glukosa102mg/dl, SGOT23 u/l, SGPT20 u/l, FEV1 1160 mL (48% predicted), FEV1/ FVC 100%.
Albumin 3,48mg/dl, BUN5mg/ dl, kreatinin serum Kesimpulan: restriksi berat tanpa obstruksi.
0,67 mg/dl, Natrium 137,4mmol, Kalium4,04 Dilakukan pemeriksaan analisa cairan pleura
mmol, klorida 102,1 mmolBGA;pH7,37; PCO238
3
dengan hasil: jumlah sel pleura 4100 sel/uL,
mmHg; PO2115 mmHg; HCO 22,0 mmol/l; BE
-
mononuklear 75%, polinuklear, 25%, glukosa cairan
-3,3; SO2 98 % pleura 94 mg/dL, protein cairan pleura 4,10 g/dL,
Berdasarkan pemeriksaan foto toraks (Gambar LDH cairan pleura 912 U/L.
1); didapatkan trakea teresan terdorong ke kiri Dua hari MRS di RSUD Dr Soetomo
Jantung: batas jantung kanan tertutup perselubungan, dilakukan tindakan torakoskopi pada kavum pleura
kesan terdorong ke kiri, Pulmo; lapang paru kanan dengan hasil: pleura viseralis dan parietalis tidak
tampak garis kolaps, air fluid level, dan bayangan tampak penebalan. Di rongga pleura tidak tampak
chest tube. Lapangan paru kiri tak tampak infiltrat fibrotic band. Tampak fistula bronkopleural pada
atau nodul, Sudut frenikokostalis kanan tertutup pleura viseralis kanan. Kemudian dilakukan
perselubungan, kiri anterior posterior tajam, pemasangan chest tube no. 28
Retrosternal space normal, retrocardial space tertutup Pada pemeriksaan torakoskopi hanya terlihat
perselubungan. Penderita didiagnosa sementara satu fistula dengan ukuran yang cukup besar. Pasien
yaitu; sesak napas dan pneumotoraks spontan primer kemudian direncanakan untuk dilakukan konsultasi
dekstra. Perkembangan penderita dibagi menjadi 3 dengan divisi bedah torak dan kardiovaksuler untuk
tahap yaitu; penutupan fistula tersebut.
1. Tahap penegakan diagnosis pneumotoraks spontan Tiga hari MRS dilakukan pemeriksaan
primer; evaluasi laboratorium darah rutin dan kimia klinik.
Pasien MRS di rumah sakit swasta dengan Hb 14.3 g/dL, Leukosit 10.100 /uL, granulosit 8
keluhan sesak napas tiba-tiba kemudian di foto
4.9%, trombosit 26.000
rontgen toraks dan dinyatakan pneumotoraks
paru kanan, dilakukan pemasangan drainase / uL, CRP 1,0 mg/dL, prokalsitonin < 0,05 ng/ml,
analisa gas darah tanpa oksigen dengan pH 7.46,
torakal yang kemudian disambungkan dengan pCO2 32 mmHg, pO2 106 mmHg, HCO3 22,8
-
Gambar 2. Torakoskopi
pada bagian tepi dan doek transparan pada lokasi insisi. Terapi pasca pembedahan: IVFD PZ 1500 cc/24 jam,
Dilakukan insisi, dinding dada dibuka lapis demi lapis
Cefazolin 3 1 gr, Ketorolac 3 30 mg, Ranitidine 2 1
melalui celah interkostal V. Tampak paru mengembang
amp, Posisi slight head up, Sambung WSD + continuous
sebagian. Dilakukan eksplorasi lebih luas. Didapatkan
suction -20 cmH 2 O, Nebulisasi salbutamol/6 jam.
fibrin-fibrin di permukaan paru dan terdapat beberapa
Dilakukan monitoring: Cek darah rutin dan analisa gas
tempat perlengketan ke dinding dada di bagian lobus
darah, foto toraks evaluasi, produksi drain, buble
superior dan lebih banyak pada lobus inferior.
ekspirasi. Hasil pemeriksaan hapusan cairan pleura: tidak
Didapaktan blep multiple sebanyak tiga buah dengan
ditemukan kuman batang tahan asam, tidak ditemukan
diameter ± 2 cm di lobus inferior dan blep-blep kecil dan
kuman gram negatif atau gram positif. Laboratoriun
sebagian bocor. Terdapat cairan pleura. (Lihat Gambar 3)
darah pasca operasi: Hb 9.7 gr/dL, leukosit 9.800/mm3,
Parenkim paru lain tampak baik. Dilakukan
trombosit 283.000/mm3, glukosa 132 mg/dl, SGOT 16
dekortikasi, fibrin-fibrin dibebaskan. Dilakukan repair
IU/L, SGPT 15 IU/L, albumin
fistula pada blep dan salah satunya di segmentektomi.
3.4 g/dL, BUN 5.2 mg/dl, kreatinin 0.6 mg/dl.Foto toraks
Dilakukan tes buble, kemudian dilakukan repair sampai
pasca operasi: paru tampak mengembang dengan
tidak ditemukan buble lagi. Rawat perdarahan dan
gambaran garis kolaps sangat minimal di bagian apeks
dilakukan pemasangan drain ukuran 28 Fr. Rongga
paru kanan dan gambaran cairan di lapangan paru kanan
dada ditutup dengan benang absorbable. Soft tissue
bawah.
ditutup lapis demi lapis. Tidak ditemukan komplikasi
selama operasi dan pasca operasi. 3. Tahap pasca operasi; Setelah operasi pembedahan,
pasien dirawat di ruang palem II. Pasien tidak merasa
sesak dan tidak memakai oksigen tambahan serta
dilakukan pemasangan suction -20 cmH2O. Pasien
menjalani terapi pernapasan dan mobilisasi sering mendadak dan makin lama makin berat. Nyeri
bertahap dari rehabilitasi medik. Pasien dilakukan dada dapat dirasakan pada sisi yang sakit, rasa berat,
klem pada chest tube dan dipertahankan selama tertekan, dan terasa lebih nyeri pada gerakan
48 jam. Dua minggu MRS dilakukan foto toraks pernapasan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan
(Gambar 4) evaluasi pasca klem chest tube. Tidak anamesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
ditemukan lagi gambaran kolaps paru efusi penunjang. Meskipun dengan pemeriksaan foto toraks
minimal. standar dapat terlihat adanya pneumotoraks, untuk
melihat adanya blep subpleura, bulla, dan atau
Pada hari keenam belas MRS dilakukan pelepasan perubahan lokal dari paru emfisematus hanya
chest tube. Setelah keadaan cukup optimal dan tidak
dapat terlihat jelas pada pemeriksaan computed
didapatkan komplikasi, keesokan harinya pasien
tomography (CT scan), inspeksi langsung pada
dipulangkan dengan terapi cefixime 2 200 mg,
pembedahan, pemeriksaan patologi dari spesimen, dan
codein 3 10 mg dan dianjurkan oleh rehabilitasi
otopsi. Seringkali penyebab kebocoran ditemukan
medik untuk melakukan latihan napas dan latihan
pada saat tindakan pembedahan. Gambaran patologik
gerak di rumah.
paru perokok dapat terlihat adanya proses inflamasi,
perubahan vaskular, granulomatos, dan degeneratif.
1,3
pneumotoraks spontan primer di Amerika Serikat Konsep lama menyebutkan bahwa pada PSP
terjadi akibat kebocoran udara tunggal (one single
adalah 7.4/100.000 per tahun pada laki-laki dan
aisway) yang berasal dari satu blep yang pecah. Data
1.2/100.000 per tahun pada perempuan.
2
Karena banyak pasien PSP mengalami rekurensi, instilasi pleurodesis ke dalam rongga pleura
dapat mengurangi angka rekurensi. Pemberian agen pleurodesis akan menurunkan angka rekurensi dari
40% menjadi 25%. Agen pleurodesis yang paling banyak digunakan adalah talk dan doksisiklin. Dapat
juga digunakan tetrasiklin. Bleomisin tidak direkomendasikan untuk digunakan.
2
Video-assisted thoracoscopy surgery (VATS) merupakan prosedur yang dipilih apabila tindakan aspirasi
sederhana mengalami kegagalan atau pasien mengalami pneumotoraks rekuren. Selama VATS, dapat
dilakukan penghilangan blep penyebab pneumotoraks dan dilakukan pleurodesis. Pada blep dapat dilakukan
endo-stapling. Bila bleb stapling tanpa dilakukan pleurodesis, angka rekurensi akan meningkat dan tindakan
ini tidak dianjurkan. VATS merupakan manajemen efektif untuk PSP. Angka rekureni sekitar 5,4%.
Komplikasi VATS yang paling sering adalah terdapatnya kebocoran udara yang persisten (kurang dari
5%).
2,3
Bila tidak memiliiki fasilitas VATS, open thoracotomy merupakan pilihan alternatif yang dapat diambil.
Sebaiknya dilakukan transaksilaris torakotomi untuk meminimialisasi trauma. Angka rekurensi PSP setelah
open thoracotomy lebih rendah dari VATS, yaitu 1,1% tetapi membutuhkan masa rawatan yang lebih
lama dan morbiditas postoperative yang lebih tinggi.
2
Pada pasien harus dilakukan manajemen postoperatif. Chest tube harus disambungkan dengan
suction untuk dapat menimbulkan simpisis pleura. Chest tube dapat dilepas pada hari kedua apabila
tidak terdapat kebocoran udara. Pasien dianjurkan untuk membatasi aktifitas yang dapat meningkatkan
tekanan intratorakal selama empat minggu.
11
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang perempuan, 33 tahun, rujukan dari rumah sakit swasta dengan pneumotoraks
dekstra totalis dan telah dilakukan pemasangan selang torakal dan
dilakukan pleurodesis, tetapi paru kemudian kolaps kembali berdasarkan evaluasi foto toraks. Di
RSUD Dr. Soetomo dilakuakan tindakan torakoskopi dan ditemukan fistula dengan ukuran besar.
Pasien kemudian dikonsultasikan ke bagian bedah toraks dan kardiovaskuler untuk penutupan
fistula. Selama operasi torakotomi didapatkan blep multiple sebanyak tiga buah dengan diameter ±
2 cm di lobus inferior dan blep-blep kecil dan sebagian bocor. Dilakukan dekortikasi, fibrin-fibrin
dibebaskan. Dilakukan repair fistula pada blep dan salah satunya di segmentektomi. Keadaan pasien
setelah operasi membaik dengan gambaran foto toraks tidak terdapat garis kolaps paru. Pasien
dipulangkan dalam keadaan baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Wibisono, MJ, Winariani, Slamet H. Buku ajar ilmu penyakit paru. Departemen Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR – RSUD Dr.
Soetomo. Surabaya. 2010. Hlm: 180-197
2. Mason, RJ, Courtney B, Thomas RM, et al. Murray & Nadel’s textbook of respiratory medicine 5th ed volume II. Saunders Elsevier.
Phiadelphia. 2010. Hlm: 1764-1770
3. Light RW, Gary L. Textbook of pleural disease. Hodder Arnold and Hachette UK company. London. 2008. Hlm: 516-526
4. Tan C, Hatam, Tom T. Bullous disease of the lung and cannabis smoking: insufficient evidence for causative link. Journal of the
royal society of medicine. London. 2006. Hlm: 77-80
5. British Lung Foundation. The impact of cannabis on your lung. 2012
6. Tashkin DP, Calvarese BM, Simmons MS. Respiratory status of 74 habitual marituana smoker. Chest. 1980. Hlm: 699-706
7. Goodyear K, Laws D and Turner J. 2004. Bilateral spontaneous pneumothorax in a cannabis smoker. In: J R Soc Med. , Sep, 97(9),
435-436 p
8. Feldman AL, Sullivan JT, Passero MA at al. 1993. Pneumothorax in polysubstance abusing marijuana and tobacco smokers: three
cases. In: J Subst Abuse, 5, 183–186 p
9. Klingman RR, Vito AA, Tom RD. Cystic and bullous lung disease. Annual thoracic surgery. Los Angeles. 1991. Hlm: 576.
10. Shields TW, Joseph LC, Reed CE. General Thoracic Surgery. William and Wilkins company. USA. 2012. Hlm: 738-741.
11. Greenberg GA, Singhal S, Kaiser LR. Bullous lung disease: evaluation, selection, techniques, and outcome. Chest surgery Clin
North Am. 2003. Hlm: 631.
JURNAL 3
LAPORAN KASUS
ABSTRACT
Case: Male, 31 years old, predicted body weight 70 kg admitted to Haji Adam Malik Hospital
with main complained stab wound on the left chest. Supine chest x-ray shown massive left-
ABSTRAK
Kasus: Laki-laki, 31 tahun, berat badan perkiraan 70 kg dirawat di Rumah Sakit Haji
Adam Malik dengan keluhan luka tusuk di dada kiri. Pemrisaan ronsen dada
menunjukkan hemothorax luas di sisi kiri. Dokter bedah membuka dada yang terkena
luka tusuk dan terlihat kolaps paru dengan darah diperkirakan 2.500 ml dari
hemitoraks kiri, ahli bedah memutuskan untuk melakukan sternotomy dan kemudian
menemukan robekan pada arteri mamaria interna kiri dan diligasi, ditemukan robek
ventrikel kanan tetapi tidak ada pendarahan dari luka. Serangan jantung terjadi dan
ahli bedah mulai pijat jantung internal dan resusitasi cairan, 15 menit setelahnya EKG
menunjukkan VF, defibrilasi internal pada 20 joule, EKG menunjukkan sinus takikardia
145/min, setelah mengontrol perdarahan, prosedur operasi selesai dan dilakukan
pemasangan selang dada. Pasien dipindahkan ke ICU untuk observasi. Pasien stabil
dan tidak ada komplikasi pada pasca operasi . Pasien dipulangkan pada harike 8
pasca operasi.
terhadap kehidupan.
berhubungan dengan anatomi pada segmen
setelah cedera.
kematian.
3
masif.
adalah 90 mm Hg.
Gambar 1.Tamponade Jantung
hemithorax kiri, ahli bedah membuat bedah mulai melakukan pijat jantung internal,
PEMBAHASAN
paru.
(awake intubation).
4
Tension Pneumothorax
dari pasien terus sering terjadi pada pada saat inspirasi tamponade pasca
rocuronium bersamaan
dipertahankan dengan
operasi intrakardial
Penanganan langsung
hemorragik toraks
masif adalah
kontrol perdarahan,
cairan sebelum
control perdarahan
dapat memperparah
toraks penetrative,
memungkinkan visualisasi lebih mudah dari ventrikel kiri. Defibrilasi internal dimulai dengan 20 joule dan
RINGKASAN
Keputusan untuk melakukan torakotomi darurat melibatkan penilaian yang cermat terhadap pengetahuan,
etika, sosial dan ekonomi. Sebuah manajemen yang cepat dengan Kom bi nasi kemampuan untuk
memprediksi keadaan yang bisa terjadi, kemampuan untuk melihat perubahan tanda-tanda klinis, dan
keberanian bedah untuk melakukan prosedur sederhana tapi menyelamatkan nyawa dapat membawa
perbedaan besar dalam hasil keluaran untuk pasien bahkan dalam rangkaian sumber daya yang terbatas.
1. American College of Surgeons Committee on Trauma. Thoracic Trauma. In: Ad- vanced Trauma Life
Support for Doctors. 6th ed. USA: American College of Sur- geons; 1997.p.147-63
2. Cohn SM. Pulmonary Contusion: Review of the clinical entity. J Trauma. 1997 ;42 (5):973-9.
3. Kulshreshi P, Munshi I, Wait R. J. Profile of chest trauma in a level 1 trauma centre. J Trauma. 2004 ;
57(3):576-81.
4. Woodall N. Fibre-optic intubation includ- ing local anaesthesia for awake intubation. Anaesthesia and
Intensive Care Medicine 2005; 6 (8) : 273-6
5. Lim E, Goldstraw P. Insertion of a chest tube to drain pneumothorax. Anaesth Inten- sive Care Med.
2008;9(12):520-2
6. Brasel KJ, Stafford RE, Weigelt JA, Ten- quist JE, Borgstrom DC. Treatment of oc- cult pneumothoraces
from blunt trauma. J Trauma. 1999 Jun;46(6):987-90; discussion 990-1
7. Parry GW, Morgan WE, Salama FD. Man- agement of haemothorax. Ann R Coll Surg Engl 1996;78:325-326
8. Spodick DH. Acute cardiac tamponade N Engl J Med. 2003;349(7):684-90
9. Rhee PM, Acosta J, Bridgeman A. Survival after emergency department thoracotomy: review of published
data from the past 25 years. J Am Coll Surg 2000;190:288-298