LAPORAN KASUS Tutut
LAPORAN KASUS Tutut
LAPORAN KASUS Tutut
Oleh :
dr. Tutut Rachmawati
Pembimbing :
dr. Erwin Sutedjo, Sp. A
dr. Juliadhy Sony Kurniawan
1
LEMBAR PENGESAHAN
2
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................... 2
DAFTAR ISI ..................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 5
2.1 Definisi ........................................................................................ 5
2.2 Epidemiologi .............................................................................. 5
2.3 Klasifikasi .................................................................................... 6
2.4 Cara Penularan ............................................................................. 6
2.5 Faktor Resiko ............................................................................... 6
2.6 Etiologi ........................................................................................ 7
2.7 Patogenesis dan Patofisiologi ...................................................... 8
2.8 Manifestasi Klinis ........................................................................ 10
2.9 Diagnosis ..................................................................................... 12
2.10 Tatalaksana ................................................................................ 16
2.11 Anemia ....................................................................................... 24
2.12 Definisi....................................................................................... 25
2.13 Epidemiologi ............................................................................. 26
2.14 Etiologi ...................................................................................... 26
2.15 Patogenesis Anemia Defisiensi Besi ......................................... 29
2.16 Patofisiologi Anemia Defisiensi Besi ........................................ 30
2.17 Manifestasi Klinis ...................................................................... 30
2.18 Diagnosis ................................................................................... 31
2.19 Diagnosis Banding ..................................................................... 33
2.20 Penatalaksanaan ......................................................................... 34
2.21 Prognosis ................................................................................... 37
BAB III. LAPORAN KASUS ........................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ 46
3
BAB 1
PENDAHULUAN
Diare masih merupakan salah satu penyebab utama morbilitas dan mortalitas anak di
negara yang sedang berkembang. Dalam berbagai hasil Survei kesehatan Rumah Tangga
diare menempati kisaran urutan ke-2 dan ke-3 berbagai penyebab kematian bayi di
Indonesia1. Sebagian besar diare akut disebabkan oleh infeksi. Banyak dampak yang
terjadi karena infeksi seluran cerna antara lain pengeluaran toksin yang dapat
menimbulkan gangguan sekresi dan reabsorpsi cairan dan elektrolit dengan akibat
dehidrasi, gangguan keseimbangan elektrolit dan keseimbangan asam basa. Invasi dan
destruksi sel epitel, penetrasi ke lamina propria serta kerusakan mikrovili dapat
menimbulkan keadaan malabsorpsi. Bila tidak mendapatkan penanganan yang adekuat
pada akhirnya dapat mengalami invasi sistemik (Subagyo, B. S. 2012.)
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIARE (GASTROENTERITIS)
2.1 Definisi
Diare adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai
perubahan konsistensi tinja menjadi cair dari biasanya dengan atau tanpa lendir dan darah.
Diare akut adalaha diare yang berlangsung kurang dari 14 hari (kurang dari 2 minggu),
sedangkan diare kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari (lebih dari 2
minggu) (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010)
Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besar lebih dari 3-4 kali
perhari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau normal.
Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi
merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan
saluran cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis
adalah meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistesinya menjadi cair yang
menurut ibunya abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang-kadang pada seorang anak
buang air besar kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistesinya cair, keadaaan ini sudah
dapat disebut diare. (Subagyo, B. S. 2012)
2.2 Epidemiologi
Secara epidemiologi diare dapat ditemukan di seluruh dunia baik di negara yang telah
maju ataupun di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Di negara maju walaupun
sudah terjadi perbaikan kesehatan dan sosial ekonomi yang tinggi tetapi penyakit diare
masih menjadi masalah kesehatan selain karena morbiditasnya juga karena biaya
perawatan kesehatannya yang cukup besar. Berdasarkan data dari World Gastroenterology
Organisation Practice Guideline di seluruh dunia terdapat sekitar 1,5 miliar kasus diare
pertahun dengan angka kematian 1,5-2 juta terutama pada anak usia kurang dari 5 tahun
atau mencapai angka 18% dari seluruh dunia yang berarti lebih dari 5000 anak yang
menderita diare setiap harinya, dari semua kasus yang kematian akibat diare sekitar 78%
terjadi di kawasan Afrika dan Asia Tenggara dan pada negara berkembang anak-anak usia
dibawah 3 tahun mengalami diare kurang lebih 3 kali setiap tahunnya. (Farthing, M et al.
2008.)
5
Di Indonesia angka morbiditas dan mortalitas akibat diare masih tinggi. Pada tahun
2000-2010 terlihat kecenderungan insidens yang meningkat berdasarkan hasil survei dari
Departemen Kesehatan. Pada tahun 2000 incidence rate (IR) diare 310/1000 penduduk,
tahun 2003 menjadi 374/1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423/1000 penduduk
dan tahun 2010 menjadi 411/1000 penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih
sering terjadi dengan jumlah kematian yang masih tinggi. Diare merupakan penyebab
kematian peringkat ke-13 berdasarkan pola penyebab kematian pada semua umur,
sedangkan berdasarkan dari hasil Riskesdas tahun 2007 diare masih sebagai penyebab
kematian nomor satu pada Balita. Dengan keadaan tersebut masalah diare menjadi
perhatian yang cukup serius demi mancapai target millennium development goals (MDGS)
poin ke empat yaitu menurunkan angka kematian balita (Agtini, M. D., & Soenarto, S. S.
2011)
2.3 Klasifikasi
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan : (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
1. Lama waktu diare : diare akut dan diare kronik
2. Mekanisme patofisiologis : osmotik, sekretorik, malabsorbsi, inflamasi, infeksi, dan
gangguan peristaltik
3. Berat ringannya diare : berat atau ringan
4. Penyebabnya infeksi atau tidak : diare infektif atau diare non infektif
5. Penyebabnya organik atau tidak : diare organik atau diare fungsional
6
5. Kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk
6. Kurangnya sarana kebersihan mandi, cuci, kakus (MCK)
7. Penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higenis (Subagyo, B. S. 2012.)
2.6 Etiologi
Diare dapat disebabkan oleh banyak penyebab, dimana dapat dikelompokkan menjadi :
1. Malabsorbsi : karbohidrat (intoleransi laktosa), lemak terutama trigliserida rantai
panjang, dan protein seperti beta-laktoglobulin.
2. Keracunan makanan, makanan mengandung zat kimia beracun atau makanan
mengandung mikroorganisme yang mengeluarkan toksin.
3. Alergi : susu sapi Cow’s milk protein sensitive enteropathy (CMPSE), atau makanan
tertentu.
4. Imonodefisiensi. Diare akibat imunodefisiensi ini sering terjadi pada penderita AIDS.
5. Atau infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus ataupun parasit (Gambar 1).
7
Tabel 2. Frekuensi Enteropatogen penyebab diare pada anka usia <5 tahun
8
usus, sehingga meningkatkan kadar adenosin 3’5’- siklik monofosfat (siklik AMP)
dalam sel yang menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang
diikuti oleh air, ion bikarbonat, kation natriu dan kalium.
b. Diare eksudatif (inflamatorik) : inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa
baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi
bakteri atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, inflamatory
bowel disease (IBD) atau akibat radiasi.
c. Kelompok lain : akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu tansit usus
menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, atau diabetes mellitus.
(Setiawan, B. 2009)
Pada dasarnya mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen
meliputi penempelan bakteri pada sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa,
invasi mukosa, dan produksi enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat
menggunakan satu atau lebih mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan
mukosa usus.
Simadibrata & Daldiyono (2009) serta Setiawan (2009) patogenesis diare
karena infeksi bakteri terdiri atas :
1. Diare karena bakeri non-invasif (enterotoksigenik)
Diare yang disebabkan oleh bakteri-bakteri non invasif disebut juga diare
sekretorik atau watery diarrhea. Pada diare tipe ini disebabkan oleh bakteri yang
memproduksi enterotoksin yang bersifat tidak merusak mukosa. Misalnya S. aureus,
C. perfringens, V cholera eltor, Enterotoxigenic E. coli (ETEC). Misalnya pada V.
cholerae eltor, bekteri ini mengeluarkan toksin yang terikat pada mukosa usus halus,
dalam 15-30 menit sesudah diproduksi, enterotoksin ini menyebabkan kegiatan
berlebihan nikotinamid adenine dinukleotid pada dinding sel usus, sehingga
meningkatkan kadar adenosin 3’5’- siklik monofosfat (siklik AMP) dalam sel yang
menyebabkan sekresi aktif anion klorida ke dalam lumen usus yang diikuti oleh air,
ion bikarbonat, kation natriu dan kalium.
2. Diare karena bakteri invasif (enteroinvasif)
Bakteri-bakteri yang bersifat merusak (invasif) diantaranya S. enteritidis, S.
typhimurium, S. paratyphi, S. choleraesuis, Shigella, Yersinia, C. perfringens tipe C,
Enteroinvasive E coli (EIEC). Diare disebabkan oleh kerusakan dinding usus berupa
nekrosis dan ulserasi. Sifat diarenya sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat
tercampur lendir dan darah.
9
2.8 Manifestasi Klinis
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainya
dapat terjadi komplikasi ekstraintestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala
gastrointestinal bisa berupa diare, keram perut, dan muntah. Sedangkan manifestasi
sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya. (Subagyo, B. S. 2012.)
Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita
tidak panas atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare,
menunjukan bahwa saluran makan bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien
immunocompromise memerlukan perhatian khusus, informasi tentang adanya
imunodefisiensi atau penyakit. (Subagyo, B. S. 2012.)
10
Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera
Gejala klinis :
Masa Tunas 17-72 24-48 jam 6-72 jam 6-72 jam 6-72 jam 48-72
Panas jam ++ ++ - ++ jam
Mual, + Jarang Sering + - -
muntah Sering Tenesmus, Tenesmus,koli - Tenesmus, Sering
Nyeri perut Tenesmus kramp k - kramp Kramp
Nyeri - + + 2-3 hari - -
kepala 5-7 hari >7hari 3-7 hari Variasi 3 hari
lamanya
sakit
Sifat tinja:
Volume Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banya
Frekuensi 5- >10x/hari Sering Sering Sering k
Konsistensi 10x/hari Lembek Lembek Cair Lembek Terus
Darah Cair + Kadang - + mener
Bau - - Busuk - - us
Warna Langu Merah- Kehijauan Tak Merah- Cair
Leukosit Kuning hijau + berwarna hijau -
Lain-lain hijau + Sepsis + - - Amis
- Kejang+ Meteorismus Infeksi khas
anorexia sistemik+ Sepert
i air
cucuia
n
beras
-
-
2.9 Diagnosis
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut : lama diare,
frekuensi, volume, konsistensi tinja, warna, bau, ada/tidak lendir dan darah. Bila
11
disertai muntah volume dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau
tidak kencing dalam 6-8 jam terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama
diare. Adakah panas atau penyakit lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis
media,. Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit,
membawa berobat ke puskesmas atau ke rumah sakit dan obat-obatan yang diberikan
serta riwayat imunisasinya. (Subagyo, B. S. 2012.)
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa : berat badan, suhu tubuh, frekuensi
denyut jantung dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-
tanda tambahan lainya: ubun-ubun besar cekung atau tidak, mata: cowong atau tidak,
ada atau tidak adanya air mata, bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.
Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asiodosis metabolik. Bising
usus yang lemah atau tidak, ada bila terdapat hipokalemia. Pemeriksaan ekstremitas
perlu karena perfusi dan capillary refill dapat menentukan derjat dehidrasi yang
terjadi. Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara:
objektif yaitu dengan membandingkan berat badan sebelum dan sesudah diare.
Subjektif dengan menggunakan criteria WHO atau maurice king. (Subagyo, B. S.
2012.)
12
Tabel 5. Penetuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995
3. Penilaian A B C
Lihat:
Pemeriksaan laboratrium
darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan
tes kepekaan terhadap antibiotika
13
tinja:
a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan
diare meskipun pemeriksaan labotarium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa
mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enteroksin virus, protozoa, atau
disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal. Tinja yang mengandung darah
atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang menghasilkan sitotoksin bakteri
enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E.
hystolitica, B.coli , T.trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam
tinja kecuali pada infeksi dengan E.hystolitica darah sering terdapat pada permukaan
tinja dan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium dan
Strongyloides. (Subagyo, B. S. 2012.)
Pemeriksaan makroskopik mencakup warna tinja, konsistesi tinja, bau tinja,
adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu banyak
berkolerasi dengan penyebab diare. Warna hijau tua berhubungan dengan adanya
warna empedu akibat garam empedu yang dikonjugasi oleh bakteri anaerob pada
keadaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau obat
yang dapat menyebabkan warna merah dalam tinja seperti rifampisin. Konsistensi
tinja dapat cair, lembek, padat. Tinja yag berbusa menunjukan adanya gas dalam tinja
akibat fermentasi bakteri. Tinja yang berminyak, lengket, dan berkilat menunjukan
adanya lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan di kolon,
khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang sangat berbau menggambarkan adanya
fermentasi oleh bakteri anaerob dikolon. Pemeriksaan pH tinja menggunakan kertas
lakmus dapat dilakukan untuk menentukan adanya asam dalam tinja. Asam dalam
tinja tersebut adalah asam lemak rantai pendek yang dihasilkan karena fermentasi
laktosa yang tidak diserap di usus halus sehingga masuk ke usus besar yang banyak
mengandung bakteri komensial. Bila pH tinja<6 dapat dainggap sebagai malabsorbsi
laktosa. (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.)
Pada diare akut sering terjadi defisiensi enzim lactose sekunder akibat
rusaknya mikrofili mukosa usus halus yang banyak mengandung enzim lactase.
Enzim laktsae merupakan enzim yang bekerja memecahkan laktosa menjadi glukosa
dan galaktosa, yang selanjutnya diserap di mukosa usus halus, Salah satu cara
menentukan malabsorbsi laktosa adalah pemeriksaan clinitest dikombinasi dengan
14
pemeriksaan pH tinja. Pemeriksaan clinitest dilakukan dengan prinsip melihat
perubahan reaksi warna yang terjadi antara tinja yang diperiksa dengan tablet clinitest.
Prinsipnya adalah terdapatnya reduktor dalam tinja yang mengubah cupri sulfat
menjadi cupri oksida. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil bagian cair dari
tinja segar (sebaiknya tidak lebih dari 1 jam). Sepuluh tetes air dan 5 tetes bagian cair
dari tinja diteteskan kedalam gelas tabung, kemudian ditambah 1 tablet clinitest.
Setelah 60 detik maka perubahan warna yang terjadi dicocokan dengan warna
standart. Biru berarti negatif, kuning tua berarti positif kuat (++++=2%), antara
kuning dan biru terdapat variasi warna hijau kekuningan (+=1/2%), (++=3/4%), (++
+=1%). Sedangkan terdapatnya lemak dalam tinja lebih dari 5 gram sehari disebut
sebagai steatore. (Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010.)
b. Pemeriksaan mikroskopik :
bila terdapat 5-10 leukosit per lapang pandang besar disebut (+)
bila terdapat 10-20 leukosit per lapang pandang besar disebut (++)
bila terdapat leukosit lebih dari ½ lapang pandang besar disebut (+++)
Adanya lemak dapat diperiksa dengan cara perwanaan tinja dengan sudan III
yang mengandung alcohol untuk mengeluarkan lemak agar dapat diwarnai secara
mikroskopis dengan pembesarn 40 kali dicari butiran lemak dengan warna kuning
atau jingga. Penilaian berdasarkan 3 kriteria : (Subagyo, B. S. 2012.)
(+) bila tampak sel lemak kecil dengan jumlah kurang dari 100 buah per
lapang pandang atau sel lemak memenuhi 1/3 sampai ½ lapang pandang
(++) bila tampak sel lemak dnegan jumlah lebih 100 per lapang pandang atau
sel memenuhi lebih dari ½ lapang pandang
15
(+++) bila didapatkan sel lemak memenuhi seluruh lapang pandang.
Pemeriksaan parasit paling baik dilakukan pada tinja segar. Dengan memakai
batang lidi atau tusuk gigi, tinja diambil sedikit dan diemulsikan dalam tetesan NaCl
fisiologis, demikian juga dilakukan dengan larutan Yodium. Pengambilan tinja cukup
sedikit saja agar kaca penutup tidak mengapung tetapi menutupi sediaan sehingga
tidak terdapat gelembung udara. Sediaan tak berwarna (NaCL fisiologis) diperiksa
dahulu, karena telur cacing dan bentuk trofozoid dan protozoa akan lebih mudah
dilihat. Bentuk kista lebih mudah dilihat dengan perwanaan yodium. Pemeriksaan
dimulai dengan pembesaran objekstif 10x, lalu 40x untuk menentukan spesiesnya.
(Subagyo, B. S. 2012.)
2.10 Tatalaksana
Terdapat lima pilar penting dalam tatalaksana diare yang telah ditetapkan
Departemen Kesehatan baik untuk yang dirawat dirumah maupun yang dirawat di
rumah sakit : (Subagyo, B. S. 2012.)
1. Rehidrasi
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
3. ASI dan makanan tetap diteruskan
4. Antibiotik selektif
5. Nasihat kepada orang tua
Tujuan pengobatan diatas dapat dicapai dengan cara mengikuti rencana terapi
yang sesuai, seperti yang tertera dibawah ini: (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
- pada bayi muda, pemberian ASI merupakan pemberian cairan tambahan yang
utama. Beri ASI lebih sering dan lebih lama pada setiap kali pemberian.
- jika anak memeperoleh ASI eksklusif, beri oralit, atau air matang sebagai
tambahan
16
- jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, beri 1 atau lebih cairan berikut ini:
oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang jumlah cairan
yang diberikan adalah 10 ml/kgbb dan katakan pada ibu
- jika anak muntah, tunggu 10 menit. kemudia lanjutkan lagi dengan lebih
lambat.
Pada anak berumur 2 bulan keatas, beri tablet zinc selama 10 hari dengan dosis :
(Subagyo, B. S. 2012.)
2. Rencana terapi B
Penanganan dehidrasi sedang/ ringan dengan oralit. Beri oralit di klinik sesuai
yang dianjurkan selama periode 4 jam. Jumlah oralit yang diperlukan 75 ml/kgBB.
Kemudian setelah 4 jam ulangi penilaian dan klasifikasikan kembali derajat
dehidrasinya, dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan.
Setelah rehidrasi kebutuhan cairan yang diperlukan untuk mencegah dehidrasi 10-20
ml/kgBB. Jika ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai tunjukan cara
menyiapkan oralit di rumah, tunjukan berapa banyak larutan oralit yang harus
diberikan dirumah untuk menyelesaikan 4 jam pertama. Beri bungkus oralit yang
cukup untuk rehidrasi dengan menambah 6 bungkus lagi sesuai yang dainjurkan.
Jika anak menginginkan oralit lebih banyak dari pedoman diatas, berikan sesuai
kehilangan cairan yang sedang berlangsung. Untuk anak berumur kurang dari 6
bulan yang tidak menyusu, beri juga 100-200 ml air matang selama periode ini.
Mulailah memberi makan segera setelah anak ingin makan. Lanjutkan pemberian
17
ASI. Tunjukan pada ibu cara memberikan larutan oralit. berikan tablet zinc selama
10 hari. (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
Beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui
mulut, sementara infuse disiapkan. Beri 100 ml/kgBB cairan ringer laktat atau ringer
asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl) yang dibagi sebagai berikut.
(Subagyo, B. S. 2012)
ulangi sekali lagi jika denyut nadi sangat lemah atau tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik,
beri tetesan intravena lebih cepat. Juga beri oralit (kira-kira 5ml/kgBB/jam) segera
setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan
beri anak tablet zinc sesuai dosis dan jadwal yang dianjurkan. Periksa kembali bayi
sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam (klasifikasikan dehidrasi), kemudian pilih
rencana terapi) untuk melanjutkan penggunaan. (Subagyo, B. S. 2012)
Prinsip pemberian terapi cairan pada gangguan cairan dan elektrolit ditujukan
untuk memberikan pada penderita: (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
18
muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah direkomendasikan WHO
dan UNICEF untuk diare akut non kolera pada anak. (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
KKP
Bronkopneumonia
Ensefalitis
Meningitis
Meteorismus
AKI
Impending decom cordis
Pengobatan Dietik
19
umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan yang dibutuhkan
dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering mungkin dan
selama anak mau. Peranan ASI selain memberikan nutrisi yang terbaik, juga terdapat
0,05 IgA/hari yang berperan memberikan perlindungan terhadap kuman pathogen.
Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang bisa diminum paling tidak setiap 3
jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau bebas laktosa mungkin
diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare timbul kembali
atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan dengan
pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH<6) dan terdapat bahan yang mereduksi
dalam tinja>0,5%. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari
kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap
selama 2-3 hari. (Subagyo, B. S. 2012.)
Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak
atau padat, makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diet harus
berasal dari makanan dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6kali atau lebih)
dan anak dibujuk untuk makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan
seperti serealia pada umunya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah
disapih. Makanan padat memiliki keuntungan, yakni memperlambat pengosongan
lambung pada bayi yang minum ASI atau susu formula, jadi memperkecil jumlah
laktosa pada usus halus per satuan waktu. Pemberian makanan lebih sering dalam
jumlah kecil juga memberikan keuntungan yang sama dalam mencernakan laktosa dan
penyerapanya. Pada anak yang lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri
dari:makanan pokok setempat misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi.
Untuk meningkatkan kandungan energinya dapat ditambahkan 5-10 ml minyak nabati
untuk setiap 100 ml makanan. Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya
20
akan karoten. Campur makanan pokok tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-
sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe, daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang
baik untui menambah kalium. Makanan yang berlemak atau makanan yang
mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang diperdagangkan, minuman
ringan, sebaiknya dihindari. (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa
kegagalan pertumbuhan mungkin dapat terjadi teruatama bila terjadi anorexia hebat.
Oleh karena itu perlu pemberian ekstra makanan yang akan zat gizi beberapa minggu
setelah sembuh untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta
mempertahankan pertumbuhan yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak
merasa lapar, pada keadaan semacam ini biasanya anak dapat menghabiskan
tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya. (Suratmaja Sudaryat. 2007.)
Zinc
Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan
nafsu makan anak. Zinc termasuk mikronutrien yang mutlak dibutuhkan untuk
memelihara kehidupan yang optimal. Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam
pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya terhadap imun atau terhadap struktur
dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses perbaikan epitel saluran cerna selama
diare. Pemberian zinc pada diare dapat meningkatkan absorbs air dan elektrolit oleh
usus halus meningkatkan kecepatan regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah
brush border apical, dan meningkatkan respon imun yang mempercepat pembersihan
patogen di usus. Pengobatan dengan zinc cocok ditetapkan di negara-negara
berkembang seprti Indonesia yang memiliki banyak masalah terjadinya kekurangan
zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang rendah dan daya imunitasnya
yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan risiko terjadinya dehidrasi
pada anak. Dosis zinc untuk anak-anak : (Subagyo, B. S. 2012.)
21
Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut, meskipun anka telah sembuh
dari diare. Untuk bayi tablet zinc diberikan dalam air matang, ASI atau oralit. Untuk
anak lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.
Terapi medikamentosa
Antbiotik pada umunya tidak diperlukan pada semua daire akut oleh karena
sebagian besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat
dibunuh dengan antibiotic. Hanya sebagian kecil (10-20%) yang disebabkan oleh
bakteri pathogen seperti V,cholera, Shigella, Enterotoksigenik E.coli, Salmonella,
Campilobacter, dan sebagainya. (Subagyo, B. S. 2012.)
Ceftriaxone 50-100
mg/kgBB
22
3x sehari selama 5 hari
Obat Antidiare
Adsorben
Antimotilitas
Bismuth subsalicylate
Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada
anak dngan diare akut sebanya 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.
obat-obat lain:
Anti muntah
Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat
menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh
23
karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah biasanya
berhenti bila penderita telah terehidrasi
Probiotik
2.11 Anemia
24
Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan masalah defisiensi nutrien tersering
pada anak di seluruh dunia terutama di negara sedang berkembang termasuk
Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh kurangnya zat besi dalam tubuh penderita.
Diperkirakan 30% populasi dunia menderita anemia defisiensi besi, kebanyakan dari
jumlah tersebut ada di negara berkembang (Özdemir, N. 2015.)
Secara epidemiologi, prevalensi tertinggi ditemukan pada akhir masa bayi dan
awal masa kanak-kanak diantaranya karena terdapat defisiensi besi saat kehamilan
dan percepatan tumbuh masa kanak-kanak yang disertai rendahnya asupan besi dari
makanan, atau karena penggunaan susu formula dengan kadar besi kurang. Selain itu
ADB juga banyak ditemukan pada masa remaja akibat percepatan tumbuh, asupan
besi yang tidak adekuat dan diperberat oleh kehilangan darah akibat menstruasi pada
remaja puteri. Data SKRT tahun 2007 menunjukkan prevalens ADB. Angka kejadian
anemia defisiensi besi (ADB) pada anak balita di Indonesia sekitar 40-45%. Survai
Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 menunjukkan prevalens ADB pada
bayi 0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturutturut sebesar 61,3%, 64,8%
dan 48,1%. (Özdemir, N. (2015)
Insidensi defisiensi besi terkait dengan aspek mendasar dari metabolisme besi
dan nutrisi. Tubuh dari neonatus cukup bulan mengandung 0,5 gram besi, pada tubuh
dewasa terkandung 5 gram besi. Perubahan kuantitas besi dari lahir ke dewasa berarti
bahwa sekitar 0,8 mg besi harus diabsorbsi tiap harinya se
lama 15 tahun kehidupan seorang anak. Sejumlah kecil besi dibutuhkan untuk
menggantikan jumlah yang hilang pada proses kerusakan sel. Sehingga perlu untuk
dilakukan absorbs kurang lebih 1 mg tiap harinya untuk menjaga jumlah positif pada
usia anak. Karena hanya kurang dari 10 % jumlah besi yang diserap setiap harinya,
asupan gizi 8-10 mg besi per hari dibutuhkan untuk menjaga jumlah besi dalam tubuh.
Selama usia bayi, ketika pertumbuhan paling pesat, kurang lebih 1 mg/L besi dari
susu sapi dan ASI menyebabkan sulitnya mempertahankan kadar besi dalam tubuh.
Bayi yang mendapatkan ASI memiliki keuntungan karena jumlah besi yang diserap 2-
3 kali lebih efisien dibandingkan dari bayi yang mendapat asupan susu sapi.
(Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002.)
Fungsi zat besi yang paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf
yaitu diperlukan dalam proses mielinisasi, neurotransmitter, dendritogenesis dan
25
metabolisme saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif,
tingkah laku dan pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energi bagi
otot sehingga mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan bekerja terutama pada
remaja. Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan
meningkatkan risiko perinatal serta mortalitas bayi.
2.12 Definisi
Defisiensi besi adalah berkurangnya jumlah total besi di dalam tubuh. Anemia
defisiensi besi terjadi ketika defisiensi besi yang terjadi cukup berat sehingga
menyebabkan eritropoesis terganggu dan menyebabkan terbentuknya anemia.
Keadaan ini akan menyebabkan kelemahan sehingga menjadi halangan untuk
beraktivitas dan juga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan pada anak.
(Muhammad, A. 2005.)
2.13 Epidemiologi
Prevalensi ADB tinggi pada bayi, hal yang sama juga dijumpai pada anak usia
sekolah dan anak praremaja. Angka kejadian ADB pada anak usia sekolah (5-8 tahun)
di kota sekitar 5,5%, anak perempuan 2,6% dan gadis remaja yang hamil 26%. Di
Amerika serikat sekitar 6% anak berusia 1 – 2 tahun diketahui kekurangan besi, 3 %
menderita anemia. Lebih kurang 9% gadis remaja di Amerika serikat kekurangan besi
dan 2% menderita anemia, sedangkan pada anak laki-laki sekitar 50% cadangan
besinya berkurang saat pubertas. Prevalensi ADB lebih tinggi pada anak kulit hitam
dibanding kulit putih. Keadaan ini mungkin berhubungan dengan status sosial
ekonomi anak kulit hitam yang lebih rendah. Berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan di indonesia prevalensi ADB pada anak balita sekitar 25-35%. Dari hasil
SKRT tahun 1992 prevalensi ADB pada anak balita di indonesia adalah 55,5% Hasil
survai rumah tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak balita dan 47,2% anak usia
sekolah menderita ADB. (Özdemir, N. (2015)
2.14 Etiologi
26
Terjadinya ADB sangat ditentukan oleh kemampuan absorpsi besi, diit yang
mengandung besi, kebutuhan besi yang meningkat dan jumlah yang hilang1 Berikut
tabel penyebab anemia defisiensi berdasar umur : (Abdulsalam, M., & Daniel, A.
2002.)
5. Usia remaja-dewasa
Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan
Kekurangan besi dapat disebabkan oleh :
27
hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 2 kali lipat dibanding saat lahir. Bayi prematur
dengan pertumbuhan sangat cepat, pada umur 1 tahun berat badannya dapat mencapai
6 kali dan masa hemoglobin dalam sirkulasi mencapai 3 kali dibanding saat lahir.
b. Menstruasi
Penyebab kurang besi yang sering terjadi pada anak perempuan adalah
kehilangan darah lewat menstruasi. (Muhammad, A. 2005.)
Pada bayi yang mengkonsumsi susu sapi lebih banyak dari pada ASI lebih
berisiko tinggi terkena anemia defisiensi besi. (Muhammad, A. 2005.)
3. Malabsorpsi besi
Keadaan ini dijumpai pada anak kurang gizi yang mukosa ususnya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapat
makanan yang cukup besi. Hal ini disebabkan berkurangnya jumlah asam lambung
dan makanan lebih cepat melalui bagian atas usus halus, tempat utama penyerapan
besi heme dan non heme.
4. Perdarahan
Kehilangan darah akibat perdarahan merupakan penyebab penting terjadinya
ADB. Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan
darah 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, sehingga darah 3-4 ml/hari
(1,5 – 2 mg) dapat mengakibatkan keseimbangan negatif besi.
28
Perdarahan dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced enteropathy,
ulkus peptikum, karena obat-obatan (asam asetil salisilat, kortikosteroid, indometasin,
obat anti inflamasi non steroid) dan infeksi cacing (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) yang menyerang usus halus bagian proksimal dan menghisap
darah dari pembuluh darah submukosa usus
5. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis kedalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB
pada akhir masa fetus dan pada awal masa neonatus.
6. Hemoglobinuria
Keadaan ini biasanya dijumpai pada anak yang memiliki katup jantung buatan.
Pada Paroxismal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) kehilangan besi melaui urin rata-
rata 1,8 – 7,8 mg/hari.
a. Tahap pertama: Kekurangan besi (deplesi besi) Secara umum pada tahap ini
tidak menunjukkan gejala, pada tahap ini persediaan besi di sumsum tulang
berkurang. Feritin serum akan menurun akibat meningkatnya penyerapan zat besi oleh
mukosa usus sebagai kompensasinya hati akan mensintesis lebih banyak transferin
sehingga akan terjadi peningkatan TIBC. Pada keadaan ini tidak menyebabkan
anemia (CBC normal) dan morfologi eritrosit normal, distribusi sel darah merah
biasanya masih normal. (Özdemir, N. 2015)
b. Tahap kedu: Disebut juga tahap eritropoiesis yang kekurangan besi. Pada
tahap ini kandungan hemoglobin (Hb) pada retikulosit mulai menurun, hal ini
merefleksikan omset dari eritropoiesis yang kekurangan besi. Tetapi karena sebagian
29
besar eritrosit yang bersirkulasi merupakan eritrosit yang diproduksi saat ketersediaan
besi masih adekuat, maka total pengukuran Hb masih dalam batas normal, anemia
masih belum tampak. Akan tetapi Hb akan terus mengalami penurunan, Red Blood
Cell distribution Widths (RDW) akan meningkat karena mulai ada eritrosit yang
ukurannya lebih kecil dikeluarkan oleh sumsum tulang. Serum iron dan feritin akan
menurun, TIBC dan transferin akan meningkat. Reseptor transferrin akan meningkat
pada permukaan sel-sel yang kekurangan besi guna menangkap sebanyak mungkin
besi yang tersedia. Seperti pada tahap pertama, pada tahap kedua ini juga bersifat
subklinis, sehingga biasanya tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium. (Özdemir, N.
2015)
c. Tahap ketiga Tahap ini anemia defisiensi besi menjadi jelas, nilai Hb dan
hematokrit (Ht) menurun, karena terjadi deplesi pada simpanan dan transport besi
maka prekursor eritrosit tidak dapat berkembang secara normal. Eritrosit kemudian
akan menjadi hipokromik dan mikrositik. Pada tahap ini terjadi eritropoesis inefektif
akibat kurangnya cadangan besi dan transport besi. Pasien akan menunjukkan tanda-
tanda anemia dari yang tidak spesifik hingga tanda-tanda anemia berat. (Özdemir, N.
2015)
Pada tahap deplesi besi di sumsum tulang, gambaran darah tepi masih dalam
batas normal. Pada tahap defisiensi besi kadar Hb mulai berkurang tapi gambaran
eritrosit masih normal. Oksigenasi yang berkurang akibat anemia menyebabkan
kebutuhan eritropoetin yang besar dan merangsang sumsum tulang untuk
memproduksi eritrosit, Peningkatan Jumlah lekosit pada anemia defisiensi besi t
sangat jarang terjadi, paling sering dijumpai nilai Mean Corpuscular volume (MCV)
yang rendah dari eritrosit. Pada morfologi darah tepi dijumpai anisositosis dan
poikilositosis (target sel). Nilai feritin serum yang rendah merupakan diagnosis untuk
defisiensi besi, tapi kadang beberapa kasus nilai feritin serum masih dijumpai normal,
Feritin serum dapat meningkat pada kondisi inflamasi akut. Serum besi yang rendah
dapat ditemui pada beberapa penyakit, sehingga serum besi, transferrin tidak bisa
menjadi indikator yang tetap untuk defisiensi besi. Khasnya bila serum besi berkurang
maka TIBC di serum juga akan meningkat. Rasio besi dan TIBC kurang dari 20%
ditemukan pada tahap defisiensai besi tapi akan meningkat pada tahap anemia
30
defisiensi besi. Soluble Transferrin reseptor (sTfR) akan dilepaskan oleh prekursor
erythroid dan meningkat pada tahap defisiensi besi. Rasio yang tinggi antara TfR
terhadap ferritin bisa memprediksi defisiensi besi karena ferritin merupakan nilai
diagnosis yang kecil.( Gejala Penyebab Dan Cara Mengatasi. 2014)
- Koilonychias /spoon nail/ kuku sendok: kuku berubah menjadi rapuh dan bergaris-
garis vertical dan menjadi cekung sehingga mirip dengan sendok.
- Akan terjadi atropi lidah yang menyebabkan permukaan lidah tampak licin dan
mengkilap yang disebabkan oleh menghilangnya papil lidah
- Angular cheilitis yaitu adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai
bercak berwarna pucat keputihan.
- Disfagia yang disebabkan oleh kerusakan epitel hipofaring
2.18 Diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium
Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai
hematologi dan biokimia. Hal yang pertama terjadi adalah menurunnya simpanan besi
pada jaringan. Penurunan ini akan ditunjukkan melalui menurunnya serum ferritin,
sebuah protein yang mengikat besi dalam tubuh sebagai simpanan. Kemudian jumlah
serum besi akan menurun, kapasitas pengikatan besi dari serum (serum transferrin)
akan meningkat, dan saturasi transferrin akan menurun di bawah normal. Seiring
dengan menunrunnya simpanan, besi dan protoprofirin akan gagal untuk membentuk
31
heme. Free erythrocyte protoporphyrins (FEP) terakumulasi, dan kemudian sintesis
hemoglobin terganggu. Pada titik ini, defisiensi besi berlanjut menjadi anemia
defisiensi besi. Dengan jumlah hemoglobin yang berkurang pada tiap sel, sel merah
menjadi lebih kecil. Perubahan morfologi ini paling sering tampak beriringan dengan
berkurangnya mean corpuscular volume (MCV) dan mean corpuscular hemoglobin
(MCH). Perubahan variasi ukuran sel darah merah terjadi dengan digantikkannya sel
normositik dengan sel mirkositik, variasi ini ditunjukkan dari peningkatan red blood
cell distribution width (RDW). Jumlah sel darah merah juga akan berkurang. Jumlah
persentase retikulosit akan meningkat sedikit atau dapat normal. Sapuan darah akan
menunjukkan sel darah merah yang hipokrom dan mikrositik dengan variasi sel yang
tetap. Bentuk sel darah elips atau seperti cerutu sering terlihat. Deteksi peningkatan
reseptor transferrin dan berkurangnya konsentrasi hemoglobin retikulosit mendukut
terhadap penegakkan diagnosis. (Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002)
Jumlah sel darah putih normal, trombositosis juga sering tampak. Trombositopenia
terkadang muncul pada defisiensi besi yang sangat berat, sehingga akan menimbulkan
sebuah kerancuan dengan gangguan pada sumsum tulang. Pemeriksaan pada feses
untuk melihat perdarahan pada sistem gastrointestinal harus selalu dilakukan untuk
eksklusi perdarahan sebagai penyebab defisiensi besi. (Abdulsalam, M., & Daniel, A.
2002)
Pada umumnya, hitung darah lengkap akan menunjukkan anemia mikrositer dengan
peningkatan RDW, berkurangnya RBC, WBC normal, dan jumlah platelet yang
meningkat atau normal. Pemeriksaan laboratorium lainnya, seperti penurunan ferritin,
penurunan serum besi, dan peningkatan kapasitas pengikatan besi total, biasanya
belum dibutuhkan kecuali terdapat anemia berat yang membutuhkan penegakan
diagnosis cepat, terdapat komplikasi atau pada anemia yang tidak memberikan respon
terhadap terapi besi. (Abdulsalam, M., & Daniel, A. 2002)
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan ADB1
32
Dasar diagnosis ADB menurut Cook dan Monsen:
- Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositer yang dikonfirmasi dengan MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun.
- Sumsum tulang
Tertundanya maturasi sitoplasma
Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang
Cara lain untuk menentukaan adanya ADB adalah dengan trial pemberian
preparatbesi. Penentuan ini penting untuk mengetahui adanya ADB subklinis dengan
melihat responshemoglobin terhadap pemberian peparat besi. Prosedur ini sangat
mudah, praktis, sensitive dan ekonomis terutama pada anak yang berisiko tinggi
menderita ADB. Bila dengan pemberian preparat besi dosis 6 mg/kgBB/hari selama 3
– 4 minggu terjadi peningkatan kadar Hb 1-2 mg/dl maka dapat dipastikan bahwa
yang bersangkutan menderita ADB. (Özdemir, N. 2015)
33
paling sering muncul adalah menurunnya jumlah sel darah merah namun dengan
jumlah RDW normal atau meningkat sedikit. Keracunan timbal dapat menyebabkan
anemia mikrositer namun lebih sering terjadi anemia defisiensi besi menyebabkan
pica yang kemudian menyebabkan keracunan timbal . (Abdulsalam, M., & Daniel, A.
2002)
2.20 Penatalaksanaan
34
Pemberian preparat besi antara lain:
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat
terseda berupa ferous glukonat, fumarat, dan suksinat. Yang sering dipakai adalah
ferrous sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat,
dan ferrous suksinat diabsropsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi
berupa tetes (drop). (Özdemir, N. 2015)
Respon terapi dari pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari
pemeriksaan
35
Tabel 8. Respon terhadap pemberian besi pada ADB
Efek samping pemberian preparat besi peroral lebih sering terjadi pada orang dewasa
diabndingkan bayi dan anak. Pewarnaan gigi yang berifat sementara dapat dihindari
dengan meletakkan larutan tersebut ke bagian belakang lidah dengan cara tetesan.
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ ml.Dosis dihitung berdasarkan :
Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan
anemia yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dpaat mempengaruhi respon
terapi. Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan
membahayakan karena dapat menyebabkan hipervolemia dan dilatasi jantung.
Pemberian PRC dilakukan secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk
menaikkan kadar Hb sampai tingkat aman sambil menunggu respon terapi besi.
36
Secara umum, untuk penderita anemia berat dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi
PRC dengan dosis 2 – 3 mg/kgBB persatu kali pemberian disertai pemberian diuretik
seperti furosemide. Jika terdapat gagal jantung yang nyata dapat dipertimbangkan
pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar (Medlinux. 2007)
2.21 Prognosis
Prognosis baik bila penyebab anemianya hanya karena kekuarnagn besi saja dan
diketahui penyebab serta kemudian dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala
anemia dan manifestasi klinis lainnya akan membaik dengan pemberian preparat besi.
- Diagnosis salah
- Dosis obat tidak adekuat
- Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa
- Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung
menetap
- Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti : infeksi,
keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit karena defisiensi
vitamin B12, asam folat)
- Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan pada
ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).
37
BAB III
LAPORAN KASUS
38
11x sejak siang, muntah berupa air dan tida ada darah, Selama BAB cair dan muntah
ibu pasien mengatakan anaknya terlihat lemas dan lebih rewel dari biasanya, namun
masih mau minum serta terlihat lebih haus dari biasanya. Nafsu makan menurun
karena setiap kali makan muntah, tidak ada demam, BAK (+) dalam batas normal
tapi tidak banyak seperti biasanya. Pada jumat sore pasien sempat dibawa ke RSFM
dengan keluhan muntah 3x tanpa disertai diare, kemudian keluhan tidak membaik
akhirnya dibawa lagi ke IGD RSFM.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
kejang (-)
Riwayat TB : Disangkal
e. Riwayat Pengobatan
Andansentron syr, anadex syr, Triaminic
39
c.Kulit, Rambut, Kuku
Tonus, turgor, kulit, bulu rambut, kuku dalam dalam batas normal.
d. Kepala Leher
Umum
Anemia (-),icterus (-), sianosis (-), dyspnea(-), mata cowong +/+
Mata
Alis : Normal
Konjungtiva : Normal
Sklera : Normal
Pupil : bulat, isokor 3/3 mm, reflex cahaya +/+
Hidung
Bentuk pyramid, inflamasi (-), nyeri tekan (-), deformitas (-)
Mulut
sianosis (-), lidah kotor (-), bibir terlihat agak kering
Tenggorokan
Mukosa bukal : Warna merah muda, Hiperemi (-)
Mukosa faring : Hiperemi (-), edema (-), ulkus (-), granul(-)
Tonsil : kanan Hiperemi (-), ukuran T1, kiri Hiperemi (-), ukuran T1
Leher
Umum : Normal
Kel. Limfe : tidak didapatkan pembesaran KGB
Trakea : Ditengah
Tiroid : tidak didapatkan pembesaran kelenjar
Vena jugularis : tidak dievaluasi
e.Thoraks
Inspeksi : simetris (+/+), retraksi (-/-), IC tidak tampak
Palpasi : ketertinggalan gerak (-/-), fremitus raba normal, IC ictus
cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
Perkusi : sonor (+/+), pelebaran batas jantung (-)
Auskultasi : vesikuler seluruh lapang paru, rhonki (-/-), wheezing (-/-),
S1S2 tunggal e/g/m (-/-/-)
f. Abdomen
Inspeksi : datar/Flat, konsistensi soeple, jaringan parut bekas operasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
40
Turgor pada kulit di abdomen sedikit menurun
g. Inguinal-Genitalia-Anus
Tidak dievaluasi
h. Ekstremitas
Atas : Akral hangat kering merah
CRT< 2 detik
Tidak didapatkan petechiae, purpura, dan echimosis
Tidak didapat deformitas
Kulit : normal
Kuku : normal
Jari : tidak didapat kelainan
Edema : tidak didapatkan
Bawah : Akral hangat kering merah
CRT <2 detik
Tidak diapatkan petechiae, purpura, dan echimosis
Kulit : normal
Kuku : normal
Jari : Tidak didapatkan kelainan
Edema : Tidak diapatkan
41
Pemeriksaan Hasil Interpretasi
Hematologi
Haemoglobin 9.0 g/dl Menurun
Leukosit 10.600/L
Trombosit 418.000/L Meningkat
Hematokrit 28.5 Menurun
Eritrosit 4.67
DIFF COUNT
Eosinofil 0%
Basophil 0%
Neutrophil 71% Meningat
Lymfosit 23%
Monosit 6%
MCV 61fl Menurun
MCH 19 pg Menurun
MCHC 31,5 g/dl Menurun
Glukosa Acak 56
42
Keton Positif (+1) Negative
Protein Negative Negative
Glu Norm Norm
Uro Norm Norm
Bilirubin Negative Negative
Sedimen
Eritrosit 0-2 0-2/lp ++ = > 50 +++ =
penuh
Leukosit 1-2 0-1/lp ++ = > 50 +++ =
penuh
Epitel 2-4 0-2/lp ++ = > 50 +++ =
penuh
Kristal Negative Negative
Lain-lain Negative Negative
Silinder Negative Negative
3.6 Diagnosis
Diagnosis Primer : Gastroenteritis Akut
Diagnosis Sekunder : Anemia Defisiensi Besi
3.7 Planning
Inf. Rl 700 cc/3 jam maintenance 900 cc/24 jam
Inj. Ranitidine 3x10 mg
Inj. Ondasentrone 2x1,5 mg
Interzink 1x5 ml
Pamol 3x1 ml bila demam
Oralit 25-50 ml bila diare atau muntah
Rycef 3x250 mg
3.8 Prognosis
Ad Vitam : Dubia ad bonam
Ad Functionam : Dubia ad bonam
Ad Sanationam : Dubia ad bonam
3.9 Follow-up
Tanggal 08-05-2021 (H2MRS)
Subjektif Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB cair (-)
Objektive KU: cukup Planning:
Kes: CM - KaEn 3B 900 cc/24
TD : - jam
Nadi : 103x/min - Rycef 3x250 mg
RR : 20x/min - Ranitidin 3x10 mg
Tax : 36,7°C - Ondansentrone 2x1,5
43
mg
K/L: a (-)/ I (-)/ C (-), D (-), pembesaran KGB - Interzink 1x5 ml
(-), mata cowong -/- - Probiokid 1x1
Tho: Simetris - UL
Pulmo: ves/ves, rh ( -)/(-), wh ( -)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
Cor : s1 s2 tunggal, Murmur (-), Monitor:
Gallop(-) Vital Sign
Abd : Soepel, BU(+ ) meningkat, TTV
Nyeri tekan (-), turgor kulit normal
Eks : Akral AHKM, CRT<2 “,
edema (-)/(-)
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Anemia
Defisiensi Besi
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Anemia
Defisiensi Besi
44
Tanggal 10-05-2021 (H3MRS)
Subjektif Demam (-), BAB cair 2x sejak tadi pagi, dan
malam 4x
Objektive KU: cukup Planning:
Kes: CM - Inf. RL 900 cc/24 jam
TD : - - Cefotaxime 3x250
Nadi : 120x/min mg
RR : 24x/min - Ranitidin 3x10 mg
Tax : 36,6°C - Ondansentrone 2x1,5
Spo2 : 98% mg
- Interzink 1x5 ml
K/L: a (-)/ I (-)/ C (-), D (-), pembesaran KGB - Probiokid 1x1
(-), mata cowong -/- - Drip metronidazole
Tho: Simetris 3x150 mg
Pulmo: ves/ves, rh ( -)/(-), wh ( -)/(-) - Oralit 25-50 ml
(-)/(-), wh (-)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
Cor : s1 s2 tunggal, Murmur (-), Monitor:
Gallop(-) Vital Sign
Abd : Soepel, BU(+) meningkat, TTV
Nyeri tekan(-), turgor kulit normal
Eks : Akral AHKM, CRT<2 “,
edema (-)/(-)
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Anemia
Defisiensi Besi
45
K/L: a (-)/ I (-)/ C (-), D (-), pembesaran KGB
(-), mata cowong -/-
Tho: Simetris
Pulmo: ves/ves, rh ( -)/(-), wh ( -)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
(-)/(-), wh (-)/(-)
Cor : s1 s2 tunggal, Murmur (-),
Gallop (-)
Abd : Soepel, BU(+) N, Nyeri
tekan(-), turgor kulit normal
Eks : Akral AHKM, CRT<2 ,
edema (-)/(-)
Assesment:
Gastroenteritis Akut + Anemia
Defisiensi Besi
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Subagyo, B. S. 2012. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Jilid 1, Edisi 1.
Jakarta: IDAI.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Pedoman pelayanan medis. jilid 1. Jakarta :
pengurus pusat IDAI
3. Lindberg, G., Salam, M., Farthing, M., Khalif, I., Lind, E. S., Ramakrishna, B. S., et
al. 2012. Acute diarrhea in adults and children : a global perspective. World
Gastroenterology Organisation Global Guidelines.
4. Farthing, M., Lindberg, G., Dite, P., Khalif, I., Lindo, E. S., Ramakrishna, B. S., et al.
2008. acute diarrhea. World Gastroenterology Organisation practice guideline.
8. Arimbawa dkk. Peranan probiotik pada keseimbangan flora normal usus dalam Kapita
Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto. 2007:100-111
9. Rahajoe. NN, dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi 1 cetakan Pertama.
Jakarta. IDAI. h.350-365
10. Latief, abdul, dkk. 2009. Pelayanan kesehetan anak di rumah sakit standar WHO.
Jakarta : Depkes
47
11. Harmening D. Iron metabolism and Hypochromic Anemias. Dalam: Harmening D,
editor. Clinical Hematology and Fundamental of hemostasis. USa:Philadelphia2009.
hlm. 124-5.
12. R Bernadette FG, K Elaine. Disorder of Iron and Heme Metabolism. Dalam: Wurm E,
editor. Hematology Clinical Principles and Applications. Edisi ke-4. St Louis:
Missouri, Elsevier Saunder: Andrew Allen; 2012. hlm. 254-8
15. Adamson JW. Iron Deficiency and other Hypoproliferative Anemias. In : KLongo
DL. Harrisons’s Hematology and Oncology. Edisi ke-17. New York: Mc Graw Hill,
2010. hlm. 70-80.
16. Hoffbrand AV, Moss PA, Pettit JE. Erythropoiesis and General Aspects of Anaemia.
Dalam : Essential Haematology. Edisi ke5. Massachusetts: Blackwell
17. Koulaouzidis A, Said E, Cottier R, Saeed AA. Soluble Transferrin Receptors and Iron
Deficiency, a Step beyond Ferritin. A Systematic Review. The Journal of
Gastrointestinal Liver Disease. 2009;18:345-52. [Diunduh 30 Januari 2012].
18. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan
Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
19. Setiawan, B. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (5 ed.). Jakarta: Interna
Publishing.
20. Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in children.
Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337
21. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan Pencegahan
Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.
48
disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 9–15.
23. Endang, W. (2013). IDAI - ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI DAN ANAK.
Retrieved February 28, 2016, from http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-ana
24. Medlinux. (2007). Anemia Pada Anak ~ Seputar Kedokteran. Retrieved February 28,
2016, from http://medlinux.blogspot.co.id/2007/09/anemia-pada-anak.htm
49