SEMINAR KASUS (PERONITIS POST OP LAPARATOMI) KEL. 4 Sistem Integumen
SEMINAR KASUS (PERONITIS POST OP LAPARATOMI) KEL. 4 Sistem Integumen
SEMINAR KASUS (PERONITIS POST OP LAPARATOMI) KEL. 4 Sistem Integumen
Di Susun Oleh :
KELOMPOK 4
1. Avilia Anggraini (2018.C.10a.0929)
2. Dende Noperta (2018.C.10a.0930)
3. Teguh Saputra (2018.C.10a.0947)
4. Viona Rizky Febriasesa (2018.C.10a.0949)
5. Wennie (2018.C.09a.0913)
Pembimbing Akademik
i
LEMBAR PENGASAHAN
Pembimbing Akademik
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah melimpahkan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Asuhan Keperawatan yang berjudul : Asuhan Keperawatan Pada
Tn.W Dengan Diagnosa Medis Peritonitis Post Op Laparatomy Pada Sistem
Integumen ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.
Asuhan Keperawatan ini dibuat sebagai syarat dalam menempuh Seminar
Praktik Pra Klinik II pada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangka
Raya.
Penulis menyadari bahwa pelaksanaan dan penyusunan Asuhan
Keperawatan ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik
secara langsung maupun tidak langsung. Untuk itu perkenankan penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1) Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes, selaku Ketua STIKes Eka Harap
Palangka Raya.
2) Ibu Meilitha Carolina, Ners, M.Kep, Selaku Ketua Prodi S1 Keperawatan
STIKes Eka Harap Palangka Raya.
3) Nia Pristina, S.Kep.,Ners Selaku Pembimbing Akademik yang telah banyak
memberi arahan, masukan dan bimbingan dalam penyelesaian laporan
pendahuluan dan Asuhan Keperawatan ini.
4) Semua pihak yang turut ambil bagian dalam membantu penulis
menyelesaikan Laporan Pendahuluan ini, yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Laporan Pendahuluan ini masih
jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, untuk perbaikan dimasa yang akan mendatang. Akhir kata penulis
mengucapkan sekian dan terima kasih.
Palangka Raya, 12 januari 2021
Kelompok 4
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................i
LEMBAR PENGASAHAN...................................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................6
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................6
1.4 Manfaat Penulisan..........................................................................................7
iv
3.2 Diagnosa Keperawatan..............................................................................61
3.3 Intervensi Keperawatan.............................................................................62
3.4 Implementasi Keperawatan.......................................................................70
3.5 Evaluasi Keperawatan...............................................................................70
Catatan Perkembangan.......................................................................................76
BAB 4 PEMBAHASAN.......................................................................................83
4.1 Pengkajian...................................................................................................83
4.2 Diagnosa keperawatan...............................................................................85
4.3 Intervensi Keperawatan.............................................................................86
4.4 Implementasi Keperawatan.......................................................................87
4.5 Evaluasi Keperawatan...............................................................................89
BAB 5 PENUTUP.................................................................................................92
5.1 Kesimpulan..................................................................................................92
5.2 Saran............................................................................................................93
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................94
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP).......................................................96
LEAFLET...........................................................................................................107
JURNAL 1..........................................................................................................109
JURNAL 2..........................................................................................................117
HASIL OBSERVASI SELAMA SEMINAR KASUS ....................................140
DOKUMENTASI SELAMA SEMINAR.........................................................142
v
BAB 1
PENDAHULUAN
Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen.
Akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena
masalah bedah dan non bedah. Peritonitis secara umum adalah penyebab
kegawatan abdomen yang disebabkan oleh bedah. Peritonitis tersebut disebabkan
akibat suatu proses dari luar maupun dalam abdomen. Proses dari luar misalnya
karena suatu trauma, sedangkan proses dari dalam misal karena apendisitis
perforasi, (Aiwi Japanesa , Asril Zahari, Selfi Renita Rusjdi 2016).
1
2
Post Operasi adalah masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya
(Uliyah & Hidayat, 2013).
laparatomi di Indonesia meningkat dari 3281 kasus pada tahun 2011 dan 3625
kasus pada tahun 2014. Presentase jumlah kasus laparatomi yang ditangani di
rumah sakit pemerintah sebesar 38,5% dan rumah sakit swasta sebesar 60,5%
(Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Data dari Rumah Sakit Dr. Doris Sylvanus Jakarta bulan Juli-Desember
2014 menyebutkan adanya operasi laparotomi emergensi terhadap 83 orang
penderita dengan tingkat mortalitas mecapai 9 orang atau 10,84% dan yang
mengalami komplikasi infeksi sebanyak 19 orang (44,19%). Data dari Rumah
Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang, pasien dengan tindakan laparotomi
emergensi pada bulan Mei sampai dengan Juni 2008 tercatat 30 kasus laparotomi,
dengan tingkat mortalitas3,3%, dan lama rata-rata rawatan pasca laparotomi
adalah 12 hari(Yuwono, 2013). Berdasarkan data yang di dapatkan pada RSUP
Dr. Kariadi tepatnya pada ruang Rajawali 2A jumlah pasien yang melakukan
operasi laparatomi setiap bulannya lebih banyak daripada operasi lainnya, jenis
operasi adalah: Herniotomi, Apendixtomi, Tumor Abdomen, cholecystitis dan
kolelitiasis, (Ratna Nur Utami, Khoiriyah Khoiriyah, 2020).
Peritonitis dapat mengenai semua umur dan terjadi pada pria dan wanita.
Penyebab peritonitis sekunder yang bersifat akut tersering pada anak-anak adalah
perforasi apendiks, pada orangtua komplikasi divertikulitis atau perforasi ulkus
peptikum. Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah, respiratory
4
distress syndrome, dan sepsis yang dapat menyebabkan syok dan kegagalan
banyak organ, (Aiwi Japanesa , Asril Zahari, Selfi Renita Rusjdi 2016).
Tahap pasca operasi dimulai dari memindahkan pasien dari ruangan bedah
ke unit pasca operasi dan berakhir saat pasien pulang. Salah satu hal yang akan
terjadi pada pasien post operasi adalah merasakan nyeri yang merupakan salah
satu efek dari proses operasi, nyeri yang dialami oleh pasien post operasi adalah
nyeri akut. Nyeri akut secara serius mengancam penyembuhan klien pasca operasi
sehingga menghambat kemampuan klien untuk terlibat aktif dalam mobilisasi,
rehabilitasi, dan hospitalisasi menjadi lama (Perry & Potter, 2010).
Pasien post operasi yang mengalami nyeri akut harus dikendalikan agar
perawatan lebih optimal dan tidak menjadi nyeri kronis. Nyeri yang tidak diatasi
akan memperlambat masa penyembuhan atau perawatan, karena dengan nyeri
yang tidak kunjung berkurang atau hilang membuat pasien merasa cemas untuk
melakukan mobilisasi dini sehingga pasien cenderung untuk berbaring. Pasien
pasca operasi yang melakukan tirah baring terlalu lama juga dapat meningkatkan
resiko terjadinya kekakuan atau penegangan otot-otot di seluruh tubuh, gangguan
sirkulasi darah, gangguan pernafasan dan gangguan peristaltik maupun berkemih
bahkan terjadinya dekubitus atau luka tekan (Kartawijaya 2017).
Nyeri post operasi memerlukan tindakan yang tepat. Upaya yang dapat
dilakukan perawat dalam menangani nyeri post operasi dapat dilakukan dengan
manajemen penatalaksanaan nyeri mencakup pendekatan farmakologis dan non-
farmakologis. Pendekatan yang biasa digunakan adalah analgetik golongan opioid
untuk nyeri yang hebat dan golongan non streroid untuk nyeri sedang atau ringan.
5
Aroma terapi adalah salah satu jenis non farmakologi yang penggunaan
minyak essensial konsentrasi tinggi diekstraksi dari tumbuh-tumbuhan dan
diberikan melalui massage, inhalasi, dicampur ke dalam air mandi, untuk kompres
melalui membran mukosa dalam bentuk perisarium atau supositoria dan terkadang
dalam bentuk murni, meskipun aroma memegang peranan penting dalam
mempengaruhi alam perasaan, sebenarnya zat kimia yang terkandung dalam
berbagai jenis minyak yang bekerja secara farmakologis dan kerjanya dapat
ditingkatkan dengan jenis metode pemberiannya (Hidayat, 2010).
mampu :
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep penyakit Peritonitis Post Op Laparatomy
2.1.1 Definisi Peritonitis Post Op Laparatomy
Gambar 2.1.1
Laparatomi merupakan salah satu pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan-lapisan dinding Abdomen untuk mendapatkan bagian
organ yang mengalami masalah seperti hemoragi, perforasi, kangker dan obstruksi
(ANA, 2016).
Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada selaput abdomen,
membuka selaput yang membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke dalam
rongga perut operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Prosedur ini
memungkinkan dokter melihat dan merasakan organ dalam membuat diagnosis
apa yang salah. Bedah dilakukan di daerah abdomen, bedah laparatomi
10
merupakan teknik sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat
dilakukan pada bedah digestifd an perkemihan (Lakaman, 2013).
Laparatomi merupakan pembedahan abdomen, membuka selaput abdomen
dengan operasi yang dilakukan untuk memeriksa organ-organ abdomen dan
membantu diagnosis masalah termasuk penyembuhan penyakit-penyakit pada
bagian abdomen. Pembedahan itu memberikan efek nyeri pada pasien sehingga
memerlukan penanganan khusus. (Andarmoyo, 2013).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Laparatomi merupakan salah satu
pembedahan mayor dengan melakukan penyayatan pada lapisan-lapisan dinding
abdomen dan membuka selaput abdomen untuk mendapatkan bagian organ yang
mengalami masalah
2.1.2.2 Dermis
12
2.1.3 Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh
beberapa hal (Smeltzer, 2012) yaitu:
2.1.3.1 Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
2.1.3.2 Peritonitis.
2.1.3.3 Perdarahan saluran cernas
2.1.3.4 Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
2.1.3.5 Massa pada abdomen
13
2.1.4 Klasifikasi
2.1.4.1 Ada 4 cara insisi pembedahan laparatomy yang dilakukan, antara lain
(Yunichrist, 2008):
1. Midline incision
Paramedian yaitu, sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang
(12,5 cm). Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan
indikasi pada jenis operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis,
14
2.1.5 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma
atau perforasi tumor. Awalnya mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen
adalah steril tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya
timbul edema jaringan dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen
menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel
yang rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah
hipermotilitas, di ikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di
dalam usus besar.
16
14
2.1.7 Komplikasi
2.1.7.1 Komplikasi peritonitis
1. Hepatic Encephalopathy
Hepatic Encephalopathy atau ensefalopati hepatik merupakan salah satu
komplikasi peritonitis yang mesti diwaspada. ensefalopati hepatik ini
merupakan kondisi ketika seseorang kehilangan fungsi otak akibat hati
tidak dapat lagi mengeluarkan zat beracun dari darah.
2. Sepsis
Peritonitis bisa menyebar ke darah dapat memicu menyebabkan sepsis
(keracunan darah) yang berpotensi mengancam nyawa. Kondisi ini
terjadi saat zat kimia masuk ke dalam pembuluh darah dan memicu
19
antara lain:
a) Midline incision.
b) Paramedian, yaitu sedikit ke tepi garis tengah (± 2,5 cm),
panjang (12,5 cm).
c) Transverse upper abdomen incision,yaitu insisi di bagian atas,
misalnya pembedahan colesistomy dan splenektomy.
d) Transverse lower abdomen incision, yaitu insisi melintang di
bagian bawah ± 4 cm diatas anterior spinal iliaka, misalnya
pada operasi appendictomy.
2. Indikasi.
Trauma abdomen (tumpul atau tajam), ruptur hepar, peritonitis,
perdarahan saluran pencernaan (internal blooding), sumbatan
pada usus halus dan usus besar, masa pada abdomen.
2.1.9.3 Teraphy komplikasi.
Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber
infeksi. Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang
sesuai dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau
intestinal, penggantian cairan dan elektrolit yang dilakukan secara
intravena, pembuangan fokus septik (appendiks dan sebagainya) atau
penyebab radang lainya bila mungkin dengan mengalirkan nanah
keluar dan tindakan menghilangkan nyeri (Price 1995, dikutip dalam
Padila 2012, h.197).
2.1.9.4 Pasca operasi Laparatomy
Perawatan pasca operasi laparatomy adalah bentuk pelayanan yang
diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani pembedahan
perut.
1. Tujuan perawatan pasca laparatomy yaitu mengurangi komplikasi
akibat pembedahan, mempercepat proses penyembuhan,
mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti
sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien, dan
mempersiapkan pasien pulang.
2. Proses penyembuhan luka.
22
kondisi seperti apa nyeri bertambah buruk. Klien akan merasa lebih
nyeri saat bagian yang mengalami pembedahan dilakukan
pergerakan.
30
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
(mis. Pereda nyeri, antiemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori, dan jenis nutrient yang di butuhkan,
jika perlu
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. W
Umur : 45Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : SMA
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl. Jati No.19
Tgl MRS : 05 Januari 2021
Diagnosa Medis : Peronitis Post Op Laparatomi
GENOGRAM KELUARGA :
KETERANGAN:
= Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
= Garis Keturunan
= Tinggal Serumah
= Pasien
47
4. PERNAPASAN (BREATHING)
Bentuk dada simetris, Klien tidak perokok, tidak ada batuk, tidak ada
sputum, tidak ada sianosis, tidak ada nyeri dada, tidak ada sesak, tipe
pernapasan dada dan perut, irama pernapasan teratur, dan suara
pernapasan Vesikular, tidak ada suara nafas tambahan
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah Keperawatan
5. CARDIOVASCULER (BLEEDING)
Nyeri dada tidak ada, klien tidak pusing, klien tampak pucat, klien
tidak sakit kepala, capillary refill tidak ada, tidak ada oedema, kram
kaki tidak ada, clubbing finger tidak ada, palpitasi tidak ada, wajah
pucat, tidak ada sianosis, ekstemitas atas baik, ekstermitas bawah ada
48
6. PERSYARAFAN (BRAIN)
Nilai GCS : 15, E:4 (membuka mata spontan), V:5 (orientasi baik),
M:6 (mengikuti perintah), Kesadaran Compos menthis, pupil
isokor ,Refleks Cahaya normal, Nyeri, lokasi pada bagian perut
pasien. Klien mengatakan “saya merasa Nyeri pada luka post operasi”.
P : Klien mengeluh nyeri akibat luka post operasi. Q : Klien
mengatakan nyeri seperti ditusuk-tusuk. R : Klien mengatakan nyeri
tidak menjalar dan rasa nyeri terasa dibagian perut. S : skala nyeri 8
(1-10). T : Klien mengatakan nyeri yang dirasakan hilang dan timbul,
Vertigo tidak ada ,klien tampak gelisah, tidak ada aphasia ,tidak ada
kesemutan, klien tampak bingung, tidak ada disarthia, tidak ada
kejang, tidak ada tremor, dan tidak ada pelo.
Uji Syaraf Kranial:
Nervus Kranial I : (Olfaktrius) klien dapat membedakan bau parfum
dengan minyak kayu putih. Nervus Kranial II : (Optikus) Klien dapat
melihat dengan jelas. Nervus Kranial III : (Okulomotorius) pasien
dapat menggerakan bola mata ke atas dan ke bawah. Nervus Kranial
IV : (Troklear) klien dapat memutar bola mata. Nervus Kranial V
(Trigeminal) klien dapat memejamkan mata. Nervus Kranial VI :
(Abdusen) :klien dapat memejamkan mata kerateral. Nervus Kranial
VII : (Facial) klien dapat mengerutkan wajah. Nervus Kranial VIII :
(Albitorius)klien dapat mendengar suara dengan jelas. Nervus Kranial
IX : (Glosofaringeal) tidak diuji. Nervus Kranial X : (Vagus) klien
mampu menelan. Nervus Kranial XI : (Asesoris) klien mampu
menggerakan bahu kiri. Nervus Kranial XII (Hipoglosal) klien dapat
menggerakan lidahnya.
49
Diet Khusus : pasien dianjurkan berpuasa selama 7 pasca operasi, ada rasa
haus
Porsi - 1 porsi
jam/hari, dengan kualitas tidur yang baik dan tidak mengalami gangguan
tidur (insomnia, parasomnia). Sesudah sakit : Tn. W mengatakan semenjak
sakit pasien tidak tidur siang dan pada malam hari klien tidur pada pukul
12.00-04.00 (4 jam). pasien mengatakan merasa nyeri sehingga pasien
kesulitan untuk tidur, dapat diliat dari keadaan klien yang sering menguap,
memiliki lingkar hitam dibawah mata serta tidak focus Ketika diajak
berbicara.
masalah keperawatan : Gangguan Pola Tidur
2. Kognitif :
klien dapat sudah mengetahui penyakit yang di deritannya setelah diberikan
jelaskan dokter dan tenaga medis.
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran ) :
Gambaran diri, Tn. W mengatakan ikhlas dengan penyakit yang dialaminya
sekarang. Ideal diri, Tn. W mengatakan ingin cepat sembuh setidaknya bisa
beraktivitas walaupun tidak seperti dahulu dan Tn. W mengatakan bahwa
walaupun sedang sakit, tetapi Tn. W harus tetap bersemangat sehingga
dapat tetap bermanfaat dan melakukan aktivitas secara mandiri. Identitas
diri, Tn. W mengakui bahwa dirinya seorang laki-laki Harga diri, Tn. W
tidak merasa malu karena penyakit yang diderita Peran, Tn. W berperan
sebagai seorang suami dan ayah
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah keperawatan
4. Aktivitas Sehari-hari
Klien mengatakan sebelum masuk rumah sakit klien dapat beraktifitas
seperti biasa. Setelah sakit klien jarang melakukan aktivitas karena luka
pasca operasi
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah keperawatan
5. Koping –Toleransi terhadap Stress
Klien selalu berdiskusi dengan keluarga disetiap permasalahan dalam
pelayanan.
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah keperawatan
6. Nilai-Pola Keyakinan
54
Klien menatakan “ saya beragama Islam “tidak ada masalah dalam tindakan
keperawatan.
Masalah Keperawatan : Tidak Ada Masalah keperawatan
KELOMPOK 4
57
PRIORITAS MASALAH
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (prosedur operasi)
ditandai Klien mengeluh nyeri akibat luka post operasi. nyeri seperti
ditusuk-tusuk, nyeri tidak menjalar dan rasa nyeri terasa dibagian perut,
skala nyeri 8 (1-10), nyeri yang dirasakan hilang dan timbul, Klien tampak
meringis, Klien tampak meringis, Post op hari ke 3, Terdapat luka post
operasi pada bagian perut, Diameter luka post op ±30cm, Skala nyeri 8 dari
(1-10), Keadaan luka masih merah dan berair, TTV : TD : 120/80 mmHg,
Suhu : 38,8 0C, Nadi : 84 x/menit dan RR: 21 x/menit.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan
Peningkatan suhu tubuh diatas nilai normal (36,5-37,5 ° C), Leukosit
15000 Ribu/ul (3600 – 11000), Post op hari ke 3. Kulit terasa panas, Kulit
tampak memerah, TTV : TD : 120/80 mmHg, Suhu : 38,8 0C, Nadi : 84
x/menit dan RR: 21 x/menit.
3. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan prosedur operasi ditandai
dengan klien mengatakan bahwa ada luka pasca operasi dibagian perut,
Post op hari ke 3, Terdapat luka post operasi pada bagian perut, Diameter
luka post op ±30cm, Skala nyeri 8 dari (1-10), Disekitar luka tampak
kemerahan, Luka tampak sedikit berair, Terjadi peradangan di sekitar luka
post op
4. Resiko Infeksi berghubungan dengan efek prosedur invasive (post op
laparatomi) dibuktikan dengan klien mengatakan pada luka pasca operasi
tampak merah dan berair, Post op hari ke 3, Terdapat luka post operasi
pada bagian perut, Disekitar luka tampak kemerahan, Luka tampak sedikit
berair, Terjadi peradangan di sekitar luka post op, Skala nyeri 8 dari (1-10),
Nyeri seperti ditusuk tusuk, Diameter luka di perut ± 30 cm, Peningkatan
suhu tubuh diatas nilai normal (36,5-37,5 ° C), Leukosit 15000 Ribu/ul
(3600 – 11000 Ribu/ul)
5. Gangguan Pola Tidur berhubungan dengan respon nyeri ditandai dengan,
klien mengatakan sulit tidur karena nyeri pada luka pasca operasi dibagian
perut, Sebelum sakit : frekuensi tidur siang dari pukul 12.00 – 13.00 (1
jam) malamnya pada pukul 21.00-04.00 (7 jam), Sesudah sakit : pasien
tidak tidur siang dan pada malam hari klien tidur pada pukul 12.00-04.00
(4 jam), Klien tampak menguap, Klien tampak tidak fokus pada saat diajak
berbicara, Tampak lingkaran hitam dibawah mata klien
6. Defisit Nutrisi berhubungan dengan prosedur pasca operasi ditandai
dengan klien mengatakan dirinya merasa lapar karena tidak diperbolehkan
makan dan minum selama 7 hari, Klien tampak lemas, klien tampak kurus,
TB 167 cm, BB sekarang 49 Kg, BB sebelum sakit 59 Kg, IMT 17,6
(normal 18,5 – 25,0), Klien mengalami penurunan berat badan, Klien
melakukan puasa post operasi selama 7 hari, Hemoglobin 10,5 (Normal
11,0-15,0), Hematokrit 35 (Normal 40-50), Albumin 1.91 (Normal 3,40-
5,00)
64
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. W
Ruang Rawat : Ruang Bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
1. Nyeri Akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi lokasi, 1. Mengetahui lokasi,
dengan agen pencedera asuhan keperawatan selama karakteristik, durasi, karakteristik, durasi,
fisik (prosedur operasi) 1x7 jam diharapkan nyeri akut frekuensi, kualitas, frekuensi, kualitas, intensitas
ditandai Klien mengeluh berkurang dengan kriteria hasil: intensitas nyeri nyeri yang dirasakan pasien
nyeri akibat luka post 1. Keluhan nyeri menurun (5)
operasi. nyeri seperti 2. Meringis menurun (5) 2. Identifikasi skala nyeri 2. Mengetahui memantau
ditusuk-tusuk, nyeri tidak 3. Gelisah menurun (5) penurunan skala nyeri pasien
menjalar dan rasa nyeri 4. Kesulitan tidur menurun 3. Identifikasi faktor yang 3. Mengetahui factor yang
terasa dibagian perut, (5) memperberat dan memperingan dan
skala nyeri 8 (1-10), 5. Pola tidur membaik (5) memperingan nyeri memperberat nyeri klien
nyeri yang dirasakan
hilang dan timbul, Klien 4. Berikan teknik 4. Mengurangi rasa nyeri pada
tampak meringis, Klien nonfarmakologis untuk klien
tampak meringis, Post op mengurangi rasa nyeri
hari ke 3, Terdapat luka
5. Fasilitas istirahat dan 5. Dapat mengurangi rasa nyeri
post operasi pada bagian
tidur yang dirasakan klien
perut, Diameter luka post
op ±30cm, Skala nyeri 8 6. Jelaskan penyebab, 6. Klien mengetahui
dari (1-10), Keadaan periode, dan pemicu nyeri penyebab,priode, dan
luka masih merah dan penmicu nyeri yang
berair, TTV : TD : dirasakam
120/80 mmHg, Suhu :
38,8 0C, Nadi : 84 7. Ajarkan teknik 7. Klien dan keluarga dapat
x/menit dan RR: 21 nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri dengan
mengurangi rasa nyeri mandiri
66
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. W
Ruang Rawat : Ruang Bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor suhu tubuh 1. Mengetahui penurunan suhu
berhubungan dengan asuhan keperawatan selama tubuh klien
proses penyakit 1x7 jam diharapkan 2. Monitor haluaran urine 2. Urine sebagai haluaran
ditandai dengan hipertermia menurun dengan penunjang
Peningkatan suhu tubuh kriteria hasil: 3. Monitor komplikasi akibat 3. Komplikasi hipertermia bisa
diatas nilai normal 1. Kulit merah menurun (5) hipertermia dicegah dengan memonitor
(36,5-37,5 ° C), 2. Pucat menurun (5) 4. Sediakan lingkungan yang 4. Lingkungan yang dingin
Leukosit 15000 Ribu/ul 3. Suhu tubuh membaik (5) dingin efektif untuk suhu tubuh
(3600 – 11000), Post op 4. Suhu kulit membaik (5) yang meningkat
hari ke 3. Kulit terasa 5. Longgarkan atau lepas 5. Melonggarkan pakaian dapat
panas, Kulit tampak pakaian membuat suhu tubuh
memerah, TTV : TD : menurun
120/80 mmHg, Suhu : 6. Lakukan pendinginan 6. Pendinginan eksternal untuk
38,8 0C, Nadi : 84 eksternal (Selimut mengurangi suhu tubuh klien
x/menit dan RR: 21 hipotermia atau kompres yang meningkat
x/menit. dingin pada dahi, leher,
dada, abdomen, aksila)
7. Anjurkan tirah baring 7. Agar klien dapat beristirahat
dengan maksimal
67
NTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. W
Ruang Rawat : Ruang Bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
3. Gangguan Integritas Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor karakteristik luka 1. Mengetahui kaarteristik luka
Kulit berhubungan asuhan keperawatan selama (mis. Drainase, warna, klien
dengan prosedur 1x7 jam diharapkan Gangguan ukuran, bau)
operasi ditandai dengan Integritas Kulit Menurun
klien mengatakan dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda – tanda 2. Mengetahui apakah ada
bahwa ada luka pasca 1. Perfusi jaringan meningkat infeksi infeksi pada luka
operasi dibagian perut, (5) 3. Lepaskan balutan dan 3. Menghindari luka tambahan
Post op hari ke 3, 2. Kerusakan pada kulit plester secara perlahan pada klien
Terdapat luka post menurun (5)
operasi pada bagian 3. Nyeri menurun (5) 4. Bersihkan dengan cairan 4. Membersihkan luka dapat
perut, Diameter luka 4. Kemerahan menurun (5) NaCl atau pembersih mengurangi resiko infeksi
post op ±30cm, Skala 5. Suhu kulit membaik (5) nontoksik, sesuai
nyeri 8 dari (1-10), kebutuhan
Disekitar luka tampak
5. Pertahankan teknik steril 5. Mengindari terjadinya infeksi
kemerahan, Luka
saat melakukan perawatan akibat Tindakan yang tidak
tampak sedikit berair,
luka steril
Terjadi peradangan di
sekitar luka post op 6. Ganti balutan sesuai 6. Mengganti perban sevara rutin
jumlah eksudat dan dapat mencegah infeksi
drainase
68
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. W
Ruang Rawat : Ruang Bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
4.Resiko Infeksi Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan gejala 1. Mengetahui apakah ada tanda
berghubungan dengan asuhan keperawatan selama infeksi lokal dan dan gejala infeksi pada klien
efek prosedur invasive 1x7 jam diharapkan resiko sistemik
(post op laparatomi) infeksi menurun dengan
dibuktikan dengan klien kriteria hasil: 2. Batasi jumlah 2. Mengurangi resiko infeksi
mengatakan pada luka 1. Kebersihan tangan pengunjung dam kontaminasi pada klien
pasca operasi tampak meningkat (5) 3. Cuci tangan sebelum dan 3. Mencuci tangan dengan baik
merah dan berair, Post op 2. Kemerahan menurun (5) sesudah kontak dengan dapat memgurangi reiko
hari ke 3, Terdapat luka 3. Nyeri menurun (5) pasien dan lingkungan infeksi pada klien
post operasi pada bagian 4. Kultur area luka membaik pasien
perut, Disekitar luka (5)
tampak kemerahan, Luka 4. Pertahankan teknik 4. Teknik aseptic sangat
tampak sedikit berair, aseptik pada pasien dianjurkan untuk mengurangi
berisiko tinggi resiko infeksi pada klien
69
Terjadi peradangan di 5. Jelaskan tanda dan gelaja 5. Klien dan keluarga mengerti
sekitar luka post op, infeksi bagaimana tanda dan gejala
Skala nyeri 8 dari (1-10), infeksi
Nyeri seperti ditusuk 6. Ajarkan cara mencuci 6. Mengurangi kontaminasi luka
tusuk, Diameter luka di tangan yang benar akibat tangan yang kurang
perut ± 30 cm, bersih
Peningkatan suhu tubuh 7. Ajarkan cara memeriksa 7. Klien mengerti bagaimana
diatas nilai normal (36,5- kondisi luka atau luka cara memeriksa kondisi luka
37,5 ° C), Leukosit operasi yang dialami
15000 Ribu/ul (3600 –
11000 Ribu/ul) 8. Anjurkan meningkatkan 8. Mengurangi resiko dehidrasi
asupan cairan
70
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. W
Ruang Rawat : Ruang Bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
5.Gangguan Pola Tidur Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi pola aktivitas 1. Mengetahui pola dan aktivitas
berhubungan dengan asuhan keperawatan selama dan tidur tidur klien
respon nyeri ditandai 1x7 jam diharapkan gangguan 2. Identifikasi faktor 2. Mengetahui adanya factor
dengan, klien Pola Tidur menurun dengan pengganggu tidur (fisik penggangu tidur klien
mengatakan sulit tidur kriteria hasil: dan/ atau psikologis)
karena nyeri pada luka 1. Keluhan sulit tidur menurun 3. Identifikasi makanan dan 3. Mengetahui apakah ada
pasca operasi dibagian (5) minuman yang makanan atau minuman yang
perut, Sebelum sakit : 2. Keluhan sering terjaga mengganggu tidur dapat menggangu tidur (kopi,
frekuensi tidur siang dari menurun (5) alcohol)
pukul 12.00 – 13.00 (1 3. Keluhan tidak puas tidur 4. Modifikasi lingkungan 4. Mempermudah pasien saat tidur
jam) malamnya pada menurun (5) (mis. Pencahayaan,
pukul 21.00-04.00 (7 4. Keluhan pola tidur berubah kebisingan, suhu, matras,
jam), Sesudah sakit : menurun (5) dan tempat tidur)
pasien tidak tidur siang 5. Keluhan istirahat tidak 5. Tetapkan jadwal tidur 5. Memudahkan klien mengatur
dan pada malam hari cukup menurun (5) rutin jadwal tidur
klien tidur pada pukul 6. Jelaskan pentingnya tidur 6. Klien mengetahui pentingnya
12.00-04.00 (4 jam), cukup selama sakit tidur selama sakit
Klien tampak menguap, 7. Anjurkan menghindari 7. Mengindari kesulitan tidur
Klien tampak tidak fokus makanan/minuman yang akibat makanan atau minuman
pada saat diajak mengganggu tidur
berbicara, Tampak 8. Ajarkan faktor – faktor 8. Klien mengetahui apa saja
lingkaran hitam dibawah yang berkontribusi factor yang dapat menggangu
mata klien terhadap gangguan pola pola tidur klien
tidur (mis. Psikologis,
71
INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. W
Ruang Rawat : Ruang Bedah
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria hasil) Intervensi Rasional
6. Defisit Nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Identifikasi status nutrisi 1. Mengetahui status nutrisi klien
berhubungan dengan asuhan keperawatan selama
prosedur pasca operasi 1x7 jam diharapkan Defisit 2. Identifikasi kebutuhan 2. Mengetahui kebutuhan kalori
ditandai dengan klien Nutrisi menurun dengan kalori dan jenis nutrien dan jenis nutrient yang
mengatakan dirinya kriteria hasil: dibutuhkan klien
merasa lapar karena 1. Verbalisasi keinginan untuk 3. Monitor berat badan 3. Memantau penurunan atau
tidak diperbolehkan meningkatkan nutrisi peningkatan berat badan klien
makan dan minum membaik (5) 4. Fasilitasi menentukan 4. Diet dianjurkan untuk klien
selama 7 hari, Klien 2. Pengetahuan tentang pilihan pedoman diet (mis. dengan post op laparatomi
tampak lemas, klien makanan yang sehat Piramida makanan)
tampak kurus, TB 167 membaik (5) 5. Berikan makanan tinggi 5. Mencegah konstipasi pada
cm, BB sekarang 49 3. Pengetahuan tentang pilihan kalori dan protein klien
Kg, BB sebelum sakit minuman yang sehat
59 Kg, IMT 17,6 membaik (5) 6. Berikan suplemen 6. Suplemen makanan dapat
(normal 18,5 – 25,0), 4. Nyeri abdomen menurun (5) makanan, jika perlu meningkatkan nafsu makan
Klien mengalami 5. Berat badan membaik(5) klien
penurunan berat badan, 6. Indeks Masaa Tubuh (IMT) 7. Ajarkan diet yang di 7. Klien mengerti tentang diet
Klien melakukan puasa membaik (5) programkan yang sedang dijalani
post operasi selama 7
hari, Hemoglobin 10,5 8. Kolaborasi dengan ahli 8. Meningkatkan kualitas
(Normal 11,0-15,0), gizi untuk menentukan makanan yang sesuai dengan
Hematokrit 35 (Normal jumlah kalori, dan jenis kebutuhan klien
40-50), Albumin 1.91 nutrient yang di butuhkan,
(Normal 3,40-5,00) jika perlu
73
Kamis, 07 Januari 1. Mengidentifikasi lokasi, karakteristik, durasi, S : Klien mengatakan “saya masih merasa nyeri pada
frekuensi, kualitas, intensitas nyeri bagian perut”
2021
2. Mengidentifikasi skala nyeri O:
Pukul 11.00 WIB 3. Mengidentifikasi faktor yang memperberat dan 1.Nyeri dibagian perut
memperingan nyeri 2.Skala nyeri 6 (1-10)
4. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk 3.Nyeri seperti ditusuk tusuk
mengurangi rasa nyeri 4.Teknik nonfarmakologi berupa teknik relaksasi
5. Memfasilitas istirahat dan tidur nafas dalam sudah diberikan
6. menjelaskan penyebab, periode, dan pemicu 5. Tempat tidur di desain senyaman mungkin
Diagnosa nyeri 6. Penyebab nyeri klien ketika bergerak
KELOMPOK 4
keperawatan 1 7. Mengajarkan teknik nonfarmakologis untuk 7. Klien diajarkan teknik nonfarmakologi berupa
mengurangi rasa nyeri teknik relaksasi nafas dalam
8. Berkolaborasi pemberian analgetic keterolac 8. Pemberian Analgetik keterolac untuk pereda nyeri
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 2,3 dan 4
1. Identifikasi skala nyeri
2. Identifikasi faktor yang memperberat dan
memperingan nyeri
3. Memberikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Hari / Tanggal Jam Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda tangan dan
74
Nama Perawat
Nama Perawat
Kamis, 07 Januari 1. Memonitor karakteristik luka (mis. Drainase, S : Klien mengatakan bahwa ada luka pasca operasi
2021 warna, ukuran, bau) dibagian perut
2. Memonitor tanda – tanda infeksi O:
Pukul 11.00 WIB
3. Melepaskan balutan dan plester secara perlahan
4. Membersihkan dengan cairan NaCl atau Terdapat luka post operasi ±30 cm
pembersih nontoksik, sesuai kebutuhan Luka tampak kemerahan
5. Mempertahankan teknik steril saat melakukan Membersihkan luka menggunakan NacL
perawatan luka Teknik sterilisasi dilakukan
6. Mengganti balutan sesuai jumlah eksudat dan Balutan diganti setiap hari
Diagnosa
keperawatan 3 drainase Klien tampak dapat melakukan perawatan luka secara KELOMPOK 4
7. Menganjurkan prosedur perawatan luka secara mandiri
mandiri Pemberian antibiotic seperti Ceftriaxone untuk
8. Berkolaborasi pemberian antbiotik Ceftriaxone menghambat pertumbuhan bakteri
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 2,4,5 dan 6
1. Monitor tanda – tanda infeksi
2. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih
nontoksik, sesuai kebutuhan
3. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan
luka
76
Kamis, 07 Januari 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi lokal dan S : Klien mengatakan kemerahan dan berair pada ;uka
2021 sistemik pasca operasi sudah berkurang
2. Membatasi jumlah pengunjung O:
Pukul 11.00 WIB
3. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak
dengan pasien dan lingkungan pasien 1. Luka post op hari ke 3
4. Mempertahankan teknik aseptik pada pasien 2. Kemerahan dan berair pada luka berkurang
berisiko tinggi 3. Dilakukan Tindakan perawatan pada luka post
op klien
5. Menjelaskan tanda dan gelaja infeksi
4. Dilakukan teknik asptik
Diagnosa 6. Mengajarkan cara mencuci tangan yang benar 5. Klien dapat memeriksa kondisi luka secara KELOMPOK 4
keperawatan 4 7. Mengajarkan cara memeriksa kondisi luka atau mandiri
luka operasi A : Masalah teratasi sebagian
8. Menganjurkan meningkatkan asupan cairan P : Lanjutkan intervensi 1,2,3 dan 5
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
2. Batasi jumlah pengunjung
3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
pasien dan lingkungan pasien
4. Jelaskan tanda dan gelaja infeksi
77
Kamis, 07 Januari 1. Mengidentifikasi pola aktivitas dan tidur S : Klien mengatakan “saya sudah mulai bisa untuk tidur
2021 2. Mengidentifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dengan lebih baik”
dan/ atau psikologis O:
Pukul 11.00 WIB
3. Mengidentifikasi makanan dan minuman yang
mengganggu tidur Pola tidur pasien tidak teratur
4. Memodifikasi lingkungan (mis. Pencahayaan, Nyeri post operasi menggangu pola tidur klien
kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur) Kesulitan tidur berkurang
Diagnosa 5. Menetapkan jadwal tidur rutin Klien tampak lebih teratur dalam pola tidur yang
keperawatan 5 6. Menjelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit telah dijadwalkan
7. Menganjurkan menghindari makanan/minuman Klien tampak paham dengan pentingnya tidur cukup KELOMPOK 4
yang mengganggu tidur saat sakit
8. Mengajarkan faktor – faktor yang berkontribusi Pola tidur klien berangsur membaik
A : Masalah teratasi sebagian
terhadap gangguan pola tidur (mis. Psikologis,
P : Lanjutkan intervensi 4,5 dan 8
gaya hidup, sering berubah shif kerja) 1. Modifikasi lingkungan (mis. Pencahayaan,
kebisingan, suhu, matras, dan tempat tidur)
2. Tetapkan jadwal tidur rutin
3. Ajarkan faktor – faktor yang berkontribusi terhadap
gangguan pola tidur (mis. Psikologis, gaya hidup,
sering berubah shif kerja)
78
Kamis, 07 Januari 1. Mengidentifikasi status nutrisi S : Klien mengatakan dirinya merasa lapar karena tidak
2021 2. Mengidentifikasi kebutuhan kalori dan jenis diperbolehkan makan dan minum selama 7 hari
nutrien O:
Pukul 11.00 WIB
3. Memonitor berat badan
4. Memfasilitasi menentukan pedoman diet (mis. 1. Puasa post op hari ke 3
Piramida makanan) 2. Berat badan klien menurun
5. Mengajarkan diet yang di programkan 3. Kebutuhan nutrisi klien dipenuhi dengan
mengandalkan infus yang diberikan
6. Berkolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
4. Klien diet khusus (dipuasakan)
Diagnosa jumlah kalori, dan jenis nutrient yang di A : Masalah belum teratasi KELOMPOK 4
keperawatan 6 butuhkan P : Lanjutkan intervensi 1,2,3 dan 6
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
3. Monitor berat badan
4. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori, dan jenis nutrient yang di butuhkan
79
CATATAN PERKEMBANGAN
No Hari/ Tanggal Implementasi Evaluasi (SOAP) Tanda Tangan
.
1. Jum’at 08 DIAGNOSA 1: S : Klien mengatakan “nyeri pada bagian
januari 2021 1. Mengidentifikasi skala nyeri perut saya mulai berkurang”
Pukul 10.30 2. Mengidentifikasi faktor yang O:
WIB memperberat dan memperingan 1. Nyeri dibagian perut
nyeri
2. Skala nyeri 5 (1-10) KELOMPOK
3. Memberikan teknik
4
nonfarmakologis untuk 3. Nyeri seperti ditusuk tusuk
mengurangi rasa nyeri
4. Berkolaborasi pemberian 4. Teknik nonfarmakologi berupa teknik
analgetic keterolac relaksasi nafas dalam sudah diberikan
5. Penyebab nyeri klien ketika bergerak
6. Diberikan analgetic ketorolac untuk
mengurangi nyeri
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 1,3 dan 4
1. Mengidentifikasi skala nyeri
2. Memberikan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
3. Berkolaborasi pemberian analgetic
ketorolac
butuhkan diberikan
8. Klien diet khusus (dipuasakan)
BAB 4
PEMBAHASAN
Proses keperawatan adalah dimana suatu konsep diterapkan dalam praktek
keperawatan. Hal ini disebutkan sebagai suatu pendekatan problem yang
memerlukan ilmu, teknik dan keterampilan interpersonal dan ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan klien baik sebagai individu, keluarga maupun masyarakat
mengemukakan dalam proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu: pengkajian,
diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, pelaksanaan dan evaluasi (Nursalam
2011). Pengkajian menurut teori (Nursalam, 2013:17) adalah tahap awal dari
proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien .
Pada bab ini penulis akan mencoba membandingkan konsep teori Mengenai
Asuhan Keperawatan Pada Tn. W Dengan Diagnosa Medis Peritonitis Post Op
Laparatomy Pada Sistem Integumen.
4.1 Pengkajian
Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada selaput abdomen, membuka
selaput yang membuat irisan vertikal besar pada dinding perut ke dalam rongga
perut operasi yang di lakukan pada daerah abdomen. Prosedur ini memungkinkan
dokter melihat dan merasakan organ dalam membuat diagnosis apa yang salah.
Bedah dilakukan di daerah abdomen, bedah laparatomi merupakan teknik sayatan
yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif
dan perkemihan (Lakaman, 2013).
Adapun etiologi yang yang muncul pada peronitis poat op laparatomi adalah :
trauma abdomen (tumpul atau tajam), peritonitis, perdarahan saluran cernas,
sumbatan pada usus halus dan usus besar, massa pada abdomen.
Didapatkan klasifikasi mengenai laparatomi, yaitu : midline incision metode insisi
yang paling sering digunakan, karena sedikit perdarahan, eksplorasi dapat lebih
luas, cepat di buka dan di tutup, serta tidak memotong ligamen dan saraf,
paramedian yaitu, sedikit ke tepi dari garis tengah (± 2,5 cm), panjang (12,5 cm).
Terbagi atas 2 yaitu, paramedian kanan dan kiri, dengan indikasi pada jenis
88
operasi lambung, eksplorasi pankreas, organ pelvis, usus bagian bagian bawah,
serta plenoktomi, transverse upper abdomen incision yaitu insisi di bagian atas,
misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy, transverse lower abdomen
incision yaitu insisi melintang di bagian bawah ± 4 cm di atas anterior spinal
iliaka, misalnya; pada operasi appendectomy.
Patofisiologi yang didapatkan dari kasus peronitis post opm laparatomi
adalah, Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma
atau perforasi tumor. Awalnya mikroorganisme masuk kedalam rongga abdomen
adalah steril tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya
timbul edema jaringan dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen
menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel
yang rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah
hipermotilitas, di ikuti oleh ileus paralitik dengan penimbunan udara dan cairan di
dalam usus besar.
Adapun manifestasi klinik dari post op laparatomi, yaitu sebagai berikut:
Penderita tampak sangat menderita karena sakit perut yang dialami dengan terus
menerus, rasa mual dan muntah, abdomen yang tegang, kaku, nyeri pada bagian
luka post operasi, terjadinya demam, terjadi peningkatan leukositosis, terjadi
dehidrasi, dan terdapat kemerahan pada area sekitar luka post operasi.
Adapun komplikasi yang dapat muncul pada kasus laparatomi, yaitu : gangguan
perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis, infeksi, infeksi luka sering
muncul pada 36-46 jam pasca operasi, kerusakan integritas kulit sehubungan
dengan dehisensi luka atau eviserasi, ventilasi paru tidak adekuat, gangguan
kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung, gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.(arif mansjoer, 2012).
Adapun pemeriksaan penunjang yang didapatkan, yaitu : pemeriksaan rectum,
pemeriksaan hasil laboratorium, pemeriksaan radiologik, ivp/sistogram,
parasentesis perut.
Penatalaksanaan medis yang didapatkan pada kasus peronitis adalah : theraphy
umum, istirahat, tirah baring dengan posisi fowler, penghisapan nasogastrik. Diet,
diet cair ataupun nasi, medikamentosa, cairan infus cukup dengan elektrolit,
89
5.2 Saran
5.2.1. Bagi Mahasiswa
Diharapkan untuk menambah ilmu dan pengetahuan bagi mahasiswa
dalam mempelajari asuhan keperawatan pada pasien dengan Peritonitis
Post Op Laparatomy Pada Sistem Integumen sebagai acuan atau referensi
mahasiswa dalam penulisan laporan studi kasus selanjutnya.
5.2.2 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan rumah sakit, penulisan laporan studi kasus ini di dapat
sebagai referensi bagi perawat dalam melakukan asuhan keperawatan
pada pasien dengan Peritonitis Post Op Laparatomy Pada Sistem
Integumen, serta sebagai masukan untuk meningkatkan mutu pelayanan
yang lebih baik, khususnya pada pasien dengan Peritonitis Post Op
Laparatomy Pada Sistem Integumen.
5.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan sebagai sumber bacaan di perpustakaan STIKes Eka Harap
Palangka Raya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan perawatan
di masa yang akan datang serta sebagai tolak ukur kemampuan
mahasiswa dalam penguasaan terhadap ilmu keperawatan mulai dari
proses keperawatan sampai pendokumentasiaan.
DAFTAR PUSTAKA
Sandy. (2015). Infeksi Luka Operasi (Ilo) Pada Pasien Post Operasi Laparotomi.
Jurnal Keperawatan Terapan, 1 (1).
Muttaqien. (2016). The Overview Of Surgical Site Infection Of Pasca Caesarean
Section At Arifin Achmad General Hospital Of Riau Province 1 January
– 31 December 2014 Period. Jurnal Fakultas Kedokteran, 3 (1).
Yopalika dkk. (2015). Luka Post Operasi. Makalah Higine. Universitas
Diponogoro Semarang.
Kemenkes. (2015). Pembedahan Tanggulangi 11% Penyakit Di Dunia. Jakarta:
Depkes RI
Padila. 2012. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha medika
Brooker, Christine. 2010.Kamus Saku Keperawatan Ed.31EGC : Jakarta.
Smeltzer, Suzanne C. 2010. Diagnosa Keperawatan Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta.
Nurarif & Kusuma (2015). Penyakit pada system pencernaan. Yogyakarta : Nuha
medika
Kemenkes. (2014). Presentasi pembedahan laparatomi diindonesia. Jakarta:
Kementrian Kesehatan republik Indonesia
Christina & Kristanti. (2011). Tidakan keperawatan laparatomi. EGC : Jakarta.
ANA (2016). Definisi laparatomi pada. EGC : Jakarta
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
PERONITIS POST OP LAPARATOMI
OLEH :
A. Latar Belakang
Beban penyakit di dunia sekitar 11% berasal dari penyakit atau keadaan
yang sebenarnya bisa ditanggulangi dengan pembedahan. WHO menyatakan
bahwa kasus bedah adalah masalah kesehatan masyarakat. Terkait tindakan
bedah, diperkirakan lebih dari 100 juta pasien di dunia menerima pelayanan bedah
dimana setengahnya dapat mengalami kematian atau kecacatan akibat kejadian
tidak diinginkan yang bisa dicegah. Data dari WHO menemukan 90% dari cedera
terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Kemenkes, 2015).
Laparatomi merupakan salah satu tindakan pembedahan perut, membuka
selaput perut dengan operasi. Bedah laparatomi merupakan tindakan operasi pada
daerah abdomen, Bedah laparatomi merupakan teknik sayatan yang dilakukan
pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah digestif dan kandungan.
Pembedahan perut sampai membuka selaput perut (Yopalika dkk, 2011). Sandy
(2015) menjelaskan bahwa ada pembedahan laparotomi membutuhkan insisi pada
dinding abdominal yang cukup lebar sehingga beresiko untuk terjadinya infeksi,
terutama infeksi luka operasi paska pembedahan.
Peritonitis adalah inflamasi membran peritonium. Peritonium adalah
kantong berlapis dua yang semipermeabel dengan cairan bervolume 1.500 ml.
Kantong ini membungkus semua organ yang ada di dalam rongga perut. Oleh
karena itu diinervasi oleh saraf somatik, stimulus peritonium parietal yang
membungkus rongga perut dan pelvis menyebabkan nyeri yang tajam dan
terlokalisasi (Black & Hawks 2014). Inflamasi peritonium-lapisan membran serosa
rongga abdomen dan meliputi viserela. Biasanya akibat dari infeksi bakteri seperti
organisme yang berasal dari penyakit saluran gastrointestinal atau pada wanita dari
organ reproduksi internal (Nurarif & Kusuma 2015).
Peritonitis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang menginvasi atau
masuk kedalam rongga peritonium pada saluran makanan yang mengalami
perforasi. Kuman yang paling sering adalah bakteri E Colli, streptokokus α dan β
hemolitik, strapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii. Salah satu penanganan peritonitis adalah operasi laparatomy,
yaitu pembedahan perut sampai membuka selaput perut atau peritonium (Padila
2012). Pelaksanaan operasi laparatomy dapat dilakukan apabila ada beberapa
indikasi yang mendasarinya, seperti terjadi trauma abdomen (tumpul atau tajam),
perdarahan saluran pencernaan (internal blooding), sumbatan pada usus halus dan
usus besar, terdapat massa pada abdomen dan terjadi peritonitis atau inflamasi
lapisan peritonium (Padila 2012,).
Data dari World Health Organization (WHO) melaporkan bahwa angka
kejadian infeksi luka operasi di dunia berkisar 5%-34%. Infeksi luka operasi di
United Kingdom memiliki angka kejadian infeksi luka operasi sekitar 10%.2
Penambahan waktu perawatan mengakibatkan biaya penanganan infeksi luka
semakin meningkat, seperti di Amerika Serikat terjadi peningkatan lebih dari 1,5
miliar dolar (Frensbener, 2011 dalam Muttaqien, 2016).
Data WHO menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad perawatan
bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di dunia.
Diperkirakan 230 juta tindakan bedah dilakukan di seluruh dunia. Data Tabulasi
Nasional Departemen Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2009, tindakan bedah
menempati urutan ke 11 dari 50 penanganan pertama pola penyakit di rumah sakit
se Indonesia dengan presentase 12,8 % dan diperkirakan 32% diantaranya
merupakan tindakan bedah laparatomi (Kusumayanti, 2013).
Laporan Kementerian Republik Indonesia menyebutkan jumlah kasus
laparatomi di Indonesia meningkat dari 3281 kasus pada tahun 2011 dan 3625
kasus pada tahun 2014. Presentase jumlah kasus laparatomi yang ditangani di
rumah sakit pemerintah sebesar 38,5% dan rumah sakit swasta sebesar 60,5%
(Kementrian Kesehatan RI, 2014).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan didapatkan bahwa
pasien dengan kasus pasca operasi Laparatomy dengan indikasi peritonitis,
pasien mengalami masalah seperti kehilangan nafsu makan, penurunan kadar Hb,
nyeri akut, nyeri yang dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Akibat dari rasa nyeri
tersebut membuat pasien mengalami gangguan mobilitas fisik seperti duduk,
berjalan, mandi, dan berpakaian, selain itu luka pasca pembedahan klien yang
membutuhkan waktu penyembuhan lama juga beresiko terkena infeksi.
Berdasarkan data dan uraian di atas, angka kejadian peritonitis memang masih
relatif rendah, tetapi banyak masalah yang timbul setelah dilakukan prosedur
pembedahan (operasi Laparatomi), maka penulis tertarik untuk membahas lebih
lanjut mengenai asuhan keperawatan pada pasien dengan Peritonitis Post Op
Laparatomy. Sehingga diharapkan perawat mampu memberikan asuhan
keperawatan yang tepat pada klien dengan Peritonitis Post Op Laparatomy
B. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan penyuluhan tentang Peronitis Post Op Laparatomi
diharapkan keluarga pasien dapat memahami konsep tentang Peronitis
Post Op Laparatomi
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan penyuluhan tentang Peronitis Post Op Laparatomi
diharapkan audiens dapat:
a. Menyebutkan Pengertian Peronitis Post Op Laparatomi
b. Menyebutkan Penyebab Peronitis Post Op Laparatomi
c. Menyebutkan tanda dan gejala Peronitis Post Op Laparatomi
d. Menyebutkan komplikasi Peronitis Post Op Laparatomi
C. Pokok Bahasan
Pendidikan Kesehatan Pada Pasien Dengan Peronitis Post Op Laparatomi
D. Sub Pokok Pembahasan
a. Pengertian Peronitis Post Op Laparatomi
b. Penyebab Peronitis Post Op Laparatomi
c. Tanda gejala Peronitis Post Op Laparatomi
d. Komplikasi Peronitis Post Op Laparatomi
E. Metode
a. Ceramah
b. Diskusi dan tanya jawab
F. Media dan Alat
a. Leaflet
G. Materi : Terlampir
H. Pengorganisasian
Penanggung jawab : Viona Rizky Febriasesa
Moderator : Valentino
Penyaji : Viona Rizky Febriasesa
Fasilitator : Dandi
Observer : Dende
Tugas dan tanggung jawab organisasi :
1. Moderator
Membuka acara, bertanggung jawab dalam kelancaran diskusi pada
penyuluhan pencegahan stroke berulang, mengarahkan diskusi pada hal-hal
yang terkait pada tujuan diskusi, serta memicu peserta untuk berperan aktif.
2. Penyaji
Bertanggung jawab dalam memberikan penyuluhan dengan menggunakan
bahasa yang mudah dipahami peserta penyuluhan
3. Fasilitator
Memotivasi peserta untuk aktif berperan serta dalam diskusi, baik dalam
mengajukan usulan, pertanyaan, ataupun memberi jawaban.
4. Observer
Mengamati jalannya kegiatan pertemuan, membuat catatan kecil tentang
hal-hal yang penting dari kegiatan tersebut dan mengevaluasi hasil
pelaksanaan penyuluhan.
J. Setting Tempat
Setting Tempat :
Keterangan :
: Kamera
: Moderator,Penyaji,Simulasitator,Dokumentator dan
notulen
Penyuluh
LAMPIRAN MATERI
2. Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparatomi adalah karena disebabkan oleh
beberapa hal (Smeltzer, 2012) yaitu:
2.1.4.1 Trauma abdomen (tumpul atau tajam).
2.1.4.2 Peritonitis.
2.1.4.3 Perdarahan saluran cernas
2.1.4.4 Sumbatan pada usus halus dan usus besar.
2.1.4.5 Massa pada abdomen
3. Tanda gejala
Adapun manifestasi klinis post op laparotomy diantaranya adalah :
1. Nyeri tekan.
2. Perubahan tekanan darah, nadi, dan pernafasan.
3. Kelemahan.
4. Gangguan integumen dan jaringan subkutan.
5. Konstipasi.
6. Mual dan muntah, anoreksia.
4. Komplikasi
1) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi.
Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding
pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru,
hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki, ambulasi dini
post operasi.
2) Infeksi, infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca operasi.
Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus
aurens, organisme gram positif. Stapilococus mengakibatkan peranahan.
Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan
luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
3) Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau
eviserasi.
4) Ventilasi paru tidak adekuat.
5) Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.
6) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
7) Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.(Arif Mansjoer, 2012).
8) Penumpukan nanah di dalam organ tubuh (abses).
9) Infeksi pada luka operasi.
10) Terbukanya jahitan pada dinding perut.
11) Perdaraha
LEAFLET
JURNAL 1
1
Pratiwi N. Tanio 2Diana C. Lalenoh 2Mordekhai L. Laihad
1
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sam
Ratulangi Manado 2Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sam Ratulangi/ RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado
Email: [email protected]
sitis dan trauma (41%) dan lebih Tabel 1. Distribusi jumlah dan
banyak pada laki-laki (70%) persentase pasien pasca laparotomi
dengan rerata usia 38 tahun. berdasarkan jenis kelamin dan usia
Variabe N %
l ektopik
Jenis Laki-laki 6 terganggu
kelamin 6 Hernia insisional 1 1
Perempu 4 Kista ovarium 3 2,8
Perdarahan 1 1
an 1
Jumlah 1 post partum
Splenomegali 1 1
0
Trauma 9 8,4
7 Jumlah 10 10
Usia 0-14 2 2
7 0
tahun Dari 107 pasien yang dilakukan
15-24 1
tindak- an laparotomi, 40 orang di
tahun 3
25-34 1 antaranya me- ninggal dunia pada rata-
JURNAL 2
Abstrak
Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence
Wound dehiscence sering terjadi setelah pembedahan mayor abdomen
menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Wound
dehiscence dapat menimbulkan stres, eviserasi, reoperasi, gangguan citra
tubuh, meningkatnya lama rawat dan biaya rawat, menurunkan kualitas
hidup pasien serta kematian sehingga perlu menangani faktor yang
memengaruhi kejadian wound dehiscence. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian wound dehiscence pada pasien dewasa post laparatomi di RSUP
Dr Hasan Sadikin Bandung. Metode penelitian menggunakan analitik
korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sampel yang digunakan
berjumlah 40 orang yang diambil dengan menggunakan consecutive
sampling. Pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi dan studi
dokumentasi. Analisis univariat menggunakan distribusi frekuensi dan
analisis bivariat menggunakan uji Chi Square. Hasil penelitian
menunjukkan kejadian wound dehiscence terjadi ketika perawatan di
rumah (35%). Hasil analisis bivariat menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan antara infeksi luka (p=0,0001), operasi emergensi (p =
0,020), hipoalbumin (p=0,037), anemia (p = 0,028), status nutrisi (0,010),
dan adanya penyakit penyerta (p = 0,008) dengan kejadian wound
dehiscence, serta tidak ada hubungan yang signifikan antara faktor usia (p
= 0,581) dan jenis kelamin (p= 0,604) dengan kejadian wound
dehiscence. Penting bagi perawat untuk mengidentifikasi potensial faktor
risiko wound dehiscence pada pasien yang dilakukan operasi laparatomi
dan segera melakukan intervensi yang diperlukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi wound dehiscence, diantaranya dengan melakukan
discharge planning terkait perawatan luka dan pentingnya asupan protein
yang adekuat supaya bisa dikenali ditahab mana terjadinya wound
dehiscence.
Kata kunci: Pasien, post laparatomi, wound dehiscence.
Absract
Wound dehiscence is often occurred after major abdominal surgery which
impacts on morbidity and mortality rates and significantly contributes to
prolonged hospital stays, implicit and explicit costs, associate with
psychosocial stressor on patients, evisceration re-surgical operation, and
may affect to quality of life patients. It is therefore necessary to identify
factors affecting wound dehiscence. The aims of the study was to analyze
factors correlating of post-operative wound dehiscence in adult patients at
Dr Hasan Sadikin general hospital. Correlational analytic with cross
sectional approach was used in this study. 40 patients were selected to be
participated in this study by using consecutive sampling. Observations,
interviews and study documents were conducted in data collection
process. Univariate and Bivariate analysis with Chi Square were
performed to analyze the data. Results of the study identified than wound
dehiscence were occurred during patients at home (35%). Result of
analysis bivariate showed that there was a significance correlation
between wound infection (p=0, 0001), surgical emergency (p = 0,020),
hypo albumin (p=0,037), anemia (p = 0,028), nutrition status (0,010), and
other illness (p = 0,008) with wound dehiscence. Whereas, there was no
correlation significantly between age factor (p = 0,581) and gender (p=
0,604) with wound dehiscence. It is important for nurses to identify
potential risk factors of wound dehiscence in patients after post-operative
laparotomy and prevent complication of wound dehiscence by doing
discharge planning especially in term of wound care and the need of
taking protein consumption adequately to avoid wound dehiscence.
Key words: Adult patients, post-laparatomi, wound dehiscence.
Pendahuluan operasi mencapai angka
Menurut data World Health peningkatan yang sangat
Organization (WHO) (2013), signifikan. Pada tahun 2011
jumlah pasien dengan tindakan terdapat 140 juta pasien di seluruh
Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence
rumah sakit di dunia, dan pada berkelanjutan (Potter & Perry,
tahun 2012 diperkirakan 2006). Luka pasca operasi sembuh
meningkat menjadi 148 juta sampai dengan hari ke 10 sampai
jiwa. Pada tahun 2012 di 14 (Enoch & Leaper, 2007;
Indonesia, tindakan operasi Heather et al., 2010).
mencapai 1,2 juta jiwa dan Meskipun memiliki tahap-tahap
diperkirakan 32% diantaranya yang dapat diidentifikasi, pada
merupakan tindakan bedah kenyataannya penyembuhan luka
laparatomi (Kemenkes RI, merupakan proses yang
2013). Sementara tindakan kompleks, terus menerus dan
bedah laparatomi di RSUP Dr proses penyembuhan luka tidak
Hasan Sadikin dapat mencapai selalu berjalan dengan lancar
lebih kurang 50 operasi setiap (Smeltzer & Bare, 2010). Di sisi
bulannya (Djaya, Rudiman, & lain, keterlambatan penyembuhan
Lukman, 2012). Sementara luka terjadi ketika tepi jaringan
angka kejadian di Rumah Sakit granulasi yang berlawanan tidak
Hasan Sadikin Bandung, sembuh atau dijahit kembali akibat
sekitar 0,4% – 1,13%. Pada dari infeksi. Selama fase ini,
tahun 2011 sampai 2014 infeksi memproduksi enzim yang
ditemukan kurang lebih 252 merusak jaringan dan jahitan di
kasus abdominal wound sekitarnya. Akibatnya, jaringan
dehiscence. rusak dapat memicu terjadinya
Laparatomi merupakan jenis wound dehiscence (Johnson, 2009)
operasi bedah mayor yang yang biasanya muncul 4 – 14 hari
dilakukan di daerah abdomen pasca operasi, dengan rata-rata
(Sjamsuhidajat & Jong, pada hari ke 7 (Kenig, Richter,
2005).Sayatan pada operasi Lasek, Zbierska, & Zurawska,
laparatomi menimbulkan luka 2014). Wound dehiscence adalah
yang berukuran besar dan kelainan pada fasia yang muncul
dalam sehingga membutuhkan pada periode awal postoperasi
waktu penyembuhan yang (Ramshorst et al., 2010), dan
lama dan perawatan Spiliotis et al. (2009),
Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence
mendefinisikan wound atas 40 tahun Waqar et al. (2005);
dehiscence sebagai kegagalan Ramshorst et al. (2010);
mekanik dari proses Ramneesh, Sheerin, Surinder, dan
penyembuhan luka, dimana hal Bir (2014) . Hal ini mungkin
ini dapat disebabkan oleh terletak pada kerusakan
berbagai faktor. mekanisme perbaikan jaringan
Beberapa penelitian pada usia lanjut, terutama selama
memperlihatkan hasil yang beberapa hari pertama dari proses
berbeda mengenai faktor- penyembuhan dimana sistem
faktor yang berhubungan kekebalan tubuh memiliki peranan
dengan kejadian wound penting. Perubahan fungsional
dehiscence. Faktor-faktor yang berpengaruh buruk terhadap
memiliki nilai signifikan yang masuknya sel-sel dan senyawa
tinggi dikaitkan dengan yang penting untuk perbaikan
kejadian wound dehiscence jaringan (Ramshorst et al.,2010).
diantaranya faktor usia, jenis Selain itu, semakin bertambah
kelamin, malnutrisi, anemia, tua usia pasien, maka semakin
hipoalbumin, penyakit paru berkurang produksi
konik, infeksi luka operasi, glikoaminoglikan, kolagen, dan
keganasan, operasi emergensi, struktur matriks sehingga terjadi
jaundice (Ramshorst et al., substansi dasar kulit, menurunkan
2010); obesitas Hitesh, Pratik, vaskularisasi, dan ketebalan
Nilesh, & Jovin, 2015), jaringan dimana hal ini
diabetes (Meena et al., 2013) berpengaruh terhadap perbaikan
Dikaitkan pada karakteristik jaringan (Waqar et al., 2005).
pasien, kejadian wound Hasil Penelitian cross sectional
dehiscence lebih sering terjadi yang dilakukan Shammary (2012)
pada pasien dewasa lanjut di Rumah sakit pendidikan Al-
(Waqar et al., 2005). Hasil Kindy menunjukkan dari 66 kasus
penelitian memperlihatkan wound dehiscence, sebagian besar
bahwa wound dehiscence (72%) terjadi pada laki-laki
banyak terjadi pada usia di dibanding perempuan (27,3%).
Tita Puspita Ningrum : Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kejadian Wound Dehiscence
Hal ini dikaitkan dengan
kebiasaan merokok yang
cenderung banyak dilakukan
oleh laki-laki dimana efek dari
merokok dapat menghambat
proses penyembuhan luka.
Infeksi luka operasi dianggap
sebagai faktor utama yang
menyebabkan terjadinya wound
dehiscence. Adanya bakteri
menyebabkan influks dan
aktivasi neutrofil serta
meningkatkan degradasi
matrix metalloproteinases (MMPs).Tidak adanya penutupan jaringan inhibitor
dari MMPS, menimbulkan degradasi pada luka.Terlepasnya endotoksin oleh
bakteri menyebabkan produksi kolagenase, yaitu degradasi serat kolagen.
Infeksi menyebakan memanjangnya fase inflamasi, dan berdampak negatif
terhadap deposisi kolagen dan aktivitas fibroblas. Adanya bakteri pada jaringan
yang sedang mengalami proses penyembuhan memengaruhi semua proses
penyembuhan (Ramshorst et al., 2010)
Anemia merupakan faktor risiko yang dihubungkan dengan meningkatnya
stres perioperative, tranfusi darah dan menurunnya oksigenasi ke jaringan
dimana kesemuanya memengaruhi sistem imun dan proses penyembuhan luka
(Ramshorst et al., 2010). Pasien dengan anemia mengalami proses
penyembuhan yang buruk dan cenderung memiliki celah pada luka
(Ramneesh et al., 2014). Hasil penelitian prospektif yang dilakukan Sivender,
Ilaiah, dan Reddy (2015) pada 50 kasus wound dehiscence post operasi
abdomen di Rumah Sakit Osmania Hyderabad memperlihatkan pasien dengan
anemia (Hb < 10 g/dl) yang mengalami wound dehiscence yaitu 28 pasien
(56%) sementara pasien dengan Hb > 10 g/dl yang mengalami wound
dehiscence yaitu sebanyak 14 pasien (28%). Hipoalbuminemia berkontribusi
mem- perpanjang fase inflamasi dan fibroplasia, proliferasi, proteoglycan dan
sintesis kolagen, neoangiogenesis dan penutupan luka. Secara umum, albumin
yang rendah dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan luka, meningkatkan
wound dehiscence serta meningkatkan kerentanan terhadap infeksi dan kualitas
jaringan scar yang buruk (Boyle, 2006).
Malnutrisi sering dihubungkan dengan komplikasi yang terjadi pada tindakan
pembedahan, dimana malnutrisi dapat menghambat penyembuhan luka operasi,
daya tahan tubuh, penurunan fungsi otot jantung dan sistem pernafasan
(Ramshorst et al., 2010). Hasil penelitian kohort prospektif yang dilakukan
Meylani et al. (2012) memperlihatkan risiko dehiscence meningkat secara
bermaknapadagiziburukdibandingkan dengan gizi baik (p=0,000). Sementar itu
hasil penelitian Dudley, Kettle, dan Ismail (2013) dan Hitesh et al. (2015)
menunjukkan kasus wound dehiscence banyak ditemukan pada pasien dengan
obesitas, dan penelitian Yadi (2011) menunjukkan indeks massa tubuh tidak
memengaruhi secara bermakna akan terjadinya wound dehiscence (p=0,131).
Beberapa literature memperlihatkan bahwa wound dehiscence banyak terjadi
pada kasus-kasus operasi emergensi dibandingkan dengan operasi elektif,
namun hasil penelitian Sorensen et al. (2005) serta Hitesh et al. (2015) tidak
memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara kejadian wound dehiscence
pada pasien dengan operasi emergensi (55%) dan operasi elektif (45%).
Penelitian lebih lanjut di RS Hasan Sadikin diperlukan untuk
mendapatkan faktor yang paling
memengaruhi sesuai karakterisitik pasien.
Wound dehiscence merupakan salah satu komplikasi luka post operasi
yang paling serius. Beberapa penelitian memperlihatkan tingkat
mortalitas dan morbiditas yang tinggi yaitu 3–35% (Khorgami et al.,
2012), dengan insiden wound dehiscence di dunia sekitar0,4%–3,5%
setelah pembedahan mayor abdomen dan dihubungkan dengan kematian
sekitar 10% – 45% (Ramshorst et al., 2010). Dampak dari wound
dehiscence, diantaranya meningkatkan stres pada pasien, viserasi,
reoperasi, gangguan body image, menurunkan kualitas hidup pasien,
meningkatkan lama rawat dan biaya rawat lebih dari 300 persen dan
membuang anggaran kesehatan rumah sakit (Khorgami et al., 2012;
Ramshorst, Eker, Voet, Jeekel, & Lange, 2013), menyebabkan trauma
psikologi, risiko infeksi berat dengan akibat kematian (Hitesh et al.,
2015).
Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti baik kepada 5 pasien dan
keluarga yang mengalami wound deshicence, menunjukkan dari 5 pasien
dengan wound dehiscence, diperoleh data kelima pasien berjenis kelamin
laki-laki, dengan 3 pasien berusia < 40 tahun dan 2 pasien pasien berusia
> 40 tahun, yang memiliki Hb > 10 gr/dl sebanyak 2 orang dan < 10 gr/dl
sebanyak 3 orang; 2 pasien memiliki albumin < 3,5 g/dl serta 3 pasien
dengan albumin di atas 3,5 gr/dl; 4 pasien menjalani operasi emergensi
dan mengalami infeksi pada area luka, 1 pasien menjalani operasi elektif,
2 pasien dengan malnutrisi, 1 pasien obesitas dan 2 pasien dengan gizi
baik. Berdasarkan riwayat penyakit penyerta
Metode Penelitian
Desain Penelitian ini adalah analitik
korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian
ini adalah seluruh pasien yang post
laparatomi.Teknik pengambilan
sampel yaitu consecutive sampling
yang dilakukan selama dua bulan di
Ruang Perawatan Bedah RSUP Dr.
Hasan Sadikin Bandung setelah
mendapatkan ijin dari dan lolos uji
etik,, dengan kriteria inklusi
responden adalah pasien dewasa
dengan usia> 18 tahun post
laparatomi yang dirawat di ruang
perawatan bedah setelah hari ketiga
perawatan, sehingga diperoleh
jumlah sampel sebanyak 40 orang
yaitu pasien yang menjalani operasi
laparatomy. Tidak anemia
(Hb>10gr/dl),. Data diambil dengan
menggunakan lembar observasi
melalui studi dokumentasi,
wawancara dan observasi. Kemudian
dilakukan analisis univariat
dengan menggunakan distribusi
frekuensi dan analisis bivariat
menggunakan chi square test.
Sampel diambil yang belum
terdpat wound dehiscence, diikuti
sampai datang kembali ke poli
RSHS untuk mengobservasi
adakah kejadian dehiscence.
Hasil Penelitian
Analisis univariat dalam
penelitian ini
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Usia,
Jenis Kelamin, Status Nutrisi, Anemia, Hipoalbumin,
Jenis Kelamin
Perempuan 18 4
5
Laki-laki 22 5
5
Variabel f %
Status Nutrisi
Obesitas/malnutrisi 20 5
0
Baik 20 5
0
Anemia 21 5
2
,
5
Tidak Anemia 19 4
7
,
5
Hipoalbumin 23 5
7
,
5
Tidak hipoalbumin 17 4
2
,
5
Jenis Operasi
Emergensi 21 5
2
,
5
Elektif 19 4
7
,
5
Penyakit Penyerta: 25 6
keganasan/DM/ COPD 2
,
5
Tidak ada Penyakit Penyerta 15 3
7,
5
Dudley, L., Kettle, C., & Khaled, I. (2013). Prevalence, pathophysiology and
current management of dehisced perineal wounds following childbirt. British
Journal of Midwifery, 21(3).
Enoch, S., & Leaper, D.J. (2007). Basic Science of wound healing. Surgery
journal, 26(2), 31–37. DOI : 10.1016/j. mpsur.2007.11.005.
Hahler,B.(2006).SurgicalWoundDehiscence.
MEDSURG Nursing. 15(5), 301–305.
Heather, L.O., Keast, D.K., Kuhnke, J., Armstrong, P., Attrell, E., Beaumier,
M.,… Orchard, M.T. (2010). Best Practice Recommendations for the Prevention
and Management of Open Surgical Wounds. Wound Care Canada, 8(1), 6–34.
Hennessey, D.B., Burke J.P., Dhonochu, T.N., Shielda, D., Winter, D.C., &
Melay, K. (2010). Preoperative hypoalbuminemia is an independent risk factor
for the developmentof surgical site infection following gastrointestinal surgery :
a multi-institutional study. Ann Surg, 252(2), 325–329. doi:
10.1097/SLA0b013e3181e9819a.
Hitesh, K., Pratik, V., Nilesh, P., & Jovin,
M. (2015). Factors affecting post-operative laparotomy wound coplications.
International archives of Integrated Medicine, 2(1), 71–74.
Kenig, J., Richter, P., Lasek, A., Zbierska, K., & Zurawska, S. (2014). The
Efficacy of risk scores for predicting abdominal wound dehiscence : a case-
controlled validation study. BioMed central, 14(65), 1–6.
Kenig, J., Richter, P., Lasek, A., Zurawska,
S. &Zbierska, K., (2013). Risk factors for wound dehiscence after
laparotomy - Clinical control trial. POLSKI PRZEGLAD CHIRURGICZNY,
84(11), 565-573.Doi: 10.247/v10035-012-0094-0.
Khorgami, Z., Shoar, B., Laghaie, B., Aminian, A., Araghi, N.H., &
Soroush, A. (2012). Prophylactic retention suture in midline laparotomy in
high risk for wound dehiscence : a randomized controlled trial. Journal of
Surgical Research, xxx, E1-E6.
Mahey, R., Ghetla, S., Rajpurohit, J., Desai, D., & Suryawanshi, S. (2016). A
prospective study of risk factors for abdominal wound dehiscence.
International Surgery Journal, 4(1). DOI : 10.18203/2349-2902.
isj20163983.
Meena, K., Ali, S., Chawla, A.S., Aggarwal, L., Suhani, S., Kumar, S., & Khan,
R, N. (2013). A Prospective Study of Factors Influencing Wound Dehiscence
after Midline Laparotomy. Surgical Science, 4, 354–358.
Meilany, T.A., Alexandra., Arianto, A., Bausat, Q., Endang., Prihartono, J., &
Sjarif, D.R.. (2012). Pengaruh Malnutrisi dan Faktor lainnya terhadap Kejadian
Wound Dehiscence pada Pembedahan Abdominal Anak Pada Periode
Perioperatif. Sari Pediatri. 14(2).
Murtaza, B., Seed, S., & Sharif, M. A. (2010). Post Operative Complications in
Emergency Versus Elective Laparotomies at a Peripheral Hospital. J Ayub Med
Coll Abbottabad, 22(3).
National Institute for Health and Clinical Excellence. (2008). Surgical Site
Infection: Prevention and Treatment of Surgical Site Infection Clinical
Guideline 74. NICE. London
Potter, P.A., & Perry, A.G. (2006). Buku Ajar Fundamental Keperawatan.
Jakarta : EGC.
Ramneesh, G., Sheerin, S., Surinder, S., &Bir, S. (2014). A Prospective Study
of Predictors for Post Laparotomy Abdominal Wound Dehiscence. Journal of
Clinical and Diagnostic Research, 8(1), 80–83.
Ramshort, G. H., Eker, H. H., Voet, J. A., Jeekel, J., & Lange, J. F. (2013).
Long-Term Outcome Study in Patients with Abdominal Wound Dehiscence : a
Comparative Study on Quality of Life, Body Image, and Incisional Hernia.
Gastrointest Surg, 17, 1477–1484.
Ramshorst, G. H., Hansen, B.E., Jeekel, J., Hovius, S.E.R., & Lange, J.F.
(2014). A
1,000 laparotomy prospective cohort studyon abdominal wound dehiscence:
high morbidity might be improved. Wound Failure in laparotomy : new insights,
51–76. ISBN: 978-94-6108-570-2.
Topik seminar :
Asuhan Keperawatan Pada Tn W Dengan Diagnosa Medis Peritonitis Post Op
Laparatomy Pada Sistem Integumen
Yang bertugas :
1. Moderator : Valentino
2. Penyaji : Viona Rizky Febriasesa
3. Observer : Dende
4. Operator : Viona Rizky Febriasesa
5. Dokumentasi : Viona Rizky Febriasesa
6. Fasilitator : Dende
Hasil observasi :
1. Pada saat pembukaan acara dibuka oleh moderator yang dimulai dengan
mengucapkan salam dan perkenalan diri dan memperkenalkan pembimbing
dari masing-masing ruangan, yang disampaikan dengan baik dan lancar.
2. Untuk penyaji pada saat menyampaikan materi sudah cukup baik, hanya
diharapkan penyaji tidak terlalu cepat dalam menyampaikan isi dari topik
yang disampaikan
3. Pada saat menyampaikan bagian intervensi, tidak disebutkan setiap diagnosa
menggunakan intervensi apa.
4. Pada bagian implementasi dan evaluasi, disampaikan untuk hasil dari evaluasi
dari kasusnya.
5. Untuk pengaturan waktunya tidak terlalu lama dan cukup baik dalam
meminimalisir waktu yang terbuang
6. Untuk audience sudah baik sekali dalam mengikuti acara dari awal sampai
akhir
7. Pada sesi tanya jawab sudah baik dari audience nya, meskipun ada beberapa
yang harus menunggu ditanya dulu.
8. Pada sesi tanya jawab Sudah baik bagi penyaji yang mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan dari audiens
9. Secara keseluruhan selama berjalannya acara sudah baik dan berjalan dengan
lancar.
DOKUMENTASI SELAMA SEMINAR