RESUME MATERI Kriminologi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

RESUME MATERI: SEJARAH TEORI KRIMINOLOGI,

TEORI-TEORI DALAM PERSPEKTIF KRIMINOLOGI


MODERN DAN LANJUTAN

Oleh

DAVID BASTIAN
1952011026

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

Hal
A. Sejarah Teori Kriminologi……………………………………….1
B. Teori-teori Kriminologi dalam Perspektif Kriminologi Modern…
C. Teori-teori Kriminologi dalam Perspektif Kriminologi Modern
(Lanjutan)

DAFTAR PUSTAKA
A. Sejarah Teori Kriminologi

Sejarah Peradaban mencatat adanya dua bentuk pendekatan yang menjadi


landasan bagi lahirnya teori-teori dalama kriminologi, yaitu:1

a. Spritualisme
Berbeda dengan teori-teori saat ini, penjelasan spiritualisme
memfokuskan perhatiannya pada perbedaan antara kebaikan yang
datang dari Tuhan atau Dewa dan keburukan yang datang dari
setan. Seseorang yang telah melakukan suatu kejahatan dipandang
sebagai orang yang telah terkena bujukan setan (evil/demon).
Penjelasan tentang kepercayaan manusia pada yang gaib tersebut
dapat kita peroleh dari berbagai literatur sosiologi,

Pada perkembangan selanjutnya aliran spiritualisme ini


masuk dalam lingkup pergaulan politik dan social kaum feodal.
Landasan pemikiran yang paling rasional dari perkembangan ini
adalah bahwa pada periode sebelumnya kejahatan dianggap sebagai
permasalahan antara korban dan keluarga korban dengan pelaku
dan keluarganya. Akibatnya adalah konflik berkepanjangan antara

1
Topo santosodan Eva Achjani Zulva, 2001”Kriminologi.,PT Raja grafindo Perkasa.Jakarta.Hlm 14
keluarga yang dapat mengakibatkan musnahnya keluarga tersebut.
Sebagai upaya pemecahan terhadap permasalahan tersebut, maka
masyarakat membentuk lembaga-lembaga yang dapat menjadi
dasar pembenar terhadap upaya pembalasan terhadap seseorang
yang telah melakukan kejahatan. Konsep Carok misalnya dikenal
dalam masyarakat Madura. Konsep perang tanding antara keluarga
yang menjadi korban dengan keluarga pelaku merupakan wadah
pembalasan dendam dan kerugian dari pihak korban. Dalam hal ini
ada suatu kepercayaan dari masyarakat bahwa kebenaran akan
selalu menang dan kejahatan pasti akan mengalami kebinasaan.

b. Naturalisme
Naturalisme merupakan model pendekatan lain yang sudah
ada sejak berabad-abad yang lalu. Adalah “Hippocrates” (460 S.M)
yang menyatakan bahwa “the brain is organ of the mind”.
Perkembangan paham rasionalisme yang muncul dari
perkembangan ilmu alam setelah abad pertengahan menyebabkan
manusia mencari model penjelasan lain yang lebih rasional dan
mampu dibuktikan secara ilmiah.

Dalam perkembangan lahirnya teori-teori tentang kejahatan, maka dapat dibagi


dalam tiga mazhab atau aliran yaitu2:

1. Aliran Klasik
Dasar pemikiran dari ajaran klasik ini adalah adanya pemikiran
bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang memiliki
kehendak bebas (Free Will). Dimana dalam bertingkah laku, ia
memiliki kemampuan untuk memperhitungkan segala tindakan
berdasarkan keinginannya (hedonisme). Dengan kata lain manusia
alam berperilaku dipandu oleh dua hal yaitu penderitaan dan
kesenangan yang menjadi resiko dari tindakan yang dilakukanya.

2
Ibid Hal 31
2. Aliran Social Defence
Aliran Social defence yang dipelopori oleh Judge Marc Ancel telah
mengembangkan suatu teori yang berlainan dengan aliran terdahulu.
Munculnya aliran ini disebabkan teori aliran positif klasik dianggap
terlalu statis dan kaku dalam menganalisis kejahatan yang terjadi
dalam masyarakat. Meskipun demikian, arti social defence berbeda
dengan yang dimaksud oleh tokoh aliran positif, yaitu3 :

a) Social defence tidak bersifat deterministic

b) Social defence menolak tipologi yang bersifat kaku tentang


penjahat dan menitikberatkan pada keunikan kepribadian manusia.

c) Social defence meyakini sepenuhnya nilai-nilai moral.

d) Social defence menghargai sepenuhnya kewajiban-kewajiban


masyarakat terhadap penjahat. Dan mencoba menciptakan
keseimbangan antara masyarakat dan penjahat serta menolak
mempergunakan pendekatan yang bersifat security sebagai suatu
alat administrate.
e) Sekalipun mempergunakan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan
namun sosial defence menolak dikuasai olehnya dan
menggantikannya dengan sistem yang modern “politik kriminal”.

3. Aliran Positifis
Aliran positif yang dipelopori oleh para ilmuan lebih mengutamakan
keunggulan ilmu pengetahuan yang berkembang dari kenyataan
kehidupan dalam masyarakat.Para ilmuan ini tidak cukup puas hanya
dengan berpikir untuk meningkatkan dan memoderenisasi peradaban
masyarakat, tetapi mereka lebih banyak berkeinginan untuk
3
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo. 2018,”Buku Ajar Hukum dan Kriminologi”Bandar Lampung:
Aura CV.Anugrah Utama Raharja. Hlm. 62
menjelaskan semua gejala kehiduan yang terjadi di dalam masyarakat.
Aliran yang mengakui bahwa manusia memiliki akalnya disertai
kehendak bebas untuk enentukan pilinannya. Akan tetapi, aliran ini
berpendapat bahwa kehendak mereka itu tidak lepas dari pengaruh
faktor lingkungannya.

Secara garis besar aliran positifis membagi dirinya menjadi dua pandangan yaitu:

a) Determinisme Biologis
Teori-teori yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran bahwa
perilaku manusia sepenuhnya tergantung pada pengaruh biologis yang ada
dalam dirinya.

b) Determinisme Cultural
Teori ini yang masuk dalam aliran ini mendasari pemikiran mereka pada
pengaruh social, budaya dari lingkungan dimana seseorang itu hidup.

Menurut Topo Santoso dan Eva Azhzani landasan pemikiran teori sebab musabab
timbulnya kejahatan juga dapat dilihat pada ajaran-ajaran yang disampaikan oleh
beberapa sarjana yaitu sebagai berikut :

1. Ajaran Klasik

Menurut ajaran ini manusia mengatur tingkah lakunya atas dasar


pertimbangan suka dan duka. Suka yang diperoleh dari tindakan tertentu
dibandingkan dengan duka yang diperoleh dari tindakan yang sama. Si
petindak diperkirakan berkehendak bebas dan menentukan pilihannya
berdasarkan perhitungan hedonistis saja. Inilah yang dianggap penjelasan
final dan komplit dari sebab musabab kejahatan.

Beccaria dalam Tahun 1764 menetapkan doktrin ini kepada penology,


dengan maksud untuk mengurangi kesewenang-wenangan dan kekuasaan
hukuman. Menurutnya, semua orang yang melanggar undang-undang
tertentu harus menerima hukuman yang sama, tanpa mengingat umur,
kesehatan jiwa, kaya/miskin, posisi social dan keadaan-keadaan lainnya.

Pendapat ekstrim ini kemudian diperlunak mengenai dua hal yaitu anak
anak dan orang yang tidak waras dikecualikan dengan pertimbangan
bahwa mereka tidak mampu untuk memperhitungkan secara wajar suka
duka dan hukuman yang diterapkan pun dalam batas-batas tertentu
(dimungkinkan adanya diskresi). Dengan perubahan ini doktrin klasik
menjadi tulang punggung hukum pidana sampai sekarang. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Indonesia kita mengenalnya dalam aturan
pasal 44 dan 45. Sebab musahab kejahatan yang sealiran dengan ajaran ini
mengakui hipotesa sebab musahab kejahatan yang naturalistis dan
karenanya kadang-kadang disebut positivis (ajaran positifis).

2. Ajaran Kartografis atau Geografis

Berkembang di Perancis, Inggris dan Jerman pada tahun 1830-


1880. Ajaran ini sama dengan apa yang akhir-akhir ini disebut ajaran
ekologis. Yang dipentingkan dalam ajaran ini adalah distribusi kejahatan
dalam daerah-daerah tertentu, baik secara geografis maupun secara social.

3. Ajaran Sosialis

Ajaran sosialis dalam kriminologi didasarkan pada tulisan-tulisan


Marx dan Engels pada tahun 1850-an. Yang menjadi pusat perhatian dari
ajaran ini adalah determinisme ekonomis. Ajaran ini memandang
kejahatan hanya sebagai hasil, sebagai akibat atau sebagai akibat lainnya
saja. Ajaran ini menghubungkan kondisi kejahatan dengan kondisi
ekonomi yang dianggap memiliki hubungan sebab akibat. Walau demikian
ajaran ini dapat dikatakan bersifat ilmiah, sebab dimulai dengan sebuah
hipotesa dan kumpulan bahan-bahan nyata dan menggunakan yang
memungkinkan orang lain untuk mengulangi penyelidikan dan untuk
menguji kembali kesimpulan-kesimpulannya.

4. Ajaran Tipologis

Dalam kriminologis telah berkembang 3 ajaran yang disebut ajaran


tipologis atau bio tipologis. Ketiga-tiganya mempunyai logika dan
metodologi yang sama dengan berdasarkan pada dalil bahwa pada
dasarnya penjahat berbeda dengan bukan penjahat karena memiliki ciri-
ciri pribadi yang mendorong timbulnya kecenderungan luar biasa
(menyimpang) untuk melakukan kejahatan dalam situasi-situasi yang tidak
mendorong orang lain untuk melakukan kejahatan. Kecenderungan ini
mungkin diwariskan dari orangtuanya atau mungkin ekspresi khusus dari
cirri-ciri kepribadiannya yang lain dari orang kebanyakan. Disini situasi
social ekonomi penjahat tidak diperhitungkan.

B. Teori-teori Kriminologi dalam Perspektif Kriminologi Modern

1. Teori differential Assocation mempunyai kekuatan dalam


kelemahan tersendiri. Adapun kekuatan teori Differential
Association bertumpu pada aspek-aspek:

a. mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya


kejahatan akibat penyakit sosial

b. mampu menjelaskan bagaimana sescorang karena


adanya/mclalui proses belajar menjadi jahat; dan

c. Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat


rasional.
Sedangkan kelemahan mendasar teori ini terletak pada aspek :

a. Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan
kejahatan akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti
untuk beberapa golongan orang, seperti petugas polisi, petugas
pemasyarakatan/penjara atau krimilog yang telah berhubungan dengan
tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak menjadi
penjahat.

b. Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada
karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.

c. Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka


melanggar daripada menaati undang-undang dan belum mampu
menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena spontanitas.

d. Bahwa apabila ditinjau dari aspek operasionalnya ternyata teori ini


agak sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus
menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya.

2. Teori Anomie

Secara global, aktual dan representatif teori anomie lahir, tumbuh dan
berkembang berdasarkan kondisi sosial (social heritage) munculnya revolusi
industri hingga great depression di Prancis dan Eropa tahun 1930-an
menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu dan lembaga
sosial/masyarakat. Istilah anomie diperkenalkan oleh Emile Durkheim yang
diartikan suatu keadaan tanpa norma.

Menurut Emile Durkheim, teori anomic terdiri dari tiga perspektif, yaitu”:

a. Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal).


b. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social
animal).

c. Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat


tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live in
colonies, and his/her survival dependent upon moral conextions).

Kemudian, istilah anomie dikemukakan Emile Durkheim dalam bukunya


Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat
merupakan akhir puncak dari anomie karena dua keadaan sosial berupa social
integration dan social regulation. Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh
diri atau suicide berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu :

1. deregulasi kebutuhan atau anomi ;

2. regulasi yang keterlaluan atau fatalism ;

3. kurangnya integrasi struktural atau egoisme.

Adapun lima cara mengatasi anomie menurut Robert K Merton:


1. Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan dimana
wargamasyarakat tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang
terdapat dalam masyarakat karena adanya tekanan moral.

2. Innovation(inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam


masyarakat diakui dan dipelihara ictapi mengubah sarana-sarana
yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

3. Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat


menolak tujuan yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang
telah ditentukan tetap dipilih.
4. Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga
masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah disediakan.

5. Rebellion (pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan


dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha
untuk mengganti atau mengubah seluruhnya.

3. Teori Sub-Culture
Pada dasarnya, teori sub-culture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan
remaja serta perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori
ini dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas
menengah Amerika. Di bidang pendidikan, para kelas menengah
mengharapkan pendidikan universitas bagi anak-anak mereka. Kemudian
dalam bidang Iptek, keberhasilan Uni Soviet mengorbitkan satelit pertamanya
akhirnya berpengaruh besar dalam sistem pendidikan di AS. Di sisi lain,
memunculkan urbanisasi yang membuat daerah pusat kota menjadi kacau balau
dan hal ini

4. Teori Culture Conflict


dikemukakan Thorsten Sellin dalam bukunya Culture Conflict and Crime
(1938). Fokus utama teori ini mengacu pada dasar norma kriminal dan corak
pikiran/sikap. Thorsten Sellin menyetujui bahwa maksud norma-norma
mengatur kehidupan manusia setiap hari, norma adalah aturan-aturan yang
merefleksikan sikap dari kelompok satu dengan lainnya. Konsekuensinya,
setiap kelompok mempunyai norma dan setiap norma dalam setiap kelompok
lain memungkinkan untuk konflik. Setiap individu boleh setuju dirinya
berperan sebagai penjahat melalui norma yang disetujui kelompoknya, jika
norma kelompoknya bertentangan dengan norma yang dominan dalam
masyarakat. Persetujuan pada rasionalisasi ini, merupakan bagian terpenting
untuk membedakan antara yang kriminal dan nonkriminal dimana yang satu
menghormati pada perbedaan kehendak/tabiat norma.

5. Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak
terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi
terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang
berbeda dengan kondisi semula.

Teori Labelling

Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran
Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai beberapa
spesifikasi, yaitu 98:

Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan
perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat;

Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan,


dengan menggunakan self report study yaitu interviu terhadap pelaku kejahatan
yang tidak tertangkap/tidak diketahui polisi. Pada dasarnya, teori labeling
dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari Frank Tannenbaum
(1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai
T. Erikson (Notes on the Sociology c! Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human
Deviance Social Problem and Social Control. 1967) dan Edwin Schur (Labeling

Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap


teori label menekankan kepada dua aspek, yaitu :Menjelaskan tentang mengapa
dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label. Pengaruh/efek dari label
sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.Dengan demikian, reaksi
masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian
F.M. Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga
bentuk penyimpangan, yaitu :

a. Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan


tekanan psikis dari dalam ;
b. b. Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ; dan
c. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam
sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.

7 Teori Kontrol

Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang


melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi
meinpertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada
pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang
taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol disebabkan
tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi terhadap
orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal.
Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kucang menyukai
"kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek
semula, yaitu penjahat (kriininal). Kedua, munculnya studi tentang “kriminal
justice" dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi
lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah
dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku
anak/remaja, yakni selfreport surveylol.

Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an beberapa teorisi


mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan remaja. Pada tahun
1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi
dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkan teori kontrol sosial.
Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol sosial dalam menjelaskan
kenakalan remaja, yaitu:

1. kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak-anak.

2. hilangnya kontrol internal.

3. tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud.


di keluarga, lingkungan dekat, sekolah).

Anda mungkin juga menyukai