Makalah Gbs.
Makalah Gbs.
Makalah Gbs.
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Ajar medical bedah
Disusun oleh:
Sondari 4002180140
Assalamu’alaikum wr wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongannya-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
nantikan syafaatnya diakhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpah nikmat sehatnya baik itu
berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas mata ajar medical bedah..
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini. Supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada Dosen
yang terlibat mendukung dalam menulis makalah ini. Demikian, semoga makalah ini dapat
bermanfaat. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum wr wb
lampung, 28 Juni2021
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Latar Belakang Masalah Guillain-Barré Syndrome adalah penyakit autoimun yang menimbulkan
peradangan dan kerusakan myelin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk
selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer) (Inawati, 2010). Guillain-Barré
Syndrome adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama
mengenai radiks dan saraf tepi, kadang – kadang mengenai saraf otak yang didahului dengan infeksi
(Israr, et al. 2009). Nama Guillain-Barré Syndrome (GBS) ini berasal dari nama neurologis asal Perancis
yaitu Goerges Guillain, Jean-Alexandre Barre, dan Andre Strohl yang menjelaskan tentang adanya
perubahan khas berupa peningkatan jumlah protein dalam cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai
peningkatan jumlah sel pada tahun 1916. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik (Israr, et al.
2009). Sebelum itu yakni pada tahun 1859, seorang neurologis Perancis Jean Baptiste Landry telah
menggambarkan tentang penyakit sejenis. Landry menyatakan bahwa terdapat 10 pasien yang
mengalami kelumpuhan / ascending paralysis (Andary, et al. 2014). Penyakit Guillain-Barré Syndrome ini
terdapat diseluruh dunia pada setiap musim, dan menyerang hampir semua umur. Insiden GBS berkisar
0,6 – 4 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun (Nyati & Nyati, 2013). Di Amerika Serikat, sebanyak 1,2
– 3 per 100.000 penduduk terkena penyakit GBS (Andary, et al. 2014). Sedangkan di Eropa, insiden GBS
adalah 1,2 – 1,9 per 100.000 penduduk (Tidy, 2013). Di Indonesia, insiden terbanyak adalah dekade I, II,
III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah pasien laki – laki dan wanita hampir sama. Penelitian di
Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki – laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata – rata 23,5
tahun (Japardi, 2002). GBS lebih sering terjadi pada pasien laki – laki daripada perempuan dengan
perbandingan sekitar 1,5 : 1 (Andary, et al. 2014). Angka kematian dari GBS dapat meningkat tajam
seiring dengan penambahan usia. Diperkirakan terjadi peningkatan sebanyak 20% pada setiap
penambahan usia 10 tahun (Yuki & Hartung, 2012). Angka kematian meningkat sebesar 1,3 kali pada laki
– laki dibandingkan dengan perempuan. Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15 – 20% dari
pasien mengalami penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1 – 10% mengalami cacat permanen
(Andary, et al. 2014). Ada dua manifestasi klinis dari Guillain-Barré Syndrome yang terpenting yaitu
adanya kelemahan motoris yang progresif yang mengenai lebih dari satu anggota gerak dan adanya
reflek yang menurun atau menghilang (Muid, 2005). Manifestasi klinis utama dari GBS adalah
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot – otot ekstremitas, badan dan kadang –
kadang juga muka. Penyakit ini merupakan penyakit dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.
Kelumpuhan dimulai pada bagian bagian distal ekstremitas bawah dan dapat naik ke arah kranial
(Ascending paralysis) dengan karakteristik adanya kelemahan arefleksia yang bersifat progresif dan
perubahan sensasi sensorik. Gejala sensorik muncul setelah adanya kelemahan motorik (Israr, et al.
2009). Kelemahan otot ini dapat terjadi dengan atau tanpa kelemahan otot – otot respirasi (Van Doorn,
et al. 2008). Kegagalan pernafasan dapat terjadi pada 25% pasien selain itu dapat juga terjadi komplikasi
seperti pneumonia, sepsis, emboli paru, dan perdarahan lambung pada 60% pasien GBS (Yuki &
Hartung, 2012). Penyebab dari GBS ini masih belum banyak diketahui, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh infeksi. Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan
mengalami infeksi saluran pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya akan berkembang
3
menjadi GBS (Yuki & Hartung, 2012). Bakteri dan virus yang menginfeksi antara lain Campylobacter
jejuni, Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma pneumonia. Pengobatan untuk pasien GBS
pada dasarnya ada 2 cara yaitu pengobatan suportif dan pengobatan spesifik (Muid, 2005). Pengobatan
suportif dapat dikatakan bersifat simptomatik sedangkan pengobatan spesifik/khusus dapat dilakukan
untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan penyakit melalui sistem imunitas
dengan pemberian imunoterapi (Japardi, 2002). Terapi yang dapat diberikan pada pasien GBS ini antara
lain imunoglobulin intravena, plasma exchange, kortikosteroid, antibiotik, vitamin B (alinamin dan
metilcobalamin) dan analgesik. Kortikosteroid dapat diberikan pada pasien GBS untuk mengurangi
inflamasi yang terjadi, namun banyak studi yang menyatakan bahwa obat ini masih kurang efektif
(Sederholm, 2010; Van Doorn, 2013; dan Yuki & Hartung, 2012). Antibiotik bisa diberikan pada pasien
karena kebanyakan pasien GBS mengalami infeksi terlebih dahulu (Nyati & Nyati, 2013). Vitamin B
tersebut bertujuan untuk memberikan energi pada jaringan saraf (Sweetman, 2009). Analgesik diberikan
untuk mengatasi nyeri neuropati pada pasien GBS (Sebastian, 2012).
4
TUJUAN
Tujuan umum :
Setelah di lakukan pembuatan makalah ini di harapkan mahasiswa mampu mengetahui dan
memahami Guillain Barre Syndrome
Tujuan khusus :
Untuk mengetahui Pengertian Guillain Barre Syndrome
Untuk mengetahui Etiologi Guillain Barre Syndrome
Untuk mengtahui Patofisiologi Guillain Barre Syndrome
Untuk mengetahui Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome
Untuk mengetahui Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome
Untuk mengetahui Komplikasi Guillain Barre Syndrome
Untuk mengetahui klasifikasi Guillain Barre Syndrome
Rumusan masalah :
Apa Pengertian Guillain Barre Syndrome
Apa Etiologi Guillain Barre Syndrome
Bagaimana Patofisiologi Guillain Barre Syndrome
Apa saja Tanda dan Gejala Guillain Barre Syndrome
Apa saja Pemeriksaan penunjang Guillain Barre Syndrome
Apa saja Komplikasi Guillain Barre Syndrome
Apa saja klasifikasi Guillain Barre Syndrome
5
BAB 2
TINJAUAN TEORITIS
1.1 Definisi
Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu kelainan
sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya
progresif.Guillan Bare Syndrome adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending danakut
yang sering terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. MenurutBosch, GBS
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasidyang terjadi secara akut
berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnyaadalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling
banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon autoimun
yang menyerang membrane sel Schwann.
2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan bermanifestasi
sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi. Umumnya
mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia, ataksia,
dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus
motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan
dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3
lebih
sering ditemukan pada AMAN.
4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang
aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang
berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff‟s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia, ataksia,
gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-Din et
al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi luas
dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya
berat, namun prognosis BBE cukup baik.
6
2.2 Etiologi Guillain Barre Syndrome.
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
7. Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas. GBS sering sekali
berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan
infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Dimana faktor penyebab
diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan Campylobacter Jejuni biasanya memberikan gejala
kelumpuhan yang lebih berat. Hal ini dikarenakan struktur biokimia dinding bakteri ini
mempunyai persamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik, sehingga antibody yang
terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin. Pada dasarnya guillain barre adalah
“Self Limited ” atau bisa timbuh dengan sendirinya. Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa
terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada keadaan ini penderita memerlukan respirator
untuk alat bantu nafasnya. Telah diketahui bahwa infeksi Salmonela Thyposa juga dapat
menyebabkan GBS. Kemungkinan timbulnya sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu
lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di mana demam tifoid masih
merupakan penyakit menular yang besar.
7
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadipada sindroma ini adalah melalui
mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
2.4 Kasifikasi
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung
selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali.Perjalanan
penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase:
8
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal
sebagai „titik nadir‟. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan
sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita.
Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih
berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri
serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan
ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajatkelemahan tetap ada sampai
dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang
atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama
jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat
dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang
serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai.
Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan
setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa
bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan .
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan
spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yangmenghancurkan myelin, dan gejala
berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan
terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan
pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya
secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi.
Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu
yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.
2.6 Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological
and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
9
I. Gejala Utama:
- Terjadinya kelemahan yang progresif.
- Hiporefleksi
a. Paralisis menetap
b. Gagal nafas
c. Hipotensi
d. Tromboembolisme
e. Pneumonia
f. Aritmia Jantung
g. Ileus
h. Aspirasi
i. Retensi urin
j. Problem psikiatrik
k. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolic.
l. Tetraparese oleh karena penyebab lain.
m. Hipokalemia
n. Miastenia Gravis
o. Adhoc commite of GBS
p. Tick Paralysis
q. Kelumpuhan otot pernafasan.r.
Dekubitus
a. LCS
10
a. Disosiasi sitoalbumin.
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari sel < 10
limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai 5 Peningkatan titer dari
agent seperti CMV, EBV, membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI
b. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis
motorik akut disebabkan oleh neuropati perifer.
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.
c. CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.
A. Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,yaitu sejak kondisi
pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu
diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus
berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang
diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus
menurun. Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien
membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan
kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem menjadi sangat penting.
Sedangkan pada fase kedua hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi
penekanan. Secara keseluruhanpenatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan
kemampuanfungsional.
11
4 komponen problem dari sudut penata laksanaan fisioterapi.
a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
BAB III
KASUS
Suatu ketika di Puskesmas (terjadi 30 tahun yang lalu), datang seorang laki-laki usia 37 tahun
dengan keluhan kedua tungkai lemah dan semakin susah dibawa berjalan, tidak ada kesemutan.
Makin lama semakin memberat dan setelah itu mengenai kedua lengan atas. Penderita lumpuh
seluruh anggota gerak. Sebelumnya mendapat influenza kira-kira 2 minggu dengan keluhan
demam disertai nyeri seluruh sendi. Akhirnya penderita dirujuk ke RS kabupaten untuk dirawat
12
ASUHAN KEPERAWATAN
Do :
- Klien terlihat lemah
- Kekuatan otot dari 1-5
skornya 2
- Klien terlihat sulit
berjalan
- Ttv 150/100
- Suhu 30 derajat
13
Hambatan mobilitas fisik Dalam waktu 3x24 jam 1) Kaji tingkat 1) Merupakan data dasar
yang berhubungan dengan setelah diberikan tindakan kemampuan klien dalam untuk melakukan
kerusakan neuromuskular, mobilitas klien meningkat melakukan mobilitas intervensi selanjutnya.
penurunan kekuatan otot atau teradaptasi. Kriteria : fisik.
peningkatan kemampuan 2) Bila pemulihan mulai
dan tidak terjadi 2) Dekatkan alat dan untuk dilakukan, klien
thrombosis vena sarana yang dibutuhkan dapat mengalami
provunda dan emboli paru klien dalam pemenuhan hipotensi ortostatik (dari
merupakan ancaman klien aktvitas sehari – hari. disfungsi otonom) dan
paralisis, yang tidak kemungkinan
mampu menggerakkan 3) Hindari faktor yang membutuhkan meja
ekstremitas. Dekubitus memungkinkan terjadi tempat tidur untuk
tidak terjadi. trauma pada saat klien menolong mereka
melakukan mobilisasi. mengambil posisi duduk
tegak.
4) Sokong ekstremitas
yang mengalami paralisis. 3) Individu paralisis
mempunyai kemungkinan
5) Monitor komplikasi mengalami kompresi
hambatan mobilitas fisik. neuropati, paling sering
saraf ulnar dan perineal.
6) Kolaborasi dengan tim
. fisioterapis. 4) Ekstremitas paralisis
disokong dengan posisi
fungsional dan
memberikan latihan
rentang gerak secara pasif
paling sedikit dua kali
sehari.
5) Deteksi dini
thrombosis vena profunda
dan dekubitus sehingga
dengan penemuan yang
cepat, penanganan lebih
mudah dilaksanankan.
Kolaborasi dengan ahli
terapi fisik untuk
mencegah deformitas
kontraktur dengan
menggunakan
pengubahan posisi yang
hati – hati dan latihan
rentang gerak.
14
melakukan mobilitas
2) Dekatkan alat dan fisik
sarana yang dibutuhkan
klien dalam pemenuhan 2) pasien mersa
aktvitas sehari – hari.
terbantu dengan
3) Hindari faktor yang
pemenuhan alat alat
memungkinkan terjadi aktivitas h sehari
trauma pada saat klien
melakukan mobilisasi. 3) pasien merasa
terbantu
4) Sokong ekstremitas
yang mengalami paralisis. 4) pasien merasa
terbantu
5) Monitor komplikasi
hambatan mobilitas fisik. 5) pasien merasa
terbantu
6) Kolaborasi dengan tim
fisioterapis.
P : intervensi di
lanjutkan
15
BAB IV
Kesimpulan
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuhmanusia yang
menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengankarekterisasi berupa kelemahan
atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnyaprogresif. Kelainan inikadang kadang juga
menyerang saraf sensoris, otonom,maupun susunan saraf pusat. SGBmerupakan Polineuropati
akut, bersifat simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang
cepat atau bisa terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.
Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan dikenal sebagai
Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry, 1859 menyebutnya sebagai
suatu penyakitakut, ascending dan paralysis motorik dengan gagal napas.Gejala klinis SGB
berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan sensorik, nyeri, perubahan otonom,
gangguan pernafasan. Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifikuntuk SGB, pengobatan
16
terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalahmengurangi gejala,
mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita
pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terusdilakukan observasi tanda-tanda vital.
Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat dirumah sakit untuk memdapatkan bantuan
pernafasan, pengobatan dan fisioterapiPemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre
adalah pemeriksaan LCS, EMGdan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik. Komplikasi
yang dapat menyebabkankematian adalah gagal nafas dan aritmia.
Saran
Sindroma Guillain-Barre sebagai suatu penyakit dapat lebih dikenali dengan pendekatan
diagnostik yang benar dengan tujuan mencari kelainan yang tepat agar dapatsegera ditangani.
Diperlukan pengamatan yang teliti guna menegakkan diagnosa ditunjangdengan pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan laboratorium yang teliti untuk mencegah adanyakomplikasi dan dapat
memberikan terapi yang sesuai dengan kelainan yang didapatkan
DAFTAR PUSTAKA
17