Pelita Juniarti - TUGAS RHA BENCANA
Pelita Juniarti - TUGAS RHA BENCANA
Pelita Juniarti - TUGAS RHA BENCANA
Disusun Oleh :
Pelita juniarti
NPM. 2026040014P
Kelas : B3 Kebidanan
A. Pendahuluan
Kota Pagar Alam adalah salah satu kota di provinsi Sumatra Selatan
yang dibentuk berdasarkan Undang–Undang Nomor 8 Tahun 2001
(Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara
RI Nomor 4115), sebelumnya kota Pagar Alam termasuk kota administratif
dalam lingkungan Kabupaten Lahat. Kota ini memiliki luas sekitar 633,66
km² dengan jumlah penduduk 126.181 jiwa dan memiliki kepadatan
penduduk sekitar 199 jiwa/km².
Kota ini berjarak sekitar 298 km dari kota Palembang dan juga
berjarak sekitar 60 km di sebelah barat daya Kabupaten Lahat. Kota ini
sekarang dipimpin oleh Alpian Maskoni, SH dan Wakil M. Fadli, S.E
Sebagai wali kota dan wakil wali kota Pagar Alam periode 2018-2023.
Berikut ini adalah perbatasan wilayahnya dengan kabupaten lainnya:
1. Utara : Kabupaten Lahat
2. Timur : Kabupaten Lahat dan kabupaten Muara Enim
3. Selatan : Kabupaten Kaur
4. Barat : Kabupaten Lahat dan kabupaten Empat Lawang
Sebagian besar keadaan tanah di kota Pagar Alam berasal dari jenis
latosol dan andosol dengan bentuk permukaan bergelombang sampai
berbukit. Jika dilihat dari kelasnya, tanah di daerah ini pada umumnya
adalah tanah yang mengandung kesuburan yang tinggi (kelas I). Hal ini
terbukti dengan daerah kota Pagar Alam yang merupakan penghasil sayur-
mayur, buah-buahan, dan merupakan salah satu subterminal agribisnis
(STA) di provinsi Sumatra Selatan.
Berikut data demografi per kecamatan di Kota Pagar Alam; Nama
kecamatan Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk
1. Dempo Selatan 239,08 km² 11.734 jiwa 54 jiwa/km²
2. Dempo Tengah 151,96 km² 12.850 jiwa 74 jiwa/km²
3. Dempo Utara 123,98 km² 20.490 jiwa 165jiwa/km²
4. Pagar Alam Selatan 63,17 km² 47.976 jiwa 759 jiwa/km²
5. Pagar Alam Utara 55,47 km² 40.812 jiwa 736 jiwa/km²
6. Kota Pagar Alam 633,66 km² 133.862 jiwa 211 jiwa/km²
Kota Pagar Alam mempunyai potensi wisata yang sangat kaya, selain
wisata alam, terdapat juga lokasi-lokasi purbakala. Di kota Pagar Alam ini
terdapat sedikitnya 33 air terjun dan 26 situs menhir yang sudah tercatat.
Objek wisata yang terdapat di kota ini dan belum semuanya dikembangkan
adalah:
Kota Pagar Alam selalau mengalami kenaikan jumlah penduduk
yang sangat drastis yang awalnya pada tahun 2000 jumlah penduduknya
hanya 112.025 jiwa jumlah itu pun pada sepuluh tahun kemudian
berpopulasi lebih kurang 126.363 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1,22%. Dikarenakan adanya faktor Transmigrasi yang ingin
menetap di kota Pagar Alam.
Penduduk kota Pagar Alam terdiri dari berbagai suku bangsa. Selain
penduduk asli (suku Besemah), ada banyak juga suku Jawa, suku Minang,
suku Batak, Orang Peranakan, Arab-Indonesia, dan India-Indonesia.
C. Asesment Bencana
Gempa Bumi Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya
Gempa bumi dengan magnitudo 3,7 mengguncang Wilayah Puskesmas
Pembantu Desa Sumber Jaya, pada Rabu 20 Januari 2021 pukul 23.19
Wita. Episenter gempa terletak pada koordinat 2,47 LS dan 119.54 BT.
Gempa itu terjadi di darat, tepatnya pada jarak 42 kilometer arah
Tenggara Wilayah Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya Tengah pada
kedalaman 6 kilometer.
Gempa yang terjadi merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas
sesar lokal.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG,
mengatakan, gempa bumi ini tidak berpotensi merusak. Gempa ini turut
dirasakan di Wilayah Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya.
Gempa ini bukan bagian dari rangkaian gempa susulan (aftershocks)
dari gempa magnitudo 6,2 yang mengguncang Wilayah Puskesmas
Pembantu Desa Sumber Jaya. Gempa yang meluluhlantakkan Wilayah
Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya itu, hingga saat ini sangat
minim gempa susulan. Hingga saat ini, gempa susulan bertahan diangka 32.
D. Analisa Kejadian
Dari artikel bencana yang ada yaitu Gempa Bumi di Wilayah
Puskesmas Pembantu Desa Sumber Jaya pada Tahun 2021, terkait program
penanggulangan bencana umumnya fokus pada masalah pengadaan pangan,
dan rekonstruksi fisik pasca bencana. Padahal, masalah kesehatan
reproduksi – seperti naiknya angka risiko kekerasan seksual, serta
meningkatnya insiden Infeksi Menular Seksual (IMS) – juga turut
menghantui korban bencana, dan harus didiskusikan lebih lanjut.
Sebagai negara yang terletak di daerah rawan bencana, Indonesia
kerap disebut sebagai “Laboratorium Bencana”. Istilah ini muncul karena
kondisi geografis, geologis, serta demografis Indonesia yang relatif
mendorong lahirnya berbagai jenis bencana; baik bencana alam, bencana
non-alam, maupun bencana sosial. Laporan dari Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia menunjukkan bahwa hampir
seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi; mulai dari
risiko banjir, gempa bumi, longsor, hingga letusan gunung berapi[3]. Lebih
lanjut, laporan yang sama juga menunjukkan bahwa seluruh Ibu Kota
Provinsi di Indonesia (34 kota) memiliki risiko bencana gempa bumi.
Tingginya Indeks Risiko Bencana (IRB) Indonesia mendorong
pemerintah untuk memberi perhatian ekstra terhadap upaya
penanggulangan bencana. Mengacu pada Rancangan Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, BNPB menargetkan penurunan
IRB sebesar 30% pada akhir tahun 2019. Berbagai upaya dilakukan oleh
BNPB untuk mencapai target tersebut, mulai dari meningkatkan kapasitas
penanggulangan bencana di daerah prioritas, berkerja sama dengan
kementrian dan lembaga lain, hingga menyusun acuan penyelenggaraan
penanggulangan bencana yang baru.
Namun di tengah upaya penanggulangan bencana yang dilakukan oleh
pemerintah dan institusi terkait, terdapat satu isu sentral yang umumnya
luput dari pembahasan. Isu tersebut adalah pelayanan kesehatan reproduksi
pada masa darurat[5]. Bencana memiliki dampak yang signifikan bagi
kondisi kesehatan reproduksi warga yang terdampak; khususnya
perempuan, anak, dan remaja[6]. Rusaknya infrastruktur kesehatan akan
menghambat layanan kesehatan reproduksi yang komprehensif.
Keterbatasan akses kontrasepsi dalam situasi bencana dapat meningkatkan
angka kehamilan yang tidak diinginkan, serta peningkatan insiden IMS dan
HIV. Selain itu, kondisi sosial pasca bencana yang tidak stabil dapat
meningkatkan risiko kekerasan seksual.
Mandat terkait pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat
sendiri telah tercantum dalam berbagai regulasi; baik di level nasional
maupun internasional. The International Conference on Population and
Development yang diadakan di Kairo pada tahun 1994 misalnya,
menyepakati bahwa “Semua negara harus berusaha untuk membuat
pelayanan kesehatan reproduksi yang dapat diakses oleh seluruh individu
pada usia yang tepat, melalui pelayanan kesehatan dasar, sesegera mungkin
sebelum tahun 2015”[8]. Pada level nasional, UU No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana menyatakan dengan jelas bahwa
“Perlindungan terhadap kelompok rentan termasuk dalam Penyelenggaran
Tanggap Darurat (Pasal 48e)”[9]. Pentingnya pelayanan kesehatan
reproduksi pada masa darurat kembali dipertegas dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No. 64 Tahun 2013 tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan
Pasal 22 dan 26. Kedua pasal tersebut menyatakan bahwa pelayanan
kesehatan reproduksi harus tersedia pada saat tanggap, dan pasca darurat
krisis kesehatan.
Poin-poin di atas menegaskan pentingnya pelayanan kesehatan
reproduksi pada masa darurat; sekaligus menjadi basis dari program Paket
Pelayanan Awal Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi, yang
digalang oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). PPAM
untuk Kesehatan Reproduksi merupakan seperangkat kegiatan prioritas
terkoordinasi, yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan
reproduksi penduduk, pada permulaan suatu keadaan darurat/bencana.
Berangkat dari prinsip pemenuhan kebutuhan dan layanan Hak Kesehatan
Seksual dan Reproduksi (HKSR), dan prinsip Keluarga Berencana (KB),
PKBI membentuk tim kemanusiaan di setiap tingkatan kerja PKBI (pusat,
daerah, dan cabang) untuk melakukan upaya respon kesehatan reproduksi
pada masa darurat.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada masa darurat – khususnya bagi
perempuan dan anak – menjadi penting, karena lebih dari 50% pengungsi
korban bencana adalah perempuan dan anak[11]. Data dari The United
Nations Population Fund (UNFPA) menunjukkan bahwa dari total populasi
perempuan di tempat pengungsian, 25% di antaranya berada di usia
produktif. Lebih lanjut, data dari UNFPA juga menunjukkan bahwa dari
total populasi perempuan yang berada di usia produktif tersebut, 2% di
antaranya mengalami kekerasan seksual. Selain kasus kekerasan seksual,
masalah-masalah terkait kehamilan juga turut menghantui korban bencana
di lokasi pengungsian. Data dari sumber yang sama menunjukkan bahwa
20% kehamilan yang terjadi di saat krisis akan berakhir dengan keguguran,
atau aborsi yang tidak aman[12]. Hal inilah yang berusaha dicegah oleh
PKBI dan BNPB, melalui Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi.
Program PPAM untuk Kesehatan Reproduksi PKBI dibagi ke dalam
tiga tahap: tahap pra-bencana, tahap saat bencana, dan tahap pasca-
bencana. Tahap pra-bencana mencakup berbagai upaya seperti pelatihan
penyedia layanan dan relawan, pertemuan koordinasi dengan berbagai
stakeholders, serta pengadaan kit kebersihan (hygiene kit) dan kit
kesehatan reproduksi (reproductive health kit). Isi kit kebersihan mencakup
persediaan sanitasi seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi, pakaian dalam,
ember, serta alat-alat kebersihan lain yang dibutuhkan oleh masyarakat
lokal. Kit kesehatan reproduksi, di sisi lain, dibagi ke dalam tiga paket
(block) berdasarkan level fasilitas kesehatan di tempat kit tersebut
disediakan.
Block pertama berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan untuk tenaga
kesehatan di level komunitas; seperti alat-alat kebersihan, kondom, pil KB,
dan obat-obatan IMS. Block kedua berisi alat-alat kesehatan yang ditujukan
untuk tenaga kesehatan di level rumah sakit; seperti alat bantu persalinan.
Sedangkan block ketiga berisi alat-alat kesehatan reusable, yang ditujukan
untuk kebutuhan operasi; seperti alat bedah dan transfusi darah[13].
Tahap selanjutnya – saat bencana – mencakup upaya-upaya langsung
yang dilakukan di situs bencana; mulai dari mengirim tim respon,
penyediaan layanan konsultasi dan kesehatan reproduksi, serta pembagian
kit kebersihan dan kit kesehatan reproduksi. Tahap terakhir – pasca-
bencana – mencakup upaya-upaya terkait evaluasi program PPAM untuk
Kesehatan Reproduksi dan identifikasi rekomendasi untuk program
selanjutnya. Tahap pasca-bencana juga beririsan dengan tahap pra-bencana,
karena dalam tahap ini, tim PPAM akan mulai melakukan upaya-upaya
mitigasi seperti yang tercantum dalam tahap pra-bencana.
PKBI akan terus berkomitmen untuk melaksanakan program
kemanusiaan terkait kesehatan reproduksi pada masa darurat, serta
memperjuangkan terpenuhinya hak kesehatan seksual dan reproduksi
secara umum. Salah satu caranya adalah dengan terlibat aktif di forum
pengurangan risiko bencana, dan menjadi anggota sub-kluster kesehatan
reproduksi.
H. Masalah
Masalah pertama adalah belum maksimalnya program persiapan
bencana yang sensitif penyandang disabilitas. Kedua adalah partisipasi
penyandang disabilitas masih minim dalam pendidikan Pengurangan
Risiko Bencana (PRB).
Ketiga, aksesbilitas penyandang disabilitas terhadap materi
ajar/belajar PRB. Keempat, penyandang disabilitas tidak bisa sepenuhnya
bertindak cepat dalam penyelamatan diri.
Masalah kelima adalah kurangnya pendataan spesifik tentang
identitas dan kondisi penyandang disabilitas. Masalah terakhir adalah
kurangnya fasilitas dan layanan yang aksesibel di pengungsian.
Dengan begitu, pemerintah harus kerja keras dalam membangun
manajemen yang baik bagi kaum disabilitas ketika mereka mengahadapi
bencana alam. Karena kaum disabilitas lebih sulit bergerak cepat
dibandingkan yang non disabilitas. Hal ini berpengaruh terhadap
penyelamatan diri.
I. Saran Penyuluhan Kesehatan
1. Ketersediaan layanan kesehatan reproduksi sejak awal bencana/krisis
kesehatan dilakukan melalui pelaksanaan PPAM kesehatan reproduksi.
Sasaran PPAM adalah penduduk yang merupakan kelompok rentan
kesehatan reproduksi yaitu bayi baru lahir, ibu hamil, ibu bersalin, ibu
pascapersalinan, ibu menyusui, anak perempuan, remaja dan wanita
usia subur.
2. PPAM merupakan serangkaian kegiatan prioritas kesehatan reproduksi
yang harus segera dilaksanakan pada tanggap darurat krisis kesehatan
dalam rangka menyelamatkan jiwa pada kelompok rentan
3. PPAM kesehatan reproduksi dilaksanakan pada saat fasilitas pelayanan
kesehatan tidak berfungsi atau akses terhadap pelayanan kesehatan
reproduksi sulit terjangkau oleh masyarakat terdampak.
4. PPAM kesehatan reproduksi diterapkan pada semua jenis bencana, baik
bencana alam maupun non alam.
J. Penutup
Demikian laporan Tugas RHA sebagai bahan untuk perencanaan,
pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi dalam kegiatan penanganan
masalah kesehatan akibat bencana khususnya di wilayah kerja Puskesmas
Pembantu Desa Sumber Jaya.