Islam Dan Globalisasi
Islam Dan Globalisasi
Islam Dan Globalisasi
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian Islam dan Globalisasi serta hubungannya.
2. Mengetahui bagaimana Respon umat Muslim terhadap Globalisasi.
3. Mengetahui dan mengenali beberapa karakteristik Islam dan Globalisasi.
Seperti ; Fundamentalisme dan Radikalisme Islam, Tradisionalisme Islam,
Post-Tradisionalisme Islam, Modernisme dan Post-Modernisme Islam serta
Liberalisme Islam.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Dari proses globalisasi itulah banyak menimbulkan dampak positif dan
negatif. Dampak positif akan menjadi sebuah proses kemajuan dan kebaikan bagi
umat manusia. Seperti menyebarnya ilmu pengetahuan, teknologi dan sistem-
sistem kehidupan yang mudah didapat oleh masyarakat. Sebaliknya dampak
negatif dari globalisasi adalah mudah meluas dan menyebarnya paham-paham
yang buruk yang dianggap tak sesuai dengan budaya timur atau sesuai dengan
agama Islam.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa globalisasi banyak membawa
dampak negatif bagi manusia, maka disinilah peran Islam sangat penting sebagai
filter atau penyaring segala sesuatu yang menyebar di sekitar kita dan Islam harus
menjadi pengendali atas segala sesuatu hal yang mengglobal. Segala sesuatu yang
terdapat dalam globalisasi belum tentu baik bagi kita oleh karena itu Islam telah
memberikan peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang sebenarnya
menyelamatkan kita.
Dalam menghadapi arus globalisasi ini menjadikan kita harus bersikap kritis
dan penuh hati-hati. Menurut Qodri Azizy masyarakat Islam dalam menilai
globalisasi tersebut terbagi menjadi 3 varian besar :
Sikap dari golongan kaum Muslimin yang anti barat dan anti modernisme.
Kelompok yang terpengaruh oleh modernisasi dan sekulerisasi, kelompok
tersebut menjadikan pemisahan antara agama dan politik atau masalah dunia
lainnya, kelompok ini menjadikan barat sebagai kiblat dan role mode masa
depan atau bahkan menjadikan barat menjadi way of life.
Kelompok yang bersikap kritis dan secara otomatis tidak bersikap anti terhadap
barat dan modernisasi. Kelompok tersebut menerima dari barat dengan
menggunakan penyaringan dan melakukan pembenahan apabila tidak sesuai
dengan prinsip mereka. Kelompok ketiga ini melakukan kerjasama dengan
barat dan menunjukkan identitasnya.
4
Sebagaimana dalam ajaran Islam lebih menekankan keseimbangan antara dunia
dan akhirat. Dari ajaran tersebut menjadikan kita mampu mendialogkan antara
kepentingan dunia dan akhirat. Nilai Islam menjadikan landasan, dasar motivasi
dan inspirasi kebaikan dan kemajuan dunia.
Era globalisasi sudah tidak dapat dielakakan lagi bahkan dihindari oleh
setiap orang termasuk orang Islam sendiri. Kecuali ia sengaja mengucilkan diri
dan mengungkung serta menjauhi interaksi dan komunikasi dengan orang lain.
Ketika seseorang masih membaca surat kabar, atau dengan menggunakan yang
lainnnya, terlebih lagi dengan menggunakan fasilitas jasa internet, ia tetap akan
terperangkap dalam proses dan model pergaulan globalisasi. Ini membuktikan
bahwa kita tidak bisa terlepas dari bias yang namanya globalisasi, baik dalam
kondisi apapun.
Ketika globalisasi merupakan alat, maka globalisasi tersebut sangat netral.
Artinya ia berarti mengandung hal-hal yang positif ketika dimanfaatkan untuk
tujuan yang baik. Sebaliknya ia juga dapat berakibat negatif, ketika hanyut ke
dalam hal-hal negatif.
Terobosan teknologi informasi dapat pula dijadikan alat untuk dakwah Islam,
dalam waktu yang bersamaan dapat pula menjadi bumerang atau ancaman
dakwah. Sedangkan ketika globalisasi sebagai ideologi sudah barang tentu
mempunyai arti tersendiri dan netralitasnya sangat berkurang, oleh karena itu
tidak aneh kalau kemudian tidak sedikit yang menolaknya.
Ada satu pertimbangan yang layak direnungkan. Islam sebagai agama inklusif
tentu tak mungkin menolak suatu budaya hanya semata-mata karena ia berasal
dari luar/produk barat. Selanjutnya globalisasi dibidang budaya maupun
peradaban Islam, bila ini didefinisikan sebagai upaya mewujudkan suatu budaya
masyarakat yang Islami yang bertujuan membangun kesadaran setiap individu
maupun tujuan-tujuan membangun kebersamaan demi kemanusiaan.
Oleh karena itu, agama dan globalisasi merupakan suatu kegiatan yang dapat
dilihat secara praktis dan teoritis, artinya agama dapat dikembangkan dari segi
ilmu pengetahuan dan globalisasi merupakan bentuk praktiknya di lapangan.
Keduanya merupakan satu kesatuan yang saling mengisi, sehingga makin baik
5
dari segi ilmu pengetahuan yang diperoleh dari agama akan makin baik pula
praktik di lapangan (transformasi global) akan bisa kita terima baik secara
langsung maupun tidak dalam kehidupan kita. Pengalaman praktik agama
merupakan realitas nyata yang dapat dipakai pembaharuan wawasan keilmuan
suatu agama.
Fasilitas ini cukup membuktikan betapa Islam mampu memberikan
perlindungan kepada umat, karena Islam memang bukan untuk menghancurkan
umat atau menghancurkan alam tetapi memberi kehidupan, dengan begitu Islam
sebagai agama dakwah bisa tersebar hampir ke penjuru wilayah di dunia ini.
Maka agama Islam di era globalisasi ini harus berlandaskan pada prinsip Al-
Quran dan acuan budaya, artinya mempertahankan yang mapan yang masih tetap
baik dan mengambil nilai-nilai baru yang ternyata lebih baik dan relevan. Agama
sebetulnya tidak mempertentangkan ilmu agama dan ilmu non agama, bahkan
justru ilmu agama harus mampu menciptakan paham agama / nilai agama dalam
era globalisasi sekarang sebagai motivator dan dinamisator pengembangan
keilmuan, kerja keras sebagai amal saleh, kepribadian yang luhur,
mempertahankan nilai-nilai moralitas dimana agama mampu menciptakan
manusia yang berkualitas sebagai dasar tujuan.
Di dalam menghadapi era globalisasi, Islam mempunyai peran besar dengan
landasan amaliah keimanannnya. Islam harus mampu memberi benteng penangkal
pengaruh budaya yang kurang baik menurut Islam. Di dalam era ini dimana tidak
ada batas waktu dan wilayah, hendaknya kita menempatkan posisi Islam bukan
sebagai victim atau korban era globalisasi yang merupakan era komunikasi dan
informasi sebagai hasil teknologi dalam proses global. Namun dengan era itu
Islam hendaknya mampu mengisi dan memanfaatkan era ini. Islam yang sifatnya
universaal tanpa mengingkari nilai-nilai lokalnya justru menjadi sesuatu yang
menarik untuk diekspresikan melalui media dan alat komunikasi canggih lainnya.
Di era globalisasi, nilai-nilai antar agama dan budaya akan terjadi pertemuan,
pergeseran yang kompetitif. Konsekuensinya nilai sebuah agama atau budaya
akan berdampak ;
1. Bertahan dari pengaruhnya yang berarti mungkin sekali terjadi isolasi.
6
2. Akomodatif artinya menerima beberapa elemen dari nilai budaya lain sejauh
bisa ditolerir dan tanpa mengubah ajaran dasarnya.
3. Peran aktif artinya mempengaruhi dan akan terwujud keterbukaan.
Di era globalisasi disana ada ruang bahwa Islam mampu berperan aktif jika
memang dikerjakan oleh pemikirnya secara serius dan dengan pendeketan yang
tepat (Quran dan Haditsnya).
2.3 Modernisme dan Reformisme Islam
Modernisme diartikan sebagai cara berpikir dengan peradaban Barat, dengan
merujuk upaya mengejar ketertinggalan melalui pencarian mendasar etik kepada
Islam untuk kebangkitan politik dan budaya. Reformasi biasanya diartikan sebagai
pembaruan melalui pemurnian agama. Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai
gerakan untuk memperbaharui cara berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran
yang murni.
Pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atas
fundamental ajaran Islam. Pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk
mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam
supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran
atau interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai kebutuhan
perkembangan serta semangat zaman.
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid
Jamaluddin Al-Afghani. Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di
berbagai bagian dunia Islam ; India, Mesir, Iran dan Turki. Dia mengembara ke
Eropa dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Dimanapun dia tinggal dan
kemanapun dia pergi, Jamaluddin senantiasa mengumandangkan ide-ide
pembaruan dan modernissi Islam.
Dalam perkembangannya, kemudian gerakan modernisme Islam itu sampai di
Indonesia. Adalah suku Minangkabau yang telah mengenal ide pembaruan Islam
sejak masa perang Paderi dan mereka terbiasa mengadakan kontak dengan dunia
luar dan terbuka kepada ide-ide baru.
Pada akhir abad ke-19, seorang putra Minangkabau menjadi imam Masjid Al-
Haram di Mekkah, yaitu Syaikh Ahmad Khatib. Dia banyak mempunyai murid
7
yang datang dari tanah air, antara lain Ahmad Dahlan (1868-1923) yang kelak
mendirikan Muhammadiyah serta Hasyim Asy’ari (1871-1947) yang kelak
mendirikan Nahdatul Ulama.
Medornisme Islam merupakan satu faham yang berpegang teguh dengan
mengakui Al-Quran sebagai kitab suci yang boleh di praktikkan di zaman
modernn ini. Al-Quran diangkat sebagai mempunyai kelebihan daripada tulisan-
tulisan ciptaan manusia manapun. Rasionalisme dalam modernisme Islam tidak
menukar ajaran-ajaran asas yang kukuh dalam agama Islam. Sebaliknya, prinsip-
prinsip ketuhanan serta kepentingan hidup yang tertera dalam kitab Al-Quran
menjadi pedoman kepada orang Islam untuk kepentingan hidup di dunia moderen.
Faham ini telah membedakan antara konsep modernisme Islam dengan konsep
modernisme Barat yang menolak konsep Ilahiah dalam kitab suci mereka.
Menyingkap sejarah modernisme Islam di Indonesia pada awal abad ke-20an,
modernisme terpusat pada persoalan-persoalan praktik dan masalah ajaran.
Menurut Greg Barton : “bahkan sebaliknya, modernisme Islam berpegang
teguh untuk mengakui otoritas Al-Quran dan memperjuangkan kelebihannya dari
tulisan-tulisan ciptaan manusia manapun”. Modernisme Islam berbeda dalam
beberapa hal dari reformisme Islam.
Reformisme Islam merupakan proyek historis ulama yang dimulai pada abad
ke-17 dalam usaha untuk menata kembali umat Muslim dan memperbarui perilaku
individu. Proyek historis ini didasarkan pada gagasan pemurnian kepercayaan dan
praktik Islam dengan kembali kepada sumber yang autentik, yaitu Al-Quran dan
Sunnah, serta memiliki kecenderungan kuat untuk menolak kebudayaan Barat.
Disisi lain, modernisme Islam merupakan proyek dari generasi Islam baru yang
terpengaruh Barat untuk menyeseuaikan diri dengan peradaban modern, tetapi
dengan tetap mempertahankan kesetiaan terhadap kebudayan Islam. Dengan kata
lain, modernisme Islam merupakan sebuah titik tengah antara “Islamisme” dan
“Sekularisme”, yang mungkin saja akan bergerak kembali ke arah Islamisme atau
bergerak ke arah Sekularisme seperti halnya yang terjadi di Turki, atau tetap
berada dalam posisi moderat diantara kedua titik ekstern itu.
8
Ciri pertama dari reformisme Islam sendiri ialah semangat puritanisme, yaitu
penekanan kepada ajaran Islam yang murni. Ada semacam persamaan aliran
tradisionalisme yang menekankan ortodoksi atau keaslian ajaran Islam. Bertolak
dari semangat puritanisme, aliran reformisme sangat menekankan ishlah dan
tajdid.
9
yang demikian itu, kelahiran kaum fundamentalis ada hubungannya dengan
sejarah perkembangan ajaran Islam, kaum fundamentalis ada kaitannya dengan
masalah politik, sosial, kebudayaan dan selainnya.
Kaum fundamentalis tersebut, tidak mau menerima perubahan dalam arti
mereka menentang pembaruan. Jadi, mereka dengan berhati-hati menegaskan
bahwa pemakluman kenabian Muhammad Saw. bukanlah suatu hal yang baru,
melainkan hanya menyambung rentetan nabi dan rasul yang mendahuluinya.
Sejalan dengan itu, Zianuddin Alavi menyatakan bahwa pada perkembangan
selanjutnya penggunaan istilah fundamentalisme dimaksudkan untuk fenomena
lain. Istilah itu menimbulkan suatu citra tertentu, misalnya ekstrimisme,
fanatisme, dalam mewujudkan atau pempertahankan keyakinan keagamaan.
Mereka yang disebut kaum fundamentaslis sering disebut sebagai tidak rasional,
tidak moderat dan cenderung untuk melakukan tindakan kekerasan bila
diperlukan.
Term radikalisme berasal dari kata radikal yang berarti prinsip dasar. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia dikatakan bahwa radikal dapat berarti; secara
menyeluruh; habis-habisan; amat keras; dan menuntut perubahan. Juga di
temukan beberapa pengertian radikalisme yang dijumpai dalam kamus bahasa,
yakni; (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran
yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara
kekerasan; (3) sikap ekstrem di suatu aliran politik.
Menurut Yusuf Qardhawi, istilah radikalisme tersebut berasal dari kata al-
tatharuf yang berarti “berdiri di ujung, jauh dan pertengahan”. Bisa juga diartikan
berlebihan dalam menyikapi sesuatu, seperti berlebihan dalam ber-agama, berfikir
dan berprilaku. Lebih rinci lagi, Adeed Dawisa sebagaimana dikutip Azyumardi
Azra menyatakan bahwa :
Istilah radikal mengacu kepada gagasan dan tindakan kelompok yang
bergerak untuk menumbangkan tatanan politik mapan; negara-negara atau
rejim-rejim yang bertujuan melemahkan otoritas politik dan legitimasi
negara-negara dan rejim-rejim lain; dan negara-negara yang berusaha
menyesuaikan atau mengubah hubungan-hubungan kekuasaan yang ada
10
dalam sistem internasional. Istilah radikalisme karenanya, secara intrinsik
berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial pada berbagai
tingkatan.
Dengan kaitan ini, agaknya dapat dipahami bahwa radikalisme adalah suatu
kelompok yang sering dipandang Barat sebagai teroris yang bertujuan
melemahkan otoritas politik dengan jalan jihad. Artinya, gerakan-gerakan
keagamaan radikal ini menjadikan jihad sebagai salah satu metode untuk
mencapai cita-citanya, yakni tatanan sistem Islam (Al-Nizām al-Islāmi).
Di samping itu, radikalis dianggap sebagai kaum yang berpikiran sempit
(narrow-minded), bersemangat secara berlebihan (ultra zeolous), atau ingin
mencapai tujuan dengan memakai cara-cara kekerasan. Karena itu dapat
dimengerti mengapa sebagian besar sarjana muslim memandang radikalisme
sebagai istilah yang tak menguntungkan dan menimbulkan kesalahpahaman.
Pandangan seperti ini juga terdapat pada para orientalis dan sarjana Barat yang
memahami agama Islam.
Dengan batasan pengertian antara fundamentalisme dan radikalisme dalam
Islam yang telah dipaparkan, disitu terlihat adanya persamaan yang sangat
prinsipil, yakni keduanya sama-sama bertumpuh pada ajaran dasar Islam. Atau
dengan kata lain, sama-sama menjadikan rukun iman dan rukun Islam sebagai
ajaran dasar dan pokok.
Rukun iman berisikan prinsip-prinsip keyakinan (aqīdah), sedangkan rukun
Islam adalah sebagai manifestasi sikap keyakinan tersebut. Seseorang yang
menganut rukun iman adalah mukmin, sedangkan orang yang mewujud-kan
ketundukannya kepada Tuhan dengan menjalankan rukun Islam disebut muslim,
yakni orang beragama Islam yang diyakininya sebagai agama Dinullah (agama
milik Allah), Dinul Qayyim (agama tepat) dan Dinulhaq (agama benar) dan yang
didakwahkan Nabi Muhammad Saw.
Selanjutnya, jika pengertian fundamentalisme dan radikalisme secara
harfiah digiring ke semua mazhab atau aliran dalam Islam, maka semua mazhab
dan aliran tersebut tidak berselisih faham mengenai ajaran prinsipil yang
disebutkan di atas. Dalam hal ini, dua aliran besar yakni Sunni dan Syi’ah tetap
11
menjalankan dasar-dasar agama yang sama. bahkan, dua aliran keagamaan yang
terbesar di Indonesia, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, juga
sama-sama mengakui prinsip-prinsip rukun Iman dan Islam itu sendiri.
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah yang menghubungkan
persamaan dan perbedaan antara fundamentalisme dan radikalisme, yakni
keduanya sama-sama bercita-cita mensosialisasikan ajaran keIslaman sesuai
dengan konteksnya, namun bagi fundamentalisme mengusahakannya melalui
jaringan dakwah Islamiyah, sementara radikalisme mengusahakannya melalui
jaringan jihad yang senafas dengan kekuasaan politik.
Akhirnya, dapat dibatasi bahwa walaupun antara fundamentalisme dan
radikalisme memiliki kesamaan, namun pada sisi lain terdapat perbedaan di antara
keduanya. Fundamentalisme domainnya secara umum mengacu pada faham
keagamaan, sedangkan radikalisme mengacu pada faham politik. Atau dengan
kata lain, fundamentalisme bisa dikatakan merupakan bentuk faham dalam Islam
yang sering bersifat eksoteris, yang sangat menekankan batas-batas pemahaman
tentang kebolehan dan keharaman berdasarkan fikih (halāl-harām complex),
sementara radikalisme menekankan pada sikap jiwa yang membawa kepada
tindakan-tindakan yang bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan politik
mapan dan biasanya dengan cara-cara kekerasan.
Istilah fundamentalisme dan radikalisme dalam abad ini, ternyata ditemukan
juga dikalangan penganut-penganut agama lain. Karena itu, tidaklah
mengherankan jika para sarjana orientalis dan Islamis Barat kemudian menyebut
kecendeungan serupa di kalangan masyarakat muslim, sebagai dua kelompok
yang sama-sama ekstrim.
2.4.1 Fundamentalisme Islam
12
keagamaan secara elastis (feleksibel) untuk menyesuaikan dengan berbagai
kemajuan zaman modern, akhirnya justru membawa agama ke posisi yang
semakin terdesak ke pinggiran.
Jika dihubungkan dengan fakta-fakta sejarah, memang dapat dijumpai
adanya kelompok-kelompok atau aliran-aliran dalam Islam yang berfaham
fundamentalisme, walaupun tidak sepenuhnya muncul sebagai reaksi terhadap
modernisme. Dalam bidang teologi misalnya, dijumpai aliran khawarij. Kelompok
ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap khalīfah Ali bin Abī Tālib dan
Mu’awiyah serta para pendukung keduanya dengan cara arbitrase, yang berakhir
dengan kemenangan pada pihak Mua’wiyah. Sikap ini tidak dapat diterima oleh
sekelompok orang yang kemudian dikenal sebagai kaum Khawarij. Selanjutnya,
kelompok ini pula menuduh orang-orang yang terlibat dalam arbitrse sebagai
kafir.
Selanjutnya pada tahun 1928, di Kairo muncul suatu organisasi yang dikenal
dengan nama Al-Ikhwān al-Muslimīn (Persaudaraan Saudara-saudara Sesama
Muslim). Organisasi ini, didirikan oleh Hasan al-Banna dan memiliki ciri-ciri
Islam fundamentalis. Dari aspek akidah, Al-Ikhwān al-Muslimīn tidak sedikitpun
meragukan kebenaran ayat Al-Quran yang menyatakan tiada hukum yang benar
kecuali di sisi Allah; dan Allah sajalah penentu perintah dan larangan yang mesti
ditaati. Sejalan dengan sikap akidah ini, maka dalam bidang hukum ia cenderung
tidak mematuhi ketentuan yang dibuat pemerintah, bahkan berusaha menentang,
memberontak dan semacamnya.
Dari contoh kasus kaum Khawarij dan Al-Iwān al-Muslimīn yang memiliki
ciri fundamentalis tersebut, dapat diketahui bahwa latar timbulnya
fundamentalisme juga karena perbedaan pandangan dalam bidang teologi, atau
dengan kata lain gerakan fundamentalisme menghendaki pemegangan kokoh
agama dalam bentuk literal, tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan
pengurangan.
Atas dasar konteks historis sebagaimana dipaparkan di atas, maka dapat
diketahui bahwa fundamentalisme Islam memiliki beberapa corak pemikiran yang
prinsipil, yakni sebagai berikut :
13
1. Oppositionalism (paham perlawanan), yakni mengambil bentuk per-lawanan
terhadap gerakan modernisme dan sekularisasi Barat pada umumnya.
2. Penolakan terhadap hermeneutika, yakni teks Al-Quran harus dipahami secara
literal sebagaimana adanya. Atau dengan kata lain kaum fundamentalisme
menolak sikap kritis terhadap teks Al-Quran dan interpretasinya.
3. Penolakan terhadap pluralisme dan relavitisme, yakni bagi kaum
fundamentalisme pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru
terhadap teks. Pemahaman dan sikap keagamaan yang yang tidak selaras
dengan pandangan kaum fundamentalisme merupakan bentuk dari relativisme
keagamaan.
4. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, yakni kaum
fundamentalisme berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis
telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Dalam
kerangka ini, masyarakat harus menyesuaikan perkembangannya, kalau perlu
secara kekerasan dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau
penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat.
Sejalan dengan corak pemikiran fundamentalisme tersebut, lebih lanjut
Kontowijoyo menyebutkan tiga ciri khas kaum fundamentalisme sebagai berikut:
1. Kaum fundamentalisme ingin kembali ke masa Rasul. Dalam berpakaian,
mereka cenderung memakai jubah dan cadar dengan maksud untuk menolak
industri.
2. Kaum fundamentalisme ingin kembali ke alam dengan semboyang back to
nature, misalnya; mereka menolak wewangian buatan pabrik. Dalam hal ini
mereka memakai bahan-bahan alamiah, seperti siwak, minyak wangi tanpa
alkohol dan sejenisnya.
3. Kaum fundamentalisme seringkali dicap sama terorisme, yakni dalam hal ini
negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat) melihat umat Islam di Iran,
Libia, al-Jazair, Somalia, Sudan dan beberapa negara Islam lainnya sebagai
“sarang” fundamentalisme sekaligus teroris.
Mengenai kaum fundamentalisme masa kini, khususnya di Indonesia, diilhami
oleh gagasan Ikhwān al-Muslimīn. Abuddin Nata menyatakan bahwa pada tahun
14
1970-an muncul gerakan Komando Jihad, bahkan pada tahun 1980-an pernah
muncul Bulletin al-Haqq yang menyuarakan oposisi terhadap pemerintah dengan
bahasa yang keras. Foto Hasan al-Banna terpampang dalam beberapa penerbitan
Bulletin ini dan menggunakan kata-kata tagūt untuk menyebut siapa saja yang
mereka nilai “tidak Islami” dan “tidak Qur’āni”. Ringkasnya, bulettin ini
menegaskan pendiriannya bahwa mereka (kaum fundamentalisme Islam)
menghendaki diberlakukan-nya hukum Allah di Indonesia dan menentang hukum
tagūt.
15
a. Fanatik kepada pendapat, tanpa menghargai pendapat lain
16
Jihad terhadap orang-orang kafir merupakan misi utama kelompok
radikalisme Islam, hanya saja kelompok ini di mata Barat disebut teroris.
Kelompok radikal yang paling menonjol di mata Barat misalnya; Front Rakyat
Pembebasan Palestina (PFLP); Front Pembebasan Palestina (PLF); Front
Perjuangan Rakyat Palestina (PPSF) dan selainnya. Kelompok-kelompok radikal
ini pada gilirannya mendorong munculnya gerakan Hamas di wilayah pendudukan
Palestina, yang secara resmi menyatakan diri berorientasi agama. Kelompok-
kelompok keagamaan radikal ini, mempunyai benang ideologis bersama yang
mengikat mereka berupa keyakinan kepada keimanan Islam dan menjadikan jihad
sebagai metode untuk mencapai cita-citanya, yakni menumbangkan “kaum
sekularis” dan para pendukung Barat.
Jadi, bangkitnya Islam radikal sangat dipengaruhi oleh Barat dan segala
produk sekularnya. Barat secara politik telah membangkitkan kebencian di
kalangan umat Islam dengan tuduhan “Islam sebagai agama teroris”. Kebijakan
politik Barat yang menekan Islam di beberapa negara Muslim telah mem-
bangkitkan solidaritas Islam melawan Barat. Dalam konteks seperti ini, maka
radikalieme tampil sebagai pelopor dengan semangat jihadnya.
Dalam konteks radikalisme Islam seperti yang dipaparkan di atas, jihad
yang mereka laksanakan lebih bersifat politis ketimbang keagamaan, sehingga
mereka pun dicap sebagai “terorisme” atas nama jihad. Betapapun, seperti terlihat
dalam pengalaman yang dilakukan oleh kelompok radikalisme Islam masa kini,
kekerasan atas nama jihad jelas semakin tidak efektif.
Bagi penulis, dunia Muslim pun pada umumnya tidak dapat menerima cara-
cara radikal seperti itu. Pada sisi lain, harus diakui bahwa Islam pada dasarnya
adalah sebuah manhaj yang moderat dalam segala sesuatu, baik dalam konsep,
keyakinan, ibadah, akhlak, perilaku, muamalah maupun syariat. Allah
menyebutkan manhaj sebagai jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim) yang
terdapat dalam radikalisme maupun pangabaian - sikap moderat (washatiyah)
merupakan salah satu karakter umum Islam, yaitu, karakteristik mendasar yang
digunakan Allah, untuk membedakan dari umat lainnya. Dalam Islam, manusia
diajak untuk bersikap moderat dan memperingatkan agar menjauhi radikalisme
17
yang diungkapkan melalui bahasa syariat, di antaranya ghuluw (berlebihan)
tanathul (melampaui batas), kasar atau mempersulit (tasydid).
Tampaknya, bagi kelompok fundamentalisme dan radikalisme memiliki
ikatan solidaritas yang cukup solid, kokoh, militan dan rela menerima resiko dari
sebuah perjuangan. Namun, bersamaan dengan itu terdapat beberapa catatan yang
menyebabkan mereka dapat dikatakan kurang memperlihatkan sikap yang baik di
masa kini, antara lain ;
1. Dari segi keyakinan keagamaannya, mereka bersikap literalis dan sangat
menekankan simbol-simbol keagamaan daripada substansinya. Dengan kata
lain, mereka memiliki corak yang berbeda dengan kelompok modernis yang
pada umumnya mendahulukan simbol-simbol keagamaan yang bercorak
distingkif. Yang penting untuk masa kini (bagi penulis) adalah bagaimana
caranya agar prinsip-prinsip, cita-cita ruh Islam dapat menjiwai kehidupan
umat.
2. Kekurangan mereka adalah juga terletak pada sikap dan pandangannya yang
ekslusif, yaitu pandangan yang bertolak dari keyakinan bahwa merekalah yang
paling benar, sementara yang lain adalah salah.
3. Dari segi budaya dan sosial bagi kelompok fundamentalisme, kekurangan-nya
adalah kurang menyikapi produk modern khususnya yang berasal dari Barat,
misalnya mereka lebih suka menggunakan “siwak” ketimbang “sikat gigi”.
Pada sisi lain, bagi kelompok radikalisme lebih ekstrim lagi karena
menganggap orang Barat sebagai musuh.
18
Di Indonesia juga, khususnya pada zaman reformasi ini, muncul pula
berbagai orpol Islam yang kelihatannya bercorak fundamentalis dan radikalis.
Sebutlah misalnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Bulan Bintang
(PBB) sertai partai-partai yang semisi dengannya, secara transparan anggota partai
tersebut menginginkan agar syariat Islam diberlakukan di Indonesia. Upaya-upaya
untuk kembali memurnikan ajaran Islam, baik melalui forum organisasi, maupun
melalui partai dan semacamnya yang sering muncul ke permukaan di era modern
ini, dapat dianggap sebagai gerakan fundamentalisme modern dan atau gerakan
radikalis modern.
19
kyai yang hampir-hampir tanpa batas. Ketiga, keterikatan terhadap paham Ahlu
al-Sunnah wa Al-jama’ah yang dipahami secara khusus.
Dengan karakter demikian, tradisionalisme Islam menjadi sasaran kritik
gerakan modernisme Islam yang menolak sama sekali produk-produk intelektual
yang menjadi landasan konstruksi tradisionalisme, sehingga sampai tahapan
tertentu tradisi pemikiran klasik ditinggalkan, dan yang dominan adalah
keterpesonaan terhadap berbagai aliran pemikiran Barat. Tendensi kaum modernis
yang menolak produk dialektika Islam dengan tradisi lokal belakangan ini
mengalami titik jenuh yang sebabnya antara lain karena sempitnya wahana
intelektual yng hanya berorientasi pada Al-Quran dan Sunnah serta irrelevansi
yang semakin nyata-kentara dengan kultur keIslamaman di Indonesia.
Dalam konteks demikian, pada pertengahan tahun 1990-an berkembang
wacana pemikiran keIslaman yang kembali menghargai khazanah pemikiran
Islam klasik. Mula-mula yang menjadi rujukan arus baru dinamika pemikiran
keIslaman ini adalah pemikiran Fazlur Rahman yang diidentifikasi sebagai neo-
modernisme Islam yang berusaha mencari sintesis progresif dari rasionalitas
modernis dengan tradisi Islam klasik.
Meskipun neo-modernisme berusaha untuk memadukan modernisme
dengan tradisionalisme, namun oleh kalangan tertentu dinilai gagal keluar dari
hegemoni modernisme dan menjadikan tradisionalisme sekadar ornamen sejarah
dan bukan spirit transformasi sosial. Dalam konteks demikian, lahir genre baru
pemikiran Islam yakni post tradisionalisme Islam yang secara teoretik berusaha
menjadikan unsur tradisional tidak sekadar sebagai ornamen sejarah dan
menjadikan tradisionalisme sebagai basis untuk melakukan transformasi sosial.
20
bukan tekanan dari luar (proyek “asing”) yang berinterakasi secara terbuka
dengan berbagai jenis elemen masyarakat. Post-tradisionalisme Islam tidak
hanya mengakomodasi pemikiran liberal dan radikal tetapi juga tradisi
pemikiran sosialis-Marxis, post-strukturalis, postmodernis, gerakan feminisme,
dan civil society. Secara khusus disebutkan bahwa metodologi pemikiran dan
politik post-tradisionalisme Islam dikonstruksi melalui pemikiran Muhammad
Abed Al-Jabiri. Hal ini menunjukkan bahwa pemikiran Al-Jabiri melalui
proyek Naqd al-‘Aql al-‘Arabi> mempunyai posisi yang sangat penting, di
samping tokoh-tokoh yang telah disebutkan.
Lebih jauh, dapat ditegaskan bahwa spirit aktivitas intelektual komunitas
posttradisionalisme Islam adalah semangat untuk terus-menerus
mempertanyakan kemapanan doktrin dan tradisi berdasar nilai-nilai etis yang
diperoleh setelah bergumul dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui
kajian, penelitian, maupun penerbitan buku dan jurnal. Berbagai bentuk
penafsiran atas teks suci, tradisi, dan ideologi yang tidak mengabdi kepada
kepentingan kemanusiaan, apalagi menistakan kemanusiaan digugat
keabsahannya, baik pada tingkat relevansi maupun kemungkinan adanya
manipulasi dan politisasi.
Satu hal yang perlu dicatat bahwa gerakan intelektual post tradisionalisme
Islam berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu
sebuah upaya untuk menjadikan tradisi (tura>th) sebagai basis untuk
melakukan transformasi.
Dari sinilah komunitas post-tradisionalisme Islam bertemu dengan pemikir
Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Hassan Hanafi yang
mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi. Komunitas
post-tradisionalisme Islam mencoba untuk melihat tradisi secara kritis, historis,
dan objektif. Dalam konteks demikian, wacana post-tradisionalisme Islam
sangat dipengaruhi oleh semangat perkembangan pemikiran Arab modern yang
diadopsi sebagai optik untuk membaca tradisi NU dan pemikiran Islam.
Dengan menggunakan optik tradisi sebagaimana telah diuraikan, maka
problem posttradisionalisme Islam sebenarnya adalah bagaimana melakukan
21
pembaharuan pemikiran keagamaan yang harus mengkritisi tradisi di satu
pihak, namun pada pihak lain memiliki kebutuhan untuk “tergantung” pada
tradisi sebagai basis transformasi.
b. Post-Modernisme
Adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya.
Post-Modernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru
menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.
Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan
dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard
dan Geldner, modernisme adalah peutusan secara total dari modernisme. Bagi
derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang
akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori.
postmodernisme disebut sebagai sebuah gerakan pencerahan atas
pencerahan, oleh karena postmodernisme sangat gigih dalam melakukan
kritikandangugatan terhadap modernisme yang sangat mendewakan rasio
ddalam ilmu pengetahuan yang diyakini akan membawa dan mengarahkan
manusia memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dalam kehidupannya.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni manusia bukan lagi sebagai
subjek dan pelaku untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan
tetapi jatuh terperangkap ke dalam objek dan sasaran yang dikendalikan oleh
ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Amat tragis dan ironis manusia
modernis, Postmodernisme selaku sebuah fase sejarah ingin secara tuntas
mengantisipasi dan membebaskan manusia dari segala
bentukcengkeraman zaman yang tak menyenangkan inklusif perbudakan
terhadap rasionalitas, bendawi dan lain-lain.
Jika dalam visi modernisme, penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber
utama ilmu pengetahuan yang menghasilkan kebenaran-kebenaran universal,
maka dalam visi postmodernisme hal itu justru dipandang sebagai alat
dominasi, sehingga postmodernisme menyadari bahwa seluruh budaya
modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik
tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa
22
yang ‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’.
Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke
dalam sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia
yang serba plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain
pihak, ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali.
Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas)
adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu
sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita
melihat diri dan mengkonstruk identitas diri. Hal ini senada dengan definisi
dari dikenal sebagai nabi dari postmedernisme. Dia adalah suara pionir yang
menentang rasionalitas, moralitas tradisional, objektivitas, dan pemikiran-
pemikiran Kristen pada umumnya. Nietzsche sche berkata, “Ada banyak
macam mata. Bahkan Sphinx juga memiliki mata; dan oleh sebab itu ada
banyak macam kebenaran, dan oleh sebab itu tidak ada kebenaran.”
Menurut Romo Tom Jacob, kata ‘postmodern’ setidaknya memiliki dua arti:
(1) dapat menjadi nama untuk reaksi terhadap modernisme, yang dipandang
kurang human, dan mau kembali kepada situasi pra-modernisme dan sering
ditemukan dalam fundamentalisme; (2) suatu perlawanan terhadap yang
lampau yang harus diganti dengan sesuatu yang serba baru dan tidak jarang
menjurus ke arah sekularisme.
c. Liberalisme Islam
Menurut Syaikh Sulaiman Al-Khirasyi, liberalisme adalah madzhab pemikiran
yang memperhatikan kebebasan individu. Madzhab ini memandang wajibnya
menghormati kemerdekaan individu serta berkeyakinan bahwa tugas pokok
pemerintah ialah menjaga dan melindungi kebebasan rakyat.
Islam liberal merupakan kelompok orang yang berusaha mengubah masyarakat
mereka menurut ajaran-ajaran Islam dan sekaligus menyesuaikan Islam dengan
tuntutan-tuntutan zaman modern. Kelompok ini biasanya menunjukkan
kecenderungan suatu faham dan kelompok yang menghendaki adanya
kebebasan individu.
23
Islam liberal cenderung bebas dalam menginterpretasikan teks-teks agama dan
berperilaku keagamaan secara langgar dari kaidah-kaidah yang sudah mapan di
tengah-tengah kaum muslimin.
Nama lain Islam liberalis adalah kaum modernis. Kaum modernis atau liberalis
biasanya kurang memperhatikan soal istilah atau simbol-simbol keagamaan
yang bercorak distinktif. Menurut kaum modernis atau liberalis, yang
terpenting adalah bagaimana caanya agar prinsip-prinsip, cita-cita dan roh
Islam dapat menjiwai kehidupan masyarakat dan negara, bukan mengutamakan
simbol-silmbolnya, sebagaimana yang dipegang teguh kaum fundamental.
Diantara ciri-ciri Islam liberal adalah menempatkan Al-Quran dan Hadits
sebagai kitab terbuka untuk diinterpretasikan tanpa harus terpaku pada satu
bentuk interpretasi yang sifatnya hegemoni, melakukn rekonsiliasi antara
keimanan dan modernitas, bersedia mengadopsi sistem konstitusi dan
kebudayaan modern, memiliki kebebasan dalam menginterpretasikan agama,
mengikuti pendidikan gaya modern dengan mengadopsi rasionalitas, tidak
berfikir sekterian sehingga dapat memahami perbedaan yang muncul tanpa
melakukan penghakiman atas pihak lain yang berbeda, mengakui adanya
pluralisme agama, bersikap inklusif-toleran dalam beragama, berfikir serta
bersikap melampaui batas-batas garis pemikiran organisasi keagamaan, tidak
berminat pada gagasan pemberlakuan syariat Islam yang di formalitaskan dan
memiliki perspektif teologi pluralis-inklusif, bukan teologi eksklusif.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Globalisasi adalah suatu keadaan dimana sudah tidak ada lagi batas-batas
territorial antara satu bangsa dengan bangsa yang lain, antara tanah air yang satu
dengan tanah air yang lain, antara kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang
lain. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perkembangan teknologi komunikasi,
transportasi, dan informasi yang cukup pesat. Globalisasi secara konsepsional
tidak bertentangan dengan Islam, bahkan Islam sejalan dengan globalisasi.
Konsep globalisasi telah lebih dulu ada dalam Islam, karena Islam adalah ajaran
yang universal. Hanya saja dalam implementasinya globalisasi cenderung menjadi
pemaksaan hegemoni dunia Barat terhadap dunia non-Barat, sehingga perlu
kehati-hatian mencermati dan menghadapinya.
Globalisasi berpengaruh cukup besar bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara dalam segala bidang kehidupan. Sikap yang tepat dalam
menghadapi globalisasi yakni sikap proporsional, dimana tidak menolak secara
mutlak juga tidak tidak menerima secara mutlak. Yang baik diambil dan
dikembangkan, sedangkan yang tidak baik ditolak dan dihindari.
Karakteristik dalam Islam dan Globalisasi yaitu ; 1) Modernisme dan
Reformasi agama (Islam) diartikan sebagai gerakan untuk memperbaharui cara
25
berpikir dan cara hidup umat menurut ajaran yang murni. 2) Antara
fundamentalisme dan radikalisme memiliki kesamaan, namun pada sisi lain
terdapat perbedaan di antara keduanya. Fundamentalisme domainnya secara
umum mengacu pada faham keagamaan, sedangkan radikalisme mengacu pada
faham politik. 3) tradisionalisme Islam diidentifikasi sebagai paham yang pertama
sangat terikat dengan pemikiran Islam tradisional, yaitu pemikiran Islam yang
masih terikat kuat dengan pikiran ulama fiqih, hadits, taSaw.uf, tafsir dan tauhid.
4) post-tradisionalisme merupakan konstruk intelektualisme yang berpijak pada
(dan dari) kebudayaan lokal Indonesia, bukan tekanan dari luar (proyek “asing”)
yang berinterakasi secara terbuka dengan berbagai jenis elemen masyarakat. 5)
Post-Modernisme Adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan
modernisme-nya. Post-Modernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun
justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang
tunggal. Dan 6) Liberalisme Islam adalah merupakan kelompok orang yang
berusaha mengubah masyarakat mereka menurut ajaran-ajaran Islam dan
sekaligus menyesuaikan Islam dengan tuntutan-tuntutan zaman modern.
3.2 Saran
Dengan meningkatkan iman dan taqwa kita kepada Allah SWT. Dengan
iman dan taqwa yang teguh, maka segala macam godaan untuk menyimpang dari
hokum Allah akan dapat ditepis.
Umat Islam harus memiliki media komunikasi yang canggih untuk
mengimbangi era midernisasi dan globalisasi yang serba canggih ini, baik
teknologi informasi maupun komunikasi. Dan yang terpenting sekarang ini adalah
mari kita semua sama-sama berusaha membentengi diri dan keluarga dengan
keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah dibarengi dengan sumber daya kuat,
keterampilan kerja, ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung semangat
persatuan dan kesatuan, InsyaAllah kita akan diberi kemenangan dan kejayaan
oleh Allah sepanjang waktu dan zaman.
26
DAFTAR PUSTAKA
27