Askep Gerontik

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN MASALAH UTAMA ISOLASI

SOSIAL PADA An Y DI YAYASAN PANTI JOMPO

Disusun untuk memenuhi Tugas kelompok

Mata kuliah : keperawatan gerontik

Dosen pengampu : Firman S.kep., Ns., M.kep

Di susun Oleh :

Kelompok 6

Takdir P201801080

Ingel ratu oktaviani P201801072

Asri nedila P201801124

Wilda P201801050

Nani P201801045

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU – ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MANDALA WALUYA

KENDARI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami sehinnga penyusunan asuhan keperawatan keluarga yang berjudul “asuhan
keperawatan pada isolasi social dapat diselesaikan tanpa kesulitan yang besar.
Adapun penyusunan asuhan keperawatan ini sebagai salah satu tugas kelompok mata
kuliah Keperawatan gerontik . kami dapat menyelesaikan ini dengan melakukan pencarian.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa asuhan keperawatan gerontik ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran
dari berbagai pihak demi perbaikan tugas asuhan keperawatan gerontik kami.
Akhir kata, kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Semoga asuhan
keperawatan gerontik ini bermanfaat.

                                                                                            Kendari, 24 juni 2021


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Lansia dikatakan sebagai tahap akhir pada daur kehidupan manusia. Lansia adalah
keadaan yang di tandai oleh kegagalan seseoranguntuk mempertahankan keseimbangan
terhadap kondisi fisiologis yang berkaitan dengan penurunan kemampuan untuk hidup
(Ferry dan Makhfudli, 2009). Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
(Dewi, S.R, 2014). Namun, menurut WHO, batasan lansia dibagi atas: usia pertengahan
(middle age) yaitu antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu 60-74 tahun, lanjut usia
tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Notoadmodjo,
2011).
Populasi lansia di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat,bahkan
pertambahan lansia menjadi yang paling mendominasi apabila dibandingkan dengan
pertambahan populasi penduduk pada kelompok usia lainnya. Data World Population
Prospects: the 2015 Revision, pada tahun 2015 ada 901 juta orang berusia 60 tahun atau
lebih yang terdiri atas 12% dari jumlah populasi global. Pada tahun 2015 dan 2030,
jumlah orang berusia 60 tahun atau lebih diproyeksikan akan tumbuh sekitar 56%, dari
901 juta menjadi 1,4 milyar, dan pada tahun 2050 populasi lansia diproyeksikan lebih
dari 2 kali lipat di tahun 2015, yaitu mencapai 2,1 milyar (United Nations, 2015).
Sejak tahun 2000, presentase penduduk lansia Indonesia melebihi 7% (Kemenkes
RI, 2014). Berarti Indonesia mulai masuk ke dalam kelompok negara berstruktur lansia
(ageing population). Menurut United Nations, pada tahun 2013 populasi penduduk lansia
Indonesia yang berumur 60 tahun atau lebih berada pada urutan 108 dari seluruh negara
di dunia. Diprediksikan pula bahwa di tahun 2050, Indonesia akan masuk menjadi
sepuluh besar negara dengan jumlah lansia terbesar, yaitu berkisar 10 juta lansia (United
Nations, 2013). Sesuai dengan data dari BPS Provinsi Sumatera Barat, jumlah penduduk
Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2012 tercatat sebesar 4.904.460 jiwa dan 5,6%
diantaranya adalah penduduk berusia tua (>65 tahun). Data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Pasaman Barat pada tahun 2017 menunjukkan jumlah lansia (>60 tahun)
adalah sebanyak 27.724 jiwa, sedangkan jumlah lansia di wilayah kerja Puskesmas
Sungai Aur adalah 2.630 jiwa dan jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya.
Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (lansia) tentu menimbulkan masalah
terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Masalah tersebut jika tidak
ditangani akan berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Masalah yang
kompleks pada lansia baik dari segi fisik, mental, dan sosial berkaitan dengan kesehatan
dan kesejahteraan mereka (Notoadmodjo, 2011).
Kesehatan dan kesejahteraan pada lansia dipengaruhi oleh dukungan sosial dari
keluarga dan orang disekitarnya. Lansia yang tinggal sendiri tentu sering mengalami
masalah dalam kesehatan dan kesejahteraannya. Padila (2013) menyebutkan bahwa salah
satu permasalahan yang dialami oleh lansia adalah masih ada lansia yang mengalami
keadaan terlantar. Selain tidak mempunyai bekal hidup dan pekerjaan/ penghasilan,
mereka juga tidak mempunyai keluarga/ sebatang kara.
Jumlah lansia yang hidup sendiri telah meningkat dalam beberapadekade terakhir
(Chandler dkk., 2004; Victor dkk., 2009), dan di Eropa ada peningkatan luar biasa dalam
jumlah lansia yang hidup sendiri (Fokkema dkk., 2012). Di Norwegia, 4,3% dari total
penduduk (5,1 juta) adalah usia 80 tahun keatas, dan kelompok ini merupakan kelompok
terbesar yang hidup sendiri (Andreassen, 2011). Riset LDUI (Lembaga Demografi
Universitas Indonesia) menunjukkan jumlah lansia tinggal sendiri pada tahun 2014
semakin meningkat yaitu 9,66%. Saat ini kemungkinan hidup sendiri semakin meningkat
untuk semua lansia, baik pria maupun wanita (Eliopoulos, C., 2014).
Tinggal sendiri merupakan hal yang tidak diinginkan oleh sebagian besar lansia.
Semakin tua seseorang, semakin besar hambatan bagi mereka untuk tinggal sendirian.
Tinggal sendiri di usia tua sering menyebabkan terjadinya masalah psikologis pada
lansia. Pernyataan ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Koc (2012) yang
mengatakan bahwa hidup sendiri dilaporkan menjadi faktor risiko utama terjadinya
masalah psikologis yaitu kesepian pada lansia. Menurut Arslantas et al. (2015 dikutip dari
Zhou, J. dan Salvendy, G., 2016) bahwa tinggal sendiri beresiko tinggi terhadap bunuh
diri, kualitas hidup yang buruk dan tidak ada interaksi jaringan sosial terutama pada
masyarakat pedesaan.Penelitian lain yang dilakukan oleh Lim (2011) menemukan bahwa
kesepian pada lansia yang tinggal sendiri memiliki pengaruh besar terhadap penurunan
status kesehatan mental seperti depresi dan kesejahteraan dibandingkan dengan lansia
yang tinggal dengan orang lain.
Peplau & Perlman (dalam Tiikkainen dan Heikkinen, 2010) memandang kesepian
adalah perasaan yang tidak menyenangkan dengan merangsang kecemasan subjektif,
sehingga pengalaman yang dirasakan adalah hasil dari hubungan sosial yang tidak
memadai. Kesepian diidentifikasi sebagai masalah kesehatan mental utama yang
mempengaruhi lansia. Kesepian dapat memperburuk efek dari hidup sendiri pada lansia
(Aanestad dan Bratteteig, 2013). Sejumlah penelitian telah menunjukkan hubungan erat
antara kesepian dan depresi pada lansia, sehingga diperlukan penelitian yang berfokus
pada identifikasi cara untuk menghambat jalur kesepian dengan depresi (Pettigrew &
Michele, 2008).Kesepian juga dapat mengancam perasaan nilai pribadi dan merusak
kepercayaan pada kemampuan untuk mengembangkan dan memelihara hubungan
interpersonal (Alpass & Neville, 2010). Oleh karena itu, harus menjadi fokus penelitian
dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.
Demikian juga, dalam rangka memotivasi dan mendukung pembentukan kembali
jaringan sosial dan partisipasi sosial, perawat, dokter, dan bidang kesehatan lainnya harus
lebih tertantang lagi untuk memperhatikan keadaan emosional, pola kegiatan sosial, dan
pola koping yang umum pada lansia yang tinggal sendiri di rumah. Penelitian yang
dilakukan oleh Cattan et al. (2005) menunjukkan bahwa strategi keperawatan yang
direkomendasikan pada lansia yang tinggal sendiri adalah pendidikan kesehatan dan
intervensi kegiatan sosial kelompok karena mempunyai pengaruh besar untuk
mengurangi terjadinya kesepian dan isolasi sosial.
Greaves dan Farbus (2006) menemukan bahwa peran aktif lansia seperti pengembangan
peran sosial dan keterlibatan dalam masyarakat lebih bermakna daripada hubungan sosial
yang pasif seperti kunjungan ke rumah dalam mengurangi kesepian pada lansia.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Pitkala et al. (2009) yang menunjukkan bahwa
intervensi sosial kelompok seperti kegiatan seni, latihan kelompok dan terapi menulis
dapat meningkatkan kesehatan pada lansia dan menurunkan mortalitas
secara bermakna.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu pengertian isolasi social ?
2. Apa etiologi isolasi social ?
3. Bagaimana manifestasi klinis isolasi social ?
4. Apa komplikasi isolasi social ?
5. Bagaimana penatalaksanaan isolasi social ?
6. Apa patopsikologi isolasi social ?
7. Bagaimana proses asuhan keperawatan isolasi social ?
C. Tujuan penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian isolasi social.
2. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi isolasi social.
3. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis isolasi social.
4. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi isolasi social.
5. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan isolasi social.
6. Mahasiswa dapat mengetahui patopsikologi isolasi social.
7. Mahasiswa dapat mengetahui proses asuhan keperawatan isolasi social.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian isolasi sosial


Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau
bahkan sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti,
2012). Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu
membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011).
Isolasi sosial juga merupakan kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat
didorong oleh keberadaan orang lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam
(NANDA-I dalam Damaiyanti, 2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Isolasi
sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan
orang lain (Trimelia, 2011).
B. Etiologi isolasi sosial
Terjadinya Gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi di antaranya
perkembangan dan sosial budaya. Kegagalan dapat mengakibatkan individu tidak percaya
pada diri, tidak percaya pada orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap
orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Kedaan ini
menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, lebih suka berdiam
diri, menghindar dari orang lain, dan kegiatan sehari-hari (Direja, 2011).
a. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011) faktor predisposisi yang mempengaruhi masalah isolasi sosial
yaitu:
1. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahapan tumbuh kembang individu ada tugas perkembangan
yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam hubungan sosial. Apabila
tugas-tugas dalam setiap perkembangan tidak terpenuhi maka akan menghambat
fase perkembangan sosial selanjutnya.
Menurut Yosep (2009), hidup manusia dibagi menjadi 7 masa dan pada keadaan
tertentu dapat mendukung terjadinya gangguan jiwa.
a. Masa Bayi
Masa bayi adalah menjelang usia 2-3 tahun, dasar perkembangan
yang dibentuk pada masa tersebut adalah sosialisasi dan pada masa ini timbul
dua masalah yang penting yaitu:
1) Cara mengasuh bayi
Cinta dan kasih sayang ibu akan memberikan rasa hangat/aman
bagi bayi dan di kemudian hari menyebabkan kepribadian yang hangat,
terbuka dan bersahabat. Sebaliknya, sikap ibu yang dingin acuh tak acuh
bahkan menolak di kemudian hari akan berkembang kepribadian yang
bersifat menolak dan menentang terhadap lingkungan.
2) Cara memberi makan
Sebaiknya dilakukan dengan tenang, hangat yang akan
memberikan rasa aman dan dilindungi, sebaliknya,pemberian yang kaku,
keras, dan tergesa -gesa akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan.
b. Masa Anak Prasekolah
Pada usia ini sosialisasi mulai dijalankan dan tumbuh disiplin dan
otoritas. Hal-hal yang penting pada fase ini adalah:
1. Hubungan orangtua-anak
2. Perlindungan yang berlebihan
3. Otoritas dan disiplin
4. Perkembangan seksual
5. Agresi dan cara permusuhan
6. Hubungan kakak-adik
7. Kekecewaan dan pengalaman yang menyakitkan
c. Masa Anak Sekolah
Masa ini ditandai oleh pertumbuhan jasmani dan intelektual yang
pesat. Pada masa ini anak akan mulai memperluas pergaulan, keluar dari
batas-batas keluarga. Masalah masalah penting yang timbul adalah:
1. Perkembangan jasmani
2. Penyesuaian diri di sekolah dan sosialisasi
d. Masa Remaja
Secara jasmaniah, pada masa ini terjadi perubahn-perubahan yang
penting yaitu timbulnya tanda-tanda sekunder (ciri-ciri kewanitaan atau
kelaki-lakian). Secara kejiwaan, pada masa ini terjadi pergolakan yang hebat.
Pada masa ini, seorang remaja mulai dewasa mencoba kemampuannya, di satu
pihak ia merasa sudah dewasa, sedangkan di pihak lain belum sanggup dan
belum ingin menerima tanggung jawab atas semua perbuatannya.
e. Masa Dewasa Muda
Seseorang yang melalui masa-masa sebelumnya dengan aman dan
bahagia akan cukup memiliki kesanggupan dan kepercayaan diri dan
umumnya ia akan berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan pada masa ini. Bila
mengalami masalah pada masa ini mungkin akan mengalami gangguan-
gangguan jiwa.
f. Masa Dewasa Tua
Sebagai patokan, pada masa ini dicapai apabila status pekerjaan dan
sosial seseorang sudah mantap. Masalah-masalah yang mungkin timbul
adalah:
1. Menurunnya keadaan jasmani
2. Perubahan susunan keluarga
3. Terbatasnya kemungkinan perubahan-perubahan yang baru dalam
bidang pekerjaan atau perbaiki kesalahan yang lalu.
g. Masa Tua
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan pada masa ini yaitu
berkurangnya daya tangkap, daya ingat, berkurangnya daya belajar,
kemampuan jasmani dan kemampuan sosial ekonomi menimbulkan rasa
cemas dan rasa tidak aman serta sering mengakibatkan kesalah pahaman
orangtua terhadap orang sekitarnya. Perasaan terasingkan karena kehilangan
teman sebaya, keterbatasan gerak, dapat menimbulkan kesulitan emosional
yang cukup berat.
2. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor pendukung
untuk terjadinya gangguan hubungan sosial, seperti adanya komunikasi yang tidak
jelas (double bind) yaitu suatu keadaan dimana individu menerima pesan yang
saling bertentangan dalam waktu bersamaan, dan ekspresi emosi yang tinggi di
setiap berkomunikasi.
3. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan sosial merupakan
suatu faktor pendukung terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Hal ini
disebabkan oleh norma norma yang salah dianut oleh keluarga, dimana setiap
anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia, berpenyakitan kronis,
dan penyandang cacat diasingkan dari lingkungan sosial.
4. Faktor Biologis
Faktor biologis juga merupakan salah satu faktor pendukung yang
menyebabkan terjadinya gangguan dalam hubungan sosial. Organ tubuh yang
jelas mempengaruhi adalah otak. Klien skizofrenia yang mengalami masalah
dalam hubungan sosial terdapat struktur yang abnormal pada otak, seperti atropi
otak, perubahan ukuran dan bentuk sel-sel dalam limbik dan kortikal (Sutejo,
2017). Klien yang mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas
terutama susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien dengan skizofrenia
mengalami pembesaran ventrikel ke-3 sebeah kirinya. Ciri lainnya yaitu memiliki
lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata orang normal (Yosep, 2009).
Menurut Candel dalam Yosep (2009), pada Klienskizofrenia memiliki lesi
pada area Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan Aphasia serta
disorganisasi dalam proses bicara. Adanya hiperaktivitas Dopamine pada
Kliendengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan gejala skizofrenia. Menurut
hasil penelitian, Neurotransmitter tertentu seperti Norepinephrine pada Klien
dengan gangguan jiwa memegang peranan dalam proses learning, memory
reinforcement, siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan aliran darah dan
metabolisme.
Menurut Singgih dalam Yosep (2009), gangguan mental dan emosi juga
bisa disebabkan oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aphasia).
Kadang-kadang seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang
kurang sekali, atau disebut sebagai otak yang rudimenter. Contoh gangguan
tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak.
Adanya trauma pada waktu kelahiran, tumor, infeksi otak seperti Enchepahlitis
Letargica, gangguan kelenjer endokrin seperti tiroid, keracunan CO (Carbon
Monocide) serta perubahan-perubahan karena degenerasi yang mempergaruhi
sistem persyarafan pusat (Yosep, 2009).
b. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi
dapat dikelompokan sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor
keluarga seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang
berarti dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan
ketergantungan dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.
C. Manifestasi Klinis
Menurut Yosep (2009)tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua
cara yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi
sosial:
1. Gejala subjektif
a. Klienmenceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
b. Klienmerasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
d. Klienmengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
e. Klienmerasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
f. Klientidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
g. Klienmerasa tidak berguna.
2. Gejala objektif
a. Klienbanyak diam dan tidak mau bicara.
b. Tidak mengikuti kegiatan.
c. Klienberdiam diri di kamar.
d. Klienmenyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
e. Klientampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
f. Kontak mata kurang.
g. Kurang spontan.
h. Apatis
i. Ekspresi wajah kurang berseri.
j. Mengisolasi diri
k. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
l. Aktivitas menurun.

Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya


rendah, segera timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila
tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan
persepsi sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan
lingkungan (Herman Ade, 2011).

D. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah
laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang austistik dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan
sensosi persepsi: halusinasi, mencederai diri sendri, orang lain serta lingkungan dan
penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Damaiyanti,
2012).

E. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi sosial antara lain
pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi, rehabilitasi, dan
program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).
1. Terapi Farmakologi
a. Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma
sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak
terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari hari, tidak mampu
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.
b. Haloperidol (HLP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi dan
inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
c. Trihexy Phenidyl (THP)
Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paksa ersepalitis
dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya reserpine dan
fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor gangguan
otonomik.
2. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati,
menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan
perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien
(Videbeck, 2012).
3. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-
perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan
klien(Videbeck, 2012). Terapi individu juga merupakan salah satu bentuk terapi
yang dilakukan secara individu oleh perawat kepada klien secara tatap muka
perawat-klien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018).
Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat kepada
klien dengan isolasi sosial adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam
pemberian strategi pelaksanaan klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting
perawat lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien, yang
selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien
untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan Klien
(Videbeck, 2012).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula asuhan
keperawatan yang diberikan kepadaklien karena komunikasi yang baik dapat
membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien, perawat yang
memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah
menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan
sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam
mencapai tujuan intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
4. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan
suatu rangkaian kegiatan kelompok dimana klien dengan masalah isolasi sosial
akan dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya.
Sosialissai dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan
massa). Aktivitas yang dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam kelompok, dan
akan dilakukan dalam 7 sesi dengan tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 :Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada
orang lain
Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
Sesi 7 : Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan
TAKS yang telah dilakukan.
5. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang,
dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat
dilakukan di rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi
membuat kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak
manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti
kegiatan keagamaaan lebih rendah bila dibandingan dengan mereka yang tidak
mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat,
perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang
merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep, 2009).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep (2009)
meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/
kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi
menggali sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah,
buku buku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk
pasien rehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup
didunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat
bermanfaat dari aspek auto sugesti yang dimana dalam setiap kegiatan religius
seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-ucapan baik yang dapat
memberi sugesti positif kepada diri klien sehingga muncul rasa tenang dan
yakin terhadap diri sendiri (Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut
Djamaludin Ancok (1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009)
aspek kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai terapeutik,
dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil dan tidak
diterima.
7. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang
dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi
okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan, melukis,
menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6
bulan (Yusuf, 2019).
8. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya
intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-
hari, memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang isolasi sosial,
mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang baik kepada anggota keluarga
yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).
F. Patopsikologi
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah satu gangguan
berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan
oleh perasaan tidak berharga, yang bisa di alami klien dengan latar belakang yang penuh
dengan permasalahan, ketegangan, kekecewan, dan kecemasan. Perasaan tidak berharga
menyebabkan klien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan
kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam
dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain
pembicaraan yang austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi (Ernawati, 2009).
Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang
antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut:
1. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan
kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah.
Berikut adalah sikap yang termasuk respon adaptif:
a. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang saling
membutuhkan satu sama lain.
d. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan
antara individu dengan orang lain
2. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang
dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang
termasuk respon maladaptif:
a. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
b. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu
melakukan penilaian secara objektif.
c. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah
marah.
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

Yayasan panti jompo terdapat 1 lansia berumur 65 tahun berjenis kelamin perempuan
yaitu Ny A pada saat kami melakukan pengkajian Ny A mengatakan jarang mengobrol dengan
sesama nya, Ny A juga mengatakan lebih sering menyendiri dan Ny A suka merasa minder
karena sudah tidak bisa bekerja lagi. Alasan Ny A sering menyendiri karena keluarga nya sudah
tidak pernah lagi dating menjenguknya.

A. Pengkajian keperawatan
1. Identitas klien
a. Nama : Ny A
b. Jenis kelamin : perempuan
c. Umur : 65 thn
d. Agama : islam
e. Status : Janda
f. Tanggal pengkajian : 23 juni 2021
g. Suku : jawa
h. Pendidikan : SMA
i. Alamat : Jln anggrek
2. Riwayat kesehatan keluarga : tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit
selama ini
3. Riwayat kesehatan saat ini : Klien mengatakan jarang mengobrol dengan sesame
nya, Ny A juga mengatakan lebih sering menyendiri dan Ny A suka merasa minder
karena sudah tidak bisa bekerja lagi
4. Riwayat kesehatan masa lalu : Klien mengatakan pernah mengalami kecelakaan 1
tahun yang lalu
5. Riwayat sehari – hari :
a. Persepsi lansia terhadap sehat sakit : Kurang peduli dengan keadaan diri
b. Kebiasaan makan : Selalu makan didalam kamar
c. Pola nutrisi : Diatur oleh pihak panti jompo
d. Kebiasaan olahraga : Tidak ada
6. Riwayat psikolog : Klien kooperatif
7. Riwayat sosial : Di tinggal suami dan ditelantarkan anak
8. Riwayat spiritual : Darang ibadah,
9. Pemeriksaan fisik :
a. Tanda – tanda vital : Td 140/90, Rr 16x/menit, N 60x/menit, S 36,7.
Analisa data

Symptom Etiologi Problem


DS :klien mengatakan
jarang mengobrol
dengan sesama
nya, klien juga
mengatakan lebih Ketidamampuan menjalin Isolasi sosial
sering menyendi hubungan yang memuaskan
ri.
DO : klien tampak selalu
menghindari
pembicaraan
DS : klien mengatakan
suka merasa minder
karena sudah tidak
bisa bekerja lagi. Pola ketidakberdayaan Harga diri rendah
DO : klien tampak tidak situasional
mau berintraksi
dengan orang lain

B. Diagnosa keperawatan
1. Isolasi sosial berhubungan dengan Ketidamampuan menjalin hubungan yang
memuaskan di tandai dengan :
DS :klien mengatakan jarang mengobrol dengan sesame nya, klien juga mengatakan
lebih sering menyendiri.
DO : klien tampak selalu menghindari pembicaraan
2. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan pola ketidakberdayaan di tandai
dengan :
DS : klien mengatakan suka merasa minder karena sudah tidak bisa bekerja lagi.
DO : klien tampak tidak mau berintraksi dengan orang lain
C. Intervensi keperawatan

Diagnosa Noc Nic


Isolasi sosial Setelah dilakukan tindakan 1x12 1. Peningkatan sosialisasi
berhubungan dengan jam diharapkan isolasi social dapat  Tingkatkan hubungan
Ketidamampuan teratasi dengan ekspetasi meningkat dengan orang – orang
menjalin hubungan dengan KH : yang memiliki dan
yang memuaskan di 1. Keterlibatan sosial tujuan yang sama
tandai dengan : Indicator Awal akhir  Bantu meningkatkan
DS :klien Berinteraksi
kesadaran pasien
mengatakan jarang dengan teman 2 4
mengenai kekuatan
mengobrol dengan dekat
dan keterbatasan –
Berpartisipasi
sesame nya, klien keterbatasan dalam
dalam aktivitas
juga mengatakan berkomunikasi
waktu luang 3 5
lebih sering dengan orang lain
dengan orang
menyendiri.  Anjurkan kegiatan
lain
DO : klien tampak sosial dan masyarakat
selalu menghindari  Minta dan harapkan
pembicaraan komunikasi verbal

Harga diri rendah Setelah dilakukan tindakan 1x12 1. Peningkatan harga diri
situasional jam diharapkan Harga diri rendah  Monitor pernyataan
berhubungan dengan situasional dapat teratasi dengan pasien mengenai
pola ekspetasi meningkat dengan KH : harga diri
ketidakberdayaan di 1. Harga diri  Bantu pasien untuk
tandai dengan : Indicator Awal Akhir menemukan
DS : klien Tingkat
penerimaan diri
mengatakan suka kepercayaan
 Tentukan
merasa minder diri 2 4
kepercayaan diri
Keinginan
karena sudah tidak pasien dalam hal
untuk
bisa bekerja lagi. penilaian diri
berhadapan
DO : klien tampak  Bantu pasien untuk
muka dengan 2 4
tidak mau memeriksa persepsi
orang lain
berintraksi dengan negative terhadap diri
orang lain  Dukung tanggung
jawab pada diri
sendiri dengan tepat.

D. Implementasi keperawatan
Nama Klien/umur : Tn. A/65 tahun
Tempat : yayasan panti jompo
Diagnosa medis : isolasi sosial

No Hari / tanggal Implementasi


DX
1. Rabu 23 juni Mandiri :
2021  membantu meningkatkan kesadaran pasien mengenai
10: 00 wita kekuatan dan keterbatasan – keterbatasan dalam
berkomunikasi dengan orang lain
 menganjurkan kegiatan sosial dan masyarakat
 meningkatkan hubungan dengan orang – orang yang
memiliki dan tujuan yang sama
Kombinasi :
 mendukung tanggung jawab pada diri sendiri dengan
tepat.
2. Rabu 23 juni Mandiri :
2021  memantu pasien untuk menemukan penerimaan diri
Jam 11:00 wita  membantu pasien untuk memeriksa persepsi negative
terhadap diri
 mendukung tanggung jawab pada diri sendiri dengan
tepat.
 memonitor pernyataan pasien mengenai harga diri

E. Evaluasi Keperawatan
Nama Klien/umur : Tn. A/65 tahun
Tempat : yayasan panti jompo
Diagnosa medis : isolasi sosial
No Hari / tanggal Evaluasi
Dx
1. Rabu 23 juni S : Klien mengatakan sudah mulai bisa melakukan komunikasi
2021 pada lansia lain
Jam 12:00 wita O : Klien tampak sdh tidak lagi menyendiri
A : tujuan tercapai, masalah teratasi.
P : intervensi di hentikan
2. Rabu 23 juni S : Klien mengatakan sudah tidak minder lagi
2021 O : Klien tampak sdh mulai berinteraksi dengan lansia lain
Jam 12:00 wita A : tujuan tercapai, masalah teratasi.
P : intervensi di hentikan

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian dilakukan secaah langsung pada klien dan jug denga menjadikan
status klien sebagai sumber informasi yang dapat mendukung data-data pengkajian.
Selama proses pengkajian, perawat menggunakan komunikasi teapeutik serta
membina hubungan saling percayah antarah perawat-klien. Pada kasus Tn. A,
diperoleh bawa klien mengalami gejala-gejala isolasi social seperti tidak mau
berinteraksi sama yang lain, sering menyendiri, tidak mau diajak berbicara, kurang
kontak mata saat berbicara.

B. Saran

Kita sebagai seorang perawat harus menggali lebih dalam lagi utuk menambah
wawasan serta dapat menerapkamya secarah professional pada pasien khususnya
pada lansia dengan keterbatasan isolasi sosial

DAFTAR PUSTAKA

Damayanti 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta

Desi Wahyu Ambarwati (2016). Upaya peningkatan sosialisasi pada klien menarik diri.
Surakarta
Eko Prabowo (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha
Medika

Gloria M. Bulechek, Howard K. Butcher,dkk. (2016) Nursing Interventions Classification (Nic).


ISBN Indonesia.

Hawani, dkk (2016) Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia , jakarta : balai
penerbit FKUI

Kusumawati.F dan Hartono. Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika

Maryani (2011). Pengembangan program pembelajaran IPS untuk meningkatkan kopetensi


keterampilan sosial. Bandung

Nanda International. (2018-2022). Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC

Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.

Raka Prihutomo Aji (2017). Upaya Meningkatkan Sosialisasi Dengan Melatih Cara Berkenalan
Pada Pasien Isolasi Sosial,Surakarta

Riskesdas, (2018). Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian Kesehatan Nasional. Jakarta

Soekanto. S. (2010). Pengantar Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Surtiningrum

Sue Moorhead, Marion Johnson, dkk. (2016) Nursing Outcomes Classfication (Noc). ISBN
Indonesia

Sujono Riyadi Teguh Purwanto. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa, yogyakarta.

Trimelia. (2011). Asuhan keperawatan klien isolasi sosial. Jakarta Timur: TIM

SKENARIO

Pemeran

Perawat : Asri nedila, Ingel ratu oktaviani.

Pasien : Wilda
Kepala panti : Nani

Penjaga panti : Takdir

Yayasan panti jompo terdapat 1 lansia berumur 65 tahun berjenis kelamin perempuan
yaitu Ny A dengan masalah isolasi sosia dan akan dilakukan pengkajian.

Perawat 1(asri) : assalamualaikum pak.perkenalkan saya dari puskesmas mandala

Penjaga panti (takdir) : waalaikumsalam bu….

(masuklah perawat ke dalam panti dan tidak senggaja dengan kepala panti mereka pun
jalan sambil ngombrol dan perawat meminta antar ke ruangan ibu wilda kepala panti pun
memangil pengaja panti ).

Kepala panti (nani) : takdir.

Penjaga panti (takdir) : iya ibu

Kelapa panti (nani) : bisa antarkan perawat keruangan ibu wilda

Penjaga panti (takdir) : iya bisa bu, sini saya antar.

(penjaga pun mengantar perawat keruangan ibu wilda, dan masuklah perawat ke ruangan
ibu wilda).

Perawat 1(asri) : assalamualaikum, iya selamat pagi bu

Pasien (wilda) : ………..(penunduk dan diam)

Perawat 1 (asri) : di sini saya akan membantu menangani masalah ibu

(pasien hanya menoleh dan menunduk lagi)

Perawat 1 (asri) : kalau boleh saya tau nama ibu siapa ? senangnya di pangil siapa ?

Pasien (wilda) : saya……….( Malas )

Perawat 1 (asri) : owh nama yang bagus seperti orangnya maukah ibu berbincang – bincang
dengan saya sekarang ?
Pasien (wilda) : (diam dan hanya mengeleng – gelengkan kepalanya dan pergi meningalkan
perawat).

Perawat 1 (asri) : ( pengikuti pasien ) kepana bu ? di sini saya akan membantu menyelesaikan
masalah ibu, baiklah kalau ibu tidak mau sekarang bagaimana kalau besok ?

Pasien (wilda) : ( diam dan hanya menganguk saja)

Perawat 1 (asri) : di mana ibu ? apakah di tempat ini saja ?

Pasien (wilda) : ( diam dan hanya menganguk saja)

Perawat 1 (asri) : baiklah kalau begitu saya tingal dulu yaa bu ? sampai ketemu besok ya bu ?
asslamualaikum.

Pasien (wilda) : (membalas salam dengan nada pelan ) waalaaikumsalam

( pada hari berikutya perawat mengajak satu orang temannya untuk menemui pasein,
perawat tersebut ingin membantu pasien untuk interaksi/perkenalan dengan satu
orang.dan pasien sudah Nampak sedikit berbicara, dan raa malunya sedikit).

Perawat 1 (asri) : selamat pagi ibu? Sesuai janji saya kemarin di sini saya akan membantu
menyelesaikan masalah ibu.

pasin (wilda) : ( hanya menganguk dan melihat kearah teman perawat yang di ajak dengan rasa
penasaran)

Perawat 1 (asri ) : owh iya ibuu, perkebalkan juga, ini teman saya nama ingel dia juga seorang
perawat.

Perawat dan pasien : ( sama – sama menganguk dan tersenyum )

Perawat 1 (asri ) : baiklah, kira – kira ibu mau ngobrol dengan berapa lama ?

pasien (wilda) : 15 menit saja

perawat 2 ( ingel ) : okey, pertama – tama kami ingin tau kenapa ibu suka menyendiri seperti
sekarang ini ? apa penyebabnya?
pasien (wilda) : dulu waktu suami saya masih hidup anak saya masih perhatian sama kami orang
tuanya tapi setelah suami saya meningal anak saya tidak perhatian lagi sama saya bahkan tega
membawa saya di sini (panti jompo).

Perawat1 (asri) : ibuu, ketahuilah, sesunggunya allah itu tidak menguji hambanya di luar batas
kemampuannya begitupun dengan ibu, mungkin ada alasan kenapa anak ibu membawa ibu
kesini.

Perawat 2 ( ingel ) : tetap semangat ya buu jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk ibu
menutup diri, masih banyak orang lain yang perhatian sama ibu.

Perawat1 (asri) : Di sni juga ibu bisa mengobrol dengan teman – teman panti di sini supaya ibu
tiak merasa kesepian, iya ya ibu.

pasien (wilda) : ( hanya terdiam dan matanya berkaca – kaca menahan tangis )

perawat 1 (asri) : baiklah, mumpung masih pagi gimana kalau kita bertiga jalan – jalan
mengitari taman sambil olaragah.

Perawat 2 (ingel) : wha ide bagus itu, biar sehat !!!

pasien (wilda) : baiklah…………….

(semuanya berjalan – jalan dan akhirnya duduklagi di tempat semula)

perawat 1 (asri) : bagaimana perasaan ibu sekarang kita melakukan aktifitas bersama – sama ?
apakah sudah baik ?

pasien (wilda) : terimakasih ibu perawat, saya sangat senang karena sebelumnya saya jarang
sekali melakukn aktifitas bersama – sama seperti ini .

Perawat 2 (ingel) : baiklah ibu, kita rasa sudah cukup hari ini, kita berharap ddengan ini ibu
sudah tidak suka menyendiri lagi ( sambil tersenyum dan memberi jempol kepada pasien )

pasien (wilda) : iya bu perawat

perawat 2 (ingel) : jadi ibu sampai di sini saja yaa, sampai jumpa ( sambil tersenyum)
assalamualakum

Anda mungkin juga menyukai