Askep Gerontik
Askep Gerontik
Askep Gerontik
Di susun Oleh :
Kelompok 6
Takdir P201801080
Wilda P201801050
Nani P201801045
KENDARI
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya
kepada kami sehinnga penyusunan asuhan keperawatan keluarga yang berjudul “asuhan
keperawatan pada isolasi social dapat diselesaikan tanpa kesulitan yang besar.
Adapun penyusunan asuhan keperawatan ini sebagai salah satu tugas kelompok mata
kuliah Keperawatan gerontik . kami dapat menyelesaikan ini dengan melakukan pencarian.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa asuhan keperawatan gerontik ini masih terdapat
banyak kekurangan dan kelemahan. Untuk itu kami senantiasa mengharapkan kritik dan saran
dari berbagai pihak demi perbaikan tugas asuhan keperawatan gerontik kami.
Akhir kata, kami mohon maaf atas segala kekurangan yang ada. Semoga asuhan
keperawatan gerontik ini bermanfaat.
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Lansia dikatakan sebagai tahap akhir pada daur kehidupan manusia. Lansia adalah
keadaan yang di tandai oleh kegagalan seseoranguntuk mempertahankan keseimbangan
terhadap kondisi fisiologis yang berkaitan dengan penurunan kemampuan untuk hidup
(Ferry dan Makhfudli, 2009). Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan
lansia disebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun
(Dewi, S.R, 2014). Namun, menurut WHO, batasan lansia dibagi atas: usia pertengahan
(middle age) yaitu antara 45-59 tahun, lanjut usia (elderly) yaitu 60-74 tahun, lanjut usia
tua (old) 75-90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Notoadmodjo,
2011).
Populasi lansia di dunia dari tahun ke tahun semakin meningkat,bahkan
pertambahan lansia menjadi yang paling mendominasi apabila dibandingkan dengan
pertambahan populasi penduduk pada kelompok usia lainnya. Data World Population
Prospects: the 2015 Revision, pada tahun 2015 ada 901 juta orang berusia 60 tahun atau
lebih yang terdiri atas 12% dari jumlah populasi global. Pada tahun 2015 dan 2030,
jumlah orang berusia 60 tahun atau lebih diproyeksikan akan tumbuh sekitar 56%, dari
901 juta menjadi 1,4 milyar, dan pada tahun 2050 populasi lansia diproyeksikan lebih
dari 2 kali lipat di tahun 2015, yaitu mencapai 2,1 milyar (United Nations, 2015).
Sejak tahun 2000, presentase penduduk lansia Indonesia melebihi 7% (Kemenkes
RI, 2014). Berarti Indonesia mulai masuk ke dalam kelompok negara berstruktur lansia
(ageing population). Menurut United Nations, pada tahun 2013 populasi penduduk lansia
Indonesia yang berumur 60 tahun atau lebih berada pada urutan 108 dari seluruh negara
di dunia. Diprediksikan pula bahwa di tahun 2050, Indonesia akan masuk menjadi
sepuluh besar negara dengan jumlah lansia terbesar, yaitu berkisar 10 juta lansia (United
Nations, 2013). Sesuai dengan data dari BPS Provinsi Sumatera Barat, jumlah penduduk
Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2012 tercatat sebesar 4.904.460 jiwa dan 5,6%
diantaranya adalah penduduk berusia tua (>65 tahun). Data dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Pasaman Barat pada tahun 2017 menunjukkan jumlah lansia (>60 tahun)
adalah sebanyak 27.724 jiwa, sedangkan jumlah lansia di wilayah kerja Puskesmas
Sungai Aur adalah 2.630 jiwa dan jumlah ini mengalami peningkatan dari tahun
sebelumnya.
Meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (lansia) tentu menimbulkan masalah
terutama dari segi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Masalah tersebut jika tidak
ditangani akan berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Masalah yang
kompleks pada lansia baik dari segi fisik, mental, dan sosial berkaitan dengan kesehatan
dan kesejahteraan mereka (Notoadmodjo, 2011).
Kesehatan dan kesejahteraan pada lansia dipengaruhi oleh dukungan sosial dari
keluarga dan orang disekitarnya. Lansia yang tinggal sendiri tentu sering mengalami
masalah dalam kesehatan dan kesejahteraannya. Padila (2013) menyebutkan bahwa salah
satu permasalahan yang dialami oleh lansia adalah masih ada lansia yang mengalami
keadaan terlantar. Selain tidak mempunyai bekal hidup dan pekerjaan/ penghasilan,
mereka juga tidak mempunyai keluarga/ sebatang kara.
Jumlah lansia yang hidup sendiri telah meningkat dalam beberapadekade terakhir
(Chandler dkk., 2004; Victor dkk., 2009), dan di Eropa ada peningkatan luar biasa dalam
jumlah lansia yang hidup sendiri (Fokkema dkk., 2012). Di Norwegia, 4,3% dari total
penduduk (5,1 juta) adalah usia 80 tahun keatas, dan kelompok ini merupakan kelompok
terbesar yang hidup sendiri (Andreassen, 2011). Riset LDUI (Lembaga Demografi
Universitas Indonesia) menunjukkan jumlah lansia tinggal sendiri pada tahun 2014
semakin meningkat yaitu 9,66%. Saat ini kemungkinan hidup sendiri semakin meningkat
untuk semua lansia, baik pria maupun wanita (Eliopoulos, C., 2014).
Tinggal sendiri merupakan hal yang tidak diinginkan oleh sebagian besar lansia.
Semakin tua seseorang, semakin besar hambatan bagi mereka untuk tinggal sendirian.
Tinggal sendiri di usia tua sering menyebabkan terjadinya masalah psikologis pada
lansia. Pernyataan ini didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Koc (2012) yang
mengatakan bahwa hidup sendiri dilaporkan menjadi faktor risiko utama terjadinya
masalah psikologis yaitu kesepian pada lansia. Menurut Arslantas et al. (2015 dikutip dari
Zhou, J. dan Salvendy, G., 2016) bahwa tinggal sendiri beresiko tinggi terhadap bunuh
diri, kualitas hidup yang buruk dan tidak ada interaksi jaringan sosial terutama pada
masyarakat pedesaan.Penelitian lain yang dilakukan oleh Lim (2011) menemukan bahwa
kesepian pada lansia yang tinggal sendiri memiliki pengaruh besar terhadap penurunan
status kesehatan mental seperti depresi dan kesejahteraan dibandingkan dengan lansia
yang tinggal dengan orang lain.
Peplau & Perlman (dalam Tiikkainen dan Heikkinen, 2010) memandang kesepian
adalah perasaan yang tidak menyenangkan dengan merangsang kecemasan subjektif,
sehingga pengalaman yang dirasakan adalah hasil dari hubungan sosial yang tidak
memadai. Kesepian diidentifikasi sebagai masalah kesehatan mental utama yang
mempengaruhi lansia. Kesepian dapat memperburuk efek dari hidup sendiri pada lansia
(Aanestad dan Bratteteig, 2013). Sejumlah penelitian telah menunjukkan hubungan erat
antara kesepian dan depresi pada lansia, sehingga diperlukan penelitian yang berfokus
pada identifikasi cara untuk menghambat jalur kesepian dengan depresi (Pettigrew &
Michele, 2008).Kesepian juga dapat mengancam perasaan nilai pribadi dan merusak
kepercayaan pada kemampuan untuk mengembangkan dan memelihara hubungan
interpersonal (Alpass & Neville, 2010). Oleh karena itu, harus menjadi fokus penelitian
dalam upaya untuk meningkatkan kualitas hidup lansia.
Demikian juga, dalam rangka memotivasi dan mendukung pembentukan kembali
jaringan sosial dan partisipasi sosial, perawat, dokter, dan bidang kesehatan lainnya harus
lebih tertantang lagi untuk memperhatikan keadaan emosional, pola kegiatan sosial, dan
pola koping yang umum pada lansia yang tinggal sendiri di rumah. Penelitian yang
dilakukan oleh Cattan et al. (2005) menunjukkan bahwa strategi keperawatan yang
direkomendasikan pada lansia yang tinggal sendiri adalah pendidikan kesehatan dan
intervensi kegiatan sosial kelompok karena mempunyai pengaruh besar untuk
mengurangi terjadinya kesepian dan isolasi sosial.
Greaves dan Farbus (2006) menemukan bahwa peran aktif lansia seperti pengembangan
peran sosial dan keterlibatan dalam masyarakat lebih bermakna daripada hubungan sosial
yang pasif seperti kunjungan ke rumah dalam mengurangi kesepian pada lansia.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Pitkala et al. (2009) yang menunjukkan bahwa
intervensi sosial kelompok seperti kegiatan seni, latihan kelompok dan terapi menulis
dapat meningkatkan kesehatan pada lansia dan menurunkan mortalitas
secara bermakna.
B. Rumusan masalah
1. Apa itu pengertian isolasi social ?
2. Apa etiologi isolasi social ?
3. Bagaimana manifestasi klinis isolasi social ?
4. Apa komplikasi isolasi social ?
5. Bagaimana penatalaksanaan isolasi social ?
6. Apa patopsikologi isolasi social ?
7. Bagaimana proses asuhan keperawatan isolasi social ?
C. Tujuan penulisan
1. Mahasiswa dapat mengetahui pengertian isolasi social.
2. Mahasiswa dapat mengetahui etiologi isolasi social.
3. Mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis isolasi social.
4. Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi isolasi social.
5. Mahasiswa dapat mengetahui penatalaksanaan isolasi social.
6. Mahasiswa dapat mengetahui patopsikologi isolasi social.
7. Mahasiswa dapat mengetahui proses asuhan keperawatan isolasi social.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
D. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah
laku masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang austistik dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan
sensosi persepsi: halusinasi, mencederai diri sendri, orang lain serta lingkungan dan
penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Damaiyanti,
2012).
E. Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada kliendengan isolasi sosial antara lain
pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi, rehabilitasi, dan
program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).
1. Terapi Farmakologi
a. Chlorpromazine (CPZ)
Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat dalam
kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma
sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental:
waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak
terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari hari, tidak mampu
bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin.
Efek samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/
parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama
jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian jangka
panjang.
b. Haloperidol (HLP)
Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam
fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi dan
inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
c. Trihexy Phenidyl (THP)
Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk paksa ersepalitis
dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya reserpine dan
fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor gangguan
otonomik.
2. Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting
dalam proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa
aman dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati,
menerima pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan
perasaannya secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien
(Videbeck, 2012).
3. Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada
individu dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-
perilakunya. Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan
klien(Videbeck, 2012). Terapi individu juga merupakan salah satu bentuk terapi
yang dilakukan secara individu oleh perawat kepada klien secara tatap muka
perawat-klien dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai
dengan tujuan yang ingin dicapai (Zakiyah, 2018).
Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat kepada
klien dengan isolasi sosial adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam
pemberian strategi pelaksanaan klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting
perawat lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien, yang
selama interaksi berlangsung, perawat berfokus pada kebutuhan khusus klien
untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan Klien
(Videbeck, 2012).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula asuhan
keperawatan yang diberikan kepadaklien karena komunikasi yang baik dapat
membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien, perawat yang
memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah
menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan
sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam
mencapai tujuan intevensi keperawatan (Sarfika, 2018).
4. Terapi Aktivitas Kelompok
Menurut Keliat (2015) terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan
suatu rangkaian kegiatan kelompok dimana klien dengan masalah isolasi sosial
akan dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya.
Sosialissai dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan
massa). Aktivitas yang dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam kelompok, dan
akan dilakukan dalam 7 sesi dengan tujuan:
Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
Sesi 2 : Klienmampu berkenalan dengan anggota kelompok
Sesi 3 :Klienmampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
Sesi 4 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
Sesi 5 : Klienmampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada
orang lain
Sesi 6 : Klienmampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
Sesi 7 : Klienmampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan
TAKS yang telah dilakukan.
5. Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang,
dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat
dilakukan di rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi
membuat kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6. Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak
manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti
kegiatan keagamaaan lebih rendah bila dibandingan dengan mereka yang tidak
mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat,
perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang
merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep, 2009).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep (2009)
meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/
kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi
menggali sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas ibadah,
buku buku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk
pasien rehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup
didunia, dan sebagainya.
Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius dapat
bermanfaat dari aspek auto sugesti yang dimana dalam setiap kegiatan religius
seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-ucapan baik yang dapat
memberi sugesti positif kepada diri klien sehingga muncul rasa tenang dan
yakin terhadap diri sendiri (Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut
Djamaludin Ancok (1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009)
aspek kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai terapeutik,
dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil dan tidak
diterima.
7. Rehabilitasi
Program rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang
dikhususkan untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi
okupasional yang meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan, melukis,
menyanyi, dan lain-lain. Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6
bulan (Yusuf, 2019).
8. Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya
intervensi yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-
hari, memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang isolasi sosial,
mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang baik kepada anggota keluarga
yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).
F. Patopsikologi
Menurut Stuart and Sundeen (2007) dalam Ernawati (2009). Salah satu gangguan
berhubungan sosial diantaranya perilaku menarik diri atau isolasi sosial yang disebabkan
oleh perasaan tidak berharga, yang bisa di alami klien dengan latar belakang yang penuh
dengan permasalahan, ketegangan, kekecewan, dan kecemasan. Perasaan tidak berharga
menyebabkan klien semakin sulit dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.
Akibatnya klien menjadi regresi atau mundur, mengalami penurunan dalam aktifitas dan
kurangnya perhatian terhadap penampilan dan kebersihan diri. Klien semakin tenggelam
dalam perjalanan dan tingkah laku masa lalu serta tingkah laku primitive antara lain
pembicaraan yang austistic dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan kenyataan,
sehingga berakibat lanjut menjadi halusinasi (Ernawati, 2009).
Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari
interaksinya dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang
antara respon adaptif dengan maladaptive sebagai berikut:
1. Respon Adaptif
Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan
kata lain individu tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah.
Berikut adalah sikap yang termasuk respon adaptif:
a. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang
telah terjadi di lingkungan sosialnya.
b. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang saling
membutuhkan satu sama lain.
d. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan
antara individu dengan orang lain
2. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang
dari norma sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang
termasuk respon maladaptif:
a. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
b. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai
subjek yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu
melakukan penilaian secara objektif.
c. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah
marah.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Yayasan panti jompo terdapat 1 lansia berumur 65 tahun berjenis kelamin perempuan
yaitu Ny A pada saat kami melakukan pengkajian Ny A mengatakan jarang mengobrol dengan
sesama nya, Ny A juga mengatakan lebih sering menyendiri dan Ny A suka merasa minder
karena sudah tidak bisa bekerja lagi. Alasan Ny A sering menyendiri karena keluarga nya sudah
tidak pernah lagi dating menjenguknya.
A. Pengkajian keperawatan
1. Identitas klien
a. Nama : Ny A
b. Jenis kelamin : perempuan
c. Umur : 65 thn
d. Agama : islam
e. Status : Janda
f. Tanggal pengkajian : 23 juni 2021
g. Suku : jawa
h. Pendidikan : SMA
i. Alamat : Jln anggrek
2. Riwayat kesehatan keluarga : tidak ada keluarga pasien yang mengalami penyakit
selama ini
3. Riwayat kesehatan saat ini : Klien mengatakan jarang mengobrol dengan sesame
nya, Ny A juga mengatakan lebih sering menyendiri dan Ny A suka merasa minder
karena sudah tidak bisa bekerja lagi
4. Riwayat kesehatan masa lalu : Klien mengatakan pernah mengalami kecelakaan 1
tahun yang lalu
5. Riwayat sehari – hari :
a. Persepsi lansia terhadap sehat sakit : Kurang peduli dengan keadaan diri
b. Kebiasaan makan : Selalu makan didalam kamar
c. Pola nutrisi : Diatur oleh pihak panti jompo
d. Kebiasaan olahraga : Tidak ada
6. Riwayat psikolog : Klien kooperatif
7. Riwayat sosial : Di tinggal suami dan ditelantarkan anak
8. Riwayat spiritual : Darang ibadah,
9. Pemeriksaan fisik :
a. Tanda – tanda vital : Td 140/90, Rr 16x/menit, N 60x/menit, S 36,7.
Analisa data
B. Diagnosa keperawatan
1. Isolasi sosial berhubungan dengan Ketidamampuan menjalin hubungan yang
memuaskan di tandai dengan :
DS :klien mengatakan jarang mengobrol dengan sesame nya, klien juga mengatakan
lebih sering menyendiri.
DO : klien tampak selalu menghindari pembicaraan
2. Harga diri rendah situasional berhubungan dengan pola ketidakberdayaan di tandai
dengan :
DS : klien mengatakan suka merasa minder karena sudah tidak bisa bekerja lagi.
DO : klien tampak tidak mau berintraksi dengan orang lain
C. Intervensi keperawatan
Harga diri rendah Setelah dilakukan tindakan 1x12 1. Peningkatan harga diri
situasional jam diharapkan Harga diri rendah Monitor pernyataan
berhubungan dengan situasional dapat teratasi dengan pasien mengenai
pola ekspetasi meningkat dengan KH : harga diri
ketidakberdayaan di 1. Harga diri Bantu pasien untuk
tandai dengan : Indicator Awal Akhir menemukan
DS : klien Tingkat
penerimaan diri
mengatakan suka kepercayaan
Tentukan
merasa minder diri 2 4
kepercayaan diri
Keinginan
karena sudah tidak pasien dalam hal
untuk
bisa bekerja lagi. penilaian diri
berhadapan
DO : klien tampak Bantu pasien untuk
muka dengan 2 4
tidak mau memeriksa persepsi
orang lain
berintraksi dengan negative terhadap diri
orang lain Dukung tanggung
jawab pada diri
sendiri dengan tepat.
D. Implementasi keperawatan
Nama Klien/umur : Tn. A/65 tahun
Tempat : yayasan panti jompo
Diagnosa medis : isolasi sosial
E. Evaluasi Keperawatan
Nama Klien/umur : Tn. A/65 tahun
Tempat : yayasan panti jompo
Diagnosa medis : isolasi sosial
No Hari / tanggal Evaluasi
Dx
1. Rabu 23 juni S : Klien mengatakan sudah mulai bisa melakukan komunikasi
2021 pada lansia lain
Jam 12:00 wita O : Klien tampak sdh tidak lagi menyendiri
A : tujuan tercapai, masalah teratasi.
P : intervensi di hentikan
2. Rabu 23 juni S : Klien mengatakan sudah tidak minder lagi
2021 O : Klien tampak sdh mulai berinteraksi dengan lansia lain
Jam 12:00 wita A : tujuan tercapai, masalah teratasi.
P : intervensi di hentikan
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pengkajian dilakukan secaah langsung pada klien dan jug denga menjadikan
status klien sebagai sumber informasi yang dapat mendukung data-data pengkajian.
Selama proses pengkajian, perawat menggunakan komunikasi teapeutik serta
membina hubungan saling percayah antarah perawat-klien. Pada kasus Tn. A,
diperoleh bawa klien mengalami gejala-gejala isolasi social seperti tidak mau
berinteraksi sama yang lain, sering menyendiri, tidak mau diajak berbicara, kurang
kontak mata saat berbicara.
B. Saran
Kita sebagai seorang perawat harus menggali lebih dalam lagi utuk menambah
wawasan serta dapat menerapkamya secarah professional pada pasien khususnya
pada lansia dengan keterbatasan isolasi sosial
DAFTAR PUSTAKA
Desi Wahyu Ambarwati (2016). Upaya peningkatan sosialisasi pada klien menarik diri.
Surakarta
Eko Prabowo (2014). Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa.Yogyakarta: Nuha
Medika
Hawani, dkk (2016) Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia , jakarta : balai
penerbit FKUI
Kusumawati.F dan Hartono. Y. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba Medika
Prabowo, E. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Raka Prihutomo Aji (2017). Upaya Meningkatkan Sosialisasi Dengan Melatih Cara Berkenalan
Pada Pasien Isolasi Sosial,Surakarta
Riskesdas, (2018). Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian Kesehatan Nasional. Jakarta
Sue Moorhead, Marion Johnson, dkk. (2016) Nursing Outcomes Classfication (Noc). ISBN
Indonesia
Trimelia. (2011). Asuhan keperawatan klien isolasi sosial. Jakarta Timur: TIM
SKENARIO
Pemeran
Pasien : Wilda
Kepala panti : Nani
Yayasan panti jompo terdapat 1 lansia berumur 65 tahun berjenis kelamin perempuan
yaitu Ny A dengan masalah isolasi sosia dan akan dilakukan pengkajian.
(masuklah perawat ke dalam panti dan tidak senggaja dengan kepala panti mereka pun
jalan sambil ngombrol dan perawat meminta antar ke ruangan ibu wilda kepala panti pun
memangil pengaja panti ).
(penjaga pun mengantar perawat keruangan ibu wilda, dan masuklah perawat ke ruangan
ibu wilda).
Perawat 1 (asri) : kalau boleh saya tau nama ibu siapa ? senangnya di pangil siapa ?
Perawat 1 (asri) : owh nama yang bagus seperti orangnya maukah ibu berbincang – bincang
dengan saya sekarang ?
Pasien (wilda) : (diam dan hanya mengeleng – gelengkan kepalanya dan pergi meningalkan
perawat).
Perawat 1 (asri) : ( pengikuti pasien ) kepana bu ? di sini saya akan membantu menyelesaikan
masalah ibu, baiklah kalau ibu tidak mau sekarang bagaimana kalau besok ?
Perawat 1 (asri) : baiklah kalau begitu saya tingal dulu yaa bu ? sampai ketemu besok ya bu ?
asslamualaikum.
( pada hari berikutya perawat mengajak satu orang temannya untuk menemui pasein,
perawat tersebut ingin membantu pasien untuk interaksi/perkenalan dengan satu
orang.dan pasien sudah Nampak sedikit berbicara, dan raa malunya sedikit).
Perawat 1 (asri) : selamat pagi ibu? Sesuai janji saya kemarin di sini saya akan membantu
menyelesaikan masalah ibu.
pasin (wilda) : ( hanya menganguk dan melihat kearah teman perawat yang di ajak dengan rasa
penasaran)
Perawat 1 (asri ) : owh iya ibuu, perkebalkan juga, ini teman saya nama ingel dia juga seorang
perawat.
Perawat 1 (asri ) : baiklah, kira – kira ibu mau ngobrol dengan berapa lama ?
perawat 2 ( ingel ) : okey, pertama – tama kami ingin tau kenapa ibu suka menyendiri seperti
sekarang ini ? apa penyebabnya?
pasien (wilda) : dulu waktu suami saya masih hidup anak saya masih perhatian sama kami orang
tuanya tapi setelah suami saya meningal anak saya tidak perhatian lagi sama saya bahkan tega
membawa saya di sini (panti jompo).
Perawat1 (asri) : ibuu, ketahuilah, sesunggunya allah itu tidak menguji hambanya di luar batas
kemampuannya begitupun dengan ibu, mungkin ada alasan kenapa anak ibu membawa ibu
kesini.
Perawat 2 ( ingel ) : tetap semangat ya buu jangan jadikan hal itu sebagai alasan untuk ibu
menutup diri, masih banyak orang lain yang perhatian sama ibu.
Perawat1 (asri) : Di sni juga ibu bisa mengobrol dengan teman – teman panti di sini supaya ibu
tiak merasa kesepian, iya ya ibu.
pasien (wilda) : ( hanya terdiam dan matanya berkaca – kaca menahan tangis )
perawat 1 (asri) : baiklah, mumpung masih pagi gimana kalau kita bertiga jalan – jalan
mengitari taman sambil olaragah.
perawat 1 (asri) : bagaimana perasaan ibu sekarang kita melakukan aktifitas bersama – sama ?
apakah sudah baik ?
pasien (wilda) : terimakasih ibu perawat, saya sangat senang karena sebelumnya saya jarang
sekali melakukn aktifitas bersama – sama seperti ini .
Perawat 2 (ingel) : baiklah ibu, kita rasa sudah cukup hari ini, kita berharap ddengan ini ibu
sudah tidak suka menyendiri lagi ( sambil tersenyum dan memberi jempol kepada pasien )
perawat 2 (ingel) : jadi ibu sampai di sini saja yaa, sampai jumpa ( sambil tersenyum)
assalamualakum