3 Bab 1-4 Dapus

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Salmonella typhi (S. typhi) merupakan kuman patogen penyebab demam

tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang

berlangsung lama, adanya bakterimia disertai inflamasi yang dapat merusak usus

dan organ-organ hati. Demam tifoid, penyakit infeksi usus halus yang disebabkan

oleh bakteri Salmonella typhi ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui

makanan/minuman yang terkontaminasi (Widoyono, 2011).

Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai Negara Berkembang yang

terutaman terletak di daerah tropis dan subtropis. World health organization

mengatakan bahwa, sekitar 500.000 kematian karena penyakit tifoid dilaporkan

setiap tahun secara global. Jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia di

perkirakan terdapat 21 juta kasus dengan 128.000 sampai 161.000 kematian setiap

tahun, kasus terbanyak terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara (WHO, 2018).

Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak,

karena penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.

Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier

(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga

menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahannya.Sulit untuk memeperkirakan

gambaran klinis demam tifoid dengan beberapa infeksi demam lainnya, dan

penyakit ini juga sering diremehkan karena kurangnya sumber daya laboratorium

disebagaian besar wilayah di negara berkembang. Akibatnya, banyak kasus yang

terjadi kurang terdiagnosis (WHO, 2011).

1
Biaya pelayanan kesehatan dirasakan semakin meningkat sebagai akibat

dari berbagai faktor, yaitu perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,

peningkatan penggunaan teknologi canggih, peningkatan permintaan masyarakat

dan perubahan ekonomi global. Masalah biaya kesehatan (rumah sakit, dokter, obat,

dan lain-lain) sejak beberapa tahun terakhir telah banyak menarik perhatian, tidak

saja dikalangan dunia kesehatan tetapi juga diluar kalangan dunia kesehatan.

Sementara itu sesuai dengan kebijakan pemerintah, tenaga kesehatan diharapkan

dapat lebih mendekatkan pelayanan kesehatan pada masyarakat. Menjawab

berbagai tantangan tersebut diperlukan pemikiran-pemikiran khusus dalam

meningkatkan efisiensi atau penggunaan dana secara lebih rasional (Andayani,

2016).

Analisis farmakoekonomi merupakan cara yang komprehensif untuk

menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif tarapi obat atau intervensi kesehatan

lain. Pada intervensi farmasi, farmakoekonomi digunakan untuk menilai apakah

tambahan keuntungan dari suatu intervensi sepadan dengan biaya tambahan dari

intervensi tersebut (Andayani, 2013).

Salah satu penyakit yang memerlukan evaluasi farmakoekonomi baik dari

segi efektifitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya adalah analisis biaya pada

terapi demam tifoid. Metode farmakoekonomi yang digunakan untuk memilih dan

menilai intervensi yang paling efektif biaya pada beberapa pilihan terapi

menggunakan Analisis Efektifitas Biaya (AEB)/Cost Effectiveness Analysis (CEA).

Cost Effectiveness Analysis merupakan penelitian untuk menemukan cara

dalam meningkatkan efesiensi dana memobilisasi sumber dana. Kelebihan utama

dari pendekatan ini adalah outcome lebih mudah diukur jika dibandingkan dengan

2
Cost-Benefit Analysis (CBA), karena outcome kesehatan selalu dicatat atau

dievaluasi dalam uji klinik maupun praktek klinik (Andayani, 2013).

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang bertujuan untuk mengetahui Cost-effectiveness terapi pada

penderita demam tifoid dengan melakukan kajian literatur beberapa literatur yang

isi penelitiannya dilakukan di indonesia. Sehingga dapat memberikan masukan

mengenai pembiayaan pelayanan kesehatan. Pembiayaan dalam hal ini mencakup

bagaimana mendapatkan terapi yang efektif dan bagaimana dapat menghemat

pembiayaan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas maka adapun

rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut :

1. Apa saja karakteristik penderita demam tifoid di Indonesia ?

2. Apa saja biaya yang digunakan pada pasien Demam Tifoid di Indonesia?

3. Manakah terapi yang paling Cost Effectiveness pada pasien Demam Tifoid

di Indonesia pada masing-masing literatur yang diperoleh?

4. Apa saja outcome yang digunakan pada efektivitas biaya pasien Demam

Tifoid di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan maka tujuan dalam

penelitian ini yaitu sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa saja karakteristik penderita demam tifoid di

Indonesia.

3
2. Untuk mengetahui biaya apa saja yang digunakan pada pasien Demam

Tifoid di Indonesia.

3. Untuk mengetahui terapi yang paling Cost Effectiveness pada pasien

Demam Tifoid di Indonesia pada masing-masing literatur yang diperoleh?

4. Untuk mengetahui outcome yang digunakan pada efektivitas biaya pasien

Demam Tifoid di Indonesia

1.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti merumuskan hipotesis dalam

penelitian adalah terdapat perbandingan biaya efektivitas pada pasien demam tifoid

di Indonesia

1.5 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian pasti dapat memberikan manfaat bagi objek yang diteliti

untuk pengembangan ilmu. Manfaat yang dapat diperoleh bagi beberapa pihak dari

penelitian ini antara lain :

1.5.1 Bagi Penulis

Sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan wawasan yang

berhubungan dengan kajian literatur Cost Effectiveness Analysis Pada Pasien

Demam Tifoid Di Indonesia serta menambah pengalaman dibidang penelitian dan

penulisan ilmiah.

1.5.2 Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai referensi dan informasi tentang kajian literatur Cost Effectiveness

Analysis Pada Pasien Demam Tifoid Di Indonesia.

4
1.5.3 Bagi masyarakat

Dapat memberikan gambaran serta informasi sebagai acuan pembiayaan

dalam pemilihan terapi pada pasien Demam Tifoid.

5
BAB II

METODE PENELITIAN

2.1 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kajian Literatur atau

Literature Review. ) Kajian literatur (Penelitian kepustakaan, literatur review,

literatur research) merupakan penelitian yang mengkaji atau meninjau secara kritis

pengetahuan, gagasan, atau temuan yang terdapat di dalam tubuh literatur

berorientasi akademik (academic-oriented literature), serta merumuskan kontribusi

teoritis dan metodologisnya untuk topik tertentu, Cooper (2010).

Kajian literatur merupakan alat yang penting sebagai contact review,

karena literatur sangat berguna dan sangat membantu dalam memberikan konteks

dan arti dalam penulisan yang sedang dilakukan. Melalui kajian literatur, peneliti

dapat menyatakan secara eksplisit dan pembaca mengetahui mengapa hal yang

ingin diteliti merupakan masalah yang memang harus diteliti, baik dari segi subjek

yang akan diteliti dan lingkungan manapun dengan penelitian lain yang relevan,

Afifuddin (2012).

Penelitian kajian literatur ini dilakukan karena adanya social distancing

(menjaga jarak) yang tidak memungkinkan untuk melakukan penelitian secara

langsung. Adapun sifat dari penelitian ini adalah analisis deskriptif, yakni

penguraian secara teratur data yang telah diperoleh, kemudian diberikan

pemahaman dan penjelasan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.

Diharapkan dengan menggunakan metode kajian literatur ini dapat

menggambarkan Cost Effectiveness Analysis Pada Pasien Demam Tifoid Di

Indonesia.

6
2.2 Sumber Data

Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

merupakan data yang diperoleh bukan dari pengamatan langsung (non

eksperimental). Sumber data sekunder merupakan sumber data yang diperoleh

dengan cara membaca dan memahami melalui media lain yang bersumber dari

literatur, buku-buku, serta dokumen (Sugiyono 2012).

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari pencarian literatur melalui

Google Scholar, Pubmed, Garuda, Science Direct, Microsoft Academic dengan kata

kunci ("analisis efektif biaya" atau "cost effective analysis tifoid" atau “cost tifoid”

atau cost typhoid atau “tifoid di Indonesia” atau “biaya tifoid” atau “Salmonella

typhi” atau “demam tifoid” dan “Cost Effectiveness Analysis Pada Pasien Demam

Tifoid”). Sampel dalam penelitian kajian litertaur ini memenuhi kriteria inklusi

yaitu literatur dipublikasikan pada tahun (2015-2020).

2.3 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan November 2020-Januari 2021

2.4 Pengumpulan Data

Setelah mengumpulkan data melalui database. Proses pencarian literatur di

spesifikasi dengan beberapa kriteria sebagai berikut :

2.4.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota

populasi yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo, 2010) . Kriteria

inklusi yang harus dipenuhi sebagai berikut :

7
1. Rentang waktu penerbitan literatur maksimal 5 tahun terakhir (2015-

2020).

2. Literatur penelitian original (bukan review penelitian).

3. Penelitian dalam literatur tersebut dilakukan di Indonesia.

4. Literatur penelitian dalam bentuk full text.

5. Penelitian yang berkaitan dengan cost effectiveness Pada Pasien Demam

Tifoid Di Indonesia.

2.4.2 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek

yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,

2015). Kriteria eksklusinya sebagai berikut:

1. Literatur yang diperoleh tidak membahas tentang Cost Effectiveness

Analysis Pada Pasien Demam Tifoid Di Indonesia.

2. Tahun terbit literatur dibawah 2015.

3. Literatur tidak dalam bentuk full text sehingga tidak dapat diakses.

2.5 Analisa Data

Setelah didapatkan literatur sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi maka

dilakukan penyaringan dengan analisis menggunakan metode PICO (Problem,

Intervetion, Copmparisson, Outcome). Problem merupakan pasien, populasi, dan

masalah yang akan diangkat dalam penelitian, Intervention merupakan paparan

yang angkat diangkat dalam penelitian, Comparisson merupakan perbandingan atau

intervensi yang ingin dibandingkan dengan paparan pada penelitian, Outcome

merupakan target yang ingin dicapai dari suatu penelitian. Dengan demikian

metode PICO dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

8
P = Pasien demam tifoid

I = Terapi obat

C = Efektivitas perbandingan terapi

O = Outcome atau Hasil

(Cooke et al.,2012)

Kemudian dilakukan analisa data menggunakan Metode Naratif dengan

mengelompokkan data-data literatur penelitian yang sesuai dengan kriteria inklusi

kemudian dikumpulkan dan dibuat ringkasan literatur meliputi nama peneliti, tahun

terbit literatur, negara penelitian,judul penelitian,metode dan ringkasan hasil atau

temuan. Ringkasan literatur penelitian tersebut dimasukan ke dalam tabel diurutkan

sesuai alphabet dan tahun terbit literatur dan sesuai dengan format tersebut di atas.

Untuk lebih memperjelas analisis abstrak dan full text literatur dibaca dan

dicermati. Kemudian dilakukan analisis terhadap isi yang terdapat dalam tujuan

penelitian dan hasil temuan penelitian.

Selanjutnya dilakukan koding terhadap isi literatur yang akan dikaji

berdasarkan garis besar sesuai dari inti penelitian tersebut. Jika sudah terkumpul

dicari persamaan dan perbedaan pada masing-masing literatur penelitian lalu

dibahas untuk menarik kesimpulan.

9
2.6 Etika Penelitian

Etika Penelitian Dalam melakukan penelitian dengan literatur review,

terdapat beberapa etika dalam penelitian. Menurut Wager & Wiffes (2011)

mengatakan terdapat beberapa standar etik untuk penelitian, yaitu:

1. Hindari duplikat yang berlebihan dengan cara menyeleksi artikel yang

sama pada setiap publikasi yang digunakan supaya tidak double

counting.

2. Memastikan ekstraksi data yang akurat dengan membaca kembali

secara berulang karya tulis ilmiah yang disertakan untuk menemukan

duplikat publikasi.

3. Menghindari plagiarism (plagiat) merupakan perbuatan yang serius

dikarenakan mengambil karya milik orang lain dan diakui sebagai

karyanya sendiri. Tindakan plagiarism ini memberikan dampak pada

disintegritas sivitas akademik dan menurunkan moral pelaku.

4. Pastikan data yang dipublikasikan telah diekstraksi secara akurat dan

tidak adanya indikasi untuk mencondongkan data ke arah tertentu.

5. Adanya transparasi dengan memaparkan segala sesuatu yang terjadi

selama penelitian dengan jelas dan terbuka.

10
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

3.1.1 Alur seleksi penelitian

Pencarian literatur menggunakan kata


kunci melalui Google Scholar, Pubmed,
Garuda, Science Direct, Microsoft
Academic

Literatur yang diperoleh


secara keseluruhan Kriteria eksklusi : Literatur
n =168 Literatur tidak sesuai dengan judul
penelitian, penerbitan
literatur dibawah 5 tahun
terakhir, penelitian yang

Literatur sesuai inklusi dilakukan diluar Indonesia.


n =34 Literatur

Kriteria eksklusi : Terdapat


literatur yang tidak dapat
diakses

Total literatur yang


diperoleh dan dapat diaskes
n =14 Literatur

Gambar 3.1 Alur Seleksi Pemilihan Literatur

11
3.2 PEMBAHASAN

3.2.1 Karakteristik Pasien Demam Tifoid

a. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Gambar 3.2 Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin.

Jenis Kelamin
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

Laki-laki Perempuan

Hasil penelitian dari 14 literatur yang diperoleh pada tabel.1 dapat

dilihat juga dari Gambar 3.2 menunjukkan bahwa pasien laki-laki dengan

persentase terbanyak yang menderita demam tifoid didapatkan dalam 8 literatur

penelitian hal ini disebabkan karena laki-laki banyak melakukan aktivitas diluar

rumah sehingga memungkinkan mendapatkan resiko lebih besar dibandingkan

perempuan (Musnelina dkk, 2004). Namun, terdapat 4 literatur penelitian dimana

pasien perempuan memperoleh persentase terbanyak terjadinya demam tifoid

seperti yang terdapat dalam penelitian (Teti, 2017) yang menyatakan bahwa

tingginya insiden demam tifoid pada wanita disebabkan karena kekebalan tubuh

wanita lebih rendah daripada laki-laki. Terdapat 1 literatur yang tidak memaparkan

pasien berdasarkan jenis kelaminnya dan 1 literatur yang memiliki persentase yang

sama antara pasien laki-laki dengan perempuan. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa penyakit demam tifoid dapat dialami siapa saja dan tidak ada perbedaan

12
antara jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Perbedaan jenis kelamin tersebut

tidak ada pengaruh terhadap kerentanan seseorang terinfeksi bakteri penyebab

demam tifoid, karena faktor yang mempengaruhi demam tifoid adalah kondisi

lingkungan hidup dan kualitas makanan yang dikonsumsi seseorang terutama dalam

hal kebersihan (Novita, 2019).

b. Karakteristik pasien berdasarkan usia

Gambar 3.3 Karakteristik pasien demam tifoid berdasarkan usia.

Usia
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%

0-5 Tahun 6-15 Tahun 15-24 Tahun 25-45 Tahun >45 Tahun

Karakteristik pasien demam tifoid berdasarkan usia dapat dilihat pada

Gambar 3.3 dimana rentang usia yang ditemukan dalam setiap literatur berbeda-

beda. Terdapat 2 literatur penelitian yang tidak memaparkan karakteristik pasien

berdasarkan usianya. Namun, usia terbanyak ditemukan pada anak-anak usia 6-15

tahun. Hal ini bisa terjadi karena literatur yang diperoleh merupakan penelitian pada

pasien demam tifoid pada anak. Namun sesuai dari hasil grafik yang diperoleh

bahwapasien demam tifoid lebih rentan terjadi pada anak-anak. Hal ini dikarenakan

pada usia tersebut merupakan masa anak mulai mengenal lingkungan untuk

bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman-temannya sehingga mereka kurang

memperhatikan kebersihan diri, jajan sembarangan yang tidak ketahui

13
kebersihannya sehingga hal-hal tersebut memudahkan tertularnya penyakit demam

tifoid. Lingkungan tersebut berperan besar dalam penyebaran Salmonella typhi

(Castillo, 1995).

c. Karakteristik pasien berdasarkan status pasien

Gambar 3.4 Karakteristik pasien berdasarkan status pasien.

Status
90%
70%
50%
30%
10%
-10%

JKN/BPJS UMUM

Karakteristik pasien demam tifoid berdasarkan status pasien dapat

dilihat pada Grafik 3.4. Terdapat 3 literatur penelitian yang memperoleh data

berdasarkan status pasien. Diperoleh pada 2 literatur bahwa pasien yang

menggunakan JKN (Jaminan kesehatan Masyarakat) atau BPJS (Badan

penyelenggara jaminan social) dibandingkan dengan pasien umum. Namun

ditemukan persamaan persentasi pada penelitian (Ni Made dkk,2019) hal ini

dikarenakan status pasien dibagi berdasarkan terapi yang digunakan yaitu pada

terapi Kloramfenikol pasien umum sebanyak 53,85% dan pasien JKN sebanyak

46,15%, pada terapi Seftriakson pasien umum sebnayak 48,15% dan pasien JKN

51,85%, Pada pengguna terapi Sefiksim pasien umum sebanyak 50% dan pasien

JKN sebanyak 50%. Sehingga pada penelitian (Ni Made dkk,2019) tersebut penulis

membuat total persentase pada keseluruhan tiap status pasien JKN dan pada pasien

14
umum sehingga diperoleh hasil yang seimbang yaitu 50% pada pasien JKN dan

50% pasien umum.

Untuk 11 literatur lainnya tidak mencantumkan atau tidak membahas

tentang karakteristik pasien berdasarkan status pasien namun pada ketiga literatur

dapat dilihat pada Gambar 3.4 bahwa status pasien JKN/BPJS lebih banyak

digunakan. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia No.19 Tahun 2016

tentang JKN menyatakan bahwa akomodasi yang diterima dalam jaminan

kesehatan ditentukan berdasarkan besaran iuran yang dibayarkan, sehingga terdapat

beberapa pasien dengan status pembayaran JKN dirawat inap di kelas perawatan

yang berbeda. Sedangkan, pasien dengan status pembayaran umum dapat memilih

kamar sesuai dengan kemampuan membayar biaya kelas perawatan yang dipilih.

Terdapat faktor yang mempengaruhi perbedaan jumlah pasien yaitu status

kesehatan, asuransi kesehatan/ jaminan kesehatan, tingkat pendapatan, ekonomi

tariff dan kelas perawatan yang tersedia dirumah sakit.

d. Karakteristik pasien berdasarkan antibiotik yang digunakan

Gambar 3.5 Karakteristik pasien berdasarkan antibiotik

Antibiotik
10
Jumlah Literatur

8
6
4
2
0

Antibiotik

15
Penanganan demam tifoid yaitu menggunakan antibiotik. Pemberian

antibiotik pada kasus demam tifoid akan mengurangi komplikasi dan angka

kematian, memperpendek perjalanan penyakit serta memperbaiki gambaran klinis,

salah satunya terjadi penurunan suhu demam (Putu et al.,2020).

Karakteristik pasien berdasarkan antibiotik yang digunakan pada 14

literatur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.5. Penggunaan terbanyak pada

penelitian diperoleh pada penggunaan terapi seftriakson terdapat pada 10 literatur

penelitian. Penggunaan sefotaksim terdapat 6 literatur, khloramfenikol terdapat

pada 5 literatur, sefiksim terdapat pada 5 literatur, siprofloksasin terdapat pada 2

literatur, ampisilin terdapat pada 1 literatur, amoxycilin terdapat pada 1 literatur,

dan thiamfenikol terdapat pada 1 literatur.

Obat yang digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk demam tifoid

yaitu kloramfenikol, ampisilin atau amoksisilin dan kotrikmosazol. Antibiotik

alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid yaitu golongan sefalosporin generasi

ketiga (seftriakson dan sefotaksim secara intravena, sefiksim secara oral) dan

golongan fuoro-kuinolon (Riyato,2011). Penggunaan kloramfenikol masih

merupakan pilihan utama karena efektif murah, mudah didapat dan dapat diberikan

secara oral namun, dilaporkan bahwa adanya resistensi obat ganda terhadap

salmonella typhi selain itu dapat memberikan efek samping berupa penekanan

sumsum tulang dan yang paling banyak ditakuti terjadinya anemia apalstik (tubuh

berhenti memproduski cukup sel darah baru). Maka diperlukan alternatif lain dalam

pengobatan demam tifoid yaitu sefalosporin generasi III (seftriakson, sefotaksim,

sefiksim), fluorokuinolon (siproflosaksin, oflosaksin, perflosaksin) dan azitromisin

(Novie, 2013)

16
3.2.2 Biaya yang Digunakan Pasien Demam Tifoid di Indonesia

Gambar 3.6 Biaya-biaya Medis Langsung

Biaya Medik langsung


15
Jumlah Literatur

10

0
Biaya Biaya Biaya Biaya Tindakan Biaya Rawat Biaya
Pengobatan Laboratorium Pemeriksaan Inap Penunjang

Biaya Medik langsung

Untuk data yang diperlukan pada cost effectivitas analysis maka

diperlukan biaya-biaya yang digunakan sebagai parameter efektivitas dari

pengobatan atau outcome pengobatan. Biaya yang diperoleh dari 14 literatur

penelitian yaitu biaya medik langsung dapat dilihat pada Gambar 3.6 setiap

pembagiannya. Biaya medik langsung merupakan biaya yang terkait langsung

dengan pelayanan kesehatan dan ditanggung oleh pasien selama dirawat inap di

rumah sakit. Diperoleh biaya yang lebih sering digunakan sebagai parameter

efektivitas biaya yaitu pada biaya pengobatan yang terdapat pada 14 literatur

peneltian. Biaya pengobatan merupakan nominal yang dibayarkan untuk

tanggungan yang berasal dari instalsi farmasi meliputi obat antibiotik, obat-obat

yang menunjang untuk penyembuhan gejala demam tifoid dan obat lain digunakan

untuk menyembuhkan selain demam tifoid (Khoirunnisa et al.,2019).

Biaya laboratorium terdapat pada 7 literatur penelitian, biaya

laboratorium merupakan biaya yang dikeluarkan pasien baik untuk menegakkan

diagnosa, kemajuan terapi ataupun menentukan hasil akhir terapi (Abdur et

17
al.,2015). Untuk biaya pemeriksaan terdapat pada 4 literatur penelitian dimana

biaya pemeriksaan merupakan biaya yang dikeluarkan setiap pemeriksaan atau

kunjungan dari dokter. Biaya tindakan medik terdapat pada 3 literatur penelitian

dimana biaya tindakan medik merupakan biaya yang dibayarkan oleh setiap pasien

kepada jasa penanganan medis yang dilakukan oleh dokter, apoteker, dan perawat

selama dirawat dirumah sakit (Khoirunnisa et al.,2019). Untuk biaya perawatan

terdapat pada 8 Literatur penelitian dimana biaya perawatan merupakan biaya yang

dikeluarkan psien untuk mendapatkan fasilitas perawatan berupa kamar perawatan

dan kunjungan dokter serta asupan makan. (Abdur et al.,2015). Kemudian biaya

penunjang lainnya yang seperti biaya administasi, biaya alat kesehatan, biaya

keamanan dan lainnya terdapat pada 3 literatur penelitian.

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan

hilangnya produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya

transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping/ anggota keluarga

yang menemani pasien. (Bootman et al.,2005). Namun pada 14 literatur tidak

terdapat biaya tidak langsung untuk digunakan sebagai parameter penelitian.

Maka, keseluruhan biaya diatas memperoleh biaya total. Biaya total

merupakan seluruh biaya meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung yang

dikeluarkan pasien mulai sejak tanggal masuk hingga tanggal keluar dari Rumah

sakit setelah diizinkan pulang oleh dokter. Biaya total yang digunakan sebagai

parameter untuk menentukan efektivitas biaya pada perbandingan suatu terapi.

18
3.2.3 Analisis terapi cost-effectiveness pada pasien demam tifoid di Indonesia

Tabel 3.1 Hasil Keseluruhan Literatur


Penulis, Intervensi Cost-effectiveness
(tahun)
Olnike et 1. Thiamfenicol 1. Nilai ACER berdasarkan status pasien JKN
al.,(2015) 2. Ceftriaxone pada terapi antibiotik thiamfenicol
3. Cefixime Rp.4.996, ceftriakson Rp.7.821, cefixime
4. Chloramphenicol Rp.12.962, chloramphenicol Rp.947,
5. Amoxycilin amoksisilin Rp.762, ceftriaxone-cefixime
6. Ceftriaxone- Rp.7.892, chloramphenicol-cefixime,
Cefixime Rp.5.865, cefixime-thiamfenicol
7. Chloramphenicol Rp.20.969, chloramphenicol-ceftriaxone
-Cefixime Rp.5.355, dan amoxicillin-cefixime
8. Cefixime- Rp.5.521.
Thiamfenicol 2. Nilai ACER berdasarkan status pasien
9. Chloramphenicol UMUM pada terapi antibiotik thiamfenicol
-Ceftriaxone Rp.16.817, ceftriakson Rp.16.016, cefixime
10. Amoxicillin- Rp.24.546, chloramphenicol Rp.360,
Cefixime ciprofloxacin Rp.872, ceftriaxone-
ampicillin-ciprofloxacin Rp.6.261, dan
amoxicillin-chloramphenicol Rp.1.841.
3. berdasarkan status JKN biaya terendah
adalah pasien yang menggunakan jenis
antibotik amoxicillin dengan nilai ACER
yaitu sebesar Rp.765/hari dengan rata-rata
perawatan 5 hari. Hasil analisis ACER yang
terendah pada status pasien Umum adalah
pasien yang menggunakan jenis antibiotik
chloramphenicol yaitu sebesar Rp.360/hari
dengan rata-rata perawatan 4 hari.

Abdur et 1. Khloramfenikol 1. Nilai ACER untuk penggunaan terapi


al.,(2015) 2. Sefiksim khloramfenikol di ruang Baitun Nisa’2
sebesar Rp.376.775/hari selama 5 hari dan
di ruang Baitun Nisa’3 sebesar
Rp.296.980/hari selama 5,16 hari
2. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
sefiksim di runag Baitun Nisa’2 sebesar
Rp.513.032/hari selama 4.15 hari dan di

19
ruang Baitun Nisa’3 sebesar
Rp.434.108/hari selama 4,60 hari.
3. Penggunaan terapi antibiotik
kloramfenikol lebih cost-effective
dibandingkan dengan kelompook terapi
antibiotik sefiksim. Antibiotic
kloramfenikol di Ruang Baitun Nisa’2
memiliki efektivitas biaya pengobatan
dengan nilai ACER yaitu Rp.376.775/ hari
selama 5 hari dan untuk Ruang baitu Nisa’3
yaitu Rp.296.980/hari selama 5.16 hari.

Teti 1. Seftriakson 1. Nilai ACER untuk penggunaan terapi


Sutriyati., 2. Sefotaksim seftriakson sebesar Rp.1.303.603/hari
(2017) selama 2,8 hari dan untuk penggunaan terapi
sefotaksim sebesar Rp.1.090.814/hari
selama 3,7 hari.
2. Pada posisi didominasi (kolom C)
menunjukan bahwa terapi antibiotik
sefotaksim memiliki efektivitas yang lebih
rendah dengan biaya yang lebih tinggi
sebesar Rp.4.036.015/3,7hari sedangkan
pada posisi dominan (kolom G)
menunjukkan bahwa penggunaan terapi
antibiotik seftriaskon memiliki efektivitas
yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih
rendah sebesar Rp.3.650.091/2,8 hari.
3. Dengan pedoman diagram tersebut dapat
disimpulkan bahwa penggunaan antibiotik
seftriakson lebih cost-effective
dibandingkan dengan penggunaan
sefotaksim. Dimana penggunaan terapi
seftriakson lebih efektif dengan lama rawat
inap 2,8 hari sehingga hanya memerlukan
biaya lebih sedikit dibandingkan
sefotaksim.
4. Penggunaan terapi atibiotik seftriakson
lebih cost-effective yaitu dengan biaya
Rp.3.650.091 dengan lama rawat inap 2,8
hari dibandingkan dengan penggunaan
terapi antibiotik sefotaksim dengan biaya

20
lebih besar yaitu Rp.4.036.015 dengan lama
rawat inap 3,7 hari.
Nurmain 1. Ampisilin 1. Efektivitas terapi dari penggunaan obat
ah et al., 2. Sefotaksim ampisilin sebesar 38% selama 5 hari dan
(2017) untuk terapi sefotaksim sebesar 76% selama
13 hari.
2. Nilai ACER pada terapi sefotaksim sebesar
Rp.1.571.014,474 dan pada terapi ampisilin
sebesar Rp.2.629.026,316.
3. Berdasarkan diagram efektivitas
sefotasksim terletak pada kolom I
(efektivitas tinggi-biaya tinggi)
dibandingkan dengan ampisilin.
Perhitungan ICER terapi ampisilin terhadap
sefotaksim sebesar Rp.513.002,632.
4. Dari hasil persentase (%) efektivitas lama
rawat inap pasien demam tifoid yang
memenuhi target pengobatan selama 4-14
hari. Dari hasil ACER yang diperoleh
menujukkan bahwa pasienn tifoid yang
menggunakan terapi sefotaksim lebih cost-
effective dibandingkan dengan terapi
ampisilin.

Abdur et 1. Sefotaxim 1. Rata-rata biaya total pengobatan pada terapi


al.,(2017) 2. Seftriakson sefotaxim sebesar Rp.1.454.974 dan untuk
terapi seftriakson Rp.1.340.194.
2. Niali ACER pada penggunaan terapi
sefotaksim sebesar Rp.298.810/hari selama
4,93 hari rawat inap dan untuk penggunaan
terapi seftriakson sebesar Rp.314.973/hari
selama 4,23 hari rawat inap.
3. Nilai ACER yang paling rendah adalah
antibiotik sefotaxim yaitu Rp.298.810/hari
dengan rata-rata rawat inap selama 4,93
sehingga lebih cost-effective dibandingkan
dengan antibiotik seftriakson.
Kereh et 1. Cefixime 1. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
al.,(2018) 2. Cefotaxime cefixime sebesar Rp.1.142.113/hari selama
2.23 hari dan penggunaan terapi cefotaxime

21
sebesar Rp.1.185.883/hari selama 2.19 hari
berdasarkan outcome lama rawat inap.
2. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
cefixime sebesar Rp.585.497/hari selama
4,35 hari dan untuk penggunaan cefotaxime
sebesar Rp.592.917/hari selama 4,38 hari
berdasarkan oucome waktu bebas demam.
3. Nilai ICER berdasarkan outcome lama
rawat yaitu Rp.1.668.767/hari dan
berdasarkan outcome waktu bebas demam
yaitu Rp.1.251.575/hari.
4. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa antibiotik cefixime lebih cost-
effective dibandingkan dengan cefotaxime
berdasarkan outcome waktu bebas demam
dan outcome lama rawat.
Amelia et 1. Seftriakson 1. Nilai ACER pada penggunaan terapi
al.,(2018) 2. Kloramfenikol kloramfenikol sebesar Rp.250.045,42/hari
selama 10,22 hari dan penggunaan terapi
seftriakson sebesar Rp.491.140,72/hari
selama 4,27 hari berdasarkan outcome lama
rawat inap.
2. Nilai ACER yang diperoleh untuk
penggunaan terapi kloramfenikol sebesar
Rp.742.867,51/hari selama 3,44 hari dan
penggunaan terapi seftriakson sebesar
Rp.866.599,54/har selama 2,42 hari
berdasarkan outcome waktu bebas demam.
3. Nilai ACER kloramfenikol dan seftriakson
tanpa melibatkan biaya pemakaian kamar
dan biaya tindakan yaitu sebesar Rp.
252.182,25/hari dan Rp. 149.789,95/hari
dimana selisih dari biaya simulasi tersebut
Rp.102.395,30/hari.
4. Hasil ACER menunjukkan bahwa
seftriakson memiliki biaya yang rendah
dengan efektifitas yang tinggi berdasarkan
lama rawat inap dan hilangnya demam.
Hasil analisis menunjukkan terdapat
perbedaan signifikan total biaya antara
penggunaan kloramfenikol dibandingkan
dengan penggunaan seftriakson dalam

22
pengobatan demam tifoid pada pasien
dewasa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seftriakson lebih cost-effective
dibandingkan dengan kloramfenikol.
Khoirunn 1. Seftriaks 1. Nilai ACER berdasarkan penurunan suhu
isa et 2. Ampisilin untuk penggunaan antibiotik ciprofloxacin
al.,(2019) 3. Ciprofloxacin sebesar Rp.56.135,99 dengan suhu 36,42°C,
untuk antibiotik ampisilin sebesar
Rp.46.695,77 dengan suhu 36,70°C dan
untuk antibiotik seftriakson Rp.65.302,87
dengan suhu 36,54°C.
2. Nilai ACER berdasarkam lama rawat inap
untuk penggunaan antibiotik
ciprofloxacacin sebesar Rp.584.135 selama
3,5 hari, untuk antibiotik ampisilin sebesar
Rp.398.543 selama 4,3 hari dan untuk
antibiotik seftriakson sebesar Rp.627.938
selama 3,8 hari.
3. Nilai ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa penggunaan antibiotik ampisilin
lebih efektif dalam menurunkan suhu
demam sebesar 36,70°C dengan biaya
Rp.46.695,77 selama 4,3 hari dengan nilai
ACER yaitu Rp.398.543.
Afdalul 1. Kloramfenikol 1. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
Magfirah. 2. Siprofloksasin kloramfenikol sebesar Rp.14.297,81 selama
, (2019) 12,21 hari dengan biaya perhari sebesar
Rp.174.576,32.
2. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
siprofloksasin sebesar Rp.647,2 selama 5,04
hari dengan biaya perhari sebesar Rp.3.262.
3. Nilai ICER yang diperoleh sebesar
3884,6/pasien.
4. Dari hasil ACER yg diperoleh menunjukkan
bahwa penggunaan yang paling cost-
effective adalah penggunaan terapi
siprofloksasin dibandingkan dengan
penggunaan terapi kloramfenikol.

Nurul et 1. Seftriakson 1. Nilai ACER dari antibiotik seftriakson


al., 2. Sefiksim dengan outcome klinis 31,25% sebesar
(2019) Rp.61.796,06 dan

23
2. Nilai ACER antibiotik sefiksim dengan %
outcome klinis 35,71% sebesar
Rp.60.781,87.
3. Nilai ICER sebesar Rp.53.676,45, yaitu
biaya yang dibutuhkan untuk mencapai 1%
outcome kesembuhan.
4. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa antibiotik sefiksim lebih cost-
effective dibandingkan dengan seftriakson.
Kesimpulan dapat dilihat dari rendahnya
nilai ACER pada sefiksim dengan %
efektivitas yang tinggi.
Agatha et 1.Sefotaksim 1. Nilai ACER Seftriakson sebesar
al.,(2019) 2.Seftriakson Rp.526.609/hari dengan lama rawat inap
selama 4 hari.
2. Nilai ACER sefotaksim sebesar
Rp.484.789/hari dengan lama rawat inap
selama 5,16 hari.
3. Nilai ICER sebesar Rp.340.528,-.
4. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan terapi antibiotik yang memiliki
efektivitas tinggi yaitu terapi antibiotik
seftriakson dibandingkan dengan terapi
antibiotik. Maka jika pasien anak demam
tifoid akan berpindah pengobatan dari
pengobatan sefotaksim ke pengobatan
seftriakson perlu menambahkan biaya ICER
sehingga pengobatan antibiotik seftriakson
lebih efektif dari segi manfaat dan biaya.
Ni Made 1. Kloramfenikol 1. Di ruangan SU Nilai ACER dari
et 2. Seftriakson Kloramfenikol sebesar Rp.848.377/hari
al.,(2019) 3. Sefiksim selama 3 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.272.566/hari selama 2 hari
berdasarkan hilangnya demam, Seftriakson
sebesar Rp.843.660/hari selama 5 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.406.100 selama 3 hari berdasarkan
hilangnya demam dan sefiksim sebesar
Rp.547.189/hari selama 6 hari berdasarkan
lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.722.568/hari selama 2 hari
berdasarkan hilangnya demam.

24
2. Di ruangan S1 Nilai ACER dari
Kloramfenikol sebesar Rp.483.798/hari
selama 4 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.935.193/hari selama 1 hari
berdasarkan hilangnya demam, Seftriakson
sebesar Rp.667.734/hari selama 4 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.112.891 selama 2,4 hari berdasarkan
hilangnya demam dan sefiksim sebesar
Rp.432.770/hari selama 5 hari berdasarkan
lama rawat inap dan sebesar
Rp.2.163.899/hari selama 1 hari
berdasarkan hilangnya demam.
3. Di ruangan S2 Nilai ACER dari
Kloramfenikol sebesar Rp.697.915/hari
selama 3,5 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.395.831/hari selama 1,75
hari berdasarkan hilangnya demam,
Seftriakson sebesar Rp.550.466/hari selama
3,125 hari berdasarkan lama rawat inap dan
sebesar Rp.1.058.589 selama 1,625 hari
berdasarkan hilangnya demam, Sefiksim
sebesar Rp.486.098/hari selama 3,667 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.782.521/hari selama 2,667 hari
berdasarkan hilangnya demam.
4. Di ruangan S3 Nilai ACER dari
Kloramfenikol sebesar Rp.698.089/hari
selama 3,5 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.832.943/hari selama 1,333
hari berdasarkan hilangnya demam,
Seftriakson sebesar Rp.485.036/hari selama
4 hari berdasarkan lama rawat inap dan
sebesar Rp.869.631 selama 4 hari
berdasarkan hilangnya demam, Sefiksim
sebesar Rp.365.937/hari selama 4 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.731.875/hari selama 2 hari berdasarkan
hilangnya demam.
5. Nilai ICER Pada ruangan SU yaitu
Rp.91.382, Pada ruangan S1 yaitu
Rp.51.018 (lama rawat inap) dan

25
Rp.587.358 (hilangnya demam), pada
Ruangan S2 yaitu Rp.118.760 (lama rawat
inap) dan Rp.374.498 (hilangnya demam),
pada Ruangan S3 yaitu Rp.664.304(lama
rawat inap) dan Rp.1.650.777(hilangnya
demam).
6. analisis cost-effectiveness penggunaan
kloramfenikol, seftriakson dan sefiksim
dapat disimpulkan bahwa di ruangan SU,
S1, S2, dan S3 lebih direkomendasikan
penggunaan antibiotik kloramfenikol.
Penggunaan antibiotik seftriakson
direkomendasikan pada pasien demam
tifoid anak si ruangan S2.
Faris et 1. Seftriakson 1. Nilai ACER untuk terapi antibiotik
al.,(2020) 2. Sefotaksim seftriakson sebesar Rp.6.893,00/hari selama
4,93 hari.
2. Nilai ACER untuk terapi antibiotik
sefotaksim sebesar Rp.5.250,00/hari selama
4,29 hari.
3. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa pengobatan menggunakan antibiotik
sefotaksim lebih efektif biaya (cost-
effective) dibandingkan dengan antibiotik
seftrikson.

Shofi et 1. Seftriakson 1. Nilai ACER pada penggunaan terapi


al.,(2020) 2. Sefotaksim seftriakson sebesar Rp.346.357,04/hari
selama 3,53 hari dan penggunaan terapi
sefotaksim sebesar Rp.390.452,88/hari
https://sc selama 3,85 hari berdasarkan rata-rata lama
holar.goo rawat inap.
gle.com/ 2. Nilai ACER yang diperoleh untuk
penggunaan terapi seftriakson sebesar
Rp.447.853,61/hari selama 2,73 hari dan
penggunaan terapi sefotaksim sebesar
Rp.489.655,89/hari selama 3,07 hari
berdasarkan waktu bebas demam.
3. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa antibiotik yang paling cost-effective
adalah antibiotik yang memiliki nilai

26
ACER yang rendah yaitu antibiotik
seftriakson.

Penelitian (Olinke et al.,2015) pada tabel.1 dengan terapi perbandingan

biaya efektivitas yang digunakan pada pasien demam tifoid pada anak di Instalasi

Rawat Inap RSUP Prof.DR.R.D. Kandou manado yaitu Ceftriaxone, Cefixime,

Chloramphenicol, Amoxycilin, Ceftriaxone-Cefixime, Chloramphenicol-Cefixime,

Cefixime-Thiamfenicol, Chloramphenicol-Ceftriaxone, Amoxicillin-Cefixime.

Efektivitas dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan lama rawat inap dengan

status pasien JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan pasien Umum. Nilai ACER

terendah yang diperoleh pada pasien status JKN ialah Amoxycillin sebesar

Rp.762/hari dengan lama perawatan selama 5 hari dan pada pasien Umum ialah

Chloramfenicol sebesar Rp.360/hari dengan lama perawatan selama 4 hari. Hal ini

didukung oleh teori (Sugiarto, 2014) yang menyatakan bahwa amoxicillin dan

chloramphenicol adalah jenis obat generic dimana obat generic dipasarkan dengan

harga jual yang mengesampingkan biaya penelitian dan pengembangan, studi-studi

klinis dan promosi sehingga harga obat generic jauh lebih murah dari obat paten.

Penelitian (Abdur et al.,2015) pada tabel.1dengan terapi perbandingan

efektivitas biaya yang digunakan pada pasien demam tifoid pada anak di Rumah

Sakit Islam Sultan Agung Semarang yaitu Khloramfenikol dan Sefiksim

berdasarkan lama rawat inap dengan menggunakan perbandingan dari dua ruangan

yaitu ruangan Baitun Nisa’2 dan Baitun Nisa’3. Dari hasil penelitian diperoleh

kelompok terapi yang paling cost effective ialah Kloramfenikol dengan nilai ACER

pada ruangan Baitun Nisa’2 sebesar Rp.376.775/ hari selama 5 hari dan untuk

27
Ruang baitu Nisa’3 yaitu Rp.296.980/hari selama 5.16 hari. Perbandingan ini

dilihat dari lama rawat inap dimana kelompok terapi sefiksim lebih efektif dengan

rawat inap 4.15 hari dan 4,60 hari tetapi diperoleh biaya perhari yang lebih tinggi

dibandingkan dengan kelompok terapi kloramfenikol hal ini akan berdampak pada

penurunan harga di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang.

Penelitian (Teti.,2017) pada tabel.1 menggunakan terapi perbandingan

efektivitas biaya pada pasien demam tifoid di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto yaitu

kelompok terapi antibiotik seftriakson dan sefotaksim yang efektivitasnya

berdasarkan rata-rata lama rawat inap. Pertimbangan penentuan kelompok terapi

menggunakan diagram analisis efektivitas biaya. keterangan dalam diagram yaitu

A;kelompok terapi seftriakson dan B;kelompok terapi sefotaksim. Terdapat dua

posisi kolom yaitu pada kolom C (B terhadap A) menunjukkan bahwa kelompok

terapi sefotaksim memiliki efektivitas yang lebih rendah dengan ACER sebesar

Rp.1.090.814/hari dengan biaya total yang lebih tinggi sebesar Rp.3.650.091

selama 3,7 hari dan pada kolom G (A terhadap B) menunjukkan bahwa kelompok

terapi seftriakson memiliki nilai efektivitas yang lebih tinggi dengan ACER sebesar

1.303.603/hari dengan biaya total 4.046.015 selama 2,8 hari. Dari hasil diagram

efektivitasnya dapat disimpulkan bahwa Biaya kelompok seftriakson lebih efektif

dengan lama rawat inap 2,8 hari dengan pengeluaran biaya yang lebih sedikit

meskipun memiliki biaya harian yang lebih mahal. Pemberian seftriakson dalam

jangka pendek membuat biaya lebih sedikit.

Penelitian (Nurmainah et al.,2017) pada tabel.1 dimana pada penelitian

ini terapi perbandingan biaya efektivitas pada pasien anak demam tifoid yaitu

Ampisilin dan Sefotaksim. Pada penelitian ini diagnosis demam tifoid dengan

28
dilakukan dengan uji widal yang menunjukkan bahwa terdapat 1 kali uji sebanyak

80% pasien dan 2 kali uji dilakukan pada 20% pasien anak. Berdasarkan diagram

efektivitas biaya dimana ditemukan sefotaksim pada kolom I (efektivitas yang lebih

tinggi-biaya lebih tinggi) dibandingkan dengan ampisilin. Maka dilakukan

perhitungan nilai ICER/incremental Cost-effectiveness Ratio sebagai biaya

tambahan yang diperlukan jika dilakukan perpindahan terapi dari ampisilin ke

sefotaksim untuk meningkatkan efektivitas penyembuhan demam tifoid dengan

menggunakan sefotaksim. Pada penelitian ini diketahui sefotaksim lebih efektif

dalam mencapai target waktu bebas demamnya selama 4-14 hari dan memiliki nilai

ACER yang rendah dibandingkan dengan ampisilin, sefotaksim memliki spectrum

yang sangat luas dan aktivitas antibakteri sefotaskim lebih kuat dan efek

sampingnya lebih rendah (Fitria dkk.,2014), sehingga dapat disimpulkan bahwa

sefotaksim lebih cost-effective dibandingkan dengan ampisilin.

Penelitian (Abdur et al.,2017) pada tabel.1 menggunakan terapi

perbandingan efektivitas biaya pada pasien demam tifoid anak rawat inap di Rumah

Sakit Islam Sultan Agung Semarang yaitu sefotaxim dan seftriakson. Hasil ACER

yang diperoleh dari penelitian ini pada antibiotik sefotaxim sebesar Rp.298.810/hari

dengan lama rawat inap selama 4,93 hari dan pada antibiotik seftriakson dengan

nilai ACER Rp.314.973/hari dengan lama rawat inap selama 4,23.hari. berdasarkan

nilai ACER terendah diperoleh pada antibitoc sefotaxim. Hal ini sejalan dengan

pendapat (Tjay, 2002) yang menyatakan bahwa penggunaan sefotaksim

direkomendasikan untuk anak-anak dikarenakan sefotaksim termasuk golongan

sefalosporin generasi ketiga yang memiliki spectrum kerja yang luas, aktivitas

antibakteri yang kuat dan memiliki efek samping yang lebih rendah.

29
Penelitian Kereh et al.,(2018) pada tabel.1 melakukan penelitian

perbandingan biaya efektivitas terapi cefixime dan cefotaxime pada pasien demam

tifoid di RSU Pancaran Kasih GMIM Manado. Efektivitas pada penelitian ini

diperoleh berdasarkan rata-rata lama rawat inap dan waktu bebas demam. Dapat

dilihat pada tabel.1 masing-masing nilai ACER yang diperoleh dimana berdasarkan

outcome lama rawat dan waktu bebas demam cefotaxime memilki nilai ACER yang

rendah dengan efektivitas biaya yang rendah sehingga, dilakukan perhitungan

ICER sebagai biaya tambahan apabila dilakukannya perpindahan terapi dari

cefixime ke cefotaxime sebesar Rp.1.251.575/hari waktu bebas demam dan

Rp.1.668.767/hari lama rawat.

Pada penelitian (Amelia et al.,2018) pada tabel.1 dengan perbandingan

efektivitas biaya pada terapi kloramfenikol dan seftriakson pada pasien demam

tifoid di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Diperoleh pengobatan yang cost-effective

dengan metode ACER berdasarkan lama rawat dan hilangnya demam. Hasil ACER

yang diperoleh berdasarkan lama rawat inap dan waktu bebas demam dapat dilihat

pada tabel.1. Dilihat dari masing-masing lama rawat inap dan waktu bebas yang

diperoleh bahwa seftriakson lebih cost-effective dibandingkan dengan

kloramfenikol. Meskipun nilai ACER seftriakson lebih mahal dari kloramfenikol

jika dibandingkan dengan pengeluaran biaya berdasarkan hari lama perawatan

pasien didapatkan pengeluaran biaya dengan terapi seftriakson lebih sedikit

daripada kloramfenikol.

Penelitian (Khoirunnisa et al.,2019) pada tabel.1 menggunakan terapi

Ciprofloksasin, Ampsilin, dan seftriakson pada pasien demam tifoid di RS SMC(

Samarinda Medika Cittra) Periode 2017 untuk dilakukannya perbandingan

30
efektivitas biaya. Efektivitas dalam penelitian ini dapat dilihat berdasarkan dari

lama rawat inap dan penurunan suhu badan pada pasien. Masing-masing nilai

ACER yang diperoleh dapat dilihat pada tabel.1. Dilihat dari nilai ACER paling

rendah dengan penurunan suhu paling baik diperoleh oleh kelompok terapi

Ampisilin dengan penurunan suhu sebesar 36,70°. Dari data lama rawat inap

didapatkan ciprofloxacin memperoleh jangka hari terpendek sekalipun dengan

biaya mahal. Untuk alternatif pengobatan pasien demam tifoid yang memiliki

efektivitas yang lebih tinggi dapat digunakan ciprofloxacin tetapi secara

keseluruhan untuk biaya yang lebih efektif dapat digunakan ampisilin dengan

penurunan suhu paling baik 36,70°C dengan biaya sebesar Rp.46.695,77 dan

berdasarkan lama rawat inap selama 4,3 hari dengan nilai ACER sebesar

Rp.398.543.

Penelitian (Afdalul Magfirah,2019) pada tabel.1 menggunakan terapi

kloramfenikol dan siprofloksasin pada pengobatan tifoid di RSUD Datu Beru Kota

Takengon Aceh Tengah untuk dilakukannya perbandingan efektivitas biaya pada

terapi tersebut. Pada penelitian ini penentuan terapi demam tifoid yang paling

efektif berdasarkan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk setiap penggunaan

antibiotiknya. Dari hasil ACER yang diperoleh untuk penggunaan kloramfenikol

sebesar Rp.14.297,81 selama 12,21 hari dan untuk penggunaan siprofloksasin

sebesar Rp.647,2 selama 5,04 hari. Dari hasil ACER yang diperoleh didapatkan

terapi yang paling cost-effective yaitu siprofloksasin dengan lama perawatan paling

cepat daripada kloraamfenikol. Antibiotik siprofloksasin menurut Kinnear (1971)

bahwa lama perawatannya sangat dianjurkan untuk menghindari komplikasi yang

31
tidak diinginkan. Apabila dilakukannya perpindahan terapi dari siprofloksasin ke

kloramfenikol maka diperlukan biaya tambahan sebesar ICER Rp.3884,6/pasien.

Penelitian (Nurul et al.,2019) pada tabel.1 melakukan penelitian untuk

perbandingan efektivitas biaya dari terapi seftriakson dan sefiksim pada pasien

demam tifoid di RSU Anutapura Palu. Efektivitas yang diukur adalah % outcome

klinis setelah menjalani perawatan. Didapatkan nilai ACER pada antibiotik

seftriakson sebesar 61.769,06 dengan % outcome klinis sebesar 31,25% dan pada

antibiotik sefiksim sebesar Rp.60.781,97 dengan % outcome klinis sebesar 35,71%.

Maka, dilihat dari hasil ACER terendah dan % outcome klinis yang tinggi diperoleh

pada penggunaan antibiotik sefiksim daripada seftriakson. Penggunaan sefiksim

lebih cost-effective daripada seftriakson karena nilai ACER yang rendah atau

penggunaan biaya yang rendah mampu memberikan hasil yang lebih tinggi

efektivitasnya. Jika dilakukannya perpindahan terapi maka dilakukan perhitungan

ICER diperoleh sebesar Rp.53.676,45 sebagai biaya tambahannya.

Peneltian Agatha et al.,(2019) pada tabel.1 menggunakan terapi

seftriakson dan sefotaksim untuk dilakukan perbandingan biaya yang paling

efektivitas pada pasien anak demam tifoid di Rumah Sakit Bhayangkara Manado.

Efektivitas pada penelitian ini dilakukan berdasarkan lama rawat inap dan

dilakukannya perhitungan ACER. Dari data yang diperoleh nilai ACER dari

penggunaan antibiotik seftriakson sebesar Rp.526.609 selama 4 hari dan antibiotik

sefotaksim sebesar Rp.484.789 selama 5,16 hari. Dilihat dari nilai ACER yang

diperoleh sefotaksim lebih rendah dibandingkan seftriakson namun setelah

dianalisis berdasarkan lama rawat inapnya jangka waktu seftriakson lebih singkat

daripada sefotaksim sehingga biaya rata-rata pengggunaan sefiksim tetap lebih

32
tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seftriakson lebih cost-effective

dibandingkan dengan sefotaksim. Dilakukan perhitungan ICER apabila pasien

berpindah pengobatan dari sefotaksim ke seftriakson maka diperlukan biaya

tambahan sebesar Rp.340.524,-.

Penelitian (Ni Made et al.,2019) pada tabel.1 melakukan penelitian

perbandingan efektivitas biaya dari terapi kloramfenikol, seftriakson, dan sefiksim

pada pasien demam tifoid anak di Instalasi Rawat inap Rumah sakit Karsa Husada

Kota Batu pada periode 2016-2018. Efektivitas pada penelitian ini didasarkan pada

lama rawat inap dan hilangnya demam. Dapat dilihat pada tabel.1 nilai ACER

berdasarkan rawat inap dan hilangnya demam dari masing-masing ruangan. Pada

ruangan SU berdasarkan lama rawat inap didapatkan bahwa sefiksim mendapat

nilai ACER yang lebih rendah tetapi memilki efektivitas yang rendah dikarenakan

sefiksim lama rawat inap terlama sehingga diperlukan perhitungan ICER diperoleh

hasil sebesar Rp.91.382 apabila pasien berpindah pengobatan dari sefiksim ke

kloramfenikol yang memiliki efektivitas tinggi dengan lama rawat inap tercepat.

Pada ruangan SU berdasarkan hilangnya demam menunjukkan bahwa terapi

kloramfenikol memiliki nilai ACER terendah dengan efektivitas tinggi selama 2

hari. Pada ruangan S1 berdasarkan lama rawat inap didapatkan bahwa sefiksim

memiliki nilai ACER paling rendah dengan efektivitas yang rendah sehingga

dilakukan perhitungan ICER diperoleh hasil sebesar Rp.51.018 apabila terjadi

perpindahan pengobatan dari seftriakson ke kloramfenikol dan berdasarkan

hilangnya demam didapatkan bahwa seftriakson memiliki nilai ACER terendah

dengan efektivitas yang rendah sehingga dilakukan perhitungan ICER diperoleh

hasil sebesar Rp.587.358 apabila terjadi perpindahan pengobatan dari sefiksim ke

33
kloramfenikol. Pada ruangan S2 berdasarkan lama rawat inap diperoleh nilai ACER

terendah pada antibiotik sefiksim tetapi memiliki nilai efektivitas terendah sehingga

dilakukan perhitungan ICER untuk peningkatan efektivitasnya sehingga diperlukan

biaya tambahan sebesar Rp.118.760 apabila pasien melakukan perpindahan

pengobatan dari sefiksim ke seftriakson dan berdasarkan hilangnya demam

diperoleh nilai ACER terendah pada antibiotik sefiksim dengan nilai efektivitas

rendah sehingga dilakukan perhitungan ICER diperoleh hasilnya sebesar

Rp.374.498.- apabila terjadi perpindahan pengobatan dari sefiksim ke seftriakson.

Pada ruangan S3 berdasarkan lama rawat inap dan lama hilang demam diperoleh

nilai ACER terendah pada antibotik sefiksim dengan efektivitas yang rendah

sehingga keduanya dilakukan perhitungan ICER kemudian diperoleh hasil ICER

sebesar Rp.664.304 berdasarkan lama rawat inap dan hasil sebesar Rp.1.650.777

berdasarkan lama hilang demam masing-masing dari keduanya merupakan

pertamabahan biaya apabila terjadi perpindahan pengobatan dari sefiksim ke

kloramfenikol. Setelah dilakukan analisis menggunakan perhitungan ACERdan

ICER pada masing-masing ruangan maka pada ruangan SU,S1 dan S3

menunjukkan bahwa pemilihan terapi kloramfenikol lebih cost-effective

dibandingakan sefiksim dan seftriakson sedangkan pada ruangan S2 menunjukkan

bahwa seftriakson lebih cost-effective dibandingkan kloramfenikol maupun

sefiksim dimana parameter efektivitasnya dilihat dari cepat lama perawatan yang

diperlukan.

Panelitian (Faris et al.,2020) pada tabel.1 melakukan penelitian

efektivitas biaya dengan perbandingan terapi seftrakson dan sefotaksim pada Pasien

Rawat Inap Demam Tifoid Anak di RSUD Depok. Efektivitas dalam penelitian ini

34
dapat dilihat dari lama rawat inap. Pada tabel.1 dapat dilihat bahwa sefotaksim

memperoleh nilai ACER terendah dengan efektivitas yang tinggi karena memilki

lama rawat inap yang pendek dibandingkan seftriakson.

Penelitian (Shofi et al.,2020) pada tabel.1 menggunakan terapi

seftriakson dan sefotaksim pada pasien demam tifoid anak di Instalasi Rawat Inap

Shofa dan Marwah PKU Karangsem Muhammadiyah Paciran untuk dilakukan

perbandingan efektivitas biaya pada setiap terapi. Efetivitas pada penelitian ini

dilihat dari lama rawat inap pasien dan waktu bebas demam demam yang

menggunakan masing-masing terapi. Pada tabel.1 berdasarkan lama rawat inap

pada penggunaan antibiotik seftriakson memperoleh nilai ACER terendah dengan

efektivitas yang tinggi dibandingkan sefotaksim dan berdasarkan waktu bebas

demam pada penggunaan antibiotik seftriakson memperoleh nilai ACER terendah

dengan efektivitas yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan baik berdasarkan lama

rawat inap maupun waktu bebbas demam seftriakson lenih cost-effective daripada

sefotaksim.

35
3.1.4 Outcome efektivitas biaya pada terapi demam tifoid di Indonesia

Gambar 3.7 Outcome Efektivitas Biaya pada Terapi Demam Tifoid

Lama rawat inap Waktu bebas demam


Suatu intervensi kesehatan efektif bila memberikan hasil yang

diharapkan. Outcome merupakan hasil yang diperoleh dari suatu intervensi

kesehatan (Kementeian kesehatan RI, 2013). Outcome kesehatan diekspresikan

dalam terminologi yang objektif dan terukur seperti jumlah kasus yang diobati,

penurunan tekanan darah yang dinyatakan dalam mmHg, dan lain-lain dan bukan

dalam terminologi moneter (Dewi et al,2014). Penurunan tekanan darah yang

dinyatakan dalam mmHg dimaksud untuk pasien hipertensi. Namun pada pasien

demam tifoid outcome kesehatannya dapat dilihat pada lama perawatan, waktu

bebas demam, dengan hasil laboratorium seperti pada pemeriksaan hematologi

untuk mengetahui jumlah leukosit dalam darah.

Untuk 14 literatur yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 3.7 rata-rata

efektivitas pada penelitian menghasilkan outcome terapi berdasarkan lama rawat

inap dan waktu bebas demam. Outcome dari lama rawat inap diperoleh pada 14

literatur penelitian dan Outcome dari waktu bebas demam diperoleh pada 5 literatur

outcome dari waktu bebas demam atau dari segi penurunan suhu demam

menandakan bahwa apabila pasien demam tifoid tidak mengalami demam lagi

36
merupakan tanda bahwa infeksi oleh bakteri salmonella typhi tidak sebanyak saat

fase awal sakit yang menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Dari segi lamanya rawat

inap pasien demam tifoid menandakan semakin cepat pasien pulang dari rumah

sakit karena dinyatakan sembuh maka menandakan bahwa pengobatan tersebut

lebih efektif dibandingkan pengobatan lainnya. (Khoirunnisa, 2019).

Setelah ditemukan outcome klinis dari setiap penelitian maka dilakukan

perhitungan nilai ACER. Nilai ACER bukan menunjukkan pengurangan biaya

melainkan besarnya optimasi biaya yang dikeluarkan setiap harinya. Lama

perawatan sangat mempengaruhi efektivitas terapi suatu terapi. Semakin lama

perawatan maka semakin tinggi juga biaya yang akan dikeluarkan sehingga

efektivitas biaya semakin rendah. Cost Effectiveness Analysis pada pasien demam

tifoid di Indonesia ditentukan dari intervensi yang memiliki efektivitas paling tinggi

dengan biaya yang rendah.

Kekurangan dalam penelitian yang dikaji ini dimana biaya yang

digunakan hanya biaya langsung saja tidak dengan biaya tidak langsung sehingga

penulis kurang mengetahui biaya yang sesungguhnya dan perbandingan terapi yang

digunakan dalam penelitian ini terlalu banyak sehingga mengakibatkan penulis

sedikit kesulitan dalam memahami setiap literature yang tercantum.

37
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Kajian

Literatur Cost Effectiveness Analysis Pada Pasien Demam Tifoid di Indonesia,

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri

salmonella typhi. Karakteristik pasien demam tifoid berdasarkan jenis

kelamin menunjukkan bahwa lebih banyak diderita oleh laki-laki,

berdasarkan rentang usia paling banyak yaitu 6-15 tahun (anak-anak),

berdasarkan status pasien yaitu pasien pengguna JKN (Jaminan kesehatan

nasional) dan berdasarkan antibiotik yang digunakan sebagai intervensi

dalam analisis efektivitas biaya yaitu pada antibotik seftriakson.

2. Biaya yang digunakan pada pasien demam tifoid untuk memperoleh biaya

total sebagai parameter untuk analisis efektivitas biaya yaitu biaya medis

langsung terdiri dari biaya pengobatan, biaya laboratorium, biaya

pemeriksaan, biaya tindakan, biaya rawat inap, dan biaya penunjang

lainnya.

3. Dalam memperoleh terapi paling cost effective pada setiap literatur

penelitian perlu dilakukan perhitungan ACER (Average cost-effectiveness

ratio), tabel efektivitas biaya dan nilai ICER (incremental cost-effectiveness

ratio) untuk mengetahui biaya tambahan setiap perubahan satu unit

efektivitas biaya.

38
4. Dalam 14 literatur rata-rata efektivitas biaya pada penelitian menghasilkan

outcome terapi yaitu berdasarkan lama rawat inap dan waktu bebas demam.

4.2 SARAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan serta kesimpulan pada

penelitian ini, saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai berikut :

1. Diharapkan semoga penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi

serta pertimbangan dalam pemilihan terapi dengan tatrif biaya yang akan

dikeluarkan sehingga diperolehnya efektivitas biaya pada pasien demam

tifoid disetiap rumah sakit khususnya di Indonesia.

2. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya untuk dapat menjadikan penelitian

ini sebagai pengembangan penelitian khususnya dibidang farmakoekonomi.

39
DAFTAR PUSTAKA

Sutriyati, TT. (2017). Cost-Effectiveness Analysis Terapi Antibiotik Seftriakson


dan Sefotaksim Pada Pasien Tifoid di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto.
Jurnal Entropi. 12(1).

Nurmainah.,Siti Syabriyantini., dan Ressi Susanti. (2017). Efektivitas Biaya


Penggunaan Ampisilin dan Sefotaksim Pada Pasien Anak Demam Tifoid.
Jurnal MKMI.13(2).

Lorensia, A., Queljoe, A., and Dwike, M. (2018). Cost-Effectiveness Analysis


Kloramfenikol dan Seftriakson Untuk Pengobatan Demam Tifoid Pada
Pasien Dewasa Di Rumah Sakit Sanglah Denpasar. Jurnal Media
Pharmaceutica Indonesia. 2(2).

Rosyid, A., Timur W., dan Atikannafirin. (2015). Analisis Efektivitas Biaya
Pengobatan Demam Tifoid Pada Anak Menggunakan Antibiotik
Kloramfenikol dan Sefiksim (Studi Observasi Analitik Di Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang) Periode januari – desember 2015. Media
Farmasi Indonesia. 12(2).

Hazimah, K.,Priastomo, M.,Rusli R. (2019). Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan


Antibiotik pada Pasien Demam Tifoid di RS SMC Periode 2017. Jurnal
Sains Kes. 2(2).

Dewi, DP.,Illahi,RK., Lyrawati, D. (2019). Analisis Cost-Effectiveness


Penggunaan Antibiotik Kloramfenikol, Seftriakson dan Sefiksim Sebagai
Terapi Demam Tifoid Anak. Pharmaceutical Journal Of Indonesia.5(1) :
53-59.

Rosyid,A.,Santoso,A., Andriani, IT.(2017). Analisis Efektivitas Biaya Pengobatan


Penggunaan Sefotaxim Dan Seftriaxon Pada Pasien Demam Tifoid Anak
Rawat Inap Di Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang. ISSN- Online.
2548 – 3897.

Magfirah, A. (2019). Analisis Efektifitas Biaya Kloramfenikol dan Siprofloksasin


Pada Pengobatan Tifoid di RSUD Datu Beru Kota Takengon Aceh Tengah
.Serambi Saintia Jurnal Sains dan Aplikasi. 7.(2).

Haluang, O.,Tjitrosantoso, H.,and Kojong, NS. Analisis biaya penggunaan


antibiotik pada penderita demam tifoid anak di instalasi rawat inap rsup
prof. Dr. R.d. Kandou manado periode januari 2013 - juni 2014. (2015).
Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 4(3).

Beatrix, KMJ.,Citraningtyas, G., Sudewi, S. (2018). Analisis Efektivitas Biaya


Pengobatan Pasien Pediatrik Demam Tifoid Menggunakan Cefixime Dan
Cefotaxime Di Rsu Pancaran Kasih Gmim Manado. Pharmacon Jurnal
Ilmiah Farmasi. 7(2).

40
Agnes, A.,Citraningtyas, G., and Sudewi, S. (2019). Analisis Efektivitas Biaya Pada
Pasien Anak Demam Tifoid Di Rumah Sakit Bhayangkara Manado.
Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 8(2).

Asyari, FM.,Aprillia, CA., and Bahar, M.(2020). Analisa Efektivitas Biaya


Penggunaan Antibiotik Seftriakson dan Sefotaksim Pada Pasien Rawat
Inap Demam Tifoid Anak di RSUD Depok Tahun 2017-2018. Seminar
Nasional Riset Kedokteran (Sensorik).Universitas Pembangunan Nasional
Veteran: Jakarta.

Hidayah, SN.,Hakim, A.,Syahrir, Ach.,and Anggraini, W.(2020). Analisis


efektivitas Biaya Seftriakson pada Pasien Demam Tifoid Anak di Instalasi
Rawat Inap Shofa dan Marwah PKU Karangasem Muhammadiyah Paciran
Tahun 2019. Jurnal Islamic Pharm. 5(2). Halaman:37-47.

Jannah, N.,Ihwan.,and Tandah, MR.(2019). Efektivitas Penggunaan Seftriakson


dan Sefiksim Pada Pasien Demam Tifoid Rawat inap di RSU Anutapura
Palu Periode 2015-2017. Jurnal Ilmiah Medicamento. 5(1). Halaman :45-
60.

Widoyono. (2011). Penyakit Tropis Epidomologi, Penularan, Pencegahan, dan


Pemeberantasannya. Jakarta: PT.Gelora Aksara Pratama.

Septiawan, I., Herawati, S., dan Yasa, I. (2013). Pemeriksaan Immunoglobulin M


Anti Salmonella dalam Diagnosis Demam Tifoid. E-Jurnal Medika
Udayana, 2 (6): 1080-1090.

Purba, I.E., Toni W., Naning N., Stephen N., dan Nyoman K. (2015). Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Media
Litbangkes.26(2): 99-108

Kusumaningrat, I. dan Yasa, I. (2014). Uji Tubex untuk Diagnosis Demam Tifoid
di Laboratorium Klinik Nikki Medika Denpasar. E-Jurnal Medika
Udayana: 3 (1): 22-37.

Marleni, M., Iriani, Y., Tjuandra, W., dan Theodorus. 2014. Ketepatan Uji Tubex
TF® dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-4.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 1 (1): 7-11.

Harti, A. dan Saptorini. (2012). Pemeriksaan Widal Slide untuk Diagnosa Demam
Tifoid. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 3 (2): 1-7.

Susono, Rima F., Sudarso dan Githa F. G. (2014). Cost Effectiveness Analysis
Pengobatan Pasien Demam Tifoid Pediatrik Menggunakan Cefotaxime
Dan Chloramphenicol Di Instalasi Rawat Inap Rsud Prof. Dr. Margono
Soekarjo. Pharmacy 2014;11(1): 88-96.

41
Yusrizal. (2013). Analisis Efektivitas Biaya Kloramfenikol Dan Seftriakson Pada
Pengobatan Pasien Demam Tifoid. Jurnal Analis Kesehatan 2013; 2(1):
227-241.

Purba, I.E., Toni W., Naning N., Stephen N., dan Nyoman K. (2015). Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Media
Litbangkes, 26(2): 99-108.

42

Anda mungkin juga menyukai