3 Bab 1-4 Dapus
3 Bab 1-4 Dapus
3 Bab 1-4 Dapus
PENDAHULUAN
tifoid, yaitu suatu penyakit infeksi sistemik dengan gambaran demam yang
berlangsung lama, adanya bakterimia disertai inflamasi yang dapat merusak usus
dan organ-organ hati. Demam tifoid, penyakit infeksi usus halus yang disebabkan
oleh bakteri Salmonella typhi ini masuk ke dalam tubuh manusia melalui
setiap tahun secara global. Jumlah kasus demam tifoid di seluruh dunia di
perkirakan terdapat 21 juta kasus dengan 128.000 sampai 161.000 kematian setiap
tahun, kasus terbanyak terdapat di Asia Selatan dan Asia Tenggara (WHO, 2018).
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
gambaran klinis demam tifoid dengan beberapa infeksi demam lainnya, dan
penyakit ini juga sering diremehkan karena kurangnya sumber daya laboratorium
1
Biaya pelayanan kesehatan dirasakan semakin meningkat sebagai akibat
dari berbagai faktor, yaitu perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,
dan perubahan ekonomi global. Masalah biaya kesehatan (rumah sakit, dokter, obat,
dan lain-lain) sejak beberapa tahun terakhir telah banyak menarik perhatian, tidak
saja dikalangan dunia kesehatan tetapi juga diluar kalangan dunia kesehatan.
2016).
menentukan pengaruh ekonomi dari alternatif tarapi obat atau intervensi kesehatan
tambahan keuntungan dari suatu intervensi sepadan dengan biaya tambahan dari
segi efektifitas obat maupun dari segi nilai ekonomisnya adalah analisis biaya pada
terapi demam tifoid. Metode farmakoekonomi yang digunakan untuk memilih dan
menilai intervensi yang paling efektif biaya pada beberapa pilihan terapi
dari pendekatan ini adalah outcome lebih mudah diukur jika dibandingkan dengan
2
Cost-Benefit Analysis (CBA), karena outcome kesehatan selalu dicatat atau
penderita demam tifoid dengan melakukan kajian literatur beberapa literatur yang
pembiayaan.
2. Apa saja biaya yang digunakan pada pasien Demam Tifoid di Indonesia?
3. Manakah terapi yang paling Cost Effectiveness pada pasien Demam Tifoid
4. Apa saja outcome yang digunakan pada efektivitas biaya pasien Demam
Tifoid di Indonesia?
Indonesia.
3
2. Untuk mengetahui biaya apa saja yang digunakan pada pasien Demam
Tifoid di Indonesia.
penelitian adalah terdapat perbandingan biaya efektivitas pada pasien demam tifoid
di Indonesia
Setiap penelitian pasti dapat memberikan manfaat bagi objek yang diteliti
untuk pengembangan ilmu. Manfaat yang dapat diperoleh bagi beberapa pihak dari
penulisan ilmiah.
4
1.5.3 Bagi masyarakat
5
BAB II
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kajian Literatur atau
literatur research) merupakan penelitian yang mengkaji atau meninjau secara kritis
karena literatur sangat berguna dan sangat membantu dalam memberikan konteks
dan arti dalam penulisan yang sedang dilakukan. Melalui kajian literatur, peneliti
dapat menyatakan secara eksplisit dan pembaca mengetahui mengapa hal yang
ingin diteliti merupakan masalah yang memang harus diteliti, baik dari segi subjek
yang akan diteliti dan lingkungan manapun dengan penelitian lain yang relevan,
Afifuddin (2012).
langsung. Adapun sifat dari penelitian ini adalah analisis deskriptif, yakni
pemahaman dan penjelasan agar dapat dipahami dengan baik oleh pembaca.
Indonesia.
6
2.2 Sumber Data
Sumber data dari penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder
dengan cara membaca dan memahami melalui media lain yang bersumber dari
Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari pencarian literatur melalui
Google Scholar, Pubmed, Garuda, Science Direct, Microsoft Academic dengan kata
kunci ("analisis efektif biaya" atau "cost effective analysis tifoid" atau “cost tifoid”
atau cost typhoid atau “tifoid di Indonesia” atau “biaya tifoid” atau “Salmonella
typhi” atau “demam tifoid” dan “Cost Effectiveness Analysis Pada Pasien Demam
Tifoid”). Sampel dalam penelitian kajian litertaur ini memenuhi kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota
7
1. Rentang waktu penerbitan literatur maksimal 5 tahun terakhir (2015-
2020).
Tifoid Di Indonesia.
yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Nursalam,
3. Literatur tidak dalam bentuk full text sehingga tidak dapat diakses.
Setelah didapatkan literatur sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi maka
merupakan target yang ingin dicapai dari suatu penelitian. Dengan demikian
8
P = Pasien demam tifoid
I = Terapi obat
(Cooke et al.,2012)
kemudian dikumpulkan dan dibuat ringkasan literatur meliputi nama peneliti, tahun
sesuai alphabet dan tahun terbit literatur dan sesuai dengan format tersebut di atas.
Untuk lebih memperjelas analisis abstrak dan full text literatur dibaca dan
dicermati. Kemudian dilakukan analisis terhadap isi yang terdapat dalam tujuan
berdasarkan garis besar sesuai dari inti penelitian tersebut. Jika sudah terkumpul
9
2.6 Etika Penelitian
terdapat beberapa etika dalam penelitian. Menurut Wager & Wiffes (2011)
counting.
duplikat publikasi.
10
BAB III
3.1 HASIL
11
3.2 PEMBAHASAN
Jenis Kelamin
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Laki-laki Perempuan
dilihat juga dari Gambar 3.2 menunjukkan bahwa pasien laki-laki dengan
penelitian hal ini disebabkan karena laki-laki banyak melakukan aktivitas diluar
seperti yang terdapat dalam penelitian (Teti, 2017) yang menyatakan bahwa
tingginya insiden demam tifoid pada wanita disebabkan karena kekebalan tubuh
wanita lebih rendah daripada laki-laki. Terdapat 1 literatur yang tidak memaparkan
pasien berdasarkan jenis kelaminnya dan 1 literatur yang memiliki persentase yang
bahwa penyakit demam tifoid dapat dialami siapa saja dan tidak ada perbedaan
12
antara jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Perbedaan jenis kelamin tersebut
demam tifoid, karena faktor yang mempengaruhi demam tifoid adalah kondisi
lingkungan hidup dan kualitas makanan yang dikonsumsi seseorang terutama dalam
Usia
100%
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
0-5 Tahun 6-15 Tahun 15-24 Tahun 25-45 Tahun >45 Tahun
Gambar 3.3 dimana rentang usia yang ditemukan dalam setiap literatur berbeda-
berdasarkan usianya. Namun, usia terbanyak ditemukan pada anak-anak usia 6-15
tahun. Hal ini bisa terjadi karena literatur yang diperoleh merupakan penelitian pada
pasien demam tifoid pada anak. Namun sesuai dari hasil grafik yang diperoleh
bahwapasien demam tifoid lebih rentan terjadi pada anak-anak. Hal ini dikarenakan
pada usia tersebut merupakan masa anak mulai mengenal lingkungan untuk
13
kebersihannya sehingga hal-hal tersebut memudahkan tertularnya penyakit demam
(Castillo, 1995).
Status
90%
70%
50%
30%
10%
-10%
JKN/BPJS UMUM
dilihat pada Grafik 3.4. Terdapat 3 literatur penelitian yang memperoleh data
ditemukan persamaan persentasi pada penelitian (Ni Made dkk,2019) hal ini
dikarenakan status pasien dibagi berdasarkan terapi yang digunakan yaitu pada
terapi Kloramfenikol pasien umum sebanyak 53,85% dan pasien JKN sebanyak
46,15%, pada terapi Seftriakson pasien umum sebnayak 48,15% dan pasien JKN
51,85%, Pada pengguna terapi Sefiksim pasien umum sebanyak 50% dan pasien
JKN sebanyak 50%. Sehingga pada penelitian (Ni Made dkk,2019) tersebut penulis
membuat total persentase pada keseluruhan tiap status pasien JKN dan pada pasien
14
umum sehingga diperoleh hasil yang seimbang yaitu 50% pada pasien JKN dan
tentang karakteristik pasien berdasarkan status pasien namun pada ketiga literatur
dapat dilihat pada Gambar 3.4 bahwa status pasien JKN/BPJS lebih banyak
beberapa pasien dengan status pembayaran JKN dirawat inap di kelas perawatan
yang berbeda. Sedangkan, pasien dengan status pembayaran umum dapat memilih
kamar sesuai dengan kemampuan membayar biaya kelas perawatan yang dipilih.
Antibiotik
10
Jumlah Literatur
8
6
4
2
0
Antibiotik
15
Penanganan demam tifoid yaitu menggunakan antibiotik. Pemberian
antibiotik pada kasus demam tifoid akan mengurangi komplikasi dan angka
literatur penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.5. Penggunaan terbanyak pada
Obat yang digunakan sebagai pengobatan lini pertama untuk demam tifoid
alternatif lain untuk pengobatan demam tifoid yaitu golongan sefalosporin generasi
ketiga (seftriakson dan sefotaksim secara intravena, sefiksim secara oral) dan
merupakan pilihan utama karena efektif murah, mudah didapat dan dapat diberikan
secara oral namun, dilaporkan bahwa adanya resistensi obat ganda terhadap
salmonella typhi selain itu dapat memberikan efek samping berupa penekanan
sumsum tulang dan yang paling banyak ditakuti terjadinya anemia apalstik (tubuh
berhenti memproduski cukup sel darah baru). Maka diperlukan alternatif lain dalam
(Novie, 2013)
16
3.2.2 Biaya yang Digunakan Pasien Demam Tifoid di Indonesia
10
0
Biaya Biaya Biaya Biaya Tindakan Biaya Rawat Biaya
Pengobatan Laboratorium Pemeriksaan Inap Penunjang
penelitian yaitu biaya medik langsung dapat dilihat pada Gambar 3.6 setiap
dengan pelayanan kesehatan dan ditanggung oleh pasien selama dirawat inap di
rumah sakit. Diperoleh biaya yang lebih sering digunakan sebagai parameter
efektivitas biaya yaitu pada biaya pengobatan yang terdapat pada 14 literatur
tanggungan yang berasal dari instalsi farmasi meliputi obat antibiotik, obat-obat
yang menunjang untuk penyembuhan gejala demam tifoid dan obat lain digunakan
17
al.,2015). Untuk biaya pemeriksaan terdapat pada 4 literatur penelitian dimana
kunjungan dari dokter. Biaya tindakan medik terdapat pada 3 literatur penelitian
dimana biaya tindakan medik merupakan biaya yang dibayarkan oleh setiap pasien
kepada jasa penanganan medis yang dilakukan oleh dokter, apoteker, dan perawat
terdapat pada 8 Literatur penelitian dimana biaya perawatan merupakan biaya yang
dan kunjungan dokter serta asupan makan. (Abdur et al.,2015). Kemudian biaya
penunjang lainnya yang seperti biaya administasi, biaya alat kesehatan, biaya
merupakan seluruh biaya meliputi biaya langsung dan biaya tidak langsung yang
dikeluarkan pasien mulai sejak tanggal masuk hingga tanggal keluar dari Rumah
sakit setelah diizinkan pulang oleh dokter. Biaya total yang digunakan sebagai
18
3.2.3 Analisis terapi cost-effectiveness pada pasien demam tifoid di Indonesia
19
ruang Baitun Nisa’3 sebesar
Rp.434.108/hari selama 4,60 hari.
3. Penggunaan terapi antibiotik
kloramfenikol lebih cost-effective
dibandingkan dengan kelompook terapi
antibiotik sefiksim. Antibiotic
kloramfenikol di Ruang Baitun Nisa’2
memiliki efektivitas biaya pengobatan
dengan nilai ACER yaitu Rp.376.775/ hari
selama 5 hari dan untuk Ruang baitu Nisa’3
yaitu Rp.296.980/hari selama 5.16 hari.
20
lebih besar yaitu Rp.4.036.015 dengan lama
rawat inap 3,7 hari.
Nurmain 1. Ampisilin 1. Efektivitas terapi dari penggunaan obat
ah et al., 2. Sefotaksim ampisilin sebesar 38% selama 5 hari dan
(2017) untuk terapi sefotaksim sebesar 76% selama
13 hari.
2. Nilai ACER pada terapi sefotaksim sebesar
Rp.1.571.014,474 dan pada terapi ampisilin
sebesar Rp.2.629.026,316.
3. Berdasarkan diagram efektivitas
sefotasksim terletak pada kolom I
(efektivitas tinggi-biaya tinggi)
dibandingkan dengan ampisilin.
Perhitungan ICER terapi ampisilin terhadap
sefotaksim sebesar Rp.513.002,632.
4. Dari hasil persentase (%) efektivitas lama
rawat inap pasien demam tifoid yang
memenuhi target pengobatan selama 4-14
hari. Dari hasil ACER yang diperoleh
menujukkan bahwa pasienn tifoid yang
menggunakan terapi sefotaksim lebih cost-
effective dibandingkan dengan terapi
ampisilin.
21
sebesar Rp.1.185.883/hari selama 2.19 hari
berdasarkan outcome lama rawat inap.
2. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
cefixime sebesar Rp.585.497/hari selama
4,35 hari dan untuk penggunaan cefotaxime
sebesar Rp.592.917/hari selama 4,38 hari
berdasarkan oucome waktu bebas demam.
3. Nilai ICER berdasarkan outcome lama
rawat yaitu Rp.1.668.767/hari dan
berdasarkan outcome waktu bebas demam
yaitu Rp.1.251.575/hari.
4. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa antibiotik cefixime lebih cost-
effective dibandingkan dengan cefotaxime
berdasarkan outcome waktu bebas demam
dan outcome lama rawat.
Amelia et 1. Seftriakson 1. Nilai ACER pada penggunaan terapi
al.,(2018) 2. Kloramfenikol kloramfenikol sebesar Rp.250.045,42/hari
selama 10,22 hari dan penggunaan terapi
seftriakson sebesar Rp.491.140,72/hari
selama 4,27 hari berdasarkan outcome lama
rawat inap.
2. Nilai ACER yang diperoleh untuk
penggunaan terapi kloramfenikol sebesar
Rp.742.867,51/hari selama 3,44 hari dan
penggunaan terapi seftriakson sebesar
Rp.866.599,54/har selama 2,42 hari
berdasarkan outcome waktu bebas demam.
3. Nilai ACER kloramfenikol dan seftriakson
tanpa melibatkan biaya pemakaian kamar
dan biaya tindakan yaitu sebesar Rp.
252.182,25/hari dan Rp. 149.789,95/hari
dimana selisih dari biaya simulasi tersebut
Rp.102.395,30/hari.
4. Hasil ACER menunjukkan bahwa
seftriakson memiliki biaya yang rendah
dengan efektifitas yang tinggi berdasarkan
lama rawat inap dan hilangnya demam.
Hasil analisis menunjukkan terdapat
perbedaan signifikan total biaya antara
penggunaan kloramfenikol dibandingkan
dengan penggunaan seftriakson dalam
22
pengobatan demam tifoid pada pasien
dewasa. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seftriakson lebih cost-effective
dibandingkan dengan kloramfenikol.
Khoirunn 1. Seftriaks 1. Nilai ACER berdasarkan penurunan suhu
isa et 2. Ampisilin untuk penggunaan antibiotik ciprofloxacin
al.,(2019) 3. Ciprofloxacin sebesar Rp.56.135,99 dengan suhu 36,42°C,
untuk antibiotik ampisilin sebesar
Rp.46.695,77 dengan suhu 36,70°C dan
untuk antibiotik seftriakson Rp.65.302,87
dengan suhu 36,54°C.
2. Nilai ACER berdasarkam lama rawat inap
untuk penggunaan antibiotik
ciprofloxacacin sebesar Rp.584.135 selama
3,5 hari, untuk antibiotik ampisilin sebesar
Rp.398.543 selama 4,3 hari dan untuk
antibiotik seftriakson sebesar Rp.627.938
selama 3,8 hari.
3. Nilai ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa penggunaan antibiotik ampisilin
lebih efektif dalam menurunkan suhu
demam sebesar 36,70°C dengan biaya
Rp.46.695,77 selama 4,3 hari dengan nilai
ACER yaitu Rp.398.543.
Afdalul 1. Kloramfenikol 1. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
Magfirah. 2. Siprofloksasin kloramfenikol sebesar Rp.14.297,81 selama
, (2019) 12,21 hari dengan biaya perhari sebesar
Rp.174.576,32.
2. Nilai ACER untuk penggunaan terapi
siprofloksasin sebesar Rp.647,2 selama 5,04
hari dengan biaya perhari sebesar Rp.3.262.
3. Nilai ICER yang diperoleh sebesar
3884,6/pasien.
4. Dari hasil ACER yg diperoleh menunjukkan
bahwa penggunaan yang paling cost-
effective adalah penggunaan terapi
siprofloksasin dibandingkan dengan
penggunaan terapi kloramfenikol.
23
2. Nilai ACER antibiotik sefiksim dengan %
outcome klinis 35,71% sebesar
Rp.60.781,87.
3. Nilai ICER sebesar Rp.53.676,45, yaitu
biaya yang dibutuhkan untuk mencapai 1%
outcome kesembuhan.
4. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa antibiotik sefiksim lebih cost-
effective dibandingkan dengan seftriakson.
Kesimpulan dapat dilihat dari rendahnya
nilai ACER pada sefiksim dengan %
efektivitas yang tinggi.
Agatha et 1.Sefotaksim 1. Nilai ACER Seftriakson sebesar
al.,(2019) 2.Seftriakson Rp.526.609/hari dengan lama rawat inap
selama 4 hari.
2. Nilai ACER sefotaksim sebesar
Rp.484.789/hari dengan lama rawat inap
selama 5,16 hari.
3. Nilai ICER sebesar Rp.340.528,-.
4. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan terapi antibiotik yang memiliki
efektivitas tinggi yaitu terapi antibiotik
seftriakson dibandingkan dengan terapi
antibiotik. Maka jika pasien anak demam
tifoid akan berpindah pengobatan dari
pengobatan sefotaksim ke pengobatan
seftriakson perlu menambahkan biaya ICER
sehingga pengobatan antibiotik seftriakson
lebih efektif dari segi manfaat dan biaya.
Ni Made 1. Kloramfenikol 1. Di ruangan SU Nilai ACER dari
et 2. Seftriakson Kloramfenikol sebesar Rp.848.377/hari
al.,(2019) 3. Sefiksim selama 3 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.272.566/hari selama 2 hari
berdasarkan hilangnya demam, Seftriakson
sebesar Rp.843.660/hari selama 5 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.406.100 selama 3 hari berdasarkan
hilangnya demam dan sefiksim sebesar
Rp.547.189/hari selama 6 hari berdasarkan
lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.722.568/hari selama 2 hari
berdasarkan hilangnya demam.
24
2. Di ruangan S1 Nilai ACER dari
Kloramfenikol sebesar Rp.483.798/hari
selama 4 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.935.193/hari selama 1 hari
berdasarkan hilangnya demam, Seftriakson
sebesar Rp.667.734/hari selama 4 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.112.891 selama 2,4 hari berdasarkan
hilangnya demam dan sefiksim sebesar
Rp.432.770/hari selama 5 hari berdasarkan
lama rawat inap dan sebesar
Rp.2.163.899/hari selama 1 hari
berdasarkan hilangnya demam.
3. Di ruangan S2 Nilai ACER dari
Kloramfenikol sebesar Rp.697.915/hari
selama 3,5 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.395.831/hari selama 1,75
hari berdasarkan hilangnya demam,
Seftriakson sebesar Rp.550.466/hari selama
3,125 hari berdasarkan lama rawat inap dan
sebesar Rp.1.058.589 selama 1,625 hari
berdasarkan hilangnya demam, Sefiksim
sebesar Rp.486.098/hari selama 3,667 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.1.782.521/hari selama 2,667 hari
berdasarkan hilangnya demam.
4. Di ruangan S3 Nilai ACER dari
Kloramfenikol sebesar Rp.698.089/hari
selama 3,5 hari berdasarkan lama rawat inap
dan sebesar Rp.1.832.943/hari selama 1,333
hari berdasarkan hilangnya demam,
Seftriakson sebesar Rp.485.036/hari selama
4 hari berdasarkan lama rawat inap dan
sebesar Rp.869.631 selama 4 hari
berdasarkan hilangnya demam, Sefiksim
sebesar Rp.365.937/hari selama 4 hari
berdasarkan lama rawat inap dan sebesar
Rp.731.875/hari selama 2 hari berdasarkan
hilangnya demam.
5. Nilai ICER Pada ruangan SU yaitu
Rp.91.382, Pada ruangan S1 yaitu
Rp.51.018 (lama rawat inap) dan
25
Rp.587.358 (hilangnya demam), pada
Ruangan S2 yaitu Rp.118.760 (lama rawat
inap) dan Rp.374.498 (hilangnya demam),
pada Ruangan S3 yaitu Rp.664.304(lama
rawat inap) dan Rp.1.650.777(hilangnya
demam).
6. analisis cost-effectiveness penggunaan
kloramfenikol, seftriakson dan sefiksim
dapat disimpulkan bahwa di ruangan SU,
S1, S2, dan S3 lebih direkomendasikan
penggunaan antibiotik kloramfenikol.
Penggunaan antibiotik seftriakson
direkomendasikan pada pasien demam
tifoid anak si ruangan S2.
Faris et 1. Seftriakson 1. Nilai ACER untuk terapi antibiotik
al.,(2020) 2. Sefotaksim seftriakson sebesar Rp.6.893,00/hari selama
4,93 hari.
2. Nilai ACER untuk terapi antibiotik
sefotaksim sebesar Rp.5.250,00/hari selama
4,29 hari.
3. Hasil ACER yang diperoleh menunjukkan
bahwa pengobatan menggunakan antibiotik
sefotaksim lebih efektif biaya (cost-
effective) dibandingkan dengan antibiotik
seftrikson.
26
ACER yang rendah yaitu antibiotik
seftriakson.
biaya efektivitas yang digunakan pada pasien demam tifoid pada anak di Instalasi
Efektivitas dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan lama rawat inap dengan
status pasien JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) dan pasien Umum. Nilai ACER
terendah yang diperoleh pada pasien status JKN ialah Amoxycillin sebesar
Rp.762/hari dengan lama perawatan selama 5 hari dan pada pasien Umum ialah
Chloramfenicol sebesar Rp.360/hari dengan lama perawatan selama 4 hari. Hal ini
didukung oleh teori (Sugiarto, 2014) yang menyatakan bahwa amoxicillin dan
chloramphenicol adalah jenis obat generic dimana obat generic dipasarkan dengan
klinis dan promosi sehingga harga obat generic jauh lebih murah dari obat paten.
efektivitas biaya yang digunakan pada pasien demam tifoid pada anak di Rumah
berdasarkan lama rawat inap dengan menggunakan perbandingan dari dua ruangan
yaitu ruangan Baitun Nisa’2 dan Baitun Nisa’3. Dari hasil penelitian diperoleh
kelompok terapi yang paling cost effective ialah Kloramfenikol dengan nilai ACER
pada ruangan Baitun Nisa’2 sebesar Rp.376.775/ hari selama 5 hari dan untuk
27
Ruang baitu Nisa’3 yaitu Rp.296.980/hari selama 5.16 hari. Perbandingan ini
dilihat dari lama rawat inap dimana kelompok terapi sefiksim lebih efektif dengan
rawat inap 4.15 hari dan 4,60 hari tetapi diperoleh biaya perhari yang lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok terapi kloramfenikol hal ini akan berdampak pada
efektivitas biaya pada pasien demam tifoid di RSUD Dr.M.M Dunda Limboto yaitu
terapi sefotaksim memiliki efektivitas yang lebih rendah dengan ACER sebesar
selama 3,7 hari dan pada kolom G (A terhadap B) menunjukkan bahwa kelompok
terapi seftriakson memiliki nilai efektivitas yang lebih tinggi dengan ACER sebesar
1.303.603/hari dengan biaya total 4.046.015 selama 2,8 hari. Dari hasil diagram
dengan lama rawat inap 2,8 hari dengan pengeluaran biaya yang lebih sedikit
meskipun memiliki biaya harian yang lebih mahal. Pemberian seftriakson dalam
ini terapi perbandingan biaya efektivitas pada pasien anak demam tifoid yaitu
Ampisilin dan Sefotaksim. Pada penelitian ini diagnosis demam tifoid dengan
28
dilakukan dengan uji widal yang menunjukkan bahwa terdapat 1 kali uji sebanyak
80% pasien dan 2 kali uji dilakukan pada 20% pasien anak. Berdasarkan diagram
efektivitas biaya dimana ditemukan sefotaksim pada kolom I (efektivitas yang lebih
dalam mencapai target waktu bebas demamnya selama 4-14 hari dan memiliki nilai
yang sangat luas dan aktivitas antibakteri sefotaskim lebih kuat dan efek
perbandingan efektivitas biaya pada pasien demam tifoid anak rawat inap di Rumah
Sakit Islam Sultan Agung Semarang yaitu sefotaxim dan seftriakson. Hasil ACER
yang diperoleh dari penelitian ini pada antibiotik sefotaxim sebesar Rp.298.810/hari
dengan lama rawat inap selama 4,93 hari dan pada antibiotik seftriakson dengan
nilai ACER Rp.314.973/hari dengan lama rawat inap selama 4,23.hari. berdasarkan
nilai ACER terendah diperoleh pada antibitoc sefotaxim. Hal ini sejalan dengan
sefalosporin generasi ketiga yang memiliki spectrum kerja yang luas, aktivitas
antibakteri yang kuat dan memiliki efek samping yang lebih rendah.
29
Penelitian Kereh et al.,(2018) pada tabel.1 melakukan penelitian
perbandingan biaya efektivitas terapi cefixime dan cefotaxime pada pasien demam
tifoid di RSU Pancaran Kasih GMIM Manado. Efektivitas pada penelitian ini
diperoleh berdasarkan rata-rata lama rawat inap dan waktu bebas demam. Dapat
dilihat pada tabel.1 masing-masing nilai ACER yang diperoleh dimana berdasarkan
outcome lama rawat dan waktu bebas demam cefotaxime memilki nilai ACER yang
efektivitas biaya pada terapi kloramfenikol dan seftriakson pada pasien demam
dengan metode ACER berdasarkan lama rawat dan hilangnya demam. Hasil ACER
yang diperoleh berdasarkan lama rawat inap dan waktu bebas demam dapat dilihat
pada tabel.1. Dilihat dari masing-masing lama rawat inap dan waktu bebas yang
daripada kloramfenikol.
30
efektivitas biaya. Efektivitas dalam penelitian ini dapat dilihat berdasarkan dari
lama rawat inap dan penurunan suhu badan pada pasien. Masing-masing nilai
ACER yang diperoleh dapat dilihat pada tabel.1. Dilihat dari nilai ACER paling
rendah dengan penurunan suhu paling baik diperoleh oleh kelompok terapi
Ampisilin dengan penurunan suhu sebesar 36,70°. Dari data lama rawat inap
biaya mahal. Untuk alternatif pengobatan pasien demam tifoid yang memiliki
keseluruhan untuk biaya yang lebih efektif dapat digunakan ampisilin dengan
penurunan suhu paling baik 36,70°C dengan biaya sebesar Rp.46.695,77 dan
berdasarkan lama rawat inap selama 4,3 hari dengan nilai ACER sebesar
Rp.398.543.
kloramfenikol dan siprofloksasin pada pengobatan tifoid di RSUD Datu Beru Kota
terapi tersebut. Pada penelitian ini penentuan terapi demam tifoid yang paling
sebesar Rp.647,2 selama 5,04 hari. Dari hasil ACER yang diperoleh didapatkan
terapi yang paling cost-effective yaitu siprofloksasin dengan lama perawatan paling
31
tidak diinginkan. Apabila dilakukannya perpindahan terapi dari siprofloksasin ke
perbandingan efektivitas biaya dari terapi seftriakson dan sefiksim pada pasien
demam tifoid di RSU Anutapura Palu. Efektivitas yang diukur adalah % outcome
seftriakson sebesar 61.769,06 dengan % outcome klinis sebesar 31,25% dan pada
Maka, dilihat dari hasil ACER terendah dan % outcome klinis yang tinggi diperoleh
lebih cost-effective daripada seftriakson karena nilai ACER yang rendah atau
penggunaan biaya yang rendah mampu memberikan hasil yang lebih tinggi
efektivitas pada pasien anak demam tifoid di Rumah Sakit Bhayangkara Manado.
Efektivitas pada penelitian ini dilakukan berdasarkan lama rawat inap dan
dilakukannya perhitungan ACER. Dari data yang diperoleh nilai ACER dari
sefotaksim sebesar Rp.484.789 selama 5,16 hari. Dilihat dari nilai ACER yang
dianalisis berdasarkan lama rawat inapnya jangka waktu seftriakson lebih singkat
32
tinggi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seftriakson lebih cost-effective
pada pasien demam tifoid anak di Instalasi Rawat inap Rumah sakit Karsa Husada
Kota Batu pada periode 2016-2018. Efektivitas pada penelitian ini didasarkan pada
lama rawat inap dan hilangnya demam. Dapat dilihat pada tabel.1 nilai ACER
berdasarkan rawat inap dan hilangnya demam dari masing-masing ruangan. Pada
nilai ACER yang lebih rendah tetapi memilki efektivitas yang rendah dikarenakan
sefiksim lama rawat inap terlama sehingga diperlukan perhitungan ICER diperoleh
kloramfenikol yang memiliki efektivitas tinggi dengan lama rawat inap tercepat.
hari. Pada ruangan S1 berdasarkan lama rawat inap didapatkan bahwa sefiksim
memiliki nilai ACER paling rendah dengan efektivitas yang rendah sehingga
33
kloramfenikol. Pada ruangan S2 berdasarkan lama rawat inap diperoleh nilai ACER
terendah pada antibiotik sefiksim tetapi memiliki nilai efektivitas terendah sehingga
diperoleh nilai ACER terendah pada antibiotik sefiksim dengan nilai efektivitas
Pada ruangan S3 berdasarkan lama rawat inap dan lama hilang demam diperoleh
nilai ACER terendah pada antibotik sefiksim dengan efektivitas yang rendah
sebesar Rp.664.304 berdasarkan lama rawat inap dan hasil sebesar Rp.1.650.777
sefiksim dimana parameter efektivitasnya dilihat dari cepat lama perawatan yang
diperlukan.
efektivitas biaya dengan perbandingan terapi seftrakson dan sefotaksim pada Pasien
Rawat Inap Demam Tifoid Anak di RSUD Depok. Efektivitas dalam penelitian ini
34
dapat dilihat dari lama rawat inap. Pada tabel.1 dapat dilihat bahwa sefotaksim
memperoleh nilai ACER terendah dengan efektivitas yang tinggi karena memilki
seftriakson dan sefotaksim pada pasien demam tifoid anak di Instalasi Rawat Inap
perbandingan efektivitas biaya pada setiap terapi. Efetivitas pada penelitian ini
dilihat dari lama rawat inap pasien dan waktu bebas demam demam yang
dengan efektivitas yang tinggi. Sehingga dapat disimpulkan baik berdasarkan lama
rawat inap maupun waktu bebbas demam seftriakson lenih cost-effective daripada
sefotaksim.
35
3.1.4 Outcome efektivitas biaya pada terapi demam tifoid di Indonesia
dalam terminologi yang objektif dan terukur seperti jumlah kasus yang diobati,
penurunan tekanan darah yang dinyatakan dalam mmHg, dan lain-lain dan bukan
dinyatakan dalam mmHg dimaksud untuk pasien hipertensi. Namun pada pasien
demam tifoid outcome kesehatannya dapat dilihat pada lama perawatan, waktu
Untuk 14 literatur yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 3.7 rata-rata
inap dan waktu bebas demam. Outcome dari lama rawat inap diperoleh pada 14
literatur penelitian dan Outcome dari waktu bebas demam diperoleh pada 5 literatur
outcome dari waktu bebas demam atau dari segi penurunan suhu demam
menandakan bahwa apabila pasien demam tifoid tidak mengalami demam lagi
36
merupakan tanda bahwa infeksi oleh bakteri salmonella typhi tidak sebanyak saat
fase awal sakit yang menyebabkan kenaikan suhu tubuh. Dari segi lamanya rawat
inap pasien demam tifoid menandakan semakin cepat pasien pulang dari rumah
perawatan maka semakin tinggi juga biaya yang akan dikeluarkan sehingga
efektivitas biaya semakin rendah. Cost Effectiveness Analysis pada pasien demam
tifoid di Indonesia ditentukan dari intervensi yang memiliki efektivitas paling tinggi
digunakan hanya biaya langsung saja tidak dengan biaya tidak langsung sehingga
penulis kurang mengetahui biaya yang sesungguhnya dan perbandingan terapi yang
37
BAB IV
4.1 KESIMPULAN
2. Biaya yang digunakan pada pasien demam tifoid untuk memperoleh biaya
total sebagai parameter untuk analisis efektivitas biaya yaitu biaya medis
lainnya.
efektivitas biaya.
38
4. Dalam 14 literatur rata-rata efektivitas biaya pada penelitian menghasilkan
outcome terapi yaitu berdasarkan lama rawat inap dan waktu bebas demam.
4.2 SARAN
penelitian ini, saran yang dapat diberikan penulis adalah sebagai berikut :
serta pertimbangan dalam pemilihan terapi dengan tatrif biaya yang akan
39
DAFTAR PUSTAKA
Rosyid, A., Timur W., dan Atikannafirin. (2015). Analisis Efektivitas Biaya
Pengobatan Demam Tifoid Pada Anak Menggunakan Antibiotik
Kloramfenikol dan Sefiksim (Studi Observasi Analitik Di Rumah Sakit
Islam Sultan Agung Semarang) Periode januari – desember 2015. Media
Farmasi Indonesia. 12(2).
40
Agnes, A.,Citraningtyas, G., and Sudewi, S. (2019). Analisis Efektivitas Biaya Pada
Pasien Anak Demam Tifoid Di Rumah Sakit Bhayangkara Manado.
Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi. 8(2).
Purba, I.E., Toni W., Naning N., Stephen N., dan Nyoman K. (2015). Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Media
Litbangkes.26(2): 99-108
Kusumaningrat, I. dan Yasa, I. (2014). Uji Tubex untuk Diagnosis Demam Tifoid
di Laboratorium Klinik Nikki Medika Denpasar. E-Jurnal Medika
Udayana: 3 (1): 22-37.
Marleni, M., Iriani, Y., Tjuandra, W., dan Theodorus. 2014. Ketepatan Uji Tubex
TF® dalam Mendiagnosis Demam Tifoid Anak pada Demam Hari ke-4.
Jurnal Kedokteran dan Kesehatan, 1 (1): 7-11.
Harti, A. dan Saptorini. (2012). Pemeriksaan Widal Slide untuk Diagnosa Demam
Tifoid. Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, 3 (2): 1-7.
Susono, Rima F., Sudarso dan Githa F. G. (2014). Cost Effectiveness Analysis
Pengobatan Pasien Demam Tifoid Pediatrik Menggunakan Cefotaxime
Dan Chloramphenicol Di Instalasi Rawat Inap Rsud Prof. Dr. Margono
Soekarjo. Pharmacy 2014;11(1): 88-96.
41
Yusrizal. (2013). Analisis Efektivitas Biaya Kloramfenikol Dan Seftriakson Pada
Pengobatan Pasien Demam Tifoid. Jurnal Analis Kesehatan 2013; 2(1):
227-241.
Purba, I.E., Toni W., Naning N., Stephen N., dan Nyoman K. (2015). Program
Pengendalian Demam Tifoid di Indonesia: tantangan dan peluang. Media
Litbangkes, 26(2): 99-108.
42