Makalah Sejarah Muhammadiyah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SEJARAH MUHAMMADIYAH

Disusun Oleh:
Nama : NOPAL PAHLAWAN
Prodi : MANAJEMEN RETAIL
NIM :2132221003

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKABUMI


Jl. R. Syamsudin, S.H. No. 50, Cikole, Kec. Cikole, Kota Sukabumi,
Jawa Barat 43113
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
1. Tujuan Muhammadiyah Di Dirikan ?
2. Siapa,Kapan Dan Dimana Muhammadiyah Di Dirikan ?
3. Daftar Ketua Umum Muhammadiyah Pertama Hinga Sekarang ?

C. Tujuan Makalah
ISI

1. Tujuan Muhammadiyah Di Dirikan


2. Siapa,Kapan Dan Dimana Muhammadiyah Di Dirikan
3. Daftar Ketua Umum Muhammadiyah Pertama Hinga Sekarang

Organisasi Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung


Kauman Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330 H).

Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad


Dahlan untuk memurnikan ajaran Islam yang menurut anggapannya, banyak
dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis
dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain
itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan
sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hogere School Moehammadijah dan
selanjutnya berganti
nama menjadi Kweek School Moehammadijah (sekarang dikenal dengan Madras
ah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta khusus laki-laki, yang bertempat di
Jalan S Parman No. 68 Patangpuluhan, kecamatan Wirobrajan dan
Madrasah Muallimat Muhammadiyah Yogyakarta khusus perempuan, di
Suronatan Yogyakarta yang keduanya sekarang menjadi Sekolah Kader
Muhammadiyah) yang bertempat di Yogyakarta dan dibawahi langsung oleh
Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama
”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat
Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom
Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu
Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui salat
istikharah (Darban, 2000: 34). Pada masa kepemimpinan Kyai Dahlan (1912–
1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti:
Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, sekitar daerah Pekalongan
sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota
tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa
Muhammadiyah ke Sumatra Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang,
Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah
menyebar ke seluruh Sumatra Barat, dan dari daerah inilah kemudian
Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada
tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh Indonesia.

Sejarah Singkat Muhammadiyah


Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan
momentum penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis
terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus
pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan
oleh seorang kyai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau
Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.
 Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma
mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan
bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi
Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam
sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya
dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran
Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa
Indonesia pada umumnya.”
 Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan
menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad
Darwis) yang menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim
yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di
Tanah Air. Gagasan pembaruan itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama
Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai
Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga
setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin
Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal
kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi Arabia dan bacaan atas karya-karya
para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kyai
Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide dan gerakan
pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.
 Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-
gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo
yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R.
Sosrosugondo. Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di
Kweekscholl Jetis di mana Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler,
yang sering datang ke rumah Kyai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai
Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan
setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban, ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama
”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad
Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh
pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang kemudian diputuskan Kyai
Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan untuk mendirikan
Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai atau dunia
pesantren.
 Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan
pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-
organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah,
yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari
”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai
Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan
pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan
pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah
Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada
umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah
Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan
dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.
 Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”.
Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim
”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang
kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam
”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah
yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan,
”Perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya
”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”. Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a.
menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada
penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada
anggauta-anggautanya.”Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914
ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah
merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode
Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun
1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud
Persyarikatan ini yaitu:
Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam
kepada lid-lidnya.
Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti
yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran
akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah
mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat
Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya,
dalam suasana yang maju dan menggembirakan.
 Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai
diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni
dengan untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab
II., dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005
setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar
Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua
kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan
formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan
dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti
dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan
Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud
masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas Islam dan
tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD
Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.
 Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan
langkah Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin
kembali pada Al-Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad
untuk kemajuan, sehingga memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan
Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi
dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan
membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek
tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat
Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi
yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis
lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil
temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan
aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah
dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang
pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan
dalam ber-ijtihad.”.
 Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern”
yang memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang
dipelopori Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman”
dan ”kemajuan”, sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di
zaman modern tanpa terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan
Islam ”modern” bahkan menjadi ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang
membedakannya dari lembaga pondok pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang
di belakang hari diadopsi dan menjadi lembaga pendidikan umat Islam secara umum.Langkah ini
pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi
terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain,
karena konteksnya berbeda.
 Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan
pengamalan Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh
lain yang paling monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan,
yang kemudian melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah
momumental ini dalam wacana Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena
Islam tidak sekadar menjadi seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah” (hubungan
dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah
konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi amal” yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal
kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk dari gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri
ini.
 Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending
Kristen, tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara
langsung dan terbuka dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman
adanya kemiripan selain perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan
kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk
mengkaji semua agama secara rasional untuk menemukan kebenaran yang inheren dalam
ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah ini misalnya beranggapan
bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002: 78) .
 Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga
ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari
pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di
masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum
perempuan. Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain,
yang tidak dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353).
Perintisan ini menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan
peran perempuan, yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal
Kyai dari Kauman ini tidak bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang
sekarang ini. Artinya, betapa majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam murni yang berkemajuan.
 Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69)
telah menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala seginya”. Artinya,
secara Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah
semata, tetapi merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah.
Selain itu, aspek aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah,
sehingga Islam benar-benar mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu,
Muhammadiyah memulai gerakannya dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk
diamalkan dalam sistem kehidupan yang nyata.
 Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas.
Menurut Kyai Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang
benar dan yang salah, tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang
dan menggunakan akal pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan
sekaligus beripiki praktik (K.R. H. Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam
beragama, juga tertinggal dalam kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai
ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran
dan ijtihad.
 Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik
untuk mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan
simak dengan tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir
keterangannya? bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah
meninggalkan larangan ini? apakah ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita
menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang
demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas Mansur, tokoh Muhammadiyah yang
dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo, cerdas pemikirannya
sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.
 Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya,
Kyai Haji Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan
hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi
dan dipecahkan. Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah
antara lain:
Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga menyebabkan
merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak merupakan
golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak memancarkan
sinar kemurniannya lagi;
Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader
Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir
secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam,
serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin
menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat
(Junus Salam, 1968: 33).
 Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan
tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan
yang bukan Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran
modern; (3) Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari
pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali, dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).
 Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan
yang tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang
terlampau akademik tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan
kepeloporan Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu
dalam konteks amannya sungguh merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat
ini tentu tidak dapat dijadikan standar dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal
dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif kepeloporannya.
 Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan
dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai
latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut
pandangan James Peacock (1986: 26), seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis
penelitian mengenai Muhammadiyah tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak
berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara, pergerakan itu tumbuh dengan cara yang
berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja gerakan pembaharuan Muslimin
itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-20 terdapat sejumlah
pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa gerakan
kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-
ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri,
Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia
Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga
telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik
perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah
menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan,
pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya,
mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di
dunia.”Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada
Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan
hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan
melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan
berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk
beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan
secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan
Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari
serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
 Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa
gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi
melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan
terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih
mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran kyai yang
sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad
ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat,
instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
 Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga
bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini
melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ
wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi
wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui
sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam
pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok
orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang
munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
 Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan
Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam
bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup.
Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam
ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan
melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi”
(pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit
yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di
Indonesia.
Di tangan pendirinya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menjadi ormas Islam yang besar.
Apalagi Muhammadiyah berdiri dengan napas amar ma'ruf nahi munkar dan tajdid (pembaruan).

Baca juga:Muhammadiyah Kritik 'Agama' Hilang dari Visi Pendidikan 2035


Muhammadiyah tidak hanya mengusung paham agama Islam tetapi juga turut
memajukan bidang pendidikan, terutama memberantas keterbelakangan, kebodohan,
dan kemiskinan di kalangan penduduk pribumi.

Di Mekkah, pria bernama asli Muhammad Darwis ini mewarisi ilmu yang didapatnya
dari belajar agama dan tinggal bersama ulama setempat.

Bagi KH. Ahmad Dahlan, niat mendirikan Muhammadiyah mulanya tidak lain untuk
memerangi praktik mistik sekaligus mengentaskan kemiskinan masyarakat pribumi
akibat penjajahan Belanda.

Menurut Ridho Al-Hamdi dalam buku Paradigma Politik Muhammadiyah (2020)


mengutip VOI, ajaran yang dianut KH. Ahmad Dahlan di Muhammadiyah sepenuhnya
mengembuskan renungan kritis terhadap ayat-ayat Alquran yang diselaraskan
dengan konteks dan permasalahan zaman.

Memadukan antara nash (dalil) dan waqi' (konteks zaman) berhasil menghadirkan
wajah peradaban Islam yang positif dan progresif.

KH. Ahmad Dahlan menggunakan Alquran sebagai inspirasi untuk membentuk


Muhammadiyah yang tumbuh menjadi gerakan reformis-modernis.

Sejarah berdirinya Muhammadiyah (Ilustrasi Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.)


Gerakan ini kemudian mampu mencerahkan dan memajukan ilmu pengetahuan serta
teknologi dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan khususnya di Yogyakarta.

Langkah yang membawanya dalam keberhasilan ini kemudian membuat nama


Muhammadiyah menggema di Yogyakarta hingga merambah di dalam dan luar Jawa.

Apalagi seluruh program yang dihadirkan Muhammadiyah saat itu diarahkan untuk
membebaskan dan memberdayakan masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Sejak Muhammadiyah berdiri, KH. Ahmad Dahlan pun sering mengajak murid-
muridnya untuk mengasuh anak yatim piatu yang kurang mampu.
Semangat keberpihakan kepada rakyat yang tidak memiliki keberdayaan menjadi
semangat dan napas gerakan Muhammadiyah.

Selain panti asuhan, Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit untuk fakir miskin.
Selain itu, ada juga sejumlah kegiatan pendidikan bagi masyarakat miskin.

Apalagi organisasi perempuan Muhammadiyah juga terbilang aktif, yang kemudian


dikenal dengan nama Aisyiyah pada 1917. Organisasi otonom ini berfokus
mengembangkan pendidikan anak-anak dan perempuan tanah air.

Baca juga:Muhammadiyah: Jauhi Politisasi Pancasila untuk Apa Pun


Atas sumbangsihnya, presiden pertama Indonesia Soekarno bahkan mengaku takjub.
Muhammadiyah, kata Bung Karno, telah berani muncul untuk memodernisasi cara
mengembangkan Islam di seluruh Nusantara.

Kesepahaman bersama antara Muhammadiyah dan Bung Karno dalam


mengentaskan kemiskinan menjadi dasar untuk terus mendukung ormas-ormas Islam
yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tumbuh dewasa.

Baca artikel CNN Indonesia "Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan Perkembangan


Awal" selengkapnya di
sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210617171045-31-655810/sejarah-
berdirinya-muhammadiyah-dan-perkembangan-awal.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/

Di tangan pendirinya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, Muhammadiyah menjadi ormas Islam
yang besar. Apalagi Muhammadiyah berdiri dengan napas amar ma'ruf nahi munkar
dan tajdid (pembaruan).

Baca juga:Muhammadiyah Kritik 'Agama' Hilang dari Visi Pendidikan 2035


Muhammadiyah tidak hanya mengusung paham agama Islam tetapi juga turut
memajukan bidang pendidikan, terutama memberantas keterbelakangan, kebodohan,
dan kemiskinan di kalangan penduduk pribumi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Merujuk situs resminya, Muhammadiyah didirikan pada 18 November 1912 di Desa


Kauman, Yogyakarta. Organisasi ini didirikan tepat setelah KH. Ahmad Dahlan tiba
dari Tanah Suci, Mekkah.

Di Mekkah, pria bernama asli Muhammad Darwis ini mewarisi ilmu yang didapatnya
dari belajar agama dan tinggal bersama ulama setempat.

Bagi KH. Ahmad Dahlan, niat mendirikan Muhammadiyah mulanya tidak lain untuk
memerangi praktik mistik sekaligus mengentaskan kemiskinan masyarakat pribumi
akibat penjajahan Belanda.

Menurut Ridho Al-Hamdi dalam buku Paradigma Politik Muhammadiyah (2020)


mengutip VOI, ajaran yang dianut KH. Ahmad Dahlan di Muhammadiyah sepenuhnya
mengembuskan renungan kritis terhadap ayat-ayat Alquran yang diselaraskan
dengan konteks dan permasalahan zaman.

Memadukan antara nash (dalil) dan waqi' (konteks zaman) berhasil menghadirkan
wajah peradaban Islam yang positif dan progresif.
KH. Ahmad Dahlan menggunakan Alquran sebagai inspirasi untuk membentuk
Muhammadiyah yang tumbuh menjadi gerakan reformis-modernis.

Sejarah berdirinya Muhammadiyah (Ilustrasi Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono.)


Gerakan ini kemudian mampu mencerahkan dan memajukan ilmu pengetahuan serta
teknologi dalam memerangi kemiskinan dan kebodohan khususnya di Yogyakarta.

Langkah yang membawanya dalam keberhasilan ini kemudian membuat nama


Muhammadiyah menggema di Yogyakarta hingga merambah di dalam dan luar Jawa.

Apalagi seluruh program yang dihadirkan Muhammadiyah saat itu diarahkan untuk
membebaskan dan memberdayakan masyarakat miskin dan terpinggirkan.

Sejak Muhammadiyah berdiri, KH. Ahmad Dahlan pun sering mengajak murid-
muridnya untuk mengasuh anak yatim piatu yang kurang mampu.
Semangat keberpihakan kepada rakyat yang tidak memiliki keberdayaan menjadi
semangat dan napas gerakan Muhammadiyah.

Selain panti asuhan, Muhammadiyah juga mendirikan rumah sakit untuk fakir miskin.
Selain itu, ada juga sejumlah kegiatan pendidikan bagi masyarakat miskin.

Apalagi organisasi perempuan Muhammadiyah juga terbilang aktif, yang kemudian


dikenal dengan nama Aisyiyah pada 1917. Organisasi otonom ini berfokus
mengembangkan pendidikan anak-anak dan perempuan tanah air.

Baca juga:Muhammadiyah: Jauhi Politisasi Pancasila untuk Apa Pun


Atas sumbangsihnya, presiden pertama Indonesia Soekarno bahkan mengaku takjub.
Muhammadiyah, kata Bung Karno, telah berani muncul untuk memodernisasi cara
mengembangkan Islam di seluruh Nusantara.

Kesepahaman bersama antara Muhammadiyah dan Bung Karno dalam


mengentaskan kemiskinan menjadi dasar untuk terus mendukung ormas-ormas Islam
yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan tumbuh dewasa.

Baca artikel CNN Indonesia "Sejarah Berdirinya Muhammadiyah dan Perkembangan


Awal" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210617171045-31-
655810/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-dan-perkembangan-awal .

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/


PENUTUP
DAFTARPUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai