Alkaloid - Farmakognosi - D3 Farmasi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

RESUME

Mata Kuliah : Farmakognosi


Judul : Alkaloid
Dosen : Wisnu Cahyo Prabowo, S.Farm.,M.Si.,Apt.

Disusun Oleh :
1. Icha Nadilla (2013015003)
2. Meidy Siti Aisyah (2013015004)
3. Kharizma Ardillah (2013015007)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2020

1
Kata Pengantar

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita
dapat menyelesaikan tugas resume yang berjudul Alkaloid ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari resume ini adalah untuk memenuhi tugas dosen Wisnu Cahyo
Prabow, S.Farm.,M.Si.,Apt. pada mata kuliah Farmakognosi . Selain itu, resume ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang penetapan kadar secara kuantitatif golongan
senyawa metabolit sekunder alkaloid bagi para pembaca dan juga bagi penulisan .
Kita mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga Kita dapat menyelesaikan resume ini .

Kita menyadari , resume yang Kita tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan Kita nantikan demi kesempurnaan resume ini .

2
Daftar Isi

Kata Pengantar..................................................................................2
Daftar Isi........................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
I. 1 Latar Belakang........................................................................4
I. 2 Rumusan Masalah.............................................................5
I. 3 Tujuan Penulisan.......................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
II. 1 Karakteristik Alkaloid...................................................6
II. 2 Prinsip Dasar Pembentukan Alkaloid...............................7
II. 3 Klasifikasi..........................................................................8
II. 4 Fungsi Alkaloid…………………………..................8
II. 5 Tanaman Penghasil Alkaloid................................................10
II. 6 Prosedur Umum Pengujian Alkaloid....................................................12
II. 7 Prosedur Khusus Pengujian Alkaloid ............................................12
II. 8 Penelitian Kualititatif dan Kuantitatif……………………………..14
BAB III PENUTUP
III. 1 Kesimpulan ……………………………………………………….22
Daftar Pustaka ………………………………………………………………….23

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Keanekaragaman flora (biodiversity) berarti keanekaragaman senyawa
kimia (chemodiversity)yang kemungkinan terkandung di dalamnya baik yang
berupa metabolism primer (metabolit primer)seperti protein, karbohidrat, dan
lemak yang digunakan oleh tumbuhan itu sendiri untuk pertumbuhannya ataupun
senyawa kimia dari hasil metabolisme sekunder (metabolit sekunder) seperti
terpenoid , steroid,flavonoid, dan alkaloid. Senyawa metabolit sekunder
merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktivitas
dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan hama penyakit untuk
tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya. Hal ini memacu dilakukannya penelitian
dan penelusuran senyawa kimia terutama metabolit sekunder yang terkandung
dalam tumbuh-tumbuhan. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknolog, seperti teknik pemisaha, metode analisis, dan uji farmakologi. Senyawa
hasil isolasi atau senyawa semi sintettik yang diperoleh dari tumbuhan sebagai obat
atau bahan baku obat .
Metabolisme sekunder juga disebut metabolisme khusus adalah istilah
unutk jalur dan molekul kecil produk dari metabolisme yang tidak mutlak
diperlukan untuk kelangsungan hidup organisme. Senyawa kimia sebagai hasil
metabolit sekunder telah banyak digunakan untuk zat warna, racun, aroma
makanan, obat-obatan dan sebagainya. Serta banyak jenis tumbuhan yang
digunakan sebagai obat-obatan, dikenal sebagai obat tradisional sehingga perlu
dilakukan penelitian tentang penggunaan tumbuh- tumbuhan berkhasiat dan
mengetahui senyawa kimia yang bermanfaat sebagai obat. Indonesia merupakan
salah satu negara beriklim tropis yang terdiri dari beribu-ribu pulau yang kaya
sumber alam terutama tumbuh-tumbuhan yang sangat beraneka ragam. Beberapa
jenis tumbuhan digunakan sebagai ramuan obat yang penggunannya didasarkan
secara turun – temurun maka para peneliti kimia telah melakukan penyelidikan
terhadap kandungan kimia tanaman tersebut. Ilmu yang mempelajari Zat yang
berkhasiat dalam tumbuhan meliputi identifikasi, isolasi serta penetapan kadarnya
dikenal dengan ilmu fitokimia.

4
Sejarah alkaloid hampir setua peradaban manusia. Manusia telah
menggunakan obat-obatan yang mengandung alkaloid dalam minuman,
kedokteran, the dan racun.
Obat-obat yang pertama ditemukan secara kimia adalah opium, getah kering
Apium Papaver Somiferum. Opium telah digunakan sebagai obat-obatan dan
sifatnya sebagai analgetik dan narkotika sudah diketahui. Pada tahun 1803.
Derosne mengisolasi alkaloid semi murni dari opium dapat berhasil mengisolasi
morfin. Selain Itu, pada tahun 1817-1820 di Laboratorium pelletier dan caventon di
fakultas farmasi di paris, melanjutkan penelitian dibidang kimia alkaloid yang
menakjubkan. Diantara alkaloid yang diperoleh dalam waktu singkat tersebut
adalah stikhnin, Emetin, Brusin, Piperin, Kafein, Quinin, Sinkhonin dan Kolkhisin.
Menurut Cordell (1981), Sebagian besar sumber alkaloid adalah tanaman
berbunga (angiospermae). Kebanyakan famili tanaman yang mengandung alkaloid
adalah liliaceae, solamae, solanace dan rubiacea. Karena alkaloid sebaagai suatu
kelompok senyawa yang terdapat sebagian besar pada tanaman berbunga, maka
para ilmuwan sangat tertarik pada sistematika aturan tanaman. Kelompok tertentu
alkaloid dihubungkan dengan family tanaman tertentu.

I. 2 Rumusan Masalah

a. Mengetahui definisi Alkaloid


b. Mengetahui Prinsip Dasar Pembentukan Alkaloid
c. Mengetahui klasifikasi alkaloid & Fungsi nya alkaloid
d. Mengetahui tanaman penghasil alkaloid
e. Dan mengetahui kualitatif dan kuantitatif alkaloid pada tumbuhan
rosella

I. 3 Tujuan Penulisan

Mengetahui bagaimana karatkter senyawa Alkaloid dan bagaimana


prosedur umum dan prosedur khusus isolasi target , dan penetapan kadar
secara kuantitatif golongan senyawa metabolit sekunder Alkaloid.

5
BAB II
PEMBAHASAN

II. 1 Karaketristik Alkaloid


Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak ditemukan
di alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas
dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar alkaloid terdapat
pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil dan pteridofita
mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit. Pengertian lain Alkaloid adalah
senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali dan sifat basa ini
disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa tersebut
dalam struktur lingkar heterosiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat
memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan. Sebagai contoh, morfina
sebagai pereda rasa sakit, reserfina sebagai obat penenang, atrofina berfungsi
sebagai antispamodia, kokain sebagai anestetik lokal, dan strisina sebagai stimulan
syaraf (Ikan, 1969). Selain itu ada beberapa pengecualian, dimana termasuk
golongan alkaloid tapi atom N (Nitrogen) terdapat di dalam rantai lurus atau
alifatis.
Meyer’s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid
terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh- tumbuhan, dan sering dibedakan
berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon,
hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar diantaranya mengandung oksigen. Sesuai
dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya
sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan
sepasang elektronnya. Kesulitan mendefinisikan alkaloid sudah berjalan bertahun-
tahun.
Definisi tunggal untuk alkaloid belum juga ditentukan. Trier menyatakan
bahwa sebagai hasil kemajuan ilmu pengetahuan, istilah yang beragam senyawa
alkaloid akhirnya harus ditinggalkan (Hesse, 1981). Garam alkaloid dan alkaloid
bebas biasanya berupa senyawa padat, berbentuk kristal tidak berwarna (berberina
dan serpentina berwarna kuning). Alkaloid sering kali optik aktif, dan biasanya
hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa
kasus dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung
satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya (Gritter, 1995).

6
II. 2 Prinsip Dasar Pembentukan Alkaloid
Asam amino merupakan senyawa organik yang sangat penting, senyawa ini terdiri
dari amino (NH2) dan karboksil (COOH). Ada 20 jenis asam amino esensial yang
merupakan standar atau yang dikenal sebagai alfa asam amino alanin, arginin,
asparagin, asam aspartat, sistein, asam glutamat , glutamin, glisin, histidine,
isoleusin, leusin, lysin, metionin, fenilalanine, prolin, serine, treonine, triptopan,
tirosine, and valin(4). Dari 20 jenis asam amino yang disebutkan diatas, alkaloid
diketahui berasal dari sejumlah kecil asam amino yaitu ornitin dan lisin yang
menurunkan alkaloid alisiklik, fenilalanin dan tirosin yang menurunkan alkaloid
jenis isokuinolin, dan triftopan yang menurunkan alkaloid indol. Reaksi utama
yang mendasari biosintesis senyawa alkaloid adalah reaksi mannich antara suatu
aldehida dan suatu amina primer dan sekunder, dan suatu senyawa enol atau fenol.
Biosintesis alkaloid juga melibatkan reaksi rangkap oksidatif fenol dan metilasi.
Jalur poliketida dan jalur mevalonat juga ditemukan dalam biosintesis alkaloid.
Kemudian reaksi yang mendasari pembentukan alkaloid membentuk basa. Basa
kemudian bereaksi dengan karbanion dalam kondensasi hingga terbentuklah
alkaloid.
Disamping reaksi-reaksi dasar ini, biosintesa alkaloida melibatkan reaksi-reaksi
sekunder yang menyebabkab terbentuknya berbagai jenis struktur alkaloida. Salah
satu dari reaksi sekunder ini yang terpenting adalah reaksi rangkap oksidatif fenol
pada posisi orto atau para dari gugus fenol. Reaksi ini berlangsung dengan
mekanisme radikal bebas.
Reaksi-reaksi sekunder lain seperti metilasi dari atom oksigen menghasilkan gugus
metoksil dan metilasi nitrogen menghasilkan gugus N-metil ataupun oksidasi dari
gugus amina. Keragaman struktur alkaloid disebabkan oleh keterlibatan fragmen-
fragmen kecil yang berasal dari jalur mevalonat, fenilpropanoid dan poliasetat.
Dalam biosintesa higrin, pertama terjadi oksidasi pada gugus amina yang diikuti
oleh reaksi Mannich yang menghasilkan tropinon, selanjutnya terjadi reaksi
reduksi dan esterifikasi menghasilkan hiosiamin (2).

7
II. 3 Klasifikasi Alkaloid
Metode klasifikasi alkaloid yang paling banyak digunakan adalah berdasarkan
struktur nitrogen yang dikandungnya, yaitu :
1. Alkaloid heterosiklis, merupakan alkaloid yang atom nitrogennya berada dalam
cincin heterosiklis. Alkaloid ini dibagi menjadi alkaloid pirolidin, alkaloid indol,
alkaloid piperidin, alkaloid piridin, alkaloid tropan, alkaloid histamin, imidazol dan
guanidin, alkaloid isokuinolin, alkaloid kuinolin, alkaloid akridin, alkaloid
kuinazolin, alkaloid izidin.
2. Alkaloid dengan nitrogen eksosiklis dan amina alifatis, seperti
efedrina.
3. Alkaloid putressin, spermin dan spermidin, misalnya pausina.
4. Alkaloid peptida merupakan alkaloid yang mengandung ikatan
peptida.
5. Alkaloid terpena dan steroidal, contohnya funtumina.
(Widi, 2007)

II. 4 Fungsi Alkaloid


Alkaloid telah dikenal selama bertahun-tahun dan telah menarik perhatian terutama
karena pengaruh fisiologinya terhadap mamalia dan pemakaiannya di bidang
farmasi, tetapi fungsinya dalam tumbuhan hampir sama sekali kabur. Beberapa
pendapat mengenai kemungkinan perannya dalam tumbuhan sebagai berikut
(Gritter, 1995):

a. Alkaloid berfungsi sebagai hasil buangan nitrogen seperti urea dan asam urat
dalam hewan (salah satu pendapat yang dikemukan pertama kali, sekarang tidak
dianut lagi).
b. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen
meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih lanjut
meskipun sangat kekurangan nitrogen.

8
c. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit
atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang
mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan konsep yang
direka-reka dan bersifat ‘manusia sentris’.
d. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur,
beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid merangasang
perkecambahan yang lainnya menghambat.
e. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat
basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion
dalam tumbuhan.
Salah satu contoh alkaloid yang pertama sekali bermanfaat dalam bidang medis
adalah morfin yang diisolasi tahun 1805. Alkaloid diterpenoid yang diisolasi dari
tanaman memiliki sifat antimikroba. Solamargine, suatu glikoalkoid dari tanaman
berri solanum khasianum mungkin bermanfaat terhadap infeksi HIV dan infeksi
intestinal yang berhubungan dengan AIDS.
Ketika alkaloid ditemukan memiliki efek antimikroba temasuk terhadap Giarde
dan Entamoeba, efek anti diare utama mereka kemungkinan disebabkan oleh efek
mereka pada usus kecil. Berberin merupakan satu contoh penting alkaloid yang
potensial efektif terhadap typanosoma dan plasmodia. Mekanisme kerja dari
alkaloid kuartener planar aromatik seperti berberin dan harman dihubungkan
dengan kemampuan mereka untuk berinterkalasi dengan DNA.
Berikut adalah beberapa contoh senyawa alkaloid yang telah umum dikenal dalam
bidang farmakologi :

Senyawa Alkaloid
(Nama Trivial) Aktivitas Biologi

Nikotin Stimulan pada syaraf otonom


Morfin Analgesik
Kodein Analgesik, obat batuk
Atropin Obat tetes mata
Skopolamin Sedatif menjelang operasi
Kokain Analgesik

9
Piperin Antifeedant (bioinsektisida)
Quinin Obat malaria
Vinkristin Obat kanker
Ergotamin Analgesik pada migraine
Reserpin Pengobatan simptomatis disfungsi ereksi
Mitraginin Analgesik dan antitusif
Vinblastin Anti neoplastik, obat kanker
Saponin Antibakteri

II. 5 Tanaman Penghasil Alkaloid


Senyawa alkaloid merupakan senyawa organik terbanyak ditemukan di
alam. Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuhan dan tersebar luas dalam
berbagai jenis tumbuhan. Secara organoleptik, daun-daunan yang berasa sepat dan
pahit, biasanya teridentifikasi mengandung alkaloid. Selain daun-daunan, senyawa
alkaloid dapat ditemukan pada akar, biji, ranting, dan kulit kayu.
Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari bakteria, fungi
(jamur), tumbuhan, dan hewan. Ekstraksi secara kasar biasanya dengan mudah
dapat dilakukan melalui teknik ekstraksi asam-basa. Rasa pahit atau getir yang
dirasakan lidah dapat disebabkan oleh alkaloid. Istilah "alkaloid" (berarti "mirip
alkali", karena dianggap bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich
Wilhelm Meissner (1819), seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut
berbagai senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada
waktu itu sudah dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina). Hingga
sekarang dikenal sekitar 10.000 senyawa yang tergolong alkaloid dengan struktur
sangat beragam, sehingga hingga sekarang tidak ada batasan yang jelas untuknya.
Cokelat adalah makanan yang diolah dari biji kakao. Cokelat mengandung
alkaloid-alkaloid seperti teobromin, fenetilamina, dan anandamida yang memiliki
efek fisiologis untuk tubuh. Kandungan-kandungan ini banyak dihubungkan
dengan tingkat serotonin dalam otak. Menurut ilmuwan, cokelat jika dimakan
dalam jumlah normal secara teratur dapat menurunkan tekanan darah.
Tembakau mengandung senyawa alkaloid, diantaranya adalah nikotin.
Nikotin termasuk dalam golongan alkaloiod yang terdapat dalam famili
Solanaceae. Nikotin dalam jumlah banyak terdapat dalam tanaman tembakau,
10
sedang dalam jumlah kecil terdapat pada tomat, kentang dan terung. Nikotin dan
kokain dapat pula ditemukan pada daun tanaman kota. Kadar nikotin berkisar
antara 0,6-3,0 % dari berat kering tembakau, dimana proses biosintesisnya terjadi
di akar dan terakumulasi pada daun tembakau. Nikotin terjadi dari biosintesis
unsur N pada akar dan terakumulasi pada daun. Fungsi nikotin adalah sebagai
bahan kimia antiherbivora dan adanya kandungan neurotoxin yang sangat sensitif
bagi serangga, sehingga nikotin digunakan sebagai insektisida pada masa lalu.
Kecubung adalah tumbuhan penghasil bahan obat-obatan yang telah dikenal
sejak ribuan tahun,di antaranya Datura Stramonium, Datura tatura, dan
Brugmansia suaviolens, namun daya khasiat masing-masing jenis kecubung,
berbeda-beda. Penyalahgunaan kecubung memang sering terjadi, sehingga bukan
obat yang didapat malah racun (menyebabkan pusing) yang sangat berbahaya.
Hampir seluruh bagian tanaman kecubung dapat dimanfaatkan sebagai obat. Hal
ini disebabkan seluruh bagiannya mengandung alkaoida atau disebut hiosamin
(atropin) dan scopolamin, seperti pada tanaman Atropa belladona.Alkahoid ini
bersifat racun sehingga pemakaiannya terbatas pada bagian luar. Biji kecubung
mengandung hiosin dan lemak, sedangkan daunnya mengandung kalsium oksalat.
Berkhasiat mengobati rematik, sembelit, asma, sakit pinggang, bengkak, encok,
eksim, dan radang anak telinga.
Kopi juga termasuk ke dalam tanaman yang mengandung senyawa alkaloid.
Kopi terkenal akan kandungan kafeinnya yang tinggi. Kafein kopi merupakan
senyawa hasil metabolisme sekunder golongan alkaloid dari tanaman kopi dan
memilik rasa yang pahit.
Buah pare dalam bahasa latin disebut Momordica charantia L berasal dari
kawasan Asia Tropis. Buahnya mengandung albiminoid, karbohidrat, dan zat
warna, daunnya mengandung momordisina, momordina, karantina, resin, dan
minyak lemak. Bijinya mengandung saponin, alkaloid, triterprenoid, dan asam
momordial. Manfaat buah ini dapat merangsang nafsu makan, menyembuhkan
batuk, memperlancar pencernaan, membersihkan darah bagi wanita yang baru
melahirkan, dapat menyembuhkan penyakit kuning, juga cocok untuk
menyembuhkan mencret pada bayi.

II. 6 Prosedur Umum Pengujian Alkaloid

11
Secara umum senyawa alkaloid diekstrak dari tumbuhan menggunakan beberapa
pelarut untuk menghilangkan lemak yang tercampur, kemudian ekstraknya
dibasakan dengan larutan NH310% dan Al2O3. Campuran ini selanjutnya
dipisahkan secara kromatografi kolom dan diidentifikasi. Identifikasi senyawa
alkaloid dapat dilakukan dengan metoda fisika, dengan cara penyinaran
kromatogram di bawah sinar ultraviolet 254 nm dan 366 nm. Beberapa alkaloid
memberikan warna fluoresensi biru atau kuning di bawah sinar tersebut, serta
metoda kimia dengan menggunakan pereaksi tertentu, seperti pereaksi dragendorf
membentuk endapan jingga-merah.
R – N = R + K[BiI4] R2N+K[BiI4] (endapan jingga)
R3N+ + K[BiI4] K(R3N) [BiI4] (endapan jingga)
Identifikasi selanjutnya adalah dengan spektroskopi ultraviolet dan sinar tampak
yang memberikan keterangan tentang tipe struktur molekulnya. Panjang
gelombang maksimum yang diberikan oleh suatu senyawa dapat digunakan
sebagai perkiraan awal terhadap jenis senyawa tersebut. Cara identifikasi lainnya
adalah dengan menggunakan spektroskopi inframerah yang memberikan informasi
tentang gugus-gugus fungsional dalam suatu senyawa. Pada umumnya senyawa
alkaloid memberikan serapan khas pada daerah frekuensi 3480-3205 cm-1-N-H ),
2100-1980 cm-1 (=N+-H), 1660-1480 cm-1 (C=N-), 1350-1000 cm –l (-C-N-) dan
beberapa serapan lainnya yang khas untuk masing-masing.
(Widi, 2007)

II. 7 Prosedur Khusus Pengujian Alkaloid

Dua metode yang paling banyak digunakan untuk menyeleksi tanaman yang
mengandung alkaloid. Prosedur Wall, meliputi ekstraksi sekitar 20 gram bahan
tanaman kering yang direfluks dengan 80% etanol. Setelah dingin dan disaring,
residu dicuci dengan 80% etanol dan kumpulan filtrat diuapkan. Residu yang
tertinggal dilarutkan dalam air, disaring, diasamkan dengan asam klorida 1% dan
alkaloid diendapkan baik dengan pereaksi Mayer atau dengan Siklotungstat. Bila
hasil tes positif, maka konfirmasi tes dilakukan dengan cara larutan yang bersifat
asam dibasakan, alkaloid diekstrak kembali ke dalam larutan asam. Jika larutan

12
asam ini menghasilkan endapan dengan pereaksi tersebut di atas, ini berarti
tanaman mengandung alkaloid. Fasa basa berair juga harus diteliti untuk
menentukan adanya alkaloid quartener.
Prosedur Kiang-Douglas agak berbeda terhadap garam alkaloid yang terdapat
dalam tanaman (lazimnya sitrat, tartrat atau laktat). Bahan tanaman kering
pertama-tama diubah menjadi basa bebas dengan larutan encer amonia. Hasil yang
diperoleh kemudian diekstrak dengan kloroform, ekstrak dipekatkan dan alkaloid
diubah menjadi hidrokloridanya dengan cara menambahkan asam klorida 2 N.
Filtrat larutan berair kemudian diuji terhadap alkaloidnya dengan menambah
pereaksi mayer,Dragendorff atau Bauchardat. Perkiraan kandungan alkaloid yang
potensial dapat diperoleh dengan menggunakan larutan encer standar alkaloid
khusus seperti brusin.
Beberapa pereaksi pengendapan digunakan untuk memisahlkan jenis alkaloid.
Pereaksi sering didasarkan pada kesanggupan alkaloid untuk bergabung dengan
logam yang memiliki berat atom tinggi seperti merkuri, bismuth, tungsen, atau
jood. Pereaksi mayer mengandung kalium jodida dan merkuri klorida dan pereaksi
Dragendorff mengandung bismut nitrat dan merkuri klorida dalam nitrit berair.
Pereaksi Bouchardat mirip dengan pereaksi Wagner dan mengandung kalium
jodida dan jood. Pereaksi asam silikotungstat menandung kompleks silikon
dioksida dan tungsten trioksida. Berbagai pereaksi tersebut menunjukkan
perbedaan yang besar dalam halsensitivitas terhadap gugus alkaloid yang berbeda.
Ditilik dari popularitasnya, formulasi mayer kurang sensitif dibandingkan pereaksi
wagner atau dragendorff.
Kromatografi dengan penyerap yang cocok merupakan metode yang lazim untuk
memisahkan alkaloid murni dan campuran yang kotor. Seperti halnya pemisahan
dengan kolom terhadap bahan alam selalu dipantau dengan kromatografi lapis
tipis. Untuk mendeteksi alkaloid secara kromatografi digunakan sejumlah pereaksi.
Pereaksi yang sangat umum adalah pereaksi Dragendorff, yang akan memberikan
noda berwarna jingga untuk senyawa alkaloid. Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa beberapa sistem tak jenuh, terutama koumarin dan α-piron, dapat juga
memberikan noda yang berwarna jingga dengan pereaksi tersebut. Pereaksi umum
lain tetapi kurang digunakan adalah asam fosfomolibdat, jodoplatinat, uap jood,
dan antimon (III) klorida.
Kebanyakan alkaloid bereaksi dengan pereaksi-pereaksi tersebut tanpa
membedakan kelompok alkaloid. Sejumlah pereaksi khusus tersedia untuk

13
menentukan atau mendeteksi jenis alkaloid khusus. Pereaksi Ehrlich (p-
dimetilaminobenzaldehide yang diasamkan) memberikan warna yang sangat
karakteristik biru atau abu-abu hijau dengan alkaloid ergot. Perteaksi serium
amonium sulfat (CAS) berasam (asam sulfat atau fosfat) memberikan warna yang
berbeda dengan berbagai alkaloid indol. Warna tergantung pada kromofor
ultraungu alkaloid.
Campuran feriklorida dan asam perklorat digunakan untuk mendeteksi alkloid
Rauvolfia. Alkaloid Cinchona memberikan warna jelas biru fluoresen pada sinar
ultra ungu (UV) setelah direaksikan dengan asam format dan fenilalkilamin dapat
terlihat dengan ninhidrin. Glikosida steroidal sering dideteksi dengan
penyemprotan vanilin-asam fosfat.

II. 8 Penelitian kualitatif dan kuantitatif

Penelitian kualitatif dan kuantitatif senyawa kimia dari kelopak rosela (Hibiscus
sabdariffa Li nn.) dengan menggunakan empat pelarut yang berbeda telah diteliti.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kandungan senyawa kimia dan
menentukan kadar senyawa kimia dari ekstrak heksan, aseton, etanol dan air dari
kelopak rosela. Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan
menggunakan pelarut heksan, aseton dan etanol dan air dengan metode infus. Hasil
menunjukkan bahwa ekstrak etanol dan ekstrak air positif mengandung fenol,
tanin, flavonoid dan alkaloid. Ekstrak aseton positif mengandung fenol, tanin dan
flavonoid. Namun dalam penelitian ini ekstrak heksan tidak sepenuhnya
mengandung senyawa kimia. Metode kuantitatif masing-masing ekstrak dianalisis
dengan menggunakan spektrofotometri UV-Vis untuk fenol, tanin dan flavonoid
dan metode gravimetri untuk alkaloid. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa
senyawa fenol dari ekstrak aseton, ekstrak etanol dan ekstrak air adalah 0,1008%,
0985% dan 0,1751%. Senyawa tanin dari ekstrak etanol, ekstrak aseton dan ekstrak
air adalah 0,1859%, 0,14% dan 0,16%. Senyawa flavonoid dari ekstrak aseton,
ekstrak etanol, dan ekstrak air adalah 0,1001%, 0,1215% dan 0,0825%. Senyawa
alkaloid dari ekstrak etanol dan ekstrak air adalah 0,14% dan 0,475%. Kata kunci :
Kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa Linn.), maserasi, gravimetric,
Spektrofotometri UVVis.

14
Kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung berbagai jenis
metabolit sekunder yang dimanfaatkan dalam pengobatan seperti dislipidemia,
hipertensi ringan dan sedang (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011).
Tanaman ini juga berkhasiat sebagai hepatoprotektif, antikanker dan antioksidan
(Mahadevan et al., 2009). Kelopak bunga rosela mengandung alkaloid, riboflavin,
asam arakhidat, asam sitrat, karotenoid, niasin, kalsium, flavonoiddan
antosianin(Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2011).
Untuk menganalisis senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut perlu dilakukan
skrining fitokimia. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Okereke et al.,
(2015), kelopak bunga rosela dari ekstrak air mengandung glikosida, saponin dan
fenol. Ekstrak etanol mengandung glikosida, alkaloid, dan flavonoid.Ekstrak
metanol 2 mengandung glikosida, saponin, alkaloid, dan flavonoid. Ekstrak
petroleum eter mengandung glikosida, dan saponin. Ekstrak etil asetat
mengandung glikosida, tannin, dan saponin. Berdasarkan hasil penelitian Okereke
et al., (2015), analisis fitokimia kuantitatif dengan metode gravimetri dari kelopak
bunga rosela diperoleh nilai saponin (0,96 %), flavonoid (20,08 %), tanin (17,00
%), fenol (1,10 %), glikosida (0,132 %), dan alkaloid (2,14 %). Berdasarkan hasil
penelitian oleh Obouayeba et al., (2015), analisis kuantitatif ekstrak metanol dari
kelopak bunga rosela diperoleh kadar senyawa antosianin (12,34 ± 2,30 mg/g) dan
rasio 53,19, kadar senyawa flavonoid (20,70 ± 1,50 mg/g) dan rasio 89,20, kadar
senyawa flavonoid lain (8,36 ± 0,72 mg/g) dan rasio 36,03, kadar senyawa
polifenol (23,21 ± 2,70 mg/g) dan rasio 99,98, dan kadar senyawa asam fenolik
(2,50 ± 0,12 mg/g) dan rasio 10,77. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan
Madubuike & Onukwube (2016), analisis kualitatif dari kelopak bunga rosela
dengan metode maserasi dari ekstrak metanol mengandung alkaloid, tanin,
saponin, flavonoid, fenol, dan glikosida.Ekstrak air mengandung alkaloid, tanin,
saponin, fenol, antosianin, dan glikosida. Ekstrak etanol mengandung alkaloid,
saponin, flavonoid, fenol, antosianin, dan glikosida. Ekstrak petroleum eter
mengandung tanin, saponin, dan glikosida. Berdasarkan hasil penelitian Garbi et
al., (2016), skrining fitokimia dari ekstrak metanol pada kelopak bunga rosela
dengan metode refluks mengandung alkaloid, glikosida antrakuinon, flavonoid,
tanin, sterol dan triterpen, dan fenol. Ekstraksi dengan pelarut didasarkan pada sifat
kepolaran zat dalam pelarut saat ekstraksi (Hanani, 2015).Pelarut yang digunakan
adalah pelarut yang dapat menyari sebagian besar metabolit sekunder yang
diinginkan dalam simplisia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).Air
adalah pelarut universal digunakan untuk mengekstraksi tanaman dengan aktivitas
antimikroba.Air juga melarutkan flavonoid kebanyakan antosianin yang tidak

15
memiliki aktivitas antimikroba signifikan dan fenolat larut air sebagai senyawa
antioksidan.Aseton banyak melarutkan komponen senyawa hidrofilik dan lipofilik
dari tumbuhan.Aseton dapat bercampur dengan air, mudah menguap dan memiliki
toksisitas rendah, digunakan untuk mengekstrak senyawa fenolik, tanin, dan
saponin (Tiwari et al., 2011).Heksan digunakan untuk mengekstraksi lemak dan
tidak dapat bercampur dengan metanol. Etanol digunakan untuk ekstraksi awal
simplisia baik sendiri atau dicampur dengan air (Saifudin, 2014).
METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan
Spektrofotometri UV-Vis (Shimadzu UV-1800), sonikator (Branson 1800),
timbangan analitik (Precisa), corong pisah (Iwaki), gelas ukur (Iwaki),
kertasperkamen, spatel, bola hisap, corong, aluminium foil,wadah maserasi (botol
gelap),rotaryevaporator (IKA®),erlenmeyer (Iwaki), labu ukur (Iwaki), batang
pengaduk (Iwaki), beaker glass(Iwaki), pipet ukur (Iwaki), pipet tetes, optilep,
oven, kertas saring whatman. Bahan yang digunakan yaitu simplisia kelopak bunga
rosela (Hibiscus sabdariffa L.)kuersetin (Sigma), asam galat (Sigma), katekin
(Sigma), dan seluruh pelarut serta pereaksi dibeli dari Merck yaitu heksan, aseton,
etanol, akuades, asam sulfat pekat, feri (III) klorida, kloralhidrat, kalium bromida,
timbal asetat, natrium hidroksida, serbuk magnesium, asam klorida, asam asetat
anhidrat, kalium permanganat, ammonia, natrium karbonat, indigo karmin, natrium
fosfat, ninhidrin,naftol, tembaga sulfat anhidrat, kalium bromida, serbuk zink, 3
raksa (II) klorida, kalium iodida, asam sitrat, asam salisilat, iodium, asam pikrat,
natrium borohidrat, tembaga asetat, kloroform, metanol, raksa, asam nitrat pekat,
katekin, folin-ciocalteu, natrium fosfat, etil asetat, alumunium klorida, natrium
asetat. Prosedur Penyiapan Simplisia Standarisasi Simplisia Rosela 1) Parameter
Non Spesifik 2) Parameter Spesifik Pembuatan Ekstrak Sejumlah 50 gram serbuk
simplisia kelopak bunga rosela dimasukkan kedalam maserator, ditambahkan 500
mL pelarut heksan. Direndam selama 6 jam pertama sambil sesekali diaduk,
kemudian diamkan selama 18 jam. Maserat dipisahkan dengan cara filtrasi
(penyaringan), proses penyaringan ini diulangi 2 kali, dengan menggunakan jenis
dan jumlah pelarut yang sama. Semua maserat dikumpulkan, kemudian di uapkan
dengan alat penguap putar (rotary evaporator) pada suhu dibawah ± 50ºC sehingga
diperoleh ekstrak. Lakukan hal yang sama terhadap pelarut aseton dan etanol
hingga diperoleh ekstrak cair. Selanjutnya pembuatan ekstrak air dari kelopak
bunga rosela dengan metode infusa. Sebanyak 50 gram simplisia kelopak bunga
rosela dimasukkan kedalam panci infus dan ditambahkan dengan pelarut air

16
sebanyak 500 mL, lalu dimasukkan kedalam penangas air selama 15 menit pada
suhu 90ºC sambil sekalikali diaduk, lalu serkai selagi panas menggunakan kain
flannel dan tambahkan air panas secukupnya melalui ampas hingga diperoleh
volume infusa yang dikehendaki (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2000). Analisis Kualitatif Rosela Analisis kualitatif dari ekstrak heksan, aseton,
etanol dan air dari kelopak bunga rosela adalah sebagai berikut: 1. Uji karbohidrat
Tes Molish: 2 mL ekstrak tanaman, ditambahkan dua tetes larutan alkohol αnaftol,
lalu campuran dikocok dengan baik dan tambahkan beberapa tetes asam sulfat
pekat perlahan sepanjang sisi tabung reaksi. Cincin ungu menunjukkan adanya
karbohidrat (Banu & Cathrine, 2015).
Tes Benedict: Untuk 0,5 mL filtrat,tambahkan 0,5 mL reagen Benediktus.
Campuran dipanaskan sampai mendidih selama 2 menit. Presipitat warna
karakteristik menunjukkan adanya gula (Banu & Cathrine, 2015). Tes Fehling:
Penambahan pereaksi fehling 1 dan 2 dalam jumlah yang sama banyak kedalam
larutan uji, lalu akan terjadi reduksi (kadang-kadang diperlukan pemanasan)
menghasilkan endapan kupro oksida berwarna merah bata(Hanani, 2015). 2. Uji
asam lemak Tambahkan asam sulfat 25%, pengamatan dilakukan dengan
pemanasan,dan terbentuk warna cokelat muda menunjukkan adanya asam lemak
(Hanani, 2015). 3. Uji fenol Ekstrak ditambahkan 3-4 tetes besi (III) klorida.
Senyawa fenol akan memberikan warna hijau hingga biru hitam dengan
penambahan larutan garam besi (III) klorida (Tiwari et al., 2011).
4. Uji tanin Ekstrak ditambahkan 3 tetes larutan feri klorida menunjukkan hijau
hingga biru kehitaman (Hanani, 2015). 5. Uji flavonoid Uji Shinoda: Larutan uji
diuapkan hingga kering, ditambahkan 2-3 tetes 4 etanol, kemudian ditambahkan
dengan serbuk Mg dan beberapa tetes asam klorida 5M. Warna merah hingga
merah lembayung yang timbul menandakan adanya senyawa flavonon, flavononol
dan dihidroflavonol (Hanani, 2015).
Uji Timbal Asetat: Ekstrak ditambahkan dengan beberapa tetes larutan timbal
asetat. Pembentukan endapan warna kuning menunjukkan adanya flavonoid
(Tiwari et al., 2011). 6. Uji alkaloid Tes Mayer: untuk beberapa mL ekstrak
tanaman, dua tetes reagen Mayer ditambahakan disepanjang sisi tabung. Endapan
krem putih menunjukkan adanya alkaloid (Tiwari et al., 2011).
Tes Wagner: Beberapa tetes reagen Wagner ditambahkan ke beberapa ml ekstrak
tumbuhan disepanjang sisi tabung reaksi. Endapan coklat kemerahan
mengkonfirmasikan tes tersebut sebagai positif (Tiwari et al., 2011). 7. Uji minyak

17
atsiri Ekstrak ditambahkan larutan kalium permanganat, warna akan menjadi pucat
atau hilang (Hanani, 2015). 8. Uji saponin Uji Busa:1 mL ekstrak ditambahkan 10
mL air kocok diamkan selama 10 menit ditambahkan 1 tetes HCL. Jika timbul
busa setelah panambahan HCl selama 10 menit dan tinggi busa 1-10 cm,
menunjukkan adanya saponin (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1995).
9. Uji steroid Tambahkan kloroform dan lihat lapisan yang terbentuk, kemudian
lapisan kloroform dikeringkan. Lalu tambahkan 3 tetes H2SO4 P. Maka akan
terbentuk warna biru. Terbentuknya warna biru dapat diamati pada bagian pinggir
plat tetes (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000). 10. Uji terpenoid
Ekstrak 1 mL ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes asam sulfat
pekat perubahan warna ungu atau merah kemudian menjadi biru hijau menunjukan
adanya terpenoid (Banu & Cathrine, 2015).
Analisis Kuantitatif Rosela Analasis kuantitatif digunakan untuk menghitung
jumlah atau besaran suatu komponen yang terkandung di dalam suatu senyawa
atau bahan tertentu. Analisis kuantitatif dari ekstrak heksan, aseton etanol dan air
kelopak bunga rosela sebagai berikut : (Kementerian kesehatan republik Indonesia,
2011). 1. Penetapan kadar fenol Kadar senyawa fenol total dilakukan
menggunakan metode Folin Ciocalteau. Larutan standar atau larutan uji dibuat
dalam berbagai konsentrasi yang diperoleh dengan cara pengenceran larutan induk
asam galat. Penentuan panjang gelombang maksimum Larutan induk asam galat :
Timbang seksama 10 mg asam galat dimasukkan ke dalam labu ukur encerkan
secara kuantitatif dan jika perlu bertahap dengan 10 mL metanol P. Pengukuran :
Dipipet 0,5 mL masukkan kedalam labu terukur, kemudian ditambahkan 5 mL
enceran Folin Ciocalteu LP, diamkan selama 8 menit, tambahkan 4 mL NaOH 1 %
inkubasi selama 1 jam. Ukur serapan panjang gelombang dengan Spektrofotometri
UVVis. Pembuatan kurva kalibrasi Dari larutan induk asam galat 1 mg/mL dibuat
berbagai konsentrasi 15; 30; 45; 60; 75; 90 µg/mL. Kemudian dipipet sebanyak
0,1; 0,3; 0,45; 0,6; 0,75; 0,9 mL 5 tambahkan 5 mL enceran Folin Ciocalteu Lp
(7,5 % dalam air), lalu diamkan selama 8 menit, tambahkan 4 mL NaOH 1 %
inkubasi selama 1 jam. Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum asam
galat – Folin Ciocalteu dengan Spektrofotometri UV-Vis dan buat kurva kalibrasi
sehingga persamaan regresi linearnya dapat dihitung. Larutan uji Pipet ekstrak
sebanyak 0,5 mL masukkan ke dalam labu terukur, Ditambahkan 5 mL enceran
FolinCiocalteu lalu diamkan selama 8 menit, tambahkan 4 mL NaOH 1 % inkubasi
selama 1 jam. Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum asam galat- Folin
Ciocalteu dengan Spektrofotometri Uv-Vis 2. Penetapan kadar tannin Penetapan
kadar tanin dilakukan dengan metode spektrofotometri Uv-Vis Larutan

18
pembanding Keringkan pembanding katekin dalam oven pada suhu 105˚ C sampai
bobot tetap. Timbang seksama lebih kurang 50 mg, masukkan ke dalam labu
terukur 50 mL, larutkan dalam etil asetat P, sonikasi selama 5 menit. Pipet 2 mL
larutan, masukkan ke dalam labu Erlenmeyer bersumbat kaca 100 mL, tambahkan
50 mL etil asetat P, sonikasi kembali selama 5 menit. Larutan Uji Timbang
seksama lebih kurang 50 mg ekstrak, keringkan dalam oven pada suhu 105˚ C
sampai bobot tetap.Masukkan ke dalam labu terukur 50 mL, larutkan dalam etil
asetat P, sonikasi selama 5 menit. Pipet 2 mLlarutan, masukkan ke dalam labu
Erlenmeyer bersumbat kaca 100 mL, tambahkan 50 mL etil asetat P, sonikasi
kembali selama 5 menit. Larutan blangko etil asetat P Ukur serapan larutan
pembanding, larutan uji dan larutan blangko secara spektrofotometri pada panjang
gelombang 279 nm dan 300 nm. Serapan larutan uji pada 300 nm tidak lebih dari
0,03. Hitung persentase katekin dalam ekstrak pada panjang gelombang 279 nm
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010). 3. Penetapan kadar flavonoid
Penetapan kadar flavonoid total menggunakan spektrofotometer Uv-Vis
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Penentuan panjang
gelombang maksimum Larutan induk kuersetin : Timbang seksama 10 mg
kuersetin dimasukkan ke dalam labu terukur encerkan secara kuantitatif dengan
etanol 80 %. Pengukuran : Dipipet 0,5 mL masukkan kedalam labu terukur,
kemudian ditambahkan 1,5 mL etanol P, tambahkan 0,1 mL alumunium klorida P
10 %, kemudian tambahkan 0,1 mL natrium asetat 1 M dan 2,8 mL air suling.
Kocok dan diamkan selama 30 menit pada suhu ruang. Ukur serapan pada panjang
gelombang serapan maksimum. Pembuatan kurva kalibrasi Dari larutan induk
kuersetin 1 mg/mL dibuat berbagai konsentrasi 30; 40; 50; 60; 70 µg/mL.
Kemudian dipipet sebanyak 0,3; 0,4; 0,5; 0,6; 0,7 mL, tambahkan 1,5 mL etanol P,
tambahkan 0,1 mL alumunium klorida P 10 %, kemudian tambahkan 0,1 mL
natrium asetat 1 M dan 2,8 mL air suling. Kocok dan diamkan selama 30 menit
pada suhu ruang.Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum kuersetin
dengan Spektrofotometri UV-Vis dan buat kurva kalibrasi sehingga persamaan
regresi linearnya dapat dihitung. 6 Larutan uji Pipet ekstrak sebanyak 0,5 mL,
tambahkan 0,1 mL alumunium klorida P 10 %, kemudian tambahkan 0,1 mL
natrium asetat 1 M dan 2,8 mL air suling. Kocok dan diamkan selama 30 menit
pada suhu ruang.Ukur serapan pada panjang gelombang maksimum kuersetin
dengan Spektrofotometri UV-Vis. 4. Penetapan kadar alkaloid Timbang seksama
lebih kurang 20 mL ekstrak, sari menggunakan 100 mL metanol Pdan 10 mL
amoniak P, panaskan di atas tangas air selama 30 menit, saring. Ulangi 2 kali
penyarian menggunakan jenis dan jumlah pelarut yang sama. Tambahkan 50 mL

19
asam klorida 1 N LP pada kumpulan filtrat, uapkan hingga volume kurang lebih 25
mL, saring ke dalam corong pisah. Basakan filtrat dengan amoniak P sampai pH ±
10, sari 3 kali dengan 25 mL kloroform P kumpulkan dan uapkan fase kloroform
pada suhu 50˚, kemudian keringkan pada hingga bobot tetap. Hitung sisa
pengeringan sebagai alkaloid total (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2008).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Standarisasi Simplisia Rosela 1. Pengujian mikroskopik 2. Susut pengeringan
adalah 8,6276 % ±0,0325 3. Kadar abut total adalah 6,5861 % ± 0,0146 4. Kadar
abu tidak larut asam adalah 1,5675 % ± 0,2611 5. Kadar sari larut air adalah
16,1821 % ± 0,0741 6. Kadar sari larut etanol adalah 17,6356 % ± 0,8284 Hasil
analisis kualitatif ekstrak heksan, aseton, etanol dan air dari kelopak bunga rosela
Kelopak bunga rosela yang telah di ekstraksi menggunakan 4 pelarut yang bebeda
yaitu heksan, aseton, etanol dan air kemudian dilakukan uji kualitatif kandungan
kimia di tunjukkan pada (Tabel I). Hasil Analisis Kuantitatif Kelopak Bunga
Rosela 1. Kadar fenol total ekstrak aseton, etanol dan air dari kelopak bunga rosela
(Tabel II) 2. Kadar tanin total ekstrak aston, etanol dan air dari kelopak bunga
rosela (Tabel II) 3. Kadar flavonoid total ekstrak aseton, etanol dan air kelopak
bunga rosela (Tabel II) 4. Kadar alkaloid total esktrak etanol dan air kelopak
bunga.
Pembahasan Simplisia Sampel yang digunakan adalah kelopak bunga rosela
(Hibiscus sabdariffa Linn) berupa simplisia kering yang diperoleh dari PT. Temu
Kencono Gunungpati Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis
kandungan senyawa kimia dari masingmasing ekstrak heksan, aseton, etanol dan
air dari kelopak bunga rosela dan menentukan kadar senyawa kimia dari masing-
masing ekstrak heksan, aseton, etanol dan air dari kelopak bunga rosela. Sebelum
dilakukan proses ekstraksi pada kelopak bunga rosela dilakukan standarisasi
simplisa yang bertujuan untuk mendapatkan simplisia yang bermutu baik dan yang
memenuhi standarisasi Farmakope Herbal Indonesia (2011), yang meliputi uji
mikroskopik, susut pengeringan, kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar
sari larut air dan kadar sari larut etanol. Ekstraksi dari heksan, aseton dan etanol
pada kelopak bunga rosela dilakukan dengan metode maserasi karena pengerjaan
nya lebih sederhana, tidak memerlukan perlakuan khusus dan tidak memerlukan
pemanasan sehingga baik untuk simplisia yang mengandung zat aktif yang tidak
tahan terhadap pemanasan. Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen
kimia yang terdapat dalam bahan alam. Pelarut yang digunakan adalah pelarut

20
yang dapat menyari sebagian besar metabolit sekunder (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2000). Proses maserasi pada ekstrak heksan, aseton dan etanol
dilakukan dengan menggunakan botol kaca gelap dan ditempat yang terlindung
cahaya. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya penguraian struktur zat
aktif terutama untuk senyawa yang kurang stabil terhadap cahaya. Pada maserasi
terjadi proses keseimbangan konsentrasi antara larutan diluar dan didalam sel
sehingga diperlukan penggantian pelarut secara berulang (Hanani, 2015). Satu
bagian serbuk simplisia dimaserasi dalam botol gelap tertutup dengan 10 bagian
pelarut. direndam selama 6 jam pertama sambil diaduk, kemudian diamkan selama
18 jam. Pisahkan maserat dengan cara penyaringan menggunakan kain flannel,
ulangi proses penyarian sekurang-kurangnya dua kali dengan jenis dan jumlah
pelarut yang sama. Selanjutnya semua maserat yang terkumpul dipekatkan dengan
alat penguap putar (rotary evaporator) pada suhu dibawah ± 50˚ untuk menguapkan
pelarut yang masih tersisa sampai didapatkan ekstrak cair (Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2000).
Kadar Alkaloid Total Pada Ekstrak Etanol dan Air Penetapan kadar alkaloid total
dilakukan dengan metode gravimetri, metode gravimetri adalah salah satu metode
penentuan secara kuantitatif dengan cara mengukur berat komponen dalam
keadaan murni setelah melalui proses pemisahan (Hanani, 2017). Penambahan
amoniak P bertujuan agar Amoniak P bereaksi dengan asam klorida yang
membentuk garam yang larut dalam air sedangkan alkaloid kembali dalam bentuk
basa dan tidak terlarut dalam air tetapi mudah larut dalam kloroform. Alkaloid
dalam keadaan bebas dapat diekstraksi dengan pelarut kloroform, sehingga
dihasilkan ekstrak kloroform yang merupakan alkaloid total. Berdasarkan hasil
perhitungan kadar alkaloid total ekstrak etanol diperoleh kadar sebesar 0,14 % dan
ekstrak air diperoleh kadar sebesar 0,475 % .

BAB III
PENUTUP

21
III. 1 Kesimpulan
Metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai
kemampuan bioaktivitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan dari gangguan
hama penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannyaAlkaloid adalah
senyawa organik yang terdapat di alam bersifat basa atau alkali dan sifat basa ini
disebabkan karena adanya atom N (Nitrogen) dalam molekul senyawa tersebut
dalam struktur lingkar heterosiklik atau aromatis, dan dalam dosis kecil dapat
memberikan efek farmakologis pada manusia dan hewan. Kandungan
senyawa kimia dari ekstrak aseton yaitu fenol, tanin dan flavonoid. Kandungan
senyawa kimia dari ekstrak etanol yaitu fenol, tanin, flavonoid dan alkaloid.
Kandungan senyawa kimia dari ekstrak air yaitu fenol, tanin, flavonod dan
alkaloid. Namun pada ekstrak heksan tidak diperoleh kandungan senyawa kimia. 2.
Kadar fenol total dari ekstrak aseton 0,1008 %, ekstrak etanol 0,0985 % dan
ekstrak air 0,1751 %. Kadar tanin total dari ekstrak aseton 0,14 %, ekstrak etanol
0,1859 % dan ekstrak air 0,16 %. Kadar flavonoid dari ekstrak aseton 0,1001 %,
ekstrak etanol 0,1215 % dan ekstrak air 0,0825 %. Kadar alkaloid yang diperoleh
pada kelopak bunga rosela dari ekstrak etanol 0,14 % dan ekstrak air 0,475 %.

Daftar Pustaka

22
Alfian, Riza & Susanti Hari. (2012). Penetapan kadar fenolik total ekstrak metanol
kelopak bunga rosela merah (Hibiscus sabdariffa Linn) dengan variasi tempat
tumbuh secara spektrofotometri.
Jurnal Ilmiah Kefarmasian.

Badan POM RI.(2011). 2. Acuan Sediaan Herbal (volume 6).


Jakarta: Direktorat OAI, Deputi II, Badan Pengawas Obat dan
Makanan RI. 3

Banu, K. S., Dr. L. Cathrine. (2015). General Techniques Involved in


Phytochemical Analysis.
International Journal of Advanced Research in Chemical Science
(IJARS). 2(4), 25-32. 4.

Chang, C.C., yang, M.H., wen, H.M, and Chern J.C., (2002). Estimasion of total
flavonoid content in propolis by two complementary Colorimetric methods.
Journal Food Drug Analysis. 10(3), 178-1821), 73-80.

Cordell, Geoffrey A. (1981). Introduction to Alkaloids.


John Wiley & Sons : New York

Gritter, R. J. (1991). Pengantar Kromatografi Terbitan ke-2. ITB :


Bandung.

Hanani, E. (2015). Analisis Fitokimia.


Jakarta: Buku kedokteran EGC.

23
Jones, David S. (2010). Statistik Farmasi.
Jakarta: Buku kedokteran EGC.

Kementerian Keshatan RI. (2011). Formularium Obat Herbal Asli


Indonesia(volume 1).
Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Tradisional, Alternatif
dan Komplementer.

Manfred Hesse. (1986). Alkaloid Chemistry, A Wiley-Intersciance Publicatin.


John Wiley & Sons : New York.

Widi, Restu Kartiko. (2007). Penjaringan dan Identifikasi Senyawa Alkaloid


dalam Batang Kayu Kuning (Arcangelisia Flava Merr) (Screening and
Identification of Alkaloid Compounds in Kayu Kuning Stem (Arcangelisia Flava
Merr)).
ILMU DASAR, Vol. 8 No. 1.

24

Anda mungkin juga menyukai