Makalah Riba Dan Macam-Macam Riba

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

RIBA DAN MACAM-MACAM RIBA

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Mata Kuliah Fiqh Muamalah


Dosen Pengampu : Imam Mustofa, M.S.I.

Disusun oleh :

WITA DERA TIRANTI (1502100316)

KELAS A
PROGRAM STUDY S1 PERBANKAN SYARIAH
JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
2016
A. Pendahuluan
Dalam bingkai ajaran Islam, aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh
manusia untuk dikembangkan memiliki beberapa kaidah dan etika atau
moralitas dalam syariat Islam. Allah telah menurunkan rizki ke dunia ini
untuk dimanfaatkan oleh manusia dengan cara yang telah dihalalkan
oleh Allah dan bersih dari segala perbuatan yang mengandung riba.
Diskursus mengenai riba dapat dikatakan telah "klasik" baik dalam
perkembangan pemikiran Islam maupun dalam peradaban Islam
karena riba merupakan permasalahan yang pelik dan sering terjadi
pada masyarakat, hal ini disebabkan perbuatan riba sangat erat
kaitannya dengan transaksi-transaksi di bidang perekonomian (dalam
Islam disebut kegiatan muamalah) yang sering dilakukan oleh manusia
dalam aktivitasnya sehari-hari. Pada dasarnya, transaksi riba dapat
terjadi dari transaksi hutang piutang, namun bentuk dari sumber
tersebut bisa berupa qardh, buyu' dan lain sebagainya. Para ulama
menetapkan dengan tegas dan jelas tentang pelarangan riba,
disebabkan riba mengandung unsur eksploitasi yang dampaknya
merugikan orang lain, hal ini mengacu pada Kitabullah dan Sunnah
Rasul serta ijma' para ulama. Bahkan dapat dikatakan tentang
pelarangannya sudah menjadi aksioma dalam ajaran Islam. Beberapa
pemikir Islam berpendapat bahwa riba tidak hanya dianggap sebagai
sesuatu yang tidak bermoral melainkan sesuatu yang menghambat
aktifitas perekonomian masyarakat. Sehingga orang kaya akan
semakin kaya sedangkan orang miskin akan semakin miskin dan
tertindas.
Manusia merupakan makhluk yang "rakus", mempunyai hawa
nafsu yang bergejolak dan selalu merasa kekurangan sesuai dengan
watak dan karakteristiknya, tidak pernah merasa puas, sehingga
transaksi-transaksi yang halal susah didapatkan karena disebabkan
keuntungannya yang sangat minim, maka haram pun jadi (riba). Ironis
memang, justru yang banyak melakukan transaksi yang berbau riba
adalah kalangan umat Muslim yang notabene mengetahui aturan-
aturan (the rules of syariah) syari'at Islam. bahwa sarjana Barat
tersebut menemukan banyak orang Islam di Indonesia, tetapi
perbuatan orang Islam di Indonesia sedikit yang Islami, sebaliknya
sarjana Barat sedikit menemukan orang Islam di negara barat tetapi
perbuatan atau pekerjaannya mencerminkan kebudayaan Muslim
(Islamic values). Kalau demikian kondisi umat Islam, maka celakalah
"mereka". Karena seorang muslim sejati hanya akan "melongok" dunia
perekonomian melalui kaca mata Islam yang selalu

1
mengumandangkan "ini halal dan ini haram, ini yang diridhoi Allah dan
yang ini dimurkai oleh-Nya".
Riba merupakan suatu tambahan lebih dari modal asal, biasanya
transaksi riba sering dijumpai dalam transaksi hutang piutang dimana
kreditor meminta tambahan dari modal asal kepada debitur. tidak
dapat dinafikkan bahwa dalam jual beli juga sering terjadi praktek riba,
seperti menukar barang yang tidak sejenis, melebihkan atau
mengurangkan timbangan atau dalam takaran.

B. Pengertian Riba

Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian, yaitu :

1. Bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta


tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah satu perbuatan riba
adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud dengan riba


menurut Al-Mali yang artinya adalah “akad yang terjadi atas
penukaran barang tertentu yang tidak diketahui perimbangannya
menurut ukuran syara’, ketika berakad atau dengan mengakhirkan
tukaran kedua belah pihak atau salah satu keduanya”.

Menurut Abdurrahman al-Jaiziri, yang dimaksud dengan riba


ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui
sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah
satunya.

Syaik Muhammad Abduh berpendapat bahwa yang dimaksud


dengan riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan
oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam

2
hartanya (uangnya), karena pengunduran janji pembayaran oleh
peminjam dari waktu yang telah ditentukan.1

Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula
timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis,
yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak
seimbang (riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis
dan jumlahnya dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba
nasi’ah).2

C. Hukum Riba

Riba itu haram. Banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menerangkan


riba, demikian pula hadis-hadis yang menerangkan larangan riba dan
yang menerangkan siksa bagi pelaku riba.

Hukum riba haram sebagaimana firman Allah SWT yang artinya :


“bahwasanya jual-beli itu seperti riba, tetapi Allah menghalalkan jual-
beli dan mengharamkan riba”. (Q.S Al Baqarah, ayat 275).

Dalam hadis, tentang larangan riba dinyatakan :

Nabi Muhammad SAW. bersabda yang artinya :

Dari Jabir R.A ia berkata : Rasulullah SAW telah melaknati orang-


orang yang suka makan riba, orang yang jadi wakilnya, juru tulisnya,
orang yang menyaksikan riba. Rasulullah selanjut bersabda : “mereka
semuanya sama”. (dalam berlaku maksiat dan dosa).3

D. Macam-macam Riba
1
Hendi suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT RAJAGRAFINDO PERSADA, 2002) h.57
2
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : Rajawali Press, 2011) h.13
3
Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.772-773

3
Riba itu ada empat macam, yaitu :

1. Riba fuduli

Fuduli artinya lebih, misalnya menjual salah satu dari dua barang
yang sejenis yang saling dipertukarkan lebih banyak daripada yang
lainnya, misalnya :

 Menjual uang Rp. 100.000,- dengan uang Rp. 110.000,-


 Menjual 10 kg beras dengan 11 kg beras.
Yang dimaksud lebih ialah dalam timbangannya pada
barang yang ditimbang ; takaran pada barang yang
ditakar ; ukuran pada barang yang diukur, dan jumlah
banyak pada uang yang dipertukarkan dan sebagainya.
2. Riba qardi

Riba qardi, yaitu meminjam dengan syarat keuntungan bagi yang


menghutangi (qardi=pinjam), seperti orang berhutang Rp. 100.000,-
dengan perjanjian akan membayar kembali kelak Rp. 110.000,-

3. Riba yad

Riba yad, yaitu berpisah sebelum timbang terima. Misalnya orang


yang membeli sepeda motor, sebelum ia menerima barang yang dibeli
dari si penjual, si penjual tidak boleh menjual sepeda motor itu kepada
siapapun, sebab barang yang dibeli dann belum diterima masih dalam
ikatan jual-beli yang pertama.

4. Riba nasa’

Riba nasa’, misalnya dipersyaratkan salah satu dari kedua barang


yang dipertukarkan ditangguhkan pembayarannya. Umpama, membeli
barang kalau tunai Rp. 100.000,- tetapi kalau tidak tunai harganya Rp.

4
125.000,-. Kelebihan membayar Rp. 25.000,- inilah yang dinamakan
riba nasa’.4

E. Macam-macam Riba menurut Para Ulama


 Menurut Jumhur Ulama5
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl
dan riba nasi’ah.
a. Riba Fadhl

Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah tambahan zat harta


pada akad jual-beli yang diukur dan sejenis.

Dengan kata lain, riba fadhl adalah jual-beli yang


mengandung unsur riba pada barang sejenis dengan adanya
tambahan pada salah satu benda tersebut.

Oleh karena itu, jika melaksanakan akad jual-beli


antarbarang yang sejenis, tidak boleh dilebihkan salah satunya
agar terhindar dari unsur riba.

b. Riba Nasi’ah

Menjual barang dengan sejenisnya, tetapi satu lebih banyak,


dengan pembayaran diakhirkan, seperti menjual satu kilogram
gandum dengan satu tengah kilogram gandum, yang
dibayarkan setelah dua bulan. Contoh jual-beli yang tidak
ditimbang, seperti membeli satu buah semangka dengan dua
buah semangka yang akan dibayar setelah sebulan.

4
Ibid, h.775-777
5
Ibn Rusyd sebagamaina dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung : CV Pustaka
Setia, 2001) h.262-263

5
Ibn Abbas,Usamah Ibn jaid Ibn Arqam, Jubair, Ibn Jabir, dan
lain-lain berpendapat bahwa riba yang diharamkan hanyalah
riba nasi’ah.

 Menurut Ulama Syafi’iyah


Ulama Syafi’iyah membagi riba menjadi tigas jenis :
a. Riba Fadhl

Riba fadhl adalah jual-beli yang disertai adanya tambahan


salah satu pengganti (penukar) dari yang lainnya. Dengan kata
lain, tambahan berasal dari penukar paling akhir. Riba ini terjadi
pada barang yang sejenis, seperti menjual satu kilogram
kentang dengan satu setengah kilogram kentang.

b. Riba Yad

Jual-beli dengan mengakhirkan penyerahan (al-qabdu),


yakni bercerai-cerai antara dua orang yang akad sebelum
timbang terima, seperti menganggap sempurna jual-beli antara
gandum dengan sya’ir tanpa harus saling menyerahkan dan
menerima di tempat akad.

Menurut ulama Hanafiyah, riba ini termasuk riba nasi’ah,


yakni menambah yang tampak dari utang.

c. Riba Nasi’ah

Riba nasi’ah, yakni jual beli yang pembayarannya


diakhirkan, tetapi ditambahkan harganya.

Menurut ulama Syafi’iyah, riba yad dan riba nasi’ah sama-


sama terjadi pada pertukaran barang yang tidak sejenis.
Perbedaannya, riba yad mengakhirkan pemegangan barang,
sedangkan riba nasi’ah mengakhirkan hak dan ketika akad
dinyatakan bahwa waktu pembayaran diakhirkan meskipun

6
sebentar. Al-Mutawalli menambahkan, jenis riba dengan riba
qurdi (mensyaratkan adanya manfaat). Akan tetapi, Zarkasyi
menempatkannya pada ribs fadhl.6

F. Jenis-jenis Riba

Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-


masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama
terbagi lagi menjadi qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok
kedua, riba jual beli, terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :

a. Riba Qardh

Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan


terhadap yang berhutang (muqtaridh).

b. Riba Jahiliyyah

Utang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak


mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.

c. Riba Fadhl

Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran


yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk
dalam jenis barang ribawi.

d. Riba Nasi’ah

Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi


yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan

6
Muhammad Asy-Syarbini sebagaimana dikutip oleh Rachmat Syafei, FIQH Muamalah, (Bandung
: CV Pustaka Setia, 2001) h.264

7
antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian.7

G. Konsep Riba dan Dasar Keharamannya

Secara bahasa riba berarti al-ziyadah (tumbuh subur, tambahan).


Seluruh fuquha sepakat bahwasanya hukum riba adalah haram
berdasarkan keterangan yang sangat jelas dalam Al-Quran dan al-
Hadis.

Pernyataan Al-Qur’an tentang larangan riba dan perintah


meninggalkan seluruh sisa-sisa riba yang terdapat pada surat al-
Baqarah ayat 276 yang artinya “ jika kamu tidak meninggalkan sisa-
sisa riba maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangi kamu. Jika kamu bertaubat maka bagimu adalah pokok
hartamu. Tidak ada diantara kamu orang yang menganiaya dan tidak
ada yang teraniaya.8

Jika illat riba adalah dzulm (penindasan dan pemerasan) dan


hikmah pengharaman riba adalah untuk menumbuh suburkan
shadaqah, maka dengan sendirinya tradisi riba yang diharamkan oleh
Al-Qur’an adalah praktek riba yang bertentangan dengan seruan
shadaqah.9

H. Illat Pengharaman

Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-


barang pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat
disingkirkan dari kehidupan.

7
Zainuddin Ali, Hukum Perbankan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008) h.92-93
8
Ghufron A. Mas’adi, fiqh muamalah kontekstual, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002)
h.151-152
9
Ibid, h.155

8
Emas dan perak adalah dua unsur pokok bagi uang yang
dengannya transaksi dan pertukaran menjadi teratur. Keduanya adalah
standar harga-harga yang kepadanya penentuan nilai barang-barang
dikembalikan. Sementara keempat benda lainnya adalah unsur-unsur
makanan pokok yang menjadi tulang punggung kehidupan.

Apabila riba terjadi pada barang-barang ini makan akan


membahayakan manusia dan menimbulkan kerusakan dalam
muamalah. Oleh karena itu, syariat melarangnya, sebagai bentuk kasih
sayang terhadap manusia dan perlindungan terhadap maslahat-
maslahat.

Dari sini tampak jelas bahwa ilat pengharaman emas dan perak
adalah keberadaan keduanya sebagai alat pembayaran. Sementara
ilat pengharaman benda-benda lainnya adalah keberadaanya sebagai
makanan pokok.

Apabila ilat pertama ditemukan pada alat-alat pembayaran lainnya


selain emas dan perak maka hukumnya sama dengan hukum emas
dan perak sehingga tidak boleh diperjualbelikan kecuali dengan berat
yang sama dan diserahterimakan secara langsung.

Demikian juga, apabila ilat kedua ditemukan pada makanan pokok


selain gandum, jelai, kurma, dan garam maka tidak boleh dijualbelikan
kecuali dengan berat yang sama dan diserahterimakan secara
langsung.

Ma’mar bin Abdullah meriwayatkan bahwa Nabi SAW melarang


untuk menjualbelikan makanan kecuali dengan berat yang sama.10

I. Syarat Menghindari Riba

10
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq,
Fiqih Sunnah, (PT. Tinta Abadi Gemilang : 2013) h.108-109

9
Syarat menjual sesuatu barang supaya tidak menjadi riba, yaitu :

1. Menjual emas dengan emas, perak dengan perak, makanan


dengan makanan yang sejenis, misalnya beras dengan beras,
hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat, yaitu :
a. Serupa timbangan dan banyaknya
b. Tunai
c. Timbang terima dalam akad (Ijab qabul) sebelum
meninggalkan majlis akad
2. Menjual emas dengan perak dan makanan dengan makanan
yang berlainan jenis, misalnya beras dengan jagung, hanya
dibolehkan dengan dua syarat, yaitu :
a. Tunai
b. Timbang terima dalam akad sebelum meninggalkan majlis
akad (taqaabul qablat-tafaaruq)
Keterangan :
Yang dikenai hukum riba hanya pada tiga macam, yaitu
emas, perak dan makanan manusia (termasuk makanan
yang bukan obat).11

J. Hikmah diharamkannya Riba

Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang


sangat negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni :

1. Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi tulang


punggung gotong-royong atas kebajikan dan takwa.
2. Sangat menghalangi kepentingan orang yang menderita dan
miskin.
3. Melenyapkan manfaat yang wajib disampaikan kepada orang
yang membutuhkan.

11
Moh Rifai, Mutiara Fiqih, (Semarang : CV. Wicaksana, 1998) h.777-778

10
4. Menjadikan pelakunya malas bekerja keras.
5. Menimbulkan sifat menjajah darikaum hartawan terhadap orang
miskin.
Keterangan :
Yang dikenal hukum riba hanya ada empat macam, yaitu emas,
perak, makanan manusia dan uang.12

K. Dampak Negatif Riba


1. Dampak Ekonomi

Diantara dampak ekonomi riba adalah dampak inflatoir yang


diakibatkan oleh bunga sebagai biaya utang. Hal tersebut
disebabkan karena salah satu elemen dari penentuan harga adalah
suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga
yang akan ditetapkan pada suatu barang.

Dampak lainnya adalah bahwa utang, dengan rendahnya tingkat


penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan menjadikan
peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas utang tersebut dibungakan.
2. Sosial Kemasyarakatan

Riba merupakan pendapatan yang didapat secara tidak adil. Para


pengambil riba menggunakan uangnya untuk memerintahkan orang
lain agar berusaha dan mengembalika, misalnya, 25% lebih tinggi
dari jumlah yang dipinjamkannya. Siapa pun tahu bahwa berusaha
memiliki dua kemungkinan : berhasil atau gagal. Dengan
menetapkan riba, orang sudah memastikan bahwa usaha yang
dikelola pasti untung.13

12
Ibid, h.778-779
13
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta : Gema Insani, 2001) h.67

11
Islam menganggap riba sebagai kejahatan ekonomi yang
menimbulkan penderitaan bagi masyarakat, baik itu secara
ekonomi, moral, maupun sosial. Oleh karena itu, Al-Qur’an
melarang kaum muslimin untuk memberi ataupun menerima riba.
Dalam mengungkap rahasia makna riba dalam Al-Qur,an, ar-Razi
(tt:88) menggali sebab dilarangnya riba dari sudut pandang
ekonomi, dengan beberapa indikasi sebagai berikut :

a. Riba tak lain adalah mengambil harta orang lain tanpa ada nilai
imbangan apapun. Padahal, menurut sabda Nabi harta
seseorang adalah seharam darahnya bagi orang lain.
b. Riba dilarang karena menghalangi pemodal untuk terlibat dalam
usaha mencari rezeki. Orang kaya, jika ia mendapatkan
penghasilan dari riba, akan bergantung pada cara yang
gampang dan membuang pikiran untuk giat berusaha.
c. Dengan riba, biasanya pemodal semakin kaya dan bagi
peminjam semakin miskin, sekiranya dibenarkan maka yang
ada orang kaya menindas orang miskin.
d. Riba secara tegas dilarang oleh Al-Qur’an, dan kita tidak perlu
tahu alasan pelarangannya.14

L. Ancaman Bagi Pelaku Riba

Hadis Muslim yang artinya :

“Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, pemberinya, penulisnya,


kedua saksinya, mereka semua sama”. (Matan lain : Ahmad :
13744)

14
Kuat Ismanto, Manajamen Syari’ah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015) h.47

12
Riba diharamkan baik dalam Al-Qur’an maupun hadis.
Berikut hadis yang melarang dan mengecam praktik riba dengan
kata-kata yang tegas dan jelas.15
Hadis Akhmad yang artinya :
Nabi Muhammad bersabda : “riba itu sekalipun dapat
menyebabkan bertambah banyak, tetapi akibatnya akan
berkurang”. (Matan lain : Ibnu Majah 2270)
Hadis ini merupakan ancaman bagi orang yang melakukan
praktik riba, bahwa riba memang dapat mendatangkan keuntungan
besar bagi pelakunya, tetapi suatu saat tidak akan mendapatkan
berkah dari Allah, sehingga pada akhirnya akan berkurang.16

15
Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq,
2004.
16
Ilfi Nur Diana, Hadis-hadis Ekonomi, (Malang : UIN-Maliki Press, 2012) h.131-132

13
M. Penutup

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa Riba dapat


timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam
perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba
karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang
(riba fadhl), dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya
dilebihkan karena melibatkan jangka waktu (riba nasi’ah).

Hukum riba adalah haram karena bersifat merugikan pihak yang


lain. Islam mengharamkan riba selain telah tercantum secara tegas
dalam al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 278-279 yang merupakan ayat
terakhir tentang pengharaman riba, juga mengandung unsur
eksploitasi. Dalam surat al-baqarah disebutkan tidak boleh
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya, maksudnya adalah tidak boleh
melipatgandakan (ad'afan mudhaafan) uang yang telah dihutangkan,
karena dalam kegiatannya cenderung merugikan orang lain.

Macam-macam riba yaitu riba fudui, riba qardi, riba yad dan riba
nasa’. Jenis-jenis riba ada riba qardh, riba jahiliyyah, riba fadhl, dan
riba nasi’ah.

Emas, perak, gandum, jelai, kurma dan garam adalah barang-


barang pokok yang sangat dibutuhkan oleh manusia dan tidak dapat
disingkirkan dari kehidupan. Semua itu tidak boleh diperjualbelikan
kecuali dengan berat yang sama dan telah diserahterimakan secara
langsung.

Islam mengharamkan riba, karena riba mengandung hal-hal yang


sangat negatif bagi perseorangan maupun masyarakat, yakni :
Melenyapkan faedah hutang-piutang yang menjadi tulang punggung
gotong-royong atas kebajikan dan takwa, sangat menghalangi
kepentingan orang yang menderita dan miskin, melenyapkan manfaat

14
yang wajib disampaikan kepada orang yang membutuhkan,
menjadikan pelakunya malas bekerja keras, menimbulkan sifat
menjajah darikaum hartawan terhadap orang miskin.

15
DAFTAR PUSTAKA

A.Mas’adi Ghufron, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada, 2002.

Ali Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Suhendi Hendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.

Syafei Rachmat, Fiqh Muamalah, Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.

Rifai Moh, Mutiara Fiqih, Semarang : CV Wicaksana, 1998.

Mardani, Ayat-ayat dan Hadis Ekonomi Syariah, Jakarta : PT Raja


Grafindo Persada, 2012.

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 2011.

Syafi’i Antonio Muhammad, Bank Syariah, Jakarta : Gema Insani, 2001.

Nur Diana Ilfi, Hadis-hadis Ekonomi, Malang : UIN-Maliki Press, 2012.

Ismanto Kuat, Manajemen Syari’ah, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2015.

Al-Mushlih Abdullah, Ash-Shawi Shalah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam,


Jakarta : Darul Haq, 2004.

16

Anda mungkin juga menyukai