Pertemuan Ke-10-.Budaya Politik Di Indonesia
Pertemuan Ke-10-.Budaya Politik Di Indonesia
Pertemuan Ke-10-.Budaya Politik Di Indonesia
PERTEMUAN KE : 10
BUDAYA POLITIK DI INDONESIA
A. Capaian pembelajaran:
Setelah mengikuti pertemuan ini, mahasiswa diharapkan mampu untuk
memahami dan menjelaskan mengenai budaya politik di indonesia, budaya
politik era reformasi,
B. Uraian materi
1. Budaya politik di Indonesia
Budaya politik Indonesia masih tetap merupakan topik kajian yang sangat
menarik, sekalipun kajian tersebut akhir-akhir ini kurang mendapat minat
kalangan ilmuwan politik Indonesia karena beberapa alasan berikut.(
Kantaprawira,2002:56)
1. Penjelasan yang bersifat kultural dalam memahami politik Indonesia kurang
representatif jika dibandingkan dengan penjelasan yang bersifat lain.
Penjelasan yang bersifat kultural dipersepsikan terlampau berorientasi
pada perilaku kelompokpolitik sebuah etnik yang dominan di Indonesia,
terutama etnik Jawa, sehingga tidak dapat dijadikan parame terdalam
memahami politik Indonesia kontemporer yang semakin kompleks.
2. Ketika memasuki dekade 80-an, kalangan ilmuwan politik mulai dihadapkan
pada penjelasan yang bersifat alternatif, yang dianggap lebih representatif
dengan tingkat generalisasi yang tinggi. Sementara itu, penjelasan yang
bersifat kultural memperlihatkan wajah yang etnosentris dan parokial.
3. Penjelasan alternatif yang muncul dikenal dengan pendekatan ekonomi
politik, yang juga bersifat strukturalis, yang mencoba mengaitkan persoalan
politik dengan masalah ekonomi.
Bab ini mencoba memberikan gambaran tentang budaya politik
Indonesia, proses pembentukannya dan perwujudannya. Salah satu
pertanyaan yang relevan untuk dibicarakan adalah: apakah pembentukan pola
budaya politik Indonesia bersifat positif atau negatif terhadap pembentukan
civil society di Indonesia untuk menyongsong proses demokratisasi pada
masa-masa yang akan datang?
Budaya politik, menurut Almond dan Verba, merupakan sikap individu
terhadap sistem politik dan komponen-komponennya, juga sikap individu
terhadap peranan yang dapat dimainkan dalam sebuah sistem politik (1963:
13). Budaya politik tidak lain daripada orientasi psikologis terhadap objek
sosial, dalam hal ini sistemp olitik kemudian mengalami proses internalisasi ke
dalam bentuk orientasi yang bersifat cognitive, affective, dan evaluative.
Orientasi yang bersifat kognitif menyangkut pemahaman dan keyakinan
individu terhadap sistem politik dan atributnya, seperti tentang ibu kota
negara, lambang negara, kepala negara, batas-batas negara, mata uang yang
dipakai, dan sebagai nya. (Henk Schulte Nordholt dan Gery van Klinken,
2007:46)
Sementara itu, orientasi yang bersifat afektif menyangkut ikatan
emosional yang dimiliki oleh individu terhadap sistem politik. Jadi, menyangkut
konsep terhadap sistem politik. Adapun orientasi yang bersifat evaluatif
menyangkut kapasitas individu dalam rangka memberikan penilaian terhadap
sistem politik yang sedang berjalan dan peranan individu di dalamnya.
Dengan sikap dan orientasi seperti itu, terbentuklah budaya politik yang
berbeda. Dalam sebuah masyarakat yang sikap dan orientasi politiknya
didominasi oleh karakteristik yang bersifat kognitif terbentuk budaya politik
yang parokial. Sementara, dalams ebuah masyarakat yang sikap dan orientasi
politiknya diwarnai oleh karakteristik yang bersifat afektif akan terbentuk
budaya politik yang bersifat subjective.
Akhirnya, masyarakat yang memiliki kompetensi politik yang tinggi, yaitu
mampu memberikan evaluasi terhadap proses politik yang berjalan, akan
terbentuk sebuah budaya politik yang bersifat partisipatif. Sebenarnya sangat
sulit untuk melakukan identifikasi budaya politik Indonesia karena atributnya
tidak jelas. Akan tetapi, satuhal yang dapat dijadikan titik tolak untuk
membicarakan masalah ini adalah adanya pola budaya yang dominan, yang
berasal dari kelompok etnis yang dominan pula, yaitu kelompok etnis
Jawa.Etnis ini sangat mewarnai sikap, perilaku, dan orientasi politik kalangan
elite politik di Indonesia.
Oleh karena itu, ketika Claire Holt, Bene dict Anderson, dan James Siegel
menulis Political Culture inIndonesia, pembicaraan awal yang dikemukakan
adalah menyangkut konsep kekuasaan dalam masyarakat Jawa. Menurut
analisis Anderson, konsep tentang kekuasaan dalam masyarakat Jawa
berbeda dengan yang dipahami oleh masyarakat Barat. Hal ini karena bagi
masyarakat Jawa kekuasaan itu pada dasarnya bersifat konkret, besarannya
konstan, sumbernya homogen, dan tidak berkaitan dengan persoalan
legitimasi.
Hal itu berbeda dengan masyarakat Barat, yaitu kekuasaan itu bersifat
abstrak dan berasal dari berbagai macam sumber, seperti uang, harta
kekayaan, fisik, kedudukan, asal-usul,dan sebagainya. Karena kekuasaan itu
berasal dari sumber yang satu, sifatnya konstan. Selama sumber kekuasaan
itu tetap memberikan kekuasaan, kekuasaan seorang penguasa akan tetap
legitimate dan tidak perlu dipersoalkan.
Masyarakat Jawa, dan sebagian besar masyarakat lain di Indonesia,
pada dasarnya bersifat hierarkis. Stratifikasi sosial tidak didasarkan atas
atribut sosial yang bersifat materialistik, tetapi lebih pada akses kekuasaan.
Ada pemilahan yang tegas antara mereka yang memegang kekuasaan, yang
juga disebut sebagai kalangan priyayi, dan rakyat kebanyakan. Hal itu
diperlihatkan dengan cara berekspresi melalui bahasa dan ges ture atau pola
memperlihatkan mimik/perilaku yang diwujudkan melalui bahasa. Bahasa
Jawa terdiri atas beberapa tingkatan, mulai dari kromo inggil, kromo madya,
sampai ngoko atau yang halus, setengah halus, dan kasar. Kalangan rakyat
kebanyakan harus membahasakan atau mengekspresikan dirinya dalam
bahasa yang halus kepada kalangan pemegang kekuasaan. Sebaliknya,
kalangan pemegang kekuasaan dapat menggunakan bahasa yang kasar
kepada rakyat kebanyakan.( Kartodiharjo, Sartono,1992:56)
Pemilahan antara penguasa dan rakyat menjadi tegas, yang kemudian
diungkapkan dengan istilah wong gedhe dan wong cilik. Implikasi dari pola
pemilahan seperti ini adalah kalangan birokrat sering menampakkan diri
dengan self-image atau citra-diri yang bersifat benevolent, yaitu dengan
ungkapan sebagai pamong praja yang melindungi rakyat, sebagai pamong
atau guru/pendidik bagi rakyatnya. Kalangan penguasa harus menampakkan
diri sebagai kelompok yang pemurah, baik hati, dan pelindung dari seluruh
rakyatnya. Akan tetapi, sebaliknya, kalangan penguasa memiliki persepsi
yang merendahkan rakyatnya. Karena para pamong sudah sangat baik,
pemurah dan pelindung, sudah seharusnya rakyat patuh, tunduk, setia, dan
taat kepada penguasa negara.
Ada implikasi negatif dari citra-diri seperti itu dalam kebijaksanaan publik.
Kebijaksanaan publik merupakan domain atau kompetensi sekelompok kecil
elite yang ada di Jakarta atau di ibukota provinsi. Kalangan yang membentuk
semua agenda publik, juga yang memformulasikan kebijaksanaan publik
adalah pemerintah, kemudian disesuaikan dan disahkan oleh DPR. Rakyat
mengalami proses alienasi, bahkan tersisihkan dari proses politik. Tidak ada
diskusi publik, mengapa kebijaksanaan itu harus ditempuh? Apakah memang
perlu? Akan tetapi, ketika kebijaksanaan publik itu sampai pada tahap
implementasi kebijaksanaan, rakyat diwajibkan untuk ikut terlibat. Hampir
semua Undang-undang dan Peraturan Pemerintah dibentuk melalui proses
seperti itu. Hal yang lebih menarik lagi untuk diperbincangkan adalah: berapa
banyak kewenangan yang diberikan kepada pemerintah dengan Undang-
undang, karena Undang-undang tersebut kemudian harus diwujudkan dengan
Peraturan Pemerintah, Surat Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Surat
Keputusan Menteri, Instruksi Menteri, sampai ke tingkat pemerintahan yang
lebih rendah melalui Surat Keputusan Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I, dan
Surat Keputusan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II.( Prihatmoko, 2005:36)
Salah satu budaya politik yang menonjol di Indonesia adalah
kecenderungan pembentukan pola hubungan patronage, baik di kalangan
penguasa maupun masyarakat, yang didasarkan atas patronage, yang
disebut James Scott (1976) sebagai pola hubungan patron-client.Pola
hubungan dalam konteks ini bersifat individual. Antara dua individu, yaitu si
Patron dan si Client, terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik
Bupati dengan pengurus Golkar Tingkat II, yang kemudian juga menjadi
anggota DPRD Tingkat II. Di kalangan partai politik yang lain (PPP danPDI),
pola hubungan seperti ini sangat meluas. Buya Ismail Hasan Metareum yang
menjadi Ketua Umum DPP PPP dikelilingi oleh orang-orang yang sangat
menggantungkan diri kepadanya untuk menjadi Pengurus DPP PPP,
kemudian menjadi anggota DPR/MPR.
Demikian juga antara penguasa dan masyarakat pengusaha. Kalangan
pengusaha, terutama nonpribumi, sangat memahami cara meladeni kalangan
pejabat pemerintah. Tidak jarang mereka membentuk dirinya sebagai client
untuk memperoleh imbalan berupa kemudahan dalam berusaha, juga
kemudahan dalam tender atas proyek pemerintah. Sebagai imbalannya,
mereka memberikan dukungan kepada kalangan pejabat, berupa tiket
perjalanan, dana untuk kepentingan kegiatan pejabat, dana pemenangan
untuk dipilih kembali, dana untuk kepentingan kampanye Golongan Karya,
dan sebagainya. Gejala pola hubungan seperti ini bukan merupakan sesuatu
yang baru di Indonesia karena sebenarnya sudah dikembangkan sejak zaman
kolonial. Menurut Heather Suther land (1979), munculnya sejumlah elite
nasional pada masa kolonial merupakan hasil daripola patronage yang
dikembang kan oleh kaum penjajah terhadap elitenasional.“It is true that most
of the earliest progressive nativeleaders were formed by a well-established tie:
the link between Europeanpatron and keen priyayi client,” kata Sutherland
(1979: 45).
Munculnya sejumlah keluarga priyayi dari kalangan Kraton Yogyakarta,
sejumlah bupati dari Rembang dan Madiun, merupakan hasil dari pola
hubungan clientilistic tersebut. Sebelum memasuki dunia pamong praja,
mereka biasanya disekolahkan ke negeri Belanda. Untuk itu, diperlukan
dukung an dari orang-orang Belanda. Dalam waktu yang dianggap cukup,
mereka pulang kembali ke Jawa dan menjadi penguasa di daerah asalnya.
Kalangan priyayi yang memasuki dunia ke-pamongpraja-an,menurut Heather
Sutherland, memiliki gaya hidup tersendiri.
Misalnya, mereka suka kemewahan dan jika mengadakan pesta, mereka
menyelenggarakannya selama berhari-hari dengan biaya yang sangat tinggi,
sekalipun uang mereka tidak terlampau banyak. Untuk itu, korupsi merupakan
satu-satunya jalan. Hanya, pemerintah kolonial menutup mata atas persoalan
tersebut. Begitu hausnya akan uang, tidak jarang seorang penguasa lokal
membuat kalangan pegawainya jatuh miskin karena uang mereka dimakan
oleh sipenguasa.
Salah satu kecenderungan yang dapat kita amati dalam perpolitikan
Indonesia adalah sebuah kecenderungan munculnya budaya politik yang
bersifat neo-patrimonialistik. Harold Crouch (1979) mengungkapkannya
beberapa waktu yang lalu. Konsep Crouch ini masih relevan untuk konteks
kehidupan politik Indonesia sekarang ini. Dikatakan sebagai neo-
C. Latihan soal
D. Daftar pustaka