Ressy Khalvia Frahmie 214121132 - Telaah Artikel Penelitian Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

TELAAH ARTIKEL PENELITIAN

INTERVENSI PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Anak


Dosen koordinator : Sri Wulandari N., M.Kep., Ns., Sp. Kep. An.
Dosen pembimbing : Dwi Hastuti., M.Kep

Disusun oleh :
Ressy Khalvia Frahmie
214121132

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2021
TELAAH ARTIKEL PENELITIAN
(Intervensi pada anak berkebutuhan khusus)

A. Pendahuluan
Kesehatan jiwa menurut World Health Organization WHO (2014)
menyatakan bahwa kesehatan jiwa adalah keadaan well - being dimana setiap
individu menyadari potensinya, dapat mengatasi stres yang normal dalam
kehidupan sehari - hari, dapat bekerja dengan produktif dan bermanfaat, serta
mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kesehatan jiwa memiliki
rentang sehat dan sakit yang meliputi respon adaptif dan maladaptif,
karakteristik kesehatan jiwa merupakan pelayanan yang komprehensif, holistik,
terus – menerus dan paripurna fokus pada setiap tahap perkembangan dari bayi
sampai lansia, individu, kelompok, dan masyarakat yang mencakup sehat, resiko
dan gangguan (Yosep I, 2009). Masalah kesehatan jiwa menjadi fokus utama
dalam upaya peningkatan sumber daya manusia khususnya pada anak yang
merupakan generasi yang harus dipersiapkan sebagai sumber kekuatan bangsa,
hampir 20% anakanak terdeteksi mengalami gangguan jiwa, salah satu masalah
kesehatan jiwa pada anak adalah autis (Handoyo.Y, 2003).
Di Indonesia belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang
sesungguhnya, berdasarkan data dari Badan Penelitian Statistik (BPS) sejak
2010 dengan perkiraan hingga 2016, terdapat sekira 140 ribu anak di bawah usia
17 tahun menyandang autisme. Daerah dengan perkiraan jumlah kasus autisme
tertinggi ada di Provinsi Jawa Baratdengan total mencapai 25 ribuan, bila
sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme diperkirakan satu per 5.000
anak,sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak (Erika, 2015). Di Indonesia
sekolah yang khusus menangani autis hingga kini berjumlah 1.752 sekolah.
B. Landasan Teori
Autisme adalah gangguan perkembangan pervasif pada anak yang
ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial (Handoyo.Y, 2003). Autisme
bukan suatu gejala penyakit tetapi berupa sindroma atau kumpulan gejala
dimana terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa dan
kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme hidup dalam dunianya
sendiri (Yatim F, 2003).
Dua faktor penyebab autisme, yaitu: Faktor psikososial, karena pola asuh
orang dan teori gangguan neuro-biologist yang menyebutkan gangguan
neuroanatomi atau gangguan biokimiawi otak. Beberapa faktor yang sampai
sekarang dianggap penyebab autisme adalah : faktor genetik, gangguan
pertumbuhan selotak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam
berat,gangguan auto – imun, pada anak - anak yang mengalami masalah pre –
natal seperti : Prematur, postmatur, pendarahan antenatal pada trisemester
pertama -kedua, anak yang dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 35 tahun,
dan anak - anak dengan riwayat persalinan yang tidak spontan(Erika, 2015).
Gangguan autisme mulai tampak sebelum usia 3 tahun dan 3-4 kali lebih banyak
padaanak laki-laki, dengan ciri fungsi abnormal dalam tiga bidang : interaksi
sosial, komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang, sehingga kesulitan
mengungkapkan perasaan maupun keinginannya yang mengakibatkan hubungan
dengan orang lain menjadi terganggu. (Erika, 2015).
Anak autis membutuhkan perlakuan khusus dan penanganan sejak dini.
Ada beberapa penanganan yang terdiri dari terapi medis yaitu obat-obatan
seperti melatonin, methylphenidate dan terapi non medis yang dapat dilakukan
seperti memberikan pendidikan khusus, occupational therapy, terapi bicara dan
terapi bahasa, terapi komunikasi makaton, diit terapi, terapi fisik dengan melatih
otot - otot mereka, Applied Behavioral Analysis (ABA) untuk membantu
mengenal perilaku mana yang positif atau negatif, picture exchange
communication system, yang merupakan metode belajar melalui gambar,
mengekspresikan kata melalui gambar yang mudah ditangkap penderita autis,
terapi Cognitive Behavior Therapy (CBT), dan Social Skill Training (SST).
SST adalah salah satu intervensi dengan teknik modifikasi perilaku
didasarkan prinsip bermain peran, praktek dan umpan balik guna meningkatkan
kemampuan klien dalam menyelesaikan masalah pada klien dengan gangguan
perilaku kesulitan berinteraksi, mengalami fobia sosial, dan klien yang
mengalami kecemasan (Stuat, 2009). SST dirancang untuk meningkatkan
kemampuan berkomunikasi dan keterampilan sosial bagi seseorang yang
mengalami kesulitan dalam berinteraksi meliputi keterampilan memberikan
pujian, mengeluh karena tidak setuju, menolak permintaan orang lain, tukar
menukar pengalaman, menuntut hak pribadi, memberi saran pada orang lain,
pemecahan masalah yang dihadapi dan bekerjasama dengan orang lain. Ada
empat kelompok keterampilan sosial yang diajarkan bagi individu yang
mengalami hambatan dalam hubungan interpersonal dengan orang lain yakni :
kemampuan berkomunikasi, menjalin persahabatan, terlibat dalam aktifitas
bersama, dan dalam menghadapi situasi sulit (Williams White, Keonig, &
Scahill, 2007).
Selama ini medis, psikolog dan terapis sudah biasa melakukan
kerjasama, kenyataannya belumlah cukup. Pengaturan makan (diet) juga
merupakan masalah penting. Pengaturan pola makan sedemikian penting bagi
anak autisme karena suplai makanan merupakan bahan dasar pembentuk
neurotransmitter. Di samping itu, sebagian besar anak autisme juga mengalami
reaksi alergi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi.
Efeknya, zat-zat makanan yang seharusnya membentuk neurotransmitter untuk
menunjang kesinambungan kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autisme
diubah menjadi zat lain yang bersifat meracuni saraf dan neurotoksin (Mulyani
Arief, 2010). Saat ini diet khusus untuk penyandang autisme dikenal dengan
Diet Casein Free Gluten Free (Diet CFGF) yang merupakan bagian dari
intervensi biomedis (Peeters.T, 2004). Intervensi biomedis menuntut anak untuk
menjalani diet tertentu dan pada umumnya anak autisme dilarang
mengkonsumsi susu sapi dan makanan yang mengandung tepung
terigu(Budhiman, 2001). Diet CFGF dilaksanakan pada anak autisme dengan
cara mengganti semua bahan makanan berasal dari susu sapi dan tepung terigu.
Susu sapi mengandung protein kasein sedangkan terigu mengandung protein
gluten. Menurut Dr. Rudi Sutadi, SpA spesialis anak dari pusat terapi Kid Autis,
tubuh anak-anak autisme tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara
sempurna, sehingga rantai protein tidak terpecah total melainkan menjadi rantai
- rantai pendek asam amino yang disebut peptida. Uraian senyawa yang tidak
sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai
morfin.Keberadaan morfin jelas mempengaruhi kerja otak dan pusat -pusat saraf
sehingga anak berperilaku aneh dan sulit berinteraksi dengan lingkungannya.
Dengan diet kasein dan gluten dapat meminimalkan gangguan morfin dan
merangsang kemampuan anak dalam menerima terapi (Mulyani Arief, 2010)
C. Telaah Jurnal
1. Gambaran singkat artikel penelitian
a. Judul
Pengaruh Terapi Social Skills Training (SST) Dengan Dan Tanpa Diet
Casein Free Gluten Free (CFGF) Terhadap Kemampuan Sosialisasi
Anak Autisme
b. Penulis
Ridhyalla Afnuhazi dan Febria Syafyu Sari
c. Tujuan
Untuk mengetahui Pengaruh SST dengan dan tanpa diet CFGF
terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Autisme (6 -12 Tahun) di SLB
Autis YPPA Padang Tahun 2018
d. Populasi dan sample
Populasi dalam penelitian ini seluruh anak autis yang berusia 6-12
Tahun dan sampel diambil dengan convenience sampling yang
berjumlah 20 orang dengan dan tanpa diet CFGF.
e. Metode
Desain penelitian quasi experimental one - group pre - post test. Teknik
pengolahan data univariat distribusi frekuensi dan central tedensy dan
data bivariat dengan Paired T - test.
f. Tahun terbit, dan diterbitkan pada jurnal penelitian apa
Diterbitkan oleh  Jurnal Kesehatan Medika Saintika, 2019 -
jurnal.syedzasaintika.ac.id
2. Abstrak
Berdasarkan hasil analisa abstrak dalam penelitian ini ditulis dengan
sangat lengkap menggambarkan penelitian yang dilakukan dari mulai
pendahuluan , tujuan, metode, hasil, kesimpulan dan saran dari penelitian.
Namun dalam penjabaran latar belakang dan alasan pengambilan judul
penelitian tidak terdapat dalam abstrak penelitian ini.
3. Pembahasan hasil penelitian
a. Kemampuan Sosialisasi Anak Autis dengan dan tanpa Diet CFGF
Kemampuan sosialisasi pada anak autis dengan dan tanpa diet CFGF
sebelum dilakukan intervensi sebagian besar berada pada kurang mampu
bersosialisasi yaitu 14 orang (70%). Ini sama dengan penelitian yang
dilakukan Sisiliana (2013) yang mana kemampuan sosialisasi anak autis
sebelum diberikan perlakuan pada kategori kurang mampu (66,7%).
Samsu Yusuf (dalam (Budiamin, 2006) menyatakan bahwa sosialisasi
merupakan pencapaian kematangan dalam hubungan sosial,
perkembangan sosialdiartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan
diri terhadap norma-norma kelompok, moral dan tradisi meleburkan diri
menjadi satu kesatuan saling berkomunikasi dan kerja sama Menurut
(Handoyo.Y, 2003) anak autisme mempunyai masalah atau gangguan
dalam bidang : Gangguan dalam berkomunikasi verbal rnaupun non
verbal meliputi kemampuan berbahasa mengalami keterlambatan atau
sama sekali tidak dapat berbicara, menggunakan kata - katatanpa
menghubungkannya dengan arti yang lazim digunakan, berkomunikasi
dengan menggunakan bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi
dalam waktu singkat, serta gangguan dalam bidang interaksi sosial
meliputi gangguan menolak atau menghindar untuk bertatap muka.

Menurut analisa peneliti, kemampuan sosialisasi pada anak autis


sebagian besar kurang mampu, karena pada anak autis tidak mampu
membentuk hubungan sosial atau mengembangkan komunikasi yang
normal, sehingga mengakibatkan anak menjadi terisolasi dari kontak
manusia serta tenggelam dalam dunianya sendiri yang diekspresikan
dalam minat dan perilaku yang terpaku dan diulang -ulang. Ini bisa
disebabkan karena gangguan susunan saraf pusat terutama mengalami
pengecilan otak kecil (lobus VI-VII terjadi pengurangan sel purkinje)
yang dapat menyebabkan kacaunya proses penyaluran informasi antar
otak, kelainan struktur pada pusat emosi.

b. Pengaruh Terapi SST terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak


Autis
Kemampuan sosialisasi pada anak autis dengan dan tanpa diet CFGF
sebelum diberikan terapi SST rata – rata berada pada tingkat kurang
mampu setelah diberikan terapi SST meningkat berada pada kategori
mampu. Sedangkan kemampuan anak autis dengan diet CFGF setelah
diberikan terapi SSTmeningkat secara bermakna dengan p - value 0,037,
kemampuan anak autis tanpa diet CFGF setelah diberikan terapi SST
tidak bermakna dengan p - value 0,081, dan kemampuan anak autis
dengan dan tanpa diet CFGF setelah diberikan terapi SST bermakna
dengan p - value 0,005. Penelitian serupa dilakukan oleh
(Cotugno, 2009) mengenai “Social Competence and Social Skills
Training and Intervention for Children with Autism Spectrum Disorders
(ASD)”, dilakukan pada anak usia 7-11 tahun hasil
penelitianmenunjukkan bahwa pendekatan ini dapat efektif dalam
meningkatkan defisit sosial inti pada individu dengan ASD.
Menurut Cartledge dan Milbun (1995, dalam (Williams White et al.,
2007)), terapi SST merupakan kemampuan yang dapat dipelajari oleh
seseorang sehingga memungkinkan orang tersebut berinteraksi dengan
memberikan respon positif terhadap lingkungan dan mengurangi respon
negatif yang mungkin hadir pada dirinya. (Carol Ren Kneisl.Eileen
Trigoboff, 2004) menyatakan bahwa terapi SST metode yang didasarkan
pada prinsip - prinsip sosial pembelajaran dan menggunakan teknik
perilaku bermain peran, praktik dan umpan balik untuk meningkatkan
kemampuan menyelesaikan masalah. Hal senada juga dikemukakan oleh
(Mulyani Arief, 2010) bahwa melihat kompleksnya permasalahan pada
penyandang autisme, dibutuhkan penanganan terpadu yang melibatkan
kerja sama tenaga ahli profesional baik dalam aspek medis (dokter anak
dan psikiatri), psikologi, terapis, dan ahli gizi dalam tim kerja. Pengaturan
pola makan (diet) penting bagi anak autisme karena suplai makanan
merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter. Diet CFGF
dilaksanakan pada anak autisme dengan cara mengganti semua bahan
makanan berasal dari susu sapi dan tepung terigu. Susu sapi mengandung
protein kasein sedangkan terigu mengandung protein gluten. Menurut Dr.
Rudi Sutadi, SpA spesialis anak dari pusat terapi Kid Autis, tubuh anak-
anak autisme tidak bisa mencerna kasein dan gluten secara sempurna,
sehingga rantai protein tidak terpecah total melainkan menjadi rantai-
rantai pendek asam amino yang disebut peptida. Uraian senyawa yang
tidak sempurna masuk ke pembuluh darah dan sampai ke otak sebagai
morfin.Keberadaan morfin jelas mempengaruhi kerja otak dan pusat
-pusat saraf sehingga anak berperilaku aneh dan sulit berinteraksi dengan
lingkungannya (Mulyani Arief, 2010).
Menurut analisa peneliti, kemampuan sosialisasi pada anak autis
dengan diet CFGF mengalami peningkatan kemampuan yang sangat
signifikan dibandingkan tanpa diet CFGF sesudah diberikan terapi SST,
karena pada anak autis tidak hanya terapi saja kita berikan tetapi harus
memperhatikan juga makanan yang dimakannya. Seperti kita ketahui
anak autis tidak bisa makan yang mengandung banyak protein karena
bisa mempengaruhi kerja otak yang mana akan membuat anak susah
untuk berinteraksi. Peningkatan kemampuan sosialisasi pada anak autis
terjadi karena pada terapi SST anak autis diberikan latihan sebanyak 3
(tiga) sesi yaitu keterampilan berkomunikasi, menjalin persahabatan dan
melakukan aktivitas bersama sebanyak 3 x pada masing-masing sesi
pelaksanaan terapi SST dengan metode modelling, role model, feed
back, transfer training. Hal ini melibatkan kemampuan untuk memulai
dan menjaga interaksi positif dan saling menguntungkan. Sedangkan
pada tahapan kurang mampu banyak terjadi pada aktivitas bersama anak
sulit menentukan pemenang ini bisa disebabkan dari karakteristik anak
autis seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan berat ringan
gejala yang dialami anak autis.
Berdasarkan hasil analisis jurnal penelitian ini sebagai penelaah
menyimpulkan bahwa terapi SST merupakan salah satu intervensi yang
cukup efektif untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pada anak
autisme. Penelitian ini memberikan manfaat untuk mengembangkan
ragam terapi yang dapat dilakukan dalam meningkatkan kemampuan
sosialisasi pada anak berkebutuhan khusus terutama pada anak autisme.
D. Kesimpulan
1. Ada perbedaan kemampuan sosialisasi anak autis dengan diet CFGF sebelum
diberikan terapi SST dengan setelah diberikan terapi SST.
2. Ada perbedaan kemampuan sosialisasi anak autis tanpa diet CFGF sebelum
diberikan terapi SST dengan setelah diberikan terapi SST.
3. Ada Perbedaan kemampuan sosialisasi anak autis dengan dan tanpa diet
CFGF sebelum diberikan terapi SST dengan setelah diberikan terapi SST.
4. Terapi SST berpengaruh terhadap kemampuan sosialisasi anak autisme
dengan diet CFGF di SLB Autis YPPA Padang.
5. Terapi SST tidak berpengaruh terhadap kemampuan sosialisasi anak autisme
tanpa diet CFGF di SLB Autis YPPA Padang.
6. Terapi SST berpengaruh terhadap kemampuan sosialisasi anak autisme
dengan dan tanpa diet CFGF di SLB Autis YPPA Padang
E. Daftar Pustaka
Budhiman, M. (2001). Langkah Awal menanggulangi Autisme.
Budiamin, dkk. (2006). PerkembanganPeserta Didik.
Carol Ren Kneisl.Eileen Trigoboff. (2004).Contemporary psychiatry mental
health nursing.
Cotugno, A. J. (2009). Social competenceand social skills training and
intervention for children with autismspectrum disorders. Journal of
Autismand Developmental Disorders. https://doi.org/10.1007/s10803-
009-0741-4
Danuatmaja. (2003). Faktor Penyebab Autieme. In Health.kompas.com.
Erika, K. (2015). Autisme di Indonesia Terus Meningkat. Lifestyle.
Okezone.Com.
Handoyo.Y. (2003). Autisma.
Hidayat, A. . (2007). Metode penelitian keperawatan dan teknik analisa data.
Ma’ruf Efendi. (2013). Gambaran Faktor prenatal sebagai penyebab autis di
sekolahanak khusus kembang mekar desakepanjen kec. jombang
kabupaten jombang, 2013.
Matthews, R., Swick, D. C., DeRosier, M.E., Davis, N. O., & McMillen, J. S.
(2010). The Efficacy of a Social Skills Group Intervention for
ImprovingSocial Behaviors in Children with HighFunctioning Autism
SpectrumDisorders. Journal of Autism andDevelopmental Disorders,
41(8), 1033–1043. https://doi.org/10.1007/s10803-010-1128-2
Mulyani Arief. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Pada
Anak Autis Diklinik Buah Hatiku Makassar, 2010.
Peeters.T. (2004). Autisme.
Sastroasmoro,S & Ismael, S. (2010). Dasar -dasar metodologi Penelitian Klinis.
Sriadi, S. P. (2012). Social Competence and Social Skills Training and
Intervention for Children with Autism Spectrum Disorders.
Stuat, G. . (2009). Principles and Practice of pshychiatric nursing.
Williams White, S., Keonig, K., & Scahill,L. (2007). Social skills development
in children with autism spectrum disorders: A review of the intervention
research. Journal of Autism and Developmental Disorders, 37(10),
1858–1868. https://doi.org/10.1007/s10803-006-0320-x
Yatim F. (2003). Autisme suatu Gangguan Jiwa Pada Anak-anak.
Yosep I. (2009). Keperawatan Jiwa.

F. Lampiran

Anda mungkin juga menyukai