Makalah Kapita Selekta Agraria Tentang HGB Diatas HPL

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI

halaman
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

A. Latar Belakang Masalah.................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................

A. Hak Guna Bangunan.......................................................................................

B. Hak Pengelolaan.............................................................................................

BAB III PENUTUP...................................................................................................

A. Kesimpulan.....................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan pembangunan yang dicapai Indonesia seiring dengan


peningkatan kesadaran hukum semakin meningkat. Masyarakat semakin aktif
dalam memperoleh keadilan dan kesamaan hak di hadapan hukum sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 (Selanjutnya disingkat UUD 1945). Oleh karena itu
tuntutan pembangunan hukum sangat dibutuhkan dalam rangka menjawab
kebutuhan masyarakat akan jaminan kepastian hukum tersebut.
Persoalan yang menyangkut tanah di Indonesia sepertinya tidak ada
habisnya. Jumlah penduduk yang terus bertambah menyebabkan kebutuhan
penduduk akan tanah semakin meningkat, misalnya untuk pembangunan dan
pengembangan wilayah pemukiman, industri, maupun pariwisata, atau keperluan
lainnya. Sedangkan, tanah yang tersedia untuk itu tidak bertambah atau bersifat
tetap.
Agar dapat memenuhi berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap
tanah yang sifatnya tetap, maka pemerintah berupaya memaksimalkan peruntukan
dan penggunaan tanah dengan bermacam cara, di antaranya yaitu mengeluarkan
berbagai macam peraturan pertanahan seperti peraturan penyediaan tanah untuk
kepentingan orang atau badan hukum atas tanah negara maupun di atas tanah hak
milik. Tanah negara yang dimaksud adalah tanah yang langsung dikuasai oleh
negara, termasuk tanah-tanah hak ulayat dari masyarakat hukum adat, sedangkan
tanah hak milik adalah tanah yang sudah dimiliki oleh orang atau badan hukum
dengan suatu hak atas tanah yang dapat berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai.
Hak-hak atas tanah ini ada yang berasal dari pemerintah dan diperoleh
karena penetapan pemerintah seperti tanah-tanah hak tersebut, ada juga tanah-
tanah yang bersumber pada hak tanah milik kepunyaan pihak lain, misalnya tanah
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil,
Hak Menumpang. Selain hak-hak atas tanah di atas, dalam praktek dikenal Hak
Pengelolaan yang pengaturannya terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun
1953 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara jo Peraturan Menteri Agraria
Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah
Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang Kebijakan Selanjutnya. Pada dasarnya
hak pengelolaan bukan merupakan Hak Atas Tanah sebagaimana dimaksud oleh
pasal 4 jo Pasal 16 UUPA, melainkan pemberian sebagian kewenangan untuk
melaksanakan hak menguasai dari negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2
UUPA kepada pemegang Hak Pengelolaan yang bersangkutan.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965 Tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara dan Ketentuan-Ketentuan Tentang
Kebijakan Selanjutnya, Hak Pengelolaan yang mulanya digunakan untuk
kepentingan instansi yang bersangkutan juga dapat diberikan ke pihak ketiga
dengan sesuatu hak yang disebut dengan Hak Guna Bangunan. Adapun
pelaksanaan Hak Pengelolaan diselenggarakan oleh kepala Kantor Agraria yang
bersangkutan dan apabila tanah tersebut belum terdaftar, baru dapat dilaksanakan
setelah pemegang hak datang mendaftarkannya ke Kantor Agraria setempat dan
kepada pemegang haknya kemudian diberikan sertifikat.
Pemerintah selaku pemilik lahan tidak selamanya sanggup mengelola tanah
tersebut secara maksimal, contohnya mengelola tanah tersebut sebagai
perkantoran maupun dijadikan sebagai pemukiman pegawai atau pada umumnya
disebut rumah dinas untuk pegawai. Dalam prakteknya lahan atau tanah tersebut
ditemukan terlantar tanpa dipergunakan dengan sebagaimana mestinya agar
menghasilkan sesuatu yang dinilai ekonomis. Kondisi tanah yang tidak dikelola
baik oleh pemerintah memunculkan ide yang cukup baik dari beberapa
pengembang yang merasa mampu untuk mengelola lahan atau tanah tersebut
untuk dijadikan pemukiman atau untuk keperluan sosial lainnya, contohnya
dijadikan pasar, blok-blok ruko, maupun sarana umum lainnya yang dianggap
dibutuhkan oleh masyarakat.
Dalam hal ini pengembang mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan
di atas Hak Pengelolaan kepada Kantor Pertanahan setempat. Setelah permohonan
Hak Guna Bangunan diajukan maka Kantor Pertanahan akan menganjurkan
kepada pemohon untuk mengajukan persetujuan kepada pemerintah selaku
pemilik Hak Pengelolaan. Setelah pengembang ini mendapatkan persetujuan
barulah pemilik Hak Guna Bangunan memiliki hak untuk membangun di atas
lahan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Masyarakat atau badan hukum yang telah memiliki Hak Guna Bangunan
yang telah lama mendiami tanah di atas lahan pengelolaan pemerintah tentu telah
melakukan pengembangan baik semi permanen maupun bangunan permanen.
Penggunanaan terhadap area hak pengelolaan membuat pemegang Hak Guna
Bangunan ingin mengubah haknya menjadi hak kepemilikan.
Banyak masyarakat maupun badan hukum belum memahami jelas yang
dimaksud dengan kepemilikan Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan
Lahan, terkhusus bagi mereka yang awam akan hukum. Masyarakat atau badan
hukum yang memiliki Hak Guna Bangunan di atas Hak Pengelolaan kerap kali
mendapatkan permasalahan di masa berakhirnya Hak Guna Bangunan tersebut,
bahkan ada yang cenderung belum habis masa Hak Guna Bangunannya, namun
pemilik Hak Pengelolaan telah menginginkan mereka mengosongkan lahan
dimana Hak Guna Bangunan dimiliki. Namun ada pula yang Hak Guna Bangunan
di atas Hak Pengelolaan tersebut diperpanjang tanpa sepengetahuan pihak pemilik
Hak Pengelolaan. Di dalam Pasal 26 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas
Tanah disebutkan bahwa dalam: Hak Guna Bangunan atas tanah hak pengelolaan
diperpanjang atau diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan
setelah mendapatkan persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hak Guna Bangunan


Hak Guna Bangunan adalah salah satu hak atas tanah lainnya yang diatur
dalam UUPA. Menurut ketentuan Pasal 35 UUPA bahwa sebagai berikut:
1. Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun.
2. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan
serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam
ayat 1 dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
3. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan dalam
UUPA adalah hak atas tanah yang diberikan kepada seseorang untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah tersebut dengan jangka
waktu selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun. Di atur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Hak Guna Bangunan di atas Hak
Pengelolaan dapat diperpanjang dan diperbaharui atas permohonan pemegang
Hak Guna Bangunan setelah mendapat persetujuan dari pemegang Hak
Pengelolaan. Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak
atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan. Ini berarti seorang pemegang
Hak Guna Bangunan adalah berbeda dari pemegang Hak Milik atas bidang
tanah dimana bangunan tersebut didirikan; atau dalam konotasi yang lebih
umum, pemegang Hak Guna Bangunan bukanlah pemegang Hak Milik dari
tanah dimana bangunan tersebut didirikan.

Dilihat dari rumusan Pasal 36 ayat (1) UUPA,yang menentukan bahwa:


Yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah:
a. warga negara Indonesia;
b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan
berkedudukan di Indonesia.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa undang-undang memungkinkan


dimilikinya Hak Guna Bangunan oleh badan hukum yang didirikan menurut
ketentuan hukum Negara Republik Indonesia dan yang berkedudukan di
Indonesia. Yakni kedua unsur tersebut merupakan dua unsur yang secara
bersama-sama harus ada. Ini berarti badan hukum yang didirikan menurut
ketentuan hukum Indonesia tetapi tidak berkedudukan di Indonesia tidak
mungkin memiliki Hak Guna Bangunan (keadaan ini jarang sekali terjadi,
kecuali dengan tujuan penyelundupan hukum) atau badan hukum yang tidak
didirkan menurut ketentuan hukum Indonesia, tetapi berkedudukan di
Indonesia juga tidak dapat memiliki Hak Guna Bangunan. Terhadap keadaan
yang disebutkan terakhir, dalam teori-teori yang berkembang dalam hukum
perdata internasional, kedudukan suatu badan hukum telah berkembang
sedemikian rupa, sehingga pada taraf tertentu mereka juga dianggap memiliki
“persona standi in judicio” pada suatu negara dimana mereka melakukan
kegiatan operasionalnya dan tidak harus dimana kantor pusatnya
berkedudukan. Dalam konteks inilah, maka kedua syarat didirikan menurut
ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia menjadi keharusan
kumulatif.
Apabila subjek Hak Guna Bangunan tidak memenuhi syarat sebagai warga
negara Indonesia atau badan hukum Indonesia, maka dalam waktu 1 tahun
wajib melepaskan atau mengalihkan Hak Guna Bangunan tersebut kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Bila hal ini tidak dilakukan, maka Hak Guna
Bangunannya hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
Dalam Pasal 35 UUPA menyatakan bahwa jangka waktu pemberian Hak
Guna Bangunan paling lama 30 tahun, dan dengan jangka waktu pemberian
hak guna bangunan ini, mengingat bahwa keperluan serta keadaan bangunan-
bangunannya, dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menjelaskan
bahwa Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dapat diperpanjang
dan diperbaharui atas permohonan pemegang Hak Guna Bangunan setelah
mendapat persetujuan dari pemegang Hak Pengelolaan.
Dilihat dari rumusan Pasal 25 ayat (2) Peraturan pemerintah Nomor 40 tahun
1996, yang menentukan bahwa:
Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan dan perpanjangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakhir, kepada bekas pemegang hak dapat diberikan
pembaharuan Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama.
Dengan demikian, Hak Guna Bangunan yang jangka waktunya dibatasi
dan diberikan waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang. Selain itu
Hak Guna Bangunan juga dapat diperbaharui sesuai dengan jangka waktu awal
pemberian Hak Guna Bangunan di atas tanah yang sama yaitu 30 tahun
lamanya. UUPA maupun Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tidak
mengatur berapa kali seseorang bisa melakukan perpanjangan maupun
pembaharuan dari Hak Guna Bangunan.
Jika dilihat lebih lanjut ketentuan UUPA maka dalam rumusan Pasal 38 UUPA,
mengatur bahwa:

1. Hak Guna Bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian


juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan
menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.

2. Pendaftaran yang dimaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian


yang kuat mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan serta sahnya
peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhir.

Dapat diketahui bahwa atas pemberian Hak Guna Bangunan yang diberikan
di atas tanah negara atau tanah dengan Hak Pengelolaan, Hak Guna Bangunan
berlaku saat didaftarkannya tanah tersebut. Selanjutnya Hak Guna Bangunan
yang diberikan di atas bidang tanah Hak Milik, berdasarkan perjanjian dengan
pemegang Hak Milik atas bidang tanah tersebut, pendaftaran yang dilakukan
hanya ditujukan untuk mengikat pihak ketiga yang berada di luar perjanjian.
Jadi dalam hal ini, saat lahirnya Hak Guna Bangunan adalah saat perjanjian
ditandatangani oleh para pihak dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini
Pejabat Pembuat Akta Tanah yang selanjutnya disebut PPAT.
Berdasarkan Pasal 35 ayat (3) UUPA, Hak Guna Bangunan dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain dengan cara pewarisan, yang harus dibuktikan
dengan adanya hal-hal sebagai berikut:1
1. Surat wasiat atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang;
2. Surat keterangan kematian pemegang Hak Guna Bangunan yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang;
3. Bukti identitas para ahli waris; dan

4. Sertifikat Hak Guna Bangunan yang bersangkutan.

Hak Guna Bangunan juga dapat dialihkan oleh pemegang Hak Guna
Bangunan kepada pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang Hak
Guna Bangunan. Bentuk dialihkan tersebut dapat berupa jual beli, tukar-
menukar, hibah, penyertaan dalam modal perusahaan harus dibuktikan dengan
akta PPAT, sedangkan lelang dibuktikan dengan Berita Acara Lelang yang
dibuat oleh pejabat dari Kantor Lelang.
Peralihan Hak Guna Bangunan tersebut harus didaftarkan kepada Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah dan
dilakukan perubahan nama dalam sertifikat dari pemegang Hak Guna Bangunan
yang lama kepada penerima Hak Guna Bangunan yang baru.
Ketentuan peralihan Hak Guna Bangunan yang diatur pasal 34 Peraturan
Pemerintah No. 40 Tahun 1996 yaitu Hak Guna Bangunan dapat dialihkan dan
beralih kepada pihak lain karena jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam
modal, hibah, pewarisan. Dalam peralihan Hak Guna Bangunan ini ada
ketentuan khusus, yaitu peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak
Pengelolaan harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang
Hak Pengelolaan. Demikian pula dengan peralihan Hak Guna Bangunan atas

1
tanah Hak Milik harus dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemilik
tanah yang bersangkutan.
Dari hal diatas juga dapat kita lihat bahwa Undang-Undang secara tegas
membedakan syarat peralihan Hak Guna Bangunan atas tanah Negara dengan
Hak Guna Bangunan yang diberikan diatas tanah Hak Pengelolaan atau diatas
tanah Hak Milik. Terhadap Hak Guna Bangunan yang diberikan di atas tanah
Hak Milik, karena pemberian tersebut lahir dari perjanjian, maka sebagai
konsekuensi dari sifat perjanjian itu sendiri, yang menurut ketentuan Pasal 1315
dan Pasal 1340 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya berlaku di antara
para pihak, yaitu pemegang Hak Milik dan pemegang Hak Guna Bangunan
diatas Hak Milik tersebut, setiap tindakan yang berhubungan dengan Hak Guna
Bangunan di atas bidang tanah tersebut, haruslah terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari pemegang Hak Milik atas bidang tanah tersebut, termasuk
peralihannya. Sebagaimana halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna Usaha
seperti telah dijelaskan dimuka, peralihan Hak Guna Bangunan juga diatur
dalam ketentuan yang sama seperti halnya peralihan Hak Milik dan Hak Guna
Usaha.
Adapun hapusnya hak guna bangunan karena berakhirnya jangka waktu
pemberiannya. Pemberian Hak Guna Bangunan, baik atas Tanah Negara, tanah
Hak Pengelolaan, maupun Tanah Hak Milik, senantiasa dibatasi dengan waktu
tertentu. Dengan berakhirnya masa atau jangka waktu pemberian Hak Guna
Bangunan tersebut (dengan perpanjangan untuk pemberian Hak Guna
Bangunan di atas Tanah Negara dan tanah Hak Pengelolaan), maka Hak Guna
Bangunan pun hapus demi hukum, meskipun dapat diperbaharui kembali.
Selanjutnya hapusnya hak guna bangunan karena tidak terpenuhinya syarat
pemegangnya. Dalam Pasal 36 ayat (1) UUPA mengatur tentang syarat
pemegang Hak Guna Bangunan yaitu Warga Negara Indonesia dan badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia. Jika ternyata pemegang haknya tidak berhak lagi maka hal tersebut
diatur dalam Pasal 36 ayat (2) UUPA yaitu orang atau badan hukum jika
memenuhi syarat dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau
mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika Hak Guna
Bangunan yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan ke pihak lain
dalam jangka waktu yang telah ditentukan maka hak itu hapus karena hukum,
dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan menurut
ketentuanketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 khususnya pada Pasal 38
juga mengatur mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan yaitu dikarenakan
berakhirnya jangka waktu sesuai perjanjian, dibatalkan oleh pejabat yang
berwenang karena tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak
dan/atau dilanggarnya ketentuan yang diatur dalam Pasal 30 sampai dengan
Pasal 32, kemudian sesuai dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan
dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan,
sesuai dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Selain alasan diatas, Hak Guna Bangunan bisa dihapuskan karena
dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu
berakhir, dicabut berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 1961, haknya
ditelantarkan dan tanahnya telah musnah.

B. Hak Pengelolaan

Secara tersurat, istilah Hak Pengelolaan tidak terdapat dalam UUPA,


namun istilah pengelolaan disebutkan dalam Penjelasan Umum Angka II
Nomor 2 UUPA, yaitu: Negara dapat memberikan tanah yang demikian itu
kepada seorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan
dan keperluannya, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai atau memberikannya dalam pengelolaan kepada
suatu badan penguasa (Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk
digunakan bagi pelaksanaan tugasnya masing-masing.
Istilah Hak Pengelolaan pertama kali muncul pada saat diterbitkannya
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965, menunjukkan bahwa Hak
Pengelolaan lahir tidak didasarkan pada undang-undang, akan tetapi
berdasarkan Peraturan Menteri Agraria. Meskipun Hak Pengelolaan
diaturdalam bentuk Peraturan Menteri Agraria, namun Hak Pengelolaan
mempunyai kekuatan mengikat, baik bagi pemegang Hak Penglolaan, yaitu
departemen-departemen, direktoratdirektorat, daerah-daerah swantantra,
maupun pihak lain yang menggunakan bagian-bagian tanah Hak Pengelolaan.
Pengertian Hak Pengelolaan dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1965, yaitu hak menguasai negara yang
kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Jadi dapat dikatakan bahwa Hak Pengelolaan adalah hak penguasaan atas
tanah negara, dengan maksud di samping untuk dipergunakan sendiri oleh si
pemegang, juga oleh pihak pemegang memberikan sesuatu hak kepada pihak
ketiga, kepeda si pemegang hak diberikan wewenang untuk merencanakan
peruntukan dan penggunaan tanah tersebut, menggunakan tanah tersebut
untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, menyerahkan bagian-bagian dari
tanah tersebut kepada pihak ketiga dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan,
atau Hak Pakai. Dari beberapa pengertian Hak Pengelolaan menunjukkan
bahwa Hak Pengelolaan merupakan hak menguasai dari negara atas tanah
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, bukan
merupakan hak atas tanah sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 4 ayat
(1) jo. Pasal 16 ayat (1) UUPA.
Adapun yang dapat diberikan Hak Pengelolaan yaitu instansi pemerintah
termasuk Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik
Daerah, PT. Persero, Badan Otorita, dan badan-badan hukum pemerintah
lainnya yang ditunjuk pemerintah. Badan-badan hukum dan departemen yang
dapat diberikan Hak Pengelolaan yang telah disebutkan dapat diberikan Hak
Pengelolaan selama sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan
dengan pengelolaan tanah.
Permohonan Hak Pengelolaan dilakukan secara tertulis dengan memuat
keterangan mengenai pemohon seperti nama badan hukum, tempat
kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian keterangan
mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik seperti bukti
kepemilikan dan bukti perolehan tanah berupa sertifikat, rencana penggunaan
tanah dan status tanahnya. Dimana permohonan Hak Pengelolaan dilampiri
dengan foto copy identitas permohonan atau surat keputusan pembentukannya
atau akta pendirian perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang,
izin lokasi atau izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin
pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah, bukti
pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa sertifikat, surat persetujuan
atau rekomendasi dari instansi terkait apabila diperlukan, dan surat ukur bila
ada.
Permohonan Hak Pengelolaan diajukan kepada Menteri melalui Kepala
Kantor wilayah Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang
bersangkutan. Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor
Pertanahan memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik,
mencatat pada formulir isian, memberikan tanda terima berkas permohonan
sesuai formulir, memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya-
biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan permohonan tersebut dengan
rinciannya sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dengan diajukannya permohonan Hak Pengelolaan Kepala Kantor
Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik
permohonan Hak Pengelolaan dan memeriksa kelayakan permohonan
tersebut untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Setelah menerima berkas permohonan
yang disertai pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah
memerintahkan kepada Kepala Bidang Hak-hak atas tanah, setelah menerima
berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangan Menteri
memerintahkan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk mencatat dan memeriksa
formulir dan kelengkapan data yuridis. Kemudian Menteri meneliti
kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik tanah yang dimohon
dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah.
Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor
Wilayah, Menteri menerbitkan keputusan pemberian Hak Pengelolaan atas
tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan
penolakannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah perpanjangan Hak Guna


Bangunan di atas Hak Pengelolaan tanpa sepengetahuan dan persetujuan
pemilik Hak Pengelolaan tidak dapat dilaksanakan. Meskipun didalam
perjanjiannya kedua belah pihak menyepakati bahwa setiap perpanjangan
dapat dilakukan secara otomatis, sehingga tidak perlu adanya persetujuan
tertulis dari pemegang hak pengelolaan. Hak Pengelolaan adalah persetujuan
tertulis dari pemegang Hak Pengelolaan untuk memperpanjang.
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Arisaputra, Muhammad Ilham. 2015. Reforma Agraria di Indonesia. Jakarta:


Sinar Grafika.

Budiono, Herlien. 2010. Ajaran Umum Hukum perjanjian dan Penerapannya di


Bidang Kenotariatan. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Chomzah, Ali Achmad.2002. Hukum Pertanahan. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Fuady, Munir. 2001. Hukum Perjanjian dari Sudut Pandang Hukum Bisnis. Citra
Aditya Bakti: Bandung.

H.S., Salim. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak.
Jakarta: Sinar Grafika.

Harsono, Boedi. 1991. Undang-Undang Pokok Agraria


Sejarah Penyusunan, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan.

Mahdi, Sri Soesilowati, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyo. 2005.
Hukum Perdata Suatu Pengantar. Gitama Jaya: Jakarta.

Miru, Ahmadi. 2011. Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.

Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja. 2004. Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

________. 2010. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian. Rajawali Pers: Jakarta.
Saleh, K Wantjik. 1985. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Balai Aksara.

Salim. 2003. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Sinar
Grafika: Jakarta

Santoso, Urip. 2005. Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:
Kencana Pranada Media Group.
______. 2012. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Kencana Pranada Media
Group: Jakarta.

______. 2010. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Kencana Pranada
Media Group: Jakarta.

Sri Wibawanti, Erna, dan R. Murjiyanto. 2013. Hak Atas Tanah Dan
Peralihannya. Liberty Yogyakarta: Yogyakarta.

Subekti, R. 2001. Hukum Perjanjian. Intermasa: Jakarta.

Syaifuddin, Muhammad. 2012. Hukum Kontrak. Mandar Maju: Bandung.

Anda mungkin juga menyukai