Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Kritik Atas Kebijakan Penyediaan Air Bersih Di Indonesia
Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Kritik Atas Kebijakan Penyediaan Air Bersih Di Indonesia
Menjamin Hak Rakyat Atas Air: Kritik Atas Kebijakan Penyediaan Air Bersih Di Indonesia
Hamong Santono1
Pendahuluan
Tidak ada yang meragukan ataupun membantah bahwa air merupakan kebutuhan
dasar bagi manusia. Begitu pentingnya air bagi manusia, sehingga hak atas air merupakan
hak asasi manusia yang fundamental. Pengakuan air sebagai hak asasi manusia secara tegas
tertuang dalam pasal 14 The Convention on the Elimination all of Forms Discrimination Against
Women-CEDAW 1979), yang menyatakan bahwa perlunya perlakuan yang tidak
diskriminatif terhadap penyediaan air sebagai hak perempuan, demikian juga dalam pasal
24 The Convention on The Right of The Child-CRC 1989 yang menyatakan bahwa dalam
upaya mencegah malnutrisi dan penyebaran penyakit maka setiap anak memiliki hak atas
air minum yang bersih. Pada tahun 2002, Komite Hak Ekonomi Sosial dan Budaya PBB
dalam komentar umum No.15 memberikan penafsiran yang lebih tegas terhadap pasal 11
dan 12 Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dimana hak atas air tidak bisa
dipisahkan dari hak-hak asasi manusia lainnya.
Dengan air sebagai hak asasi manusia, menjadikan penyediaan layanan air
dikategorikan sebagai essential services. Essential services merupakan pusat dari kontrak
social antara pemerintah dan masyarakat. Dengan kata lain jaminan terhadap hak atas air
bagi masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah. Tanggung jawab pemerintah
terhadap pemenuhan hak atas air secara tegas dinyatakan dalam pasal 5 UU No.7 Tahun
2004 tentang Sumberdaya Air dimana negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi
kehidupannya yang sehat, bersih dan produktif.
Pada sisi yang lain, seiring dengan meningkatnya konsumsi air, variasi musim,
kerusakan lingkungan dan pencemaran menyebabkan air menjadi langka baik dari sisi
jumlah maupun kualitas. Ketersediaan air di Indonesia mencapai 15.000 meter kubik per
tahun per kapita. Namun ketersediaan tersebut tidak merata di setiap pulau. Sebagai
contoh pulau Jawa ketersediaan air per kapita per tahun hanya 1750 m3, masih di bawah
standar kecukupan yang sebesar 2000 m3 per kapita per tahun dan kondisi ini
diperkirakan akan semakin parah di tahun 2020 dimana ketersediaan hanya 1200 per
kapita per tahun2. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan rusaknya daerah aliran
sungai (DAS), yang dari terus meningkat dari tahun ke tahun3.
1
Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air, [email protected], www.kruha.org
2
Lihat Infrastruktur Indonesia, Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis, BAPPENAS 2003
3
DAS kritis pada tahun 1984 adalah 22 dan pada tahun 1999 menjadi 69
1
Kelangkaan air ini kemudian diperparah dengan ketersediaan infrastruktur air
yang buruk. Selama lebih dari 30 tahun pembangunan infrastruktur sumberdaya air yang
berfokus pada pembangunan jaringan irigasi, tidak serta merta menjadikan kondisi
jaringan irigasi lebih baik. Sampai dengan tahun 2002 jaringan irigasi yang sebagian besar
berada di Jawa (48,32%) dan Sumatra (27,13%), 22,4% diantaranya mengalami kerusakan.
Dengan alokasi anggaran yang terfokus pada pembangunan irigasi, pada akhirnya juga
memperkecil anggaran untuk infrastruktur air lainnya termasuk air bersih dan sanitasi.
Hal tersebut bisa dilihat dari nilai total asset infrastruktur air yang sampai akhir tahun
2002 adalah sebesar Rp 346,49 triliun yang terdiri Rp 273,46 triliun (78,92%) untuk
irigasi, Rp 63,48 triliun (18,32%) untuk bendungan, bendung karet, dan embung, Rp 9,21
triliun (2,66%) untuk pengendalian banjir dan pengamanan pantai dan Rp 0,34 triliun
(0,1%) untuk air baku4. Secara lebih spesifik investasi untuk sektor air bersih selama
Pelita III sampai dengan Pelita VII dijelaskan pada tabel 1 berikut ini
Tabel 1
Profil Investasi Sektor Air Bersih Pelita III-VII
4
Roestam Sjarief dalam Infrastruktur Indonesia, Sebelum, Selama, dan Pasca Krisis, BAPPENAS 2003
5
Lihat Fabby Tumiwa dan Hamong Santono; Melepaskan Tanggung Jawab Negara demi Investasi: Gagasan
dan Aktor dalam Privatisasi Listrik dan Air di Indonesia, 2006
2
usaha, sektor publik dikelola dengan buruk, beroperasi tidak efisien sehingga
mengakibatkan defisit anggaran (budget deficits), dimana pelayanan yang diberikan tidak
handal (unreliable) dan menyebabkan orang miskin tersisihkan (Kessler 2004). Dalam
konteks inilah kemudian privatisasi dipandang sebagai jalan keluar atas permasalahan yang
dihadapi negara-negara berkembang. Kebijakan privatisasi yang dimulai di Inggris dan AS
kemudian diterapkan di banyak negara dan didukung oleh lembaga-lembaga keuangan
internasional, termasuk Bank Dunia melalui Structural Adjustment Program (SAP).
Upaya untuk melakukan privatisasi juga dilakukan di sektor sumberdaya air.
Dalam konferensi air dan lingkungan internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di
Dublin Irlandia, melahirkan The Dublin Statement on Water and Sustainable Development
(yang lebih dikenal dengan Dublin Principles). Dublin Principles berisi empat prinsip yang
harus dikedepankan dalam kebijakan dan pembangunan di sektor sumberdaya air. Salah
satu dari prinsip tersebut adalah “water has an economic value in all its competing uses and
should be recognized as an economic good”. Lahirnya the Dublin Principles, menyebabkan
banyak lembaga-lembaga internasional mereposisi kebijakan mereka di sektor
sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia kemudian mengambil peran
sentral dalam mengembangkan dan mempromosikan pendekatan-pendekatan baru yang
konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang
ekonomi.6 Dalam prakteknya lembaga keuangan internasional menempatkan reformasi
sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket
kebijakan neo liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment
program.7 Selain itu agen pembangunan bilateral (seperti DFID dan USAID) juga
mendorong private sector participation kepada negara-negara penerima bantuan mereka.8
Dalam konteks Indonesia, tekanan global untuk melakukan privatisasi termasuk di
sektor sumberdaya air, semakin mendapat legitimasi dengan kondisi penyediaan layanan
air di Indonesia. Dari 41% total penduduk Indonesia yang tinggal di daerah perkotaan,
hanya 51,7% atau 20 % dari total populasi yang memiliki akses terhadap layanan PDAM,
dan hanya 8 % masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan memiliki akses terhadap air
perpipaan yang disediakan oleh Unit Pengelola Sarana (UPS)9. Bahkan sampai dengan
tahun 2005 hanya 21 PDAM yang berada dalam kondisi sehat, 68 PDAM kurang sehat,
117 PDAM tidak sehat, dan 11 PDAM dalam kondisi kritis.
6
Pada tahun 1993 World Bank mengeluarkan kebijakan di sektor sumberdaya air (Water Resources
Management Policy), dan menurut World Bank kebijakan ini merefleksikan Rio Earth Summit 1992 dan
Dublin Principles. Pada tahun 1998 Bank Dunia melakukan evaluasi terhadap kebijakan mereka di sektor
sumberdaya air yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Bridging Troubled Water: Assessing the
World Bank’s Water Resources Strategy” yang dipulikasika tahun 2002. Sebagai respon dari laporan
evaluasi tersebut pada tahun 2003 Bank Dunia membuat strategy baru di sektor sumberdaya air (Water
Resources Sector Strategy: Strategic Directions for World Bank Engagement).
7
Lihat IFI, Conditionality and Privatisation of Water and Sanitation Systems, Report for Water Aid
August, 2003, www.wateraid.org
8
Jessica Budds and Gordon McGranahan, Are the debates on water privatization missing the point?
Experience from Africa, Asia, and Latin Amerika, Environment & Urbanization Vol.15 No.2 October 2003.
9
Water Resources Management Towards Enhancement of Effective Water Governance in Indonesia; For
3rd World Water Forum-Kyoto Japan, 2003
3
Tabel 2
Jumlah Perusahaan Daerah Air Minum, Jumlah Pelanggan, Tingkat Produksi,
Penduduk Terlayani dan Tingkat Kebocoran Air Minum,
Tahun 2000
Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa sebagian besar bahkan hampir seluruh PDAM cakupan
pelayanannya masih di bawah 50%, dengan tingkat kebocoran antara 25-35 %. Buruknya
4
layanan air yang diberikan oleh PDAM tidak terlepas dari lingkaran setan yang dihadapi
oleh PDAM itu sendiri.
Gambar 1
Lingkaran Setan Penyediaan Layanan Air
Operational
Ineficiency
Inadequate
Maintenance
Infrastructure Low cost
Degradation recovery
Low Tariff
Low service
quality
Sumber: Alayn Mathys dalam Hadipuro; In Search for Pro-Poor Water Policy, 2003
Dalam konteks yang lebih luas kondisi penyediaan layanan air baik di perkotaan maupun
pedesaan di Indonesia dijelaskan pada tabel 2 berikut ini:
5
Tabel 3
Persentase Rumah Tangga Berdasarkan Sumber Air
Tahun Sumber Air
Air Perpipaan Air dari sumber Air dari sumber
yang terlindungi terlindungi tanpa
dari limbah memperhatikan
domestik jarak dari limbah
domestik
Dari tabel 2 di atas terlihat bahwa sumber air yang digunakan sebagian besar penduduk
Indonesia bersumber dari sumber air terlindungi tanpa memperhatikan jarak dari limbah
domestik. Baru 18 % penduduk yang mendapatkan air yang berasal dari air perpipaan.
Ironisnya sejak tahun tahun 1992 sampai 2002, perkembangan penyediaan air melalui
perpipaan tidak menunjukkan kemajuan yang berarti.
Pada sisi yang lain, Indonesia juga dihadapkan pada tantangan untuk memenuhi target 10
Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015. Untuk mengurangi separuh
dari jumlah penduduk yang belum mendapatkan layanan air minum membutuhkan
investasi sebesar Rp 23 triliun, sedangkan kemampuan pemerintah hanya Rp 400
milyar/tahun.
6
Tabel 4
National Action Plan Air Minum 2003
7
Tabel 5
Allocation of Key Responsibilities Under
The Main Private Sector Participations Options
8
tariff rata-rata yang dibawah biaya produksi (lihat gambar 1 lingkaran setan penyediaan
air bersih)
Tabel 6
Perbandingan antara Tariff Rata-Rata dan Biaya Produksi PDAM di beberapa
Kota Besar di Indonesia
Dari tabel 5 di atas terlihat bahwa di beberapa kota di Indonesia, tariff rata-rata air
bersih memang dibawah biaya produksi dan pemeliharannya. Hanya PDAM Kota
Bandung yang memiliki tariff di atas biaya produksi. Namun yang cukup menarik adalah
meskipun biaya produksi lebih besar dari tariff rata-rata tidak berarti bahwa kondisi
PDAM secara keseluruhan tidak sehat, demikian pula sebaliknya.
Tabel 7
Beberapa PDAM yang Dikategorikan Sehat
9
Dari tabel 6 terlihat bahwa PDAM yang sehat tariff airnya juga masih berada di
bawah biaya produksi dan pemeliharaan (hanya PDAM Kab. Padang Panjang yang
memiliki tariff di atas biaya produksi dan pemeliharaan). Dari uraian tersebut dapat
dilihat bahwa tariff rata-rata di kebanyakan PDAM berada di bawah biaya produksi dan
pemeliharaan. Namun hal tersebut tidak serta merta menjadikan PDAM tidak dapat
dikelola dengan sehat.
Terkait dengan kebijakan PSP, ada tiga hal yang sangat terkait dengan upaya
peningkatan pelayanan, pertama adalah meningkatkan kualitas layanan yang ada, yang
kedua adalah upaya untuk memperluas akses layanan, dan ketiga adalah pengembangan
daerah layanan baru. Dengan demikian, upaya untuk melibatkan sektor swasta dalam
penyediaan layanan air memang lebih ditujukan untuk memperluas layanan dan
pengembangan daerah layanan baru akibat keterbatasan anggaran.
Hal lain yang juga perlu dicermati terkait dengan kebijakan PSP adalah bentuk-
bentuk kerjasama antara pemerintah dan swasta seperti yang tertuang dalam tabel 4.
Dengan memecah (unbundling) industri penyediaan air minum, maka keterlibatan sektor
swasta dapat dilakukan dalam semua bagian industri, baik supply air baku, water
treatment plan, supply air olahan, dan distribusi. Dan juga dapat dilakukan dalam semua
bentuk partisipasi sektor swasta seperti service contract, management contract,
BOT/BOO, maupun konsesi. Permasalahannya adalah dengan melihat kebutuhan
investasi yang besar di sektor penyediaan air bersih maka pilihan terhadap partisipasi
sektor swasta menjadi sangat terbatas. Investasi swasta hanya dimungkinkan jika bentuk
kerjasama yang dilakukan adalah BOT/BOO atau konsesi. Sehingga apabila pilihan yang
diambil adalah management contract, kontrak layanan, ataupun lease contract kebutuhan
akan investasi tetap berasal dari pemerintah.
Pada sisi yang lain, harus diakui bahwa partisipasi sektor swasta dalam penyediaan
air bersih di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Lebih kurang ada 20 proyek
kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan air bersih.
10
Tabel 8
Project PSP yang sedang berjalan di Indonesia
Dari tabel di atas terlihat bahwa PSP dala penyediaan air bersih sudah dilakukan sejak
tahun 1993. Kemudian karakteristik dari PSP tersebut di atas adalah berada di daerah
industri ataupun kota besar dengan model kerjasama yang sebagain besar dilakukan
adalah BOT. Dari tabel tersebut di atas dapat diturunkan untuk melihat dampak dari PSP
terhadap kinerja PDAM secara keseluruhan. Tabel berikut menjelaskan kondisi PDAM
secara keseluruhan yang sudah melakukan PSP.
11
Tabel 9
PDAM Kondisi
Dari tabel 8 di atas menunjukkan tidak ada bukti nyata bahwa dengan privatisasi ataupun
private sector participation (PSP) dapat meningkatkan kinerja PDAM. Hanya PDAM Kota
Medan dan Kabupaten Sidoarjo yang berada dalam kondisi sehat. Kondisi ini sesuai
dengan beberapa studi yang pernah dilakukan, seperti studi yang dilakukan oleh Willner
dan Parker (2002)10 yang menyatakakan bahwa “it appears from empirical evidence that a
change of ownership from public to private is not necessarily a cure for an under-performing
organisations”. Kondisi ini juga diakui oleh IMF dan World Bank. IMF menyatakan bahwa
“It cannot be taken for granted that PPPs are more efficient than public investment and
government supply of services…Much of the case for PPPs rests on the relative efficiency of
the private sector. While there is an extensive literature on this subject, the theory is ambigious
and the empirical evidence is mixed..”11. Sedangkan World Bank menyatakan “World Bank
officials have now decided it doesn’t matter so much whether infrastructure is in public or
private hands”12.
10 Lihat Hall dan Lobina dalam The Relative Efficiency of Public and Private Sector Water, www.psiru.org
11 Ibid
12 Ibid
12
World Development Movement13 dalam laporannya juga menyimpulkan bahwa, “most
private contracts, notably lease and management contracts, involve no investment by the
private company in extensions to unconnected households, concession contracts do involve
investment by private companies to extend the network; however, the investment
commitments agreed when these contracts are created are invariably revised, abandoned or
missed”.
2. Regionalisasi PDAM
Kebijakan lain yang juga sedang dikembangkan oleh Pemerintah adalah
regionalisasi PDAM. Kebanyakan PDAM di Indonesia memiliki jumlah sambungan di
bawah 10.000 koneksi. Dalam Urban Water Supply Sector Policy Framework (Bappenas,
1997), dijelaskan bahwa ”many examples throughout the world show that water supply
services can efficiently be provided by public or private companies that serve areas much larger
than municipal territories, or even cover the entire national territory”. Dengan demikian salah
satu tujuan dari regionalisasi PDAM adalah untuk membuat PDAM beroperasi lebih
efisien. Secara teoritis, banyak definisi tentang regionalisasi seperti yang disampaikan oleh
American Work Association (1979)14, ”regionalization refers to large, physically united
systems or coordinated management of two or more management system”. Sedangkan
Whitlatch dan Re Velle (1990)15 menyatakan bahwa ”regionalization is the integration or
coordination of the physical, economic, social, information, or personnel structure, of water
resources project to better (address) national, regional, and local societal objectives and
constraints”.
Jika dikaitkan dengan kebijakan PSP, kebijakan regionalisasi adalah salah satu upaya
untuk menarik sektor swasta. Hal ini bisa terlihat dalam Selecting an Option for Private
Sector Participation (World Bank, 1997), dimana dalam dokumen tersebut dinyatakan
bahwa “ Yet smaller municipalities have just as much need for better water and sanitation
services and can also benefit from private participation. But their financial, economic,
institutional, and technical conditions present difficult problems…and smaller systems offer
fewer opportunities to exploit economies of scale, making it harder for private sector to reduce
operating costs and achieve operating efficiencies…several small towns can be grouped into a
single service area large enough to provide the economies necessary to attract private
investment while keeping tariff affordable”.
Dengan melihat kondisi PDAM saat ini, pada dasarnya tidak semua PDAM kecil
(< 10.000 koneksi) beroperasi dengan tidak efisien. Tabel 9 di bawah ini mencoba
membandingkan kondisi PDAM besar dan kecil.
13 Pipe Dreams; The Failure of the private sector to invest in water services in developing countries, March 2006,
www.world-psi.org
14
Lihat Janice A. Beecher, et al, The Regionalization of Water Utilities: Perspectives, Literature Review,
and Annotated Bibliography, The National Regulatory Research Institute, The Ohio State University, July
1996
15
Ibid
13
Tabel 10
Perbandingan Jumlah sambungan untuk PDAM yang dikategorikan sehat
Dari table 9 di atas menunjukkan bahwa tidak semua PDAM kecil beroperasi secara
tidak sehat, demikian pula sebaliknya dimana tidak semua PDAM besar beroperasi
secara sehat. Dengan demikian biasa dikatakan bahwa kebijakan regionalisasi untuk
PDAM memang lebih diarahkan untuk meningkatka skala ekonomi PDAM sehingga dapat
menarik bagi private sector untuk terlibat dalam penyediaan layanan air.
14
Berdasarkan kondisi yang ada, kebutuhan atas sumber-sumber pembiayaan
alternative sangat diperlukan. Beberapa hal yang bisa dilakukan sebagai sumber
pembiayaan tersebut adalah (1) Penghapusan hutang PDAM, hutang PDAM sampai
dengan tahun 2002 sebesar Rp. 4,032 triliun sedangkan hutang yang belum jatuh tempo
adalah sebesar Rp 2,63 triliun. (2) Enterprise fund, dalam konteks penyediaan air bersih,
ada dua sumber pembiayaan utama yaitu dari pemerintah dan user fee. Enterprise fund
merupakan dana yang berasal dari user fee. Dengan demikian dana yang berasal dari user
fee harus digunakan sepenuhnya untuk kepentingan PDAM.
Upaya lain yang perlu dilakukan adalah perbaikan tata kelola layanan. Upaya ini
harus diawali dengan perubahan cara pandang dimana penyediaan air bersih harus
dipahami sebagai bagian dari kontrak social antara pemerintah dengan masyarakat.
Sehingga ada kewajiban hukum pemerintah untuk menyediakan dan memenuhi
kebutuhan air masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan karena asumsi-asumsi yang
digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan sector swasta dalam penyediaan layanan air
tidak semuanya benar. Bahwa sebagian besar tariff PDAM berada di bawah biaya
produksi dan kenyataan bahwa kebanyakan PDAM beroperasi dengan jumlah koneksi di
bawah skala ekonomi. Namun dengan kondisi tersebut bukan berarti bahwa semua
PDAM beroperasi secara tidak sehat. Meskipun sangat sedikit sekali PDAM yang
beroperasi dengan sehat, akan tetapi hal tersebut merupakan salah satu bukti bahwa
pada dasarnya sector public mampu menyediakan air bagi masyarakat. Dengan demikian
yang dibutuhkan bukan hanya upaya untuk meningkatkan kualitas dan perluasan layanan
dengan mengedepankan partisipasi sector swasta, tetapi juga upaya-upaya peningkatan
kualitas dan perluasan layanan yang didasarkan atas peningkatan kemampuan dan
kapasitas dari penyedia layanan itu sendiri.
Dengan perubahan cara pandang tersebut diharapkan ada perubahan terhadap
bagaimana utilitas layanan air harus dikelola. Banyak model terhadap pengelolaan
penyediaan layanan air, salah satunya adalah memisahkan antara kepemilikan dengan
manajemen (korporatisasi). Namun sekali lagi, tanpa ada perubahan cara pandang
terhadap penyediaan air bersih maka korporatisasi juga tidak akan berjalan dengan baik.
Korporatisasi juga harus diimbangi dengan partisipasi masyarakat. Penyediaan air di Brazil
merupakan salah satu contoh dari korporatisasi yang juga diimbangi dengan partisipasi
masyarakat. Dengan korporatisasi diharapkan juga akan mendorong munculnya
enterprise fund.
Model pengelolaan lain adalah Public Public Partnerships (PuP). . Meskipun tidak
ada definisi mutlak soal PUPs namun secara umum PUPs dapat dibedakan menurut type
partner yang terlibat dan tujuan dari PUPs itu sendiri. Tabel di bawah ini menjelaskan
type-type dari partner yang terlibat
15
Tabel 11
Typology of PUPs according to types of partner
16
17