80-Article Text-107-1-10-20191129
80-Article Text-107-1-10-20191129
80-Article Text-107-1-10-20191129
KATEKESE INKULTURATIF
Oleh: Intansakti Pius X1
Abstrak
Pentingnya keterlibatan seluruh jemaat dalam keseluruhan karya katekese terasa
mendesak dimana-mana. Iklim yang mendukung bagi karya itu sudah diciptakan oleh
Konsili Vatikan II, dimana ada pergeseran tekanan eklesiologis dari Gereja sebagai
tubuh mistik Kristus, kepada Gereja sebagai umat Allah. Masing–masing tekanan itu
mengandung makna dan konsekuensi yang amat berbeda. Seluruh umat sesuai dengan
kedudukan dan fungsinya harus memberikan andil yang nyata dalam pelaksanaan
karya katekese. Inkulturasi adalah merupakan usaha katekese agar disatu pihak iman
dan agama Kristen dapat berakar pada kebudayaan dan seluruh hidup umat dan dilain
pihak aneka macam kebudayaan dan penghayatan hidup umat konkrit dapat diangkat
menjadi bentuk penghayatan iman Kristen. Orang Kristen hendaknya dapat menjadi
orang Kristen seratus persen dan sekaligus menjadi anggota bangsanya seratus persen.
Pelaksanaan Katekese
Seluruh umat beriman semenjak Sinode Katekese Roma 1977 telah dengan
jelas menggariskan suatu arah baru yaitu bahwa katekese adalah merupakan tugas
seluruh umat beriman. Kiranya memang penting keterlibatan seluruh jemaat dalam
karya katekese terasa mendesak dimana-mana. Lagi pula iklim yang menggantungkan
bagi karya itu sudah diciptakan oleh Konsili Vatikan II, dimana ada pergeseran
tekanan eklesiologis dari Gereja sebagai “Tubuh Mistik Kristus”, kepada Gereja
sebagai “Umat Allah”. Masing-masing tekanan itu mengandung makna dan
konsekuensi yang amat berbeda. Yang pertama berarti orang Kristen dipersatukan
dengan Kristus sebagai pemimpin Gereja secara mistik melalui hierarki dan dengan
dipersatu oleh Roh Kudus. Tekanan pada segi organisatoris institusional serta
ditonjolkan aspek yuridis Gereja dan terutama fungsi hierarki, sehingga dalam
1
Dosen Program Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Pendidikan dan Pengajaran Agama Katolik,
STP-IPI Malang
75
katekese pun seluruh ditonjolkan peranan hierarki yang tidak tergantikan oleh
siapapun, tugas eksklusif dari hierarki. yang kedua “ Gereja sebagai “Umat Allah”
berarti bahwa umat beriman dipersatukan dengan Kristus dalam Roh Kudus yang
dibangun dari bawah/dari kalangan umat sendiri. Gereja dalam hierarkisnya tidak lagi
dipandang sebagai institut keselamatan dimana mereka membagi-bagikan keselamatan
bagi setiap orang yang tercatat resmi sebagai anggota organisasi Gereja. Gereja
sebagai umat Allah/Gereja dari bawah adalah persekutuan umat beriman yang
bersama-sama mencari keselamatan Allah yang sudah disediakan oleh Allah melalui
Kristus bagi segenap umat manusia.
Gereja umat Allah mencari keselamatan didalam iman, oleh karena itu Gereja
juga berfungsi sebagai komunikasi iman dimana orang saling membantu dan
mendukung dalam kehidupan iman. Maka tepatlah bila dinyatakan bahwa katekese
yang berarti komunikasi iman timbal balik itu merupakan tugas seluruh umat beriman
tanpa kecuali. Namun perlu disinggung juga peranan kaum religius yang tetap riil
lebih-lebih dalam katekese formil. Tidak bisa dipungkiri bahwa sepanjang sejarah
Gereja kaum religius telah menyumbangkan andil yang sangat besar bagi
perkembangan iman dan Gereja semesta. Meskipun peranan kaum religius sudah
banyak digantikan oleh kaum awam namun fungsi pelayanan tetap merupakan ciri
khas mereka. Arah baru yang di usahakan oleh kaum religius dewasa ini adalah
meningkatkan fungsi pelayanan itu yang dilakukan diluar tembok-tembok biara. Ini
dapat menjadi bukti pula bahwa biarawan-biarawati dengan awam adalah merupakan
satu umat Allah yang bersama-sama mencari penghayatan iman dan kehendak Allah.
Inkulturasi
Istilah inkulturasi yang dipakai disini bisa mengandung arti yang sangat luas
mencakup banyak segi yang pada pokoknya merupakan konkretisasi dari
pembaharuan metode katekese. Kalau karya katekese tidak mau hanya memberi ajaran
doktriner saja tetapi bertujuan untuk mendewasakan penghayatan iman akan Kristus
secara hidup, maka disatu pihak iman itu harus mengakar pada kebudayaan dan
76
seluruh hidup umat dan dilain pihak aneka kebudayaan dan penghayatan hidup umat
konkrit harus diberi warna Kristen sedemikian rupa sehingga bisa menjadi cara
penghayatan iman Kristen itu.
Dasar-dasar Inkulturasi
78
tetapi Kristus ada dalam semua dan segala sesuatu” (Kol. 3:11). Setiap kebudayaan
dapat menjadi landasan kabar gembira Kristus yang akan dan dapat menyesuaikan
kebudayaan mana pun dengan isi pewartaanNya. (Dr. Wim Van Der Weiden MSF,
Rohani, th. XXIV No. 10-11 Oktober-November 1977, hal 289-291).
80
penghayatan iman Kristen; sedang yang kedua adalah gerakan keluar yaitu
memperkaya diri dengan penghayatan Gereja-geraja setempat yang lain.
4. Ternyata kebudayaan manusia itu berkembang pesat. Maka akibatnya tidak akan
ada lagi suatu bentuk pengungkapan iman yang bertahan untuk selama-lamanya.
Inkulturasi itu mesti terjadi sepanjang masa seturut dan seirama dengan
perkembangan kebudayaan manusia.
5. Pada akhirnya setelah semua usaha itu berhasil maka buahnya yang paling
berharga adalah bahwa iman Kristen akan Yesus Kristus Sang penyelamat itu
sungguh-sungguh berakar pada bumi. Kebudayaan dan kehidupan umat Allah
setempat.
1. Agama Kristen yang hadir dalam suatu tempat membentuk suatu Gereja muda.
Disitu disamping terdapat kebudayaan asli yang sungguh asli juga terdapat
perpaduan atau pengaruh dari kebudayaan asing bukan Kristen yang telah lama
bercokol dan terintegrasi pada kebudayaan asli itu. Usaha inkulturasi disini tidak
membeda-bedakan antara yang sungguh asli dan kurang asli. Yang
diinkulturasikan adalah semua bentuk kebudayaan yang de facto hidup pada suatu
tempat dan secara positif dapat diintegrasikan kedalam penghayatan iman Kristen.
2. Dalam masyarakat pluralitas dimana diperbolehkan hidup pelbagai agama maka
sikap agama Kristen adalah menghargai nilai-nilai yang terkandung dalam
penghayatan iman mereka : “ Gereja katolik tidak menolak apa sajapun yang benar
dan suci dalam agama-agama lain. Dengan hormat dan tulus Gereja menghargai
tingkah laku dan tata cara hidup, peraturan-peraturan dan ajaran-ajaran agama
tersebut. Meskipun mereka itu dalam banyak hal khusus berbeda dari iman dan
pengajaran Gereja, namun kerap kali memantulkan cahaya kebenaran itu, yang
menerangi sekalian orang” ) piagam Nostra Aitate, Konsili Vatikan II). Dalam
rangka inkulturasi kiranya Gereja tidak hanya berhenti pada “menghargai” agama-
81
agama lain itu namun juga menimba bentuk penghayatan iman yang mereka pakai
sejauh bermanfaat dan cocok bagi penghayatan iman Kristen
3. Inkulturasi dalam arti khusus kiranya juga bisa mencakup pemanfaatan prasarana
dan sarana kehidupan dan teknologi modern yang kini secara positif bermanfaat
bagi hidup manusia juga. Terutama pemanfaatan alat-alat komunikasi bagi
peningkatan usaha pewartaan atau katekese atau evangelisasi: “Semua putera
Gereja hendaklah bersatu padu dalam ikhtiar dan musyawarah untuk
memperjuangkan agar nilai-nilai komunikasi, sesuai dengan tuntutan hubungan-
hubungan dan keadaan waktu, dikerahkan secara tepat guna dengan segera dengan
segiat-giatnya bagi keperluan karya kerasulan yang beraneka ragam. Terutama di
daerah-daerah di mana kemajuan moral dan agama memerlukan usaha-usaha yang
lebih besar, haruslah mereka berusaha mencegah timbulnya aspek-aspek yang
membahayakan” (Dekrit tentang alat-alat komunikasi sosial, Konsili Vatikan II,
no. 13).
4. Secara praktis dan konkret usaha inkulturasi terwujud pada penggantian tenaga-
tenaga asing dengan tenaga-tenaga pribumi. Konsili Vatikan II juga telah
menginsyaratkan pentingnya pembinaan tenaga-tenaga rohaniwan setempat
meskipun tanpa mengurangi penghargaan terhadap jasa para missionaris “Dengan
gembira sekali Gereja memanjatkan syukur atas anugerah panggilan iman yang
tiada ternilai, yang dianugerahkan Allah kepada begitu banyak pemuda putera
bangsa-bangsa yang baru saja bertobat kepada Kristus. Sebab Gereja akan lebih
dalam dan kuat berakar di dalam setiap kelompok manusia, mana kala pelbagai
persekutuan kaum beriman memiliki petugas-petugas keselamatan yang berasal
dari anggotanya sendiri dalam kesusukan selaku Uskup, Iman dan Diakon, yang
dilayani saudaranya sendiri, sehingga Gereja yang muda itu lambat laun
memperoleh struktur diosis dengan rohaniwan sendiri”. (Dekrit Ad Gentes,
KonsiliVatikan II no. 16).
5. Menjadi keyakinan Gereja yang pokok bahwa melalui sakramen-sakramen
terutama Ekaristi yang diterimakan kepada umat, adalah merupakan sarana dan
82
tanda yang paling nyata bahwa Allah menyampaikan rahmatnya demi untuk
keselamatan manusia dalam persatuan lebih erat dan mesra dengan Allah dan
sesama manusia. Peristiwa penyelamatan itu terjadi terutama dalam liturgi
Ekaristi dalam mana wafat dan kebangkitan Kristus dihadirkan dan
diaktualisasikan kembali, serta Tubuh dan Darah Kristus disambut dalam iman
yang mempersatukan manusia dengan Allah dan sesame manusia. Agar supaya
tanda penyelamatan itu lebih dapat terhayati oleh umat beriman setempat maka
Gereja dalam Konsili Vatikan II juga telah mengisyaratkan usaha penyesuaian
atau inkulturasi dalam hal bahasa: “Tetapi karena acap kali baik dalam misa
maupun dalam menerimakan sakramen-sakramen atau dalam bagian liturgi isinya
pemakaian Bahasa umat sangat berguna bagi para beriman. Hendaknya diberi
kelonggaran yang lebih luas untuk Bahasa tersebut, terutama dalam pembacaan-
pembacaan dan anjuran-anjuran, dalam beberapa doa dan nyanyian menurut
kaidah-kaidah yang ditetapkan untuk hal ini” (Konstitusi Liturgi Konsili Vatikan
II no. 36, par. 2) juga usaha penyesuaian atau inkulturasi liturgi dalam jiwa dan
adat istiadat bangsa: “Dalam hal-hal yang tidak mengenai iman atau kesejahteraan
Gereja seluruhnya, Gereja tidak ingin memaksakan suatu bentuk yang sama di
mana-mana, bahkan dalam liturgy pun tidak. Gereja mengembangkan dan
memajukan keindahan dan kekayaan jiwa bangsa. Apa saja yang terdapat dalam
adat istiadat bangsa dan yang tidak terikat erat-erat dengan takhayul atau
kesesatan, semua itu dipertimbangkan Gereja dengan murah hati dan kalau
mungkin dipertahankan dengan seutuhnya, bahkan kadang-kadang di biarkan
masuk ke dalam liturgi asal sesuai dengan unsur-unsur jiwa liturgi yang benar dan
asli”. (Konstitusi Liturgi, Konsili Vatikan II, no. 37).
6. Usaha inkulturasi jelas menguntungkan bagi peningkatan penghayatan iman
Gereja terutama di negara-negara Kristen yang baru atau pada masyarakat
pluralistis. Tapi perlu diingatkan juga adanya bahaya-bahaya dan kerugian yang
dapat terjadi yaitu apabila:
a. Inkulturasi hanya berhenti pada segi luarnya saja. Jadi tidak mampu menembus
83
kulit dari penghayatan itu sendiri dan tidak masuk kedalam daging
penghayatanya itu dasar hati atau sikap dasar iman (optio fundamentalis iman).
Kalau begitu iman dan agama Kristen juga tidak dapat mengakar dalam hidup
dan kekayaan bumi dan kekayaan setempat.
b. Timbul penyelewengan dari tujuan inkulturasi sendiri. Terlalu mengutamakan
unsur-unsur yang khas sehingga universalisme Gereja dirugikan, terutama
dalam hal pokok-pokok iman yang harus diterima oleh Gereja Universal.
c. Inkulturasi yang disamakan dengan synkretisme. Dimana suatu adat atau
kekayaan asli ditempelkan begitu saja pada penghayatan iman Kristen tanpa
melalui proses penyesuaian dan Kristenisasi. Dengan demikian maka muncul
materi iman baru yang seolah-olah sesuai dengan Iman Kristen tetapi ternyata
tidak ada dasar pada Kitab Suci atau tradisi Gereja.
d. Inkulturasi yang dipaksakan: suatu adat atau kebudayaan yang tidak cocok bagi
penghayatan iman namun toh dipaksakan juga oleh karena sedang mode.
e. Inkulturasi yang tergesa-gesa: Bila terdapat sejumlah orang yang berambisi
untuk dengan segera mengubah wajah Gereja Barat kepada wajah Gereja
setempat dengan total tanpa melihat proses perkembangan daya dan tingkat
penerimaan umat.
f. Penghayatan iman dalam liturgi dan sakramen-sakramen menjadi melulu
profan, asal orang merasa senang, tanpa bobot teologis.
g. Salah satu kebudayaan setempat ditekankan atau dimanfaatkan sehingga umat
dari suku-suku lain yang ada di situ dirugikan. Prinsip mayoritas yang memang
dalam pelaksanaan inkulturasi tidak selalu menguntungkan.
h. Bila Gereja setempat tidak selalu sadar akan kesatuan seluruh Gereja Universal
maka bisa menimbulkan penyelewengan-penyelewengan entah dalam bentuk
bidaah entah skisma.
i. Pengambil-ahlian bentuk-bentuk penghayatan agama Islam akan
membingungkan Umat yang kemudian merasa bahwa semua agama itu sama
saja, bila pengambil-ahlian tidak bijaksana.
84
Bahaya-bahaya atau kerugi-rugian yang mungkin dapat terjadi itu kiranya
dapat dicegah dengan membentuk badan pengawas pada tingkat Keuskupan atau
dekenat atau vicarious episcopalis. Gereja setempat yang mengadakan eksperimen
hendaknya memberikan laporan kepada badan pengawas itu yang akhirnya
menentukan baik atau tidaknya. Manfaat dari usaha ini juga menimba pengalaman atau
hasil yang baik dari suatu eksperimen di Gereja yang satu bagi Gereja-gereja yang lain
dalam satu Keuskupan. Kemungkinan timbulnya bahaya-bahaya atau kerugi-rugian
tersebut tidak perlu menjadi momok dari usaha inkulturasi, tetapi hendaknya menjadi
peringatan di mana kita harus waspada.
Daftar Referensi
85