Download

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 116

SKRIPSI

PENGARUH RASIO KINERJA KEUANGAN DAERAH TERHADAP

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

(Studi Pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan 2015-2019)

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Persetujuan Proposal Skripsi

Oleh:

MUHAMMAD NUR ANSYORI

NIM: 1710313310048

Program Studi: S1 Akuntansi

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARMASIN

2022
i
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan petunjuk-Nya. Serta shalawat dan
salam senantiasa penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skipsi yang berjudul " Pengaruh Rasio Kinerja
Keuangan Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Studi Pada
Kabupaten/Kota Di Provinsi Kalimantan Selatan 2015-2019 ". Skripsi in disusun
untuk memenuhi suatu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Akuntansi di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat.
Pada penelitian dan penyusunan skripsi ini, banyak pihak yang
memberikan doa, bantuan dan bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:

1. Bapak Dr. H. Atma Hayat, Drs, Ec, M.Si, Ak, CA selaku Dekan Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat.
2. Bapak H. Alfian Misran, SE, M.Si, Ak, CA selaku Koordinator Program
Studi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung
Mangkurat dan sekaligus Dosen Penguji I Skripsi peneliti yang telah
membantu peneliti dalam menentukan data-data yang diperlukan untuk
penelitian.
3 Bapak Dr. Kadir, Drs., M.Si., Ak., CA selaku Dosen Penasihat Akademik
yang memberikan bimbingan konsultasi akademik kepada peneliti setiap
semesternva
4 Bapak Muhammad Hudaya, SE, MM, Ph.Dselaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, dan petunjuk, serta
masukan, sehingga proses peneltian dan penyusunan Skips1 in1 dapat
diselesalkan dengan baik.
5. Bapak Dr. Fahmi Rizani, MM. Ak, CA, CPA selaku Dosen Penguji I Skripsi
peneliti.
6. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung

v
Mangkurat yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat bagi
peneliti selama kegiatan perkuliahan baik secara offline maupun daring
(online).
7. Ibu Rusdiah, SE selaku Kasubag Bagian Keuangan dan Ibu Sukmawati
Junita selaku staff Bagian Keuangan LPP RI Banjarmasin yang telah banyak
membantu peneliti dalam memperoleh data penelitian.
8. Seluruh staff Badan Keuangan Daerah Prov Kalimatan Selatan yang telah
mendukung pemberian data demi kelancaran penyusunan skripsi.
9 Bapak Agus Dyannur dan Ibu Nuriyati selaku kedua orang tua peneliti, serta
kaka-kaka peneliti yaitu Aditya Rahman dan Barqi Nur Addin dan keluarga
besar peneliti yang setia mendoakan, dan memberikan dukungan baik moril
maupun material demi kelancaran dan keberhasilan menyelesaikan studi ini.
10 Regina Nazel Maryam Putri terimaksih telah menjadi pendengar yang baik.
Selalu memberikan semangat, motivasi, menghibur dan mendoakan untuk
menyelesaikan skripsi ini.
11 Seluruh teman-teman Kelas A jurusan S1 Akuntansi Reguler A angkatan
2017 dan teman-teman lainnya.

Pada Setiap hal tentunya terdapat kelebihan dan kekurangan, begitu juga
dengan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, masukan,
kritik, dan saran bersifat membangun dari pembaca sangat diharapkan oleh
peneliti, agar skripsi ini dapat diperbaiki dan disempurnakan dengan baik. Peneliti
berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan wawasan bagi para
pembaca.

Banjarmasin, januari 2022


Peneliti

Muhammad Nur Ansyori


NIM. 1710313310048

vi
ABSTRAKSI

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana kinerja keuangan
mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten/Kota
Kalimantan Selatan pada tahun 2015 – 2019. Metodologi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kuantitatif. Penelitian ini dikategorikan sebagai
penelitian asosiatif karena jenisnya. Populasi untuk penelitian ini diambil dari
13 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Alasan untuk ini adalah karena
tingkat IPM Kalsel kurang optimal. Statistik deskriptif, pengujian asumsi
klasik, analisis regresi berganda, dan pengujian hipotesis adalah metode
analisis data yang digunakan. Temuan ini mengungkapkan bahwa antara tahun
2015 dan 2019, rasio derajat desentralisasi berpengaruh terhadap IPM masing-
masing kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Sementara itu, sejak 2015
hingga 2019, rasio ketergantungan keuangan, rasio belanja modal, dan rasio
belanja operasional tidak berdampak signifikan terhadap IPM kabupaten/kota
Kalsel.

Kata Kunci : Indeks Pembangunan Manusia, Rasio Derajat Desentralisasi,


Rasio Ketergantungan Keuangan, Rasio Belanja Modal, Rasio Belanja Operasi

vii
ABSTRACT

The aim of the study was to look at how financial performance affected the
Human Development Index (HDI) in South Kalimantan Regencies/Cities in
2015 - 2019. The methodology used in this study is quantitative. This study is
categorized as associative research because of its type. The population for this
study was taken from 13 districts / cities in South Kalimantan. The reason for
this is because the Level of HDI Kalsel is less than optimal. Descriptive
statistics, classical assumption testing, multiple regression analysis, and
hypothesis testing are methods of data analysis used. The findings revealed that
between 2015 and 2019, the ratio of degrees of decentralization had an effect
on the HDI of each district / city in South Kalimantan. Meanwhile, from 2015
to 2019, the ratio of financial dependency, capital expenditure ratio, and
operational expenditure ratio did not have a significant impact on the HDI of
Kalsel regency / city.

Keywords: Human Development Index, Decentralized Degree Ratio, Financial


Dependency Ratio, Capital Expenditure Ratio, Operating Expenditure Ratio

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

LEMBAR LEGILITAS ....................................................................................i

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ................................................ii

BERITA ACARA PERBAIKAN SKRIPSI ....................................................iii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ....................................................iv

KATA PENGANTAR .......................................................................................v

ABSTRAKSI ................................................................................................................ vii

ABSTRACT ................................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................viii

DAFTAR TABEL .............................................................................................xiii

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1

1.1. Latar Belakang .................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................8

1.3. Tujuan Penelitian..............................................................................9

1.4. Manfaat Penelitian............................................................................10

1.5. Sistematika Pembahasan ..................................................................10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................12

2.1. Landasan Teori .................................................................................12

2.1.1. Teori Desentralisasi Fiskal .....................................................12

2.1.2. Teori Anggaran ......................................................................12

2.1.3. Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah ..............................14


ix
2.1.4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah ...................................15

2.1.5. Pengertian dan Tujuan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor

Publik....................................................................................16

2.1.6. Laporan Keuangan Sektor Publik .........................................17

2.1.7. Laporan Realisasi Anggaran Sektor Publik ...........................18

2.1.8. Pendapatan Daerah .................................................................19

2.1.9. Belanja Pemerintah ................................................................22

2.1.10. Rasio Keuangan Daerah .......................................................24

2.1.11. Indeks Pembangunan Manusia .............................................27

2.1.12. Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia ........................28

2.2. Hasil Penelitian Sebelumnya ............................................................29

BAB III KERANGKA KONEPTUAL DAN HIPOTESIS ............................41

3.1. Kerangka Konseptual .......................................................................41

3.2. Hipotesis Penelitian ..........................................................................44

3.2.1. Pengaruh Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) ..............................................44

3.2.2. Pengaruh Rasio Ketergantungan Daerah Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) ..............................................44

3.2.3. Pengaruh Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Terhadap

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ..................................45

3.2.4. Pengaruh Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) .....................................................................46

3.2.5. Pengaruh Belanja Operasi Terhadap Indeks Pembangunan

Manusia (IPM) .....................................................................47

x
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN .......................................................49

4.1. Ruang Lingkup Penelitian ................................................................49

4.2. Jenis Penelitian .................................................................................49

4.3. Tempat/Lokasi Penelitian .................................................................49

4.4. Unit Analisis .....................................................................................50

4.5. Populasi dan Sampel ........................................................................50

4.6. Variabel dan Definisi Operasional Variabel ....................................50

4.6.1. Variabel Dependen .................................................................50

4.6.2. Variabel Independen ..............................................................51

4.7. Teknik Pengumpulan Data ...............................................................54

4.8. Teknik Analisis Data ........................................................................55

4.8.1. Statistik Deskriptif..................................................................55

4.8.2. Uji Asumsi Klasik ..................................................................55

4.8.3. Analisis Regresi Berganda .....................................................58

4.8.4. Pengujian Hipotesis ................................................................59

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................60

5.1. Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Selatan ..............................60

5.2. Hasil Analisis Data ...........................................................................62

5.2.1. Statistik Deskriptif..................................................................62

5.2.2. Uji Asumsi Klasik ..................................................................69

5.2.3. Analisis Regresi Linier Berganda ..........................................74

5.2.4. Uji Hipotesis...........................................................................75

5.2.5. Pebahasan ...............................................................................79

5.2.6. Implikasi Penelitian ................................................................84

xi
5.2.7. Keterbatasan Penelitian ..........................................................85

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................87

6.1. Kesimpulan................................................................................87

6.2. Saran ..........................................................................................88

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................90

LAMPIRAN .......................................................................................................97

xii
DAFTAR TABEL

Hal.
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Sebelumnya ..............................................................30

Tabel 4.1 Nilai Uji-DW (Durbin-Watson) ..........................................................57

Tabel 5.2. Rasio Desentralisasi FIskal ................................................................63

Tabel 5.3. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah ..........................................64

Tabel 5.4. Rasio Belanja Operasi ........................................................................66

Tabel 5.5. Rasio Belanja Modal ..........................................................................67

Tabel 5.7. Hasil Kolmogrov smirnov..................................................................70

Tabel 5.8. Hasil Uji Multikolinieritas .................................................................71

Tabel 5.9 Hasil pengujian Heteroskedastisitas....................................................72

Tabel 5.10. Durbin-Watsan Statistik ...................................................................73

Tabel 5.11. Anaslisis Regresi Linier Berganda ...................................................74

Tabel 5.12. Koefisien Determinasi......................................................................76

Tabel 5.13 Uji Statistik t .....................................................................................77

xiii
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1.1 Rata-rata IPM Indonesia dan Kalimantan Selatan Tahun 2015-2019 ...... 4

Gambar 1.2 IPM Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan Tahun 2016-2019.............. 5

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual ............................................................................... 43

Gambar 3.2 Model Penelitian....................................................................................... 48

Gambar 5.1. Statistik Desktiptip .................................................................................. 62

Gambar 5.6. Uji Normalitas ......................................................................................... 63

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kinerja keuangan menjadi salah satu tolok ukur kinerja pemerintah dalam

menilai tingkat kesejahteraan masyarakat. Ketika pemerintah daerah telah mampu

memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat, maka dapat

dikatakan kesejahteraan masyarakat daerah tersebut tercapai. Menurut Badan

Pusat Statistik tentang Indeks Pembangunan Manusia dijelaskan bahwa dalam

menilai keberhasilan kinerja pembangunan manusia disuatu wilayah, dapat

menggunakan Indeks Pembangunan Manusia melalui penyediaan layanan publik

yang baik. Semakin baik daerah dalam mengelola keuangannya maka akan

memberikan dampak yang baik pula bagi tersedianya layanan publik. Layanan

publik yang baik diharapkan mampu meningkatkan kehidupan masyarakat,

peningkatan dalam kehidupan masyarakat dapat digambarkan dengan

meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (Anggraini dan Sutaryo, 2015).

APBD dalam hal pembiayaan pembangunan di tiap sektor yang bersangkutan

digunakan oleh pemerintah daerah dalam rangka melakukan perwujudan kualitas

manusia yang tinggi di daerahnya. Tingkat pelayanan pada masyarakat yang

rendah merupakan efek negatif dari rendahnya kapasitas dan kemampuan daerah

dalam hal pengelolaan keuangan, sehingga tidak mampu meningkatkan Indeks

Pembangunan Manusia daerah tersebut. Berdasarkan sisi pendapatan, menurut

Mahmudi (2010) ada tiga pengukuran kinerja yaitu pertama anggaran pendapatan

yakni batas minimal jumlah target pendapatan yang harus diperoleh oleh

pemerintah. Kedua pertumbuhan pendapatan yang menggambarkan bahwa kinerja

1
2

pemerintah dalam memperoleh pendapatan mengalami kenaikan atau penurunan

setiap tahunnya. Dan ketiga rasio keuangan yang menggambarkan tingkat

kemandirian daerah. Sedangkan dari sisi belanja ada lima pengukuran, dua

diantaranya yaitu pertumbuhan belanja yang bermanfaat untuk mengetahui

perkembangan belanja dari tahun ketahun dan rasio keserasian belanja yang

menggambarkan keseimbangan antar belanja.

Kesejahteraan rakyat merupakan satu dari berbagai macam permasalahan

yang dihadapi secara serius oleh setiap negara di dunia. Ada yang termasuk

negara maju merupakan negara yang lebih unggul dari pada negara lainnya,

namun ada pula negara yang masih melakukan pengembangan menuju keadaan

yang lebih baik (sering disebut dengan negara berkembang), dan ada juga negara

yang mempunyai keadaan serba kekurangan disebut negara miskin masing-

masing keadaan tersebut dapat dilihat dari kesejahteraan rakyatnya (Negara Maju

& Berkembang, 2020).

Peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan umum menjadi tugas

pokok pemerintah daerah. Kesejahteraan masyarakat tercapai ketika pemerintah

daerah telah memberikan pelayanan umum yang baik kepada masyarakat. Dalam

memberikan layanan publik yang baik bagi masyarakat dibutuhkan dana yang

memang ditujukan untuk hal tersebut. Otonomi daerah tidak hanya memberikan

wewenang kepada daerah untuk mengatur daerahnyaterkait pembangunan, tetapi

juga memberikan wewenang terkait dengan keuangan pemerintah daerah.

Pengalokasian pendapatan yang akan digunakan dalam pembangunan daerah juga

menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, termasuk dana yang akan digunakan

dalam aktivitas pendanaan layanan publik bagi masyarakat.


3

IPM (Indeks Pembangunan Manusia) merupakan salah satu tolak ukur

yang dapat digunakan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Penelitian ini

bertujuan untuk menguji pengaruh rasio keuangan pemerintah daerah terhadap

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pemerintah provinsi di Indonesia. Otonomi

daerah diberlakukan mulai tahun 1999 melalui Undang-Undang Otonomi Daerah.

Pemerintah daerah diberi wewenang seluas-luasnya dalam penyelenggaraan

didaerahnya dengan tetap memegang aturan yang tercantum dalam Undang-

Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

Formula umum IPM yang pertama kali diperkenalkan oleh Program

Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) pada tahun 1990 dan

dipublikasikan secara berkala dalam laporan tahunan Human Development Report

(HDR) (Setiawan, 2021). Dalam pencapaian IPM dapat dilihat dari kualitas hidup

manusia disebuah negara yang diukur melalui tingkat kesehatan, pendidikan, dan

daya belinya. Serta dibangun melalui pendekatan dimensi dasar yang diukur

melalui indeks angka harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks pendapatan.

Sejak 1 Januari 2001 hingga saat ini pelaksanaan desentralisasi fiskal di

Indonesia masih dilakasanakan. Hal ini ditujukan untuk mendorong kesejahteraan

masyarakat di setiap daerah dengan argumentasi alokasi anggaran untuk barang

publik lokal yang dilakukan oleh pemerintah daerah lebih sesuai dengan

kebutuhan masyarakat karena keunggulan informasi yang dimiliki oleh

pemerintah daerah. Indonesia saat ini mempunyai 34 Provinsi, Kalimantan Selatan

merupakan salah satu provinsi yang ada di Indonesia di mana di provinsi ini

terdapat banyak potensi kekayaan alam. Dengan potensi ini diharapkan

pemerintah provinsi Kalimantan Selatan harus bekerja keras agar dapat


4

menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas sehinnga dapat

memanfaatkan kekayaan alam tersebut secaara maksimal untuk meningkatkan

kesejahteraan rakyatnya. Berikut adalah gambaran Indeks Pembangunan Manusia

di Indonesia dan Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019:

Rata-Rata Indeks 69,55 70,18 70,81 71,39 71,92


Pembangunan Manusia
di Indonesia 68,38 69,05 69,65 70,17 70,72

2015 2016 2017 2018 2019


IPM Indonesia 69,55 70,18 70,81 71,39 71,92
IPM Kalimantan Selatan 68,38 69,05 69,65 70,17 70,72
IPM Kalimantan Selatan IPM Indonesia

Sumber: https://www.bps.go.id/

Gambar 1.1

Rata-rata IPM Indonesia dan Kalimantan Selatan Tahun 2015-2019

Berdasarkan gambar 1,1 dapat dilihat bahwa Indeks Pembangunan

Manusia di provinsi Kalimantan Selatan juga saat ini masih menunjukkan

dibawah angka rata-rata Indeks Pembangunan Manusia nasional. Rendahnya

Indeks Pembangunan Manusia ini diakibatkan oleh masih tingginya ketimpangan

yang terjadi di daerah kabupaten dan kota yang ada di Kalimantan Selatan.

Wilayah provinsi Kalimanran Selatan terbagi ke dalam 13 wilayah daerah

otonomi se-tingkat kabupaten/kota. Ada 2 (dua) daerah yang berstatus kota, yakni

kota Banjarmasin dan kota Banjarbaru. Selebihnya ada 11 (sebelas) yang

merupakan kabupaten meliputi: Balangan, Tanah Bumbu, Tabalong, Hulu Sungai

Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Barito Kuala, Banjar,
5

Kotabaru, dan Tanah Laut. Gambar di bawah ini memperlihatkan tingkat IPM

yang ada di Kabupaten/Kota Wilayah Kalimantan Selatan selama 2016-2019.

90
80
70
60
50
40
30
20
10
0 KOTA KOTA HULU HULU HULU
TABALON TANAH TANAH KOTABAR BALANGA BARITO
BANJAR BANJAR TAPIN SUNGAI SUNGAI BANJAR SUNGAI
G BUMBU LAUT U N KUALA
BARU MASIN SELATAN TENGAH UTARA
2019 79,22 77,16 71,78 70,5 70,13 68,8 69,04 68,95 68,8 68,94 68,39 66,24 65,49
2018 78,83 76,83 71,14 70,05 69,53 68,41 68,49 68,32 68,32 68,32 67,88 65,91 65,06
2017 78,32 76,46 70,76 69,12 68,7 67,8 68 67,79 67,78 67,77 67,25 64,93 64,21
2016 77,96 75,94 70,07 68,28 68,05 67,52 67,44 67,1 67,07 66,87 66,25 64,33 63,38

Sumber: https://www.bps.go.id/

Gambar 1.2

IPM Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan Tahun 2016-2019

Berdasarkan gambar 1.2 dapat dilihat tingkat IPM Kota Banjarbaru pada

tahun 2019 menempati peringkat pertama dengan nila IPM sebesar 79,22

sedangkan di posisi terakhir di tempati oleh kabupaten Hulu Sungai Utara dengan

nilai IPM sebesar 65,49. Jauhnya perbandingan selisih angka antara kota

Banjarbaru dengan kabupaten Hulu Sungai Utara diindikasikan terjadinya

ketimpangan pada kabupaten dan kota di provinsi Kalimantan Selatan. Dalam

rangka untuk meningkatkan IPM di kabupaten dan kota agar tidak terjadi

ketimpangan yang ada di Kalimantan Selatan diharapkan pemerintah daerah perlu

berusaha untuk merancang struktur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah


6

(APBD) yang berpihak terhadap rakyat sehingga dapat meningkatkan

kesejahteraan rakyatnya.

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh (Hendri & Yafiza, 2020) yang mengangkat judul Pengaruh Rasio

Keuangan Pemerintah Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Studi

Kasus Pada Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkalis. Perbedaan yang terdapat

dalam penelitian ini terdapat pada sebagian variable independen dan objek

penelitian. Variabel independen pada penelitian yang dilakukan oleh Zul Hendri

dan Meileni Yafiza (2020) adalah Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio

Ketergantungan Keuangan Daerah, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio

Efektivitas Pendapatan Asli Daerah dan Rasio Efektivitas Pajak Daerah, objek

penelitian di Kabupaten Bengkalis. Sedangkan penelitian menggunakan variabel

Rasio derajat Desentralisasi, Rasio Kemandirian Keuangan Daerah, Rasio Belanja

Modal dan Rasio Belanja Operasi dan objek penelitian Kabupaten/Kota Provinsi

Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

Penelitian yang dilakukan oleh (Khairudin et al., 2020) dengan judul

“Pentingnya Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Untuk Meningkatkan

Kesejahteraan Di Masyarakat Indonesia”. Adapun variabel yang dijadikan dalam

penelitian yaitu rasio kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio

pertumbuhan. Dari hasil penelitian tersebut ditemuukan hasil bahwa kinerja

keuangan dan kesejahteran masyarakat pada pemerintah daerah di Indonesia

belum begitu baik kemandirian keuangan daerah memiliki pengaruh positif dan

signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat; efektivitas keuangan daerah

memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat;


7

efisiensi keuangan daerah memiliki pengaruh negatif dan signifikan terhadap

kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan keuangan daerah memiliki pengaruh

dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.

Kemudian pada penelitian yang dilakukan oleh (Harliyani & Haryadi,

2016) dengan judul “ Pengaruh Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Terhadap

Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi 2001-2014” Adapun variabel

yang dijadikan dalam penelitian yaitu Rasio Derajat Desentralisasi fiskal, Rasio

Ketergantungan Keuangan Daerah, Rasio Kemandirian Daerah, Rasio Efektivitas

PAD, Rasio Efisiensi PAD, Rasio Keserasian Belanja Langsung. Dari hasil

penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa rasio derajat desentralisasi fiskal dan

keserasian belanja langsung berpengaruh positif dan signifikan terhadap IPM

Provinsi, sedangkan pada rasio ketergantungan keuangan daerah, efektivitas PAD

dan efisiensi PAD Provinsi Jambi tidak berpengaruh signifikan terhadap IPM di

Provinsi Jambi.

Sebuah penelitian dilakukan (Astuti et al., 2019) judul “Pengukuran

Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia Di Kabupaten Aceh Timur”. Adapun variabel yang

dijadikan dalam penelitian yaitu rasio kemandirian, rasio efisiensi dan rasio

efektivitas. Dari penelitian tersebut ditemukan hasil bahwa kesejahteraan

masyarakat melalui kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efisiensi dan

rasio efektivitas berpengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap Indeks

Pembangunan Manusia di Kabupaten Aceh Timur.


8

Berdasarkan ringkasan saya tertarik untuk melakukan penelitian mengenai

kinerja pemerintahan kabupaten/kota Kalimatan Selatan. Pada penelitian ini

kinerja keuangan daerah yang akan diteliti antara lain rasio derajat desentralisasi,

rasio Ketergantungan keuangan daerah, rasio belanja modal dan rasio belanja

operasi. Dalam penelitian ini, peneliti berfokus pada pengaruh rasio-rasio

keuangan daerah terhadap pembangunan manusia yang diukur dengan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Oleh karena itu, penulis memilih Judul

“PENGARUH KINERJA KEUANGAN DAERAH TERHADAP INDEKS

PEMBANGUNAN MANUSIA”

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang penelitian di atas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah rasio derajat desentralisasi berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan tahun

2015-2019?

2. Apakah rasio ketergantungan keuangan daerah berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan tahun

2015-2019?

3. Apakah rasio belanja modal keuangan daerah berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan tahun

2015-2019?

4. Apakah rasio belanja operasi keuangan daerah berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi Kalimantan Selatan tahun

2015-2019?
9

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan penelitian yang

ingin dicapai yaitu:

1. Mengetahui dan menganalisis pengaruh rasio derajat desentralisasi

terhadap indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi

Kalimantan Selatan tahun 2015-2019.

2. Mengetahui dan menganalisis pengaruh rasio ketergantungan keuangan

daerah terhadap indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi

Kalimantan Selatan tahun 2015-2019.

3. Mengetahui dan menganalisis pengaruh rasio belanja modal keuangan

daerah terhadap indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi

Kalimantan Selatan tahun 2015-2019.

4. Mengetahui dan menganalisis pengaruh rasio belanja operasi keuangan

daerah terhadap indeks pembangunan manusia di kabupaten/kota provinsi

Kalimantan Selatan tahun 2015-2019.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang diharapkan dapat memberikan manfaat secara

langsung maupun tidak langsung baik secara teoritis dan praktis. Penelitian ini

dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini merupakan media untuk menambah wawasan, ilmu

pengetahuan, pengalaman serta pemahaman mendalam terutama

mengenai kinerja pemerintah daerah Kabupaten/Kota Provinsi

Kalimantan Selatan.
10

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan evaluasi bagi

pemerintah dan sebagai acuan agar dapat meningkatkan kualitas

kinerja dalam hal peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di

Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan.

1.5. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah yang menjadi dasar

untuk melakukan penelitian serta terdapat perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika pembahasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini terdiri atas landasan teori yang digunakan sebagai dasar

dalam merumuskan masalah dan alat analisis dengan berpedoman

pada tinjauan pustaka yang ada. Selain itu, dalam bab ini juga

dijelaskan mengenai review penelitian terdahulu.

BAB III KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

Bab ini terdiri atas kerangka konseptual atau model penelitian yang

dirumuskan berdasarkan tinjauan pustaka maupun hasil-hasil

penelitian terdahulu. Selain itu, di dalam bab ini juga merumuskan

hipotesis.

BAB IV METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang metode penelitian yang akan digunakan

dalam penelitian. Dalam bab ini dijelaskan memgenai ruang


11

lingkup penelitian, jenis dan sumber data, definisi operasional

variabel, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis data yang

digunakan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Teori Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi merupakan sebuah penyerahan urusan pemerintah dari pusat

kepada daerah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 (Pengajarku,

2020). Pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerah tersebut telah

dilakukan, semata- mata merupakan untuk dapat mencapai suatu pemerintahan

yang akan lebih efisien. Pelimpahan ataupun pemberian wewenang tersebut juga

akan menghasilkan sebuah otonomi. Otonomi merupakan kebebasan masyarakat

itu sendiri untuk dapat mengatur serta mengurus kepentingannya sendiri.

Desentralisasi fiskal di Indonesia telah dilaksanakan selama 20 tahun

sebagaimana diatur dalam UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang secara serentak

diberlakukan di seluruh provinsi di Indonesia. Melalui desentralisasi fiskal dan

otonomi daerah pemerintahan daerah memiliki wewenang untuk menggali

pendapatan dan melakukan peran alokasi secara mandiri dalam menetapkan

prioritas pembangunan, dan diharapkan dapat lebih memeratakan pembangunan

sesuai dengan keinginan daerah untuk mengembangkan wilayah menurut potensi

masingmasing. Dengan begitu maka masing-masing kabupaten/kota dapat lebih

berkembang dan menunjang kenaikan IPM di Indonesia.(Hidarini et al., 2018).

2.1.2. Teori Anggaran

Anggaran menjadi fokus utama dalam akuntansi manajemen sektor publik,

khususnya dalam kegiatan manajemen dengan menjadi salah satu elemen

terpentingnya. Hal ini dapat disimpulkan dari berbagai proses yang membentuk

12
13

suatu manajemen seperti perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan

pengendalian. Di mana dari keempat proses tersebut, perencanaan memegang

fungsi yang paling penting. Aktivitas perencanaan menghasilkan berbagai rencana

yang di antaranya terdiri dari elemen tujuan, strategi, program, prosedur, dan

anggaran (Solihin & Rian, 2009).

Anggaran meruapakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak

dicapai dalam periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukutan finansial,

sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu

anggaran. Tahap penganggaran menjadi sangat penting karena anggaran yang

tidak efektif dan tidak berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan

perencanaan yang sudah di susun. Anggaran merupakan managerial plan for

action untuk memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi.

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang penting dalam

penyelenggaraan pemerintahan, karena berkaitan dengan tujuan dari pemerintahan

itu sendiri yaitu untuk mensejahterahkan rakyatnya. Pemerintah daerah dapat

membuat anggaran yang berpihak terhadap rakyat. Perencanaan dan

penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karenanya output dari

perencanaan adalah penganggaran. (Yulianti, 2018).

Istilah perencanaan penganggaran mungkin dapat definisikan secara

terpisah, perencanaan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menentukan

tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan

sumber daya yang tersedia. Sedangkan penganggaran dapat diartikan sebagai

suatu proses untuk menyusun sebuah anggaran dan anggaran (APBD) dapat

diartikan sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas


14

dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan

peraturan daerah (Ibrahim, 2014).

2.1.3. Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah

Sistem akuntansi yang diimplementasikan pemerintah daerah memiliki

keterkaitan dengan standar akuntansi pemerintah yang ditetapkan. Antara sistem

akuntansi pemerintahan dengan standar akuntansi harus terdapat sinkronisasi dan

harmonisasi. Sistem akuntansi merupakan alat untuk menghasilkan laporan

keuangan pemerintah daerah, sedangkan standar akuntansi merupakan pedoman

yang mengatur bagaimana laporan keuangan tersebut seharusnya disajikan.

Standar akuntansi pemerintah mengatur tentang bagaimana suatu transaksi diakui

atau dicatat, kapan harus diakui, bagaimana mengukurnya, serta bagaimana

melaporkannya. Apa saja yang harus dilaporkan, bagaimana format pelaporannya,

dan kebijakan akuntansi lainnya diatur dalam standar auntansi tersebut. Terkait

dengan standar akuntansi ini, pemerintah pada bulan Juni 2005 telah

mengeluarkan Peraturan Pemeritah Nomor 24 Tahn 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintah yang akan menjadi pedoman bagi pemerintah pusat dan

daerah dalam menyajikan laporan keuangan.

Apabila laporan keuangan yang dihasilkan dari sistem akuntansi

pemerintah daerah tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintah, maka

laporan keuangan tersebut menjadi kurang berkualitas. Tujuan utama standar

akuntansi adalah agar laporan keuangan bisa lebih mudah dipahami bagi para

pengguna laporan, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak penyaji laporan

dengan pembaca laporan, serta agar terdapat konsistensi dalam pelaporan

sehingga laporan keuangan dapat memiliki daya banding (comparability). Dengan


15

adanya standar akuntansi, maka pelaporan keuangan menjadi lebih berkualitas.

Selain itu dengan adanya standar akutansi, maka dapat dilakukan perbandingan

kinerja antar kurun waktu dan dengan pemerintah daerah lainnya. Bagi auditor

pun dengan adanya standar akuntansi akan mempermudah proses audit, karena

pada dasarnya audit adalah memeriksa laporan keuangan yang merupakan asesrsi

manajemen dikaitkan kesesuaiannya dengan standar akuntansi yang telah

ditetapkan (Mahmudi, 2010).

2.1.4. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah

Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian

pelaksanaan suatu kegiatan/kebijakan/program dalam mewujudkan saran, tujuan,

misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategi planning suatu organisasi.

Kinerja biasa diketahui hanya jika individu atau kelompok individu tersebut

mempunyai kriteria keberhasilan yang telah diterapkan. Kriteria keberhasilan ini

berupa tujuan-tujuan atau target-target tertentu yang hendak dicapai. Tanpa ada

tujuan atau target, kinerja seseorang atau organisasi tidak mungkin dapat diketahui

karena tidak ada tolak ukurnya (Mahsun, Sulistiyowati, & Purwanugraha, 2013).

Dapat di artikan juga kinerja adalah hasil atau tingkat keberhasilan seseorang

secara keseluruhan selama periode tertentu di dalam melaksanakan tugas

dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, seperti standar hasil kerja, target

atau sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah

disepakati bersama.

Kinerja keuangan pemerintah daerah merupakan kemampuan pemerintah

untuk mengelola sumber-sumber keuangan daerah agar dapat dimanfaatkan secara

maksimal sehingga dapat melancarkan jalannya sebuah sistem pemerintahan


16

sehingga memberikan kenyaman pelayanan kepada masyarakat dan melancarkan

pembangunan daerah dengan tidak sepenuhnya tergantung kepada pemerintah

pusat dan mempunyai kebebasan di dalam memanfaatkan dana-dana untuk

kebutuhan masyarakat daerah.

2.1.5. Pengertian dan Tujuan Pengukuran Kinerja Organisasi Sektor Publik

Pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan

terhadap tujuan dan sasaran yang telah ditentukan sebelumnya, termasuk

informasi atas: efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang dan

jasa; kualitas barang dan jasa; hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud yang

diinginkan; dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan. Pengukuran kinerja

digunakan untuk menilai prestasi manajaer dan unit organisasi yang dipimpinnya

(Mahsun, Sulistiyowati, & Purwanugraha, 2013).

Pengukuran kinerja bertujuan untuk mengukur akuntabilitas organisasi dan

manajer dalam mengatur kinerja . Akuntabilitas disini bukan sekedar kemampuan

menunjukkan uang publik dibelanjakan, akan tetapi juga meliputi kemampuan

menunjukan bahwa uang publik tersebut telah dibelanjakan secara ekonomies,

efisien, dan efektif.

Sistem pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang

bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi

melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem pengukuran kinerja dapat

dijadikan alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja diperkuat

dengan menetapkan reward and punishment systems. (Mardiasmo, 2009). Tujuan

dari pengukuran kinerja organisasi sektor publik adalah sebagai pertanggung


17

jawaban organisai kepada public dan juga sebagai evaluasi kinerja agar dapat

meningkatkan kinerja yang lebih baik lagi.

Tujuan dilakukannya pengukuran kinerja sektor publik antara lain:

1. Akan dapat memperbaiki kinerja masa yang akan datang agar lebih baik

dalam mencapai tujuan orgamisasi sektor publik.

2. Pengukuran kinerja dapat digunakan sebagai pengambilan keputusan

misalnya mengganti kebijakan , mempertahankan pimpinan.

3. Mewujudkan tanggung jawab publik.

4. Untuk mengomunikasikan strategi menjadi lebih baik antara atasan dan

bawahan.

5. Mengalokasikan sumber daya.

6. Untuk mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang

sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi.

7. Pengukuran kinerja pendoron terciptanya akuntabilitas publik.

2.1.6. Laporan Keuangan Sektor Publik

Menurut (Mardiasmo, 2009), Laporan keuangan organisasi sektor public

merupakan komponen penting untuk menciptakan akuntabilitas sektor public.

Adanya tuntutan yang semakin besar terhadap pelaksanaan akuntabilitas public

menimbulkan implikasi bagi manajemen sektor public untuk memberikan

informasi kepada public, salah satunya adalah informasi akuntansi yang berupa

laporan keuangan. Dalam pemerintah daerah elemen laporan keuangannya terdiri

dari Neraca, Laporan Realisasi Anggaran, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas

Laporan Keuangan (CaLK).


18

Terdapat dua alasan utama mengapa pemerintah daerah perlu

mempublikasikan laporan keuangan sebagaimana yang dikemukakan oleh

(Mahmudi, 2010), yaitu :

1. Dari sisi internal, laporan keuangan merupakan alat pengendalian dan

evaluasi kinerja bagi pemerintah daerah secara keseluruhan maupun unit- unit

kerja didalamnya (SKPD).

2. Dari sisi pemakai eksternal, LKPD merupakan bentuk pertanggungjawaban

eksternal kepada masyarakat, investor, kreditor, lembaga donor, pers, serta

pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan laporan tersebut sebagai dasar

untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan politik.

2.1.7. Laporan Realisasi Anggaran Sektor Publik

Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan

pemakaian sumber daya keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah,

yang menggambarkan perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu

periode pelaporan. Unsur yang dicakup secara langsung oleh Laporan Realisasi

Anggaran terdiri dari pendapatan-LRA, belanja, transfer, dan pembiayaan.

Masing-masing unsur dapat dijelaskan sebagai berikut (Binus, 2015) :

1. Pendapatan-LRA adalah penerimaan oleh Bendahara Umum

Negara/Bendahara Umum Daerah atau oleh entitas pemerintah lainnya

yang menambah Saldo Anggaran Lebih dalam periode tahun anggaran

yang bersangkutan yang menjadi hak pemerintah, dan tidak perlu dibayar

kembali oleh pemerintah. Pendapatan (basis akrual) adalah hak

pemerintah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih.


19

2. Belanja adalah semua pengeluaran oleh Bendahara Umum

Negara/Bendahara Umum Daerah yang mengurangi Saldo Anggaran

Lebih dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang tidak akan

diperoleh pembayarannya kembali oleh pemerintah.

3. Transfer adalah penerimaan atau pengeluaran uang oleh suatu entitas

pelaporan dari/kepada entitas pelaporan lain, termasuk dana perimbangan

dan dana bagi hasil.

4. Pembiayaan (financing) adalah setiap penerimaan/pengeluaran yang

tidak berpengaruh pada kekayaan bersih entitas yang perlu dibayar

kembali dan/atau akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran

bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya, yang dalam

penganggaran pemerintah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit

atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara

lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Pengeluaran

pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok

pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain, dan penyertaan

modal oleh pemerintah.

2.1.8. Pendapatan Pemerintah

Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) mendefinisikan pendapatan

sebagai semua penerimaan Rekening Kas Umum Negara/ Daerah yang menambah

ekuitas dana lancar dalam periode tahun anggaran bersangkutan yang menjadi

hakpemerintah dan tidak perlu dibayar kembali oleh pemerintah. Secara umum

pendapatan dapat dipahami sebagai hak pemerintah daerah yang menambah

kekayaan bersih yang terjadi akibat transaksi masa lalu. Penerimaan daerah adalah
20

semua jenis penerimaan kas yang masuk ke rekening kas daerah baik yang murni

berasal dari pendapatan maupun dari penerimaan pembiayaan (Mahmudi, 2010).

Pendapatan pemerintah ini digunakan untuk pembiayaan kegiatan kegiatan

perekonomian yang tujuan akhirnya untuk kepentingan rakyat. Pendapatan Daerah

adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih

daerah dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Pendapatan daerah

terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Pendapatan Transfer, dan lain-lain

pendapaan daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-

sumber pendapatan di dalam daerahnya sendiri. Pendapatan Asli Daerah tersebut

dipungut berdasarkan peraturan daerah yang sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia. Kemampuan daerah dalam melaksanakan

otonominya sangat ditentukan atau tergantung dari sumber-sumber pendapatan

asli daerah (PAD). Pemerintah daerah dituntut untuk dapat menghidupi dirinya

sendiri dengan mengadakan pengelolaan terhadap potensi yang dimiliki, untuk itu

usaha untuk mendapatkan sumber dana yang tepat merupakan suatu keharusan.

Terobosan-terobosan baru dalam memperoleh dana untuk membiayai pengeluaran

pemerintah daerah harus dilakukan, salah satunya adalah sektor pariwisata.

(Herlan Suherlan, 2013).

Pendapatan Transfer merupakan APBN yang dialokasikan kepada daerah

tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang

merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional, khususnya dalam

upaya pemenuhan kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat.

DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penelitian,


21

pelatihan, dan perjalanan dinas. Dana alokasi umum (DAU) adalah dana

perimbangan dalam rangka untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah

Menurut PP Nomor 55 tahun 2005 tentang dana perimbangan arti Dana Alokasi

Umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan

dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai

kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Cara perhitungan

Dana Alokasi Umum menurut PP no.55 tahun 2005 dialokasikan berdasarkan

formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal sebagaimana

dimaksud merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiscal dan

Alokasi dasar sebagaimana dimaksud dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai

Negeri Sipil Daerah. Menurut UU no.33 tahun 2004 tentang perimbangan

keuangan Negara antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, adalah Dana

bagi hasil bersumber dari pendapatan APBN yang di alokasikan kepada daerah

dengan angka persentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk

mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan (Rahmadewi, 2018).

Pendapatan lain-lain bertujuan untuk memberi peluang bagi daerah untuk

memperoleh pendapatan selain pendapatan dari PAD, dana perimbangan dan

pinjaman daerah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah terdiri dari hibah dan dana

darurat. Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara

asing, badan/lembaga internasional, pemerintah, 28 badan/lembaga dalam negri

atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang/jasa,

termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. Dana darurat

adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang

mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, dan atau krisis solvabilitas.
22

2.1.9. Belanja Pemerintah

Belanja merupakan bentuk realisasi rencana kerja pemerintah dalam

pelaksanaan pembangunan. Akitivitas pemerintah baru dapat dirasakan oleh

masyarakat ketika proses belanja selesai dilakukan, seperti belanja penyediaan

infrastruktur, belanja subsidi, belanja di bidang pendidikan, dan lain-lain. Salah

satu titik strategis penyelenggaraan pemerintahan adalah belanja. Mekanisme

belanja harus disusun sedemikian rupa sehingga proses belanja dapat dilakukan

secara terkendali. Pemerintah selaku organisasi nonprofit memang tidak dituntut

untuk menghasilkan keuntungan, tapi bukan berarti mereka dapat mengeluarkan

uang (belanja) dengan seenaknya. (DJKN, 2017).

Belanja merupakan komponen penting dalam upaya meningkatkan kualitas

sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas akan meningkatkan

produktivitas dan ekonomi yang pada gilirannya akan meningkatkan daya saing

bangsa. Dukungan sumber daya yang terus meningkat dan berkelanjutan

merupakan dengan penggunaan yang lebih efektif dan efisien merupakan salah

satu unsur penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menurut

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2019 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja daerah terdiri atas empat jenis yaitu :

1. Belanja Operasi

Dilansir dari buku (Halim & Kusufi, 2018), belanja operasi adalah

pengeluaran anggaran untuk kegiatan sehari-hari pemerintah daerah yang

memberi manfaat jangka pendek. Kelompok belanja operasi, terdiri atas

empat belanja yaitu:


23

a. Belanja pegawai adalah pengeluaran yang dilakukan pemerintah daerah

untuk memberikan imbalan berupa kompensasi dalam bentuk uang atau

barang. Kompensasi tersebut diberikan kepada pegawai negeri, pejabat

negara, pensiunan, serta pegawai honorer yang bertugas di dalam

maupun di luar negeri. Kompensasi diberikan sebagai imbalan atas

pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka mendukung tugas dan

fungsi unit organisasi pemerintah daerah. Contoh belanja pegawai adalah

belanja gaji, belanja tunjangan, uang makan, uang lembur PNS, dan

sebainya.

b. Belanja barang dan jasa adalah pengeluaran yang dilakukan pemerintah

daerah untuk pembelian barang atau jasa habis pakai yang digunakan

dalam proses produksi barang atau jasa yang dipasarkan maupun tidak

dipasarkan. Termasuk juga pengadaan barang yang kemudian akan dijual

kepada masyarakat. Contoh belanja barang dan jasa adalah belanja

keperluan perkantoran, sewa gedung, pembayaran listrik, dan lain-lain.

c. Belanja hibah adalah perjanjian antara pemberi hibah dan penerima hibah

dengan mengalihkan hak dalam bentuk uang, barang, maupun jasa

berupa transfer. Belanja hibah bersifat sukarela, tidak wajib, tidak

mengikat, tidak perlu dibayar kembali, dan tidak terus-menerus

dilakukan.

d. Belanja bantuan sosial adalah pemberian barang atau jasa oleh

pemerintah daerah kepada masyarakat guna menghindari kemungkinan

risiko sosial yang merupakan peristiwa pemicu terjadinya kerentanan


24

sosial. Contoh belanja bantuan sosial adalah belanja jaminan sosial,

pemberdayaan sosial, rehabilitasi sosial, dan lain-lain.

2. Belanja Modal

Dilansir dari buku (Halim & Kusufi, 2018), Belanja modal merupakan

pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan asset lainnya yang

memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal termasuk :

Belanja tanah, Belanja peralatan dan mesin, belanja modal gedung dan

bangunan, belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, belanja asset tetap

lainnya, belanja asset lainnya.

3. Belanja Tidak Terduga

Dilansir dari buku (Halim & Kusufi, 2018), Kelompok belanja lain-lain/tidak

terduga adalah pengeluaran anggaran untu kegiatan yang sifatnya tidak biasa

dan tidak diharapkan berulang seperti penanggulangan bencana alam,

bencana social dan pengeluaran tidak terduga lainnya yang sangat diperlukan

dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintah pusat/ daerah.

2.1.10. Rasio Keuangan Daerah

Analisis rasio keuangan APBD dilakukan dengan membandingkan hasil

yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehingga

dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula

dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan yang dimiliki

suatu pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat

ataupun yang potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisi rasio

keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya.


25

Menurut (Halim & Kusufi, 2018), adapun pihak-pihak yang memiliki

berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini yaitu: pihak DPRD, pihak

pemerintah pusat ataupun provinsi, serta masyarkat dan kreditor. Ada beberapa

cara untuk mengukur Kinerja Keuangan Daerah salah satunya yaitu dengan

menggunakan Rasio Kinerja Keuangan Daerah. Secara umum rasio keuangan

daerah keseluruhan terdiri dari 17 analisis rasio keuangan daerah. Namun pada

penelitian kali ini yang digunakan hanya 5 (lima) rasio sebagai perwakilan dari

masing-masing sub rasio. Beberapa rasio yang bisa digunakan yaitu:

1. Rasio Derajat Desentralisasi

Rasio Derajat desentralisasi digunakan sebagai perwakilan analisis rasio dari

pendapatan yaitu Pendapatan Asli daerah dimana rasio ini dihitung dengan

membandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah dengan total

penerimaan daerah. Rasio ini menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap

total penerimaan daerah. Semakin tinggi Kontribusi PAD maka semakin

tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan desentralisasi.

(Mahmudi, 2010).

Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal menggambarkan besarya campur tangan

pemerintah pusat dalam pembangunan daerah yang menunjukan tingkat

kesiapan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Semakin

tinggi rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, maka semakin tinggi pula

kemampuan keuangan daerah dalam mendukung otonomi daerah.

2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah digunakan sebagai perwakilan

analisis rasio dari pendapatan yaitu Pendapatan transfer dimana rasio ini
26

dihitung dengan cara membandingkan jumlah pendapatan transfer yang

diterima oleh penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin

tinggi rasio ini maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah

terhadap pemerintah pusat dan/atau pemerintah provinsi. (Mahmudi, 2010).

3. Rasio Modal Terhadap Total Belanja

Analisis Belanja modal digunakan sebagai perwakilan analisis rasio dari

belanja yaitu belanja modal, rasio ini dihitung dengan cara membandinka

antara total realisasi belanja modal dengan total belanja daerah. Berdasarkan

rasio ini, pembaca laporan dapat mengetahui porsi belanja daerah yang

dialokasikan untuk investasi dalam bentuk belanja modal pada tahun

anggaran bersangkutan. Berbeda dengan belanja operasi yang bersifat jangka

pendek dan rutin, pengeluaran belanja modal yang dilakukan saat ini akan

memberikan manfaat jangka menengah dan panjang. Selain itu, belanja modal

juga tidak bersifat rutin. Belanja modal ini akan mempengaruhi neraca

pemerintah daerah, yaitu menambah asset daerah. Kebalikan dengan belanja

operasi, pemerintah daerah dengan tingkat pendapatan daerah rendah pada

umumnya justru memiliki proporsi tingkat balanja modal yang lebih tinggi

dibandingkan dengan pemerintah daerah dengan pendapatan tinggi. Hal ini

disebabkan pemerintah daerah dengan pendapatan rendah berorientasi untuk

giat melakukan belanja modal sebagai bagian dari investasi modal jangka

panjang, sedangkan pemerintah daerah yang pendapatannya tinggi biasanya

telah memiliki asset modal yang mencukupi. Pada umumnya proposi belanja

modal terhadap total belanja daerah adalah antara 5-20%. (Mahmudi, 2010).
27

4. Rasio Operasi Terhadap Total Belanja

Rasio ini di gunakan sebagai perwakilan analisis rasio dari belanja yaitu

belanja operasi, rasio ini dihitung dengan cara ini merupakan perbandingan

antara total belanja operasi dengan total belanja daerah. Rasio ini

menginformasikan kepada pembaca laporan mengenai porsi belanja daerah

yang dialokasikan untuk belanja operasi. Belanja operasi merupakan belanja

yang manfaatnya habis dikonsumsi dalam satu tahun anggaran, sehingga

belanja operasi ini sifatnya jangka pendek dan dalam hal tertentu sifatnya

rutin atau berulang (recurrent). Pada umumnya proposi belanja operasi

mendominasi total belanja daerah, yaitu antara 60-90 persen. Pemerintah

daerah dengan tingkat pendapatan tinggi cenderung memiliki porsi belanja

operasi yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah darah yang tingkat

pendapatannya rendah. (Mahmudi, 2010).

2.1.11. Indeks Pembangunan Manusia

Pembangunan manusia adalah sebuah proses pembangunan yang bertujuan

agar mampu memiliki lebih banyak pilihan, khususnya dalam pendapatan,

kesehatan dan pendidikan. Pembangunan manusia sebagai ukuran kinerja

pembangunan secara keseluruhan dibentuk melalui pendekatan tiga dimensi dasar.

Dimensi tersebut mencakup umur panjang dan sehat, pengetahuan dan kehidupan

yang layak dan masing-masing dimensi direpresentasikan oleh indikator. Tujuan

pembangunan manusia yang paling utama adalah menciptakan lingkungan yang

memungkinkan bagi penduduknya untuk memperluas pilihan-pilihan yang

dimiliki manusia. Lingkungan tersebut harus tersedia hingga wilayah yang paling

kecil untuk memastikan bahwa pembangunan manusia merata di semua wilayah


28

sesuai dengan amanah konstitusi yang tercantum dalam Pancasila yaitu “Keadilan

Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Pemerataan pembangunan dalam berbagai

bidang akan mampu mendorong peningkatan capaian pembangunan manusia tidak

hanya pada level provinsi tetapi juga pada level kabupaten/kota. (BPS, Indeks

Pembangunan Manusia 2013, 2013).

2.1.12. Perhitungan Indeks Pembangunan Manusia

Setiap komponen Indeks Pembangunan Manusia (IPM) distandarisasi

dengan nilai minimum dan maksimum sebelum digunakan untuk melakukan

perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Rumus yang digunakan adalah

sebagai berikut:

1. Dimensi Kesehatan

Keterangan:

Ikesehatan : Indeks Kesehatan

AHH : Angka Harapan Hidup

AHHmin : Angka Harapan Hidup Mininal

AHHmaks : Angka Harapan Hidup Maksimal

2. Dimensi Pendidikan
29

Keterangan:

IHLS : Indeks Harapan Lama Sekolah

HLS : Harapan Lama Sekolah

HLSmin : Harapan Lama Sekolah Mininal

HLSmaks : Harapan Lama Sekolah Maksimal

IRLS : Indeks Rata-Rata Lama Sekolah

RLS : Rata-Rata Lama Sekolah

RLSmin : Rata-Rata Lama Sekolah Mininal

RLSmaks : Rata-Rata Lama Sekolah Maksimal

3. Dimensi Pengeluaran

IPM dihitung sebagai rata-rata geometrik dari indeks kesehatan, pendidikan, dan

pengeluaran dengan rumus sebagai berikut :

2.2. Hasil Penelitian Sebelumnya

Berikut adalah beberapa penelitian terdahulu yang pernah dilakukan terkait

dengan Indeks Pembangunan Manusia dan dirangkum pada tabel di bawah ini:
30

Tabel 2.1

Hasil Penelitian Sebelumnya

Judul, Nama Penulis, Taknik


NO Variabel Hasil Penelitian
Tahun Penelitian Analisis
1 Judul = Pengaruh Rasio Y = Indeks Analisis Besar pengaruh rasio
Keuangan Pemerintah Pembanguna Regresi derajat desentralisasi
Daerah Terhadap Indeks n Manusia Linier terhadap indeks
Berganda
Pembangunan Manusia X1 = Rasio pembangunan manusia
(Studi Kasus Pada Derajat adalah 54,8%. Besar
Pemerintah Daerah Desentralisas pengaruh rasio
Kabupaten Bengkalis) i ketergantungan keuangan
Nama Penulis = Zul X2 = Rasio daerah terhadap indeks
Hendri, Meileni Yafiza Ketergantung pembangunan manusia
Tahun Penelitian = 2020 an Keuangan adalah 53,3%. Besar
Daerah pengaruh rasio
X3 = Rasio kemandirian keuangan
Kemandirian daerah terhadap indeks
Keuangan pembangunan manusia
Daerah adalah 54,4%. Besar
X4 = Rasio pengaruh rasio
Efektivitas efektivitas pendapatan
Pendapatan asli daerah terhadap
asli Daerah indeks pembangunan
X5 = Rasio manusia adalah 75,7%.
Efektivitas Besar pengaruh rasio
31

Pajak Daerah efektivitas pajak daerah


terhadap indeks
pembangunan manusia
adalah sebesar 35,6 %.
Sedangkan besar
pengaruh derajat
desentralisasi, rasio
ketergantungan keuangan
daerah, rasio
kemandirian keuangan
daerah, rasio efektivitas
pendapatan asli daerah
dan rasio efektivitas
pajak daerah terhadap
indeks pembangunan
manusia secara simultan
adalah 99,9%.
2 Judul = Pentingnya Y = Indeks Analisis 1. kinerja keuangan dan
kinerja keuangan Pembanguna Regresi kesejahteran
pemerintah daerah untuk n Manusia Linier masyarakat pada
Berganda
meningkatkan X1 = Rasio pemerintah daerah di
kesejahteraan masyarakat Kemandirian Indonesia belum
di Indonesia. X2 = Rasio begitu baik
Nama Penulis = Efektivitas 2. kemandirian
Khairudin, Aminah, X3 = Rasio keuangan daerah
Appin Purisky Redaputri. Efisiensi memiliki pengaruh
Tahun Penelitian = 2020 positif dan signifikan
terhadap
kesejahteraan
masyarakat;
3. efektivitas keuangan
daerah memiliki
pengaruh positif dan
signifikanterhadap
kesejahteraan
masyarakat;
4. efisiensi
keuangandaerah
memiliki pengaruh
negatif dan signifikan
terhadap
kesejahteraan
32

masyarakat dan
5. pertumbuhan
keuangan daerah
memiliki pengaruh
dan signifikan
terhadap
kesejahteraan
masyarakat.
3 Judul = Pengaruh Kinerja Y = Indeks Analisis Kesimpulan Berdasarkan
Keuangan Pemerintah Pembanguna Regresi hasil pembahasan diatas
Daerah Terhadap Indeks n Manusia Linier maka kesimpulan dalam
Berganda
Pembangunan Manusia di X1 = Rasio penelitian ini adalah
Provinsi Jambi Derajat sebagai berikut:
Nama Penulis = Eka Desentralisas 1. Kinerja keuangan
Marisca, Harliyani, i Fiskal pemerintah Provinsi
Haryadi X2 = Rasio Jambi selama periode
Tahun Penelitian = 2016 Kemandirian penelitian
Daerah berdasarkan
X3 = Rasio perhitungan rasio
Efektivitas keuangan adalah
PAD sebagai berikut :
X4 = Rasio a. Derajat
Efisiensi desentralisasi
PAD fiskal kriteria
X5 = Rasio Cukup baik
Keserasian b. Ketergantungan
Belanja keuangan daerah
Langsung. kriteria Sangat
Tinggi
c. Kemandirian
daerahkriteria
Sangat kurang.
d. Efektivitas PAD
kriteria Sangat
efektif
e. Efisiensi PAD
kriteria Sangat
efisien f.
Keserasian belanja
langsung kriteria
Cukup serasi
Rasio derajat
33

desentralisasi fiskal dan


keserasian belanja
langsung berpengaruh
positif dan signifikan
terhadap IPM
Provinsi,sedangkan pada
rasio
ketergantungankeuangan
daerah,efektivitas PAD
dan efisiensi PAD
Provinsi Jambi tidak
berpengaruh
signifikanterhadap IPM
di Provinsi Jambi.
4 Judul : Pengukuran Y = Indeks Analisis Kesejahteraan Masyarakat
Kesejahteraan Masyarakat Pembanguna Regresi melalui kinerja keuangan
Melalui Kinerja Keuangan n Manusia Linier berupa rasio kemandirian,
Berganda rasio efisiensi dan rasio
Daerah Terhadap Indeks X1 = Rasio
Pembangunan Manusia Di Kemandirian efektivitas berpengaruh
Kabupaten Aceh Timur Daerah positif tetapi tidak
Nama Penulis : Yulina X2 = Rasio signifikan terhadap Indeks
Astuti,Krisniawati,Muha Efisiensi Pembangunan Manusia di
Kabupaten Aceh Timur.
mmad Zulkarnain, X3 = Rasio
Sementara saran yang
Arfriani Maifizar Efektivitas
dapat disampaikan, untuk
Tahun Penelitian = 2019
Pemerintah
KabupatenAceh Timur
perlu terus meningkatkan
Indeks Pembangunan
manusia. Peningkatan
Indeks Pembangunan
Manusia dapat dilakukan
dengan cara meningkatkan
kinerja keuangan terutama
kemandirian keuangan
daerah yaitu dengan
meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah melalui
pemanfaatan setiap
potensi daerah di
Kabupaten Aceh
Timur.
5 Judul : Pengaruh Kinerja Y = Indeks Analisis 1. Rasio Derajat
34

Keuangan Daerah Pembanguna Regresi Desentralisasi Fiskal


Terhadap IPM n Manusia Linier berpengaruh positif
Kabupaten/Kota Di Jawa X1 = Rasio Berganda signifikan terhadap
Barat Derajat IPM. Kemandirian
Nama Penulis : Hamimah Desentralisas keuangan daerah
Hamimah, Zulkarnain i Fiskal melalui hasil
Zulkarnain, X2 = Rasio pemungutan PAD dari
Tahun Penelitian = 2020 Efektivitas partisipasi masyarakat
PAD dapat dimaksimalkan
X3 = Rasio untuk meningkatkan
Belanja kualitas hidup
Modal masyarakat, standar
hidup layak, dan
kesejahteraan
masyarakat.
2. Rasio Efektivitas PAD
berpengaruh positif
signifikan terhadap
IPM. Ketersediaan
dana dari capaian
efektif dan perolehan
lebih PAD dapat
digunakan untuk
memaksimalkan
alokasi anggaran
untuk meningkatkan
kualitas SDM melalui
pendidikan,
kesehatan, dan
ekonomi.
3. Rasio Belanja Modal
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
IPM. Belanja modal
belum tepat
sepenuhnya dari segi
jenis. Belanja modal
seharusnya diarahkan
untuk produktivitas
dan harus dipastikan
menyentuh ke
masyarakat atau tidak
35

sekedar pengadaan.
6 Judul : Pengaruh Kinerja Y = Indeks Analisis 1. Berdasarkan Uji
Keuangan Pemerintah Pembanguna Regresi Kelayakan Model
Daerah Terhadap n Manusia Linier pada Derajat
Berganda
Kesejahteraan Masyarakat X1 = Rasio Desentralisasi, Rasio
Pada Kabupaten/Kota Di Derajat Kemandirian
Provinsi Jawa Timur. Desentralisas Keuangan Daerah,
Nama Penulis : i Fiskal dan Rasio Efektivitas
Mahardika Evlyn, X2 = Rasio PAD terhadap Indeks
Yuliastuti Rahayu Kemandirian Pembangunan
Tahun Penelitian : 2018 Keuangan Manusia,
Daerah menunjukkan bahwa
X3 = Rasio model tersebut layak
Efektivitas digunakan dalam
Pendapatan penelitian.
Asli Daerah 2. Derajat Desentralisasi
(PAD) berpengaruh positif
terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia.
3. Rasio Kemandirian
Keuangan Daerah
berpengaruh negatif
terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia.
4. Rasio Efektivitas
Pendapatan Asli
Daerah (PAD) tidak
berpengaruh terhadap
Indeks Pembangunan
Manusia.
7 Judul : Pengaruh Dana Y = Indeks Analisis Sesuai dengan hasil
Perimbangan Dan Pembanguna Regresi pembahasan menunjukan
Kemandirian Keuangan n Manusia Linier bahwa pengaruh dana
Berganda
Daerah Terhadap X1 = Dana perimbangan dan
Kesejahteraan Masyarakat Perimbangan kemandirian ditunjukkan
Pada Kabupaten Dan Kota X2 = memiliki konsistensi
Di Jawa Barat Tahun Kemandirian pada tahun riset sejak
2011-2014 Keuangan diberlakukannya otonomi
Nama Penulis : Nugraha Daerah daerah, sampai dengan
dan Tia Amelia sekarang. Konsistensi
36

Tahun Penelitian : 2017 tentang pengaruh


tersebut juga terjaga pada
seluruh daerah yang
pernah diteliti, mulai dari
Sumatera Utara, Jambi,
Pulau Jawa dan Bali,
Sulawesi dan Papua. Hal
ini memiliki implikasi
bahwa persoalan
desentralisasi atau dapat
disebut sebagai
pengalokasian dana ke
daerah, baik yang
sifatnya langsung melalui
dana perimbangan
maupun yang pemberian
kewenangan ke daerah
dalam bentuk
kewenangan pemungutan
PAD, keduanya memiliki
dampak positif yang
nyata bagi peningkatan
pembangunan di daerah,
yang salah satunya
diukur oleh IPM.
Untuk tidak perlu
menjadi kekhawatiran
bagi Pusat untuk
menjalankan fungsi
otonomi yang kuat (baca:
desentralisasi fiskal)
dalam bidang keuangan
daerah melalui
kewenangan yang lebih
besar kepada daerah
dalam pengelolaan
keuangannya. Bahkankan
dengan melihat data yang
ada justru kemandirian
keuangan sangat
berkaitan dengan sumber
PAD yang besar,
37

khususnya di daerah
perkotaan.
8 Judul = Rasio Y = Indeks Analisis 1. RKKD berpengaruh
Kemandirian Keuangan Pembanguna Regresi dengan IPM
Daerah dan Pertumbuhan n Manusia Linier kabupaten/kota
Berganda
Ekonomi terhadap Indeks X1 = Rasio Provinsi Banten 2013
Pembangunan Kemadirian sampai 2017.
Manusia di Provinsi Keuangan 2. Pertumbuhan ekonomi
Banten Daerah. tidak berpengaruh
Nama Penulis = Wahyu X2 = kepada IPM
Mauludin. Pertumbuhan kabupaten/kota
Tahun Penelitian = 2020 Ekonomi Provinsi Banten 2013
sampai 2017.
3. RKKD serta
pertumbuhan ekonomi
berpengaruh
signifikan dengan
IPM kabupaten/kota
di Provinsi Banten
tahun 2013 sampai
2017.
9 Judul = Kinerja Y = Indeks Analisis 1. Berdasarkan hasil uji
Keuangan Daerah Dan Pembanguna Regresi statistik diketahui
Indeks Pembangunan n Manusia Linier bahwa derajat
Berganda
Manusia: Z = Produk desentralisasi
Mediasi Pertumbuhan Domestik berpengaruh secara
Ekonomi. Regional signifikan terhadap
Nama Penulis : Muhsin Bruto pertumbuhan
N. Bailusy (PDRB) ekonomi. Hal ini
Tahun Penelitian : 2019 X1 = Rasio menunjukan bahwa
Derajat semakin tinggi kinerja
Desentralisas keuangan pemerintah
i Fiskal daerah yang diukur
X2 = Rasio dengan derajat
Kemandirian desentralisasi fiscal
Daerah. maka semakin tinggi
pula pertumbuhan
ekonomi.
2. Rasio kemandirian
keuangan daerah tidak
berpengaruh terhadap
pertumbuhan
38

ekonomi
3. Pertumbuhan
ekonomi berpengaruh
signifikan terhadap
Indeks Pembangunan
Manusia
4. Pertumbuhan
Ekonomi mampu
memediasi pengaruh
antara Rasio Derajat
Desentralisasi dengan
Indeks Pembangunan
Manusia.
5. Pertumbuhan
Ekonomi tidak
mampu memediasi
pengaruh antara Rasio
Kemandirian
10 Judul : Strategi Alokasi Y = Indeks Analisis Porsi APBD
Belanja Pemerintah Pembanguna Regresi kabupaten dan kota
Daerah n Manusia Linier secara agregat
Berganda menunjukkan masih
DalamMeningkatkan IPM X1 = Belanja
besarnya ketergantungan
Di Provinsi Jambi sektor pemerintah daerah
Nama Penulis : ekonomi. terhadap pemerintah
Fransisco, Muhammad X2 = Belanja pusat. Tren APBD 2010
Firdaus, Sri Mulatsih sektor hingga 2015 anggaran
Tahun Penelitian : 2016 Perumahan pendapatan yang
dan diperoleh dari pendatan
asli mengalami
Fasilitas
pertumbuhan yang lebih
Umum. tinggi daripada dana
X3 = Belanja perimbangan. Anggaran
Kesehatan belanja juga mengalami
X4 = Belanja kenaikan dan didominasi
Pendidikan oleh belanja pegawai.
Rasio belanja pegawai
terhadap total belanja
masih tinggi hamper
mencapai 49.18 persen
sedangkan belanja modal
terhadap total belanja
26.21 persen
Belanja pemerintah
kabupaten dan kota yang
39

berpengaruh terhadap
IPM adalah alokasi
belanja disektor ekonomi
tahun sebelumnya dan
belanja disektor
pendidikan. Adapun
alokasi belanja disektor
perumahan dan sarana
fasilitas umum
berpengaruh negatif
terhadap peningkatan
IPM.
Penyusunan strategi
alokasi belanja dalam
meningkatkan IPM
diprioritaskan pada
sector kesehatan. Dari
alokasi belanja dibidang
kesehatan dan ekonomi
perlunya alokasi belanja
disektor sarana dan
prasarana pendukung,
sedangkan disektor
pendidikan perlunya
alokasi dalam
kompetensi dan
pelayanan.
11 Judul Pengaruh Y = Indeks Analisis 1. Berdasarkan hasil
Pendapatan Asli Daerah Pembanguna Regresi analisis regresi data
(Pad) Dan Belanja Modal n Manusia Linier panel, variabel
Berganda Pendapatan Asli
Terhadap Indeks X1 =
Daerah (PAD) dan
Pembangunan Manusia Pendapatan Belanja Modal secara
(Ipm) Asli Daerah simultan dan
Nama Peneliti : Edi X2 = Belanja signifikan
Yanto, Ridwan Modal berpengaruh terhadap
&Vitayanti Fattah variabel Indeks
Tahun Penelitian : 2018 Pembangunan
Manusia (IPM).
Realisasi Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
dan Belanja Modal
melalui APBD T.A
2012-2015 secara
bersama-sama atau
serempak berpengaruh
terhadap Indeks
Pembangunan
40

Manusia (IPM) pada


Kabupaten/Kota di
Sulawesi Tengah
periode T.A 2013-
2016.
2. Berdasarkan hasil uji
statistik melalui uji t
(parsial), variabel
Pendapatan Asli
Daerah (PAD)
berpengaruh secara
parsial dan signifikant
terhadap variabel
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
Dengan demikian,
Realisasi Pendapatan
Asli Daerah (PAD)
melalui APBD T.A
2012-2015
berpengaruh secara
parsial dan signifikan
terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM) pada
Kabupaten/Kota di
Sulawesi Tengah
periode Tahun 2013-
2016.
3. Berdasarkan hasil uji
statistik melalui uji t
(parsial), maka dapat
disimpulkan bahwa
variabel Belanja
Modal berpengaruh
secara parsial, namun
tidak signifikant
terhadap Indeks
Pembangunan
Manusia (IPM).
Dengan demikian,
Realisasi belanja
modal melalui APBD
T.A 2012-2015
berpengaruh secara
parsial terhadap
Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) pada
41

Kabupaten/Kota di
Sulawesi Tengah
periode T.A 2013-
2016 namun tidak
secara signifikan.
Sumber: Data diolah Oleh Peneliti (2021)
BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan kerangka berpikir yang digunakan untuk

memberikan gambaran mengenai penilitian yang akan di lakukan. Berdasarkan

landasan teori yang telah disebutkan dan melihat dari penelitian-penelitian

terdahulu, peneliti bermaksud untuk menguji pengaruh dari Rasio Derajat

Desentralisasi, Rasio Ketergantungan Keuangan daerah, Rasio Belanja Modal dan

Rasio Belanja Operasi terhadap Indeks Pembangunan Manusia.

Rasio Derajat Desentralisasi merupakan rasio yang menunjukkan derajat

kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi kontribusi PAD

maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

desentralisasi. (Mahmudi, 2010).

Ketergantungan keuangan daerah adalah kemampuan pemerintah dalam

membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada

masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan

yang diperlukan daerah.

Analisis Belanja modal terhadap total belanja merupakan perbandingan

antara total realisasi belanja modal dengan total belanja daerah. Berdasarkan rasio

ini, pembaca laporan dapat mengetahui porsi belanja daerah yang dialokasikan

untuk investasi dalam bentuk belanja modal pada tahun anggaran bersangkutan.

Berbeda dengan belanja operasi yang bersifat jangka pendek dan rutin,

41
42

pengeluaran belanja modal yang dilakukan saat ini akan memberikan manfaat

jangka menengah dan panjang.

Belanja operasi merupakan belanja yang manfaatnya habis dikonsumsi

dalam satu tahun anggaran, sehingga belanja operasi ini sifatnya jangka pendek

dan dalam hal tertentu sifatnya rutin atau berulang (recurrent). Pada umumnya

proposi belanja operasi mendominasi total belanja daerah, yaitu antara 60-90

persen. Pemerintah daerah dengan tingkat pendapatan tinggi cenderung memiliki

porsi belanja operasi yang lebih tinggi dibandingkan pemerintah darah yang

tingkat pendapatannya rendah. (Mahmudi, 2010).

Penelitian ini akan melakukan pengujian terhadap lima (5) hipotesis.

Hipotesis pertama berbunyi rasio derajat desentralisasi berpengaruh terhadap

indeks pembangunan manusia, hipotesis kedua berbunyi rasio ketergantungan

daerah berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia, hipotesis ketiga

berbunyi rasio belanja modal berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia, dan hipotesis keempat berbunyi rasio belanja operasi berpengaruh

terhadap indeks pembangunan manusia. Setelah dilakukan pengujian terhadap

kelima hipotesis tersebut selanjutnya akan dilakukan pembahasan penelitian. Dari

pembahasan penelitian tersebut nantinya akan ditutup dengan penarikan

kesimpulan dan saran. Kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini

digambarkan dalam gambar 3.1 berikut:


43

Gambar 3.1

Kerangka Konseptual

Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan

Laporan Keuangan Daerah Tahun 2015-2019

Variabel Independen (X) Variabel Dependen (Y)


1. Rasio Derajat Desentralisasi (X1)
2. Rasio Ketergantungan Keuangan
Daerah (X2)
3. Rasio Belanja Modal (X3) Indeks Pembangunan Manusia
4. Rasio Belanja Operasi (X4)

Pengujian Hipotesis

Hasil Pengujian dan Pembahasan

Kesimpulan

3.2. Hipotesis Penelitian

3.2.1. Pengaruh Rasio Derajat Desentralisasi Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (IPM)

Rasio derajat desentrasilasi merupakan rasio yang menunjukkan derajat kontribusi

PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi Kontribusi PAD maka

semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan

desentralisasi. (Mahmudi, 2010). Derajat desentralisasi dihitung berdasarkan


44

perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah dengan total penerimaan

daerah.

Rasio derajat desentralisasi fiskal menggambarkan besarya campur tangan

pemerintah pusat dalam pembangunan daerah yang menunjukan tingkat kesiapan

pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah. Semakin tinggi rasio

derajat desentralisasi fiskal, maka semakin tinggi pula kemampuan keuangan

daerah dalam mendukung otonomi daerah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Marisca, dkk (2016) memperoleh hasil bahwa rasio derajat desentralisasi fiskal

memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Berdasarkan uraian

tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H1: Rasio derajat desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia.

3.2.2. Pengaruh Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (IPM)

Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah dihitung dengan cara

membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan

daerah dengan total penerimaan daerah. Perbandingan tersebut dapat

menunjukkan seberapa tinggi ketergantungan pemerintah daerah terhadap

pemerintah pusat, sehingga apabila pemerintah daerah memiliki ketergantungan

yang rendah dengan pemerintah pusat maka pemerintah daerah memiliki

keuangan yang baik (Mahmudi, 2010). Kondisi keuangan yang baik dari

pemerintah daerah menyebabkan pelaksanaan penyediaan layanan publik dapat

terpenuhi dengan baik dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia.


45

Semakin tinggi rasio PAD terhadap total pendapatan daerah mencerminkan

ketergantungan keuangan daerah yang semakin baik, ketergantugan daerah juga

akan meningkatkan pembangunan daerah sehingga akan meningkatkan

kesejahteraan rakyatnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hendri & Yafiza

(2020) memperoleh hasil bahwa rasio ketergantungan daerah tidak memiliki

pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Berdasarkan uraian tersebut

maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H2 : Rasio ketergantungan daerah berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia

3.2.3. Pengaruh Rasio Belanja Modal Terhadap Indeks Pembangunan

Manusia (IPM)

Menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar Akutansi

Pemerintah (SAP), belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan

asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode

akutansi. Menurut Halim (2002) belanja modal dapat dikategorikan ke dalam 5

kategori utama diantaranya adalah 1) Belanja modal tanah, 2) Belanja modal

peralatan dan mesin, 3) Belanja modal gedung dan bangunan, 4) Belanja modal

jalan, irigasi dan jaringan, 5) Belanja modal fisik lainnya.

Dalam penggunaan Belanja modal di setiap daerah digunakan untuk

melindungi dan meningkatkan kualitas masyarakat dalam upaya memenuhi

kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan dasar,

pendidikan, penyediaan fasilitas kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum

yang layak serta mengembangkan jaminan sosial dengan mempertimbangkan


46

analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja dan standar pelayanan

minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan

demikian belanja modal sangatlah penting untuk menunjang peningkatan sumber

daya manusia dan menjadikan kualitas hidup yang lebih sejahtera. Hasil penelitian

yang dilakukan oleh Rochman (2020) memperoleh hasil bahwa rasio belanja

modal memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Berdasarkan

uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H3: Rasio belanja modal berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia.

3.2.4. Pengaruh Rasio Belanja Operasi Terhadap Indeks Pembangunan

Manusia (IPM)

Menurut (Halim & Kusufi, 2018) “Belanja operasi dan pemeliharaan

merupakan semua belanja pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas

atau pelayanan publik”. Kelompok belanja ini meliputi jenis belanja: belanja

pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah, belanja bantu social. Rasio

Belanja Operasi terhadap Total Belanja merupakan perbandingan antara total

belanja operasi dengan total belanja daerah. Belanja operasi merupakan belanja

yang manfaatnya habis dikonsumsi dalam satu tahun anggaran, sehingga belanja

operasi ini sifatnya jangka pendek dan dalam hal tertentu sifatnya rutin atau

berulang (recurrent).

Semakin meningkatnya rasio belanja operasi diharapkan pemerintah

kabupaten/kota juga dapat meningkatan IPM dengan mengalokasi belanja operasi

yang bermanfaat untuk memberikan pelayanan kepada rakyat. Terjadinya


47

peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat (social welfare),

merupakan bentuk indikasi dari keberhasilan penerapan desentralisasi fiskal. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Pradana (2015) memperoleh hasil bahwa rasio

belanja operasi memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.

Berdasarkan uraian tersebut maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:

H4: Rasio belanja operasi berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia.

Berdasarkan uraian di atas maka model penelitian penelitian ini dapat

dilihat pada Gambar 3.2 berikut:

Gambar 3.2

Model Penelitian

Rasio Derajat Desentralisasi

Rasio Ketergantungan Keuangan


Daerah

Rasio Belanja Modal Indeks Pembangunan


Manusia

Rasio Belanja Operasi


BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk menganalisis pengaruh dari

kinerja keuangan terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

4.2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif

adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang dapat

dicapai (diperoleh) dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau cara

lain dari pengukuran. Pendekatan kuantitatif menggunakan teori yang objektif

dalam menganalisis hakiat hubungan antar variabel (Amrullah, 2018, p. 47).

Dilihat berdasarkan jenisnya, penelitian ini diklasifikasikan sebagai

penelitian asosiatif. Penelitian asosiatif bertujuan untuk mengetahui dua variabel

atau lebih, sehingga dengan penelitian ini akan dapat dibangun suatu teori yang

dapat menjelaskan, meramalkan, dan mengontrol suatu gejala (Sujarweni, 2015, p.

16).

4.3. Tempat/Lokasi Penelitian

Tempat atau lokasi penelitian ini adalah pemerintah Kabupaten/Kota di

Provinsi Kalimantan Selatan dimana data terkait diperoleh dari (1) Badan

Keuangan dan Aset Daerah yang mendokumentasikan tentang pendapatan daerah

49
50

pada tahun 2015-2019 dan (2) Badan Pusat Statistik sebagai instansi yang

mendokumentasikan tentang Indeks Pembangunan Manusia.

4.4. Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian adalah satuan tertentu yang diperhitungkan

sebagai subjek penelitian. Unit analisis diartikan sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan fokus atau komponen yang diteliti. Unit analisis data dalam penelitian ini

adalah Laporan Keuangan tahun 2015-2019 yang diperoleh dari Badan Pengelola

Keuangan dan Asset Daerah Kabupaten dan Kota Provinsi Kalimantan Selatan.

4.5. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari sekelompok orang,

kejadian atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu (Ikhsan, et al., 2018,

p. 105). Populasi merupakan keseluruhan kumpulan elemen-elemen berkaitan dengan

dengan apa yang peneliti harapkan dalam mengambil beberapa kesimpulan.

Pada penelitian kali ini populasi yang digunakan adalah 13 Kabupaten/Kota yang

berada di Provinsi Kalimantan Selatan. Pemilihan Kabupaten/Kota yang berada di

Provinsi Kalimantan Selatan dikarenakan tingkat Indeks Pembangunan Manusia yang

berada di Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan hasil yang belum memuaskan.

4.6. Variabel dan Definisi Operasional Variabel

4.6.1. Variabel Dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalah Indeks Pembangunan

Manusia. IPM adalah indeks komposit untuk mengukur pencapaian kualitas

pembangunan manusia untuk dapat hidup secara lebih berkualitas, baik dari aspek

kesehatan, pendidikan, maupun aspek ekonomi. Dalam penelitian ini satuan data
51

IPM adalah dalam persen. Semakin tinggi angka Indeks Pembangunan Manusia,

maka kualitas pembangunan manusia untuk dapat hidup akan semakin baik.

Menurut (BPS, Indeks Pembangunan Manusia 2013, 2013) rumus digunakan

untuk menghitung Indeks Pembangunan Manusia adalah sebagai berikut:

4.6.2. Variabel Independen

1. Rasio Derajat Desentralisasi (X1)

Rasio desentralisasi adalah kemampuan pemerintah daerah dalam

meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang digunakan untuk

membiayai pembangunan (Mahmudi, 2010) PAD merupakan aspek yang

sangat menentukan keberhasilan suatu daerah dalam menyelenggarakan

desentralisasi. Semakin tinggi PAD maka semakin besar kemampuan

keuangan daerah untuk membiayai belanja pemerintah dalam menjalankan

roda pemerintahan.

Variabel derajat desentralisasi dihitung berdasarkan perbandingan antar

jumlah Pendapatan Asli Daerah dengan total penerimaan daerah. Rasio ini

menunjukkan derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah.

Semakin tinggi kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah

daerah dalam menyelenggarakan desentralisasi (Sumardjoko, 2018).

Pengukuran variabel derajat desentralisasi fiskal menggunakan kesetaraan

persamaan yang dihitung sebagai berikut:


52

2. Rasio Ketergantungan Daerah (X2)

Ketergantungan Keuangan Daerah membandingkan pendapatan transfer

dengan total pendapatan yang diperoleh suatu daerah. Perbandingan tersebut

dapat menunjukkan seberapa tinggi ketergantungan pemerintah daerah

terhadap pemerintah pusat, sehingga apabila pemerintah daerah memiliki

ketergantungan yang rendah dengan pemerintah pusat maka pemerintah

daerah memiliki keuangan yang baik. Kondisi keuangan yang baik dari

pemerintah daerah menyebabkan pelaksanaan penyediaan layanan publik

dapat terpenuhi dengan baik dan meningkatkan Indeks Pembangunan

Manusia.

Rasio Ketergantungan keuangan daerah dihitung dangan cara

membandingkan jumlah pendatan transfer yang diterima oleh penerimaan

daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini maka

semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap pusat

dan/atau pemerintah provinsi. Rasio ini dirumuskan sebagai berikut :

Pendapatan Transfer
Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah = x 100%
Total Pendapatan Daerah

3. Rasio Belanja Modal (X3)

Belanja modal merupakan bagian dari belanja daerah yang dikeluarkan untuk

perolehan aset tetap atau aset lainnya yang dapat berupa pembangunan jalan,

bangunan, maupun infrastruktur publik lainnya sehingga dapat

memaksimalkan pelayanan sektor publik secara berkesinambungan, hingga


53

diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup, standar hidup layak, dan

kesejahteraan masyarakat (Hamimah, 2020).

Analisis Belanja modal merupakan perbandingan antara total realisasi belanja

modal dengan total belanja daerah. Berdasarkan rasio ini, pembaca laporan

keuangan dapat mengetahui porsi belanja daerah yang dialokasikan untuk

investasi dalam bentuk belanja modal pada tahun anggaran bersangkutan.

Pada umumnya proposi belanja modal terhadap total belanja daerah adalah

antara 5-20 persen (Mahmudi, 2010). Rasio belanja modal ini dirumuskan

sebagai berikut :

Realisasi Belanja Modal


Rasio Belanja Modal thd Total Belanja = x 100%
Total Belanja Daerah

4. Rasio Belanja Operasi (X4)

Analisis Belanja Operasi merupakan perbandingan antara total belanja

operasi dengan total belanja daerah. Pada umumnya proposi belanja operasi

didominasi total belanja daerah, yaitu antara 60-90 persen (Mahmudi, 2010).

Semakin meningkatnya rasio belanja operasi diharapkan pemerintah

kabupaten/kota juga dapat meningkatan IPM dengan mengalokasi belanja

operasi yang bermanfaat untuk memberikan pelayanan kepada rakyat.

Terjadinya peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat

(social welfare), merupakan bentuk indikasi dari keberhasilan penerapan

desentralisasi fiskal. Rasio belanja operasi total belanja dirumuskan sebagai

berikut :

Realisasi Belanja Operasi


Rasio Belanja Operasi thd Total Belanja = x 100%
Total Belanja Daerah
54

4.7. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi. Metode

dokumentasi dilakukan dengan cara penyalinan dan pengarsipan data-data dari

sumber-sumber yang tersedia yaitu data sekunder yang diperoleh dari Laporan

Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan juga Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) pada Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan. Data

tersebut diperoleh melalui situs instansi-instansi terkait dan juga hasil studi perpustakaan

pada Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Prov Kalsel dan Badan Pusat

Statistik (BPS).

4.8. Teknik Analisis Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

observasi, studi pustaka dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan

yaitu:

4.8.1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan statistik yang bertujuan untuk

mendeskripsikan atau menggambarkan suatu objek penelitian melalui data

penelitian. Statistik deskriptif dilakukan tanpa melakukan analisis dan generalisasi

yang berlaku umum. Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder, sehingga

statistik deskriptif menggambarkan tentang minimum, maksimum, rata-rata

(mean), dan standar deviasi (Iqbal & F., 2020, p. 33).

4.8.2. Uji Asumsi Klasik

Uji asusmsi klasik dilakukan untuk memastikan model penelitian telah

memenuhi asumsi Best, Linier, and Unbiased Estimator atau sering dikenal
55

dengan istilah BLUE tersebut, dilakukan uji asumsi klasik (Iqbal & F., 2020, p.

66). Penelitian ini menggunakan data time-series dari laporan tahunan selama 7

tahun yaitu pada periode 2013-2019, sehingga uji asumsi klasik yang digunakan

terdiri dari:

1. Uji Normalitas

Uji normalitas data merupakan uji distribusi data yang akan dianalisis, apakah

penyebarannya di bawah kurva normal atau tidak (Bahri, 2018, p. 162).

Apabila distribusi nilai residual tidak normal maka uji statistik dikatakan tidak

valid untuk sampel kecil. Menurut Bahri (Bahri, 2018, p. 165) pendekatan yang

dapat dipakai dalam uji normalitas adalah dengan melihat tingkat signifikansi

Kolmogorov Smirnov (K-S) berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Jika tingkat signifikansi atau tingkat probabilitas < 0,05, maka distribusi

dikatakan tidak normal.

b. Jika tingkat signifikansi atau tingkat probabilitas > 0,05, maka distribusi

dikatakan normal.

2. Uji Multikolinearitas

Menurut Ghozali (2016) dalam (Bahri, 2018, p. 168) uji multikolinearitas

bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi

antar variabel independen. Model regresi yang baik cenderung tidak terjadi

korelasi yang sempurna ataupun mendekati sempurna antar variabel

independennya. Uji multikolinearitas dapat dilakukan dengan melihat nilai

tolerance dan juga lawannya yaitu Variance Inflation Factor (VIF). Kedua

metode ini akan memperlihatkan variabel independen mana yang dijelaskan


56

oleh variabel independen lain. Metode ini memiliki kriteria sebagai berikut

(Bahri, 2018, p. 173):

a. Jika tingkat tolerance ≤ 0,10 atau VIF ≥ 10 maka menunjukkan adanya

multikolinearitas antar variabel independen.

b. Jika tingkat tolerance ≥ 0,10 atau VIF ≤ 10 maka menunjukkan tidak ada

multikolinearitas antar variabel independen.

3. Uji Heterokedastisitas

Heteroskedastisitas adalah varian residual yang tidak sama pada semua

pengamatan di dalam model regresi (Bahri, 2018, p. 180). Apabila varian

residual dari satu pengamatan ke pengamatan lain berbeda maka disebut

heteroskedastisitas sedangkan jika tidak berbeda disebut homoskedastisitas.

Regresi yang baik seharusnya tidak terjadi heteroskedastisitas. Metode yang

dapat digunakan untuk uji heteroskedastisitas adalah metode uji glejser. Uji

glejser merupakan metode uji yang dilakukan dengan cara meregresikan

antara variabel independen dengan nilai absolut residualnya. Menurut Bahri

(2018, p. 184) ketentuan uji heteroskedastisitas dengan metode ini adalah

sebagai berikut:

1. Jika tingkat signifikansi antara variabel independen dengan absolut

residualnya > 0,05 maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

2. Jika tingkat signifikansi antara variabel independen dengan absolut

residualnya < 0,05 maka ada heteroskedastisitas.

4. Uji Autokorelasi

Autokorelasi merupakan korelasi antara observasi yang disusun menurut

waktu atau tempat (Bahri, 2018, p. 174). Jika dalam model regresi linier
57

terdapat korelasi dalam waktu atau tempatnya maka disebut problem

autokorelasi. Metode yang dapat digunakan dalam uji ini adalah metode uji

Durbin-Watson (uji-DW) dengan ketentuan yang dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 4.1

Nilai Uji-DW (Durbin-Watson)

Nilai DW Interpretasi
4 – dl < DW < 4 Ada autokorelasi (negatif)
4 – du < DW < 4 – dl Tidak dapat disimpulkan
2 < DW < 4 – du Tidak ada autokorelasi
du < DW < 4 – du Tidak ada autokorelasi
dl < DW < du Tidak dapat disimpulkan
0 < DW < dl Ada autokorelasi (positif)
Sumber: Bahri (2018)

4.8.3. Analisis Regresi Berganda

Analisis regresi merupakan analisa untuk mengukur hubungan antara dua

variabel atau lebih dan mengetahui arah hubungan antara variabel independen dan

variabel dependen (Iqbal & F., 2020, p. 106). Alat analisis yang digunakan adalah analisis

regresi linier berganda yang digunakan untuk melihat pengaruh Rasio derajat

desentralisasi, Rasio Ketergantungan Keuangan daerah, Rasio Belanja Modal, Rasio

Belanja Operasi terhadap Indeks Pembangunan Manusia Persamaan dasar regresi adalah :

Y= a + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε

Keterangan:

Y = Indeks Pembangunan Manusia


58

X1 = Rasio derajat desntralisasi

X2 = Rasio Ketergantungan Keuangan daerah

X3 = Rasio Belanja Modal

X4 = Rasio Belanja Operasi

ε = Standar Error

4.8.4. Uji Hipotesis

Uji hipotesis yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi koefisien

determinasi dan uji signifikansi parameter individual (uji statistic t).

1. Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi ( ) digunakan untuk mengukur seberapa jauh

kemampuan variabel independen dalam menerangkan variasi variabel

dependen. Koefisien determinasi ( ) dapat juga dikatakan sebagai besaran

pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependennya.

Menurut Bahri (2018, p. 192) nilai koefisien determinasi adalah antara 0 (nol)

sampai 1 (satu). Nilai koefisien determinasi yang mendekati 0 (nol)

menggambarkan kemampuan variabel independen dalam menerangkan

variasi variabel dependen amat terbatas. Nilai koefisien determinasi yang

mendekati 1 (satu) berarti bahwa variabel independen memberikan hampir

semua informasi yang dibutuhkan untuk menerangkan variasi variabel

dependen.

2. Uji Statistik T

Alat uji untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji

statistik t. Uji statistik t merupakan pengujian untuk menunjukkan seberapa


59

jauh pengaruh satu variabel independen dalam menerangkan variasi variabel

dependen secara parsial. Menurut Bahri (2018, p. 194-195) kriteria diterima

atau ditolaknya hipotesis dalam uji statistik t adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan tingkat signifikansi:

1. Jika tingkat signifikansi < 0,05 berarti variabel independen

berpengaruh terhadap variabel dependen.

2. Jika tingkat signifikansi > 0,05 berarti variabel independen tidak

berpengaruh terhadap variabel dependen.

b. Berdasarkan tingkat t Hitung dan t Tabel:

1. Jika tingkat t Hitung > t Tabel maka variabel independen berpengaruh

terhadap variabel dependen.

2. Jika tingkat t Hitung < t Tabel maka variabel independen tidak

berpengaruh terhadap variabel dependen.


60

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Selatan

Secara astronomis, Provinsi Kalimantan Selatan terletak antara 114

19’ 13’’ – 116 33’ 28’’ Bujur Timur dan 1 21’ 49’’ – 4 10’ 14’’ Lintang

Selatan. Secara geografis, terletak di bagian selatan Pulau Kalimantan dengan

batas-batas : sebelah barat dengan Provinsi Kalimantan Tengah, sebelah timur

dengan Selat Makasar, sebelah selatan dengan Laut Jawa, dan sebelah utara

dengan Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayahnya adalah sekitar

38.744,23 km2 atau 6,98 persen dari luas Pulau Kalimantan dan 1,96 persen

dari luas wilayah Indonesia.

Kalimantan Selatan merupakan dataran rendah dengan ketinggian

rata-rata +17 meter di atas permukaan laut, terletak pada posisi 1 21’ 49’’ – 4

10’ 14’’ Lintang Selatan, serta 114 19’ 13’’ – 116 33’ 28’’ Bujur Timur. Luas

wilayah Kalimantan Selatan, adalah berupa daratan seluas 38.744,23 km2.

Akhir tahun 2020, wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan terdiri

dari 11 kabupaten dan 2 kota.

Struktur geologi tanah di Kalimantan Selatan sebagian besar adalah

podsolid, yaitu sebesar 37,13 persen. Sebanyak 74,82 persen wilayah terletak

pada kemiringan di bawah 15 persen dan 27,33 persen wilayah berada di

ketinggian 25-100 meter di atas permukaan laut. Potensi geografis lainnya

yaitu memiliki banyak sungai yang berpangkal di Pegunungan Meratus dan

bermuara ke Laut Jawa dan Selat Makasar. Salah satunya adalah Sungai

Barito yang terkenal sebagai sungai terlebar di Indonesia.


61

Penggunaan tanah di Kalimantan Selatan sebagian besar berupa hutan

(29,56 persen). Sekitar 17,19 persen lahan digunakan untuk lahan perkebunan

serta kebun campuran dan 10,44 persen untuk persawahan. Penggunaan lahan

untuk pemukiman hanya sekitar 2,33 persen dan untuk pertambangan sekitar

1,55 persen.

Provinsi Kalimantan Selatan terbentuk berdasarkan Undang-Undang

No 25 tahun 1956. Saat ini secara administrasi wilayah Provinsi Kalimantan

Selatan terdiri atas 11 kabupaten dan 2 kota, yaitu Kabupaten Tanah Laut,

Kotabaru, Banjar, Barito Kuala, Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai

Tengah, Hulu Sungai Utara, Tabalong, Tanah Bumbu, dan Balangan serta

Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru.

Jumlah anggota DPRD Provinsi Kalimantan Selatan yaitu 55 anggota

dengan komposisi partai yang berbeda. Hasil Pemilu 2019 menunjukkan

perolehan kursi masih didominasi oleh Partai Golkar (12 kursi), diikuti oleh

Partai PDIP (8 kursi), dan Gerindra (8 kursi).

Jumlah penduduk Kalimantan Selatan tahun 2020 berdasarkan Sensus

Penduduk 2020 sebanyak 4.073.584 jiwa yang terdiri atas 2.062.383 jiwa

penduduk laki-laki dan 2.011.201 jiwa penduduk perempuan. Dibandingkan

dengan jumlah penduduk tahun 2010, penduduk Kalimantan Selatan

mengalami laju pertumbuhan pertumbuhan sebesar 1,13 persen. Sementara

itu besarnya angka rasio jenis kelamin tahun 2020 penduduk laki-laki

terhadap penduduk perempuan sebesar 102,54. Jumlah Pencari Kerja


62

Terdaftar di Provinsi Kalimantan Selatan pada Dinas Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Provinsi Kalimantan Selatan pada Tahun 2020 sebesar 7.544 pekerja.

5.2. Hasil Analisis Data

5.2.1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif dilakukan untuk memberikan deskripsi atau gambaran

mengenai variabel yang di teliti. Variabel yang diteliti dalam penelitian ini

adalah Rasio Derajat Desentralisasi (X1), Rasio Ketergantungan Keuangan

Daerah (X2), Rasio Belanja Modal (X3), Rasio Belanja Operasi(X4), dan

Indeks Pembangunan Manusia (Y). Penelitian ini menggunakan data pada

laporan keuangan tahunan dari Kabupaten/Kota Provensi Kalimantan

Selatan periode 2015-2019, yakni selama 5 tahun. Data sampel sejumlah

70 (n=65). Tabel berikut menyajikan hasil analisis deskriptif dari variabel

independen dan dependen dalam penelitian ini yang meliputi nilai

minimum, nilai maksimum, nilai rata-rata, dan standar deviasi.

Gambar 5.1.
Statistik Deskriptif

Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
X1 65 .05 .57 .1355 .11611
X2 65 .05 1.32 .1964 .26587
X3 65 .17 .44 .2754 .06167
X4 65 .56 .83 .7243 .06164
Y 65 62.49 79.22 69.1349 3.87513
Valid N
(listwise) 65

Sumber: Lampiran (data diolah 2021)


63

1. Rasio Desentralisasi Fiskal

Tabel 5.2.

Rasio Desentralisasi Fiskal

Kabupaten/Kora Prov Kalsel 2015 2016 2017 2018 2019 Rata-rata


Kota Banjarmasin 0,16 0,16 0,22 0,18 0,20 0,18
Kota Banjarbaru 0,16 0,16 0,23 0,21 0,23 0,20
Kab. Banjar 0,11 0,11 0,11 0,11 0,12 0,11
Kab. Barito Kuala 0,06 0,05 0,08 0,08 0,06 0,07
Kab. Tapin 0,05 0,05 0,09 0,08 0,07 0,07
Kab. Hulu Sungai Selatan 0,09 0,08 0,12 0,10 0,11 0,10
Kab. Hulu Sungai Tenggara 0,08 0,08 0,11 0,08 0,10 0,09
Kab. Hulu Sungai Utara 0,09 0,08 0,12 0,09 0,11 0,10
Kab. Balangan 0,05 0,05 0,08 0,05 0,05 0,06
kab. Tabalong 0,10 0,09 0,14 0,12 0,11 0,11
Kab. Tanah Laut 0,11 0,10 0,14 0,08 0,09 0,10
Kab. Tanah Bumbu 0,09 0,08 0,11 0,12 0,08 0,10
Kab. Kota Baru 0,11 0,10 0,09 0,09 0,08 0,09
Rata-rata 0,13 0,12 0,15 0,14 0,14
Tertinggi 0,57 0,48 0,51 0,54 0,52
Terendah 0,05 0,05 0,08 0,05 0,05
Sumber: Lampiran (data diolah 2021)

Berdasasarkan tabel 5.2. dapat diperoleh gambaran mengenai variabel

yang digunakan dalam penelitian:

Rasio Desentralisasi Fiskal diukur dengan cara membandingkan

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Total Pendapatan Daerah. Pada tahun

2015 nilai rata-rata Rasio Desentralisasi Fiskal sebesar 0,13 dengan 0,16 nilai

maksimum yang dimiliki oleh Kota Banjarmasin dan Kota Banjarbaru dan nilai

minimum sebesar 0,05 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Tapin dan Kab
64

Balangan. Pada tahun 2016 nilai rata-rata Rasio Desentralisasi Fiskal sebesar 0,12

dengan 0,16 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kota Banjarmasin dan Kota

Banjarbaru dan nilai minimum sebesar 0,05 yang diantaranya dimiliki oleh Kab

Barito Kuala, Kab

Tapin dan Kab Balangan. Pada tahun 2017 nilai rata-rata Rasio

Desentralisasi Fiskal sebesar 0,15 dengan 0,23 nilai maksimum yang dimiliki oleh

Kota Banajrbaru dan nilai minimum sebesar 0,08 yang diantaranya dimiliki oleh

Kab Barito Kuala dan Kab Balangan. Pada tahun 2018 nilai rata-rata Rasio

Desentralisasi Fiskal sebesar 0,14 dengan 0,21 nilai maksimum yang dimiliki

oleh Kota Banjarbaru dan nilai minimum sebesar 0,05 yang diantaranya dimiliki

oleh Kab Balangan. Pada tahun 2019 nilai rata-rata Rasio Desentralisasi Fiskal

sebesar 0,14 dengan 0,23 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kota Banjarbaru

dan nilai minimum sebesar 0,05 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Balangan.

2. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Tabel 5.3.
65

Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

Sumber: Lampiran (data diolah 2021)

Berdasasarkan tabel 5.3. dapat diperoleh gambaran mengenai variabel

yang digunakan dalam penelitian:

Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah diukur dengan cara

membandingkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan Pendapatan Transfer.

Pada tahun 2015 nilai rata-rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah sebesar

0,88 dengan 0,94 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Barito Kuala dan nilai

minimum sebesar 0,78 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Tanah Laut. Pada

tahun 2016 nilai rata-rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah sebesar 0,89

Kabupaten/Kota 2015 2016 2017 2018 2019 Rata-Rata


Kota Banjarmasin 0,83 0,83 0,78 0,79 0,76 0,80
Kota Banjarbaru 0,84 0,84 0,77 0,76 0,74 0,79
Kab. Banjar 0,88 0,89 0,85 0,86 0,86 0,87
Kab. Barito Kuala 0,94 0,95 0,88 0,89 0,78 0,89
Kab. Tapin 0,90 0,94 0,91 0,91 0,90 0,91
Kab. Hulu Sungai Selatan 0,91 0,91 0,87 0,88 0,87 0,89
Kab. Hulu Sungai Tenggara 0,89 0,79 0,95 0,80 0,78 0,84
Kab. Hulu Sungai Utara 0,86 0,92 0,87 0,89 0,87 0,88
Kab. Balangan 0,89 0,95 0,91 0,94 0,93 0,92
kab. Tabalong 0,90 0,91 0,86 0,87 0,87 0,88
Kab. Tanah Laut 0,78 0,79 0,67 0,76 0,76 0,75
Kab. Tanah Bumbu 0,87 0,89 0,88 0,88 0,90 0,89
Kab. Kota Baru 0,89 0,90 0,88 0,88 0,89 0,89
Rata-rata 0,88 0,89 0,85 0,86 0,84
Tertinggi 0,94 0,94 0,95 0,94 0,93
Terendah 0,78 0,83 0,67 0,76 0,74
dengan 0,94 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Tapin dan nilai minimum

sebesar 0,83 yang diantaranya dimiliki oleh Kota Banjarmasin. Pada tahun 2017

nilai rata-rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah sebesar 0,85 dengan 0,94
66

nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Hulu Sungai Tengah dan nilai minimum

sebesar 0,67 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Tanah Laut. Pada tahun 2018

nilai rata-rata Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah sebesar 0,86 dengan 0,94

nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Balangan dan nilai minimum sebesar 0,76

yang diantaranya dimiliki oleh Kab Tanah Laut. Pada tahun 2019 nilai rata-rata

Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah sebesar 0,84 dengan 0,93 nilai

maksimum yang dimiliki oleh Kab Balangan dan nilai minimum sebesar 0,74

yang diantaranya dimiliki oleh Kota Banjarbaru.

3. Rasio Belanja Operasi

Tabel 5.4.

Kabupaten/Kora Prov Kalsel 2015 2016 2017 2018 2019 Rata-rata


Kota Banjarmasin 0,76 0,76 0,83 0,78 0,73 0,77
Kota Banjarbaru 0,56 0,58 0,69 0,73 0,70 0,65
Kab. Banjar 0,78 0,79 0,83 0,81 0,79 0,80
Kab. Barito Kuala 0,62 0,63 0,77 0,72 0,74 0,70
Kab. Tapin 0,61 0,67 0,78 0,77 0,75 0,72
Kab. Hulu Sungai Selatan 0,68 0,68 0,77 0,76 0,72 0,72
Kab. Hulu Sungai Tenggara 0,73 0,69 0,67 0,77 0,76 0,72
Kab. Hulu Sungai Utara 0,67 0,66 0,79 0,77 0,77 0,73
Kab. Balangan 0,65 0,64 0,69 0,74 0,74 0,69
kab. Tabalong 0,71 0,64 0,68 0,73 0,73 0,70
Kab. Tanah Laut 0,66 0,62 0,65 0,75 0,79 0,69
Kab. Tanah Bumbu 0,74 0,77 0,80 0,81 0,68 0,76
Kab. Kota Baru 0,70 0,73 0,82 0,81 0,76 0,76
67

Rata-rata 0,68 0,68 0,75 0,77 0,74


Tertinggi 0,78 0,79 0,83 0,81 0,79
Terendah 0,56 0,58 0,65 0,72 0,68
Rasio Belanja Operasi

Sumber: Lampiran (data diolah 2021)

Berdasasarkan tabel 5.4. dapat diperoleh gambaran mengenai variabel

yang digunakan dalam penelitian:

Rasio Belanja Operasi diukur dengan cara membandingkan Belanja Modal

dengan Total Belanja Daerah. Pada tahun 2015 nilai rata-rata Rasio Belanja

Operasi sebesar 0,68 dengan 0,78 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Banjar

dan nilai minimum sebesar 0,56 yang diantaranya dimiliki oleh Kota Banjarbaru.

Pada tahun 2016 nilai rata-rata Rasio Belanja Operasi sebesar 0,68 dengan 0,79

nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Banjar dan nilai minimum sebesar 0,58

yang diantaranya dimiliki oleh Kab Banjarbaru. Pada tahun 2017 nilai rata- Rasio

Belanja Operasi sebesar 0,75 dengan 0,83 nilai maksimum yang dimiliki oleh

Kab Banjar dan nilai minimum sebesar 0,65 yang diantaranya dimiliki oleh Kab

Tanah Laut. Pada tahun 2018 nilai rata-rata Rasio Belanja Modal sebesar 0,77

dengan 0,81 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Kota Baru dan nilai

minimum sebesar 0,72 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Barito Kuala. Pada

tahun 2019 nilai rata-rata Rasio Belanja Modal sebesar 0,74 dengan 0,79 nilai

maksimum yang dimiliki oleh Kab Banjar dan nilai minimum sebesar 0,68 yang

diantaranya dimiliki oleh Kab Tanah Bumbu.

4. Rasio Belanja Modal

Tabel 5.5.
Rasio Belanja Modal

Kabupaten/Kora Prov Kalsel 2015 2016 2017 2018 2019 Rata-rata


68

Kota Banjarmasin 0,24 0,24 0,17 0,22 0,27 0,23


Kota Banjarbaru 0,44 0,42 0,31 0,27 0,30 0,35
Kab. Banjar 0,21 0,21 0,17 0,19 0,21 0,20
Kab. Barito Kuala 0,38 0,37 0,23 0,28 0,26 0,30
Kab. Tapin 0,39 0,33 0,22 0,23 0,25 0,28
Kab. Hulu Sungai Selatan 0,32 0,32 0,23 0,24 0,28 0,28
Kab. Hulu Sungai Tenggara 0,27 0,31 0,33 0,23 0,23 0,27
Kab. Hulu Sungai Utara 0,33 0,34 0,21 0,23 0,23 0,27
Kab. Balangan 0,35 0,36 0,31 0,26 0,26 0,31
kab. Tabalong 0,29 0,36 0,32 0,27 0,27 0,30
Kab. Tanah Laut 0,34 0,38 0,35 0,25 0,21 0,31
Kab. Tanah Bumbu 0,26 0,23 0,19 0,19 0,32 0,24
Kab. Kota Baru 0,30 0,27 0,18 0,19 0,24 0,24
Rata-rata 0,32 0,32 0,25 0,23 0,26
Tertinggi 0,44 0,42 0,35 0,28 0,32
Terendah 0,21 0,21 0,17 0,19 0,21
Sumber: Lampiran (data diolah 2021)

Berdasasarkan tabel 5.5. dapat diperoleh gambaran mengenai variabel

yang digunakan dalam penelitian:

Rasio Belanja Modal diukur dengan cara membandingkan Belanja Modal dengan

Total Belanja Daerah. Pada tahun 2015 nilai rata-rata Rasio Belanja Modal

sebesar 0,32 dengan 0,44 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kota Banjarbaru

dan nilai minimum sebesar 0,21 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Banjar. Pada

tahun 2016 nilai rata-rata Rasio Belanja Modal Daerah sebesar 0,32 dengan 0,42

nilai maksimum yang dimiliki oleh Kota Banjarmasin dan nilai minimum sebesar

0,21 yang diantaranya dimiliki oleh Kab Banjar. Pada tahun 2017 nilai rata-rata

Rasio Belanja Modal sebesar 0,25 dengan 0,35 nilai maksimum yang dimiliki

oleh Kab Tanah Laut dan nilai minimum sebesar 0,17 yang diantaranya dimiliki

oleh Kab Banjarmasin dan Kab Banjar. Pada tahun 2018 nilai rata-rata Rasio

Belanja Modal sebesar 0,23 dengan 0,28 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab

Barito Kuala dan nilai minimum sebesar 0,19 yang diantaranya dimiliki oleh Kab
69

Tanah Bumbu dan Kab Kota Baru. Pada tahun 2019 nilai rata-rata Rasio Belanja

Modal sebesar 0,26 dengan 0,32 nilai maksimum yang dimiliki oleh Kab Tanah

Bumbu dan nilai minimum sebesar 0,21 yang diantaranya dimiliki oleh Kab

Banjar dan Kab Tanah Laut.

5.2.2. Uji Asumsi Klasik

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah dalam model regresi,

variabel residual mempunyai distribusi yang normal. Model regresi yang baik

adalah model yang mempunyai distribusi normal atau mendekati normal.

Dalam penelitian ini, uji normalitas menggunakan dua cara, dengan analisis

grafik dengan grafik normal plot dan melalui analisis statistik dengan metode

KolmogrovSmirnov (K-S) dengan ketentuan jika nilai signifikan (a) uji K-S ≥

5% (0,05) maka dapat disimpulkan nilai residual menyebar normal dan regresi
70

dinyatakan telah memenuhi asumsi uji normalitas. Hasil uji normalitas dengan

menggunakan analisis grafik normal plot dapat dilihat gambar berikut ini:

Gambar 5.6.
Uji Normalitas – Grafik

Sumber : Data sekunder yang diolah, 2021

Gambar menunjukkan bahwa tampilan data grafik normal plot terlihat

titik-titik menyebar dan mengikuti arah garis diagonal sehingga dapat

diasumsikan model regresi tersebut telah memenuhi asumsi normalitas. Selain

itu, dalam penelitian ini juga dilakukan uji normalitas lainnya dengan

menggunakan analisis statistik Kolmogrov-Smirnov (K-S). Uji Kolmogrov-

Smirnov dilakukan untuk lebih meyakinkan bahwa model regresi telah

memenuhi asumsi normalitas. Adapun ketentuan yang digunakan dalam uji

Kolmogrov-Smirnov adalah suatu model regresi dinyatakan normal jika nilai

signifikansi berada di atas 0,05 atau 5%. Berikut ini adalah hasil uji normalitas

menggunakan analisis statistik KolmogrovSmirnov (K-S):

Hasil uji normalitas data dengan Kolmogorov-Smirnov Test dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 5.7.
71

Hasil Kolmogorov Smirnov


One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized
Residual
N 70
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation 2.46305096
Most Extreme Absolute .081
Differences Positive .054
Negative -.081
Test Statistic .081
Asymp. Sig. (2-tailed) .200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
Sumber : Data sekunder yang diolah, 2021

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa Nilai Asymp. Sig. (2-tailed)

sebesar 0,200 > 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi

normal.

2. Uji Multikolinearitas

Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah model regresi

ditemukan adanya korelasi antar variabel independen.

Tabel 5.8.
Hasil Uji Multikolinieritas

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std. VIF
B Beta Tolerance
Error
72

1 (Constant) 65.376 8.111 8.060 .000


X1 77.680 8.633 .846 8.998 .000 .603 1.659
X2 1.841 6.341 .027 .290 .773 .605 1.653
LNX3 -.551 1.318 -.031 -.418 .677 .998 1.002
X4 -5.890 4.655 -.093 -1.265 .211 .986 1.014
a. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

Hasil uji multikolinieritas pada tabel 5.2 menampilkan nilai tolerance

dari masing-masing variabel independen menunjukkan nilai Rasio Derajat

Desentralisasi (X1) = 0.603 ≥ 0.10, Rasio Ketergantungan Keungan Daerah

(X2) = 0.605 ≥ 0.10, Rasio Belanja Modal (X3) = 0.998 ≥ 0.10, Rasio Belanja

Operasi (X4) = 0.986 ≥ 0.10. Sedangkan nilai VIF dari masing-masing

variabel independen menunjukkan nilai Rasio Derajat Desentralisasi (X1) =

1.659 ≤ 10, Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah (X2) = 1.653 ≤ 10, Rasio

Belanja Modal (X3) = 1.002 ≤ 10, Rasio Belanja Operasi (X4) = 1.014 ≤ 10.

Artinya, seluruh variabel independen dalam penelitian ini memiliki nilai

tolerance ≥ 0.10, dan nilai VIF ≤ 10 sehingga model regresi dinyatakan

terbebas dari multikolinieritas dan layak untuk memprediksi pengungkapan

Indeks Pembangunan Manusia berdasarkan variabel yang mempengaruhinya.

3. Uji Heteroskedastisitas

Uji heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi

terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan

lain. Jika varians dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain tetap,

maka disebut homokedatisitas dan jika berbeda disebut heterokedastisitas.

Model regresi yang baik adalah yang homokedatisitas atau tidak terjadi

heterokedastisitas. Metode yang digunakan untuk menentukan ada tidaknya


73

gejala heteroskedastisitas adalah melalui Uji Glejser. Hasil Uji Glejser pada

penelitian ini ditunjukkan pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.9.
Hasil Pengujian Heteroskedastisitas

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Model Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta Tolerance VIF
(Constant) 5.937 4.520 1.313 .194
X1 1.261 4.810 .042 .262 .794 .603 1.659
1 X2 2.358 3.534 .106 .667 .507 .605 1.653
LNX3 -1.061 .735 -.179 -1.445 .154 .998 1.002
X4 -3.833 2.594 -.184 -1.478 .145 .986 1.014
a. Dependent Variable: ABS_RES2
Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

Berdasarkan data hasil uji glejser di atas dapat diartikan bahwa di

dalam analisis regresi tidak terdapat gejala heteroskedastisitas, menunjukkan

nilai signifikansi (p-value) variabel Rasio Derajat Desentralisasi sebesar

0,794 Rasio Ketergantungan Keuangan daerah sebesar 0,507 , Rasio Belanja

Modal sebesar 0,154 dan Rasio Belanja Operasi sebesar 0,145. hasil tersebut

dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel independen yang

signifikan secara statistik mempengaruhi varaibel dependen nilai ABSRES,

hal tersebut dikarenakan nilai probabilitas signifikansinya yang diatas 0.05

atau 5%. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat indikasi adanya

heterokedastisitas pada model regresi.

4. Uji Autokorelasi

Pengujian autokorelasi dengan Durbin-Watson dilakukan dengan

membandingkan nilai Durbin-Watson yang terbentuk dari hasil perhitungan


74

dibandingan dengan nilai tabel. Hasil uji autokorelasi dengan Durbin-Watson

dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.10.
Durbin-Watson Statistik

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Durbin-Watson
Square Estimate
a
1 .825 .680 .659 2.34407 1.978
a. Predictors: (Constant), X4, LNX3, X2, X1
b. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

Hasil uji autokorelasi di atas menunjukkan nilai Durbin-Watson yang

diperoleh dalam pengujian ini adalah 1,978. Nilai kemudian dibandingkan

dengan nilai tabel durbin-watson yang menggunakan signifikansi 5% dengan

jumlah sampel 65 dan jumlah variabel independen sebanyak 4 variabel.

Pada tabel durbin-watson didapat nilai batas atas (du) 1,7311 dan nilai

batas bawah (dl) 1,4709. oleh karena nilai DW terletak antara batas atas (du)

dan (4-du) atau 1,7311 < 1,978 < 2,2689 maka model regresi tidak ada

autokorelasi.

5.2.3. Analisis Regresi Linier Berganda

Regresi linier berganda dapat digunakan untuk mengetahui besarnya

pengaruh antara variabel independen yaitu Rasio Derajat Desentralisasi, Rasio

Ketergantungan Keuangan Daerah, Rasio Belanja Modal, Rasio Belanja Operasi.

Tabel 5.11.
Analisis Regresi Linier Berganda
75

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std. VIF
B Beta Tolerance
Error
1 (Constant) 65.376 8.111 8.060 .000
X1 77.680 8.633 .846 8.998 .000 .603 1.659
X2 1.841 6.341 .027 .290 .773 .605 1.653
LNX3 -.551 1.318 -.031 -.418 .677 .998 1.002
X4 -5.890 4.655 -.093 -1.265 .211 .986 1.014
a. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

Berdasarkan tabel 5.11. dapat ditentukan persamaan regresi linier

berganda sebagai berikut:

Y = 65,376 + 77,680 X1 + 1,841 X2 – 0,551 X3 – 5,890 X4

Keterangan :

1. Konstanta a = 65,376 berarti bahwa jika rasio derajat desentralisasi, rasio

ketergantungan keuangan daerah, rasio Ketergantungan keuangan daerah,

rasio belanja modal, rasio belanja operasi diasumsikan nilainya konstan atau

tetap maka nilai Indeks Pembangunan Manusia akan meningkat sebesar

65.376.

2. Rasio derajat desentralisasi (X1) dari perhitungan regresi linier berganda

didapat nilai koefisien 77,680 positif. Hal ini berarti jika rasio derajat

desentralisasi semakin meningkat maka Indeks Pembangunan Manusia akan

meningkat dengan anggapan variabel lain adalah konstan atau tetap.

3. Rasio Ketergantungan keuangan daerah (X2) dari perhitungan regresi linier

berganda didapat nilai koefisien 1,841 Positif. Hal ini berarti jika rasio

Ketergantungan Keuangan Daerah semakin meningkat maka Indeks


76

Pembangunan Manusia akan meningkat dengan anggapan variabel lain adalah

konstan atau tetap.

4. Rasio belanja modal (X3) dari perhitungan regresi linier berganda didapat nilai

koefisien 0,551 negatif. Hal ini berarti jika rasio belanja modal semakin

meningkat maka Indeks Pembangunan Manusia akan menurun dengan

anggapan variabel lain adalah konstan atau tetap.

5. Rasio belanja operasi (X4) dari perhitungan regresi linier berganda didapat

nilai koefisien 5,890 negatif. Hal ini berarti jika rasio belanja operasi semakin

meningkat maka Indeks Pembangunan Manusia akan menurun dengan

anggapan variabel lain adalah konstan atau tetap.

5.2.4. Uji Hipotesis

1. Koefisien Determinasi (R2)

Untuk mencari besarnya variasi Indeks Pembangunan Manusia yang

dipengaruhi oleh rasio derajat desentralisasi, rasio ketergantungan keuangan

daerah, rasio ketergantungan keuangan daerah, rasio belanja modal, rasio

belanja operasi dapat diketahui dari besarnya koefisien determinasi. Nilai

koefisien determinasi diketahui dari besarnya nilai Adjusted R Square dari

model regresi berganda.

Tabel 5.12.
Koefisien Determinasi
Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Durbin-Watson
Square Estimate
a
1 .825 .680 .659 2.34407 1.978
a. Predictors: (Constant), X4, LNX3, X2, X1
b. Dependent Variable: Y
77

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

Hasil analisis data melalui program SPSS diperoleh nilai Adjusted R

Square sebesar 0,659 yang berarti bahwa 65,9% variasi Indeks Pembangunan

Manusia dipengaruhi oleh variabel rasio derajat desentralisasi, rasio

Ketergantungan keuangan daerah, rasio ketergantungan keuangan daerah,

rasio belanja modal, rasio belanja operasi. Sedangkan sisanya 100% - 65,9% =

34,1% Indeks Pembangunan Maunsia dapat dipengaruhi oleh variabel lain.

2. Uji Statistik t

Pengujian hipotesis dilakukan untuk mengetahui apakah hipotesis

dalam penelitian ini terbukti (signifikan) atau tidak. Untuk uji hipotesis dalam

penelitian ini secara parsial digunakan uji t-test dengan  (tingkat kesalahan

penelitian = 0,05).

Tabel 5.13.
Uji Statistik t

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std.
B Beta Tolerance VIF
Error
(Constant) 65.376 8.111 8.060 .000
X1 77.680 8.633 .846 8.998 .000 .603 1.659
1 X2 1.841 6.341 .027 .290 .773 .605 1.653
LNX3 -.551 1.318 -.031 -.418 .677 .998 1.002
X4 -5.890 4.655 -.093 -1.265 .211 .986 1.014
a. Dependent Variable: Y
78

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

a. Uji hipotesis pengaruh rasio derajat desentralisasi terhadap indeks

pembangunan manusia (H1)

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H1 : Rasio derajat desentralisasi berpengaruh terhadap indeks

pembangunan manusia

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS diperoleh

angka signifikansi dari pengaruh rasio derajat desentralisasi (X1) terhadap

Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,000 <  = 0,05 sehingga

signifikan. Sedangkan angka t hitung = 8,998 > t tabel 2,0030 (df = n – 2 =

65 – 2 = 63,  = 0,05 uji dua pihak). Dengan demikian maka H1 diterima

yang berarti bahwa rasio derajat desentralisasi berpengaruh terhadap

indeks pembangunan manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

b. Uji hipotesis pengaruh rasio ketergantungan keuangan daerah terhadap

indeks pembangunan manusia (H2)

Hipotesis ketiga dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H2 : Rasio ketergantungan keuangan daerah berpengaruh terhadap

indeks pembangunan manusia

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS diperoleh

angka signifikansi dari pengaruh Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah

(X2)0 terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0.773 >  =

0,05 sehingga tidak signifikan. Sedangkan angka t hitung = 0,290 < t tabel
79

2,0030 (df = n – 2 = 65 – 2 = 63,  = 0,05 uji dua pihak). Dengan

demikian maka H2 ditolak yang berarti bahwa Rasio Ketergantungan

Keuangan Daerah tidak berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun

2015-2019.

c. Uji hipotesis pengaruh rasio belanja modal terhadap indeks pembangunan

manusia (H3)

Hipotesis keempat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H3 : Rasio belanja modal berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS

diperoleh angka signifikansi dari pengaruh Rasio Belanja Modal (X3 )

terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0.677 >  = 0,05

sehingga tidak signifikan. Sedangkan angka t hitung = 0,418 < t tabel

2,0030 (df = n – 2 = 65 – 2 = 63,  = 0,05 uji dua pihak). Dengan

demikian maka H3 ditolak yang berarti bahwa Rasio Modal tidak

berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada Kabupaten/Kota

di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

d. Uji hipotesis pengaruh rasio belanja operasi terhadap indeks pembangunan

manusia (H4)

Hipotesis kelima dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H4 : Rasio belanja operasi berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia
80

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS diperoleh angka

signifikansi dari pengaruh Rasio Belanja Operasi (X4 ) terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0.211 >  = 0,05 sehingga tidak signifikan.

Sedangkan angka t hitung = - 1.265 < t tabel 2,0030 (df = n – 2 = 65 – 2 = 63,  =

0,05 uji dua pihak). Dengan demikian maka H4 ditolak yang berarti bahwa Rasio

Belanja Operasi tidak berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

5.2.5. Pembahasan

1. Pengaruh rasio derajat desentralisasi terhadap indeks pembangunan manusia

Hipotesis pertama dalam penelitian ini adalah rasio derajat

desentralisasi berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS diperoleh angka

signifikansi dari pengaruh rasio derajat desentralisasi (X1) terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,000 <  = 0,05 sehingga signifikan.

Sedangkan angka t hitung = 8,998 > t tabel 2.0030. Dengan demikian maka H1

diterima yang berarti bahwa rasio derajat desentralisasi berpengaruh terhadap

indeks pembangunan manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Selatan pada tahun 2015-2019.

Rasio derajat desentrasilasi merupakan rasio yang menunjukkan

derajat kontribusi PAD terhadap total penerimaan daerah. Semakin tinggi

Kontribusi PAD maka semakin tinggi kemampuan pemerintah daerah dalam

penyelenggaraan desentralisasi. (Mahmudi, 2010). Derajat desentralisasi

dihitung berdasarkan perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah

dengan total penerimaan daerah.


81

Rasio Derajat Desentralisasi yang semakin tinggi menunjukan bahwa

PAD yang dimiliki Provinsi juga semakin tinggi. Dengan PAD yang tinggi

pemerintah provinsi memiliki sumber daya pendanaan yang semakin tinggi,

sehingga memungkinkan untuk melaksanakan pengadaan layanan publik yang

semakin baik bagi masyarakat. Layanan publik yang baik dapat meningkatkan

Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Marisca, dkk (2016) memperoleh hasil bahwa rasio derajat desentralisasi

fiskal memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.

2. Pengaruh rasio ketergantungan keuangan daerah terhadap indeks

pembangunan manusia

Hipotesis kedua dalam penelitian ini adalah rasio ketergantungan

keuangan daerah berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan program SPSS diperoleh angka

signifikansi dari pengaruh rasio ketergantungan keuangan daerah (X2)

terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,773 >  = 0,05 sehingga

tidak signifikan. Sedangkan angka t hitung = 0,290 < t tabel 2.0030 Dengan

demikian maka H2 Ditolak yang berarti bahwa rasio Ketergantungan keuangan

daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia

pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah dihitung dengan cara

membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh penerimaan

daerah dengan total penerimaan daerah. Perbandingan tersebut dapat

menunjukkan seberapa tinggi ketergantungan pemerintah daerah terhadap


82

pemerintah pusat, sehingga apabila pemerintah daerah memiliki

ketergantungan yang rendah dengan pemerintah pusat maka pemerintah

daerah memiliki keuangan yang baik (Mahmudi, 2010).

Apabila pemerintah daerah memiliki ketergantungan yang rendah

terhadap pemeritah pusat maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah

memiliki kondisi keuangan yang baik, sehingga pelaksanaan penyediaan

layanan publik dapat terpenuhi dengan baik dan dapat meningkatkan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Tetapi berdasarkan hasil penelitian saat ini

Kabupaten/kota Provinsi Kalimantan Selatan pada Rasio kemandirian

keuangan tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan Indeks

Pembangunan Manusia oleh karena itu kabupaten/kota provinsi kalimatan

belum bisa mandiri dalam mengelola keuangan daerah. kurangnya Pendapatan

saat ini terutama Pendaptan Asli Daerah mengakibatkan layanan publik belum

terpenuhi secara maksimal dalam hal peningkatan IPM.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hendri & Yafiza (2020) memperoleh hasil bahwa rasio ketergantungan daerah

tidak memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia .

3. Pengaruh rasio belanja modal terhadap indeks pembangunan manusia

Hipotesis Ketiga dalam penelitian ini adalah rasio belanja modal

berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Berdasarkan hasil

pengolahan data dengan program SPSS diperoleh angka signifikansi dari

pengaruh rasio belanja modal (X3) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Y)

sebesar 0,677 >  = 0,05 sehingga tidak signifikan. Sedangkan angka t hitung

= 0,418 < t tabel 2,0030. Dengan demikian maka H4 ditolak yang berarti
83

bahwa rasio belanja modal tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks

pembangunan manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan

pada tahun 2015-2019.

Menurut Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Standar

Akutansi Pemerintah (SAP), belanja modal adalah pengeluaran anggaran

untuk perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari

satu periode akutansi. Menurut Halim (2002) belanja modal dapat

dikategorikan ke dalam 5 kategori utama diantaranya adalah 1) Belanja modal

tanah, 2) Belanja modal peralatan dan mesin, 3) Belanja modal gedung dan

bangunan, 4) Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan, 5) Belanja modal fisik

lainnya.

Dalam penggunaan Belanja modal di setiap daerah digunakan untuk

melindungi dan meningkatkan kualitas masyarakat dalam upaya memenuhi

kewajiban daerah yang diwujudkan dalam bentuk peningkatan pelayanan

dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas

umum yang layak serta mengembangkan jaminan sosial dengan

mempertimbangkan analisis standar belanja, standar harga, tolak ukur kinerja

dan standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian belanja modal sangatlah penting

untuk menunjang peningkatan sumber daya manusia dan menjadikan kualitas

hidup yang lebih sejahtera.

PAD dalam sebagian besar LKPD Pemerintah Provinsi memiliki

nominal yang rendah. Hal ini tidak sebanding dengan biaya yang harus

dipenuhi dalam pos belanja. Dengan demikian walaupun PAD yang dapat
84

direalisasikan oleh pemerintah provinsi telah mencapai target atau melebihi

target yang dianggarkan, sesungguhnya PAD tidak mampu digunakan untuk

memenuhi kebutuhan yang terdapat dalam pos belanja (Anggraini Tika,2019).

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Rasio Belanja Modal

saat ini belum berpengaruh secara signifikan. belanja modal merupakan

Pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang di

tujukan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Saat ini anggaran

yang dimilki Kabupaten/kota Provinsi Kalimtan Selatan belum bisa

mencukupi dalam hal pemberiaan layanaan public untuk peningkatan IPM.

layanan publik juga membutuhkan dana bukan hanya untuk menambah

fasilitas, namun juga mempertahankan kualitas layanan publik agar tidak

menurun. Apabila anggaran untuk pemeliharaan layanan publik tidak

terpenuhi maka akan menurunkan IPM sebagai gambaran dari baik atau

buruknya layanan publik.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Hamimah Hamimah, dkk (2020) memperoleh hasil bahwa Rasio Belanja

Modal memiliki pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Perlu peran

wakil rakyat di daerah untuk mengarahkan belanja daerah

pada sektor-sektor yang dapat meningkatkan IPM, seperti peningkatan pada

fasilitas pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur produktif

4. Pengaruh rasio belanja operasi terhadap indeks pembangunan manusia

Hipotesis Keempat dalam penelitian ini adalah rasio belanja operasi

berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia. Berdasarkan hasil

pengolahan data dengan program SPSS diperoleh angka signifikansi dari


85

pengaruh rasio belanja operasi (X4) terhadap Indeks Pembangunan Manusia

(Y) sebesar 0,211 >  = 0,05 sehingga tidak signifikan. Sedangkan angka t

hitung = -1,265 < t tabel 2.0030 . Dengan demikian maka H4 ditolak yang

berarti bahwa rasio belanja operasi tidak berpengaruh signifikan terhadap

indeks pembangunan manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan

Selatan pada tahun 2015-2019.

Menurut (Halim & Kusufi, 2018) “Belanja operasi dan pemeliharaan

merupakan semua belanja pemerintah daerah yang berhubungan dengan

aktivitas atau pelayanan publik”. Kelompok belanja ini meliputi jenis belanja:

belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah, belanja bantu social.

Rasio Belanja Operasi terhadap Total Belanja merupakan perbandingan antara

total belanja operasi dengan total belanja daerah. Belanja operasi merupakan

belanja yang manfaatnya habis dikonsumsi dalam satu tahun anggaran,

sehingga belanja operasi ini sifatnya jangka pendek dan dalam hal tertentu

sifatnya rutin atau berulang (recurrent).

Semakin meningkatnya rasio belanja operasi diharapkan pemerintah

kabupaten/kota juga dapat meningkatan IPM dengan mengalokasi belanja

operasi yang bermanfaat untuk memberikan pelayanan kepada rakyat.

Terjadinya peningkatan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat

(social welfare), merupaan bentuk indikasi dari keberhasilan penerapan

desentralisasi fiskal.

Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Pradana (2015) memperoleh hasil bahwa rasio belanja operasi memiliki

pengaruh terhadap indeks pembangunan manusia.


86

5.2.6. Implikasi Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan implikasi secara

teoritis dan praktis sebagai berikut :

1. Implikasi teoritis

Hasil penelitian mengenai pengaruh rasio kinerja keuangan daerah

terhadap indeks pembangunan manusia (studi pada Kabupaten/Kota di

Provinsi Kalimantan Selatan 2015-2019) dapat dijadikan sebagai bahan

kontribusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di dalam bidang

pemerintahan khususnya yang berkaitan dengan indeks pembangunan

manusia. Dapat dijadikan sebagai media pemahaman dan ilmu tambahan

mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap indeks pembangunan

manusia. Selain itu dapat menjadi bahan referensi tambahan bagi pihak-pihak

lain yang akan melakukan penelitian lebih lanjut mengenai indeks

pembangunan manusia.

2. Implikasi praktis

Hasil penelitian mengenai pengaruh rasio kinerja keuangan daerah

terhadap indeks pembangunan manusia. dapat dijadikan sebagai bahan

masukan bagi lembaga pendidikan akuntansi atau fakultas ekonomi dalam

upaya meningkatkan kualitas pengajaran agar menghasilkan lulusan sarjana

ekonomi akuntansi yang berkualitas, Serta sebagai bahan evaluasi bagi

pemerintah dan sebagai acuan agar dapat meningkatkan kualitas kinerja dalam

hal peningkatan Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota Provinsi

Kalimantan Selatan.

5.2.7. Keterbatasan Penelitian


87

Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Penelitian ini memiliki keterbatasan dengan belum mempertimbangkan

secara rinci akan indikator- indikator utama dari IPM, yaitu indikator

kesehatan, tingkat pendidikan, dan indikator ekonomi, dengan tiga dimensi

dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, dan standar hidup

layak. Penelitian berikutnya dapat mempertimbangkan untuk memper dalam

pengujian dan pengkajian pada aspek tersebut.

2. Terjadinya ketidak normalan data yang di karenakan berfluktuasi data antara

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan selatan, sehingga data yang tidak

normal harus di lakukan tranformasi data terlebih dahulu.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Angka signifikansi dari pengaruh rasio derajat desentralisasi (X1) terhadap

Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,000 <  = 0,05 dan angka t

hitung = 7,425 > t tabel 1,995. Hal ini berarti bahwa rasio derajat
88

desentralisasi berpengaruh terhadap indeks pembangunan manusia pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

2. Angka signifikansi dari pengaruh rasio ketergantungan keuangan daerah

(X2) terhadap Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,773 >  = 0,05

sehingga tidak signifikan. Sedangkan angka t hitung = 0,290 < t tabel

2.0030 Dengan demikian maka H2 Ditolak yang berarti bahwa rasio

Ketergantungan keuangan daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap

indeks pembangunan manusia pada Kabupaten/Kota di Provinsi

Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019

3. Angka signifikansi dari pengaruh rasio belanja modal (X3) terhadap Indeks

Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,574 >  = 0,05 dan angka t hitung =

0,566 < t tabel 1,995. Hal ini berarti bahwa rasio belanja modal tidak

berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

4. Angka signifikansi dari pengaruh rasio belanja operasi (X4) terhadap

Indeks Pembangunan Manusia (Y) sebesar 0,130 >  = 0,05 dan angka t

hitung = 1,536 < t tabel 1,995. Hal ini berarti bahwa rasio belanja operasi

tidak berpengaruh signifikan terhadap indeks pembangunan manusia pada

Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2015-2019.

6.2. Saran

Berdasarkan simpulan di atas maka saran yang dapat diberikan dari

hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :


89

1. Bagi pemerintahan Kabupaten/Kota Provinsi Kalimantan Selatan,

sebaiknya memperhatikan rasio derajat desentralisasi dan rasio

Ketergantungan keuangan daerah. Karena faktor tersebut dapat

mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia di Kabupaten/Kota

Provinsi Kalimantan Selatan.

2. Tingkat ketergantungan yang rendah menjadi problem serius bagi

pemerintah daerah. Oleh karenanya setiap Kabupaten/kota harus bisa

menggali peluang untuk meningkatkan pendapatan daerah seperti dari

sector pariwisata ang ada pada Kabupaten/kota tersebut.

3. Penelitian ini masih perlu dikembangkan lebih lanjut, karena masih

banyak aspek-aspek variable lainnya yang bisa dikaji lebih lanjut dalam

rangka upaya untuk peingkatan Indeks Pembangunan Manusia di

Kalimantan Selatan

4. Komponen rasio Ketergantngan keuangan daerah terutama PAD harus

lebih ditingkatkan perolehannya. Serta lebih dioptimalkan

penggunaannya, karena dapat memberikan keuntungan bagi perolehan

PAD yang bermanfaat untuk meningkatkan pembangunan manusia.

5. Pertumbuhan ekonomi harus lebih ditingkatkan lagi, dan peningkatan

pertumbuhan ekonomi berasal dari peningkatan faktor-faktor produksi.

Peningkatan faktor produksi tidak lepas dari kualitas SDM dan

pembangunan manusia yang disebabkan oleh jenjang pendidikan yang

telah ditempuh oleh penduduk kabupaten dan kota provinsi Kalimantan

selatan.
90

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Y., Zulkarnain, M., Maifizar, A., Tinggi, S., & Manajemen, I. (2019).

Pengukuran Kesejahteraan Masyarakat Melalui Kinerja Keuangan Daerah

Terhadap Indeks Pembangunan Manusia Di Kabupaten Aceh Timur. 5, 157–

167.
91

Bahri, S. (2018). Metode Penelitian Bisnis - Lengkap Dengan Teknik Pengolahan

Data SPSS. Yogyakarta: ANDI.

Binus, U. (2015, september 22). Unsur-unsur Dalam Laporan Keuangan

Pemerintah. Retrieved from accounting.binus.ac.id:

https://accounting.binus.ac.id/2015/09/22/unsur-unsur-dalam-laporan-

keuangan-pemerintah

BPS. (2013). Indeks Pembangunan Manusia 2013. Retrieved from bps.go.id:

https://ipm.bps.go.id/assets/files/ipm_2013.pdf

BPS. (2015). Indeks Pembangunan Manusia. Retrieved from ipm.bps.go.id:

https://ipm.bps.go.id/page/ipm

DJKN. (2017, Mei 04). Meningkatkan Kualitas Belanja Pemerintah. Retrieved

from djkn.kemenkeu:

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12554/Meningkatkan-

Kualitas-Belanja-Pemerintah.html

Halim, A., & Kusufi, M. S. (2018). Akuntansi Keuangan Daerah (4 ed.). Jakarta

Selatan: Selemba Empat.

Hamimah, Z. (2020). Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Ipm

Kabupaten/Kota Di Jawa Barat. Riset, Ekonomi, Akuntansi Dan Perpajakan

(Rekan), 1(2), 11–18. https://doi.org/10.30812/rekan.v1i2.922

Harliyani, E. M., & Haryadi, H. (2016). Pengaruh Kinerja Keuangan Pemerintah

Daerah Terhadap Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi Jambi. Jurnal

Perspektif Pembiayaan Dan Pembangunan Daerah, 3(3 SE-), 129–140.

https://online-journal.unja.ac.id/JES/article/view/3514
92

Hendri, Z., & Yafiza, M. (2020). Pengaruh Rasio Keuangan Pemerintah Daerah

Terhadap Indeks Pembangunan Manusia. JAS (Jurnal Akuntansi Syariah),

4(1), 56–66.

Herlan Suherlan. (2013). Pengaruh Belanja Modal Dan Pendapatan Asli Daerah

(Pad) Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota Di Provinsi

Kalimantan Barat. None, 1(1).

Hidarini, R. A., Dwi, A., & Bawono, B. (2018). Peran Belanja Pendidikan dan

Belanja Perlindungan Sosial sebagai Variabel Moderating terhadap

Hubungan Ruang Fiskal dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) (Studi

Empiris di Seluruh Kabupaten / Kota di Indonesia Tahun 2018). 285–296.

Hudaya, D. B. (2019). Pengaruh Rasio Keuangan Daerah Terhadap Indeks

Pembangunan Manusia. repository.stieykpn.ac.id.

Ibrahim. (2014). Perencanaan Penganggaran Daerah.

Ikhsan, A., Aziza, N., Hayat, A., Lesmana, S., Albra, W., Khadafi, M., et al.

(2018). Metodologi Penelitian Bisnis Untuk Skripsi, Thesis & Disertasi.

Medan: MADENATERA.

Indonesia, R. (1945). Undang-Undang Dasar

1945.http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf

Iqbal, A., & F., W. M. (2020). Analisis Data Penelitian Bisnis. Kediri: Muara

Books.

Khairudin, K., Aminah, A., & Redaputri, A. P. (2020). Pentingnya kinerja

keuangan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat


93

di indonesia. Akuntabel, 17(1), 148–151.

http://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/AKUNTABEL/article/view/7336

Mahmudi. (2010). Analisis Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah.

Yogyakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen.

Mahsun, M., Sulistiyowati, F., & Purwanugraha, H. A. (2013). Akuntansi Sektor

Publik. Yogyakarta: BPFE-Yogyakatya.

Mandowen, A. (2017, Agustus 31). Kajian Teoritis Pengeluaran Pemerintah

Melalui Belaja Publik. Retrieved from slideshare.ne:

https://www.slideshare.net/chesarra/kajian-teoritis-pengeluaran-

pemerintah-melalui-belanja-publik

Mardiasmo. (2009). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.

Nainggolan, E. U. (2020, Januari 23). Kepala Daerah Mau, Daerah Maju.

Retrieved from

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12954/Kepala-Daerah-

Mau-Daerah-Maju.html:

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/12954/Kepala-Daerah-

Mau-Daerah-Maju.html

Pengajarku. (2020, 12 1). Pengertian Desentralisasi. Retrieved from pengajar:

https://pengajar.co.id/desentralisasi-adalah/

Rahmadewi, D. E. (2018). Pendapatan Asli Daerah, Pendapatan Transfer,

Penerimaan Pembiayaan Dan Realisasi Belanja Modal Provinsi Bengkulu.

Universitas Pancasila, 108–118.


94

RehiaSebayang. (2020, desember 20). UNDP: Indeks Pembangunan Manusia

Indonesia Tinggi di 2019. Retrieved from idntimes:

https://www.idntimes.com/news/indonesia/rehia-indrayanti-br-

sebayang/undp-indeks-pembangunan-manusia-indonesia-tinggi-di/2

Rochman, R. A. (2013). Determinan Indeks Pembangunan Manusia Di

Kabupaten/Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur. Persepsi Masyarakat

Terhadap Perawatan Ortodontik Yang Dilakukan Oleh Pihak Non

Profesional, 53(9), 1689–1699.

Setiawan, s. (2021, Februari 4). Pengertian Indeks Pembangunan Manusia.

Retrieved from gurupendidikan: https://www.gurupendidikan.co.id/indeks-

pembangunan-manusia/

Solihin, & Rian. (2009). Peranan Anggaran Pengeluaran Kas Sebagai Alat Bantu

Dalam Menunjang Efektivitas Pengendalian Realisasi Pengeluaran Kas

(Studi Kasus Pada Bagian Keuangan Pemerintah Kota Bandung).

Retrieved from repository.widyatama.ac.id:

https://repository.widyatama.ac.id/xmlui/handle/123456789/7003

Statistik, B. P. (n.d.). Pengeluaran untuk layanan pokok (pendidikan, kesehatan

dan perlindungan sosial) sebagai persentase dari total belanja pemerintah

(Persen). Retrieved from .bps.go.id:

https://www.bps.go.id/indikator/indikator/view_data/0000/data/1759/sdgs

_1/2

Sujarweni, V. W. (2015). Statistik Untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta:

Pustaka Baru Press.


95

Sumardjoko, I. (2018). Penguatan Kinerja Keuangan Daerah Wilayah Kepulauan

dan Implikasinya terhadap Perubahan Fundamental Ekonomi Regional.

Kementerian Keuangan, 3(3), 1–102. http://www.djpk.kemenkeu.go.id

Surkati, A. (2012). Otonomi Daerah sebagai Instrumen Pertumbuhan.

Susen Pake, S. D., Kawung, G. M., & Antonius Y. Luntungan. (2018). Pengaruh

Pengeluaran Pemerintah Pada Bidang. Berkala Ilmiah Efisiensi,

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jbie/article/view/20877.

Yulianti, A. (2018). Sinkronisasi Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan

Daerah. Retrieved from bappeda.babelprov:

http://bappeda.babelprov.go.id/content/sinkronisasi-perencanaan-dan-

penganggaran-pembangunan-daerah

LAMPIRAN

Obejek Tahun X1 X2 X3 X4 Y
Kota Banjarmasin 0,16 0,83 0,24 0,76 75.41
Kota Banjarbaru 0,16 0,84 0,44 0,56 77.56
2015
Kab. Banjar 0,11 0,88 0,21 0,78 66.39
Kab. Barito Kuala 0,06 0,94 0,38 0,62 63.53
96

Kab. Tapin 0,05 0,90 0,39 0,61 67.67


Kab Hulu Sungai Selatan 0,09 0,91 0,32 0,68 66.31
Kab Hulu Sungai Tengah 0,08 0,89 0,27 0,73 66.56
Kab. Hulu Sungai Utara 0,09 0,86 0,33 0,67 62.49
Kab. Balangan 0,05 0,89 0,35 0,65 65.34
Kab. Tabalong 0,10 0,90 0,29 0,71 69.35
Kab Tanah Laut 0,11 0,78 0,34 0,66 66.99
Kab. Tanah Bumbu 0,09 0,87 0,26 0,74 67.58
Kab. Kota Baru 0,11 0,89 0,30 0,70 66.61

Obejek Tahun X1 X2 X3 X4 Y
Kota Banjarmasin 0,16 0,83 0,24 0,76 75.94
Kota Banjarbaru 0,16 0,84 0,42 0,58 77.96
Kab. Banjar 0,11 0,89 0,21 0,79 66.87
Kab. Barito Kuala 0,05 0,95 0,37 0,63 64.33
Kab. Tapin 0,05 0,94 0,33 0,67 68.05
Kab Hulu Sungai 0,08 0,91 0,32 0,68 67.52
Selatan
Kab Hulu Sungai 0,08 0,79 0,31 0,69 67.07
2016
Tengah
Kab. Hulu Sungai 0,08 0,92 0,34 0,66 63.38
Utara
Kab. Balangan 0,05 0,95 0,36 0,64 66.25
Kab. Tabalong 0,09 0,91 0,36 0,64 70.07
Kab Tanah Laut 0,10 0,79 0,38 0,62 67.44
Kab. Tanah Bumbu 0,08 0,89 0,23 0,77 68.28
Kab. Kota Baru 0,10 0,90 0,27 0,73 67.10

Obejek Tahun X1 X2 X3 X4 Y
Kota Banjarmasin 0,22 0,78 0,17 0,83 76.46
Kota Banjarbaru 0,23 0,77 0,31 0,69 78.32
Kab. Banjar 0,11 0,85 0,17 0,83 67.77
Kab. Barito Kuala 0,08 0,88 0,23 0,77 64.93
0,09 0,91 0,22 0,78 68.70
Kab Hulu Sungai Selatan 0,12 0,87 0,23 0,77 67.80
2017
Kab Hulu Sungai Tengah 0,11 0,95 0,33 0,67 67.78
Kab. Hulu Sungai Utara 0,12 0,87 0,21 0,79 64.21
Kab. Balangan 0,08 0,91 0,31 0,69 67.25
Kab. Tabalong 0,14 0,86 0,32 0,68 70.76
Kab Tanah Laut 0,14 0,67 0,35 0,65 68.00
Kab. Tanah Bumbu 0,11 0,88 0,19 0,80 69.12
97

Kab. Kota Baru 0,09 0,88 0,18 0,82 67.79

Obejek Tahun X1 X2 X3 X4 Y
Kota Banjarmasin 0,18 0,79 0,22 0,78 76.83
Kota Banjarbaru 0,21 0,76 0,27 0,73 78.83
Kab. Banjar 0,11 0,86 0,19 0,81 68.32
Kab. Barito Kuala 0,08 0,89 0,28 0,72 65.91
Kab. Tapin 0,08 0,91 0,23 0,77 69.53
Kab Hulu Sungai Selatan 0,10 0,88 0,24 0,76 68.41
Kab Hulu Sungai Tengah 2018 0,08 0,80 0,23 0,77 68.32
Kab. Hulu Sungai Utara 0,09 0,89 0,23 0,77 65.06
Kab. Balangan 0,05 0,94 0,26 0,74 67.88
Kab. Tabalong 0,12 0,87 0,27 0,73 71.14
Kab Tanah Laut 0,08 0,76 0,25 0,75 68.49
Kab. Tanah Bumbu 0,12 0,88 0,19 0,81 70.05
Kab. Kota Baru 0,09 0,88 0,19 0,81 68.32

Obejek Tahun X1 X2 X3 X4 Y
Kota Banjarmasin 0,20 0,76 0,27 0,73 77.16
Kota Banjarbaru 0,23 0,74 0,30 0,70 79.22
Kab. Banjar 0,12 0,86 0,21 0,79 68.94
Kab. Barito Kuala 0,06 0,78 0,26 0,74 66.24
Kab. Tapin 0,07 0,90 0,25 0,75 70.13
Kab Hulu Sungai Selatan 0,11 0,87 0,28 0,72 68.80
2019
Kab Hulu Sungai Tengah 0,10 0,78 0,23 0,76 68.80
Kab. Hulu Sungai Utara 0,11 0,87 0,23 0,77 65.49
Kab. Balangan 0,05 0,93 0,26 0,74 68.39
Kab. Tabalong 0,11 0,87 0,27 0,73 71.78
Kab Tanah Laut 0,09 0,76 0,21 0,79 69.04
Kab. Tanah Bumbu 0,08 0,90 0,32 0,68 70.50

LAMPIRAN

Output Analisis Data Menggunakan SPSS 25

1. Statistik Deskriptif
Descriptive Statistics
Maximu Std.
N Minimum Mean
m Deviation
98

X1 70 .05 .57 .1355 .11611


X2 70 .05 1.32 .1964 .26587
X3 70 .17 .44 .2754 .06167
X4 70 .56 .83 .7243 .06164
Y 70 62.49 79.22 69.1349 3.87513
Valid N
70
(listwise)
Sumber: Lampiran (data diolah 2021)

2. Uji Asumsi Klasik


2.1. Uji Normalitas
1. Grafik

2. Hasil Kolmogorov Smirnov

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test


Unstandardized
Residual
N 70
a,b
Normal Parameters Mean .0000000
Std. Deviation 2.46305096
Most Extreme Absolute .081
Differences Positive .054
Negative -.081
Test Statistic .081
Asymp. Sig. (2-tailed) .200c,d
a. Test distribution is Normal.
b. Calculated from data.
c. Lilliefors Significance Correction.
d. This is a lower bound of the true significance.
99

2.2 Uji Multikolinieritas

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std. VIF
B Beta Tolerance
Error
1 (Constant) 65.376 8.111 8.060 .000
X1 77.680 8.633 .846 8.998 .000 .603 1.659
X2 1.841 6.341 .027 .290 .773 .605 1.653
LNX3 -.551 1.318 -.031 -.418 .677 .998 1.002
X4 -5.890 4.655 -.093 -1.265 .211 .986 1.014
a. Dependent Variable: Y

2.3 Uji Multikolinieritas


1. Glejser

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Model Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta Tolerance VIF
(Constant) 5.937 4.520 1.313 .194
X1 1.261 4.810 .042 .262 .794 .603 1.659
1 X2 2.358 3.534 .106 .667 .507 .605 1.653
LNX3 -1.061 .735 -.179 -1.445 .154 .998 1.002
X4 -3.833 2.594 -.184 -1.478 .145 .986 1.014
a. Dependent Variable: ABS_RES2

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

2.4. Uji Autokorelasi


1. Durbin-Watson Statistik
100

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Durbin-Watson
Square Estimate
a
1 .825 .680 .659 2.34407 1.978
a. Predictors: (Constant), X4, LNX3, X2, X1
b. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

2. Analisis Regresi Linier Berganda

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std. VIF
B Beta Tolerance
Error
1 (Constant) 65.376 8.111 8.060 .000
X1 77.680 8.633 .846 8.998 .000 .603 1.659
X2 1.841 6.341 .027 .290 .773 .605 1.653
LNX3 -.551 1.318 -.031 -.418 .677 .998 1.002
X4 -5.890 4.655 -.093 -1.265 .211 .986 1.014
a. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

4. Uji Fit Model


4.1. Koefisien Determinasi R2

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of the
Model R R Square Durbin-Watson
Square Estimate
a
1 .825 .680 .659 2.34407 1.978
a. Predictors: (Constant), X4, LNX3, X2, X1
b. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

5. Pengujian Hipotesis
5.1 Uji Statistik t
101

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Collinearity Statistics
Coefficients Coefficients
Model t Sig.
Std. VIF
B Beta Tolerance
Error
1 (Constant) 65.376 8.111 8.060 .000
X1 77.680 8.633 .846 8.998 .000 .603 1.659
X2 1.841 6.341 .027 .290 .773 .605 1.653
LNX3 -.551 1.318 -.031 -.418 .677 .998 1.002
X4 -5.890 4.655 -.093 -1.265 .211 .986 1.014
a. Dependent Variable: Y

Sumber: data sekunder yang diolah, 2021

Anda mungkin juga menyukai