2965 17263 1 PB

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 16

BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi

Jurnal.unmuhjember.ac.id/index.php/BIOMA
p-ISSN 2527 – 7111
e-ISSN 2528 – 1615

Vegetasi di Lereng Selatan Taman Nasional Gunung Merapi Tahun


2021

Vegetation on The Southern Slope of Taman Nasional Gunung Merapi


In 2021

Atilla Nur Melania Aprilianti*), Aniza Az Zahra Ba’it, Azma Azizah Nurul
Ummah, Delta Miranda, Maya Rachmayani, Rizka Atika Nur Azizah
Program Studi Pendidikan Biologi, FMIPA, UNY Yogyakarta, DIY, Indonesia
*)
[email protected]

diterima : 17 April 2021; dipublikasi : 30 Oktober 2021


DOI: 10.32528/bioma.v6i2.2965

ABSTRAK
Erupsi Gunung Merapi menyebabkan kawasan Taman Nasional Gunung Merapi
(TNGM) sering mengalami suksesi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
keanekaragaman vegetasi, spesies dominan, dan indeks keanekaragaman yang terdapat
di kawasan tersebut. Penelitian menggunakan metode analisis vegetasi yaitu observasi
lapangan secara langsung dengan metode representative random sampling. Hasil
penelitian ditemukan 8 spesies dari 6 famili. Spesies-spesies tersebut terbagi ke dalam 4
habitus yang meliputi tegakan (1 spesies), semak (3 spesies), herba (3 spesies), dan
lumut (1 spesies). Pada vegetasi herba, spesies yang dominan, yaitu Pteridium
esculentum (G.Forst.) Cockayne dengan INP 146,88%, pada vegetasi semak spesies
yang dominan yaitu Cymbopogon citratus (DC.) Stapf dengan INP 193,55%. Indeks
keanekaragaman yang tertinggi diperoleh pada habitus herba dengan nilai 0,45, dimana
spesies herba paling banyak ditemukan di kawasan tersebut. Indeks keanekaragaman
yang terendah diperoleh pada dua habitus, yaitu tegakan dan lumut dengan nilai 0,00,
dimana hanya ditemukan satu spesies pada masing-masing habitus tersebut.
Kata kunci: Analisis vegetasi, Taman Nasional Gunung Merapi

ABSTRACT
The eruption of Mount Merapi causes Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)
area to experience frequent successions. This study aims to analyze diversity of
vegetation, dominant species, and diversity index that exists in that area. This research
focuses on vegetation analysis method. It is an observation and direct monitoring using
the representative random sampling method. Our research found 8 species from 6
families. These species are divided into 4 habitus which include stands (1 species),
shrubs (3 species), herbs (3 species), and mosses (1 species). In herbaceous vegetation,
the dominant species there is Pteridium esculentum (G.Forst.) Cockayne with an INP of
146.88%, whereas in shrub vegetation the dominant species is Cymbopogon citratus
(DC.) Stapf with an INP of 193.55%. The highest diversity index was obtained in
herbaceous habitus with a value of 0.45, where the most widely found herbaceous
species in the region. The lowest diversity index was obtained in two habitus, namely
stands and moss with a value of 0,00, where only one species was found in each habitus.
Keywords: Vegetation analysis, Taman Nasional Gunung Merapi
Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 144
BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

PENDAHULUAN
Gunung Merapi berlokasi di Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah
satu gunung berapi paling aktif dan berbahaya di dunia (Surono et al., 2012, p. 121).
Gunung Merapi memiliki ketinggian 2.968 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Gunung Merapi termasuk gunung berapi aktif di Indonesia, dalam deretan Ring of Fire
yang terletak di sisi selatan kepulauan Nusantara (Pulau Jawa) (Sutanta, 2021, p. 54).
Sejak tahun 2004, Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) mencakup wilayah hutan
di sekitar puncak Gunung Merapi (Subiantoro & Handziko dalam Purnomo et al., 2016,
p. 63).
TNGM merupakan salah satu taman nasional yang dijadikan sebagai kawasan
pelestarian alam dengan ekosistem asli. Kawasan TNGM merupakan perpaduan antara
ekosistem gunung berapi dengan hutan dataran tinggi dan pegunungan. TNGM dikelola
dengan manajemen zonasi serta dimanfaatkan untuk kegiatan penelitian, ilmu
pengetahuan, dan pendidikan yang tidak terlepas dari fungsi pelestarian alam. Tanggal 4
Mei 2004 dilakukan penetapan perubahan fungsi Hutan Gunung Merapi menjadi Taman
Nasional Gunung Merapi sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No.134/Menhut-II/2004
tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata
Alam (Wijayati & Rijanta, 2020, p. 102).
Ekosistem hutan adalah hubungan antara kumpulan beberapa populasi baik itu
hewan maupun tumbuhan pada suatu kawasan dan membentuk satu kesatuan ekosistem
yang mampu mengadakan interaksi dengan lingkungannya (Latumahina et al., 2019, p.
28). Suatu ekosistem dapat mengalami kerusakan yang disebabkan oleh letusan gunung
berapi, tanah longsor, penambangan pasir maupun disebabkan oleh ulah manusia. Hal
ini menyebabkan perubahan pada ekosistem baik sebagian maupun keseluruhan yang
diikuti perubahan jenis dan jumlah vegetasi pada daerah tersebut (Utami et al., 2021, p.
54). Ekosistem hutan harus dijaga kelestariannya agar sumber daya hayati di dalamnya
dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan demi kesejahteraan bangsa Indonesia
(Maharadatunkamsi et al., 2016, p. 51).
Erupsi Gunung Merapi terbesar terjadi pada Oktober 2010. Erupsi tersesbut
berdampak langsung terhadap lingkungan sekitar Gunung Merapi, yakni terjadinya
kerusakan ekosistem. Adanya kerusakan ekosistem tersebut, disebabkan oleh awan
panas, lahar, dan debu vulkanik dalam jumlah yang sangat besar (Shabirin et al., 2020,
Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 145
BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

p. 61). Penelitian ini dilakukan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dengan
tujuan untuk mengetahui keanekaragaman vegetasi, spesies dominan, dan indeks
keanekaragaman yang terdapat di kawasan tersebut sembilan tahun pasca erupsi.

METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2019. Lokasi pengambilan data
bertempat di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, Dusun Kinahrejo, Kec.
Cangkringan, Kab. Sleman, DIY. Tepatnya, penelitian dilakukan di stasiun 1 dengan
ketinggan 1.171 mdpl, pada titik koordinat: S07°34’46.8″, E110°26’51.4″. Identifikasi
tumbuhan serta pengolahan data dilakukan di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Negeri Yogyakarta.
Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang dilaksanakan adalah penelitian deskriptif. Penelitian ini
bertujuan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, mengidentifikasi, mengklasifikasi,
dan menginventarisasi secara keseluruhan data tumbuhan yang ada di kawasan tersebut.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua jenis tumbuhan yang terdapat di
Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi. Sampel dalam penelitian ini adalah jenis-
jenis tumbuhan yang teramati di stasiun 1 kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah suhu udara, kelembaban, intensitas
cahaya, dan kecepatan angin. Variabel tergayut dalam penelitian ini, adalah jenis,
jumlah, dan persentase penutupan kanopi tumbuhan.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain handphone/kamera, GPS
(GPS Essentials), termometer, lux meter, anemometer, hygrometer, soil tester, meteran,
tali rafia, patok, gunting, alat tulis, aplikasi identifikas tumbuhan (PlantNet: Plant
Identification). Bahan yang digunakan, yaitu tumbuhan, plastik klip, dan label.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan analisis vegetasi dengan pembuatan petak kuadrat
ukuran 4x4 m2 sebanyak 2 kali, sehingga dihasilkan luas area sejumlah 32 m2. Metode

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 146


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

analisis vegetasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengamatan dan
pemantauan (observasi lapangan) secara langsung dengan representative random
sampling. Kemudian, dilakukan pencatatan setiap jenis tumbuhan dan presentase
penutupan kanopinya pada setiap plot. Selain itu, dilakukan pengukuran parameter
abiotik yang meliputi suhu udara, kelembaban, intensitas cahaya, dan kecepatan angin.
Teknik Analisis Data
Luas area tertutup oleh spesies ke - n
Dominansi Absolut Spesies ke-n =
Total luasan area plot
Dominansi absolut spesies ke - n
100%
Dominansi Relatif Spesies ke-n = Jumlah dominansi seluruh spesies
Jumlah individu spesies ke - n
Densitas Absolut Spesies ke-n = Total luasan area plot
Densitas absolut spesies ke - n
100%
Densitas Relatif Spesies ke-n = Jumlah to tal densitas semua spesies
Jumlah plot yang ditempati oleh spesies ke - n
Frekuensi Absolut Spesies ke-n = Jumlah seluruh plot
Frekuensi absolut spesies ke - n
Frekuensi Relatif Spesies ke-n = Jumlah frekuensi seluruh spesies
Indeks Nilai Penting = Densitas relatif  Dominansi relatif  Frekuensi relatif

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Ĥ) =


-  ni 
N
  
log ni
N

Keterangan :
Ĥ = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
N = Jumlah individu dari seluruh jenis (total jumlah individu)
ni = Jumlah individu jenis ke i

HASIL DAN PEMBAHASAN


Pada penelitian yang berlokasi di Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi di
Dusun Kinahrejo, Kec. Cangkringan, Kab. Sleman, DIY dengan ketinggian 1.171 mdpl,
pada titik koordinat S07°34’46.8″, E110°26’51.4″ ditemukan delapan spesies dari enam
famili. Spesies-spesies tersebut juga terbagi ke dalam ke dalam empat habitus yang
meliputi tegakan, semak, herba, dan lumut. Pembagian spesies ke dalam masing-masing
habitus nya dapat dilihat pada Tabel 1.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 147


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

Tabel 1. Pembagian Spesies Tumbuhan ke Masing-masing Habitus


No. Habitus Spesies
A. TEGAKAN 1. Trema orientalis (L.) Blume
B. SEMAK 2. Panicum maximum Jacq.
3. Cymbopogon citratus (DC.) Stapf
4. Anaphalis javanica (Reinw.ex Bl.) Schultz ex Boerl.
C. HERBA 5. Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott.
6. Pteridium esculentum (G.Forst.) Cockayne
7. Brachypodium retusum (Pers) P.Beauv
D. LUMUT-LICHEN 8. Anthoceros punctatus L.

Analisis Vegetasi
 Vegetasi Tegakan
Berdasarkan hasil penelitian, pada lokasi pengambilan sampel hanya
terdapat satu spesies pada vegetasi tegakan, yakni Trema orientalis (L.) Blume.
Secara morfologi, batang dari vegetasi ini yaitu tegak, silindris, dan berkayu.
Menurut Rizal dan Sutriana (2019, p. 60), kayu T. orientalis berwarna hitam
kecoklatan. T. orientalis memiliki daun yang majemuk, berseling, lonjong dimana
pada bagian ujung daun ujung runcing. Berdasarkan karakteristiknya, T. orientalis
memiliki klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Urticales
Famili : Ulmaceae
Genus : Trema
Spesies : Trema orientalis (L.) Blume (Mangopang, 2016, p. 122)
 Vegetasi Semak
Berdasarkan hasil penelitian, pada lokasi pengambilan sampel terdapat tiga
spesies pada vegetasi semak, antara lain Panicum maximum Jacq., Cymbopogon
citratus (DC.) Stapf, dan Anaphalis javanica (Reinw.ex Bl.) Schultz ex Boerl.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 148


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

Menurut Kaunang et al. (2019, p. 176), P. maximum merupakan salah satu spesies
rumput yang paling baik untuk produktivitas sapi potong. Rumput ini biasanya
tumbuh pada daerah dataran rendah sampai pegunungan 0 – 1.200 mdpl.
Kingdom : Plantae
Divisi : Tracheophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Panicum
Spesies : Panicum maximum Jacq. (http://bengkulu.litbang.pertanian.go.id)
C. citratus dapat tumbuh hingga 1-1,5 m, daunnya berwarna hijau dengan
panjang mencapai 70-80 cm dan lebarnya 2-5 cm, permukaan daun kasar, serta
memiliki aroma wangi yang kuat (Mosse et al., 2021, p. 18). C. citratus merupakan
tumbuhan tahunan berbatang semu yang membentuk rumpun tebal. Akar C. citratus
berwarna coklat muda dan berimpang pendek (Sastrapradja dalam Wilis et al., 2017,
p. 1). Menurut Nuritasari (2017, p. 10), C. citratus memiliki klasifikasi sebagai
berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Cymbopogon
Spesies : Cymbopogon citratus (DC.) Stapf
A. javanica merupakan tumbuhan endemik zona alpina atau montana di
berbagai pegunungan tinggi Nusantara. A. javanica dapat mencapai umur 100 tahun,
sehingga disebut bunga abadi. Tumbuhan ini memiliki daun yang panjang, tipis,
berbulu lebat, dan tersebar atau berhadapan, termasuk daun tunggal, bertepi rata,
mempunyai pelepah, dan berbau harum. A. javanica berakar tunggal yang terdapat
serabut-serabut pada percabangan akar (Wahyudi, 2010, p. 10). Berdasarkan
karakteristiknya, A. javanica memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 149


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
Famili : Asteraceae
Genus : Anaphalis
Spesies : Anaphalis javanica (Reinw.ex Bl.) Schultz ex Boerl. (Aliadi dalam
Hamzah, 2010, p. 9)
 Vegetasi Herba
Herba adalah tumbuhan yang pendek dan kecil, mengandung banyak air
dan tidak berkayu sehingga batang tumbuhan herba basah. Berdasarkan hasil
penelitian, pada lokasi pengambilan sampel terdapat tiga jenis vegetasi herba, antara
lain Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott., Pteridium esculentum (G.Forst.)
Cockayne, dan Brachypodium retusum (Pers) P.Beauv.
N. biserrata merupakan Pteridophyta epifit, memiliki akar rimpang tegak,
berdaun rapat. Tulang daun sejajar, berdekatan rapat, anak daun steril, bertepi rata
atau beringgit bergerigi lemah. N. biserrata memiliki klasifkasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Pteridopsida
Ordo : Polypodiales
Famili : Dryopteridaceae
Genus : Nephrolepis
Spesies : Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott. (Fajrina et al., 2019, p. 42)
P. esculentum termasuk pteridophyta terestrial. Daun berwarna hijau muda
mengkilap. Bentuk daun majemuk menyirip, ujung daun runcing, pangkal daun
membulat, bangun daun delta, daun akhir kecil dan sempit berwarna coklat, serta
percabangan bebas (Rizkiani, 2019, p. 35). Sori terletak di submarginal.
Kelembaban yang cukup dan tempat berlindung dari angin merupakan faktor
penting dalam perkecambahan spora tumbuhan ini. Pada tanah yang tidak steril
(tidak terkena panas), spora dapat berkecambah. Suhu antara 59ºF dan 86ºF

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 150


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

umumnya terbaik untuk perkecambahan, meskipun pakis-pakis mampu


berkecambah di suhu 33ºF-36ºF. Klasifikasi P. esculentum adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Pteridophyta
Kelas : Pteridopsida
Ordo : Dennstaedtiales
Famili : Dennstaedtiaceae
Genus : Pteridium
Spesies : Pteridium esculentum (G.Forst.) Cockayne (Rizkiani, 2019, p. 35)
B. retusum merupakan tanaman rimpang dengan batang tipis, telanjang di
bagian atas, dan bercabang. B. retusum membentuk lapisan di bawah semak-semak,
hutan pinus, dan di padang rumput kering. B. retusum memperoleh rona kekuningan
di musim panas, memiliki pertumbuhan yang lambat. B. retusum memiliki
klasifikasi sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Brachyipodium
Spesies : Brachypodium retusum (Pers) P.Beauv (Imtiyaz et al., 2019, p. 173)
Tumbuhan ini sangat berguna di lereng kering dan berbatu untuk fiksasi,
stabilisasi, dan perlindungan tanah. Cocok untuk pemeliharaan kebun yang rendah,
di daerah kering dan cerah atau di tempat teduh sedang. Sangat berguna juga di
bebatuan, kelompok rumput dan di kebun dekat laut. Cocok sebagai pelapis,
ditanam dengan kepadatan 6-8 tanaman/m2.
 Vegetasi Lumut
Hanya terdapat satu spesies pada vegetasi lumut yakni Anthoceros
punctatus L. Tubuh utama adalah gametofit berwarna biru gelap, berlekuk-lekuk,
dan bentuknya agak bulat. Sporofit umumnya berbentuk kapsul/silinder yang
berbulir. Dasar kapsul meluas ke arah bawah sebagai kaki, suatu organ untuk
melekat dan menyerap, terbenam dalam-dalam pada jaringan talusnya (Febrianti,
Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 151
BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

2015, p. 59). Daun dari lumut jenis ini berwarna hijau keabu-abuan. Hal ini
disebabkan karena adanya abu vulkanik Gunung Merapi yang mengenai daun dari
A. punctatus. Klasifikasi A. punctatus adalah sebagai berikut :
Kingdom : Bryophyta
Kelas : Anthocerotopsida
Ordo : Anthocerotopsidales
Famili : Anthocerotaceae
Genus : Anthoceros
Spesies : Anthoceros punctatus L. (https://www.itis.gov.com)

Indeks Nilai Penting (INP)


Salah satu tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui spesies dominan.
Spesies dominan dapat ditunjukkan dengan Indeks Nilai Penting atau INP. Indeks ini
menunjukkan kepentingan atau tingkat dominansi suatu spesies-spesies dalam suatu
komunitas tumbuhan. Spesies dengan indeks nilai penting yang tinggi merupakan yang
paling dominan (Bintoro, 2014, p. 72).
 Vegetasi Tegakan
Berdasarkan hasil penelitian, pada lokasi pengambilan sampel hanya
terdapat satu jenis vegetasi tegakan, yakni T. orientalis. Oleh karena itu, T.
orientalis memiliki INP 300%. Menurut Mangopang (2016, p. 216), T. orientalis
adalah salah satu jenis fast growing species yang potensial digunakan sebagai
tanaman pionir untuk merestorasi lahan kritis. Hal tersebut sesuai dengan keadaan
Stasiun 1 dimana terdapat banyak koloni lumut mati yang menghitam dan
menempel di bebatuan. Hal ini dikarenakan area Stasiun 1 dilewati oleh material
vulkanik erupsi Gunung Merapi dan telah mengalami suksesi primer, dimana
suksesi merupakan salah satu pola restorasi.
T. orientalis memiliki tingkat dominansi, regenerasi, dan sebaran biji yang
baik serta bersimbiosis dengan FMA (Fungi Mikoriza Arbustula) sehingga dapat
mengkatalis revegetasi pada proses restorasi. Oleh karena itu pula T. orientalis
menjadi satu-satunya spesies habitus tegakan yang ada pada lokasi pengambilan
sampel.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 152


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

 Vegetasi Herba
Hasil rekapitulasi INP pada vegetasi herba yang dilakukan pada lokasi
penelitian dapat dilihat pada Grafik 1.

Grafik 1. INP Vegetasi Herba


Salah satu cara untuk mengetahui jenis vegetasi yang dominan di suatu
lokasi dapat dilihat dengan mengetahui nilai tertinggi INP. Gafik 1 menunjukkan
bahwa INP tertinggi di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi untuk vegetasi
herba adalah P. esculentum sebesar 146,88%. Hasil analisis tabel 2 juga
menunjukkan INP yang terendah didapat pada N. biserrata dengan 72,82%.
N. biserrata tidak banyak dijumpai di lokasi pengambilan sampel. N.
biserrata tidak mampu beradaptasi terhadap cuaca panas. Pada saat penelitian
dilakukan, suhu udara di lokasi cukup panas yaitu mencapai 37,8°C. Selain itu,
spora tidak dapat berkembang baik, dan jarang menghasilkan individu baru.
P. esculentum menjadi tanaman herba yang paling banyak dijumpai di
lokasi pengambilan sampel ini. Hal ini dikarenankan spora yang dihasilkan spesies
ini sangat tahan terhadap kondisi ekstrim, dimana lokasi penelitian cukup panas
hingga suhu nya mencapai 37,8°C. Pada saat penelitian, kecepatan angin pun juga
cukup besar yaitu mencapai 6,1 m/s yang mana spora dari spesies ini akan terbawa
oleh angin dan dapat terjadi penyerbukan atau tumbuh menjadi individu baru
(tersebar).

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 153


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

 Vegetasi Semak
Hasil rekapitulasi INP pada vegetasi semak yang dilakukan pada lokasi
penelitian dapat dilihat pada Grafik 2.

Grafik 2. INP Vegetasi Semak


Grafik 2 menunjukkan bahwa INP tertinggi di kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi untuk vegetasi semak adalah C. citratus. C. citratus memiliki INP
yang paling tinggi diantara dua spesies lainnya, yaitu sebesar 193,55%, sedangkan
INP terendah dari ketiga spesies tersebut pada vegetasi semak dimiliki oleh A.
javanica.
C. citratus merupakan tanaman tahunan yang hidup secara liar dan
memiliki habitat tumbuh pada daerah dengan ketinggian 50-2700 mdpl. C. citratus
memerlukan iklim yang panas dengan cahaya matahari yang banyak, namun juga
curah hujan yang cukup. Tanaman ini bisa tumbuh di berbagai tipe tanah
(Trisilawati et al., 2017, p. 106).
Hal ini sesuai dengan kondisi lingkungan pada saat penelitian dilakukan,
dimana lokasi penelitian berada pada ketinggian 1.171 mdpl. Suhu di lokasi pun
cukup tinggi yaitu 37,8°C dengan intensitas cahaya 12780 Cd. Tekstur tanahnya
kering, berpasir, dan berbatu. Tekstur tanah yang seperti itu, berarti tidak cukup
subur dan cocok sebagai habitat dari C. citratus. Oleh karena itu, C. citratus dapat
beradaptasi dan memiliki INP yang paling tinggi diantara ketiga spesies dari
vegetasi lumut yang ditemukan.
A. javanica merupakan tumbuhan yang mampu mengoptimalkan
pertumbuhan dan laju metabolisme meskipun dalam keadaan minim nutrisi. A.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 154


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

javanica merupakan tumbuhan perintis yang kuat dan mulai tumbuh pada lereng
yang tandus. A. javanica cocok tumbuh pada kondisi panas terik pada daerah
terbuka di kawah dan puncak, tidak dapat bersaing untuk tumbuh di hutan yang
gelap dan lembab (Hamzah, 2010, p. 16).
Bunga-bunga A. javanica biasanya muncul di antara bulan April dan
Agustus (Muflihaini dalam Wijayanti, 2017, p. 2). Bunga dalam suatu tumbuhan
merupakan ciri khas bahwa tumbuhan tersebut dalam masa produktif dan dapat
berkembang biak menghasilkan individu-individu baru. Penelitian dilakukan pada
bulan Oktober, dimana A. javanica sudah lewat masa berbunga, sehingga jumlah
spesies yang ada disana sedikit. Hal ini dapat terjadi, walaupun kondisi klimatik
edafik di lokasi mendukung habitat dari A. javanica itu sendiri.
 Vegetasi Lumut
Berdasarkan hasil penelitian, pada lokasi pengambilan sampel hanya
terdapat satu jenis vegetasi lumut yakni A. punctatus. Oleh karena itu, A. punctatus
di kawasan tersebut memiliki INP sebesar 300%. Pada saat penelitian dilakukan,
lumut jenis ini ditemukan hidup berkoloni dan tumbuh di atas bebatuan dan tanah
berpasir. Kondisi dari A. punctatus berdasarkan pengamatan yakni terlihat kering,
tetapi masih ada tanda-tanda kehidupan.
Indeks Keanekaragaman
Struktur komunitas dapat diukur melalui indeks keanekaragaman, begitu pun
juga untuk mengukur stabilitas sutau komunitas. Findua et al. (2016, p. 55) menyatakan
bahwa stabilitas komunitas merupakan kemampuan individu dalam komunitas yang
mampu menjaga diri untuk tetap stabil meskipun mendapatkan gangguan-gangguan
terhadap komponen-komponen dalam komunitas tersebut. Menurut Odum dalam
Indriyani et al. (2017, p. 50), Indeks Shannon-Wiener dapat digunakan untuk
menghitung keanekaragaman jenis.
Menurut Barbour et al. dalam Susanti (2016, p. 27), informasi penting
mengenai suatu komunitas dapat diketahui melalui indeks keanekaragaman. Indeks
keanekaragaman yang cenderung tinggi menandakan bahwa spesies yang ditemukan di
kawasan tersebut semakin banyak. Suatu komunitas yang telah mencapai klimaks
memiliki indeks keanekaragaman yang relatif rendah.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 155


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

Hutan mosaik yang secara periodik mengalami gangguan oleh api, angin,
banjir, dan hama memiliki indeks keanekaragaman lebih tinggi dibandingkan komunitas
yang meluas secara regional, homogen, dan sangat stabil. Apabila gangguan telah
berlalu, keanekaragaman spesies akan mengalami peningkatan hingga mencapai titik
klimaks. Setelah tercapainya titik klimaks, maka akan muncul kecenderungan indeks
keanekaragaman yang menurun lagi. Indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Tabel
2.
Tabel 2. Indeks Keanekaragaman
No. Habitus Indeks Shannon
1. Tegakan 0,00
2. Herba 0,45
3. Semak 0,37
4. Lumut 0,00

Indeks keanekaragaman yang tertinggi di lereng selatan Gunung Merapi


diperoleh pada habitus herba dengan nilai 0,45. Hal tersebut menandakan bahwa spesies
herba paling banyak dijumpai di kawasan tersebut. Selain itu, untuk nilai indeks
keanekaragaman yang terendah diperoleh pada dua habitus, yaitu tegakan dan lumut.
Indeks keanekaragaman rendah umumnya dijumpai pada komunitas yang telah
mencapai klimaks. Kawasan yang sering mengalami suksei ketika terjadi erupsi yaitu
Lereng Selatan Gunung Merapi. Akhir dari proses suksesi akan menghasilkan
komunitas yang klimaks (stabil/seimbang). Bahkan pada habitus tegakan dan lumut
memiliki indeks keanekaragaman 0. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi habitat pada
kawasan tersebut relatif homogen, dengan komunitas yang stabil dan meluas secara
regional.

KESIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa ditemukan delapan
spesies dari enam famili. Spesies-spesies tersebut terbagi ke dalam empat habitus yang
meliputi tegakan (1 spesies), semak (3 spesies), herba (3 spesies), dan lumut (1 spesies).
Pada vegetasi herba, spesies yang dominan ada disana yaitu P. esculentum dengan INP
146,88%, sedangkan pada vegetasi semak spesies yang dominan yaitu C. citratus
dengan INP 193,55%. Selain itu, didapat juga besar indeks keanekaragaman dari
Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 156
BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

masing-masing habitus di lereng selatan Gunung Merapi. Indeks keanekaragaman yang


tertinggi diperoleh pada habitus herba dengan nilai 0,45, dimana spesies herba paling
banyak ditemukan di kawasan tersebut. Indeks keanekaragaman yang terendah
diperoleh pada dua habitus, yaitu tegakan dan lumut dengan nilai 0,00, dimana hanya
ditemukan satu spesies pada masing-masing habitus tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Bintoro, A. (2014). Inventarisasi Jenis Tumbuhan Obat di Hutan Mangrove Desa
Margasari Kecamatan Labuhan Maringgai Lampung Timur. Jurnal Sylva
Lestari, 2(1), 67-76.
BPTP Bengkulu. (2018). Pakan Hijau Rumput Benggala (Panicum maximum).
http://bengkulu.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/infor-teknologi/520-
inovasi-rumput-bengggala-panicum-maximum. 9 Desember 2019.
Imtiyaz, A. N., Dhiya K. I. H., Dyah A. S., Haris R., Putri A. N. B., Sidiq F., &
Thengku I. M. 2019. Analisis Vegetasi Pada Kawasan Taman Nasional
Gunung Merapi. Biosfer: Jurnal Tadris Biologi, 2(2019), 169-178.
Fajrina, A., Dwi D. A. B., & Leo A. J. A. (2019). Uji Aktivitas Antibakteri Fraksi
Ekstrak Etanol dari Batang dan Daun Nephrolepis biserrata (Sw.) Schott
Terhadap Eschericia coli. Jurnal Farmasi Higea, 11(1), 41-48.
Febrianti, G. N. (2015). Identifikasi Tumbuhan Lumut (Bryophyta) di Lingkungan
Universitas Jember Serta Pemanfaatannya Sebagai Buku Nonteks. Sksipsi.
Universitas Jember.
Findua, A. W., Harianto, S. P., & Nurcahyani, N. (2016). Keanekaragaman Reptil di
Repong Damar Pekon Pahmungan Pesisir Barat (Studi Kasus Plot Permanen
Universitas Lampung). Jurnal Sylva Lestari, 4(1), 51-60.
Hamzah, M. F. (2010). Studi morfologi dan anatomi daun edelweis Jawa (Anaphalis
javanica) pada beberapa ketinggian yang berbeda di Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru. Skripsi. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Indriyani, L., Flamin, A., & Erna, E. (2017). Analisis keanekaragaman jenis tumbuhan
bawah di hutan lindung Jompi. Jurnal Ecogreen, 3(1), 49-58.
Integrated Taxonomic Information System (ITIS). (2015). Taxonomic Hierarchy:
Anthiceros sp. https://www.itis.gov. 3 November 2019.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 157


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

Kaunang, C. L., Sane, S., & Pudjihastuti, E. (2019). Performans Sapi Yang Diberi
Panicum maximum Teramoniasi dan Suplementasi UGB. Jurnal MIPA, 8(3),
172-176.
Kemendikbud. (2016). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Badan Pengembangan Bahasa
dan Perbukuan. Jakarta.
Latumahina, F., Mardiatmoko, G., & Sahusilawane, J. (2019). Respon Semut Terhadap
Kerusakan Ekosistem Hutan di Pulau Kecil. Media Akselerasi.
Maharadatunkamsi, M., Prakarsa, T. B. P., & Kurnianingsih, K. (2016). Struktur
Komunitas Mamalia di Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut,
Jawa Barat. Zoo Indonesia, 24(1), 51-59.
Mangopang, A. D. (2016). Morfologi Trema orientalis (L.) Blume dan Manfaatnya
sebagai Tanaman Pionir Restorasi Tambang Nikel. Prosiding Seminar
Nasional Biologi, l(2), 121-126.
Mosse, A. F., Prasetyaningsih, A., & Adityarini, D. (2021). Potensi Ekstrak Daun
Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dan Minyak Atsiri Serai
(Cymbopogon citratus (DC.) Stapf) sebagai Bahan Aktif Hand Sanitizer Spray.
EduMatSains: Jurnal Pendidikan, Matematika dan Sains, 6(1), 17-30.
Nuritasari, A. (2017). Profil Kandungan Kimia dan Potensi Kombinasi Minyak Atsiri
Serai (Cymbopogon citratus) dan Kemangi (Ocimum basilicum L.) sebagai
Pengawet Alami Daging Ayam. Skripsi. Universitas Muhammadiyah
Purwokerto.
Purnomo, P., Sancayaningsih, R. P., & Wulansari, D. (2016). Spesies Tumbuhan
Penyusun Vegetasi Lantai di Wilayah Restorasi Taman Nasional Gunung
Merapi di Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Journal of Tropical Biodiversity
and Biotechnology, 1(2), 63-70.
Rizal, S. dan Sutriana. (2019). Inventarisasi dan Identifikasi Tanaman Bekhasiat Obat di
Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan. Indobiosains, 1(2), 50-62.
Rizkiani, S. (2019). Identifikasi Tumbuhan Paku Sejati (Filliciane) Terestrial di Gunung
Pesagi Kabupaten Lampung Barat. Skripsi. Universitas Islam Negeri Raden
Intan.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 158


BIOMA: Jurnal Biologi dan Pembelajaran Biologi, 6 (2) hal 144- 159
(p-ISSN 2527-7111; e-ISSN 2528-1615) no DOI : 10.32528/bioma.v6i2.2965

Shabirin, A., Puteri, Y., Syafira, H., Mayasari, T., & Nurkhasanah, M. (2020). Analisis
Vegetasi di Kawasan Petilasan Mbah Maridjan Taman Nasional Gunung
Merapi. Journal of Tropical Biology, 4(1), 55-63.
Surono, P., Jousset, J., Pallister, M., Boichu, M., Buongiorno, A., Budisantoso, F.
Costa, S., Andreastuti,F., Prata, & D. Schneider. (2012). The 2010 explosive
eruption of Java's Merapi Volcano-A '100-year' event. Journal Volcan and
Geoth Res, 241-242, 121-135.
Sutanta, S. (2021). Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengetahuan tentang Sistem
Peringatan Dini Erupsi Gunung Merapi di Desa Wonodoyo. Jurnal
Keperawatan GSH, 10(2), 54-60.
Tjitrosomo, Siti Sutarni. (1984). Botani Umum. Angkasa. Bandung.
Trisilawati, O., Seswita, D., & Syakir, M. (2017). Serapan Hara N, P, K Pada Tujuh
Nomor Harapan Serai Dapur Pada Tanah Lasotol. Industrial Crops Research
Journal, 23(2), 105-111.
Utami, A., Krismawan, H., & Nurcholis, M. (2021). Perubahan Ekosistem Hutan Pinus
Puncak Becici Dlingo Akibat Kegiatan Pariwisata. Jurnal Ilmiah Lingkungan
Kebumian (JILK), 3(1), 45-56.
Wahyudi, D. (2010). Distribusi dan Kerapatan Edelweis (Anaphalis javanica) di
Gunung Batok Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Skripsi. Universitas
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim.
Wijayanti, R. E. (2017). Etnobotani Upacara Adat di Sekitar Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru dan Pemanfaatannya sebagai Buku Ilmiah Populer. Skripsi.
Universitas Jember.
Wijayati, D., & Rijanta, R. (2020). Evaluasi Zonasi Taman Nasional Gunung Merapi.
Jurnal Litbang Sukowati: Media Penelitian dan Pengembangan, 3(2), 92-106.
Wilis, A. O., Marsaoly, R., & Ma'sum, Z. (2017). Analisa Komposisi Kimia Minyak
Atsiri Dari Tanaman Sereh Dapur dengan Proses Destilasi Uap Air. EUREKA:
Jurnal Penelitian Teknik Sipil Dan Teknik Kimia, 1(1), 1-8.

Atilla N. M. A, et al, Vegetasi di Lerang 159

Anda mungkin juga menyukai