Prak Kimia - Lingkungan - Analisa Detergen

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA LINGKUNGAN
ANALISA DETERGEN

Oleh :
Kelompok 3
1. Cherti Hidayati (2021339022)
2. Irawan (2021330012)
3. M. Aufal Anandra (2018330007)
4. M. Azlan (2021330026)
5. Marsya Dyani Istiqomah Santoni (2020339030)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SAHID JAKARTA
2021 – 2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Judul
Analisa Detergen Metode Spektrofotometri

B. Tujuan Praktikum
1. Mengukur kadar surfaktan anionik pada deterjen yang terdapat
dalam air buangan menggunakan metode spektrofotometri.

C. Manfaat Praktikum
1. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami metode penentuan
kadar surfaktan anion dengan metode spektrofotometri.

D. Prinsip Praktikum
Surfaktan anionik bereaksi dengan biru metilen membentuk pasangan
ion biru yang larut dalam pelarut organik.Intensitas warna biru yang terbentuk
diukur dengan spektofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan
yang terukur setara dengan kadar surfaktan anionik.
BAB II

DASAR TEORI

Deterjen berasal dari bahasa latin yaitu detergere yang berarti membersihkan. Deterjen
merupakan penyempurnaan dari produk sabun. Deterjen sering disebut dengan istilah deterjen
sintetis yang mana deterjen berasal dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Masalah sabun
dapat dikurangi dengan menciptakan deterjen yang lebih efektif yaitu deterjen sintetik.
Deterjen sintetik ini harus mempunyai beberapa sifat, termasuk rantai hipofilik yang panjang
dan ujung ionik polar. Juga ujung yang polar tidak membentuk garam yang mengendap dengan
ion-ion dalam air sadah, sehingga tidak mempengaruhi keasaman air (Hart, 1998).
Deterjen adalah bahan untuk mencuci. Namun, dalam perkembangannya, istilah
deterjen digunakan untuk membedakan sabun cuci, sabun mandi, dengan bahan pembersih
lainnya. Awalnya, bahan pembersih terbuat dari air, minyak dan bahan kasar seperti pasir basah
atau clay basah. Baru pada tahun 1913, deterjen menggunakan bahan sintesis oleh seorang ahli
kimia Belgia, A. Reychler. Hingga kini, deterjen mengalami banyak perubahan dan kemajuan
dalam hal bahan-bahan pembuatnya.
Deterjen ada yang bersifat kationik, anionik, maupun nonionik. Semuanya membuat
zat yang lipolifik mudah larut dan menyebar di perairan. Selain itu, ukuran zat lipolifik menjadi
lebih halus, sehingga mempertinggi intensitas racun. Beberapa deterjen ada yang bersifat
persisten, sehingga terjadi akumulasi. Seperti halnya dengan DDT, deterjen jenis ini sudah
tidak boleh digunakan lagi (Slamet, 1983).
Deterjen adalah campuran berbagai bahan, yang digunakan untuk membantu
pembersihan dan terbuat dari bahan-bahan turunan minyak bumi. Menurut Fardiaz (1992)
deterjen adalah bahan pembersih yang mengandung senyawa petrokimia atau surfaktan sintetik
lainnya. Surfaktan merupakan bahan pembersih utama yang terdapat dalam deterjen.
Dibandingkan dengan sabun, deterjen mempunyai keunggulan antara lain mempunyai daya
cuci yang lebih baik serta tidak terpengaruh oleh kesadahan air yang disebabkan oleh ion
kalsium dan magnesium pada air. Surfaktan anionik beraksi dengan biru metilen membentuk
pasangan ion biru yang larut dalam pelarut organik. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur
dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Serapan yang terukur setara
dengan kadar surfaktan anionik.
Deterjen adalah bahan untuk mencuci.Namun, dalam perkembangannya, istilah
deterjen digunakan untuk membedakan sabun cuci, sabun mandi, dengan bahan pembersih
lainnya. Awalnya, bahan pembersih terbuat dari air, minyak dan bahan kasar seperti pasir basah
atau clay basah. Baru pada tahun 1913, deterjen menggunakan bahan sintesis oleh seorang ahli
kimia Belgia, A.Reychler. Hingga kini, deterjen mengalami banyak perubahan dan kemajuan
dalam hal bahan- bahan pembuatnya (Sarikartika,1999).
Secara umum dari sekian banyak gabungan bahan kimia sintesis di dalam deterjen,
hampir semuanya membawa bahaya pada penggunanya. Sebuah penelitian dilakukan oleh
University of Washington melaporkan bahwa semua deterjen melepaskan, setidaknya satu
karsinogen yang menurut EPA masuk dalam kategori berbahaya atau beracun ini pada
konsumen. Contohnya yaitu formaldehide yang merupakan karsinogen yang tak diragukan lagi
bahayanya bagi kesehatan. Bau formaldehide yang menyengat kemudian ditutupi oleh bahan
pengharum sintesis. Bersama gas formaldehide, bahan pengharum sintesis ini menurut EPA,
ternyata bisa mengiritasi sistem pernapasan manusia dan menyebabkan mual.
Selain berpotensi merugikan kesehatan, bahan-bahan deterjen juga berpotensi merusak
lingkungan. Banyak bahan berbahaya yang terkandung di dalam deterjen, seperti pewangi
sintesis, phthalates, dan pewarna buatan, termasuk dalam kategori petrokimia, yaitu bahan
kimia sintesis yang terbuat dari minyak bumi. Belum lagi jika kita berbicara mengenai
limbahnya. Air limbah bekas cucian, sampo dan sabun disebut juga greywater, biasanya
dibuang sembarangan ke selokan, yang kemudian akan bermuara di sungai dan laut.
Penggunaan ABS sebagai surfaktan dalam deterjen merupakan penyebab dari penumpukan
limbah rumah tangga di sungai dan laut. Busa menumpuk yang dihasilkan ABS ini sulit terurai
oleh mikroorganisme sehingga membuat air sungai dan laut menjadi kekurangan biota yang
hidup didalamnya. Bukan hanya mati, biota sungai dan laut juga bisa cacat akibat mutasi gen.
Surfaktan (surface active agent) merupakan zat aktif permukaan yang mempunyai
ujung berbeda yaitu hidrofil (suka air) dan hidrofob (suka lemak). Bahan aktif ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat melepaskan kotoran yang menempel pada
permukaan bahan. Surfaktan dalam deterjen juga berguna untuk mempengaruhi sudut kontak
sistem pencucian, sedangkan builder memiliki fungsi untuk membantu efisiensi surfaktan
dalam proses pembersihan kotoran. Salah satu kemampuan buider yang penting dan banyak
digunakan adalah untuk menyingkirkan ion penyebab kesadahan dari cairan pencuci dan
mencegah ion tersebut berinteraksi dengan surfaktan. Hal ini dilakukan karena interaksi
tersebut akan menyebabkan penurunan efektivitas pencucian. Secara umum, builder
memberikan alkalinitas ke cairan pencuci sehingga berfungsi juga sebagai alkali.Selain itu,
builder juga memberikan efek anti-redeposisi (Shofinita, 2009).
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Alat dan bahan

a) Alat
1) Labu ukur 1000 mL;
2) Corong pisah 2 buah;
3) Beaker glass 250 mL;
4) Gelas ukur 25 mL;
5) Corong;
6) Pipet takar 10 mL;
7) Bola hisap;
8) Pipet tetes;
9) Botol sampel;
10) Spatula;
11) Kuvet spektro;
12) Labu semprot;
13) Statip 4 buah.

b) Bahan
1) Larutan Biru Metilen;
2) Larutan Indikator fenolftalein;
3) NaOH 1 N;
4) H2SO4 1 N dan 6 N;
5) Na2SO4 anhidrat;
6) Aquadest
B. Pereaksi
1) Larutan Biru Metilen
Encerken 100 mg metilen biru dalam 100 ml air. Masukkan 30 ml larutan dalam
labu 1000 ml, masukkan 500 ml air, 41 ml H2SO4 6 N, dan 50 gr sodium fosfat,
monobasic monohidrat, NaH2PO4.H2O, kocok sampai larut. Encerkan sampai
volume 1000 ml.
2) Larutan Indikator Fenolftalein
Larutkan 0,5 gr fenolftalein dengan 50 ml alkohol 95% di dalam gelas piala 250
ml. Tambahkan 50 ml air suling dan beberapa tetes larutan NaOH 0,02 N sampai
warna merah muda.
3) Diklorometan (CH2Cl2)
4) Sodium Hidroksida, NaOH 1 N
5) Asam Sulfat (H2SO4) 1 N dan 6 N
6) LAS (Alkil Sulfonat Linear)
Di timbang 1 gr LAS. LArutkan dalam air dan encerkan dengan aquades hingga
volumenya tepat 1000 ml. Simpan dalam refrigearator untuk mengurangi proses
biodegradasi. Jika perlu, persiapkan dalam waktu seminggu
7) Larutan Standar LAS
10 ml larutan stok LAS diencerkan dengan aquades hingga volumenya tepat 1000
ml

C. Prosedur Praktikum
1) Untuk sampel dan blanko, masukkan masing masing 50 mL ke dalam corong
pisah, tambahkan 3 tetes indikator fenolftalein dan NaOH 1 N sampai warnanya
berubah menjadi merah muda.
2) Tambahkan H2SO4 sampai warnanya hilang, untuk menetralkan.
3) Tambahkan metilen biru 25 mL.
4) Ekstraksi dengan 10 mL CH2CL2 sebanyak 3x.
5) Lapisan bawah dipisahkan dengan menggunakan kertas saring dan Na2SO4
anhidrat.
6) Masukkan sampel dan blanko ke dalam kuvet.
7) Hitung nilai absorbanny adengan menggunakan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 652 nm.
D. Rumus
Rumus regresi linear kurva
y = a + bx
Dimana:
y = Nilai Absorban
x = Konsentrasi Larutan (mg/L)

a=

b=

E. Rumus pengenceran
M1. V1 = M2. V2
Keterangan :
M1 = konsentrasi sebelum diencerkan M2 = konsentrasi setelah diencerkan
V1 = volume sebelum diencerkan V2 = volume setelah diencerkan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Data Pengamatan
Larutan standar (mg/L) (x) Absorban (y)

0.00 0,000

0,01 0,5872

0,02 0,4338

0,04 0,6193

0,08 0,4400

0,10 0,8788

Konsentrasi (ppm) Absorban


2840 1,6658

B. Perhitungan
Pengenceran
Diket : M1 = 1000x
M2 = 10x
V2 = 1000 ml

Tanya : V1

Jawab : M1.V1 = M2. V2

1000. V1= 10. 1000 ml


V1= 10 ml
Jadi, untuk menghasilkan sampel dengan pengenceran 1000 x, maka dibutuhkan 10
mL sampel.
Larutan Standar (mg/L) (x) Absorban (y) x² x.y
0,00 0,000 0,0000 0,00000
0,01 0,5872 0,0001 0,00587
0,02 0,4338 0,0004 0,00868
0,04 0,6193 0,0016 0,02477
0,08 0,4400 0,0064 0,03520
0,10 0,8788 0,0100 0,08788
0,25 2,9591 1624

C. Rumus Regresi Linear Kurva


y = a + bx
Keterangan :
y = Nilai Absorban
x = Konsentrasi Larutan (ppm)
2
yi
a= i i
2
i
2
i

n xi i

b=

Masukkan nilai x dan y ke dalam persamaan agar didapat nilai a dan b,

a =

= = 0,29161546

b =

= = 4,83762887

Jadi persamaan regresi linearnya:


y = 0,29161546 + 4,83762887x
D. Sampel
Maka dapat dihitung konsentrasi untuk sampel, yaitu :
y = 0,29161546 + 4,83762887x
1,6658 = 0,29161546 + 4,83762887x
-4,83762887x = 0,29161546 1,6658
-1
x = 2,840 x 10 mg/L
Pengenceran dilakukan 10.000x, maka :
x = 2,840 x 10-1 mg/L L x 10.000
x = 2840 mg/L

Jadi, konsentrasi surfaktan yang terkandung dalam sampel adalah 2840 mg/L.

E. Pembahasan
Pada praktikum analisis deterjen dari hasil percobaan ini, didapatkan nilai
konsentrasi sampel sebesar 2840 mg/L dengan nilai absorbannya sebesar 1,6658.
Pengenceran dilakukan sebanyak 1000 kali. Namun hasil absorbannya tidak terbaca
di spektrofotometer dengan panjang gelombang 652 nm. Oleh karena itu, dilakukan
pengenceran hingga 10000 kali. Dari nilai yang didapatkan pada larutan standar dan
sampel dapat disimpulkan bahwa semakin besar nilai absorban yang didapatkan berarti
semakin besar kandungan surfaktan anionik yang terkandung dalam deterjen pada air
sampel tersebut. Jadi terdapat hubungan yang sebanding antara konsentrasi, absorban,
dan kandungan surfaktan anionik pada deterjen tersebut.
Jika dianalis hasil perhitungan tersebut, konsentrasi kadar sufaktan yang
terkandung dalam deterjen pada sampel air jauh lebih besar dari standar yang telah
ditetapkan yaitu Peraturan Pemerintah No. 82 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang menetapkan batas kandungan MBAS
(Methylene Blue Active Substance) deterjen pada air buangan yaitu sebesar 200 g/L
sama dengan 0,2 mg/L.
Jika dilihat dari klasifikasi mutu air yang ditetapkan menjadi empat kelas seperti
penjekasan pada pasal 8, maka air yang mengandung kadar surfaktan sebesar sampel
praktikum kali ini tidak termasuk dalam keempat kelas tersebut. Karena bisa
digolongkan sudah tercemar. Sedangkan pada Permenkes No. 492 tahun 2010 dilihat
dari salah satu jenis parameternya yaitu deterjen menunjukkan baku mutu 0,05 mg/L
yang sangat jauh perbedaannya dengan sampel.
Secara umum dari sekian banyak gabungan bahan kimia sintesis di dalam
deterjen, hampir semuanya membawa bahaya pada penggunaannya. Deterjen
melepaskan, setidaknya satu karsinogen yang menurut EPA masuk dalam kategori
berbahaya atau beracun (hazardous dan toxic). Contohnya yaitu formaldehide yang
merupakan karsinogen yang tak diragukan lagi lagi bahayanya bagi kesehatan.Bau
formaldehide yang menyengat kemudian ditutupi oleh bahan pengharum
sintesis.Bersama gas formaldehide, bahan pengharum sintesis ini, menurut EPA,
ternyata bisa mengiritasi sistem pernapasan manusia dan menyebabkan mual.Selain itu
air yang telah tercemar deterjen yang mengandung surfaktan tinggi juga dapat iritasi
pada kulit dankerusakan pada organ-organ tubuh.
Kandungan surfaktan deterjen yang tinggi dan melewati nilai batas MBAS
deterjen pada air merupakan salah satu penyebab eutrofikasi. Eutrofikasi adalah
pencemaran air yang disebabkan oleh munculnya nutrien yang berlebihan ke dalam
ekosistem air. Eutrofikasi yang terjadi di ekosistem air disebabkan oleh adanya
deterjen yang mengandung fosfat. Salah satu bentuk dari eutrofikasi ini adalah algae
bloom ataupun peledakan pertumbuhan eceng gondok.
Upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi dampak pencemaran air
terhadap deterjen yakni dapat dimulai dari hal kecil seperti mengubah pola hidup atau
kebiasaan masyarakat yang sering membuang air sisa pencucian ke badan air. Untuk
itu harus ada penanganan dini terhadap limbah deterjen salah satunya dengan dibentuk
suatu Instalasi Pengolahan Air Limbah ( IPAL ). Selain itu perlu adanya pembaharuan
dari segi bahan pembuat deterjen, dimana bahan tersebut harus ramah lingkungan,
Sehingga dapat meminimalisasi potensi terjadinya pencemaran air akibat
terkontaminasi oleh limbah yang disebabkan deterjen.
Setelah mengetahui kadar MBAS pada suatu badan air, aplikasi dalam bidang
Teknik Lingkungan yang dapat diterapkan adalah pengolahan yang tepat pada badan
air tersebut sehingga didapatkan air yang lebih baik yang bisa digunakan oleh
masyarakat. Metode yang dapat digunakan adalah diolah dengan proses biologi yang
serupa dengan pengolahan limbah utama. Degradasi bakteri pada kondisi aerob
mengubah surfaktan anionik menjadi karbon dioksida dan air.limbah asam dari reaktor
dicuci dan dinetralisasi dengan air kapur membentuk kalsium sulfat yang tidak
larut.Hal ini dapat mereduksi kadar surfaktan yang berada dalam perairan
BAB V

KESIMPULAN

Setelah melakukan percobaan dan menghitung hasilnya, didapatkan data-data sebagai berikut:

1) Absorban sampel diperoleh sebesar 1,6658;

2) Konsentrasi atau kadar surfaktan untuk sampel diperoleh sebesar 2840 mg/L Artinya
sampel tersebut telah melewati ambang batas baku mutu Peraturan Pemerintah No. 82
Tahun 2001 yaitu 0,2 mg/L;

3) Dilihat dari jenis parameter deterjen yang terdapat pada Permenkes No.492 adalah 0,05
mg/L sedangkan pada sampel praktikum telah jauh melewati baku mutu;

4) Semakin tinggi konsentrasi surfaktan semakin tercemar perairan tersebut

DAFTAR PUSTAKA
Hart, Harold. 1998. Kimia Organik Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.

Shofinita, Dian. 2009. Builder dan Aditif dalam Deterjen. http://Majari_magazine_htm.


Tanggal akses : 24 September 2013

Sastrohamidjojo, H. 2005 . Kimia Organik, (stereokimia, karbohidrat, lemak, dan


protein).Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.

Slamet, Juli Soemirat. 1983. Kesehatan Lingkungan. Bandung: ITB.

Sarikartika. 1999. Deterjen Ramah Lingkungan. http://www.wikipedia.org/. Tanggal akses 24


September 201

Anda mungkin juga menyukai