BAB I Pendahuluan

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stunting adalah masalah kesehatan yang banyak ditemukan di negara

berkembang, termasuk Indonesia (UNICEF, 2017). Stunting atau

pendek merupakan masalah kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh

kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan

gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau

pendek (kerdil) dari standar usianya (KEMENKES RI, 2018).

Keadaan pendek (stunting) berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar

artropometri penilaian status gizi anak adalah suatu keadaan dimana hasil

pengukuran Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut

Umur (TB/U) berada di antara -3 SD sampai -2 SD. Jika hasil pengukuran PB/U

atau TB/U berada dibawah -3 SD disebut sangat pendek (severe stunting)

(KEMENKES RI, 2011).

Pada tahun 2017, terdapat 22,2% atau 151 juta anak yang menderita stunting

di seluruh dunia. Proporsi stunting terbanyak terdapat di Asia dengan dengan

jumlah balita stunting lebih dari setengah kasus di dunia atau sebanyak 83,6 juta

(55%), sedangkan sepertiganya lagi terdapat di Afrika sebanyak 39% dari jumlah

balita stunting. Proporsi terbanyak balita stunting di Asia berasal dari Asia Selatan

sebanyak 58,7% dan proporsi yang paling sedikit terdapat di Asia Tengah
2

sebanyak 0,9% balita stunting. Asia Tenggara berada pada urutan kedua dengan

jumlah balita stunting sebanyak 14,9% (UNICEF et.al, 2018).

Di Indonesia, kejadian balita stunting merupakan masalah kesehatan utama

yang dihadapi (Kemenkes RI, 2018). Prevalensi stunting atau pendek di Indonesia

cenderung statis. Hasil Riskesdas pada tahun 2007 menunjukan prevalensi balita

stunting di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010 mengalami penurunan

menjadi 35,6%. Akan tetapi, pada tahun 2013 prevalensi balita stunting kembali

meningkat menjadi 37,2% dan pada tahun 2016 prevalensi balita stunting semakin

turun menjadi 27,5%. Pada tahun 2017 dan 2018, prevalensi stunting kembali

meningkat menjadi 29,6% dan 30,8% (Pusdatin, 2018; Riskesdas, 2018).

Stunting pada anak merupakan masalah gizi kronis karena asupan gizi yang

tidak memadai dalam jangka panjang yang dikombinasikan dengan penyakit

infeksi pada anak dan masalah lingkungan (UNICEF et al, 2017). Stunting perlu

mendaptkan perhatian khusus karena dapat meningkatkan resiko kematian pada

anak, serta menghambat pekembangan fisik dan mental anak (Fikawati dkk,

2017).

Stunting atau gangguan pertumbuhan linier dapat mengakibatkan anak tidak

mampu mencapai potensi genetik, mengindikasi kejadian jangka panjang dan

dampak dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan

pengasuhan yang tidak memadai (Fikawati dkk, 2017). Stunting berkaitan dengan

peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya perkembangan

kemampuan motorik dan mental anak (UNICEF et al, 2017). Balita yang

mengalami stunting memiliki risiko terjadinya penurunan intelektual,


3

produktivitas dan peningkatan risiko penyakit degeneratif dimasa mendatang

seperti penyakit jantung, stroke, diabetes dan ginjal (KPKDTT, 2017). Stunting

juga dapat meningkatkan risiko terjadinya obesitas. Hal ini disebabkan karena

orang dengan tubuh pendek memiliki berat badan ideal yang rendah sehingga

kenaikan berat badan beberapa kilogram saja bisa menaikkan Indeks Massa

Tubuh (IMT) melebihi normal (Anugraheni, 2012). Selain itu anak stunting sangat

berhubungan dengan prestasi pendidikannya yang menurun dan pendapatannya

yang rendah sebagai orang dewasa (Yunitasari, 2012). Anak-anak stunting

memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi dewasa yang

kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap penyakit

tidak menular. Oleh karena itu, anak stunting merupakan preditor buruknya

kualitas sumber daya manusia yang selanjutnya menurunkan kemampuan

produktif suatu bangsa di masa mendatang (UNICEF Indonesia, 2012).

Banyak faktor yang dapat menyebabkan tingginya angka stunting pada

balita. Faktor penyebab langsungnya adalah kurangnya asupan gizi yang diterima

balita (KPKDTT, 2017). Penyebab lainnya yaitu sosial ekonomi, penyakit infeksi,

pengetahuan ibu yang kurang, pola asuh yang salah, sanitasi dan hygine yang

buruk dan pelayanan kesehatan yang rendah (Rosiyati dkk, 2018). Selain itu,

masyarakat tidak menyadari bahwa anak pendek merupakan suatu masalah,

karena anak pendek terlihat seperti anak-anak dengan aktivitas normal, tidak

seperti anak-anak kurus yang harus cepat ditanggulangi (UNICEF Indonesia,

2013).
4

Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan

perkembangan janin. Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat

menyebabkan berat lahir rendah (WHO, 2014). Berat badan lahir rendah ini dapat

meningkatkan resiko terjadinya stunting pada balita (Rosiyati dkk, 2018). Hasil

penelitian Fitri (2017) yang dilakukan di Pekanbaru menunjukan bahwa terdapat

hubungan antara berat badan lahir rendah dengan kejadian stunting pada balita.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sundari (2018) yang dilakukan Surakarta

dan penelitian yang dilakukan Rahayu dkk (2015) di Puskesmas Sungai Karias,

Hulu Sungai Utara. Anak dengan berat badan lahir rendah beresiko 5,87 kali

mengalami Stunting (Rahayu, dkk. 2015).

Pemberian ASI Eksklusif juga berhubungan dengan kejadian stunting pada

balita. Menurut Ni’mah dan Nadhiroh (2015) , ASI eksklusif merupakan salah

satu faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Fitri (2017) di Puskesmas Limapuluh Pekanbaru

dan Pengan dkk (2015) di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah mendapatkan

hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian ASI eksklusif

dengan kejadian stunting pada balita. Anak yang tidak mendapatkan ASI

Eksklusif memiliki resiko 3,7 kali lebih besar dibandingan dengan anak yang

mendapatkan ASI eksklusif (Pegan dkk, 2015).

Anak memerlukan nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan

pperkembangannya. Peran orang tua terutama ibu sangat penting dalam

pemenuhan nutrisi anak karena anak memerlukan dukungan dan perhatian orang

tua dalam menghadapi pertumbuhan dan perkembangannya. Pengetahuan gizi


5

yang baik dari orang tua diperlukan untuk mendapatkan gizi yang baik pada anak

sehingga orang tua mampu menyediakan menu pilihan yang seimbang (Devi,

2012). Pengetahuan gizi yang kurang atau kurangnya menerapkan pengetahuan

gizi dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan masalah gizi (Rosa, 2011).

Kurangnya gizi pada anak dapat disebabkan oleh sikap atau perilaku orang

tua terutama ibu yang menjadi faktor dalam pemilihan makanan yang tidak benar,

pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang cukup dan

keanekaragaman jenis makanan dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan ibu tentang

makanan dan gizinya. Kesalahan dalam pemilihan makanan dapat terjadi akibat

dari ketidaktahuan ibu (Adriani & Wirjatmadi, 2014).

Hasil penelitian Mustamin dkk (2018) di provinsi Sumatera Selatan

menunjukan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan

kejadian stunting pada balita. Tingginya tingkat pendidikan yang dimiliki oleh ibu

akan mempengaruhi pengetahuan ibu tentang gizi. Hal ini juga sejalan dengan

hasil penelitian Abeway S et al (2018), menyatakan bahwa pendidikan ibu sangat

berpengaruh pada kejadian stunting pada anak, dimana anak yang lahir dari ibu

dengan pendidikan yang tinggi memiliki resiko lebih rendah dibandingkan dengan

anak yang lahir dengan ibu yang buta huruf. Hasil penelitian Pormes dkk (2014)

menunjukan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan orang tua tentang gizi

dengan kejadian stunting pada anak usia 4-5 tahun di TK Malaekat Pelindung di

Manado.

Selain pengetahuan ibu, sikap ibu dalam pemberian makan juga

mempengaruhi status gizi pada balita. Penelitian yang dilakukan oleh Olsa dkk
6

(2017) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara sikap ibu dengan kejadian

stunting pada balita. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Rahmatillah

(2018), dimana sikap ibu sangat mempengaruhi status gizi pada balita.

Pengetahuan dan sikap yang dimiliki oleh ibu tentang gizi sangat berperan penting

dalam meningkatkan status gizi anak (Supriasa dkk, 2002).

Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan baik dalam

jumlah maupun mutu gizinya sangat berpengaruh bagi status gizi anak.

Pendapatan keluarga merupakan salah satu faktor yang memengaruhi kejadian

stunting pada balita (Illahi, 2017). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan

Fikrina dan Rokhanawati (2017), terdapat hubungan yang bermakna antara

pendapatan keluarga dengan kejadian stunting pada balita. Keluarga dengan

pendapatan terbatas kemungkinan besar kurang dapat memenuhi kebutuhan

makanannya terutama untuk memenuhi kebutuhan zat gizi dalam tubuh anak.

Berdasarkan data Riskesdas 2017, prevalensi stunting di Sumatera Barat

sebesar 30,6% dimana balita dengan kategori pendek sebesar 21,3% dan balita

sangat pendek sebesar 9,3%. Prevelensi stunting tertinggi berada di Kabupaten

Pasaman sedangkan di Kota Padang, prevalensi stunting pada balita yaitu sebesar

22,6 %. Untuk di daerah Kota Padang, kejadian stunting terbanyak terdapat di

wilayah kerja Puskesmas Andalas dimana pada balita dengan umur 24-59 bulan

terdapat 201 balita pendek dan 133 balita sangat pendek. Untuk di wilayah kerja

puskesmas Andalas, kejadian balita stunting terbanyak terdapat di kelurahan Kubu

Parak Karakah dimana terdapat 125 orang balita stunting.


7

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan, 2 dari 5 balita yang

memiliki umur 24-59 bulan memiliki tinggi kurang dari -2 SD setelah dilakukan

pengukuran tinggi badan anak dan dihitung menggunakan rumus z-skor indeks

antopometri TB/U. Setelah dilakukan wawancara kepada ibu balita, 2 orang balita

stunting memiliki berat badan lahir yang rendah. 3 orang balita memiliki riwayat

tidak ASI Eksklusif. 2 dari 5 ibu tidak mengetahui dan ibu cenderung tidak terlalu

memperhatikan apa nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan

perkembangan anaknya. 3 dari 5 anak berada dalam keluarga dengan

perekonomian yang kurang.

Prevalensi stunting bisa terus meningkat apabila faktor-faktor risiko dari

stunting tidak diperhatikan dan diatasi. Berdasarkan latar belakang tersebut

peneliti tertarik untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian stunting

pada balita umur 24-59 bulan di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah

Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2019.


8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan

masalah penelitian ini adalah apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian

stunting pada balita umur 24-59 bulan di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah

Wilayah Kerja Puskesmas Andalas Tahun 2019.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui “Faktor-faktor

yang Mempengaruhi Kejadian Stunting pada Balita umur 24-59 bulan di

Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah Kerja Puskesmas Andalas

tahun 2019.”

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini yaitu:

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian stunting pada balita umur

24-59 bulan di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah

Kerja Puskesmas Andalas

b. Mengetahui distribusi frekuensi berat badan lahir balita dan

hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan

di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah Kerja Puskesmas

Andalas

c. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI Eksklusif balita dan

hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan


9

di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah Kerja Puskesmas

Andalas

d. Mengetahui distribusi frekuensi pengetahuan ibu tentang gizi balita

dan hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59

bulan di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah Kerja

Puskesmas Andalas

e. Mengetahui distribusi frekuensi sikap ibu tentang gizi balita dan

hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan

di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah Kerja Puskesmas

Andalas

f. Mengetahui distribusi frekuensi status ekonomi keluarga balita dan

hubungannya dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan

di Kelurahan Kubu Dalam Parak Karakah Wilayah Kerja Puskesmas

Andalas

g. Mengetahui faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi

kejadian stunting pada balita 24-59 bulan di Kelurahan Kubu Dalam

Parak Karakah Wilayah Kerja Puskesmas Andalas

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Institusi Puskesmas

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan bisa menjadi masukan bagi

puskesmas dalam memberikan asuhan keperawatan dan pelayanan


10

kesehatan yang lebih prima terkait dengan masalah kesehatan balita

terutama yang berhubungan stunting.

2. Bagi Institusi Pendidikan

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai tambahan referensi dan

pengembangan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

dengan kejadian stunting pada balita, serta sebagai pedoman untuk

melakukan intervensi keperawatan

3. Bagi Peneliti

Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan bagi peneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

kejadian stunting pada balita.

4. Bagi Peneliti Selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan perbandingan dan

informasi untuk penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi dengan kejadian stunting pada balita.

Anda mungkin juga menyukai