Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
Bab I Pendahuluan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
score kurang dari -2SD dikategorikan sebagai anak pendek, dan jika nilai z-
scorenya kurang dari -3SD dikategorikan sangat pendek (Kemenkes RI,
2020)
Stunting merupakan salah satu masalah kesehatan global yang menjadi
poin yang sangat penting untuk segera diatasi. Data pada tahun 2018
menunjukkan bahwa kejadian stunting diperkirakan terjadi pada sekitar
21.9% atau sekitar 149 juta anak dibawah yang berusia di bawah 5 tahun
(Who and Bank, 2019).
Menurut data WHO pada tahun 2018, Benua Asia dan Afrika
menyumbang angka terbesar kejadian malnutrisi. Kejadian stunting pada
anak usia di bawah 5 tahun di Asia mencapai 55%, sedangkan di Afrika
mencapai angka 39% (Who and Bank, 2019). Data WHO pada tahun 2000
hingga 2018 menunjukkan trend peningkatan stunting terjadi di Afrika, yaitu
50.3 juta anak pada tahun 2008 meningkat ke angka 58.8 juta anak pada
tahun 2018, sementara stunting yang terjadi di Asia mengalami penurunan
dari 134.7 juta anak pada tahun 2008 menjadi 81.7 juta anak di tahun 2018.
Namun demikian kondisi stunting yang terbesar masih berada di Asia,
tepatnya di kawasan Asia Selatan yaitu sekitar 57,9%, diikuti oleh Asia
Tenggara yaitu sekitar 14.4%, data ini menunjukkan bahwa 2 dari 5 anak
stunting berada di Kawasan Asia Selatan (Who and Bank, 2019).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan
prevalensi stunting yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara
berkembang lainnya (TNP2K, 2017). Indonesia termasuk dalam lima besar
negara dengan kejadian stunting pada anak di bawah usia 5 tahun (Titaley et
al., 2019). Indonesia termasuk negara dengan prevalensi stunting tertinggi
ketiga di South-East Asian Region setelah Timor Leste dan India. Meskipun
persentase stunting di Indonesia turun dari 37,8% di tahun 2013 menjadi
27,67% di tahun 2019, namun angka ini masih tergolong tinggi (Teja, 2019)
2
Data pada tahun 2018 menunjukkan kejadian stunting pada anak usia di
bawah 5 tahun di Indonesia berada pada angka 30.8%, dimana 11.5%
tergolong dalam balita sangat pendek (TB/U <-3SD), sementara 19.3%
tergolong dalam balita pendek (TB/U -3SD s/d <-2SD). Provinsi Sulawesi
Selatan menempati urutan ke 4 prevalensi stunting anak usia di bawah 5
tahun terbesar di Indonesia. Prevalensi tertinggi berada di Provinsi Nusa
Tenggara Timur yaitu 42.6%, sedangkan prevalensi terendah di Provinsi DKI
Jakarta yaitu 17.7%. Data selanjutnya menunjukkan prevalensi kejadian
stunting pada bayi usia dua tahun di Indonensia mencapai 29.9%, dimana
17.1% tergolong dalam kategori pendek, dan 12.8% tergolong sangat
pendek. Prevalensi stunting bayi dua tahun di Sulawesi Selatan menempati
urutan ke 6 di Indonesia. Prevalensi tertinggi berada di Provinsi Aceh yaitu
18.9% tergolong baduta pendek dan 19% tergolong baduta sangat pendek
(Riskesdas, 2018).
Kondisi underweight merupakan status gizi anak yang dinilai
berdasarkan indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U). Anak yang
dikategorikan underweight adalah anak dengan status gizi yang berdasarkan
berat badan menurut umurnya memiliki nilai z-score kurang dari -2SD (WHO,
2010). Indikator ini terbagi lagi menjadi dua yaitu berat badan sangat kurang
jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD, dan berat badan kurang jika nilai z-
scorenya berada pada rentang -3SD s/d <-2SD (Kemenkes RI, 2020)
Angka kejadian berat badan kurang dan sangat kurang pada balita di
Indonesia masih tergolong tinggi. Meskipun angka ini mengalami penurunan
yaitu 19.6% pada tahun 2007 menjadi 17,7% pada tahun 2018, namun
kondisi ini masih di atas angka standar kejadian gizi buruk yang ditetapkan
WHO yaitu 10% (Riskesdas, 2018). Prevalensi kejadian underweight tertinggi
berada di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur yaitu 29.5%. Provinsi
Sulawesi Selatan menempati urutan ke 10, sedangkan prevalensi terendah
3
berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau yaitu sebesar 13% (Riskesdas,
2018).
Kondisi wasting pada anak merupakan salah satu gejala kurangnya
nutrisi akut, yang diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi atau kejadian
infeksi berulang pada anak, misalnya diare. Kondisi ini akan mengakibatkan
kerusakan pada sistem imun, meningkatkan kerentanan, keparahan serta
durasi terkena penyakit infeksi, hingga dapat meningkatkan risiko kematian
(Who and Bank, 2019). Wasting merupakan status gizi anak yang dinilai
berdasarkan indeks Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan
(BB/PB atau BB/TB). Anak yang dikategorikan wasting adalah anak dengan
status gizi yang berdasarkan berat badan menurut Panjang badan atau tinggi
badannya memiliki nilai z-score kurang dari -2SD (WHO, 2010). Indikator ini
terbagi lagi menjadi dua yaitu kategori gizi buruk (severely wasted) jika nilai
z-scorenya kurang dari -3SD, dan gizi kurang (wasted) jika nilai z-scorenya
berada pada rentang -3SD s/d <-2SD (Kemenkes RI, 2020)
Data Riskesdas menunjukkan bahwa kejadian wasting pada tahun 2007
yaitu sekitar 13.6%, kemudian turun menjadi 12.1% pada tahun 2013, dan
data tahun 2018 menunjukkan angka 10.2%.Provinsi Nusa Tenggara Barat
menduduki posisi tertinggi kejadian wasting se-Indonesia dengan jumlah
sekitar 14.4%, sedangkan Provinsi Sulawesi Selatan menduduki posisi ke 25
kejadian wasting (Riskesdas, 2018). Tren kejadian wasting pada anak-anak
di Indonesia menunjukkan penurunan setiap tahun, namun angka tersebut
masih berada di atas standar yang ditetapkan WHO yaitu maksimal 10%.
Data dari UNICEF 2019 menunjukkan bahwa 1 dari 10 anak Indonesia masih
mengalami wasting (UNICEF, 2019).
WHO mendeskripsikan stunting sebagai kegagalan dalam pencapaian
pertumbuhan linier yang disebabkan oleh kondisi kesehatan yang tidak
optimal atau gizi yang kurang. Stunting dapat disebabkan oleh tidak
adekuatnya konsumsi makanan bergizi yang mengandung protein, kalori, dan
4
vitamin, terutama vitamin D. Sementara itu, penelitian di Nepal menunjukkan
bahwa bayi dengan berat badan lahir rendah mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk menjadi stunting (Paudel R, Upadhyaya T, 2012). Penelitian oleh
Al‐Ansori (2013) menemukan bahwa faktor risiko kejadian stunting pada anak
usia 12–24 bulan adalah status ekonomi keluarga, riwayat ISPA, dan
kurangnya asupan protein. Faktor lingkungan memberi pengaruh terhadap
kejadian stunting hingga 90% dan pengaruh faktor keturunan sebesar 10%.
Riset WHO menyatakan bahwa peran lingkungan seperti kesadaran
masyarakat untuk memberikan asupan gizi yang adekuat pada 1000 hari
pertama kehidupan bayi akan sangat mempengaruhi seorang anak untuk
bisa tumbuh tinggi (Widanti, 2017). Penelitian oleh Fikadu pada 2014 di
Ethiopia Selatan membuktikan bahwa balita yang tidak memperoleh ASI
eksklusif selama 6 bulan memiliki risiko tinggi untuk mengalami stunting.
Riskesdas (2013) menyatakan bahwa kejadian stunting pada balita
dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah (Ni’mah
K, 2015).
Masa lima tahun pertama kehidupan anak, merupakan masa golden
age yang sangat penting, terutama untuk pertumbuhan fisik. Pada masa ini,
90% sel-sel otak anak tumbuh dan berkembang. Apabila masa ini terabaikan,
khususnya dari segi gizi dan kesehatan akan menimbulkan masalah
kesehatan yang serius bagi balita tersebut, baik pada masa ini maupun di
masa depannya. Salah satu indikator kesehatan adalah status gizi balita.
Status gizi adalah suatu ukuran mengenai kondisi tubuh seseorang yang
dapat dilihat dari makanan yang dikonsumsi dan penggunaan zat-zat gizi di
dalam tubuh. Penilaian status gizi dapat diukur secara langsung dan tidak
langsung. Penilaian secara langsung meliputi antropometri (BB/U, TB/U, dan
BB/TB), biokimia (albumin, hemoglobin, immunoglobulin A), biofisik, dan
klinis. Sedangkan penilaian secara tidak langsung meliputi survei makanan,
5
statistik vital, dan faktor ekologi (Denas Symond, Fadil Oenzil, Eriyati Darwin,
2016).
Di abad ke-21, anak yang mengalami malnutrisi memiliki tiga untaian
kunci. Yang pertama adalah momok kekurangan gizi yang terus berlanjut.
Meskipun terjadi penurunan di beberapa bagian dunia, kekurangan gizi
merampas terlalu jauh banyak anak dengan kekurangan energi dan gizi di
mana mereka perlu tumbuh dengan baik dan terkait dengan keadilan
setengah dari semua kematian anak usia di bawah 5 tahun. Untai kedua
adalah hidden hunger atau kelaparan tersembunyi yaitu kondisi kekurangan
vitamin dan mineral seperti vitamin A dan B, serta besi dan zink yang tak
terlihat, dan terlalu sering diabaikan, rasa lapar yang tersembunyi merampas
kesehatan dan vitalitas anak-anak dan bahkan hidup mereka. Untai ketiga
adalah kelebihan berat badan dan, dalam bentuk yang lebih parah,
kegemukan. Pernah dianggap sebagai kondisi orang kaya, kelebihan berat
badan pada anak- anak sekarang lebih menghwatirkan di beberapa negara
berkembang. Ini juga memicu peningkatan penyakit tidak menular (PTM) di
kemudian hari, seperti penyakit jantung yang merupakan penyebab utama
kematian di seluruh dunia (UNICEF, 2019)
Malnutrisi juga dapat diketahui dari parameter biokimia. Albumin
merupakan salah satu penanda status malnutrisi pada keadaan klinis pasien
yang stabil. Penelitian Laky et al menunjukkan bahwa risiko serum albumin
yang rendah dikaitkan dengan risiko malnutrisi dan pasien kanker ginekologi
(Dwi Larasati, Natalia Probandari and Poncorini Pamungkasari, 2017).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa serum albumin merupakan
prognostik faktor yang penting untuk pasien gizi buruk terutama yang dirawat
di rumah sakit. Banyak pasien gizi buruk yang dirawat inap mempunyai kadar
albumin yang rendah sehingga dapat memperburuk prognosis penyakitnya.
Dipertimbangkan untuk pemberian nutrisi yang adekuat, untuk mendukung
kecukupan kadar albumin dalam tubuhnya. Serum albumin merupakan
6
indeks nutrisi yang banyak dipakai sebagai pemeriksaan pada populasi
karena mudah diukur dan berhubungan dengan risiko mortalitas pada
berbagai penyakit. Kadar albumin yang rendah berhubungan dengan risiko
peningkatan morbiditas dan mortalitas pasen yang dirawat. Anak gizi buruk
pada umumnya terjadi penurunan sintesis dan pemecahan protein total
tubuh. Hal tersebut disebabkan proses adaptasi terhadap keadaan energi
yang kurang pada anak gizi buruk (Widjaja, Hidayati and Irawan, 2013).
Gizi buruk adalah KEP tingkat berat akibat kurang konsumsi makanan
bergizi dan atau menderita sakit dalam waktu yang lama ditandai dengan
status gizi sangat kurus menurut berat badan (BB) terhadap tinggi badan
(TB). Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan
penderita gizi buruk. Kwashiorkor adalah sindrom klinik yang timbul sebagai
akibat adanya kekurangan protein yang parah dan pemasukan kalori yang
kurang dari yang dibutuhkan. Kwashiorkor merupakan bentuk dari malnutrisi
dari kekurangan energy dan protein yang berhubungan dengan defisiensi
protein yang ekstrim dan dikarakteristikkan dengan edema, hipoalbunemia,
anemia dan pembesaran hati (Yandi, 2016).
Suharyano dalam Rahayu et al 2018 menyatakan bahwa penyebab
timbulnya masalah gizi (stunting) salah satunya yaitu status gizi yang
dipengaruhi oleh berbagai hal diantaranya umur, tingkat pendidikan, status
gizi balita dan sanitasi lingkungan yang meliputi kualitas sumber air,
perumahan, pembuangan sampah, vector, dan kebersihan jamban. Maka
perlu adanya intervensi dari kesehatanlingkungan agar tidak berpengaruh
terhadap perkembangan pertumbuhan remaja, bumil dan baduta. Stunting
pada bayi atau balita kebanyakan disebabkan beberapa faktor diantaranya
yaitu factor penyebab (agent), penjamu (host), dan faktor lingkungan
(environment) (Rahayu et al., 2018). Faktor penyebab (agent) yang dapat
menyebabkan stunting pada balita antara lain; faktor infeksi, faktor
malabsorbsi dan faktor makanan. Faktor penjamu (host) diantaranya dari
7
faktor status gizi balita dan faktor perilaku hygiene yang kurang baik
sedangkan faktor lingkungan (environment) yaitu dari kondisi sanitasi
yang kurang baik. Agar balita tidak mengalami status gizi yang buruk maka
perlu didukung dengan peningkatan kebersihan lingkungan, yaitu dengan
pemeliharaan lingkungan air serta pengelolaan sampah perlu diperhatikan
dengan lebih seksama, khususnya balita dengan keadaan gizi yang kurang
seperti kekurangan vitamin A, B, dan C. Dengan demikian dalam mengurangi
resiko terjadinya stunting perlunya peran serta masyarakat khususnya
keluarga yang mempunyai balita untuk melakukan praktik hygiene sanitasi
yang baik. Selain itu pihak Puskesmas dan tenaga kesehatan juga perlu
menggalakkan program lingkungan bersih karena sanitasi juga sangat
menentukan keberhasilan dari paradigma pembangunan kesehatan
lingkungan dan status gizi khususnya pada balita yang lebih menekankan
pada aspek pencegahan (preventif) dari pada aspek pengobatan (kuratif).
Dengan adanya upaya preventif yang baik, angka kejadian penyakit yang
terkait dengan kondisi lingkungan dapat dicegah (Slamet, 2009; Rahayu et
al., 2018).
Menurut Gibson dalam Rahayu et al (2018) berdasarkan penelitian
sebagian besar anak-anak dengan stunting mengkonsumsi makanan yang
berada dibawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari keluarga
miskin dengan jumlah keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah
pinggiran kota dan komunitas pedesaan yang berkaitan dengan sanitasi
lingkungan yang buruk (Gibson, R.S, 2005). Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Hermina (2011), bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kesehatan lingkungan dengan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang. Di
daerah prevalensi tinggi keadaan kesehatan lingkungannya lebih jelek
daripada di daerah prevalensi rendah. Lingkungan dapat berperan menjadi
penyebab langsung, sebagai faktor yang berpengaruh dalam menunjang
terjangkitnya penyakit. Udara yang tercemar secara langsung dapat
8
mengganggu sistem pernapasan, air minum yang tidak bersih secara
langsung dapat mengakibatkan sakit perut, udara yang lembab disebabkan
oleh bakteri atau virus. Berdasarkan hal tersebut, faktor lingkungan sangat
berpengaruh terhadap kesehatan (Supariasa, 2001).
Pertahanan sistem alamiah tubuh terdiri dari protein yang dapat dipecah
dan berikatan dengan produk bakteri. Sirkulasi protein tersebut penting untuk
mengenali produk bakteri oleh leukosit yang berfungsi untuk fagositosis dan
membunuh bakteri. Anak gizi buruk mempunyai rerata penurunan sintesis
protein total dan peningkatan pemecahan yang menyebabkan penurunan
kadar albumin dalam tubuh. Penurunan kadar albumin dalam tubuh
berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi (Widjaja, Hidayati and
Irawan, 2013).
Menurut Trisa pada penelitiannya di tahun 2004 mengatakan bahwa,
albumin serum merupakan 50% total serum protein untuk keseimbangan
cairan dan elektrolit, transpor nutrien, hormon dan obat-obatan. Albumin
berguna sebagai indikator kekurangan protein yang berat. Karena dalam
tubuh kita banyak albumin. Kerusakannya berlangsung lambat dan
perubahan konsentrasinya juga lambat. Kondisi yang dapat mengakibatkan
kekurangan albumin seperti penyakit hati, kerusakan ginjal lanjut, infeksi,
kanker, gangguan absorbsi. Tingkat serum albumin hanya digunakan sebagai
suatu indikator beberapa protein tertentu. Perubahan pada kadar albumin
akan memengaruhi nilai protein total (Rauza and Andina, 2017).
Defisiensi zinc merupakan kondisi yang sering terjadi di negara
berkembang. Secara global, prevalensi defisiensi zinc 31% dengan kisaran
4% hingga 73%. Prevalensi tertinggi didapatkan di Asia Tenggara dan
Selatan (34%-73%). Berbagai masalah dapat timbul akibat defisiensi zinc.
Sebuah telaah menunjukkan defisiensi zinc meningkatkan kejadian diare dan
pneumonia. Penelitian Walker menunjukkan defisiensi zinc menyebabkan
9
4,4% kematian pada anak di bawah 5 tahun dengan 14,4% di antaranya
diakibatkan oleh diare (Marlia, Dwipoerwantoro and Advani, 2016).
Prevalensi defisiensi zink pada penduduk dunia tahun 2016 sebesar
17%. Defesiensi zink di Indonesia merupakan masalah gizi mikro yang belum
sepenuhnya teratasi, hal ini ditunjukkan dengan angka kejadian defisiensi
zink yang masih tinggi. Balita di Indonesia mengalami defisiensi zink sebesar
32% pada tahun 2006 (Muhammad, Nurhajjah and Revilla, 2018).
Kejadian diare pada balita sangat erat hubungannya dengan asupan zat
gizi mikro. Zat gizi mikro yang berperan sebagai pertahanan tubuh balita yaitu
vitamin dan mineral. Zat gizi mikro seperti vitamin A, Zinc, dan
Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) berguna sebagai sistem pertahanan
tubuh di saluran pencernaan khususnya pada balita (Nur Setia Restuti and
Annisa Fitri, 2019).
Berbagai faktor risiko ditengarai berkonstribusi pada keadaan defisiensi
zinc, di antaranya adalah asupan kandungan zinc yang rendah, kebutuhan
meningkat, maupun ekskresi berlebihan, misalnya pada diare. Diare akan
menyebabkan peningkatan ekskresi zinc dalam tinja, balans zinc yang
negative, dan menurunkan konsentrasi zinc dalam jaringan. Penelitian di
Delhi, India, didapatkan prevalensi defisiensi zinc 73,3% pada anak usia
prasekolah dengan diare akut. Penelitian pada diare persisten di Afrika
didapatkan prevalensi defisiensi zinc mencapai 47,9%. Pada diare, zinc
berperan dalam inhibisi second messenger induced Cl secretion (cAMP,
cGMP, ion kalsium) meningkatkan absorpsi natrium, memperbaiki
permeabilitas intestinal, dan fungsi enzim pada enterosit, meningkatkan
regenerasi epitel usus dan respons imun lokal dengan membatasi bacterial
overgrowth, dan meningkatkan klirens pathogen(Marlia, Dwipoerwantoro and
Advani, 2016).
Status gizi berdasarkan antropometri lebih dikaitkan dengan asupan zat
gizi makro (karbohidrat, protein dan lemak). Padahal peranan zat gizi makro
10
tidak akan optimal tanpa kehadiran zat gizi mikro (vitamin dan mineral
spesifik). Mineral yang termasuk zat gizi mikro antara lain adalah besi, zink,
tembaga, selenium, chromium, iodium, fluorine, mangan, molybdenium, nikel,
silikon, vanadium, arsenik dan cobalt. Kurangnya asupan mineral spesifik ini,
salah satunya zink dapat menganggu pertumbuhan (Herman, 2009; Yuniar
Rosmalina, 2010).
Zink merupakan mikronutrisi yang penting untuk sintesa protein,
diferensiasi sel dan pertumbuhan. Zink juga merupakan agen anti inflamasi
dan antioksidan pada tubuh manusia. Zink merupakan zat mikronutrisi yang
dibutuhkan dalam jumlah sedikit akan tetapi mutlak harus ada di dalam
tubuh, karena zink tidak bisa digantikan oleh zat gizi lain. Kecukupan zink ini
sangat berguna untuk individu terutama pada anak yang mana pada anak
tersebut terjadi pertumbuhan dan perkembangan (Muhammad, Nurhajjah and
Revilla, 2018).
Penelitian tentang pengaruh zink terhadap pertumbuhan pertama kali
dilakukan oleh Prasad (2013). Pemberian suplemen zink pada penelitian
tersebut memperlihatkan terjadi peningkatan tinggi badan pada anak 12,7-
15,2 cm dalam 1 tahun (Prasad, 2013). Penelitian lain menunjukan terjadi
perbaikan pertumbuhan dan perkembangan pada anak dwarfism,
hypogonadism, hypogammaglobulinemia, giardiasis, strongyloidosis,
schistosomiasis. Penelitian tentang pengaruh zink di Indonesia yang
dilakukan menunjukan pada kelompok pemberian zink saja untuk nilai Z-skor
menurun sampai batas yang lebih tinggi daripada plasebo(Fahmida et al.,
2007).
Peran zink dalam pertumbuhan erat kaitannya dengan peningkatan
konsentrasi plasma Insulin-like Growth Factor I (IGF I). Insulin-like Growth
Factor I merupakan mediator hormon pertumbuhan yang berperan sebagai
suatu growth promoting factor dalam proses pertumbuhan. Penurunan
11
konsentrasi IGF-I disebabkan bukan hanya karena kekurangan energi protein
tetapi juga defisiensi zink(Dewi Pertiwi Dyah Kusudaryati, 2014).
Manifestasi klinis lain yang dapat muncul pada kekurangan asupan zink
adalah penurunan nafsu makan, kemampuan penyembuhan luka yang buruk,
gangguan kulit, alopesia, gangguan neuropsikiatri dan penurunan sistem
imunitas tubuh. Bahkan, jika tidak dapat dikenali dan ditatalaksana pada anak
bisa menyebabkan kegagalan pematangan organ reproduksi hingga
kematian. Kekurangan zink ini erat kaitannya dengan asupan yang kurang
dan gangguan penyerapan (Widhyari, 2012; Prasad, 2013; Liberato, Singh
and Mulholland, 2015).
Energi dalam tubuh manusia diperoleh dari pembakaran karbohidrat,
protein, dan lemak. Agar kebutuhan energi dalam tubuh tercukupi maka
diperlukan konsumsi gizi yang adekuat. Kebutuhan energi pada balita harus
seimbang dengan konsumsi energi yang masuk ke dalam tubuh. Apabila
energi yang didapatkan melalui makanan lebih sedikit dari energi yang
dikeluarkan, maka akan terjadi pergeseran ke arah keseimbangan energi
yang negatif. Apabila terjadi pada bayi dan anak-anak maka akan
mengakibatkan terhambatnya proses pertumbuhan (Almatsier, 2009).
Keseimbangan energi negatif dapat mengakibatkan insulin plasma berkurang
dan menurunkan sintesis Insulin Growth Factor (IGF-1) yang berperan dalam
pertumbuhan linier (Anas and Domili, 2018).
Menurut Prentice dan Bates protein menyediakan asam amino yang
digunakan untuk membangun matriks tulang serta memengaruhi
pertumbuhan tulang karena protein memiliki fungsi untuk memodifikasi
sekresi maupun aksi osteotropic hormone IGF1. Oleh sebab itu, protein dapat
memodulasi potensi genetik dari pencapaian peak bone mass (Prentice A,
1993). Menurut Fanzo, makanan sumber protein hewani memiliki asam
amino esensial yang lengkap dalam memenuhi kebutuhan protein yang
dibutuhkan oleh tubuh. Apabila asam amino dalam tubuh yang diperoleh dari
12
konsumsi makanan tidak lengkap maka dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan (Ernawati, Prihatini and Yuriestia, 2017).
Insulin-like growth factor-I adalah hormon yang memperantarai efek
hormon pertumbuhan (growth hormone/ GH) dan berperan penting dalam
regulasi pertumbuhan somatik dan perkembangan organ. Kadar IGF-1
menggambarkan rata-rata kadar GH harian. Tidak seperti GH, kadar IGF-1
tidak berfluktuasi sepanjang hari (Myrelid, 2012). Hormon GH dan IGF-1
sering dihubungkan dengan kondisi gangguan pertumbuhan dan
perkembangan karena keterlambatan pertumbuhan terjadi pada saat hormon
tersebut berperan penting dalam pertumbuhan (Mikhail WZA, Sabhy HM, El-
sayed HH, Khairy SA, 2013).
Asupan energi dan zat gizi yang tidak memadai, serta penyakit infeksi
merupakan faktor yang sangat berperan terhadap masalah stunting.
Kuantitas dan kualitas dari asupan protein memiliki efek terhadap level
plasma insulin growth factor I (IGF-I) dan juga terhadap protein matriks tulang
serta faktor pertumbuhan yang berperan penting dalam formasi tulang
(Mikhail WZA, Sabhy HM, El-sayed HH, Khairy SA, 2013). Selain itu, di dalam
Lancet Series dijelaskan mengenai beberapa zat gizi mikro yang sangat
penting untuk mencegah terjadinya stunting yaitu vitamin A, zinc, zat besi dan
iodin (Sougandis, 2012).
Asupan protein menyediakan asam amino yang diperlukan tubuh untuk
membangun matriks tulang dan mempengaruhi pertumbuhan tulang karena
protein berfungsi untuk memodifikasi sekresi dan aksi osteotropic hormone
IGF-I, sehingga, asupan protein dapat memodulasi potensi genetik dari
pencapaian peak bone mass. Asupan protein rendah terbukti merusak
akuisisi mineral massa tulang dengan merusak produksi dan efek IGF-I. IGF-I
mempengaruhi pertumbuhan tulang dengan merangsang proliferasi dan
diferensiasi kondrosit di lempeng epifisis pertumbuhan dan langsung
mempengaruhi osteoblas. Selain itu, IGF-I meningkatkan konversi ginjal dari
13
25 hidroksivitamin D3 menjadi aktif hormon 1,25 dihidroksivitamin D3 dan
dengan demikian memberikan kontribusi untuk peningkatan penyerapan
kalsium dan fosfor di usus (Prentice A, 1993; World Bank, 2015).
Dampak beban ganda malnutrisi tidak hanya dirasakan individu.
Ekonomi juga terkena dampaknya; kerugian akibat stunting dan malnutrisi
diperkirakan setara dengan 2-3% PDB Indonesia. “Semakin banyak kasus
penyakit tidak menular di Indonesia telah mengakibatkan naiknya
pengeluaran bagi pemerintah, khususnya untuk jaminan kesehatan nasional,
Biaya tertinggi jaminan kesehatan nasional adalah untuk perawatan stroke,
diabetes dan gagal ginjal. Penyakit tidak menular kini menjadi penyebab 60%
kematian. Beban ganda malnutrisi jelas menjadi masalah bagi Indonesia dan
memerlukan perhatian lebih. Beban ganda malnutrisi juga akan menghambat
potensi dari transisi demografis Indonesia, dimana rasio penduduk usia tidak
bekerja terhadap penduduk usia kerja akan menurun. “Kondisi ini yang
seharusnya menjadi bonus demografi bisa menjadi beban demografi,” (World
Bank, 2015).
Asupan gizi balita dapat diperoleh dari menu makanan keluarga dan
pemberian makanan tambahan (PMT). Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) ditujukan untuk membantu memenuhi kebutuhan balita yang
mengalami malnutrisi. Udang rebon (Acetes erythraeus) sebagai pangan
lokal daerah pesisir memiliki potensi kandungan gizi yang baik terutama
kandungan protein dan kalsium yang tinggi . Protein udang rebon kering per
100g mencapai 66,4g atau setara dengan 2-3 kali protein daging sapi dan
3-4 kali protein telur, serta mengandung kalsium 41 mg atau setara dengan
10 kali kalsium daging sapi (PERSAGI, 2009). Udang rebon di daerah pesisir
keberadaanya cukup melimpah dan murah, harga satu kilogram udang
rebon di pasar tradisional berkisar Rp. 20.000,- atau 4 kali lebih murah
dibanding harga daging yang mencapai Rp. 90.000,- per kilogram. Udang
rebon potensial menjadi pangan sumber protein hewani alternatif, yang
14
murah dan dapat digunakan sebagai suplemen protein dan kalsium alami
balita (Anis Abdul Muis, Uun Kunaepah, Alina Hizni, 2017).
Udang rebon (Acetes sp.) atau udang opossum (Mysids) mempunyai
ukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan udang lainnya. Keer et al. (2018)
melaporkan rebon (Acetes sp.) segar mengandung protein 12,26%, air
83,55%, lemak 0,6%, dan abu 2,24%. Rebon kering mengandung air 19,00%,
protein kasar 48,29, abu 16,05%, dan lemak kasar 3,62% (Balange et al.,
2017). Udang rebon biasa diolah menjadi produk fermentasi terasi (Keer et
al., 2018; Wijayanti and Swastawati, 2019).
Udang mengandung protein dan kalsium tinggi yang dibutuhkan untuk
proses pertumbuhan. Selain itu udang juga mengandung senyawa bioaktif
antara lain kitosan dan kitin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kitosan dan
kitin bermanfaat bagi tubuh. Kedua zat tersebut berfungsi menekan penuaan
sel, mencegah penyakit peredaran darah, memperkuat sistem kekebalan
tubuh, meningkatkan sekresi kolesterol dalam tubuh, menekan proliferasi sel
kanker dan mengurangi kelebihan berat badan(Trivedi et al., 2016).
Produksi Ikan/Udang hasil Budidaya terus mengalami peningkatan,
pada Januari – September 2018 mengalami pertumbuhan sebesar 29,29%
dibandingkan Januari – September 2017. Pertumbuhan rata-rata produksi
ikan budidaya TW I – III Tahun 2015 – 2018, komoditas tertinggi yaitu
Gurame 68,15%, Lele 56,32%, Patin 31,76%, Udang 30,02%, Nila 7,62 %
(Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2019).
Produksi perikanan Sulawesi Selatan meningkat sebesar 8,1 % dari
tahun 2014 sebesar 3.377.689,6 ton menjadi 3.941.648,8 ton pada tahun
2016. Capaian produksi perikanan tersebut didukung oleh kontribusi produksi
perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Pada Tahun 2016 produksi
perikanan Sulawesi Selatan sebesar 3.941.648,8 Ton yang terdiri dari
produksi perikanan budidaya sebesar 3.629.268 Ton dan Produksi perikanan
tangkap sebesar 312.380,8 Ton. Salah satu komoditas unggulan pada bidang
15
budidaya yaitu udang yang mencakup Udang Windu, Vannamei, Udang Putih
dan lainnya. Produksi udang Sulawesi Selatan mengalami penurunan dari
tahun 2014 sampai tahun 2016 sebesar 4,7 %(PPMHP, 2016).
Penelitian terkait pemanfaatan potensi udang rebon sebagai sumber
protein hewani sudah dilakukan, seperti campuran bahan (mix) atau
penambah bahan makanan dalam satu produk makanan baru atau sebagai
salah satu komponen bahan makanan. Hasil penelitian tersebut telah
membuktikan bahwa udang rebon dapat diterima (disukai) pada berbagai
produk seperti sebagai bumbu penyedap (trasi), bola-bola tempe (Fatty
2012), kukis (Sipayung 2013), biskuit (Djundjung 2011), nugget (Desmelati et
al,. 2013) dan mie instan (Haryati et al., 2006) berbahan udang rebon.
Udang rebon ini cukup digemari oleh konsumen masyarakat, namun
tingkat penerimaan konsumen akan produk tersebut masih rendah karena
hanya kalangan tertentu saja yang menyukai produk tersebut. Untuk itu
dilakukan upaya-upaya pengolahan usaha udang rebon sebagai solusi untuk
menjawab akan kebutuhan produk olahan awetan dari bahan baku udang
rebon yang dapat menarik minat konsumen terkhusus ibu yang memiliki anak
usia 24-60 bulan terhadap produk bahan baku udang rebon.
Menurut The American Red Cross (2001), dalam keadaan darurat bagi
balita yang mengalami kekurangan gizi dengan kiteria >= 20 % atau 10-19 %
segera diberi makanan tambahan atau ditangani secara khusus melalui
Therapeutic Feeding Programe (TFP).Pada anak yang mengalami gizi buruk,
terapi dilakukan dalam 3 fase yaitu stabilisasi, transisi, dan rehabilitasi
menggunakan makanan formula F75, F100, dan F135 (Rahayu et al., 2018)
Untuk mendukung tumbuh kembang pada masa balita peran makanan
dengan nilai gizi tinggi sangat penting seperti pada makanan sumber energi-
protein, vitamin (B kompleks, C, dan A), serta mineral (Ca, Fe, Yodium,
Fosfor dan Zinc). Ketidakcukupan zat gizi mengakibatkan penurunan status
gizi sehingga anak mengalami kurang gizi. Hal tersebut memengaruhi
16
gangguan pertumbuhan fisik, kualitas kecerdasan, dan perkembangan
kualitas sumber daya manusia telah dibuktikan melalui berbagai penelitian.
Pada masa balita, zat gizi yang bersumber dari bahan makanan perlu
diberikan secara tepat dengan kualitas terbaik karena gangguan zat gizi pada
masa ini dapat memengaruhi kualitas kehidupan masa selanjutnya.
Prevalensi stunting di Kabupaten Bone Tahun 2013 adalah 43,65%
dengan jumlah 27.700 jiwa (Kesumasari, C., et al., 2020). Pada tahun 2018
sebanyak 40,1% sedang tahun 2019 sebanyak 37% (BONE, 2017). Tingkat
kemiskinan di Kabupaten Bone tahun 2016 adalah 10,07% karenanya Bone
masuk dalam 160 kabupaten/kota prioritas penanganan stunting tahap 2 di
tahun 2019 (Kesumasari, C., et al., 2020).
Kabupaten Bone mempunyai garis pantai sepanjang 138 Km di pesisir
Teluk Bone yang membuat hasil perikanan cukup melimpah (BONE, 2017).
Salah satu komoditas perairan yang melimpah adalah udang rebon.
Dibandingkan dengan udang lainnya, rebon lebih murah harganya serta
memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga dapat dijadikan olahan
makanan bergizi tinggi, namun pemanfaatan akan produk tersebut masih
rendah. Rebon hanya dimanfaatkan dalam pembuatan terasi. Perlu dilakukan
upaya pengolahan rebon sebagai produk olahan yang murah, berkualitas dan
terjangkau. Potensi yang dimiliki pangan lokal udang rebon dapat digunakan
sebagai makanan tambahan bagi anak yang mengalami malnutrisi.
Berdasarkan potensi yang dimiliki udang rebon, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian terkait pengembangan produk olahan berbasis udang
rebon yaitu nugget udang rebon sebagai makanan tambahan untuk balita
yang mengalami malnutrisi yang diharapkan nantinya memberikan pengaruh
terhadap peningkatan kadar albumin, zinc, IGF-1 dan status gizi pada balita
yang mengalami malnutrisi.
17
B. Rumusan Masalah
Potensi yang dimiliki pangan lokal yakni udang rebon dapat digunakan
sebagai makanan tambahan bagi anak usia 24-60 bulan yang mengalami
malnutrisi, sehingga penulis tertarik untuk mengembangkan produk olahan
makanan tambahan berbasis udang rebon. Rumusan masalah penelitian ini
adalah:
1. Bagaimana formula nugget berbahan dasar udang rebon?
2. Bagaimana daya terima produk melalui uji organoleptik?
3. Berapa kandungan gizi makro (protein, lemak, karbohidrat) formula
terpilih?
4. Berapa kandungan gizi mikro (zink, besi, kalsium, fosfor, dan
magnesium) formula terpilih?
5. Bagaimana kontribusi PMT per takaran saji produk terpilih terhadap
kebutuhan energi dan zat gizi anak malnutrisi usia 24 – 60 bulan?
6. Bagaimana pengaruh PMT berbahan dasar udang rebon terhadap
peningkatan kadar albumin pada anak malnutrisi usia 24 – 60 bulan?
7. Bagaimana pengaruh PMT berbahan dasar udang rebon terhadap
peningkatan kadar zinc pada anak malnutrisi usia 24 – 60 bulan?
8. Bagaimana pengaruh PMT berbahan dasar udang rebon terhadap
peningkatan IGF-1 pada anak malnutrisi usia 24 – 60 bulan?
9. Bagaimana pengaruh PMT berbahan dasar udang rebon terhadap
peningkatan status gizi pada anak malnutrisi malnutrisi usia 24 – 60
bulan?
18
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk membuat formula nugget
berbahan dasar udang rebon sebagai alternatif makanan tambahan bagi
anak malnutrisi usia 24 – 60 bulan.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui efek pemberian makanan tambahan berbasis
udang rebon terhadap kadar Albumin pada anak malnutrisi usia 24 –
60 bulan
b. Untuk mengetahui efek pemberian makanan tambahan berbasis
udang rebon terhadap kadar Zinc pada anak malnutrisi usia 24 – 60
bulan
c. Untuk mengetahui efek pemberian makanan tambahan berbasis
udang rebon terhadap kadar IGF-1 pada anak malnutrisi usia 24 – 60
bulan
d. Untuk mengetahui efek pemberian makanan tambahan berbasis
udang rebon terhadap status gizi pada anak malnutrisi usia 24 – 60
bulan
D. Manfaat Penelitian
19
yang bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat, dan industri pangan untuk
membuat atau menyediakan makanan tambahan bagi balita yang teruji dan
memiliki daya terima yang baik.
E. Novelty Penelitian
Novelty penelitian ini terletak pada pemanfaatan udang rebon sebagai
pangan lokal yang bergizi tinggi namun masih kurang dimanfaatkan di
masyarakat. Dibandingkan dengan udang lainnya, rebon lebih murah
harganya serta memiliki kandungan nutrisi yang tinggi sehingga dapat
dijadikan olahan makanan bergizi tinggi. Rebon umumnya hanya
dimanfaatkan dalam pembuatan terasi sehingga perlu dilakukan upaya
pengolahan rebon sebagai produk olahan yang murah, berkualitas dan
terjangkau. Penelitian ini bertujuan untk mengetahui potensi yang dimiliki
pangan lokal udang rebon untuk digunakan sebagai makanan tambahan bagi
anak yang mengalami malnutrisi dengan melihat kadar albumin, zink, IGF-1
dan status gizi anak usia 24 – 60 bulan.
20