Manusia Sebagai Makhluk Budaya

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BUDAYA

Disusun Oleh:

1. Istika Listyana 22307141008

2. Erna Dwi Novitasari 22307141020

3. Hanifah Aulia' Azzah 22307144034

4. Lintang Giri Satrio 22307144036

5. Milda Rahma Putri 22307144032

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
KIMIA
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr,wb.
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan makalah Mata Kuliah Literasi Sosial dan Kemanusiaan dengan
judul "Manusia sebagai Makhluk Budaya."

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Literasi Sosial dan Kemanusiaan.
Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang manusia prasejarah bagi para
pembaca dan juga bagi kami.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan ilmu dan
pengalaman yang dimiliki. Oleh karenanya, saran dan kritik yang bersifat membangun akan
kami terima dengan senang hati. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukan.

Yogyakarta, 16 September 2022

Penulis

I
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................I
DAFTAR ISI................................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 3
2.1 Manusia Sebagai Makhluk Budaya.............................................................3
2.2 Hubungan Manusia dan Kebudayaan..........................................................4
2.3 Etika dan Estetika Budaya...........................................................................6
2.4 Apresiasi terhadap Kemanusiaan dan Kebudayaan.................................... 8
2. 5 Problematika Kebudayaan..........................................................................9
BAB III PENUTUP....................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 12

II
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia adalah makhluk paling sempurna yang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa daripada makhluk lainnya yang ada di bumi. Manusia memiliki akal, rasa, dan juga
kehendak inilah yang membuat manusia dapat menciptakan sesuatu yang baru. Dalam
kehidupannya manusia melakukan banyak aktivitas, mulai dari aktivitas pribadi,
keluarga, etnis/suku, kelompok dan masyarakat. Dari aktifitas-aktifitas tersebut kegiatan
yang melibatkan sukunya memiliki kekhasan tersendiri. Pada umumnya kegiatan yang
terjadi dalam kalangan suatu suku atau etnis merupakan warisan turun-temurun dari para
leluhur-leluhur mereka. Sedangkan sifat dari kegiatan-kegiatan tersebut umumnya sakral.
Kegiatan yang telah diwariskan turun-temurun dan dianggap sakral itu disebut budaya.
Selain berupa kegiatan-kegiatan budaya dapat berupa aturan-aturan, nilai-nilai, dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku didalam suatu kalangan suku atau etnis.Indonesia
yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan etnis memiliki berbagai macam
budaya yang unik dan memiliki keistimewaan sendiri. Manusia sebagai makhluk yang
hidup dalam suatu suku atau etnis khususnya Indonesia merupakan pelaku utama
budaya-budaya yang ada di dalam Nusantara itu, karena itu manusia adalah makhluk
budaya. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan saling berinteraksi satu dengan
lainnya untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan di dalam kehidupan sehari harinya.
Kebiasaan tersebut dikembangkan dan diubah menjadi sebuah budaya. Manusia juga
memiliki budaya yang berbeda, hal tersebut disebabkan karena manusia memiliki
pergaulannya masing-masing di wilayahnya sendiri. Perbedaan budaya terjadi karena
masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki sejumlah suku
bangsa dengan latar belakang kebudayaan, bahasa daerah, dialek, nilai-nilai dan falsafah
dengan pemikiran agama, serta kepercayaan dan sejarah yang berbeda-beda. Menurut
Bachtiar dan Santoso (2017:40) budaya memudahkan kehidupan dengan memberikan
solusi-solusi yang telah disiapkan untuk memecahkan masalah-masalah, dengan
menetapkan pola-pola hubungan, dan cara-cara memelihara koherensi dan konsensus
kelompok. Berdasarkan penjelasan diatas manusia dan budaya tidak dapat dipisahkan,
karena dalam menjalankan kehidupannya tidak bisa terlepas dari hasil-hasil kebudayaan,
setiap hari manusia melihat dan menggunakan kebudayaan, bahkan disadari atau tidak
manusia merusak kebudayaan.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Manusia sebagai makhluk budaya
2. Hubungan manusia dan kebudayaan
3. Etika dan estetika berbudaya
4. Apresiasi terhadap Kemanusiaan dan Kebudayaan
5. Problematika kebudayaan
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan konsepsi manusia sebagai makhluk budaya
2. Menjelaskan hubungan manusia dan kebudayaan
3. Membedakan antara etika dan estetika
4. Menjelaskan makna apresiasi kemanusiaan dan kebudayaan
5. Menjelaskan beberapa problematika dalam kebudayaan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Manusia Sebagai Makhluk Budaya


Manusia dapat diartikan berbeda-beda menurut biologis, rohani, dan istilah
kebudayaan. Secara biologis, manusia diklasifikasikan sebagai Homo Sapiens, sebuah
spesies primata dari golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi.
Di dalam aspek kerohanian, mereka dijelaskan menggunakan konsep jiwa yang
bervariasi dalam agama, dimengerti dalam hubungannya dengan kekuatan ketuhanan
atau makhluk hidup, di dalam mitos mereka juga seringkali dibandingkan dengan ras
lain (Dwiningrum, 2016).
Secara khusus, Antropologi adalah studi tentang umat manusia (Koentjaraningrat,
2009). Dengan menggunakan pendekatan ilmiah, antropologi berusaha menyusun
sejumlah generalisasi yang bermakna tentang makhluk manusia dan perilakunya, dan
untuk mendapat pengertian yang tidak berprasangka tentang keanekaragaman
manusia. Antropologi fisik memusatkan perhatian pada evolusi perkembangan
makhluk manusia dan mempelajari variasi-variasi biologis dalam jenis (spesies)
manusia. Sementara itu, ahli antropologi budaya mempelajari manusia berdasarkan
kebudayaannya. Kebudayaan adalah peraturan-peraturan atau norma-norma yang
berlaku di dalam masyarakat, dan berhubungan dengan perilaku yang dipelajari turun-
temurun dari generasi yang satu kepada generasi berikutnya (Haviland, 1985).
Dua kekayaan manusia yang paling utama adalah akal dan budi, atau yang lazim
disebut pikiran dan perasaan. Dengan adanya akal dan budi atau pikiran dan perasaan
tersebut, memungkinkan munculnya tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih
kompleks daripada tuntutan hidup makhluk lain. Di sisi lain, akal dan budi
memungkinkan munculnya karya-karya manusia yang tidak dapat dihasilkan oleh
makhluk lain. Cipta, karsa, dan rasa pada manusia sebagai buah akal budinya terus
berusaha menciptakan ide, aktivitas, dan benda-benda baru untuk memenuhi hajat
hidupnya; baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dari proses ini maka lahirlah
apa yang disebut „kebudayaan‟. Jadi, kebudayaan hakikatnya tidak lain adalah segala
sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi manusia. Berdasarkan batasan tersebut, maka
yang dimaksudkan dengan manusia sebagai makhluk berbudaya tidak lain adalah
makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan
kebahagiaan. Karena yang membahagiakan hidup manusia itu pada hakikatnya

3
sesuatu yang baik, benar, dan adil; maka dapat dikatakan hanya manusia yang selalu
berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak
menyandang gelar manusia berbudaya (Widagdho, 2008). Manusia sebagai makhluk
berbudaya memiliki beberapa karakteristik yaitu :
1. Sebagian besar kelakuan manusia dikuasai oleh akalnya sedangkan pada hewan
oleh nalurinya.
2. Sebagian besar kehidupan manusia dapat berlangsung dengan bantuan peralatan
sebagai hasil kerja akalnya.
3. Sebagian besar kelakuan manusia didapat dan dibiasakan melalui proses belajar,
sedangkan pada hewan melalui proses nalurinya.
4. Manusia mempunyai bahasa, baik lisan (lambang vokal) maupun tertulis.
5. Pengetahuan manusia bersifat kumulatif (terus bertambah).
6. Sistem pembagian kerja dalam masyarakat manusia jauh lebih kompleks daripada
masyarakat hewan.
7. Masyarakat manusia sangat beraneka ragam, sedangkan pada hewan tetap (statis)
Berdasarkan karakteristik tersebut berarti bahwa hampir seluruh tindakan manusia
adalah “kebudayaan”, karena hanya sedikit tindakan manusia dalam kehidupan
masyarakat yang tidak perlu dibiasakan dengan belajar. Misalnya saja, manusia
makan pada waktu-waktu tertentu yang dianggapnya wajar dan pantas, ia makan dan
minum dengan alat-alat, cara-cara dan sopan santun yang seringkali sangat rumit
sehingga harus dipelajari terlebih dahulu (Koentjaraningrat, 2009).

2.2 Hubungan Manusia dan Kebudayaan


1. Pengertian dan Wujud Kebudayaan
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta buddayah, yaitu bentuk jamak
dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Oleh karena itu, kebudayaan dapat
diartikan sesuatu yang bersangkutan dengan akal.
Kebudayaan sendiri disusun atas beberapa komponen yaitu komponen yang
bersifat kognitif, normatif, dan material. Sering kali orang terjebak dalam sifat
chauvinisme, yaitu membanggakan kebudayaannya sendiri dan menganggap
rendah kebudayaan lain. Seharusnya dalam memahami kebudayaan, kita
berpegangan pada sifat-sifat kebudayaan yang variatif, relatif, universal, dan
counterculture. J.J. Honigman dalam buku antropologinya yang berjudul “The
World of Man” (1959: 11-12) membedakan adanya tiga gejala kebudayaan, yaitu:

4
ideas, activities, dan artifacts. Menurut J.J. Honigman, bahwa kebudayaan
mempunyai tiga wujud, yaitu:
1) Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya.
2) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
manusia dalam masyarakat.
3) Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Wujud pertama adalah wujud ideal dari kebudayaan bersifat abstrak, tidak dapat
diraba atau difoto. Oleh karena berada di alam pikiran warga masyarakat tempat
kebudayaan itu hidup. Apabila masyarakat mengungkapkan gagasan mereka
dalam bentuk tulisan, maka tempat dari kebudayaan ideal berada dalam karangan
dan buku-buku hasil karya para penulis masyarakat yang bersangkutan.
Kebudayaan ideal saat ini banyak tersimpan dalam bentuk disk, arsip,
“microfilm”, dan “microfish”, komputer, “handphone”, dan sebagainya. Istilah
lain dalam Bahasa Indonesia untuk menyebut wujud ideal dari kebudayaan ini
yaitu adat istiadat.
Wujud kedua dari kebudayaan disebut sistem sosial atau social system yang
merupakan tindakan berpola dari manusia. Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi, bagaimana cara manusia berhubungan serta
bergaul satu dengan yang lainnya setiap saat menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat kelakuan. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam
suatu masyarakat, sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita, bisa
diamati, di foto dan didokumentasikan.
Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik. Oleh karena seluruh
hasil kegiatan fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam
masyarakat bersifat konkret yaitu berupa benda-benda yang dapat diraba, dilihat,
dan di foto dari benda yang kecil sampai yang besar.
Ketiga wujud kebudayaan yang terurai di atas, dalam kehidupan sehari-hari tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Kebudayaan ideal dan adat-istiadat mengatur
dan memberi arah kepada tindakan dan karya manusia, baik pikiran-pikiran dan
ide-ide, tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan
fisiknya. Sebaliknya, kebudayaan fisik membentuk suatu lingkungan hidup
tertentu yang makin lama menjauhkan manusia dari lingkungan alamiahnya,
sehingga mempengaruhi pola pola perbuatan manusia bahkan cara berpikirnya.

5
2. Hakekat Manusia Sebagai Makhluk Budaya
Hakekat manusia sebagai makhluk budaya ialah makhluk ciptaan Tuhan yang
paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Kelebihan kodrati
tersebut ialah manusia memiliki cipta (akal), rasa (perasaan), dan karsa
(kehendak). Dalam sejarah perkembangan manusia, peran dan fungsi cipta, rasa,
dan karsa itu menunjukkan keadaan yang sangat dominan pada diri manusia
sehingga manusia disebut makhluk yang berbudaya karena manusia mempunyai
nilai-nilai.
Peran dan fungsi cipta, rasa, dan karsa merupakan faktor dominan bagi lahirnya
kebudayaan. Dengan akal (cipta) manusia senantiasa berpikir, merenung,
menggagas, menginterpretasikan segala macam realitas, kehidupan yang dihadapi.
Karenanya ia juga mempunyai gagasan-gagasan, angan-angan, harapan dan cita-
cita dalam hidupnya.

2.3 Etika dan Estetika Budaya


2. Etika Manusia dalam Berbudaya
Kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos. Secara etimologis, etika
adalah ajaran tentang baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan,
kewajiban, dan sebagainya. Etika berkaitan dengan nilai, karena pada Indonesia
memiliki keragaman suku bangsa dan adat istiadatnya.
Kaidah etika bersifat khas karena kaidah ini berlaku untuk setiap orang. Kaidah
etika ini mencakup teori-teori yang menyatakan bahwa orang melakukan
perbuatan yang secara moral baik jika ia mematuhi aturan. Etika juga
mengarahkan diri pada perbuatan manusia. Juga di dalam etika ini terdapat
berbagai aliran, yaitu Teori Deontik dan Teori Teleologi.
1) Teori Deontik. Teori ini menyatakan bahwa kewajiban yang harus dijalankan
oleh manusia harus dipenuhi, karena perbuatan itu secara moral adalah baik.
Deontik yang berarti “yang diwajibkan”. Teori Deontik cenderung
mengarahkan akal budinya, dengan membuat manusia itu berpikir bagaimana
ia harus melaksanakan kaidah moral. Dalam situasi tertentu ia akan
melakukan perbuatan yang sesuai dengan kaidah itu, sehingga bisa ditarik
kesimpulan bahwa penerapan etika ini hanya berdasar pada penalaran logika
dari manusia itu sendiri. Hal tersebut membuat etika ini memiliki kelemahan
yaitu terlalu rasional dan terlalu kaku.

6
2) Teori Teleologi. Teori Teleologi menempatkan tujuan perbuatan sebagai
landasan bagi kaidah moral, sebab orang dapat mengatakan perbuatan itu
baik secara moral jika akibat dari perbuatan itu baik secara moral. Jadi teori
ini memandang dari segi akibat yang ditimbulkan perbuatan tersebut.
Teleologi berarti “tujuan”. Jadi, teori ini diarahkan pada tujuan dari suatu
perbuatan. Teori ini mengarahkan seseorang untuk berpikir dengan melihat
dari segi tujuan atau hasil jika akan bertindak. Apakah perbuatan itu
bermanfaat baik untuk dirinya atau tidak, sehingga mampu melahirkan
aliran-aliran lain.
2. Estetika Manusia dalam Berbudaya
Estetika dapat dikatakan sebagai teori tentang keindahan atau seni. Estetika
berkaitan dengan nilai indah atau tidak indah. Nilai estetika berarti nilai tentang
keindahan. Keindahan dapat diberi makna secara luas, sempit, dan estetik murni.
a) Secara luas, keindahan mengandung ide kebaikan. Segala sesuatu yang baik
termasuk yang abstrak maupun nyata yang mengandung ide kebaikan adalah
indah. Indah dalam arti luasnya, mencakup hampir seluruh yang ada,
merupakan hasil seni alam, moral dan intelektual.
b) Secara sempit, yaitu indah yang terbatas pada lingkup persepsi penglihatan
(bentuk dan warna)
c) Secara estetik murni, indah mencakup pengalaman estetik seseorang dalam
hubungannya dengan segala sesuatu yang diresapinya melalui penglihatan,
pendengaran, perabaan dan perasaan yang semuanya dapat menimbulkan
persepsi (anggapan indah).
Apabila estetika dibandingkan dengan etika, maka etika berkaitan dengan nilai
tentang baik buruk, sedangkan estetika berkaitan dengan hal yang indah – jelek.
Sesuatu yang estetik berarti memiliki unsur keindahan. Jadi budaya estetik berarti
budaya itu memiliki unsur keindahan. Budaya sebagai hasil karya manusia
sesungguhnya diupayakan untuk memenuhi unsur keindahan karena manusia
sendiri suka akan keindahan. Oleh karena itu, manusia berusaha berestetika dalam
berbudaya. Semua kebudayaan dipandang memiliki nilai-nilai estetik bagi
masyarakat pendukung budaya tersebut.

7
2.4 Apresiasi terhadap Kemanusiaan dan Kebudayaan
Kemanusiaan merupakan suatu nilai yang memiliki prinsip untuk berkesesuaian
dengan hakikat dan sifat–sifat khas manusia sebagai makhluk yang tinggi harkat
martabatnya. Manusia dikatakan sebagai homo economicus, homo faber, homo socius,
homo homini lupus, zoon politicon, dan sebagainya. Akan tetapi pandangan ini belum
menjelaskan hakikat manusia secara utuh. Hakikat manusia Indonesia berdasarkan
Pancasila disebut juga hakikat kodrat monopluralis.
Manusia memiliki harkat dan derajat yang tinggi sehingga manusia hendaknya dapat
mempertahankan hal tersebut. Upaya dalam mempertahankan dan meningkatkan
harkat dan martabatnya tersebut dengan prinsip kemanusiaan. Prinsip kemanusiaan
yaitu adanya penghargaan dan penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia
yang luhur. Pada dasarnya semua manusia adalah luhur, karena itu manusia tidak
harus dibedakan perlakuannya karena adanya keberagaman mengenai suku, ras,
keyakinan status sosial ekonomi, asal-usul dan sebagainya. Antar sesama manusia
sudan seharusnya kita tidak saling menindas, dan saling menghargai serta saling
menghormati antar sesama. Dengan prinsip kemanusiaan yang ada dalam diri manusia
diharapkan dapat menjadi penggerak manusia untuk berperilaku yang seharusnya
sebagai manusia dan kebudayaanya.
Dalam bahasa Inggris kebudayaan disebut culture atau colere yang berarti mengolah
atau mengerjakan. Sedangkan dalam bahasa Sansekerta budaya berasal dari kata
buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhiyang berarti hal–hal yang
berkaitan dengan budi dan akal. Dalam Bahasa Belanda culture atau cultuur berarti
mengolah tanah dan bertani. Maka kata budaya berhubungan dengan kemampuan
manusia dalam mengelola sumber–sumber kehidupan, dalam hal pertanian. J.J
Hoeningman membagi wujud kebudayaan menjadi tiga, yaitu gagasan, aktivitas, dan
artefak. Sedangkan Koentjaraningrat membagi wujud kebudayaan menjadi tiga pula,
yaitu suatu kompleks seperti (ide, gagasan, nilai norma), suatu kompleks aktivitas atau
tindakan berpola dari manusia dalam bermasyarakat, dan suatu benda-benda hasil
karya manusia. Kemudian mengenai unsur kebudayaan, dikenal adanya tujuh unsur
kebudayaan yang bersifat universal karena dapat dijumpai dalam setiap kebudayaan
dimanapun dan kapanpun berada. Tujuh unsur kebudayaan tersebut yaitu : 1. Sistem
peralatan dan perlengkapan hidup 2. Sistem mata pencaharian hidup 3. Sistem
kemasyarakatan atau organisasi sosial 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem pengetahuan 7.
Sistem religi.

8
Kebudayaan diciptakan oleh manusia karena manusia dianugerahi akal dan budi.
Dengan akal budinya, manusia mampu menciptakan, mengkreasi, memperlakukan,
memperbarui, memperbaiki, mengembangkan dan meningkatkan sesuatu yang ada
untuk kepentingan hidup manusia. Kebudayaan merupakan hasil usaha manusia, baik
berupa material maupun spiritual. Kebudayaan adalah milik dan warisan sosial.
Kebudayaan terbentuk melalui interaksi sosial, dan diwariskan kepada generasi
penerus hal ini karena kebudayaan merupakan suatu hal yang tercipta karena interaksi
manusia yang berlangsung selama berabad-abad. Karena manusia adalah pencipta
kebudayaan maka manusia adalah makhluk berbudaya. Dengan kebudayaan inilah
manusia dapat mengenalkan dan menunjukkan jejaknya dalam sejarah.

2. 5 Problematika Kebudayaan
Bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya hal ini dikarenakan adanya
keragaman dalam masyarakat. Dalam setiap kelompok masyarakat akan memiliki
kebudayaannya sendiri yang berbeda dengan kebudayaan kelompok lainnya. Dalam
menjalankan hidupnya manusia akan berinteraksi dengan manusia lain, sehingga
masyarakat akan dapat berhubungan dengan masyarakat lain, hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya hubungan dinamika kebudayaan yang kemudian dapat
terjadi penyebaran kebudayaan, perubahan kebudayaan dan pewarisan kebudayaan
dalam hal ini perlu adanya komunikasi antar budaya sehingga tidak menimbulkan
konflik antar budaya. Semakin tinggi tingkat pengetahuan sosial budaya seseorang
tentang perbedaan pola-pola budaya, semakin besar pula peluang untuk dapat
berkomunikasi antar budaya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pengetahuan tentang
perbedaan pola-pola budaya, semakin kecil pula peluang untuk berkomunikasi antar
budaya.
Dalam penyebarannya kebudayaan dari satu kelompok ke kelompok lain dalam suatu
masyarakat semakin tinggi nilai suatu budaya maka akan semakin sulit diterima oleh
budaya lain. Contoh dalam hal ini mengenai unsur keagamaan. Namun apabila
terdapat suatu unsur budaya yang masuk, maka akan menarik unsur budaya lain.
Contohnya adalah unsur teknologi yang dapat dengan mudah diterima oleh suatu
kelompok akan membawa masuk pula nilai budaya asing melalui orang-orang asing
yang bekerja di industri teknologi tersebut.
Masyarakat Indonesia memiliki keberagaman seperti suku, ras, budaya dan lain
sebagainya. Keberagaman tersebut dapat menimbulkan masalah mengenai

9
kebudayaan. Keragaman masyarakat berpotensi menimbulkan segmentasi kelompok,
terjadinya konflik, serta adanya dominasi kelompok. Keberagaman adalah modal
berharga untuk membangun Indonesia yang multikultural. Namun, kondisi tersebut
juga berpotensi menimbulkan konflik dan kecemburuan sosial. Oleh karena itu,
dibutuhkan adanya kesadaran untuk menghargai, menghormati, serta menegakkan
prinsip kesetaraan atau kesederajatan antar masyarakat tersebut. Antar kelompok
budaya dalam masyarakat perlu adanya sikap toleransi dan menghargai dengan
mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi antar budaya.

10
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan yaitu, Manusia sebagai
makhluk yang berbudaya adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal
budinya untuk menciptakan kebaikan, baik dengan alam maupun manusia lainnya.
kebudayaan hakikatnya tidak lain adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi
manusia ,Untuk itu manusia dapat dikatakan sebagai pencipta kebudayaan dan makhluk
berbudaya.Budaya sendiri merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang yang diwariskan dari generasi ke generasi dan
budaya yang dihasilkan manusia bergantung dari paham/ideologi yang diyakini manusia
pendukung budaya tersebut.

11
DAFTAR PUSTAKA

Ridwan. 2015. Problematika Keragaman Kebudayaan dan Alternatif Pemecahan. Jurnal


Madaniyah, 2 (9), 254-270. Diakses 16 September 2022, dari
https://media.neliti.com/media/publications/195079-ID-problematika-keragaman-
kebudayaan-dan-al.pdf

Sulfemi, W. B. 2007. Ilmu Sosial Dasar. Diakses 16 September 2022, dari


https://osf.io/preprints/inarxiv/2a89w/

Sasmita, D. 2020. Pendahuluan. Diakses 18 September 2022, dari


https://ereport.ipb.ac.id/id/eprint/2389/4/J3A217473-04-Laras-Pendahuluan.pdf

Amini, C. 2020. Makalah Manusia Sebagai Makhluk Budaya. Diakses 18 September 2022,
dari https://www.scribd.com/document/425237339/Makalah-Manusia-Sebagai-
Makhluk-Budaya

Januarti, N, E. Manusia Sebagai Makhluk Budaya. Diakses 18 September 2022, dari


http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/nur-endah-januarti-
ma/pbiologipsb02-manusia-sebagai-makhluk-budaya.pdf

12

Anda mungkin juga menyukai