Ekstradisi
Ekstradisi
Ekstradisi
dan
Tujuan
Ekstradisi
menurut
Hukum
1. Pengertian Ekstradisi menurut Hukum Internasional Lembaga ekstradisi telah diakui dan diterima oleh para sarjana Hukum Internasional sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law). Hal ini memang bias dipahami karena lembaga ekstradisi ini sudah berumur cukup tua.9 Para penulis sejarah hukum internasional mengemukakan bahwa sebuah perjanjian yang tertua dimana isinya adalah perjanjian perdamaian antara Raja Rameses II dari Mesir dengan Hattusili II dari Kheta yang dibuat pada tahun 1279 SM, yang isinya kedua pihak menyatakan saling berjanji akan menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri atau yang diketemukan di dalam wilayah pihak lain. 10 Ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition) berasal dari bahasa latin ekstradere. Ex berarti ke luar, sedangkan Tradere berarti memberikan, yang arti dan maksudnya adalah menyerahkan. Kata bendanya adalah extradition berarti penyerahan. 11
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, (Bandung: Yrama Widya, 2004), hal. 28. 10 Arthur Nusbaum; A Concise History of the Law of Nation, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sam Suhaedi Admawirya, Sejarah Hukum Internasional, Jilid I, Cetakan I, (Bandung: Bina Cipta, 1969), hal. 3) 11 I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, (Bandung: Mandar Maju, 1990), hal. 12.
Akhir-akhir ini masalah ekstradisi muncul lagi ke permukaan dan ramai dibicarakan di kalangan masyarakat luas, terutama karena semakin lama semakin banyaknya pelaku kejahatan yang melarikan diri dari suatu negara ke negara lain, atau kejahatan yang menimbulkan akibat lebih dari satu negara. Dengan perkataan lain, pelaku kejahatannya itu menjadi urusan dari dua negara atau lebih. Kejahatan-kejatahan semacam inilah yang disebut dengan kejahatan yang berdimensi internasional, atau kejahatan transnasional, bahkan ada pula yang menyebut kejahatan internasional. 12 Para sarjana Hukum Internasional yang memberikan defenisi ekstradisi antara lain adalah: a. L. Oppenheim mengatakan: 13 Extradition is the delivery of an accused or convicted individual to the state on whose territory he is alleged to have committed, or to have been convicted of a crime by the state whose territory the alleged criminal happens for the time to be. b. J. G. Starke menyatakan sebagai berikut: 14 The term extradition denotes the process whereby under treaty or upon a basis of reciprocity one state surrenders to another state at its request a person accused or convicted of a criminal offence committed against the laws of the requesting state competent to try the alleged offender Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi: Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan
12 13
I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Inter dan Ekstradisi, Op. cit, hal. 127. L. Oppenheim, Intenational Law, A Treatise, 8th Edition, 1960, vol. One-Peace, hal.
696. J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London: Butterwordhs, 7th Edition), hal. 348.
14
di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untu mengadili dan memidananya. 15 Ekstradisi dapat diartikan sebagai penyerahan yang dilakukan secara formal, baik berdasarkan atas perjanjian ekstradisi yang sudah ada sebelumnya, ataupun berdasarkan prinsip timbal balik atau hubungan baik, atau seseorang yang dituduh melakukan kejahatan (tersangka, terdakwa, tertuduh) atau seseorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti (terhukum, terpidana), oleh negara tempatnya berada (negara yang diminta) kepada negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya (negara yang meminta) atas permintaan negara peminta, dengan tujuan untuk mengadili dan atau pelaksanaan hukumannya. 16 Dari defenisi di atas, dapatlah disimpulkan unsur-unsur dari ekstradisi itu, yakni: 17 a. Unsur subjek, yang terdiri dari: 1) Negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi untuk mengadili atau menghukumnya. Negara-negara inilah yang sangat
berkepentingan untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diadili atau dihukum atas kejahatan yang telah dilakukannya itu. Untuk mendapat kembali orang yang bersangkutan negara atau negara-negara tersebut harus mengajukan permintaan penyerahan kepada negara tempat orang itu berada atau bersembunyi. Negara atau negara-negara
15
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi, tanggal 18 Januari I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Op. cit, hal. 129. I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op.
1979.
16 17
ini berkedudukan sebagai pihak yang meminta atau dengan singkat disebut negara peminta (The Requesting State). 2) Negara tempat si pelaku kejahatan (tersangka, tertuduh terdakwa) atau si terhukum itu bersembunyi. Negara ini diminta oleh negara atau negara-negara yang memiliki yurisdiksi atau negara peminta, supaya menyerahkan orang yang berada di wilayah itu (tersangka atau terhukum), yang dengan singkat dapat disebut negara-diminta (The Rewuested State) b. Unsur objek, Yaitu si pelaku kejahatan itu sendiri (tersangka, tertuduh, terdakwa atau terhukum) yang diminta oleh negara peminta kepada negara-negara diminta supaya diserahkan. Dia inilah yang dengan singkat disebut sebagai orang yang diminta. Meskipun dia hanya sebagai objek saja yang menjadi pokok masalah antara kedua pihak, tetapi sebagai manusia dia harus tetap diperlakukan sebagai subjek hukum dengan segala hak dan kewajibannya yang asasi, yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga. c. Unsur Tata Cara atau Prosedur Unsur ini meliputi tentang tata cara untuk mengajukan permintaan penyerahan maupun tata cara untuk menyerahkan atau menolak penyerahan itu sendiri serta segala hal yang ada hubungannya dengan itu. Penyerahan hanya dapat dilakukan apabila sebelumnya ada diajukan permintaan untuk menyerahkan oleh negara peminta kepada negara diminta. Permintaan tersebut haruslah didasarkan pada perjanjian
ekstradisi yang telah ada sebelumnya antara kedua pihak atau apabila perjanjian itu belum ada, juga bisa didasarkan pada saat asas timbal baik yang telah disepakati. Jadi jika sebelumnya tidak ada permintaan untuk menyerahkan dari negara peminta, orang yang bersangkutan tidak boleh ditangkap atau ditahan maupun diserahkan. Kecuali penangkapan dan penahanan itu didasarkan atas adanya yurisdiksi negara tersebut atas orang dan kejahatannya sendiri atau atas kejahatan lain yang dilakukan orang itu dalam wilayah negara tersebut. Permintaan penyerahan itu sendiri harus diajukan secara formal kepada negara-diminta, sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam perjanjian ekstradisi atau hukum kebiasaan internasional. Jika permintaan itu tidak diajukan secara formal, melainkan hanya secara informal saja misalnya hanya dikemukakan secara lisan oleh wakil negara peminta kepada wakil negara-diminta yang kebetulan bertemu dalam suatu pertemuan atau konferensi internasional, hal itu tidak dapat dianggap sebagai permintaan untuk menyerahkan dalam pengertian dan ruang lingkup ekstradisi, tetapi barulah merupakan tahapan penjajakan saja. Seperti halnya permintaan penyerahan yang harus diajukan secara formal, maka penyerahan itu sendiri harus juga dilakukan secara formal. 18 d. Unsur tujuan Yaitu untuk apa orang yang bersangkutan dimintakan penyerahan atau diserahkan. Penyerahan itu dimintakan oleh negara peminta kepada negara-diminta oleh karena ia telah melakukan kejahatan yang menjadi
Harvard Research Draft Convention on Extradition, dalam Pasal 1 (a) menyatakan sebagai berikut: Extradition is the formal surrender of a person by a state to another state for prosecution of punishment.
18
yurisdiksi negara/ negara-negara peminta. Atau dia melarikan diri ke negara-diminta setelah dijatuhi hukuman yang telah mempunyai kekuatan mengikat yang pasti. Untuk dapat mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan, negara peminta lalu mengajukan permintaan penyerahan atas diri orang tersebut kepada negara-diminta. Jadi, permintaan penyerahan atau penyerahan itu sendiri bertujuan untuk mengadili atau menghukum si pelaku kejahatan itu, sebagai realisasi dari kerja sama antar negara-negara tersebut dalam menanggulangi dan memberantas kejahatan.
2. Maksud dan Tujuan Ekstradisi Menurut Hukum Internasional Istilah ekstradisi menunjuk kepada proses dimana berdasarkan traktat atas atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan kepada negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum negara yang mengajukan permintaan, negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertuduh pelaku tindak tersebut. Biasanya, tindak kejahatan yang ditutuhkan dilakukan di dalam wilayah atau di atas kapal yang mengibarkan bendera negara penuntut dan biasanya pelaku berada di dalam wilayah negara yang menyerahkan untuk mencari perlindungan. Permintaan ekstradisi biasanya dimuat dan dijawab melalui saluran diplomatik. 19 Maksud dan tujuan ekstradisi adalah untuk menjamin agar pelaku kejahatan berat tidak dapat menghindarkan diri dari penuntutan dan pemidanaan,
J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London, Butterwordhs, 10th Edition), hal. 469.
19
karena seringkali suatu negara yang wilayahnya dijadikan tempat berlindung oleh seorang penjahat tidak dapat menuntut atau menjatuhkan pidana kepadanya semata-mata disebabkan oleh beberapa aturan teknis hukum pidana atau karena tidak adanya yurisdiksi atas penjahat tersebut. Penjahat harus dipidana oleh negara tempat ia berlindung atau diserahkan kepada negara yang dapat dan mau memidananya (aut punier aut dedere). Kecuali dari itu negara yang wilayahnya merupakan tempat dilakukannya kejahatan adalah yang termampu mengadili penjahat karena di tempat tersebut bukti-bukti dapat diperoleh dengan lebih bebas, dan negara tersebut mempunyai kepentingan terbesar dalam memidana penjahat tersebut serta mempunyai fasilitas terbesar untuk mencapai kebenaran. 20
3. Asas-asas Umum dalam Ekstradisi Berhubung dengan kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh umat manusia, terutama di bidang transportasi dan komunikasi internasional, maka masalah ekstradisi semenjak abad ke-19 menjadi sangat penting. Kemajuan-kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembang pemikiran-pemikiran baru dalam bidang politik, ketatanegaraan, dan kemanusiaan, turut pula memberikan warna tersendiri pada ekstradisi. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada satu sisinya dapat meningkatkan kesejahteraan hidup umat manusia, pada sisi lain menimbulkan berbagai efek negatif, misalnya seperti timbulnya kejahatan baru dengan akibat yang cukup besar dan luas. Tindakan kejahatan serta akibat-akibatnya tidak hanya
J. G. Starke, An Introduction to International Law, (London, Butterwordhs & Co (Publisher), 4th Edition, 1958), hal. 261.
20
menjadi urusan para korban dan kelompok masyarakat sekitarnya saja, tetapi sering melibatkan negara-negara bahkan kadang-kadang merupakan persoalan umat manusia, sehingga untuk pencegahan dan pemberantasannya, diperlukan kerja sama antar negara. 21 Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, maka ekstradisi juga telah lama dikenal dalam praktek dan telah berkembang menjadi hukum kebiasaan. Dari praktek dan hukum kebiasaan inilah negaranegara mulai merumuskan ke dalam bentuk perjanjian-perjanjian ekstradisi yang berdiri sendiri dengan mengadakan pengkhususan dalam bidang-bidang tertentu, sehingga tidak lagi berkaitan atau menjadi bagian dari masalah-masalah lain yang lebih luas ruang lingkupnya. Perjanjian ekstradisi merupakan salah satu bagian dari perjanjian internasional, dimana perjanjian internasional merupakan sumber hukum utama dan sempurna karena dibuat oleh negara-negara dan juga dibuat secara tertulis hingga menjamin kepastian hukum. 22 Dilihat dari penggolongan dari segi struktur, perjanjian ekstradisi dapat diklasifikasikan ke dalam Treaty Contract (perjanjian yang bersifat kontrak). Dengan Treaty Contract, dimaksudkan perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian-perjanjian. Legal Effect dari Treaty Contract ini hanya menyangkut pihak-pihak yang mengadakannya dan tertutup bagi pihak ketiga. Oleh karena perjanjian ekstradisi tidak melahirkan aturan-aturan hukum yang beraku umum, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai perjanjian yang
21
I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op. Lihat Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional.
cit, hal. 4.
22
membentuk hukum (Law Making Treaties). Tetapi pada hakikatnya perjanjian ekstradisi secara tidak langsung dapat membentuk kaedah-kaedah yang berlaku umum karena telah melalui hukum kebiasaan. 23 Tetapi satu hal patut untuk dicatat bahwa sampai pada saat ini masih belum terdapat sebuah konvensi ekstradisi yang berlaku secara universal. Oleh karena itu mungkin akan timbul anggapan bahwa perjanjian-perjanjian ekstradisi bilateral dan multilateral tersebut berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Anggapan ini mengandung nilai kebenaran, tetapi tidak seluruhnya benar. Sebab d samping adanya perbedaan-perbedaan tersebut, justru di antara sekian banyak perjanjian-perjanjian itu banyak terdapat kesamaan-kesamaan di dalam
pengaturan mengenai berbagai pokok masalah. Bahkan pokok-pokok masalah yang terdapat pula di dalam perundang-undangan ekstradisi. Dengan demikian, dapat pula disimpulkan adanya kesamaan-kesamaan diu dalam dasar-dasarnya. Dasar-dasar yang sama ini diikuti terus oleh negara-negara baik di dalam merumuskan perjanjan-perjanjian ekstradisi maupun dalam perundang-undangan ekstradisi. Atau dengan perkataan lain dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar yang sama ini telah diterima dan diakui sebagai asas-asas yang melandasi ekstradisi. Asas-asas pokok ekstradisi tersebut, antara lain adalah: 24 a. Asas kejahatan ganda (double criminality principle) Menurut asas ini, kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta haruslah merupakan kejahatan (tindak pidana), baik menurut hukum negara peminta maupun negara-diminta.
Hasibuan, Rosmi, Suatu Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Internasional, http://library.usu.ac.id/download/fh/hukuminter-Rosmi5.pdf. diakses pada tanggal 12 Maret 2010. 24 I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Op. cit, hal. 130.
23
Dalam hal ini tidaklah perlu nama ataupun unsur-unsurnya semuanya harus sama, mengingat sistem hukum masing-masing negara itu berbedabeda. Sudah cukup jika hukum kedua negara sama-sama
mengklasifikasikan kejahatan atau tindak pidana. b. Asas kekhususan (principle of speciality) Apabila orang yang diminta telah diserahkan, negara peminta hanya boleh mengadili dan atau menghukum orang yang diminta, hanyalah berdasarkan pada kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisinya. Jadi dia tidak boleh diadili dan atau dihukum atas kejahatan lain, selain daripada kejahatan yang dijadikan alasan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi. c. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non-extradition of political criminal) Jika negara-diminta berpendapat bahwa kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi oleh negara peminta adalah tergolong sebagai kejahatan politik, maka negara diminta harus menolak permintaan tersebut. Tentang apa yang disebut dengan kejahatan politik, serta apa kriterianya, hingga kini tidak ada kesatuan pendapat, baik di kalangan para ahli maupun dalam praktek negara-negara. Apakah suatu kejahatan digolongkan sebagai kejahatan politik atau tidak, memang merupakan masalah politik yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang tentu saja sangat subjektif.
Karena sukarnya menentukan criteria objektif tentang kejahatan politik tersebut, maka dalam perkembangan dari lembaga ekstradisi ini, negaranegara baik dalam perjanjian ataupun perundang-undangan ekstradisinya, menggunakan sistem negatif, yaitu dengan menyatakan secara tegas bahwa kejahatan-kejahatan tertentu secara tegas dinyatakan sebagai bukan kejahatan politik, atau dinyatakan sebagai kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta maupun mengekstradisi orang yang diminta (extraditable crime). Dengan demikian, dapat dimasukkan sebagai kejahatan yang dapat dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi ataupun mengekstradisikan orang yang diminta di dalam perjanjian ataupun perundang-undangan tentang ekstradisi. d. Asas tidak menyerahkan warga negara (non-extradition of nationals) Jika orang yang diminta ternyata adalah warga negara dari negara diminta, maka negara-diminta dapat menolak permintaan dari negara peminta. Asas ini berlandaskan pada pemikiran, bahwa negara berkewajiban melindungi warga negaranya dan sebaliknya warga negara memang berhak untuk memperoleh perlindungan dari negaranya. Tetapi jika negara diminta menolak permintaan negara-peminta, negara-diminta tersebut berkewajiban untuk mengadili dan atau menghukum warga negaranya itu berdasarkan pada hukum nasionalnya sendiri. e. Asas Non Bis in Idem atau Ne Bis in Idem Menurut asas ini, jika kejahatan yang dijadikan alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, ternyata sudah diadili dan atau dijatuhi
hukuman yang telah memiliki kekuatan yang mengikat pasti, maka permintaan negara-peminta harus ditolak oleh negara-diminta. f. Asas Daluarsa Yaitu permintaan negara peminta harus ditolak apabila penuntutan atau pelaksanaan hukuman terhadap kejahatan yang dijadikan sebagai alasan untuk meminta ekstradisi atas orang yang diminta, sudah daluarsa menurut hukum dari salah satu atau kedua belah pihak.
B. Ekstradisi Menurut Hukum Nasional Indonesia (Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979) 1. Sejarah lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Perjanjian Ekstradisi di Indonesia Walaupun maslah ekstradisi pada dasarnya dipandang sebagai bagian dari hanya ditekankan pada segi-segi Hukum Internasional saja. Sebab, ada hal-hal yang tidak mungkin diatur atau dirumuskan sepenuhnya dalam perjanjianperjanjian ekstradisi terutama hal-hal yang merupakan masalah dalam negeri masing-masing negara yang bersangkutan. Dalam hal seperti inilah perjanjianperjanjian ekstradisi menunjuk kepada hukum nasional masing-masing pihak untuk menentukannya dan pengaturannya secara lebih mendetail. Oleh karena itu, negara-negara memandang perlu memiliki sebuah undang-undang nasional yang secara khusus mengatur tentang ekstradisi, di samping mengadakan perjanjianperjanjian dengan negara-negara lain. 25
25
I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op.
Sebelum lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, di Indonesia masih tetap berlaku peraturan perundang-undangan ekstradisi yang merupakan peninggalan Zaman Hindia Belanda. Peraturan
tersebut adalah Stb. No. 188 Tahun 1883 tentang penyerahan orang-orang asing, yang pada tahun 1932 diubah dan ditinjau kembali dan diundangkan dalam Stb. No. 490 Tahun 1932. 26 Sejak Indonesia merdeka, Stb. 188 Tahun 1883 masih dapat berlaku dan menjadi dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam menghadapi persoalan ekstradisi. 27 Pada tanggal 18 Januari 1979, oleh Presiden Soekarno diundangkanlah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi di Jakarta, Ibukota Negara Indonesia, melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1979 No. 2 dan penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3130. Undang-undang tersebut menggantikan Koninklijk Besluit tanggal 8 Mei 1883 Nomor 26 (Stb. 1883-188) yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tata hukum di dalam Negara Republik Indonesia. 28 Undangundang ini terdiri dari 12 bab dan 48 Pasal, disertai lampiran daftar kejahatan yang dapat dijadikan dasar untuk meminta penyerahan sebanyak 32 jenis kejahatan.
26 27
Ibid, hal. 161. Lihat Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. 28 M. Budiarto, Ekstradisi dalam Hukum Nasional, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hal. 12.
Adapun isi-isi pokok dari undang-undang tersebut adalah tentang ketentuan umum mengenai ekstradisi (Bab I), asas-asas ekstradisi (Bab II), selanjutnya syarat-syarat penyerahan, penahanan yang diajukan oleh negarapeminta (Bab III), permintaan ekstradisi dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara peminta (Bab IV), pemeriksaan terhadap orang yang dimintakan ekstradisi (Bab V), dan pencabutan perpanjangan penahanan (Bab VI), pelaksanaan ekstradisi yang meliputi kejahatan mengenai permintaan ekstradisi (Bab VII), penyerahan yang dimintakan ekstradisi (Bab VIII), barang bukti (Bab IX), dan permintaan ekstradisi oleh Pemerintah Indonesia (Bab X), ketentuan peralihan (Bab XI), dan ketentuan (Bab XII)
2. Asas-asas yang Dianut oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi a. Ekstradisi atas dasar perjanjian dan hubungan baik Pasal 2 ayat (1) menegaskan kesediaan Indonesia untuk melakukan ekstradisi atau penyerahan atas diri seseorang pelaku kejahatan apabila antara Indonesia dengan negara yang meminta tersebut sudah terikat dalam suatu perjanjian ekstradisi. Perjanjian ini baik meliputi perjanjian ekstradisi sebelum maupun sesudah diundangkannya undang-undang ini. Akan tetapi di samping atas dasar suatu perjanjian, Indonesia juga menyatakan kesediaan untuk melakukan ekstradisi atas dasar hubungan baik dengan pihak atau negara lain. Inilah yang lebih dikenal dengan prinsip atas assa timbale balik atau prinsip resiprositas.
Prinsip ini bisa dianut dan diterapkan dala hal antara Indonesia dengan pihak lain itu belum terikat dalam perjanjian ekstradisi. Dalam prinsi timbal balik ini, terkandung suatu pengertian tentang kesediaan kedua pihak (Indonesia dan negara asing) untuk saling menyerahkan pelaku kejahatan yang melarikan diri ke wilayah masing-masing. 29 b. Asas kejahatan ganda (double criminality) dan sistem daftar (list system) Dalam Pasal 3 ayat (1) ditegaskan tentang yang siapa yang diekstradisikan atau dimintakan ekstradisinya. Orang yang dapat diekstradisikan adalah setiap orang yang oleh pejabat yang berwenang dari negara asing, diminta kepada Indonesia, atas dasar bahwa orang yang bersangkutan disangka melakukan kejahatan atau untuk menjalani pidana atau perintah penahanan. Berdasarkan asas kejahatan ganda, kejahatan yang disangka telah dilakukan atau hukuman pidana yang telah dijatuhkan itu, haruslah merupakan kejahatan, baik menurut hukum negara asing ang meminta ekstradisi maupun menurut hukum pidana Indonesia. Kejahatankejahatan yang dapat dijadikan dasar/ alasan untuk meminta ekstradisi biasanya dicantumkan dalam suatu daftar yang berisi jenis-jenis kejahatan yang dimaksud tersebut. Kejahatan-kejahatan yang
I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op. cit, hal. 171.
29
tercantum dalam daftar itu, harus dapat dipidana baik menurut hukum Indonesia maupun hukum negara asing yang bersangkutan. 30 c. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik Asas ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) yang secara singkat menyatakan, ekstradisi tidak dilakukan terhadap kejahatan politik. Akan tetapi apa yang dimaksud dengan kejahatan politik sama sekali tidak ditegaskan. Hanya saja Pasal 5 ayat (2) ada ditegaskan, dalam hal atau suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai kejahatan politik dan dalam hal apa sebagai kejahatan biasa. 31 Di samping terhadap kejahatan politik, kejahatan lain yang tidak boleh diesktradisikan adalah kejahatan militer. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 6 UU No. 1 Tahun 1979. 32 Tidak diekstradisikannya pelaku kejahatan militer, menurut Pasal 6 ini oleh karena kejahatan militer mempunyai cirri dan sifat yang berbeda dengan kejahatan menurut hukum pidana umum. Yang termasuk kejahatan militer di Indonesia adalah kejahatan-kejahatan seperti yang diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana Militer/ Tentara (KUHPT). Sudah tentu yang dapat melakukan kejahatan militer ini adalah mereka yang berstatus sebagai militer, sedangkan orang yang bukan militer tidak dapat dituduh atau dikenakan kejahatan militer. d. Asas tidak menyerahkan warga negara
Ibid, hal. 133. Ibid, hal. 177 32 Pasal 6: Ekstradisi terhadap kejahatan menurut hukum pidana militer yang bukan kejahatan menurut hukum pidana umum tidak dilakukan, kecuali apabila dalam suatu perjanjian ditentukan lain.
31 30
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 7 ayat (1) yang menyatakan, permintaan ekstradisi terhadap warga negara Indonesia ditolak. Dari ketentuan ini sudah jelas maknanya, bahwa ternyata orang yang diminta itu adalah berkewarganegaraan Indonesia, maka pemerintah Indonesia berwenang untuk menolak penyerahan warga negaranya tersebut. Untuk menentukan apakah orang yang dimintakan ekstradisi adalah warga negara Indonesia ataukah warga negara asing, ditentukan menurut hukum Indonesia. 33 Dari Pasal 7 ayat (1) ini dapat disimpulkan bahwa penolakan untuk menyerahkan warga negara Indonesia bukanlah merupakan kewajiban bagi Indonesia, melainkan merupakan hak, maka jika pemerintah Indonesia berpendapat bahwa orang yang bersangkutan lebih baik diserahkan, maka dapat saja hak tersebut tidak dipergunakan. Bahkan Pasal 7 ayat (2) secara tegas memperkenankan pemerintah Indonesia untuk menyimpang dari Pasal 7 ayat (1). Ditegaskan bahwa penyimpangan terhadap ketentuan Pasal tersebut dapat dilakukan apabila orang yang bersangkutan karena keadaan yang lebih baik diadili di tempat dilakukannya kejahatan. 34 Keadaan yang dimaksud di sini adalah keadaan yang berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat yuridis. e. Kejahatan yang seluruhnya atau sebagian dilakukan di wilayah Indonesia
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran Republik Indonesia. I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op. cit, hal. 179.
34 33
Pasal 8 menentukan bahwa permintaan ekstradisi dapat ditolak jika kejahatan yang dituduhkan dilakukan seluruhnya atau sebagian dalam wilayah negara Republik Indonesia. 35 f. Orang yang diminta sedang diproses di Indonesia Pasal 9 menegaskan, jika orang yang diminta sedang diproses di Indonesia untuk kejahatan yang sama, permintaan ekstradisi negara peminta terhadap orang yang bersangkutan dapat ditolak. Menurut penjelasan, yang dimaksud dengan proses adalah pemeriksaan terhadap diri orang yang diminta itu dari tingkat pemeriksaan pendahuluan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan. Pemrosesan tersebut, pada akhirnya menentukan tentang bersalah tidaknya orang yang bersangkutan atas kejahatannya. 36 g. Asas non bin in idem Asas ini dimaksudkan untuk tetap terjaminnya kepastian hukum bagi semua pihak, khususnya bagi individu yang bersangkutan. Seorang yang sudah diadili dan dihukum dan dijatuhi hukuman atas kejahatan yang sama, tidaklah layak untuk diadili dan dihukum untuk kedua kalinya. Hal ini penting juga dalam ekstradisi, sebab ekstradisi juga bermaksud untuk mengadili dan menghukum orang yang bersangkutan di negara peminta. Asas ini sudah merupakan asas umum dan hukum setiap negara di dunia. Dalam Pasal 10 Undang-undang tentang ekstradisi Indonesia,
Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1979. I Wayah Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Op. cit, hal. 181.
36 35
ini ditegaskan bahwa apabila putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan Indonesia yang berwenang untuk mengadili kejahatan yang dimintakan ekstradisinya telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti, maka permintaan ekstradisi ditolak. Penolakan ini bukanlah merupakan hak bagi Indonesia, melainkan merupakan suatu kewajiban. Jadi tidak boleh diambil kebijaksanaan lain yang menyimpang dari asas ini. 37 Pasal 11 memperluas asas non bis internasional idem ini, jika yang mengadili atau menghukum orang yang bersangkutan atas kejahatan yang dimintakan ekstradisi itu adalah pengadilan negara atau negara ketiga, permintaan ekstradisi juga harus ditolak. Hal ini berarti bahwa Indonesia juga mengakui putusan pengadilan negara lain. h. Asas kedaluarsa Asas ini juga bermaksud untuk memberikan kepastian hukum. Ditegaskan dalam Pasal 12 bahwa, permintaan ekstradisi ditolak jika menurut hukum negara Republik Indonesia, hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan putusan pidana telah daluarsa. Meskipun hak untuk menuntut atau hak untuk melaksanakan pidana menurut hukum negara peminda masih berlaku, tetapi jika menurut hukum negara Indonesia telah gugur karena kadaluarsa (lewat waktu), maka Indonesia harus menolak penyerahan orang yang diminta itu. Sebaliknya, jika menurut hukum Indonesia hak tersebut masih berlaku, tetapi menurut hukum negara-peminta adalah daluarsa, dalam hal ini
37
Ibid
sudah tentu Indonesia tidak boleh menolaknya. Akan tetapi jika orang yang bersangkutan diserahkan, kemudian diadili oleh negara peminta tersebut atau diperintahkan untuk menjalani hukuman, maka orang yang bersangkutan dapat mengajukan pembelaannya bahwa hak untuk menuntut atau menjalani atau menjalani hukuman terhadap
kejahatannya itu telah kadaluwarsa. Apabila terbukti benar, negara peminta itu wajib untuk melepaskan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam kasus seperti ini, tidak ada gunanya bagi negara peminta untuk meminta penyerahan apabila nanti setelah orang tersebut diserahkan, dia akan lepas dari penuntutan atau penghukuman karena sudah kadaluwarsa. 38 i. Penolakan ekstradisi karena ada sangkaan yang cukup kuat Hal ini diatur dalam Pasal 14 yang lengkapnya berbunyi: Permintaan ekstradisi ditolak, jika menurut instansi yang berwenang terdapat sangkaan yang cukup kuat, bahwa orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau dikenakan tindakan lain karena alasan yang bertalian dengan agamanya, keyakinan politiknya, atau kewarganegaraannya, ataupun karena ia termasuk suku bangsa atau golongan penduduk tertentu. Pasal ini dapat dikatakan sebagai penegasan atau penjaran dari asas kekhususan atau asas spesialitas, seperti tercantum dalam Pasal 15, yang sudah umum dianut dalam setiap perundang-undangan dan perjanjian ekstradisi. Hal ini berdasarkan asas kekhususan, orang yang diminta atau si pelaku kejahatan hanya boleh diadili, dipidana atas
38
kejahatannya penyerahannya.
yang
dijadikan
sebagai
dasar
untuk
meminta
Negara peminta tersebut tidak boleh mengadili orang yang diminta terhadap kejahatan-kejahatannya yang lain, walaupun negara peminta tersebut memiliki yurisdiksi untuk mengadilinya. Beberapa perjanjian ekstradisi, juga telah banyak mencantumkan ketentuan semacam ini, misalna Konvensi Ekstradisi Eropa tahun 1957. Dalam hal ini Indonesia yang berkedudukan sebagai negara yang dimintai penyerahan oleh suatu negara-peminta, haruslah cukup jeli untuk melihat, menganalisis dan mempertimbangkan sejauh mana negara peminta tersebut cukup jujur, melaksanakan asas rule of law, sistem politik nasional/ internasional negara itu, prakteknya dalam hal pelaksanaan hak asasi manusia dan lain-lain. 39 j. Asas kekhususan Asas ini tercantum dalam Pasal 15 yang menyatakan permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisi akan dituntut, dipidana, atau ditahan karena melakukan kejahatan lain daripada kejahatan karenanya ia dimintakan ekstradisinya, kecuali dengan izin presiden. Dalam rumusan secara positif, asas kekhususan itu mengandung makna, bahwa orang yang diminta penyerahannya, hanya boleh dituntut, diadili, dan dihukum oleh negara peminta hanya atas kejahatan yang dijadikan sebagai dasar/ alasan untuk meminta
39
ekstradisinya. Jika negara-peminta akan menuntut mengadili atau di samping kejahatan yang dijadikan dasar untuk meminta ekstradisinya juga atas kejahatan lainnya di luar itu, maka negara-diminta (Indonesia) harus menolak permintaan ekstradisi tersebut. 40 k. Orang yang diminta, akan diektradisikan kepada negara ketiga Dalam Pasal 16 ditegaskan, bahwa permintaan ekstradisi ditolak, jika orang yang dimintakan ekstradisinya tersebut akan diserahkan kepada negara ketiga untuk kejahatan-kejahatan lain yang dilakukan sebelum ia dimintakan ekstradisi itu. Jelasnya, Pasal ini menentukan jika negara peminta mengajukan permintaan ekstradisinya kepada Indonesia terhadap diri seorang pelaku kejahatan, tidak dengan maksud untuk mengadili dan menghukum atas kejahatan yang dijadikan sebaai alasan untuk meminta ekstradisi, tetapi hanya sekedar untuk mendapat kembali orang tersebut untuk diektradisikan lagi kepada negara ketiga, permintaan tersebut harus ditolak. 41 l. Permintaan yang ditunda pemenuhannya Indonesia yang berkedudukan sebagai negara-diminta, dapat menunda pelaksanaan atau pemenuhan permintaan ekstradisi negara-peminta, apabila orang yang diminta, atau si pelaku kejahatan ternyata juga terlibat dalam suatu kejahatan lain yang dilakukannya di Indonesia. Misalnya untuk kejahatan tersebut, dia sedang diperiksa, atau sedang
40 41
diadili atau
sudah
dijatuhi
hukuman
dan
sedang
menjalani
hukumannya. Setelah perkara itu mempunyai kekuatan hukum yang pasti dan/ atau setelah dia selesai menjalani masa hukumannya, baruah permintaan ekstradisi yang memenuhi syarat tersebut (yang ditunda itu) harus dipenuhi pelaksanaannya. 42
3. Prosedur dan pelaksanaan ekstradisi menurut hukum nasional Indonesia Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi, yang merupakan dasar hukum nasional dalam melakukan ekstradisi kepada pelaku kejahatan, ada beberapa prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi di dalam pelaksanaan ekstradisi. Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi tersebut pada bab X diatur tentang permintaan ekstradisi oleh pemerintah Indonesia. Dengan perkataan lain, pemerintah Indonesia berkedudukan sebagai negarapeminta. Di dalam Pasal 44 ditegaskan, apabila seseorang disangka melakukan sesuatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu kejahatan yang dapat diekstradisikan di dalam yurisdiksi Negara Republik
Indonesia dan diduga berada di negara asing, maka atas permintaan Jaksa Agung Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden, dapat meminta ekstradisi orang tersbut yang harus diajukan melalui saluran diplomatik.
42
Pasal 45 mengatur tentang penyerahan orang yang diminta itu kepada Indonesia. Menurut Pasal ini, apabila orang yang dimintakan ekstradisinya tersebut dalam Pasal 44 telah diserahkan oleh negara asing, orang tersebut dibawa ke Indonesia, dan diserahkan kepada instansi yang berwenang. Dalam hal Indonesia sebagai negara-peminta dan permintaan ekstradisi Indonesia dikabulkan oleh negara-diminta, maka Indonesialah yang datang mengambil orang yang diminta itu ke tempat yang telah ditentukan oleh negara diminta. Hal ini memang sudah sewajarnya, sebab Indonesia sebagai negara pemninta adalah sangat berkepentingan untuk mengambil atau menghukum orang yang bersangkutan. Oleh karena itulah pihak yang berkepentingan harus mengambil dan membawa kembali orang tersebut ke negaranya sendiri. Menurut Pasal 46, tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara orang yang diminta penyerahannya diatur dengan peraturan pemerintah. Akan tetapi jika dilhat dari perjanjian ekstradisi yang telah ada, seperti perjanjian ekstradisi Indonesia-Thailand, Indonesia-Malaysia, dan
Indonesia-Philipina, maka tata cara mengenai penyerahan dan penahanan sementara orang yang diminta adalah dengan tunduk semata-mata pada hukum pihak yang diminta. Dengan kata lain, tata cara tersebut diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara-diminta. Sedangkan syarat-syarat yang harus menurut ketiga perjanjian ekstradisi tersebut antara lain: a. Permintaan penyerahan wajib dinyatakan secara tertulis dan dikirim di Indonesia kepada menteri Kehakiman dan di negara-diminta kepada
Menteri yang bertanggung jawab atas pelaksanaan peradilan melalui saluran diplomatik. b. Permintaan penyerahan wajib disertai: 1) Lembaran asli atau salinan yang disahkan dari penghukuman dan pidana yang dapat segera dilaksanakan atau surat perintah penahanan atau surat perintah lainnya yang mempunyai akibat yang sama dan dikeluarkan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan dalam hukum negara-peminta. 2) Keterangan dari kejahatan yang diminakan penyerahannya, yakni waktu dan tempat kejahatan dilakukan, uraian yuridis, dan penunjukan pada ketentuan-ketentuan hukum yang bersangkutan diuraikan secermat mungkin, dan 3) Salinan dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau jika ini tidak mungkin suatu keterangan tentang hukum yang bersangkutan dan uraian yang secermat mungkin dari orang yang diminta penyerahannya bersama-sama dengan keterangan lain apapun juga, yang dapat membantu menentukan identitas dan kebangsaannya. c. Dokumen-dokumen yang digunakan dalam proses penyerahan akan dibuat dalam Bahasa Inggris.