Hukum Perjanjian Internasional
Hukum Perjanjian Internasional
Hukum Perjanjian Internasional
Pengertian Perjanjian
Internasional Definisi Tahap
Pembuatan, Bentuk, Istilah dan
Sebagai Sumber Hukum
Ditulis oleh : Admin
1969,
pengertian perjanjian internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh Ian
BrownlieIan Brownlie, Principles of Public International Law, (Oxford University Press, 3rd edition,
1979), hlm. 602. Lihat pula pasal 2 (1) Konvensi Wina Tahun 1969. adalah :
Treaty as an international agreement concluded between states in written form and
governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or
more related instruments and what ever its particular designation.
Yang berarti perjanjian sebagai suatu persetujuan yang dibuat antar negara dalam
bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional, apakah dalam instrumen tunggal
atau dua atau lebih instrumen yang berkaitan apapun nama yang diberikan
padanya.
Pada kerangka teoritis Mochtar Kusumaatmadja merumuskan perjanjian
internasional dengan rumusan yang lebih luas Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 84., yaitu :
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat- akibat
hukum tertentu dan karena itu untuk dapat dinamakan perjanjian internasional,
perjanjian itu harus diadakan oleh subjek-subjek hukum internasional yang menjadi
anggota masyarakat internasional.
Berdasarkan pengertian di atas, terdapat beberapa kriteria dasar yang digunakan
sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup yang harus dipenuhi untuk dapat
ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional, yaitu Eddy Pratomo, Op.Cit., hlm. 46. :
1. an international agreement;
2. by subject of international law (termasuk entitas di luar negara);
3. in written form;
4. governed by international law (diatur dalam hukum internasional serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik);
5. whatever form.
Berikut adalah penjelasan mengenai unsur atau kriteria dasar yang digunakan
sebagai tolak ukur definisi dan ruang lingkup perjanjian internasional, yaitu :
a. An International Agreement
Bahwa suatu perjanjian internasional haruslah memiliki karakteristik internasional
yang berarti perjanjian itu mengatur aspek-aspek hukum internasional atau
permasalahan lintas negara.
Selain itu, unsur ini juga dipakai untuk menunjukkan bahwa definisi perjanjian
internasional mencakup semua dan segala jenis perjanjian yang memiliki karakter
internasional, terlepas dari apakah perjanjian itu disusun secara bilateral,
multilateral, regional ataupun universal.
b. Subject of International Law
Bahwa perjanjian tersebut harus dibuat oleh negara dan/atau organisasi
internasional sehingga tidak mencakup perjanjian yang sekalipun bersifat
internasional namun dibuat oleh non-subjek hukum internasional.
Yang dimaksud dengan unsur ini adalah perjanjian internasional hanya dapat dibuat
di antara subjek-subjek hukum tertentu, yaitu subjek hukum internasional. Subjek
hukum internasional adalah :
1. Negara;
2. Organisasi Internasional;
3. Palang Merah Internasional;
4. Tahta Suci/Vatican;
5. Pemberontak/Belligerent.
c. In Written Form
Seperti yang tertuang secara tegas dalam Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina
1986, ruang lingkup perjanjian internasional dibatasi hanya pada perjanjian yang
tertulis. Pembatasan tersebut dimaksudkan agar tidak ada akibat hukum yang tidak
diinginkan oleh negara-negara peserta yang disebabkan oleh oral agreement seperti
yang tertuang pada Pasal 3 Konvensi Wina 1969. Pasal 3 Konvensi Wina 1969 menyatakan
bahwa : The fact that the present Convention does not apply to international agreements concluded
between states and other subjects of international law or between such other subjects of international
law, or to international agreements not in written form, shall not affect :
a. The legal force of such agreements;
b. The application to them of any of the rules set forth in the present Convention to which they would
be subject under international law independently of the Convention;
c. The application of the Convention to the relations of States as between themselves under
international law are also parties.
nations), keputusan pengadilan (judicial decisions) dan pendapat para ahli. Eddy Pratomo, Op.Cit.,
hlm. 41.
1. Perjanjian internasional yang dibuat oleh kepala negara. Dalam hal ini,
perjanjian internasional dirancang sebagai suatu perjanjian antara
pemegang kedaulatan dan kepala-kepala negara;
2. Perjanjian internasional yang dibuat antar pemerintah. Biasanya dipakai untuk
perjanjian-perjanjian khusus dan non-politis;
3. Perjanjian internasional yang dibuat antar negara (inter-states). Perjanjian ini
dibuat secara tegas atau implisit sebagai suatu perjanjian antar negaranegara;
4. Suatu perjanjian dapat dirundingkan dan ditandatangani di antara menteri
negara terkait, umumnya Menteri Luar Negeri negara masing-masing;
5. Dapat berupa perjanjian antar departemen, yang dibentuk antara wakil- wakil
departemen pemerintah khusus.
Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara pesertanya dibedakan
menjadi Perjanjian Internasional Bilateral yang hanya terdiri dari dua pihak atau dua
negara saja serta Perjanjian Internasional Multilateral yang jumlah pesertanya lebih
dari dua negara peserta.
Suatu penggolongan yang lebih penting dalam rangka pembahasan perjanjian
internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan isi perjanjian
multilateral dalam treaty contract (traite-contract) dan law making treaties (traitelois).Pembedaan ini diikuti juga oleh para sarjana hukum Inggris dan Amerika. Misalnya J.G. Starke,
Introduction to International Law, 1967. Lihat, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja S.H. LLM.,
Pengantar Hukum Internasional, Buku I - Bagian Umum, Bandung, 1977, hlm. 86. Dengan
treaty
contract dimaksudkan perjanjian dalam hukum perdata, hanya mengakibatkan hak
dan kewajiban antara para pihak yang mengadakan perjanjian itu. Contoh treaty
contract demikian misalnya perjanjian mengenai dwi-kewarganegaraan, perjanjian
Mengutip pendapat Ketut Mandra I Ketut Mandra, Peranan Traktat dalam Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Internasional, Pro Justicia, No. Ke-16, 1981, hlm. 16. , yang mengatakan
bahwa peranan atau fungsi perjanjian internasional dalam pembentukan dan
perkembangan hukum internasional dapat diperinci atau digolongkan ke dalam tiga
macam, yakni :
1. Merumuskan atau menyatakan (declare) atau menguatkan kembali
(confirm/restate) aturan-aturan hukum internasional yang sudah ada (the
existing rules of international law);
2. Merubah dan/atau menyempurnakan (modify) ataupun menghapuskan
(abolish) kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada untuk
mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future
conducts);
3. Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali, yang
belum ada sebelumnya.
Tahap- tahap Pembuatan Perjanjian Internasional.
Dalam melakukan perjanjian, suatu negara harus melaksanakan tahap- tahap
pembuatan perjanjian internasional. Tahapan pembuatan pejanjian internasional
tersebut terdiri dari :
1. Perundingan (Negotiation)
Pada tahap ini pihak-pihak akan mempertimbangkan terlebih dahulu materi yang
hendak dicantumkan dalam naskah perjanjian. Materi tersebut dapat ditinjau dari
sudut pandang politik, ekonomi maupun keamanan dan juga mempertimbangkan
akibat-akibat yang akan muncul setelah perjanjian disahkan. Perundingan dilakukan
oleh wakil-wakil negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan
mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah yang
harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri
ataupun duta besar. Berdasarkan Pasal 7 Konvensi Wina 1969, negara juga dapat
menunjuk seseorang untuk dapat mewakili negara tersebut dalam melakukan
tahapan pembuatan perjanjian dengan membuat Surat Kuasa Penuh (Full Power).
Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat
pada tahap penandatanganan.
2. Penandatanganan (Signature)
Penandatanganan perjanjian internasional yang telah disepakati oleh kedua negara
biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan atau menteri luar
negeri. Tahap penandatanganan diakhiri dengan penerimaan naskah (adoption of
the text) dan pengesahan (authentication of the text). Apabila konferensi tidak
menentukan cara pengesahan maka pengesahan dapat dilakukan dengan
penandatanganan, penandatanganan sementara atau pembubuhan paraf. Dengan