Penghormatan Dan Pelaksanaan Atas Perjanjian Internasional

Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Unduh sebagai pptx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

P E N G H O R M ATA N

DAN PEL AKSANA AN


ATA S P E R J A N J I A N
INTERNASIONAL
KELOMPOK 6 :
1. D I A N L E S TA R I (S20153002)
2. K A M I L I A H U RY YAT I I S TA N I A H (S20153007)
3. Z I K R A N I R I S T I A A I S YA H (S20153003)
PENDAHULUAN

• Suatu Perjanjian internasional yang sudah memenuhi syarat untuk


mulai berlaku (enter into force) selanjutnya harus dihormati dan
dilaksanakan oleh pihak yang terikat demi tercapainya maksud dan
tujuannya.
• Dalam pelaksanaannya, kemungkinan bisa lancar. Akan tetapi tidak
jarang timbul masalah. Oleh karena itu, demi menghindari atau
mencegah timbulnya sengketa. Asas-asas dari hukum internasional
dijadikan landasan dalam pelaksanaannya.
RUANG LINGKUP TERITORIAL
BERLAKUNYA SUATU
PERJANJIAN INTERNASIONAL
• Perjanjian internasional yang menjadi bagian dari hukum nasional
negara yang meratifikasi, terikat sesuai dengan prosedur yang
ditentukan di dalam hukum atau peraturan perundang-undangan
nasionalnya. Selanjutnya harus diterapkan di dalam wilayah negara itu
sendiri.
• Wilayah (teritorial) negara menurut hukum internasional meliputi
wilayah darat, wilayah perairan atau laut, dan wilayah ruang udara,
dengan batas-batas yang sesuai dengan hukum internasional serta
diakui oleh masyarakat internasional. Dalam kenyataannya relatif jarang
perjanjian internasional menegaskan secara eksplisit tentang ruang
lingkup teritorial berlakunya suatu perjanjian internasional.
• Pandangan Tentang Ruang Lingkup Teritorial Berlakunya Suatu Perjanjian
Internasional :
1. Lord Mc Nair : Pandangan yang menghendaki supaya suatu perjanjian
internasional yang telah diratifikasi oleh suatu negara diberlakukan di
seluruh macam wilayah dimana negara itu memiliki tanggung jawab
secara internasional.
2. Mr Godber : Suatu perjanjian internasional yang sudah diratifikasi oleh
suatu negara hanya berlaku di seluruh wilayah induk dari negara itu
saja. Jadi perjanjian internasional tidak berlaku di bagian wilayahnya yang
lain, kecuali jika negara itu menghendakinya dan harus dinyatakan
secara tegas.
• Pendapat kedua lebih diterima oleh mayoritas anggota Komisi Hukum
Internasional (internasional Law Commission) dan juga dikuatkan oleh
negara-negara yang terlibat dalam perundingan yang menghasilkan
konvensi Wina 1969 sebagaimana yang tercantum dalam pasal 29 :
“Kecuali maksud yang sebaliknya tampak dari perjanjian itu sendiri
ataupun ditentukan sebaliknya dalam perjanjian tersebut, suatu
perjanjian internasional akan mengikat atau berlaku terhadap para
pihak, di dalam keseluruhan wilayahnya.”
PENGUTAMAAN PERJANJIAN
INTERNASIONAL ATAS HUKUM
NASIONAL
• Suatu negara yang telah meratifikasi suatu perjanjian internasional dalam
pelaksanaannya di dalam wilayahnya juga akan berhadapan dengan hukum
atau peraturan perundang-undangan nasional yang lain. Dalam hal ini ada
beberapa kemungkinan yang akan dihadapi, yakni:
1. Substansi maupun isi dari perjanjian itu sediri selaras dengan hukum
atau peraturan perundang-undangan nasionalnya yang lainnya. Tentunya
tidak ada atau amat sedikit masalah yang muncul berkenaan dengan
penerapan perjanjian internasional itu baik secara internal maupun
eksternal.
2. Baru diketahui yakni setelah pernjanjian internasional diterapkan
beberapa isi atau ketentuannya ternyata bertentangan dengan hukum
atau peraturan perundang-undangan nasionalnya.
• Dalam Konferensi Wina tentang Hukum Perjanjian Internasional
disepakatilah supaya hukum nasional tidak dapat dijadikan alasan
pembenar atau pelanggaran atau kegagalannya dalam pelaksanakan
ketentuan perjanjian internasional. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 27
Konverensi yang meyatakan:
“Salah satu pihak tidak boleh menjadikan ketentuan dalam hukum
nasionalnya sebagai pembenar atas kegagalannya dalam melaksanakan
suatu perjanjian internasioanl. Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk
mengabaikan Pasal 46.”
• Dalam praktek hukum dan hubungan internasional tidak jarang negara-
negara melanggar ataupun gagal melaksanakan kewajiban yang berasal dari
suatu perjanjian internasional dengan alasan atas hukum atau kepentingan
nasionalnya. Misalnya Argentina pada bulan Desember 2002 menyatakan
tidak sanggup lagi membayar utang-utang luar negerinya disebabkan
karena ambruknya perekononomian nasionalnya.
• Penyelesaian masalah yang berkenaan dengan pelanggaran atas perjanjian
internasional karena alasan hukum atau kepentingan nasional, yakni
melalui penyelesaian secara damai baik dengan perundingan secara
langsung ataupun peranan pihak ketiga atau dengan melalui badan-badan
penyelesaian sengketa. Jika negara yang melakukan pelanggaran tidak mau
memikul kewajibannya, negara harus bertanggung jawab termasuk dalam
ruang lingkup hukum tentang tanggung jawab negara.
PERJANJIAN INTERNASIONAL
DAN PIHAK KETIGA
• Sesuai dengan asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, suatu perjanjian
internasional hanyalah memberikan hak dan membebani kewajiban kepada
pihak-pihak yang terikat pada perjanjian tersebut. Ada tiga macam
pembebanan kewajiban atau pemberian hak yang bersumber dari suatu
perjanjian kepada pihak ketiga, yakni :
1. Pembebanan kewajiban dan pemberian hak yang sifatnya timbal balik.
Artinya hak yang diberikan disetai dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh pihak ketiga yang bersangkutan.
2. Hanya pemberian hak saja tanpa disertai dengan pembebanan atau
pelaksanaan kewajiban.
3. Hanya berupa pembebanan kewajiban tanpa diimbangi dengan
pemberian hak.
• Kesepakatan para pihak untuk membebani kewajiban atau memberikan
hak kepada pihak ketiga, tetapi tidak dicantumkan di dalam ketentuan
perjanjian sebab kesepakatan itu dicapai setelah perjanjian itu mulai
berlaku. Semua itu dibenarkan tetapi dengan syarat bahwa pihak ketiga
sendiri haruslah menyetujuinya.
• Jika pihak ketiga itu sendiri menolaknya maka kewajiban yang
dibebankan ataupun hak yang diberikan tidak berlaku.
• Tentang Pembebanan kewajiban atau pemberian hak kepada negara
diatur dalam pasal 34, 35, 36 Konvensi Wina 1969.
PENARIKAN KEMBALI KEWAJIBAN
ATAUPUN HAK YANG TELAH DIBERIKAN
KEPADA PIHAK KETIGA
• Penarikan kembali ataupun pengubahan atas kewajiban yang dibebankan
ataupun atas hak yang diberikan kepada pihak ketiga, secara tegas
diperkenankan tetapi hal itu hanya bisa dilakukan asalkan ada persetujuan
dari negara-negara peserta dalam perjanjian pada satu pihak dan negara
ketiga yang dibebani kewajiban pada lain pihak.
• Pengecualiannya, yaitu jika mereka (para pihak) telah mencapai
kesepakatan yang lain atau yang sebaliknya. Bahwa kewajiban adalah suatu
beban dan penarikan kembali ataupun pengubahan atas kewajiban itu
dapat meringankan beban pihak ketiga yang bersangkutan, maka dapat
dibenarkan.
• Diatur dalam Pasal 37 ayat 1 dan 2 dengan judul Revocatin or
Modification of obligations or rights of third states.
KLASIFIKASI PERJANJIAN
INTERNASIONAL DALAM PEMBEBANAN
KEWAJIBAN ATAU PEMBERIAN HAK
KEPADA PIHAK KETIGA
1. Perjanjian Internasional khusus atau perjanjian internasional tertutup yang substansinya hanya
melahirkan hak dan kewajiban kepada pihak yang terikat pada perjanjian itu.
2. Perjanjian internasiona khusus atau perjanjian internasional yang ditinjau dari para pihak yang
semula terikat sebenarnya hanya beberapa pihak saja, tetapi mengandung substansi hukum yang
bersifat universal dan mengandung sifat jus cogens.
3. Perjanjian internasional yang membebani kewajiban atau memberikan hak kepada negara ketiga,
dimana kewajiban atau hak itu memang sudah ada sebelumnya dan perjanjian itu sendiri
mengakui eksistensi kewajiban dan hak itu.
4. Perjanjian internasional antara beberapa negara saja tetapi yang substansinya berkenaan dengan
masalah yang relatif baru yang mengatur suatu obyek yang merupakan masalah bagi seluruh
negara bahkan seluruh umat manusia
5. Perjanjian internasional umum atau global atau universal yang memberikan hak atau membebani
kewajiban kepada pihak ketiga yang substansinya mengandung kaidah hukum yang tergolong jus
cogens.
PENERAPAN SEMENTARA
SUATU PERNJANIAN
INTERNASIONAL
• Bertujuan untuk suatu usaha uji-coba atas perjanjian internasional itu
sendiri, sudah sesuai dengan kepentingan sebagian atau seluruh negara
yang terlibat dalam perundingan yang sepakat menerapkannya untuk
sementara waktu.
• Untuk mengetahui masih ada kekurangannya untuk kemudian
dilakukan penyempurnaan menjelang akan mulai berlakunya ataupun
nanti setelah mulai berlakunya perjanjian itu akan dilakukan
amandemen atau modifikasi atas ketentuan-ketentuannya.
• Dasarnya Pasal 25 Ayat 1 dan 2 dengan judul Provisional Application of a treaty.
• Perjanjian yang dapat diterapkan sementara waktu adalah :
1. Perjanjian itu sendiri baik secara keselurahan atau hanya atas sebagian dari isi
perjanjian itu
2. Penerapan sementara tersebut dapat merupakan kesepakatan dari seluruh
negara yang ikut serta dalam negosiasi yang menghasilakan perjanjian itu,
ataupun kesepakatan dari beberapa atau sebagian saja dari semua negara yang
melakukan negosiasi
3. Penerapan sementara dilakukan sebelum perjanjian itu sendiri mulai berlaku
atau menunggu saat mulai berlakunya perjanjian tersebut
4. Walaupun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam pasal 25, pemberlakuan
sementara tersebut tidak boleh menghambat atau menghalang-halangi usaha
mencapai maksud dan tujuan perjanjian itu sendiri.
SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAK
TIDAK BERLAKU SURUT (NON-
RETROACTIVITY OF A TREATY)
• Suatu perjanjian internasional dapat dinayatakan berlaku surut jika
memang tampak dari maksud yang tersimpul dari perjanjian itu sendiri
atau ditentukan sebaliknya, bahwa para pihak yang membuat ataupun yang
terikat pada perjanjian itu menyepakatinya untuk diberlakukan surut.
• Jika memang para pihak yang terlibat sepakat bahwa perjanjian tersebut
diberlakukan surut, hal ini tentu dapat dibenarkan, terutama untuk
perjanjian internasional yang bersifat khusus atau tertutup. Sebaliknya
suatu perjanjian multirateral, yang mensyaratkan mulai berlakunya pada
suatu waktu tertentu di kemudian hari setelah terpenuhi jumlah tertentu
negara yang meratifikasi, tentu saja perjanjian ini dengan sendirinya tidak
berlaku surut.
• Suatu perjanjian internasional jika diberlakukan surut, pada umumnya lebih banyak
menimbulkan dampak negatif, seperti ketidakpastian hukum ataupun bahkan
kerugian bagi pihak yang terkena pemberlakukan surut tersebut. Oleh karen itulah
dalam ilmu hukum, pemberlakuan surut atas suatu peraturan hukum merupakan
tindakan pengecualian (exception).
• Konvensi wina 1969 tentang hukum perjanjian pada dasarnya tidak menghendaki
suatu perjanjian internasional diberlakukan surut, baik bagi seluruh negara peserta
maupun bagi satu atau beberapa negara peserta saja. Pengaturan tentang
pemberlakuan surut suatu perjanjian internasional diatur dengan rumusan yang
merupakan suatu residu, yakni pada dasarnya suatu perjanjian internasional tidak
boleh diberlakukan surut kecuali alasan tertentu.
• Dalam pasal 28 Konvensi masih membuka adanya pengucualian, yaitu jika maksud
yang berbeda tampak dari perjanjian itu sendiri atau jika perjanjian itu sendiri
secara tegas menentukan sebaliknya.
PASAL 103 PIAGAM PBB DALAM
HUBUNGAN DENGAN TIDAK BERLAKU
SURUTNYA SUATU PERJANJIAN
INTERNASIONAL
• Pasal 103 Piagam PBB selengkapnya menegaskan sebagai berikut :
“Dalam Hal adanya konflik atau pertentangan antara kewajiban-
kewajban dari negara-negara anggota PBB berdasarkan Piagam ini dan
Kewajiban-kewaiban mereka yang berdasarkan atas perjanjian-
perjanjian internasional yang lainnya, kewajiban-kewajiban yang
berdasarkan atas piagam inilah yang harus diutamakan.”
Ketentuan Pasal 103 tidak terlepas dari hal sebagai berikut:
1. Dilihat dari bentuk hukumnya. Jika kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
suatu perjanjian internasional dimana negara-negara anggota PBB menjadi pihak
atau pesertanya ternyata bertentangan dengan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan oleh Piagam maka kewajiban dalam Piagamlah yang harus
diutamakan.
2. Dilihat dari segi substansi hukum, Piagam PBB ini mengandung kaidah-kaidah
hukum yang tergolong cogens dan prinsip-prinsip hukum umum (the general
principles of law). Oleh karena itu sifat mengikatnya tentulah jauh lebih kuat
imperatif dibandingkan dengan isi suatu perjanjian internasional yang tidak
tergolong jus cogens ataupun yang merupakan hasil kesepakatan antara para
pihak yang lebih bersifat kontraktual.

Anda mungkin juga menyukai