Realisme Sosialis, Aliran Sastra Kaum Proletar Dunia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

Realisme Sosialis: Aliran

Sastra Kaum Proletar Dunia


On 26 November 2016, 18:33

Ilustrasi/Pramudya Ananta Toer

Koran Sulindo – Seperti halnya perjalanan kesusastraan di banyak negara,


perjalanan kesusastraan Rusia pun terbagi dalam beberapa pembabakan
atau periodisasi. Dimulai dari kesusastraan Rusia Kuno, Kesusastraan
Abad XVIII, Kesusastraan Rusia Abad XIX, Kesusastraan Rusia Peralihan
(zaman Tsar ke masa komunisme) lalu Kesusastraan Uni Soviet. Pada era
masa peralihan ini ada satu aliran sastra yang berkembang hingga
mendunia. Aliran sastra tersebut dikenal dengan nama realisme sosialis.

Aliran sastra tersebut lahir pertama kali di Uni Soviet (sekarang Rusia)
sebagai penerapan sosialisme di bidang kreasi-sastra. Sastra yang
mempergunakan metodaditujukan untuk memenangkan sosialisme dan
lebih penting lagi adalah dengan sikap politik yang tegas, militan, kentara,
tidak perlu malu-malu kucing atau sembunyi-sembunyi, sesuai dengan
nama yang dipergunakannya.

Istilah itu digunakan pertama kali pada tahun 1905 di Uni Soviet. Realisme
sosialis muncul dalam sebuah artikel anonim, yang berjudul “Catatan
tentang Philistinisme”. Setelah munculnya tulisan tersebut—
yangdisebarluaskan untuk menentang pemerintah berhubungan dengan
peristiwa “Minggu Berdarah” pada tanggal 22 Januari 1905—satrawan
Maxim Gorky kemudian ditangkap, tetapi tidak lama kemudian dilepas
karena membanjirnya protes-protes internasional atas penangkapannya.

Kajian realisme sosialis menggambarkan pertentangan antara kelas


proletar dan kelas borjuasi. Menurut tokoh-tokohnya, realisme sosialis
merupakan bagian integral dari kesatuan mesin perjuangan umat manusia
dalam menghancurkan penindasan dan pengisapan atas rakyat pekerja,
yakni buruh dan tani, dalam menghalau imperialisme (penjajahan) dan
kolonialisme (golongan), untuk meningkatkan kondisi dan situasi rakyat
pekerja diseluruh dunia.

Aliran sastra ini berdasarkan filsafat Karl Marx, khususnya teorinya


mengenai materialisme. Menurut Marx, susunan masyarakat dalam bidang
ekonomi, yang dinamakan bangunan bawah, menentukan kehidupan
sosial,politik, intelektual, dan kultural bangunan atas. Sejarah dipandangnya
sebagai suatu perkembangan terus-menerus, daya-daya kekuatan di dalam
kenyataan secara progresif mereka dan ini semua untuk menuju
masyarakat yang ideal tanpa kelas.

Evolusi yang diharapkan tidak berjalan dengan halus, tetapi berjalan


tersendat sendat, danhubungan-hubungan ekonomi yang menimbulkan
berbagai kelas yang saling memusuhi mengakibatkan pertentangan kelas,
yang akhirnya dimenangkan oleh kelas tertentu.
Sementara itu, dalam teori ekonominya, Karl Marx menerangkan
bagaimana pertentangan antara kaum borjuis dan proletar bisa membawa
revolusi yang bisa  menghancurkan sistem kapitalis dan kaum proletar
yang jaya akan melaksanakan masyaraka tanpa kelas. Perubahan dalam
bangunan bawah  mengakibatkan perubahan dalam bagunan atas.

Bagi Marx, sastra sama dengan gejala-gejala kebudayaan lainnya,


mencerminkan hubungan ekonomi.Sebuah karya sastra hanya dapat
dimengerti kalau dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut.

Dalam sebuah artikel yang di tulis pada tahun 1905, Lenin memaparkan
apa yang diharapkan dari sastra. Tulisan itu berjudul “Organisasi Partai dan
Sastra Partai”.Dia meneropong tulisanya dari sudut pandang jurnalis dan
publistik. Dalam karangan itu, Lenin mengutarakan pengertian mengenai
“ikatan partai” yang menerapkan tiga sarat bagi sastra, yaknisastra harus
punya suatu fungsi sosial;sastra harusmengabdi kepada rakyat banyak,
dan;sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatan partai
komunis.Dengan demikian, sastra dijadikan suatu bagian didalam
mekanisme sosial-demokratik, yang digerakkan oleh gugus depan segenap
kelompok ”kelas” kaum pekerja yang sadar akan politik, sebuah unsur
organik dan sebuah senjata ampuh di dalam perjuangan sosialistis.

Karena itu, aliran realisme sosialis sesuai dengan pandangan Lenin


mengandaikan adanya suatu hubungan dialektik antara sastra dan
kenyataan. Dari satu pihak, kenyataan tercermin dalam sastra, sehingga
sastra dianggap menyajikan suatu tafsiran yang tepat mengenai hubungan-
hubungan di dalam masyarakat (realisme).Di lain pihak, sastra juga
memengaruhi kenyataan sehingga punya tugas mendampingi partai
komunis dalam perjuangan membangun suatu masyarakat baru yang lebih
baik (sosialistis).
Pendapat lain diungkapkan oleh Jan van Luxembrug, Mikel Bal, dan Willem
G Weststeijin (1982). Mereka berpendapat, “realisme sosialis menuntut dari
para pengarang agar melukiskan kenyataan dalam perkembangan
revolusionernya, selaras dengan kebenaran dan fakta sejarah. Selain itu,
pelukisan yang bersifat artistik hendaknya digabungkan dengan tugas
mendidik kaum buruh sesuai dengan semangat komunis.”

Bapak Realisme Sosialis Dunia

Aleksei Maksimovich Peshkov (dalam bahasa Rusia Алексей


Максимович Пешков) lahir pada tanggal 14 Maret 1869 di Kota Nizhny
Novgorod. Peshkov menjadi anak yatim pada usia sembilan tahun dan
dibesarkan oleh neneknya, seorang pencerita yang luar biasa. Kematian
neneknya sangat memengaruhi kehidupan dia selanjutnya. Pernah sekali
dia berusaha bunuh diri akibat selalu mengalami kegagalan dalam
hidupnya, Desember 1887.

Hingga suatu ketika, dia bekerja sebagai jurnalis yang bekerja di koran-
koran daerah dan menggunakan nama samaran Иегудиил Хламида
(Yehudiel Khlamida). Kisah pertama Alexei muncul di surat
kabar Kaukasus itu disebut “Makar Chudra”. Saat itulah ia mulai
menggunakan nama samaran Gorky (Максим Горький, harafiah berarti
“pahit”) pada 1892, ketika ia bekerja di sebuah koran di Tiflis, Кавказ
(Kaukasus). Buku pertama Gorky, Очерки и рассказы (Esai dan Cerita)
pada 1898 mendapatkan sukses luar biasa dan karirnya sebagai seorang
pengarang terkenal pun dimulai.

Gorky secara terbuka menentang rezim Tsar dan beberapa kali ia


ditangkap. Gorky bersahabat dengan banyak revolusioner profesional yang
dijumpainya dan menjadi sahabat pribadi Lenin setelah mereka berjumpa
pada 1902. Ia mengungkapkankontrol pemerintah terhadap pers. Pada
1902, Gorky terpilih sebagai anggota kehormatan Akademi Sastra, namun
Nicholas II memerintahkan agar pemilihan ini dibatalkan. Sebagai protes,
Anton Chekhov dan Vladimir Korolenko meninggalkan akademi itu.

Ketika ia dipenjarakan sebentar di Benteng Petrus dan Paulus selama


Revolusi Rusia 1905 yang gagal, Gorky menulis drama “Anak-Anak
Matahari”, yang ceritanya berlangsung ketika terjadi wabah kolera tahun
1862, tetapi secara universal dipahami berkaitan dengan kejadian-kejadian
masa kini. Pada 1905, ia secara resmi bergabung dengan barisan fraksi
Bolshevik dalam Partai Buruh Demokratis Sosial Rusia.

Selama Perang Dunia I, apartemennya di Petrograd dijadikan sebagai ruang


staf Bolshevik, tetapi hubungannya dengan kaum komunis berubah
menjadi buruk. Dua minggu setelah Revolusi Oktober tahun 1917, ia
menulis: “Lenin dan Trotsky tidak tahu apa-apa tentang kebebasan atau
hak-hak asasi manusia. Mereka sudah dirusakkan oleh racun kotor
kekuasaan. Hal ini tampak dari sikap mereka yang memalukan dan tidak
menghormati kebebasan berbicara dan semua kebebasan sipil lainnya
yang diperjuangkan oleh demokrasi.” Setelah surat kabarnya,Novaya
Zhizn (Новая Жизнь, ‘Hidup Baru’), menjadi korban penindasan Lenin,
Gorky menerbitkan kumpulan esainya yang kritis terhadap kaum Bolshevik,
yang diberinya judul ‘Pikiran pada Waktu yang Keliru’ pada tahun 1918.
Buku ini baru diterbitkan kembali setelah runtuhnya Uni Soviet.

Esai-esai ini menyebut Lenin seorang tirani karena ia melakukan


penangkapan-penangkapan yang sewenang-wenang dan menindas
kebebasan berbicara, dan seorang anarkis karena taktik-taktik
persekongkolannya. Gorky membandingkan Lenin dengan Tsar dan
Nechaev. Surat-surat Lenin pada tahun 1919 kepada Gorky mengandung
ancaman-ancaman: “Nasihat saya kepadamu: ubahlah lingkunganmu,
pandanganmu, tindakanmu, kalau tidak hidup akan berpaling melawanmu.”
Pada Agustus 1921, Nikolai Gumilyov, sahabatnya, rekan sesama penulis,
dan suami dari Anna Akhmatova, ditangkap oleh Cheka Petrograd karena
pandangan-pandangan monarkisnya. Gorky bergegas ke Moskwa,
mendapatkan perintah pembebasan Gumilyov dari Lenin secara pribadi,
namun sekembalinya ke Petrograd ia baru mengetahui bahwa Gumilyov
sudah dieksekusi mati.

Pada bulan Oktober-nya, Gorky pindah ke Italia dengan alasan-alasan


kondisi kesehatan yang buruk. Ia mengidap tuberkulosis.

Menurut Aleksandr Solzhenitsyn, kepulangan Gorky didorong oleh


kepentingan-kepentingan materi. Di Sorrento, Gorky tidak punya uang
ataupun kehormatan. Ia berkunjung beberapa kali ke Uni Soviet setelah
1929 dan pada 1932 Joseph Stalin secara pribadi mengundang dia kembali
dari emigrasi untuk selama-lamanya. Gorky menerima undangan tersebut.

Pada Juni 1929, Gorky mengunjungi Solovki dan menulis sebuah artikel
positif tentang kamp Gulag yang sudah mulai jelek namanya di Barat.
Pengakuan resmi dari aliran sastra ini diungkapkan pada saat Kongres I
Satrawan Soviet di Moskwa, melalui ucapan Andrei Zhdanov:“Dalam pada
itu kenyataan dan watak historis yang konkret dari lukisan artistik mesti
dihubungkan dengan tugas pembentukan ideologis dan pendidikan
pekerja-pekerja dalam semangat sosialisme. Metoda kerja sastra dan kritik
sastra ini kita namakan metoda realisme sosialis.”

Karya fenomenal Gorky yang terkenal adalah triloginya yang merupakan


biografi kehidupan dia. Buku pertama berjudul My Childhood (Детство), My
Apprenticeship  (В людях), dan My Universities  (Мои университеты).
Selain itu, ada salah satu novelnya yang cukup fenomenal, yaitu Mother
(Мать).
Pada tahun 1935, Maksim Gorky mengalami antaman keras dalam
kehidupannya: anak laki-lakinya, Maksim Peshkov, meninggal dunia.
Kesedihan melanda kehidupan dia selanjutnya, sehingga setahun
kemudian (1936) Maksim Gorky meninggal dunia. Keduanya meninggal
secara mencurigakan, namun spekulasi yang mengatakan bahwa mereka
diracuni tidak pernah terbukti. Stalin dan Molotov ikut mengangkat peti
mati Gorky pada penguburannya.

Realisme Sosialis di Indonesia

Penyebaran aliran sastra ini sampai ke berbagai penjuru dunia, termasuk ke


Indonesia,terlebih lagi dengan adanya Partai Komunis di Indonesia (PKI).
Para sastrawan yang beraliran ini berkumpul di bawah bendera Lekra
(Lembaga Kebudayaan Rakyat), organ PKI. Salah satu sastrawan yang bisa
dikenal sebagai Bapak Realisme Sosialis Indonesia adalah Pramoedya
Ananta Toer.

Pramoedya sendiri mendefinisikan realisme sosialis sebagai “metode yang


meneruskan filsafat materialisme dalam karya sastra serta meneruskan
pandangan sosialisme-ilmiah.” Dalam menghadapi persoalan masyarakat,
katanya lagi, realisme sosialis mempergunakan pandangan yang struktural
fundamental.

Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Boedi Oetomo ini telah
menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa
asing. Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor
berita Domei pada masa pendudukan Jepang memantapkan pilihannya
untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen,
dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para
sastrawan dunia.
Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial membuat dirinya sering masuk
penjara. Pram pernah ditahan selama tiga tahun pada masa kolonial dan
setahun pada masa Orde Lama. Kemudian, selama Orde Baru, ia ditahan
selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan. Hampir
semua karya sastra hasil pemikirannya menjadi best seller. Karya Pram
yang terkenal antara lain tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia, Anak
Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Beberapa pengamat
sastra menyatakan, tetralogi karya Pramoedya terinspirasi dari trilogi
Maksim Gorky.

Ketika Pramoedya mendapatkan penghargaan Ramon Magsaysay pada


1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat protes
ke Yayasan Ramon Magsaysay. Tokoh-tokoh tersebut antara lain Taufiq
Ismail, Mochtar Lubis, dan H.B. Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena
Pram dianggap tidak pantas menerima penghargaan Ramon Magsaysay.
Dalam berbagai opini-opini di media, para penandatangan petisi 26 ini
merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Mereka menuntut
pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan
segala peran “tidak terpuji” pada “masa paling gelap bagi kreativitas” pada
zaman Demokrasi Terpimpin.

Hanya saja, keadaan menjadi terbalik saat Orde Baru. Tampak seperti ada
dendam atas perlakuan pada masa orde sebelumnya. Semenjak Orde Baru,
Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan pikirannya
sendiri dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara
terbuka di koran.

Sampai akhir hayatnya, ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah


menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Tepatnya
pada 27 April 2006, kesehatan Pram memburuk. Ia didiagnosa menderita
radang paru-paruditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya
keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil,
malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30
April 2006 di Jakarta. [Noor Yanto]

Sumber: https://koransulindo.com/realisme-sosialis-aliran-sastra-kaum-proletar-dunia/amp/

Anda mungkin juga menyukai