PMA Dan Pendidikan Karakter
PMA Dan Pendidikan Karakter
PMA Dan Pendidikan Karakter
html
Oleh. I Gede Dharman Gunawan, SH., S.Pd.H., M.Pd.H.
Dosen Pengajar di IHDN Denpasar
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak,
supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Oleh karena
itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan
nilai, yakni pendidikan nilai-nilai yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam
membina kepribadian generasi muda. Pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman
nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Secara garis besar, jadi
pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha pengembangan dan mendidik karakter
seseorang, yaitu kejiwaan, akhlak dan budi pekerti sehingga menjadi lebih baik.
Terdapat beberapa nilai-nilai dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter
bangsa. Mulai tahun ajaran 2011, seluruh tingkat pendidikan di Indonesia harus menyisipkan
pendidikan berkarakter tersebut dalam proses pendidikannya, antara lain:
a. Religius, yakni Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk
agama lain.
b. Jujur, yakni Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
c. Toleransi, yakni Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat,
sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
d. Disiplin, yakni Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan
dan peraturan.
e. Kerja Keras, yakni Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
f. Kreatif, yakni Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari
sesuatu yang telah dimiliki.
g. Mandiri, yakni Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
h. Demokratis, yakni Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
i. Rasa Ingin Tahu, yakni Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
j. Semangat Kebangsaan, yakni Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
k. Cinta Tanah Air, yakni Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
l. Menghargai Prestasi, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
m. Bersahabat/Komunikatif, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang
lain.
n. Cinta Damai, yakni Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain.
o. Gemar Membaca, yakni Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
p. Peduli Lingkungan, yakni Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan
alam yang sudah terjadi.
q. Peduli Sosial, yakni Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
r. Tanggung Jawab, yakni Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam,
sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Pembahasan mengenai nilai-nilai Susila/Etika pendidikan agama Hindu mencakup beberapa komponen
utama. Selanjutnya bagaimana makna susila/etika pendidikan agama Hindu dalam pembentukan karakter yang
dimaksudkan dapat disimak paparannya berikut ini.
1. Catur Asrama
Catur Asrama artinya empat lapangan atau lapisan hidup manusia sebagai tempat menimba pendidikan
spiritual dan kehidupan material. Dalam pustakaSilakrama ada dijelaskan mengenai ajaran etika pendidikan agama
Hindu mengenai atur asrama. Pembagian catur asrama adalah brahmacari asrama, grahastha asrama, wanaprastha
asrama, dan bhiksuka/sanyasin asrama.
Apa makna dari masing-masing asrama tersebut? Brahmacari asramaadalah tingkat kehidupan manusia
pada saat menuntut ilmupengetahuan.Grahastha asrama adalah tingkat hidup manusia pada saat membina rumah
tangga serta melangsungkan keturunan yang utama. Wanaprastha asramaadalah tingkat hidup manusia pada saat
mengasingkan diri ke hutan dengan tujuan untuk melepaskan kehidupan grahastha yakni mencapai ketenangan
batin dan mendalami ajaran spiritual. Bhiksuka/sanyasin asrama adalah tingkat hidup manusia pada saat meminta-
minta di sekitar kehidupan masyarakat luas. Tahapan ini merupakan tahapan penting untuk mengakhiri tahapan
kehidupan di dunia ini sebelum menuju dunia akhir.
2. Panca Yama Bratha
Panca Yama Bratha artinya lima jenis prilaku hidup manusia yang wajib dikendalikan dan diarahkan menuju
kebaikan dan kebenaran. Pembagian panca yama bratha yakni ahimsa artinya tidak membunuh atau tidak menyakiti
atau yang sejenis, terlebih lagi menyiksa peserta didik, hal itu dilarang keras. Brahmacariartinya dengan tekun dan
rajin menimba ilmu pengetahuan dan teknlogi. Pada masa ini hanya belajarlah yang diutamakan, hal lain seperti
percintaan dinomorduakan. Satya artinya kesetiaan, kebenaran dan ketaatan. Siapapun dalam mengupayakan
pendidikan tentu syarat benar dan setia tetap diutamakan, jangan sampai diabaikan bigitu saja, dikawatirkan bisa
menuju kegagalan.Awyawaharika artinya tidak adanya keterikatan terhadap ikatan duniawi. Hal ini dimaksudkan
untuk adanya fokus untuk menimba berbagai disiplin ilmu pegetahuan dan teknologi bagi para pelajar. Asteya artinya
tidak melakukan pencurian, oleh karena mencuri dapat merusak moral para pelajar.
3. Panca Niyama Bratha
Panca Niyama Bratha artinya lima macam perilaku manusia yang patut dikendalikan menuju ke arah
kebaikan serta kesempurnaan. Pembagiannya adalah akrodha, guru susrusa, sauca,
aharalagawa, dan apramada. Apa makna dari kelima jenis sikap tersebut? Berikut ini akrodha adalah tidak marah.
Marah itu tidak baik yang menyebabkan kefatalan bersama. Guru susrusa artinya patuh untuk mengikuti dan
menerapkan ajaran sang guru. Jika hal itu dilakukan maka kesuksesan menjadi milik para pelakunya. Sauca artinya
adanya kesucian secara lahir dan batin yang harmonis. Salah satu komponen suci dan yang lainnya kotor, maka hal
itu kurang harmonis. Aharalagawa artinya menikmati makanan yang sederhana atau tidak berfoya-foya. Hal ini untuk
menjamin hidup sehat lahir dan batin. Apramada artinya perilaku yang tidak ingkar pada kewajiban diri maupun
terhadap orang lain. Hal ini untuk menjamin hubungan yang utuh dalam kebersamaan.
4. Dasa Yama Bratha
Dasa Yama Bratha artinya sepuluh jenis ajaran moral dengan tujuan untuk membina dan mengarahkan
prilaku manusia menuju budi pekerti yang luhur/mulia sehingga tercapai tujuan hidup sakala dan niskala.
Pembagian dasa yama bratha yaitu anrasangsya, ksama, satya, ahimsa, dama, arjawa, priti, prasada,
madhurya, dan mardawa. Makna dari semua bagian tersebut perlu dipahami secara komprehensif guna memiliki nilai
tntnan spiritual bagi kehidupan nyata di dunia ini.
Anrasangsya artinya perilaku yang tidak mementingkan diri sendiri. Ksama artinya prilaku yang suka
mengampuni atau memaafkan sesama dan yang lainnya sebagai wujud sikap terpuji. Satya artinya sikap yang benar,
setia, dan jujur. Ahimsa artinya tidak suka menyakiti, tidak menyiksa, dan tidak membunuh.Dama artinya memiliki
sikap sabar dan tenang. Arjawa artinya sikap yang jujur dan tulus iklas/suka berterus terang. Priti artinya sikap yang
selalu mengasihi sesama. Prasada artinya sikap yang mulia dan suci yang disertai dengan sikap
ketulusikhlasan.Madhurya artinya memiliki sikap dan perangai yang manis dan lembut. Mardawa artinya sikap atau
sifat yang rendah hati penuh keramahtamahan.
5. Sapta Timira
Sapta Timira artinya tujuh jenis kegelapan dalam kehidupan manusia. Bagiannya
adalah surupa (ketampanan) yakni karena memiliki wajah tampan dan ayu membuat lupa diri sehingga terjadi hidup
nista. Dhana (kekayaan) yaitu adanya artha benda yang melimpah tetapi tidak bermakna bagi pemiliknya yang
menyebabkan kefatalan hidup. Guna (kepandaian) yaitu sikap yang tidak memknai kepandaian dengan wajar
sehingga orang lain diperbodoh atau diolok-olok. Kulina (kebangsawanan) yaitu kegelapan dari status keluarga yang
terhormat namun tidak ditempatkan pada posisinya yang simpatik, sehingga menimbulkan perilaku congkak dengan
sesama. Yowana (keremajaan) yaitu sikap tidak terpuji karena merasa diri masih mampu, kuat, dan tenaga masih
muda, sehingga berlaku tidak senonoh dengan yang lainnya. Sura (minuman keras) yakni perilaku yang suka
melakukan mabuk-mabukan dengan minuman keras dan yang sejenis, sehingga hidup menjadi tidak
terarah. Kasuran(kemenangan/keberanian) yakni perilaku yang berani tetapi bermakna. Tidak bisa sekadar berana
dalam bertindak yang asal pukul dulu urusan belakangan, sikap demikian tidak dibenarkan. Mestinya berani dalam
membela kebenaran yang sejati.
6. Sad Tatayi
Sad Tatayi adalah enam macam pembunuhan yang kejam. Pembagiannya adalah agnida artinya membakar
sampai menimbukan kematian, wisada artinya meracuni, atharwa artinya melakukan ilmu hitam, sastraghna artinya
mengamuk dengan senjata sampai menimbulkan kematian, dratikrama artinya menyiksa atau memperkos,
dan rajapisuna artinya memfitnah. Semua ajaran disiplin ini wajib dipatuhi.
Sad Tatayi sebagai ajaran atau aturan disiplin agar dipahami dengan sebaik-baiknya, yang harapannya
adalah agar tidak sesuka hati membakar milik orang lain, tidak suka meracuni orang lain dan hewan/binatang di
sekitarnya, tidak suka mengganggu dengan ilmu haluan kiri semacam santet, leak, teluh, dan yang sejenis. Juga
tidak suka mengamuk tanpa dasar yang jelas yang erugikan jiwa dan material orang lain. Tidak melakukan
penyiksaan dan pemerkosaan yang bukan haknya. Satu yang utama tidak melakukan fitnahan pada orang lain yang
menyebabkan orang lain itu menjadi sengsara dan menderita. Aturan ini dimaksudkan agar para pelajar tidak
melakukan kekejaman intelektual semacam disebutkan di atas.
7. Catur Paramita
Catur paramita adalah empat jenis prilaku manusia yang luhur dan mulia. Keluhuran dan kemuliaan budi
pekerti merupakan cita-cita bagi segenap umat manusia oleh karena ajaran catur paramita tersebut sebagai ajaran
etika dalam pendidikan dan dalam kehidupan bersama dalam masyarakat secara luas. Pembagian catur
paramita adalah maitri, karuna, muditha, dan upeksa. Maitriartinya kelembutan dalam bergaul serta keramahan
dalam hidup bersama.Karuna artinya perilaku yang penuh dengan belas kasih serta sayang sesama maupun yang
ada di sekitarnya. Muditha artinya dapat berprilaku yang ceria, gembira, suka cita serta bahagia terhadap semua
yang ada di sekitarnya. Upeksaartinya sikap yang mulia untuk menghargai dan menghormati sesama serta makhluk
lainnya.
8. Catur Prawrti
Catur Prawrti artinya empat macam tuntnan atau pedoman hidupyang patut diterapkan oleh insan Hindu
termasu juga para pemimpin umat. Pembagiannya adalah arjawa, anrsangsya, dama, dan indranigraha. Maksud dari
masing-masing bagian tersebut, arjawa artinya memiliki sikap yang jujur dan benar; anrsangsyaartinya sikap yang
tidak mementingkan diri sendiri, tidak bersifat keakuan/tidak ego, serta tidak gila pujian; dama artinya suka
menasihati diri sendiri dan kuat dalam mengendalikan diri sendiri; dan indranigraha artinya dapat mengendalikan
nafsu jahat atau nafsu birahi yang bejat atau yang sejenis yang hanya mengumbar birahi belaka tanpa memiliki nilai
suci dan mulia.
9. Catur Guru
Catur Guru adalah empat macam guru atau penuntun kehidupan spiritual dan nyata bagi kehidupan umat
manusia untuk menuju kesempurnaan hidup. Pembagian catur guru, yaitu guru swadhyaya, guru rupaka, guru
pengajian, danguru wisesa. Guru Swadhyaya adalah guru utama, guru sejati, guru niskala (Tuhan Yang Maha
Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Guru Rupaka/Guru Rekaadalah orang tua di rumah yang menjadi penuntut dan
pendidik pertama dan utama dalam keluarga (ayah dan ibu). Guru Pengajian/Guru Waktra adalah guru yang
bertugas memberikan materi pelajaran di sekolah atau di kampus. Guru Wisesa adalah guru yang bertugas membina
dan menuntun kehidupan masyarakat luas, dalam hal ini adalah pihak pemerintah ataupun para raja pada jaman
dahulu.
10. Wiweka
Wiweka artinya perilaku yang waspada penuh pertimbangan serta kehati-hatian. Hal positif dan negatif atau
baik dan buruk menjadi dasar dalam bertindak. Tidak terjadinya kecerobohan dan kefatalan dalam bertindak, oleh hal
yang negatif atau keburukan sedapat mungkin untuk tidak dilakukan. Perbuatan baik yang diutamakan (subha
karma) dan perbuatan buruk (asubha karma) yang dijauhi atau tidak dilakukan.
11. Tat Twam Asi
Tat twam asi artinya itu adala kamu. Maksudnya adalah segala prilaku dan tindakan manusia diharapkan
untuk tetapsaling menghormati, menghargai, saling membantu, dan saling menjunjung rasa senasib
sepenanggungan, rasa kebesamaan dan adanya sikap toleransi terhadap semua komponen kehidupan di dunia ini.
12. Sad Ripu
Sad Ripu artinya enam musuh. Secara etika bahwa dalam pengelolaa pendidikan agama Hindu bahwa enam
musuh tersebut harus dihindari, dijauhi, dan dimusnahkan. Permusuhan sedapat mungkin tidak sampai terjadi.
Musuh menyebabkan terganggunya roda perjalanan pendidikan yang ideal sesuai dengan yang dicita-citakan.
Pembagian sad ripu meliputi : 1) kama/raga artinya nafsu; 2) lobha/tamak artinya rakus; 3) krodha artinya
kemarahan; 4) moha artinya kebingungan, 5) mada artinya mabuk, dan 6) matsarya artinya dengki atau irihati.
Bila dimaknai dari enam jenis musuh di atas, bahwa kama itu perlu dikendalikan menuju pada nafsu yang
terarah dan membawa dampak positif.Lobha atau rakus menyebabkan adanya pemborosan dan kecerobohan antara
yang satu dengan yang lainnya. Hal ini sedapat mungkin dientaskan dari sang diri. Krodha atau marah itu
menyebabkan kegelapan dan kegusaran. Juga menyebabkan tidak terkonsentrasinya segala aktivitas. Hal ini juga
harus dilepaskan adalam aktivitas rutin kehidupan manusia. Moha atau kebingungan maksudnya adalah hal yang
menghambat proses berpikir sehat dan bekerja secara kebaikan. Kuncinya adalah jauhi pikirann yang bingung guna
menuju kecerahan dan kejernihan berpikir. Mada atau mabuk merupakan perilaku atau tata laku yang tidak terpuji.
Perilaku mabuk itu dilarang oleh ajaran agama maupun tata krama hidup bersama. Hindari faktor penyebab
kemabukan itu jika ingin hidup tenang dan damai. Matsarya atau irihati merupakan tata laku yang buruk oleh karena
dapat mengganggu ketenangan dan kenyamanan dalam hidup bersama. Orang lain mendapat kemajuan seharusnya
didukung dan dihargai. Tidak perlu merasa sewot jika orang di sekitar menjadi sukses dan unggul.
Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal
(bersifat absolut) yang bersumber dari ajaran agama yang juga disebut sebagai the golden rule serta bersumber dari
nilai tradisional yang tumbuh di masyarakat yang disebut juga local genius. Dalam prakteknya merupakan upaya-
upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu memahami nilai-nilai perilaku manusia
yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.
Masyarakat Bali sudah memulai pendidikan karakter itu dengan menerapkan nilai-nilai local geniusnya. Dari
jaman leluhur masyarakat Bali terdahulu sampai sekarangpun masih menerapkan proses itu untuk tetap berjalan.
Seperti orang tua dahulu menyebutkan konsep “buka petapan padi ne” yang artinya sepertilah padi didalam
menuntut ilmu, yang berawal dari kosong kemudian terjadi perbahan dinamika sehingga menjadi berisi. Dalam
keadaan yang berisi inilah henhaknya dapat mengamalkan ilmu pengetahuannya dengan baik dan untuk membantu
sesamanya. Kemudian konsep “buka petapan rook ne” yang memiliki makna bahwa segala sesuatu jika tidak
dimanfaatkan dengan pengelolaan yang baik maka akan cepat habis, sehingga pengelolaan dalam berbagai hal
sangat penting untuk menciptakan kesinambungan dan keberlanjutan. Selain itu juga nilai-nilai pembentukan
karakter berdasarkan nilai tradisional Bali terdapat dalam untaian lagu “Bungan Sandat”, dimana dalam lagu tersebut
memiliki makna yang sangat tinggi berkenaan dengan pembentukan karakter generasi muda Bali. Janganlah
seperti Bungan Pucuk dan Kembang Bintang, melainkan menjadilah seperti Bungan Sandat. Pendidikan moral dan
karakter sangat kental dalam lagu ini, dimana para remaja hendaknya memaksimalkan waktunya untuk terus belajar
mengisi ilmu pengetahuan. Sehingga dapat bermakna kelak di masa tua.
Pengembangan karakter berdasarkan nilai local genius tolak ukurnya adalah pengamalan Konsep Tri Hita
Karana. Konsep yang bersumber dari ajaran Agama Hindu ini telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat
Bali. Semenjak anak-anak sampai menjelang ajalpun orang bali melaksanakan konsep tersebut. Kata Tri Hita
Karana berasal dari bahasa Sanskerta dimana kataTri artinya tiga, Hita artinya sejahtera atau bahagia
sedangkan Karana artinya sebab atau penyebab. Jadi Tri Hita Karana artinya tiga hubungan yang sangat harmonis
yang mengakibatkan umat manusia mencapai kebahagiaan/kesejahtraan. Penerapannya terdiri dari: hubungan
antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya, hubungan manusia dengan alam
lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya dan hubungan antara manusia dengan sesamanya
diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya, serta Manusia Yadnya. Di Bali konsep Tri Hita Karana ini tercermin
dalam tata kehidupan masyarakat Hindu yang meliputi tiga unit yaitu :Parahyangan, yaitu berupa unit tempat suci
( Pura ) tertentu yang mencerminkan tentang konsep Ketuhanan, Pawongan, yaitu berupa unit tempat organisasi
masyarakat sebagai perwujudan hubungan unsur antara sesama manusia,Palemahan, yaitu berupa unit wilayah
tertentu sebagai perwujudan unsur manusia dengan alam lingkungan.
Salah satu contoh sederhana dalam sebuah keluarga Hindu di Bali, orang tua kita selalu menghaturkan
yadnya sesa setelah selesai masak. Hal ini mengandung makna hubungan antara manusia dengan Tuhan. Bahwa
sebelum kita mulai menikmati makanan, terlebih dahulu kita haturkan rasa syukur lewat yadnya sesa. Contoh lain, di
Bali kita juga mengenal hari untuk memuliakan tanaman, hewan bahkan peralatan kerja yang dipakai setiap hari.
Banjar sebagai wadah dalam mengikat budaya dan adat orang Bali juga membawa pengaruh besar bagi karakter
orang Bali. Tanpa disadari, kita telah menanamkan konsep-konsep tersebut kepada anak-anak kita, yang dengan
sifat keingintahuannya menyebabkan terjadinya “Transfer of Characther” melalui pengamatan dan pengalaman hidup
(life skill). Kelebihan karakter dan prilaku orang Bali dibandingkan orang di daerah lain adalah sebagai berikut:
berpedoman pada ajaran Tri Hita Karana, memegang teguh tradisi dan ritual keagamaan, menganggap penting
aktivitas di pura dan banjar, percaya pada hukum karma, peduli kelestarian lingkungan, menjunjung tinggi kejujuran,
membenci sikap serakah dalam mencari keuntungan, menjaga tradisi gotong royong (ngayah) dan harmoni
kekeluargan, terbuka dan toleran terhadap orang yang berbeda budaya dan adaptif terhadap budaya modern dan
profesionalisme.
Dengan demikian bahwa orang Bali telah dibekali pendidikan karakter oleh orang tuanya. Pendidikan orang
Bali secara informal telah mencakup pendidikan karakter. Sepanjang Masyarakat Bali tetap mempertahankan tradisi,
adat dan hubungan dengan leluhur yang berlandaskan ajaran agama Hindu, niscaya proses pendidikan karakter itu
akan tetap berproses.
Penyelenggaraan pendidikan agama Hindu diperlukan suatu tatanan utama sebagai pedoman dalam meraih
keberhasilan dalam pengelolaannya. Tatanan yang dimaksudkan adalah adanya penerapan aturan atau etika/susila
Hindu yang jelas dan pasti di dalam upaya untuk mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. Ajaran etika Hindu yang
utama dijadikan landasan berpijak dalam pembentukan karakter yang bersumber dari nilai-nilai ajaran tata susila
agama Hindu dan nilai-nilai tradisional masyarakat Bali. Beberapa nilai-nilai ajaran tata susila agama Hindu dan nilai-
nilai tradisional masyarakat Bali dalam mengelola pendidikan agama Hindu hendaknya diterapkan secara rutin,
mantap, dan secara kebersamaan dalam pembentukan karakter generasi muda Hindu tersebut. Jika hal itu telah
diupayakan niscaya kualitas pendidikan agama Hindu menjadi kenyataan terutama dalam mencetak kader Hindu
sebagai generasi penerus agama Hindu dan bangsa Indonesia yang bertanggung jawab dan penuh dedikasi. Hal itu
patut menjadi target utama sebagai sekala prioritas dalam pencapaiannya.
Pendidikan Pasraman Hindu
Kategori : Artikel Baru
Pendidikan Pasraman sudah ada di Indonesia sejak zaman purba. Pada Zaman modern,
keberadaannya kembali diangkat ke pentas kehidupan. Di setiap pura di seluruh Indonesia,
pendidikan Pasraman, menjadi satu alternatif pendidikan agama. Siswa yang tidak
mendapatkan pendidikan agama di sekolah umum, mendapatkannya di pendidikan Pasraman.
Betapa penting dan strategisnya pendidikan Pasraman bagi siswa Hindu di seluruh Indonesia.
Kemen-terian Agama pun mengakomodasi Pendidikan Pasraman. Dalam KMA (Keputusan
Menteri Agama) No. 56 Tahun 2014, pemerintah mengakomodasi pendidikan agama dan
keagamaan Hindu. Dalam KMA ini, pendidikan agama dan keagamaan Hindu disebut
Pendidikan Pasraman.
Cikal bakal pendidikan Pasraman telah diundangkan dalam PP No. 55 Tahun 2007. Bahkan,
embrionya sudah ada dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Tetapi aturan pelaksanaan UU
ini belum ada. Bagai gayung bersambut, setelah tujuh tahun menunggu, Menteri Agama
mengeluarkan aturan pelaksanaan melalui KMA tersebut.
Pendidikan Pasraman dibagi dua: Pasraman Formal dan Non Formal. Pasraman Forma
meliputi: Pratama Widya Pasraman, Adi Widya Pasraman, Madyama Widya Pasraman, Utama
Widya Pasraman; dan Maha Widya Pasraman. Sedangkan Pasraman Non Formal adalah
Pasraman yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Pesantian, Sad Dharma,
Padepokan, Aguron-guron, Parampara, Guru Kula, dan bentuk lainnya yang sejenis. Pasraman
Non formal diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau program.
Pasraman bisa menyelenggarakan pendidikan umum, seperti dalam Jalur Pendidikan Pondok
Pesantren Salaflah. Ada juga pendidikan yang disetarakan dengan mengikuti ujian pakaet A, B,
dan C. Di Pondok pesantren, ini yang disebut Program Pendidikan Kesetaraan pada Pondok
Pesantren. Secara unum, pendidikan agama dan keagamaan di luar Isian, mengikuti program
ini. Masih ada banyak model pendidikan agama dan keagamaan.
Pasraman Non Formal bisa menyelenggarakan pendidikan kitab. Dia bisa belajar dari satu kitab
ke kitab yang lain. Begitu seterusnya. Ini dimungkinkan karena Pasraman Non Formal
diselenggarakan dalam bentuk satuan pendidikan atau program. Dia bisa Veda, Up-anisad,
Purana, Ramayana dan Mahabrata, dan seterusnya, tanpa batas usia dan tanpa batas waktu.
Implikasi dari pendidikan pasraman adalah: Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan,
pembiayaan, dan program bagi siswa. Kebutuhan akan SDM karena secara kelembagaan
pendidikan pasraman akan berkembang. Tentu saja pembiayaan diperlukan seiring dengan
penataan kelembagaan Pendidikan Pasraman. Tanggung jawab pendidikan ada di tangan
orang tua, pemerintah dan swasta. Implikasi berikutnya, anak-anak kita sejak dini akan
mendapatkan pendidikan agama dengan adanya pendidikan pasraman.
Dengan KMA 56 Tahun 2014, pendidikan agama menjadi bagian yang integral dari pendidikan
nasional.
Source: Dirjen Bimas Hindu Prof. Ketut Widnya l Wartam Edisi ke-3 Mei 2015