Family Bonding

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Pembentukan Emosional Antara Anak dan Orang Tua

Klaus dan Kennel (1982) mengemukakan bahwa istilah ‘bonding’ yang merujuk pada
proses jangka panjang dari perkembangan ikatan emosi antara anak dengan orangtuanya yang
sudah dimulai sejak awal kelahiran seperti yang dikemukakan oleh beberapa studi terdahulu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa:

1. Ada perubahan yang sistematik dalam respons maternal menyusul segera setelah
bayi dilahirkan seperti perasaan bahagia, sedih, kekawatiran atau respons emosi lain yang
terjadi akibat tanggung jawab baru yang harus dipikul segera setelah bayi lahir.

2. Perasaan tersebut mempunyai efek berkelanjutan terhadap perilaku orangtua dalam


mengasuh anak selanjutnya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa baik maternal – infant bonding maupun
parental – infant bonding merupakan suatu kondisi yang terjadi secara bertahap dan
merupakan proses berkesinambungan, dan berkaitan dengan berbagai faktor yaitu baik dari
faktor anak dan faktor ibu atau faktor orangtua serta sangat tergantung pada periode
perkembangan anak itu sendiri. Proses perkembangan maternal – infant bonding dapat
dikatagorikan dalam 4 tahapan, yaitu;

1. Tahap pertama merupakan tahap individuasi. Pada akhir tahap ini, seorang anak
usia batita mampu untuk mengatasi perasaan lapar, ber adaptasi terhadap sensasi dingin atau
hangat dan

megembangkan persepsi visualnya menjadi lebih baik.

2. Tahap ke dua, anak usia batita mulai mengembangkan kemampuan untuk


memberikan respons

yang tepat terhadap semua stimulus sosial yang datang dari sekitarnya. Dengan
kemampuannya ini, anak usia batita terampil untuk membedakan antara objek hidup manusia
dan benda mati

lainnya.

3. Tahap ke tiga merupakan tahapan terakhir. Anak usia batita mulai menguasai
berbagai keterampilan untuk bersosialisasi, seperti tersenyum, bergumam sehingga mampu
menarikperhatian lingkungan sekitar. Dalam konteks ini anak sudah mulai mampu
beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, terutama dengan orang yang sudah dikenal. Dalam
tahapan ini, tergantung juga dari seberapa besar paparan sosial yang diterima oleh anak
tersebut, jika paparan yang diterima banyak orang, kuat dan cukup bermakna maka anak usia
batita ini mampu

mengembangkan kelekatan dengan berbagai orang yang ada didekatnya.

4. Tahap ke empat, anak mulai mengembangkan harapan terhadap berbagai gur


pengasuhnya.

Dengan adanya berbagai respons interaksi dengan menegur yang dikenal anak maka
anak usia batita ini mempelajari dan mulai mengembangkan perasaan percaya dengan orang
serta lingkungannya. Konsep ini merupakan dasar terbentuknya bonding atau ikatan emosi
antara anak dan ibu atau antara anak dengan orangtuanya. Perasaan percaya dengan orang
yang ada disekitar anak usia batita

ini mulai dikuasai bayi sejak pada usia 6 – 9 bulan, sehingga di usia ini bayi mampu untuk
menarik diri atau bersembunyi di balik orangtuanya ketika berhadapan dan bertemu dengan
orang yang tidak dikenalnya.

Reglasi Emosi Pada Anak Usia Batita

Perkembangan sosial-emosional anak usia batita dimulai dengan proses pembelajaran


anak dalam meregulasi emosinya. Kopp (1989) mengemukakan bahwa ditahun pertama
kehidupannya, seorang bayi berusaha untuk mempelajari dan menyesuaikan diri dengan
berbagai cara untuk mengatasi berbagai perubahan melalui interaksi dengan orangtua atau
pengasuhnya. Kemampuan ini membantu mereka untuk meredakan berbagai reaksi emosi
negatif serta menguatkan emosi positif. Orangtua atau pengasuh pada umumnya mengubah
lingkungan dan memberikan pola asuh yang tepat untuk bayi tersebut untuk belajar sehingga
stimulasi yang diberikan berjalan sesuai dengan karakter bayi tersebut.

Bayi yang dapat menerima semua stimulasi yang diberikan pada umumnya dapat
menguasai semua tahapan perkembangan ditahun pertama kehidupannya dengan optimal dan
menjadi modal dasar untuk berlanjut ke tahapan perkembangan berikutnya. Sejumlah studi
mengatakan bahwa bayi mampu mengembangkan kemampuan regulasi emosi ditahun
pertama kehidupannya dengan adanya ikatan emosi yang optimal antara orangtua – anak
sehingga terjadi kelekatan yang bersifat aman (secure attachment)Kondisi tersebut menjadi
modal dasar anak untuk mampu melewati fase otonomi dan menyelesaikan fase saparasi-
individuasi (saparation-individuation) pada tahun kedua dan ketiga dengan lancar.

Regulasi emosi adalah kapasitas seseorang untuk memonitor, mengevaluasi, dan


memodifikasi reaksi emosi dalam diri mereka selama proses pencapaian tujuan yang
diharapkan. Kemampuan ini terbentuk melalui keserasian modulasi emosi antara ikatan
orangtua dan anak yang dapat diekspresikan secara jelas dalam bentuk ekspresi wajah,
vokalisasi, dan aktivitas psikomotor. Oleh karena itu, regulasi emosi mempunyai kaitan erat
dengan setiap reaksi emosi yang timbul selamaproses interaksi berlangsung, baik dari segi
awitan, durasi dan intensitas bangkitan emosi antara orangtua dan anak usia batita. Kondisi
ini juga berkaitan erat dengan temperamen anak dan karakter orangtua/pengasuh.

Anak dikatakan mempunyai regulasi emosi yang baik jika mempunyai kemampuan
untuk mengekspresikan emosinya terhadap berbagai stimulasi eksternal. Cohn dan Tronick
(1983) dalam penelitian mereka terhadap bayi sehat berusia 3 bulan dengan kemampuan
regulasi emosi yang baik, serta mempunyai ibu dengan gangguan depresi yang mempunyai
kecenderungan menolak dan bersikap dingin terhadap bayi tersebut; setelah beberapa saat
berinteraksi dengan bayinya, tampak bayi menunjukkan perilaku protes dan marah, curiga
dan menolak semua tindakan ditujukan kepada dirinya. Cohn dan Tronick menjelaskan
bahwa kondisi tersebut merupakan pemicu timbulnya gejala depresi padabayi tersebut jika
orangtua/pengasuh tidak menyadari reaksi ini. Kondisi ini dikatakan bersifat reversibel, jika
lingkungan dapat memenuhi kebutuhan emosi bayi tersebut dengan optimal maka gejala-
gejala depresi tersebut juga menghilang.

SUMBER : Tjhin Wiguna: The importance of parent – infant bonding towards infant
mood regulation, 2016

Anda mungkin juga menyukai