Hono - Ngudiyono

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 89

HASIL PENELITIAN

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PUNGUTAN


LIAR JURU PARKIR DI KOTA SEMARANG DITINJAU
DARI ASPEK HAK ASASIMANUSIA

Oleh :
Dr. Drs. H. Sejati Hono, S.H, M.Hum
Ngudiyono

MAGISTER ILMU HUKUM


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS DARUL ULUM ISLAMIC
CENTER SUDIRMAN GUPPI UNGARAN (UNDARIS)
UNGARAN
2020

i
1. Judul Penelitian : Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pungutan
Liar Juru Parkir Di Kota Semarang Ditinjau Dari
Aspek Hak AsasiManusia

2. Bidang Penelitian : Ilmu Hukum

3. Ketua Peneliti
a. Nama dan Gelar : Dr. Drs. Hono Sejati, SH, M.Hum
b. Jenis Kelamin : Laki- Laki
c. Pangkat/Gol : Penata/ III C
d. NIP/NIK : 0200
e. NIDN : 0609086002
f. Jabatan Fungsional : Lektor
g. Fakultas/Jurusan : Hukum/ Ilmu Hukum
h. Pusat Penelitian : UNDARIS
i. Alamat rumah : Jl. Karonsih Baru II No.13 Ngaliyan Semarang
: 085727272369
j. Telephon/fax/e-mail :

4. Jumlah Tim Peneliti


a. Nama anggota 1 : Ngudiyono
b. Nama anggota 2 :

5. Lokasi Penelitian : Semarang

6. Jangka waktu penelitian : 6 Bulan

7. Sumber biaya :
Universitas : Rp. 3.000.000,-
Mandiri : Rp. 5.000.000,-

Ungaran, 13 Oktober 2019


Mengetahui,
Dekan FH Ketua Peneliti

Dr. Tri Susilowati, S.H.,M.Hum Dr. Drs. H. Sejati Hono, S.H, M.Hum
NIDN. 0018096001 NIDN. 0007065902
KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadiran Alloh SWT, karena dengan


berkat dan rahmatnya peneliti dapat menyelesaikan penyusunan penelitian ini
guna memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam mengakhiri program studi
Strata Satu pada Fakultas Hukum Universitas Darul Ulum Islamic Center
Sudirman. Untuk memenuhi persyaratan tersebut peneliti mendapat persetujuan
untuk menulis penelitian.

Dalam penelitian penelitian ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak, oleh karena itu melalui ruang ini peneliti mengucapkan
penghargaan dan terima kasih kepada :
1. Dr. Drs. Lamijan, S.H., M.Si selaku Rektor Universitas Darul Ulum Islamic
Centre Sudirman GUPPI Ungaran yang telah memberikan masukan dan saran
dalam melaksanakan penelitian ini, yang telah meluangkan waktunya dengan
penuh perhatian memberikan dorongan, bimbingan, arahan, kritikan bahkan
saran untuk penyempurnaan penelitian ini.
2. Seluruh Pimpinan Unit di jajaran Universitas dan Fakultas Hukum yang telah
memfasilitasi pennelitian ini dari awal sampai selesai.

Disadari bersama bahwa dalam penelitian ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu diharapkan kepada semua pihak kiranya dapat memberikan masukan
demi perbaikan penelitian ini. Demikian semoga dapat bermanfaat terutama untuk
pengembangan kualitas Dosen dalam melakukan penelitian.

Ungaran,
Ketua Peneliti

……………………………………..
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis elaksanaan penegakan


hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota Semarang ditinjau dari aspek
Hak Asasi Manusia. 2) Menganalisis hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan
penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota Semarang ditinjau
dari aspek Hak Asasi Manusia. 3) Menganalisis upaya mengatasi hambatan dalam
pelaksanaan penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota
Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia
Metode Penelitian dilakukan dengan hukum normatif. Penelitian hukum
normatif adalah penelitian yang berfokus pada norma hukum positif yang
menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa
peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa pendapat-
pendapat hukum yang diperoleh dari buku, informasi dari internet, asas hukum,
doktrin, surat kabar, jurnal. Sedangkan pendekatan penelitian menggunakan
deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data memalui wawancara dan
studi pustaka kemudian data yang diperoleh dari hasil wawancara tersebut akan
dianalisa dengan menggunakan metode analisis deskriptif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diperoleh hasil kesimpulan
bahwa : 1) meraknya pungli perparkiran ini patut ditengarai adanya pembiaran
oleh pemerintah daerah (baik melalui sistematika birokrasi maupun alasan
kekurangan sumberdaya penegak aturan. Penegakan hukum pidana terhadap
pungutan liar oleh juru parkir dilakukan, jika ada laporan dari masyarakat atau
ketika sedang melakukan operasi rutin. 2) Kendala dalam Melakukan Penegakan
Hukum Pidana terhadap Pungutan Liar Juru Parkir di Semarang adalah
Kurangnya personil dari Dinas Perhubungan Semarang dalam melakukan
pemantauan terhadap juru parkir baik resmi ataupun tidak resmi. Pungutan liar
yang dilakukan oleh juru parkir resmi maupun tidak resmi merupakan reaksi dari
kurangnya personil dari Dinas Perhubungan Kota Semarang. 3) Upaya dalam
mengatasi hambatan pungutan parkir liar di Kota Semarang dapat dilakukan
melalui beberapa kegiatan seperti: meningkatkan pelayanan public, mengedukasi
masyarakat dalam bentuk kampanye publik, adanya inspeksi berkala dari pijhak
atasan.

Kata kunci : Hak Asasi Manusia, hukum pidana, parkir liar


ABSTRACT

This study aims to 1) Implement law enforcement against illegal parking


fees in Semarang City in terms of human rights aspects. 2) The obstacles faced in
implementing law enforcement against illegal parking fees in Semarang City are
viewed from the aspect of human rights. 3) Efforts to overcome obstacles in the
implementation of law enforcement against illegal parking fees in Semarang City
in terms of human rights
The research method is carried out by normative law. Normative legal
research is research that focuses on positive legal norms using secondary data
consisting of primary legal materials in the form of statutory regulations and
secondary legal materials in the form of legal opinions obtained from books,
information from the internet, legal principles, doctrines, letters news, journals.
While the research approach uses descriptive qualitative data collection
techniques through interviews and literature then the data obtained from the
interview results will be analyzed using descriptive analysis methods.
Based on the results of research and discussion, the conclusions are
obtained that: 1) this peacock of parking extortion should be suspected of
omission by the local government (both through bureaucratic systematics and
reasons for lack of regulatory resources. Enforcement of criminal law against
illegal fees by parking attendants is carried out, if there is a report from
community or when carrying out routine operations 2) Obstacles in Enforcing
Criminal Law against Illegal Parking Charges in Semarang is the lack of
personnel from the Semarang Transportation Agency in monitoring parking
attendants, both official and unofficial. Illegal fees imposed by official and
unofficial parking attendants are a reaction to the lack of personnel from the
Semarang City Transportation Agency. 3) Efforts to overcome the barriers to
illegal parking fees in the city of Semarang can be carried out through several
activities such as: improving public services, educating the public in the form of
public campaigns, regular inspections from superiors.

Key words: human rights, criminal law, illegal parking


DAFTAR ISI
Halaman

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian...................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian.................................................................................... 5
E. Sistematika Penelitian Penelitian ............................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Landasan Konseptual ............................................................................... 8
B. Landasan Teori ......................................................................................... 9
C. Orisinalitas Penelitian............................................................................... 51

BAB III METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Penelitian............................................................................... 54
B. Jenis Penelitian ......................................................................................... 54
C. Sumber Data ............................................................................................. 54
D. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 55
E. Teknik Analisa Data ................................................................................. 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian......................................................................................... 59
B. Pembahasan. ............................................................................................. 72

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... 75
B. Saran ......................................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Seiring dengan meningkatnya aktivitas masyarakat khususnya di Kota

Semarang, berdampak pada banyaknya pengguna kendaraan bermotor baik

roda empat maupun roda dua. Hal tersebut secara otomatis akan meningkat

pula terhadap penerimaan retribusi parkir jika dikelola dengan baik. Akan

tetapi, berdasarkan hasil observasi awal, peneliti melihat fenomena

pengelolaan retribusi parkir masih belum optimal.

Tarif yang harus dibayar serta adanya kejelasan mengenai jumlah

pengguna parkir secara keseluruhan melalui karcis yang telah dikeluarkan,

sehingga adanya kejelasan terhadap pendapatan dari retribusi parkir tersebut.

Selain itu perda tersebut sebagai bentuk pengaturan dalam pengelolaan

retribusi parkir di kota Semarang agar tidak terjadinya bentuk pelanggaran

dalam pengelolaan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat pengguna

parkir bahkan pelanggaran berupa pelanggaran hukum yaitu pungutan liar.

Retribusi parkir secara umum merupakan pungutan sebagai pembayaran atas

jasa atau pemberian izin parkir yang khusus disediakan dan/atau diberikan

oleh Pemerintah untuk kepentingan pribadi atau Badan. Seiring dengan

meningkatnya aktivitas masyarakat khususnya di Kota Semarang, berdampak

pada banyaknya pengguna kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda

1
2

dua. Hal tersebut secara otomatis akan meningkat pula terhadap penerimaan

retribusi parkir jika dikelola dengan baik.1

Kasus lain yang terjadi mengenai jasa parkir adalah sering pengendara

atau pengguna kendaraan tidak memberikan karcis kepada mereka dan

menarik sesuka hati jasa parkir. Tanggungjawab pengelola parkir, terhadap

konsumen parkir adalah untuk mengembalikan kendaraan konsumen seperti

keadaan semula, atau dengan kata lain apabila terjadi kerusakan dan bahkan

kehilangan kendaraan di areal parkir merupakan tanggung jawab pengelola

parkir.

Pengguna kendaraan mengungkapkan bahwa seringkali kehilangan

barang atau sesuatu tukang parkir tidak mau bertanggung jawab. Tukang

parkir hanya menjaga kendaraan tetapi jika sampai terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan seperti kehilangan helm, jaket atau lainnya tukang parkir tidak

mau bertanggung jawab. Tukang parkir menyadari bahwa mereka sering

melakukan pungli. Beberapa tukang parkir mengaku jika mereka menarik

uang jasa parkir melebihi yang ditetapkan. Jasa parkir yang seharusnya adalah

Rp.1.000,00 untuk kendaraan sepeda motor dan Rp.2.000,00 untuk mobil

sedangkan bus, truk atau kendaraan berat lainnya dikenakan biyaya

Rp.5.000,00.2 Fakta dilapangan tidak seperti itu tukang parkir menarik untuk

pengendara sepeda motor Rp.2.000,00 atau Rp.3.000,00 mobil, truk dan

kendaraan lainnya pun juga dinaikkan tarifnya.

1
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT.Suryandaru Utama.
2005. Hlm 89
2
Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota
Semarang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum
3

Pengelolaan retribusi parkir di Semarang memerlukan perhatian

khusus dari pemerintah dalam mengatur dan mengelola terhadap

kelangsungan pelaksanaan pemungutan retribusi parkir. Pemerintah melalui

Dinas Perhubungan bertanggungjawab mengenai penyediaan atas jasa parkir

yang nantinya bisa digunakan untuk masyarakat yang memakai jasa tersebut.

Dalam pengelolaannya Dinas tersebut memiliki banyak unsur pelaksana

teknis, salah satunya Unit Pelakasana Teknis (UPT) pada bagian pengelolaan

parkir. UPT parkir merupakan unsur pelaksana tugas teknis yang membidangi

pengelolaan parkir, di mana UPT parkir tersebut bertanggungjawab secara

keseluruhan mengenai pengelolaan retribusi parkir. Dalam pelaksanaannya

UPT parkir tersebut melibatkan para pegawai sebagai sumber daya manusia

untuk menjalankan tugasnya sebagai para pelaksana. Selain itu, peran dari

kepala dinas sangat diperlukan guna untuk mengarahkan dan membuat

perencanaan terhadap kelangsungan pelaksanaan dan pengelolaan retribusi

parkir.

Beberapa masalah terkait pengelolaan parkir tepi jalan umum di

beberapa Kawasan di Semarang diantaranya banyaknya parkir liar yang

disebabkan karena banyaknya para karyawan mall dan pengunjung yang lebih

memilih parkir di luar (tepi jalan) dibandingkan di dalam mall dikarenakan

tarif parkir di dalam mall yang lebih mahal karena menggunakan tarif per jam

(tarif progresif), penarikan tarif parkir yang melampaui regulasi, banyaknya

para juru parkir yang tidak menyetorkan retribusi parkir pada Dishubkominfo

dan adanya kepentingan koordinator lapangan yang merasa memiliki lahan


4

parkir. Berbagai hambatan dalam pengelolaan parkir berdampak pada

sumbangsih terhadap PAD Kota Semarang, menjadi penghambat daerah

dalam mendapatkan pendapatan yang sesuai dengan target. Padahal sektor

parkir merupakan potensi pendapatan yang besar di daerah perkotaan.

Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2016 Tahun

2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2

Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum Di Kota Semarang. Dalam hal ini

sebagai penegak hukum khusus sedangkan hakim, jaksa, polisi dan advokat

adalah sebagai penegak hukum umum.

Berdasakan latar belakang di atas, maka peneliti tertarik mengambil

judul : Tinjauan Aspek HAM Dalam Penegakan Hukum Pidana

Terhadap Pungutan Liar Juru Parkir di Kota Semarang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan penegakan hukum terhadap pungutan liar juru

parkir di Kota Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia?

2. Apa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan penegakan hukum

terhadap pungutan liar juru parkir di Kota Semarang ditinjau dari aspek

Hak Asasi Manusia?

3. Bagaimana upaya mengatasi hambatan dalam pelaksanaan penegakan

hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota Semarang ditinjau dari

aspek Hak Asasi Manusia?


5

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui dan menganalisis pelaksanaan penegakan hukum terhadap

pungutan liar juru parkir di Kota Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi

Manusia.

2. Mengetahui dan menganalisis hambatan yang dihadapi dalam

pelaksanaan penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota

Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia.

3. Mengetahui dan menganalisis upaya mengatasi hambatan dalam

pelaksanaan penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota

Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah wawasan

pengetahuan ilmu hukum pada umumnya dan ilmu pidana pada

khususnya mengenai dalam penegakan hukum pidana terhadap pungutan

liar juru parkir di Semarang.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau

perbandingan bagi mereka yang berminat meneliti topik pembahasan

yang berkaitan dengan penegakan hukum pidana terhadap pungutan

liar juru parkir di Semarang.

b. Manfaat secara praktis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat

menambah pengetahuan dan wawasan serta pemahaman dan sebagai


6

bahan masukan yang berguna dalam upaya menjadikan kita sebagai

magister hukum yang berintegritas tinggi dalam menjunjung

keadilan.

E. Sistematika Penelitian

Dalam penyusunan penelitian ini diuraikan menjadi lima bab yaitu dimana

bab satu dengan bab yang lainnya akan dibahas dalam ruang lingkup dan

materi pembahasan sesuai dengan bab masing – masing. Adapun sistematika

penelitian inidisusun sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian.

Bab II Tinjuan Pustaka berisi tentang landasan konseptual, landasan teori

yang mencakup tinjuaan hukum pidana, pungutan liar, dan orisinalitas

penelitian.

Bab III Metode Penelitian berisi tentang jenis penelitian, pendekatan

penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data.

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan meliputi pelaksanaan

penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota Semarang

ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia, hambatan yang dihadapi dalam

pelaksanaan penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di Kota

Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia, upaya mengatasi hambatan

dalam pelaksanaan penegakan hukum terhadap pungutan liar juru parkir di

Kota Semarang ditinjau dari aspek Hak Asasi Manusia.


7

Bab V Penutup, bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang

kesimpulan dan saran.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Konseptual

1. Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara.3

2. Pungutan Liar

Pungutan liar ialah perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau

pegawai Negeri atau pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran

sejumlah uang yang tidak sesuai atau tidak berdasarkan peraturan yang

berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan

perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi.4

3. Juru Parkir

Juru parkir yang disebut juga sebagai Jukir adalah orang yang membantu

mengatur kendaraan yang keluar masuk ke tempat parkir. Jukir juga

berfungsi untuk mengumpulkan biaya parkir dan memberikan karcis

kepada pengguna parkir pada saat akan keluar dari ruang parkir.5

3
Dellyana,Shant.,Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty 1988. hlm 32
4
Ramadhani. Penegakan Hukum Dalam Menanggulangi Pungutan Liar Terhadap Pelayanan
Publik
5
BPKP. 2002. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan
Masyarakat. Jakarta: Tim Pengkajian SPKN RI. Diakses pada Mei 2020

8
9

4. Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia adalah sebuah konsep hukum dan normatif yang

menyatakan bahwa manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya

karena ia adalah seorang manusia. Hak asasi manusia berlaku kapanpun,

di manapun, dan kepada siapapun, sehingga sifatnya universal. HAM

pada prinsipnya tidak dapat dicabut.

B. Landasan Teori

1. Tinjauan Umum Penegakan Hukum

Secara konseptual, Satjipto Rahardjo merumuskan pengertian

penegakan hukum sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-

keinginan hukum menjadi kenyataan6. Keinginan-keinginan hukum yang

dimaksud adalah pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang

dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Peraturan-peraturan

hukum yang di buat oleh lembaga legislatif pada dasarnya bukannya tidak

memihak. Oleh karena suatu undang-undang merupakan hasil perjuangan

kekuasaan di dalam masyarakat, aa pendapat pihak yang berkuasa juga

menentukan bagaimana isi peraturan hukum yang di buat.

Ada lima faktor yag memberikan kontribusi pengaruh pada proses

penegakan hokum menurut Soerjono Soekanto7 :

a. faktor hukum atau peraturan perundang-undangan,

b. faktor aparat penegak hukumnya,

6
Arif Budiman, 1996. Teori Negara-negara Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama hal 46
7
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2010 hal 51
10

c. faktor sarana dan fasilitas yang mendukung proses penegakan

hukum,

d. faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan

kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat,

e. faktor kebudayaan, yani hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Sementara itu menurut Satjipto Rahardjo8, membedakan tiga unsur utama

yang terlibat dalam proses penegakan hukum :

a. unsur pembuat undang-undang,

b. unsur aparat penegak hukum,

c. unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.

Persoalan penegakan hukum di Indonesia merupakan sebuah

persoalan yang sudah bersifat struktural. Untuk itu, upaya penegakan

hukum harus dapat dilakukan dengan format yang mempunyai kekuatan

hukum tetap, yaitu melalui produk-produk hukum yang dibuat oleh

pemerintah. Produk-produk hukum yang dibuat oleh pemerintah diharapkan

dapat menjamin tercapainya penegakan hukum secara menyeluruh dan

nyata dalam tatanan masyarakat Indonesia. Produk-produk hukum yang di

buat oleh pemerintah tersebut tidak akan berarti apa-apa, apabila tdak

mampu menjalankan hukum dan tidak dapat diimpelementasikan.

8
Satjipto Rahardjo. 1983. Masalah Penegakan Hukum. Bandung: Sinar Baru hal 78
11

Supremasi hukum dari segi istilah mempunyai arti bahwa suatu

negara yakni negara hukum yang di dalamnya hukum diperlakukan sebagai

penguasa atau panglima. Penempatan hukum dalam posisi supremasi,

mengandung pengertian bahwa hubungan antara penguasa dan warga

negara serta hak, kewajiban dan tanggungjawab masing-masing haruslah

dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab sebagaimana yang telah

dituangkan di dalam aturan hukum, baik di dalam aturan hukum tertulis

berupa peraturan perundangan maupun hukum yang tidak tertulis.

Menurut Lawrence M. Friedman ada hambatan dalam mewujudkan

supremasi hukum yaitu dari sistem hukum, menururnya bahwa sistem

hukum dalam arti luas terdiri dari tiga komponen yaitu komponen substansi

hukum (legal substance), komponen struktur hukum (legal structure), dan

komponen budaya hukum (legal culture). Substansi hukum (legal

substance) adalah aturan-aturan dan norma-norma aktual yang

dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para

pelaku yang diamati di dalam sistem. Struktur hukum (legal structure)

merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem dengan

wujud utamanya adalah lembaga-lembaga pembentuk dan penegak hukum

berikut sumber daya manusianya. Budaya hukum (legal culture) merupaan

gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan,

Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak

ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel.

Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan


12

yang tertulis, sedangkan hukum materiel mencakup pula pengertian nilai-

nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan

antara pengertian penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan

hukum dapat dikaitkan dengan pengertian „law enforcement‟ dalam arti

sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum

materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggris

juga terkadang dibedakan antara konsepsi „court of law‟ dalam arti

pengadilan hukum dan „court of justice‟ atau pengadilan keadilan. Bahkan,

dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika Serikat

disebut dengan istilah „Supreme Court of Justice‟.

Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum

yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri,

melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada

doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian

dalam perkara pidana dan perdata.

Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan

kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim

diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut

nilai-nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana.

Namun demikian, hakikat tugas hakim itu sendiri memang

seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel untuk


13

mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam

bidang pidana maupun di lapangan hukum perdata.

Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah seharusnya berisi

penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan

penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Setiap

norma hukum sudah dengan sendirinya mengandung ketentuan tentang

hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum dalam lalu lintas

hukum. Norma-norma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan

hak-hak dan kewajibankewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena

itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi

manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam

keseimbangan konsep hukum dan keadilan.

Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi

hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara

akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi

manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi

manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul

dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan.

Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan ke dalam dan

melalui organ-organ negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan

ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan

perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia.


14

Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini

bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan

yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran

konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide

demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga

perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai

ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis

(democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas

hukum (constitutional democracy).

Dengan perkataan lain, issue hak asasi manusia itu sebenarnya

terkait erat dengan persoalan penegakan hukum dan keadilan itu sendiri.

Karena itu, sebenarnya, tidaklah terlalu tepat untuk mengembangkan istilah

penegakan hak asasi manusia secara tersendiri. Secara konsepsional, maka

inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap

dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai

tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan

kedamaian pergaulan hidup. Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak

pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut

mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya

terletak pada isi faktor-faktor tersebut.


15

Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-

undang saja.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur

daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima

faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengetengahkan contoh-

contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat Indonesia.

a. Undang-undang

Undang-undang dalam arti material adalah peraturan tertulis yang

berlaku umum dan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun Daerah yang

sah (Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979).

Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas

yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai

dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain (Purbacaraka &

Soerjono Soekanto, 1979):


16

1) Undang-undang tidak berlaku surut.

2) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,

mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.

3) Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-

undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.

4) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undang-

undang yan berlaku terdahulu.

5) Undang-undang tidak dapat diganggu guat.

6) Undang-undang merupakan suatu sarana untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun

pribadi, melalui pelestaian ataupun pembaharuan (inovasi).

b. Penegak Hukum

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat,

yang hendaknya mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu sesuai

dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan

mendapat pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu

menjalankan atau membawakan peranan yang dapat diterima oleh

mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin dijumpai pada

penerapan peranan yang seharusnya dari golngan sasaran atau penegak

hukum, Halangan-halangan tersebut, adalah:

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan

pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.


17

c. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan,

sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.

d. Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan

tertentu, terutama kebutuhan material.

e. Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan

konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan membiasakan diri

dengan sikap-sikap, sebagai berikut:

1) Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.

2) Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah menilai

kekurangan yang ada pada saat itu.

3) Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.

4) Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin

mengenai pendiriannya.

5) Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya

merupakan suatu urutan.

6) Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.

7) Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.

8) Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di

dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

9) Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan

diri sendiri dan ihak lain.


18

10) Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas

dasar penalaran dan perhitingan yang mantap.

c. Faktor Sarana atau Fasilitas

Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin

penegakan hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas

tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan

trampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang

cukup, dan seterusnya.

Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang sangat penting dalam

penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak

akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya

dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas

tesebut, sebaiknya dianut jalan pikiran, sebagai berikut (Purbacaraka &

Soerjono Soekanto, 1983):

1) Yang tidak ada-diadakan yang baru betul.

2) Yang rusak atau salah-diperbaiki atau dibetulkan.

3) Yang kurang-ditambah.

4) Yang macet-dilancarkan.

5) Yang mundur atau merosot-dimajukan atau ditingkatkan.

d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk

mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang


19

dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan

hukum tersebut.

Masyarakat Indonesia mempunyai kecendrungan yang besar untuk

mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan

petugas (dalam hal ini penegak hukum sebagai pribadi). Salah satu

akibatnya adalah, bahwabaik buruknya hukum senantiasa dikaitkan

dengan pola prilaku penegak hukum tersebut.

e. Faktor Kebudayaan

Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai

yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan

konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti)

dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang

berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:

1) Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.

2) Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.

3) Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai

kebaruan/inovatisme.

Masalah penegakan hukum (rule of law) di Indonesia merupakan

masalah yang kompleks dan multifaktor. Penegakan hukum tentunya

bermuara pada tercapainya tujuan-tujuan hukum yang meliputi keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum. Meskipun ketiga variabel tersebut

sering kali saling bertabrakan. Keadilan merupakan hal yang sangat

abstrak, hal tersebut disebabkan karena setiap individu memiliki perspektif


20

yang berbeda mengenai keadilan. Terkadang yang kita anggap adil belum

tentu adil bagi orang lain, Begitu pula dengan kemanfaatan. Sementara

kepastian hukum cenderung lebih statis, variabel ini cenderung kaku

karena dibatasi oleh ketentuan yang sudah dilegalisasi secara permanen.

Setiap sistem hukum memiliki caranya tersendiri dalam

mensinkronisasikan variabel-variabel dari tujuan hukum tersebut, misalnya

sistem hukum civil law yang menitikberatkan penemuan hukum pada

undang-undang atau aturan yang terkodifikasi maka aturan-aturan yang

terkodifikasi tersebut sebisa mungkin dirancang agar bias mengakomodasi

keadilan dan kemanfaatan bagi subjek-subjek hukum yang ada. Sementara

dalam sistem hukum common law yang menitikberatkan penemuan hukum

pada proses peradilan dikenal adanya yurisprudensi sebagai upaya

menguatkan posisi kepastian hukum.

2. Tinjauan Umum Hukum Pidana

a. Pengertian Hukum Pidana

Hukum adalah sebagai keseluruhan peraturan yang tertulis dan

tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa, untuk kelakuan manusia

dalam masyarakat negara (serta antar negara), yang mengarah kepada

keadilan, demi terwujudnya tata damai, dengan tujuan memanusiakan

manusia dalam masyarakat.9 Sedangkan pidana adalah penderitaan

yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan

9
O. Notohamidjojo, 2011, Soal - Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media, Hal 121
21

yang memenuhi syarat - syarat tertentu.10 Pengertian mengenai hukum

pidana itu terdiri dari norma - norma yang berisi keharusan - keharusan

dan larangan - larangan yang (oleh pembentuk undang - undang) telah

dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu

penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga

dikatakan bahwa

Hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma- norma yang


menentukan terhadap tindakan - tindakan yang mana (hal
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana
terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam
keadaaan-keadaan bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi
tindakan-tindakan tersebut.11

Banyak ahli berpendapat bahwa Hukum Pidana menempati tempat

tersendiri dalam sistemik hukum, hal ini disebabkan karena hukum

pidana tidak menempatkan norma tersendiri, akan tetapi memperkuat

norma - norma di bidang hukum lain dengan menetapkan ancaman

sanksi atas pelanggaran norma - norma di bidang hukum lain

tersebut.12

Hukum Pidana merupakan sebuah bagian dari keseluruhan hukum

yang berlaku didalam suatu negara, yang mengadakan aturan-aturan

dan dasar-dasar untuk:13

10
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 2005, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni,
Hal 2
11
P.A.F. Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, Hal 1
12
M. Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, Hal 3
13
Moeljatno, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi Aksara, Cet- 24, 2005
22

1. Menentukan perbuatan mana yang tidak diperpolehkan untuk


dilakukan dan yang yang dilarang, dengan beserta ancaman atau
sebuah sanksi yang berupa pidana tertentu untuk siapa yang
melanggar larangan itu.
2. Serta kapan dan dalam hal apa kepda mereka yang sudah
melanggar larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhkan hukuman
pidana dengan sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Dan menentukan cara bagaimana pengenaan sebuah pidana
tersebut bisa dilaksanakan jika ada orang yang disangka sudah
melanggar larangan itu.

Hukum Pidana merupakan hal yang mengatur tentang

pelanggaran serta kejahatan terhadap kepentingan umum dan

perbuatan itu diancam dengan hukuman pidana yang merupakan suatu


14
penderitaan. Pengertian diatas sesuai dengan asas hukum pidana

yang terkandung dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP dimana hukum pidana

bersumber pada peraturan tertulis (undang - undang dalam arti luas)

disebut juga sebagai asas legalitas.

Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan pada

undang-undang pidana yang melindungi rakyat terhadap pelaksanaan

kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Karakteristik hukum

adalah memaksa disertai dengan ancaman dan sanksi. Tetapi hukum

bukan dipaksa untuk membenarkan persoalan yang salah, atau

memaksa mereka yang tidak berkedudukan dan tidak beruang. Agar

peraturan - peraturan hidup kemasyarakatan benar - benar dipatuhi dan

ditaati sehingga menjadi kaidah hukum, maka peraturan

kemasyarakatan tersebut harus dilengkapi dengan unsur memaksa.

14
Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.ke-2, 2001
23

b. Tujuan Hukum Pidana

Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang

perseorangan atau hak asasi manusia dan masyarakat. Tujuan hukum

pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila yang

mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara.

Dengan demikian hukum pidana di Indonesia adalah mengayomi

seluruh rakyat Indonesia. Tujuan hukum pidana dibagi menjadi 2

(dua), yaitu:15

a. Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi.

Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan

memberi dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi

pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan

pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam

pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan

hukum pidana atau dalam penjelasan umum

b. Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang

melanggar hukum pidana.

Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas

dan konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat

adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan

pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan

dari tujuan pertama

15
Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, Hal 7
24

c. Fungsi Hukum Pidana

Hukum pidana adalah bagian dari hukum-hukum lain yang

berlaku di suatu negara maka fungsinya sama dengan fungsi hukum

pada umumnya, yaitu mengatur hidup kemasyarakatan atau

menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Melindungi kepentingan

hukum terhadap perbuatan yang hendak melanggarnya dengan suatu

sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum

lain atau sering disebut fungsi hukum pidana memberi aturan untuk

melindungi.16

Berikut ini disebutkan pula beberapa pendapat yang dikemukakan

oleh Sudarto, bahwa fungsi hukum pidana itu dapat dibedakan sebagai

berikut:17

a. Fungsi yang umum

Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh

karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum

pada umumnya, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau

untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat

b. Fungsi yang khusus

Fungsi khusus bagi hukum pidana adalah untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memper -

kosanya (rechtsguterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang

16
http://bastianunmer.blogspot.com/2016/03/fungsi-hukum-pidana.html diakses pada 10 Maret
2020
17
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I,Semarang: Yayasan Sudarto, Hal 9
25

sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat

pada cabang hukum lainnya. Dalam sanksi pidana itu terdapat suatu

tragic (suatu yang menyedihkan) sehingga hukum pidana dikatakan

sebagai “mengiris dagingnya sendiri‟atau sebagai “pedang bermata

dua‟, yang bermakna bahwa hukum pidana bertujuan untuk

melindungi kepentingan-kepentingan hukum (misalnya: nyawa,

harta benda, kemerdekaan, kehormatan), namun jika terjadi

pelanggaran terhadap larangan dan perintahnya justru mengenakan

perlukaan (menyakiti) kepentingan (benda) hukum si pelanggar.

Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan

untuk menaggulangi perbuatan jahat. Dalam hal ini perlu diingat

pula, bahwa sebagai alat social control fungsi hukum pidana adalah

subsidair,artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan

(dipergunakan) apabila usaha-usaha lain kurang memadai.

d. Jenis Hukum Pidana

Hukum pidana yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatanan

yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang undang dan

perumusannya tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan

timbulnya suatu aklibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat

penyelesaian tindak pidana, melainkan semata mata pada


26

perbuatannya.18 Dilihat dari berbagai segi, Hukum Pidana terdiri

dari19:

a. Hukum Pidana Tertulis dan Tidak Tertulis.

1) Hukum Pidana tertulis → Hukum Pidana yaitu yang telah

tercantum dalam peraturan perundang-undangan.

2) Hukum pidana tidak tertulis → Hukum Pidana Adat (Delik

Adat) yang masih hidup dalam masyarakat.

b. Hukum Pidana Positif

Hukum pidana yang masih berlaku sampai sekarang (contoh :

KUHP)

c. Hukum Pidana Hukum Publik

Untuk kepentingan umum

d. Hukum Pidana Objektif dan Hukum Pidana Subjektif

1) Hukum Pidana Objektif (Ius Poenale) ialah : seluruh garis

hukum mengenai :

a) Tingkah laku yang diancam dengan pidana - jenis dan

macam pidana

b) Bagaimana pidana dijatuhkan dan dilaksanakan dalam

waktu dan batas-batas tertentu → semua warga wajib

mentaati hukum pidana → dalam arti objektif.

18
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Rajawali Pers, 2013, h.126
19
Teguh Prasetyo. Hukum Pidana.Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2010,hal 58
27

2) Hukum Pidana Subjektif (Ius Poeniendi)

Adalah : merupakan hak penguasa untuk mengancam pidana,

menjatuhkan pidana pada pelanggar hukum pidana (falsafah

Hukum Pidana)

e. Hukum pidana materiil

Aturan aturan hukum pidana yang berupa norma dan sanksi

hukum pidana dan ketentuan umum yang membatasi, menjelaskan

norma norma hukum pidana tersebut.

f. Hukum pidana formil (hukum acara pidana)

Garis garis hukum yang menjadi pedoman dasar aparat penegak

hukum untuk melaksanakan ketentuan hukum pidana materil

(proses peradilan pidana)

g. Hukum Pidana Umum

Hukum pidana umum ialah hukum pidana yang berlaku terhadap

setiap penduduk (berlaku terhadap siapa pun juga di seluruh

Indonesia) kecuali anggota ketentaraan. Hukum pidana umum

secara definitif dapat diartikan sebagai perundang-undangan

pidana yang berlaku umum yang tercantum dalam KUHP serta

perundangan-undangan yang merubah dan menambah KUHP.

h. Hukum Pidana Khusus.

Hukum pidana khusus ialah hukum pidana yang berlaku khusus

untuk orang-orang yang tertentu. Hukum pidana khusus sebagai

perundang-undangan di bidang tertentu yang memiliki sanksi


28

pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan

khusus, diluar KUHP baik perUU Pidana maupun bukan pidana

tetapi memiliki sanksi pidana (ketentuan yang menyimpang dari

KUHP). Contoh:

1) Hukum pidana militer, berlaku khusus bagi seluruh

anggota militer dan mereka yang disamakan dengan

militer.

2) Hukum pidana pajak, berlaku khusus untuk perseroan dan

mereka yang membayar pajak (wajib pajak).

Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-

unsur hukum pidana ada 2 yaitu :

1) Unsur subyektif

Dalam unsur subyektif ini mengatakan bahwa dalam

hukum pidana mesti ada si pelaku atau orang. Dalam unsur

subyektif ini harus memenuhi syarat-syarat. Dimulai dari

orang itu harus mampu bertanggung jawab(karena ada

orang yang hanya bertanggung jawab sebagian seperti

orang yang mempunyai penyakit turunan (klepto) ) dan

juga orang itu merupakan orang yang waras atau bukan

orang gila, juga tidak dalam pengampuan atau dibawah

umur.

2) Unsur objektif

Unsur obyekti berasal dari luar diri manusia yaitu


29

a) Memenuhi unsur-unsur dalam UU artinya bahwa

perbuatan tersebut merupaka suatu perbuatan yang

dilarang oleh UU. Jika perbuatan yang dilakukan

oleh pelaku tidak memenhui rumusan UU atau

belum di atur dalam suatu UU maka perbuatan

tersebut bukanlah perbuatan yang bisa dikenai

ancaman pidana.

b) Perbuatan tersebut adalah perbuatan yang melawan

hukum.

c) Tidak ada alasan pembenar; artinya bahwa

meskipun suatu perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku memenuhi unsur dalam UU dan perbuatan

tersebut melawan hukum, namun jika terdapat

“alasan pembenar”, maka perbuatan tersebut bukan

merupakan “perbuatan pidana”.

3. Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Pada

dasarnya tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam

hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang

mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai


30

istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri

tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai

pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam

lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan

arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat

memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan

masyarakat.20

Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya

untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum,

maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau

pengertian terhadap istilah tindak pidana. Pembahasan hukum pidana

dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas

delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar

pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan

pemidanaan. Perlu disampaikan di sini bahwa, pidana adalah

merupakan suatu istilah yuridis yang mempunyai arti khusus sebagai

terjemahan dari Bahasa Belanda ”straf” yang dapat diartikan sebagai

”hukuman”. 21

Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan

”strafbaarfeit” untuk mengganti istilah tindak pidana di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tanpa memberikan

20
Kertonegoro, Diktat Kuliah Hukum Pidana. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, hlm. 62
21
Moeljatno, 1987. Asas-asas Hukum Pidana. Bina Aksara, Jakarta. hlm. 37
31

penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan perkataan strafbaarfeit,

sehingga timbulah di dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa

yang sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut.

Strafbaarfeit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut


22
dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Terkait

dengan masalah pengertian tindak pidana, terdapat 3 (tiga) hal yang

perlu diperhatikan :

1) Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum

dilarang dan diancam pidana

2) Larangan ditujukan kepada perbuatan yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan daorang, sedangkan

ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan

kejadian itu.

3) Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat,

oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan

kejadian itu ada hubungan erat pula. ”Kejadian tidak dapat

dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak

dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan

olehnya”. 23

22
Ibid. hlm. 39
23
Moeljatno, 1985. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, hlm. 34
32

Mengenai pengertian tindak pidana digunakan istilah delik

untuk menterjemahkan strafbaarfeit, dan mengartikannya sebagai

suatu perbuatan atau tindakan yang terlarang dan diancam dengan

hukuman oleh undang-undang.24 Suatu rumusan yang bersifat umum

mengenai strafbaarfeit yaitu suatu perilaku manusia yang pada suatu

saat tertentu telah ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan

dianggap sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana

dengan menggunakan sarana-sarana yang bersifat memaksa yang

terdapat di dalamnya.

Beberapa pendapat pakar hukum dari barat (Eropa) mengenai

pengertian “strafbaar feit”, antara lain sebagai berikut:

1). Simons, memberi batasan pengertian “strafbaar feit” adalah

suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas

tindakannya dan yang oleh undang- undang telah dinyatakan

sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum. 25

2). Pompe, “strafbaar feit” adalah suatu pelanggaran norma

(gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun

dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

24
Ridwan A. Halim, 1982. Hukum Pidana dan Tanya Jawab. Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 31
25
P.A.F. Lamintang, 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 34
33

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah

perlu demi terpeliharanya tertib hukum.26

3). Hasewinkel Suringa, “strafbaar feit” yang bersifat umum yakni

suatu perilaku manumur yang pada suatu saat tertentu telah

ditolak di dalam suatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap

sebagai perilaku yang harus ditiadakan oleh hukum pidana

dengan menggunakan sarana- sarana yang bersifat memaksa

yang terdapat didalam undang-undang.27

Beberapa pendapat pakar hukum Indonesia mengenai “Strafbaar

feit”, antara lain sebagai berikut :

1). Bambang Poernomo, menyatakan bahwa “Strafbaar feit” adalah

hukum sanksi. Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum

pidana yang membedakan dengan lapangan hukum yang lain,

yaitu bahwa hukum pidana sebenarnya tidak mengadakan norma

sendiri melainkan sudah terletak pada lapangan hukum yang

lain, dan sanksi pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya

norma-norma di luar hukum pidana.

2). Roeslan Saleh, mengartikan istilah ”Strafbaar feit” sebagai

suatu perbuatan yang bertentangan dengan tata atau ketentuan

yang dikehendaki oleh hukum, dimana syarat utama dari adanya

26
Ibid, hlm.35
27
Ibid, hlm.185
34

perbuatan pidana adalah kenyataan bahwa ada aturan yang

melarang.

3). Moeljatno menerjemahkan istilah “Strafbaar feit” dengan

perbuatan pidana. Perbuatan pidana adalah perbuatan yang

dilarang oleh suatu suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa

yang melanggar larangan tersebut.28

4). Teguh Prasetyo merumuskan bahwa : “Tindak pidana adalah

perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan

pidana”. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang

bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh

hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu

yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).

5). Wirjono Prodjodikoro mempergunakan istilah tindak pidana

adalah tetap dipergunakan dengan istilah tindak pidana atau

dalam Bahasa Belanda “Strafbaar feit” yaitu suatu perbuatan

yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan

pelakunya ini dapat dikatakan merupakan "subyek" tindak

pidana. 29

28
Tri Andrisman, 2009. Hukum Pidana Asas-Asas Dan Aturan Umum Hukum Pidana Indonesia.
Unila. hlm.70
29
Wiryono Projodikoro, 1986. Azas- azas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Eresco, Bandung, hlm.
55.
35

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana dapat

digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu:

1) Tindak pidana materil Pengertian tindak pidana materil adalah,

apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai

perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa

merumuskan wujud dari perbuatan itu.

2) Tindak pidana formil. Pengertian tindak pidana formal yaitu

apabila tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai

wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan

oleh perbuatan itu.

b. Faktor yang menyebabkan Tindak Pidana

Secara umum ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

sebuah kejahatan. Pertama adalah faktor yang berasal atau terdapat

dalam diri si pelaku yang maksudnya bahwa yang mempengaruhi

seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan itu timbul dari dalam

diri si pelaku itu sendiri yang didasari oleh faktor keturunan dan

kejiwaan (penyakit jiwa). Faktor yang kedua adalah faktor yang

berasal atau terdapat di luar diri pribadi si pelaku. Maksudnya adalah:

bahwa yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah

kejahatan itu timbul dari luar diri si pelaku itu sendiri yang didasari

oleh faktor rumah tangga dan lingkungan30

30
Andi Hamzah, 1986. Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.hlm 64
36

Adapun faktor penyebab yang mendominasi terjadinya tindak

pidana pelecehan seksual yang dilakukan terhadap anak di bawah umur

adalah:31

1) Faktor keinginan

2) Faktor kesempatan

3) Faktor lemahnya iman

c. Jenis – Jenis Tindak Pidana

Tindak Pidana/Delik dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu:

1) Kejahatan dan Pelanggaran (Menurut Sistem KUHP)

Dalam KUHP dikenal dengan adanya Kejahatan (Buku

Kedua) dan Pelanggaran (Buku Ketiga). Kejahatan merupakan

rechtsdelict atau delik hukum adalah Pelanggaran hukum yang

dirasakan melanggar rasa keadilan, misalnya perbuatan seperti

Pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan sebagainya.

Sedangkan Pelanggaran merupakan wetsdelict atau delik

Undang undang adalah perbuatan melanggar apa yang

ditentukan oleh Undang undang, misalnya keharusan memiliki

SIM bagi pengendara kendaraan bermotor di jalan umum32.

31
Ibnu Jauzy, 2004. Ketika Nafsu Berbicara.Jakarta: Cendikia Sentra Muslim. hlm 54.
32
Teguh Prasetyo, 2010. Hukum Pidana. Raja grafindo persada, Jakarta, hlm.58
37

2) Delik Formil dan Delik Materil (Menurut cara

Merumuskannya).

Delik Formil yaitu delik yang perumusannya

menitikberatkan pada perbuatanan yang dilarang dan diancam

dengan pidana oleh Undang undang.33 perumusan delik formil

tidak memperhatikan dan atau tidak memerlukan timbulnya

suatu aklibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian

tindak pidana, melainkan semata mata pada perbuatannya.34

Misalnya pada pencurian (362 KUHP)

Delik materill yaitu delik yang perumusannya

menitikberatkan pada akibat yang dilarang dan diancam dengan

pidana oleh Undang undang. Untuk selesainya tindak pidana

Materill tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan

yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada syarat

timbulnya akibat terlarang tersebut35. Misalnya Pembunuhan

(338 KUHP)

3) Delik Dolus dan Delik Culpa (Berdasarkan Bentuk

Kesalahannya)

Delik Dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan.

Rumusan kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas,

33
C.S.T.Kansil, 2009. Engelin R Palandang, Altje agustin musa, Tindak pidana dalam undang
undang nasional, Jakarta. hlm.4
34
Adami Chazawi, 2013. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Pers. hlm.126
35
Ibid.hlm.126
38

misalnya dengan sengaja, tetapi mungkin juga dengan kata kata

lain yang senada.Contohnya Pasal pasal 162,197,310,338,dll

Delik Culpa adalah delik yang didalam rumusannya

memuat unsur kealpaan.Dalam rumusan nya menggunakan kata

karena kealpaannya, misalnya pada pasal 359,360,195. Didalam

beberapa terjemahan kadang kadang di pakai istilah karena

kesalahannya.36

4) Delik aktif (delicta Commissionis) dan Delik Pasif (delicta

omissionis). (Berdasarkan macam Perbuatannya).

Delik aktif (delicta Commissionis) adalah Delik yang

terjadi karena seseorang dengan berbuat aktif melakukan

pelanggaran terhadap larangan yang telah diatur dalam undang

undang. Contohnya Pasal 362,368 KUHP.

Delik Pasif (delicta omissionis) adalah Delik yang terjadi

karena seseorang melalaikan suruhan (tidak berbuat). Contohnya

Pasal 164, 165 KUHP.

Selain itu terdapat juga Delik campuran (Delicta

commisionis per ommissionem commisceo) adalah delik yang

berupa pelanggaran suatu perbuatan yang dilarang. Akan tetapi

dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat. Contohnya Pasal 306

36
Teguh Prasetyo, Op.cit.hlm.58
39

KUHP (membiarkan seseorang yang wajib dipeliharanya, yang

mengakibatkan matinya orang itu)37

5) Tindak Pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam

waktu lama/berlangsung terus (Berdasarkan saat dan jangka

waktu terjadinya).

Tindak Pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga

untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau

waktu singkat saja. Disebut juga Aflopende Delicten. Contohnya

Pasal 362 KUHP (Pencurian)

Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan

sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu

berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak

pidana itu masih berlangsung terus, disebut dengan

Voortdurende delicten. Contohnya Pasal 333 (Perampasan

Kemerdekaan)38

6) Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus (Berdasarkan

Sumbernya).

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang

dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materill

(Buku II dan III).

37
Mohammad Ekaputra, 2015. Dasa-dasar hukum Pidana edisi 2,Usu Press,medan, hal.102
38
Adam Chazawi,Op.Cit.hlm.130
40

Sementara itu, tindak pidana khusu adalah semua tindak

pidana yang terdapat diluar kodifikasi tersebut. Misalnya UU

No. 31 tahun 1999 (Tindak Pidana Korupsi)39

7) Tindak Pidana communia dan Tindak Pidana Propria

(Berdasarkan Sudut Subjek hukumnya)

Tindak Pidana communia (delicta communia) adalah

tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang.

Tindak Pidana Propria (delicta propria) adalah tindak

pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas

tertentu. Misalnya Nakhoda pada kejahatan pelayaran40.

8) Tindak Pidana Biasa dan Tindak Pidana aduan (Berdasarkan

perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan)

Tindak Pidana biasa (Gewone Delicten) adalah tindak

pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap

perbuatannya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang

berhak.

Tindak Pidana aduan (Klacht Delicten) adalah tindak

pidana yang untuk dapat dilakukannya penuntutan pidana

disyaratkan terlebih dahulu adanya pengaduan dari orang yang

berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya atau

39
Adam Chazawi,Ibid.hlm.131
40
Adam Chazawi, Ibid.hlm.131-132
41

orang yang diberi surat kuasa khusus. Tindak pidana aduan

dibagi menjadi 2, yaitu Tindak Pidana aduan absolut/mutlak

contohnya Pasal 310 KUHP (pencemaran). Dan Tindak Pidana

aduan relatif, contohnya pasal 376 jo 367 (Penggelapan dalam

kalangan keluarga)41

9) Tindak Pidana dalam bentuk Pokok, yang diperberat dan yang

diperingan (Berdasarkan berat atau ringannya pidana yang

diancamkan)

Tindak pidana pokok/bentuk sederhana (eenvoudige

delicten) contoh tindak pidana pada pasal 362 (Pencurian)

Tindak Pidana dikualifisir/diperberat adalah tindak pidana

yang karena situasi dan kondisi khusus, yang berkaitan dengan

pelaksanaan tindakan yang bersangkutan, diancam dengan

sanksi pidana yang lebih berat jika dibandingkan dengan sanksi

yang diancamkan pada delik pokoknya. Contoh Pasal 363

terhadap pasal 362 KUHP (Pencurian)

Tindak pidana diprivilisir/diperingan yaitu tindak pidana

yang dikhusukan, yaitu bentuk tindak pidana yang menyimpang

dari bentuk dasar, sehingga sanksi yang lebih ringan dianggap

41
Adam Chazawi,loc.cit.
42

pantas dijatuhkan. Contoh pasal 341 terhadap 338 (seorang ibu

yang meninggalkan anaknya)42

10) Delik berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi

Misalnya dalam buku II, untuk melindungi kepentingan

hukum terhadap keamanan negara, dibentuk rumusan kejahatan

terhadap keamanan negara (Bab I), untuk melindungi

kepentingan hukum terhadap hak kebendaan pribadi, dibentuk

tindak pidana seperti Pencurian (Bab XXII).43

11) Tindak pidana tunggal dan tindak pidana berangkai (berdasarkan

sudut berapakai perbuatan menjadi suatu larangan).

Tindak Pidana Tunggal (enkelvoudige delicten) adalah

tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk

dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya

pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja.

Tindak Pidana berangkai adalah tindak pidana yang

dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai

selesai dan dapat dipidanya pelaku, disyaratkan dilakukan

secara berulang. Contoh Pasal 296 KUHP44.

42
Mohammad Ekaputra,Op.cit,hal.105
43
Adam Chazawi,Op.cit.hal.135-136
44
Adam Chazawi,ibid.hlm.136
43

12) Without victim and with victim.

Without victim adalah delik yang dilakukan dengan tidak

ada korban.With victim adalah delik yang dilakukan dengan ada

korbannya beberapa atau seseorang tertentu45.

13) Delik berdiri sendiri dan delik berlanjut (Berdasarkan ada atau

tidaknya kelanjutannya)

Delik berdiri sendiri (zelfstandige delicten) adalah delik

yang berdiri sendiri atas suatu perbuatan tertentu. Delik

Berlanjut (Voortgezettedelicten) adalah delik yang terdiri atas

beberapa perbuatan berlanjut. Pengertian delik ini erat

hubungannya dengan perumusan pasal 64 KUHP (tentang

Perbuatan berlanjut).46

14) Delik Politik


Merupakan tindak pidana yang berkaitan dengan negara

sevagai keseluruhan, seperti terhadap keselamatan kepala negara

dan sebagainya47

4. Pungutan Liar

a. Definisi Pungutan Liar

Pungutan liar (Pungli) yaitu tindakan yang dilakukan oleh

seseorang atau pegawai negeri atau pejabat Negara dengan cara

meminta pembayaran uang yang tidak sesuai atau tidak ada aturan

yang berhubungan dengan pembayaran tersebut. Hal ini biasanya

45
C.S.T.Kansil, Engelin R Palandang, Altje agustin musa,Loc.cit.
46
Mohammad Ekaputra,,Loc.cit.
47
Teguh Prasetyo, Op.cit.hlm.60
44

disamakan dengan perbuatan pemerasan, penipuan atau korupsi.

Menurut Wikipedia pungutan liar adalah pengenaa biaya di tempat

yang tidak seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Seringkali

pungli dilakukan oleh pejabat atau aparat pemerintahan. Pungutan liar

termasuk dalam kategori kejahatan jabatan, di mana dalam konsep

kejahatan jabatan dijabarkan bahwa pejabat demi menguntungkan diri

sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kekuasaannya untuk

memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau

menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan

sesuatu bagi dirinya sendiri.

Secara umum terjadinya pungli disebabkan: Adanya

ketidakpastian pelayanan sebagai akibat adanya prosedur pelayanan

yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah ketika

berhadapan dengan pelayanan publik yang korup. Pasal-pasal yang

terkait dengan pungutan liar yang telah disebutkan di atas kemudian

diakomodir dalam menyusun Undang-Undang No.31 Tahun 1999

tentang Tindak pidana Korupsi yang diperbaharui dengan Undang -

Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, dalam pasal penerimaan hadiah (gratifikasi), sebagai

berikut: Pasal 12 huruf e, Pegawai negeri atau penyelenggara negara

yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya

memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima


45

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi

dirinya sendiri; Pasal 12 huruf f, Pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau

memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri

atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut

mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang; Pasal 12 huruf g, pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta

atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolaholah

merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut

bukan merupakan utang.

b. Faktor Penyebab Pungutan Liar

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang melakukan

tindakan pungli, antara lain:

1) Menyalahgunakan wewenang. Jabatan atau kewenangan seseorang

bisa melakukan pelanggaran disiplin oleh pelaku yang melakukan

pungutan liar.

2) Faktor Mental. Karakter atau perilaku seseorang dalam bertindak

dan melakukan kontrol terhadap dirinya sendiri.

3) Faktor Ekonomi. Penghasilna yang dapat dikatakan tidak bisa

untuk mencukupi keperluan hidup yang tidak berbanding dengan


46

tugas/jabatan yang dijalankan seseorang tersebut menjadikan

terdorong untuk melakukan pungli.

4) Faktor Kultural dan Budaya Organisasi. Budaya yang ada di

sebuah lembaga yang berjalan secara terus menerus pada

pungutan liar dan penyuapan bisa menjadi sebab terjadinya

pungutan liar menjadi hal yang biasa.

5) Terbatasnya sumber daya manusia

6) Lemahnya sistem yang mengotrol dan mengawasi dari atasan.

c. Tindak Pidana Pungli

Dalam perkara tindak pidana pungutan liar tidak terdapat secara pasti

dalam KUHP, namun demikian pengutan liar bisa disamakan dengan

perbuatan pidana penipuan, pemerasan dan korupsi yang telah diatur

dalam KUHP antara lain:

Pasal 368 KUHP

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum, dengan memaksa orang lain

dengan kekerasan atau mengancam kekerasan untuk memberikan

sesuatu barang, yang semuanya atau sebagian adalah kepunyaan

orang lain atau usaha untuk memberikan hutang ataupun menghapus

piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun


47

Pasal 415 KUHP

Seorang pegawai negeri atau orang lain yang diberi tugas

melaksankana suatu jabatan umum secara terus menerus atua

sementara waktu yang dengan sengaja menggelapkan udang atau

surat-surat berharga yang disimpan karena jabatannya atau

melakukan pembiaraan uang atau surat berharga itu diambil atau

menggelapkan yang dilakukan orang lain atau menolong sebagai

pembantu dalam melakukan perbuatan tersebut, diancam dengan

pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 418 KUHP

Seorang pegawai negeri yang memperoleh hadian atau janji

walaupun diketahui atau sepatutnya harus diduganya, bahwa hadiat

atau janji itu diberikan karena kekuasan atau wewenang yang

berkaitan dengan jabatannya diancam dengan pidana penjara paling

lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima

ratus rupiah.

Pasal 423 KUHP

Pegawai negeri yang dimaksud menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum dengan menyalahgunakan

kekuasaannya memaksa orang lain untuk menyerahkan sesuatu

melakukan suatu pembayaran, melakukan pemotongan terhadap

suatu pembayaran atau melakukan suatu pekerjaan untuk pribadi

sendiri, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya enam tahun.


48

Perparkiran merupakan fenomena yang mempengaruhi

pergerakan kendaraan kendaraan yang mempunyai intensitas

pergerakan yang begitu tinggi, akan terhambat oleh kendaraan

kendaraan yang parkir di bahu jalan sehingga menyebabkan

kemacetan.pada umumnya kendaraan yang parker di pinggir jalan

berada di sekitar tempat atau pusat kegiatan seperti sekolah, kantor,

pasar swalayan, pasar tradisonal, rumah makan, dan lain lain. Usaha

yang perlu di lakukan untuk menangani masalah perparkiran tersebut

diperlukan pengadaan lahan parkir yang cukup memadai dan

pembentukan model lahan parkir yang tepat pada lahan parkir yang

tersedia, menggingat kebutuhan akan lahan parker dan prasarana

yang dibutuhkan harus sesuai dengan karakteristik perparkiran.

Parkir semestinya hanya diggunakan untuk memberhentikan

kendaraan untuk sementara, tidak dalam waktu lama atau berhari-

hari.pengguna parker yang sesuai dan rapi akan memudahkan

petugas parkir dalam memarkirkan kendaraan. Dapat di garis bawahi

bahwa kegiatan parkir tersebut seharusnya tidak mengganggu

pergerakan lalu lintas dan pejalan kaki, Tapi pada kenyataanya

perparkiran yang selama ini berlangsung sering menghambat

lalulintas, sehingga terjadi kemacetan. Hal ini dikarenakan

pemakaian lahan parker yang tidak seharusnya.48 Contohnya

48
Rahardjo, Satjipto, 2008, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis), Genta
Publishing, Semarang
49

kendaraan yang tidak diparkirkan dengan benar , kendaraan yang

tidak diparkirkan sesuai dengan posisi parker yang telah di tetapkan ,

lalu banyak pedagang yang ikut memarkirkan dagangan mereka di

lahan parker tersebut, hal ini mengakibatkan lalulintas tidak berjalan

dengan lancar.

Pemerintah Semarang telah mengatur fasilitas parkir

sedemikian rupa agar parkir yang ada tertata dengan rapi dan tidak

mengganggu lalu lintas.dimana hal tersebut telah ditetapkan di dalam

peraturan daerah. namun pada kenyataanya pelaksanaannya masih

belum efektif banyak terjadi ketidaksesuaian penggunaan lahan

parkir. Banyaknya penggunaan lahan parkir yang tidak sesusai

menyebabkan kemacetan.

5. Hak Asasi Manusia

Pada akhir abad XIV hingga awal abad XIIV John Locke mencetus

kan ide tentang Hak asasi manusia yang mana hak asasi manusia ini

adalah hak yang di bawa semenjak lahir yang melekat pada setiap

manusia dan tidak dapat diganggu gugat ataupun dihilangkan. Hal ini

yang menjadi ide dasar munculnya gerakan pembelaan hak asasi

manusia di dunia barat. Dan muncul juga ide dari J.J Rousseau yang

menyatakan bahwa Negara tidak bisa mencabut hak-hak dasar yang

dimiliki individu dan masyarakat, melainkan Negara harus melindungi


50

hak-hak tersebut.49 Secara etimologis hak asasi manusia terdiri dari tiga

kata yakni: hak, asasi, dan manusia. Hak dan asasi berasal dari bahasa

Arab, yaitu haqq yang di ambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqaan yang

artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Makaa haqq adalah

kewenangan atau kewajiban untuk melakukan sesuatu atau tidak

melakukan sesuatu. Kata asasiy yang di ambil dari kata assa, yaussu,

asasaanyang artinya membangun, mendirikan, meletekan. Maka asasi

adalah segala sesuatu yang bersifat mendasar dan fundamental yang

selalu melekat pada objeknya. sedangkan kata manusa berasal dari

Bahasa Indonesia. Jadi di Indonesia HAM diartikan sebagai hak-hak

mendasar pada Manusia.50 Pengertian HAM di atas di Indonesia masih

sangat umum dan universal, tetapi Indonesia juga memiliki konsep

tentang HAM yang di atur secara jelas dalamundang-undang Nomor 39

Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1) yang menyebutkan tentang pengertian hak

asasi manusia, yaitu “Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang

melekat padahakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan

Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum dan pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia”. Berdasar kan pengertian HAM dari undang-undang

tersebut dapat dikatakan bahwa penting dan adanya suatu kewajiban

setiap orang untuk menghormati hak-hak individu yang dimiliki setiap


49
Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Jakarta, Gramata
Publishing, hlm. 3
50
Ibid 5
51

orang. Kewajiban tersebut telah dituangkan dalam undang-undang

sebagai seperangkat kewajiban sehingga apabila tidak dilaksanakan

maka tidak akan terlaksana dan tegaknya perlindungan terhadap hak

asasi manusia.

C. Orisinalitas Penelitian

1. Zipora. 2017. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pungutan Liar Juru

Parkir di Kota Yogyakarta. Universitas Atma Jaya Yogjakarta.

Penegakan hukum pidana terhadap pungutan liar juru parkir belum sesuai

dengan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Perparkiran, hal ini dikarenakan belum harmonisnya

penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Kota

Yogyakarta dengan Polresta Kota Yogyakarta. 2. Berkaitan dengan

kendala, hanya Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta yang menemukan

adanya kendala dalam melakukan penegakan hukum pidana terhadap

pungutan liar juru parkir di Kota Yogyakarta, yaitu: a. Kendala Internal

Kurangnya personil dari Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, sehingga

tidak dapat mengoptimalkan pengawasan terhadap penyelenggaraan

perparkiran di Kota Yogyakarta. Selain itu dalam melakukan penegakan

hukum pidana terhadap pungutan liar juru parkir, Dinas Perhubungan

Kota Yogyakarta menemukan ada beberapa aparat penegak hukum yang

ternyata turut serta dalam terjadinya pungutan liar juru parkir, sehingga

mempersulit Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta dalam melakukan

penegakan hukum pidana. b. Kendala Eksternal Oknum juru parkir tidak


52

dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan melarikan diri

ketika Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta hendak melakukan

penegakan hukum pidana. Hal ini justru mempersulit Dinas Perhubungan

Kota Yogyakarta untuk menertibkan para oknum juru parkir. Selain itu

juga kurangnya partisipasi dari masyarakat untuk memberantas pungutan

liar di Kota Yogyakarta.

2. Isnai Dyah Hardiyani. 2018. Tinjauan Yuridis Terhadap Praktek

Pungutan Liar Tarif Parkir Kendaraan Berdasarkan Perda DIY nomor 20

Tahun 2009 Tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Studi Kasus di

Stasiun Lempuyangan Yogyakarta). Universitas PGRI Yogyakarta. Teori

penegakan hukum dikaitkan dengan permasalahan parkir dikota

Yogyakarta khususnya didaerah Lempuyangan, terdapat beberapa aspek

yang dapat mempengaruhi penegakan hukumnya. Salah satunya adalah

penegak hukum itu sendiri. Berdasarkan keterangan pengguna kendaraan

dan tukang parkir di stasiun Lempuyangan selama ini tidak ada tinjauan

atau kunjungan dari Dinas Perhubungan atau polisi untuk tindakan

mereka, hal ini yang membuat menurut tukang parkir bahwa tindakan

mereka itu aman. Tukang parkir berpendapat bahwa tindakan mereka itu

wajar karena meskipunmereka melakukan pungutan liar tetapi

nominalnya sedikit dibandingkan para pejabat yang korupsi uang rakyat

hingga triliunan rupiah. Dinas perhubungan seharusnya mengawasi

tindakan para tukang parkir di daerah Yogyakarta. Hubungan kerja yang

sinkron demimewujudkan kondisi masyarakat yang aman, khsususnya


53

dalam hal perparkiran. Pihak dinas perhubungan Yogyakarta berkordinasi

dengan pihak kepolisian agar jika ada pelanggaran hukum yang terjadi

dapat di proses secara hukum pidana, jika perlu pemidanaan kepada

pelaku yang melakukan pungutan liartersebut perlu untuk diterapkan.


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

diamati dari fenomena yang terjadi.51

B. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian menggunakan hukum normatif. Penelitian hukum

normatif adalah penelitian yang berfokus pada norma hukum positif yang

menggunakan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer berupa

peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa pendapat-

pendapat hukum yang diperoleh dari buku, informasi dari internet, asas

hukum, doktrin, surat kabar, jurnal, dll.

C. Sumber Data52

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang

sudah ada. Keterangan-keterangan yang diperoleh dari bahan-bahan

51
Moleong, Lexy J. (2007) Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosdakarya
52
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta,1996
Hal 42

54
55

kepustakaan, dalam hal ini mengacu pada literatur, perundang-undangan,

kasus-kasus yang kemudian dibedakan menjadi:

1) Bahan hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang diperoleh

dari perundang-undangan.

a) Undang – Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun

1999

b) Perda Kota Semarang tentang pungutan liar

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer. Berupa buku, jurnal

penelitian

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan bahan hukum primer dan sekunder. Seperti,

kamus hukum dan ensikopledia.

D. Teknik Pengumpulan Data


53
a. Wawancara yaitu suatu acara memperoleh informasi langsung.

Adapun wawancara dilakukan kepada :

1) Drs. Endro Pudyo Martono, M.Si selaku Kepala Dinas Perhubungan

Kota Semarang

53
Sugiyono (2017). Metode Penelitian Kualitatif: Untuk penelitian yang bersifat: eksploratif,
enterpretif, interaktif, dan konstruktif. Bandung: Alfabeta
56

2) Drs. Joko Santosa, M.Si selaku Kabid Perparkiran Dinas

Perhubungan Kota Semarang

3) Gama Ekawira AN, S.Kom selaku Kasi Penataan dan Perijinan

Dinas Perhubungan Kota Semarang

b. Studi pustaka, yaitu dengan mempelajari buku-buku, peraturan

perundang-undangan yang berlaku dan arsip-arsip yang ada yang sesuai

dengan materi yang peneliti bahas.

E. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian akan dianalisa dengan

menggunakan metode analisis kualitatif deskriptif yang memaparkan secara

jelas dengan kalimat-kalimat untuk menjawab perihal Dengan kata lain

penelitian deskriptif analitis mengambil masalah atau memusatkan perhatian

kepada masalah - masalah sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan,

hasil penelitian yang kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil

kesimpulannya.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis deskriptif dengan

menerangkan proses berfikir induktif yaitu berangkat dari faktor- faktor

khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit kemudian dari faktor-faktor atau

peristiwa yang khusus dan konkrit kemudian itu ditarik generalisasi yang

bersifat umum.
57

Adapun teknik analisis data yang akan dilakukan peneliti yaitu :

1. Reduksi data

Data yang diperoleh di lapangan sebelum dilakukan laporan lengkap

dan terperinci disortir dulu, yaitu yang memenuhi fokus penelitian. Dalam

mereduksi data, semua data lapangan ditulis sekaligus dianalisis,

direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal

yang penting, dicari tema dan polanya, sehingga disusun secara sistematis

dan lebih mudah dikendalikan.

2. Penyajian data

Dalam penelitian ini peneliti akan menyajikan data dalam bentuk

laporan berupa uraian yang lengkap dan terperinci. Ini dilakukan peneliti

agar data yang diperoleh dapat dikuasai dengan dipilah secara fisik dan

dipilah kemudian dibuat dalam kertas dan bagan.

3. Menarik kesimpulan

Dalam penelitian ini, setelah dilakukan verifikasi maka akan

ditarik kesimpulan yang merupakan hasil dari penelitian ini. Yaitu dengan

cara mencari makna fokus penelitian. Peneliti melakukan verifikasi dan

menarik kesimpulan guna mencari makna yang terkandung di dalamnya.

Pada awalnya kesimpulan yang dibuat bersifat tentatif, kabur, dan penuh

keraguan, tetapi dengan bertambahnya data dan pembuatan kesimpulan

demi kesimpulan akan ditemukan data yang dibutuhkan.


58

Berikut adalah “model interaktif” dalam penelitian kualitatif :54

Penyajian data
Pengumpulan data

Reduksi data Kesimpulan-kesimpulan


Penarikan / verifikasi

Gambar: 3.1
Teknik Analisis Data

54
Miles, M.B & Huberman A.M. 1984, Analisis Data Kualitatif. Terjemahan oleh. Tjetjep
Rohendi Rohidi. 1992. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Pungutan Liar Juru Parkir di

Kota Semarang Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia

Masalah yang timbul adalah seringnya tukang parkir yang menarik

imbalan jasa mereka kepada pengendara kendaraan yang sesuka hati mereka.

Retribusi parkir merupakan pendapatan daerah di masing-masing daerah.

Untuk itu setiap penarikan uang parkir dengan diberikan karcis, tetapi yang

terjadi seringnya tukang parkir menarik uang parkir melebihi yang ditentukan

di karcis. Mereka tukang parkir tetap menyetorkan hasil parkir mereka ke

pemerintah daerah tetapi hanya yang tertera dalam karcis saja, lainnya masuk

kantong pribadi.

Kasus lain yang terjadi mengenai jasa parkir adalah sering pengendara

atau pengguna kendaraan tidak memberikan karcis kepada mereka dan

menarik sesuka hati jasa parkir. Tanggungjawab pengelola parkir, terhadap

konsumen parkir adalah untuk mengembalikan kendaraan konsumen seperti

keadaan semula, atau dengan kata lain apabila terjadi kerusakan dan bahkan

kehilangan kendaraan di areal parkir merupakan tanggung jawab pengelola

parkir. Pengguna kendaraan mengungkapkan bahwa seringkali kehilangan

barang atau sesuatu tukang parkir tidak mau bertanggung jawab. Tukang

parkir hanya menjaga kendaraan tetapi jika sampai terjadi hal-hal yang tidak

59
60

diinginkan seperti kehilangan helm, jaket atau lainnya tukang parkir tidak mau

bertanggung jawab. Beberapa tukang parkir di Semarang menyadari bahwa

mereka sering melakukan pungli. Beberapa tukang parkir mengaku jika

mereka menarik uang jasa parkir melebihi yang ditetapkan.

Teori penegakan hukum dikaitkan dengan permasalahan parkir dikota

Semarang, terdapat beberapa aspek yang dapat mempengaruhi penegakan

hukumnya. Salah satunya adalah penegak hukum itu sendiri. Berdasarkan

keterangan pengguna kendaraan dan tukang parkir di stasiun selama ini tidak

ada tinjauan atau kunjungan dari Dinas Perhubungan atau polisi untuk

tindakan mereka, hal ini yang membuat menurut tukang parkir bahwa

tindakan mereka itu aman. Tukang parkir berpendapat bahwa tindakan mereka

itu wajar karena meskipun mereka melakukan pungutan liar tetapi nominalnya

sedikit dibandingkan para pejabat yang korupsi uang rakyat hingga triliunan

rupiah.

Dinas perhubungan seharusnya mengawasi tindakan para tukang parkir di

daerah Semarang. Hubungan kerja yang sinkron demi mewujudkan kondisi

masyarakat yang aman, khsususnya dalam hal perparkiran. Pihak dinas

perhubungan Semarang berkordinasi dengan pihak kepolisian agar jika ada

pelanggaran hukum yang terjadi dapat di proses secara hukum pidana, jika

perlu pemidanaan kepada pelaku yang melakukan pungutan liar tersebut perlu

untuk diterapkan. Pungutan liar biaya parkir lebih dari peraturan daerah telah

memenuhi rumusan unsur pasal 368 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana sehingga dapat dilakukan proses sistem peradilanpidana dan dapat


61

dijatuhi atau dikenakan pidana penjara paling lama 9 (Sembilan) bulan

sebagaimana yang diatur dalam pasal tersebut rumusan korupsi pada pasal 12

huruf e Undang-Undang No.20 Tahun 2001 berasal dari pasal 12 Undang-

Undang No.31 Tahun 1999 sebagai tindak pidana korupsi, yang kemudian

dirumuskan ulang pada Undang-Undang No.20 Tahun 2001 (Tindak Pidana

Korupsi), menjelaskan definisi pungutan liar adalah suatu perbuatan yang

dilakukan pegawai negeri atau penyelenggara yang dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau

dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan

sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk

mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri.

Sesuai Undang-Undang tersebut, pidana bagi pegawai negeri atau

penyelenggara negara yang melakukan gratifikasi adalah pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling

lama 20 (dua puluh) tahun, danpidana denda paling sedikit Rp.200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar

rupiah).

Kota Semarang dalam mengatur masalah penyelenggaraan perparkiran

berpedoman pada Peraturan Daerah Semarang Nomor 2 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2012

Tentang Retribusi Jasa Umum di Kota Semarang. Aturan ini kemudian

diterapkan dalam proses penyelenggaraan perparkiran di Kota Semarang

tersebut, dalam penerapannya ini merupakan tugas dari Dinas Perhubungan


62

Kota Semarang. Terdapat tiga pelanggaran umum yang sering terjadi di

lapangan seperti pencurian, tarif parkir yang tidak sesuai dengan yang tertera

di karcis, dan parkir liar maupun izin parkir yang sudah habis masa

berlakunya namun tetap digunakan. Kemudian permasalahan ini yang pada

akhirnya berusaha diselesaikan oleh Dinas Perhubungan Bidang Perparkiran.

Wawancara yang peneliti lakukan dengan pihak Dinas Perhubungan Kota

Semarang, menjelaskan bahwa pungutan liar ditemukan tidak hanya dilakukan

oleh juru parkir resmi, namun dapat dilakukan juga oleh juru parkir yang tidak

resmi. Terdapat beberapa faktor terjadinya pungutan liar, yaitu:55

1) Faktor Ekonomi

Jumlah nominal yang didapat sebagai juru parkir tidak seberapa, tetapi

masih harus disetorkan kepada Dinas Perhubungan Kota Semarang.

Sementara itu, masih ada kebutuhankebutuhan lainnya yang harus

dipenuhi. Hal ini menyebabkan ada beberapa juru parkir yang enggan

melakukan pendaftaran sebagai juru parkir resmi, agar jumlah uang yang

didapat tidak perlu disetorkan kepada Dinas Perhubungan Kota Semarang,

namun malah menjadi juru parkir ilegal. Menurut wawancara yang

dilakukan, juru parkir resmi juga merasakan hal yang sama yaitu hasil

pendapatannya akan berkurang setelah disetorkan kepada Dinas

Perhubungan Kota Semarang, sehingga munculah pungutan liar.

55
Wawancara dengan Drs. Endro Pudyo Martono, M.Si selaku Kepala Dinas Perhubungan Kota
Semarang pada 23 Juli 2020
63

2) Faktor Kesempatan

Kesempatan tidak semata-mata berasal dari juru parkir yang melakukan

pungutan liar, namun juga dari pengguna jasa parkir. Ketika oknum juru

parkir meminta tarif parkir, pengguna jasa parkir juga kurang mengkritisi

terlebih dahulu jumlah tarif yang diminta.

3) Faktor Individu

Pelaku Kurang atau bahkan tidak adanya integritas serta tanggung jawab

dari para oknum juru parkir. Hal ini dikarenakan pada kenyataannya, tidak

semua juru parkir di Kota Semarang menjadi oknum dalam melakukan

pungutan liar.

Penegakan hukum terhadap pungutan liar yang dilakukan oleh juru parkir

melalui beberapa pendekatan. Pendekatan yang dilakukan oleh Dinas

Perhubungan Kota Semarang ketika mengetahui adanya pungutan liar yang

dilakukan oleh juru parkir adalah: 56

1) Teguran secara langsung;

Pendekatan ini dilakukan apabila terdapat oknum juru parkir yang

tertangkap tangan sedang melakukan pungutan liar. Setelah diberi

teguran secara langsung, pihak Dinas Perhubungan akan melakukan

pemantauan lebih lanjut terhadap oknum tersebut.

2) Pemberian surat panggilan kepada juru parkir;

Pendekatan ini dilakukan ketika oknum juru parkir yang sudah diberi

teguran secara langsung namun masih kedapatan melakukan pungutan

56
Wawancara yang dilakukan dengan Gama Ekawira AN, S.Kom selaku Kasi Penataan dan
Perijinan Dinas Perhubungan Kota Semarang pada 23 Juli 2020
64

liar, akan dipanggil oleh Dinas Perhubungan Kota Semarang. Dalam

pendekatan ini, oknum juru parkir akan dibina ulang mengenai

peraturan - peraturan yang sudah dijelaskan ketika ia mendaftar

sebagai juru parkir di Kota Semarang. Setelah dibina ulang, oknum

tersebut akan dilepas untuk dipantau kembali. Pendekatan kedua ini

dapat dilakukan maksimal sampai 3 (tiga) kali.

3) Penertiban Juru Parkir secara langsung oleh Dinas Perhubungan.

Pendekatan ini dilakukan sebagai pendekatan terakhir dari Dinas

Perhubungan Kota Semarang, apabila oknum juru parkir masih

melakukan pungutan liar setelah dilakukan kedua pendekatan di atas.

Pendekatan ini sekaligus akan mencabut surat ijin juru parkir yang

ketahuan melakukan pungutan liar di Kota Semarang. Penertiban ini

selanjutnya akan diproses oleh Kepolisian Kota Semarang, untuk

dinaikkan menjadi Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Dalam

melakukan pemantauan, Pihak Dinas Perhubungan Kota Semarang

menjelaskan bahwa ada 2 (dua) jenis pemantauan, yaitu operasi

gabungan dan operasi rutin. Dalam operasi gabungan, Dinas

Perhubungan Kota Semarang melakukannya bersama-sama dengan

Kepolisian Kota Semarang setiap 3 (tiga) bulan sekali. Operasi

gabungan akan dilakukan kurang dari 3 bulan sekali jika ada kejadian

insidentil di lapangan. Kejadian insidentil ini maksudnya seperti jika

sedang melakukan pemantauan terhadap oknum juru parkir yang


65

melakukan pungutan liar. Operasi rutin hanya dilakukan oleh Dinas

Perhubungan Kota Semarang, dan dilakukan hampir setiap minggu.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan Pungutan

liar adalah penyalahgunaan wewenang, tujuannya untuk memudahkan

urusan atau memenuhi kepentingan dari si pembayar pungutan. Pungli

melibatkan dua pihak (pengguna jasa dan oknum petugas), melakukan

kontak langsung untuk melakukan transaksi rahasia maupun terang-

terangan.Menurut KPK, pungli termasuk gratifikasi yang merupakan

kegiatan melanggar hukum, dalam hal ini diatur dalam Undang-

Undang No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Proses penegakan hukum khususnya pada tindak pidana

perparkiran ini dilakukan oleh dua lembaga hukum yaitu Pengadilan

dan Dinas Perhubungan Bidang Parkir Kota Semarang adalah

a. Pengadilan Negeri Semarang Bersifat pasif dan menunggu laporan

yang masuk untuk dapat mengadili suatu perkaranya, karena

pengadilan tidak dapat mencari perkara sendiri lalu

menyidangkannya.

b. Dinas Perhubungan Bidang Parkir Semarang Lebih bersifat aktif

dengan cara melakukan operasi gabungan yang bekerja sama oleh

beberapa instansi terkait yaitu Kepolisian, Satuan Polisi

Pamongpraja, dan Detasemen Polisi Militer dalam melakukan

pengawasan serta penegakan hukumnya dengan cara melakukan

patroli keliling dan menindak para pelanggar secara langsung


66

ditempat dengan memberikan tilang dan pencabutanh surat izin.

Tidak hanya itu mereka juga dapat melakukan atau mengajukan

berkas penuntutan yang nantinya akan diselesaikan di pengadilan

untuk dilakukan sidang Tipiring. Namun ada tantangan atau

hambatan yaitu dimana sanksi dinilai terlalu ringan dan masih

banyak masyarakat yang tidak mengetahui prosedur pelaporan atau

pengaduan sehingga memperlama proses penyelesaiannya.

c. Penegakan Hukum diluar Lembaga Penegak Hukum Selain

penegakan hukum dialam ruang lingkup lembaga yang bersifat

resmi dalam bidang perparkiran lebih sering dilakukan

penyelesaian masalah yang bersifat musyawarah, dalam

prakteknya secara langsung sering kali masalah diselesaikan

melalui jalur kekeluargaan berupa ganti rugi ataupun bentuk

pertanggujawaban lain secara langsung oleh pelaku kejahatan

kepada korban.

2. Kendala yang Dihadapi Dalam Penegakan Hukum Pidana Terhadap

Pungutan Liar Juru Parkir di Semarang

Penegakan hukum pidana yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan

Semarang terhadap pungutan liar juru parkir seringkali terhalang oleh

beberapa kendala, yaitu:57

a. Kurangnya pegawai dari Dinas Perhubungan Semarang dalam

melakukan pemantauan terhadap juru parkir baik resmi ataupun tidak

57
Wawancara yang dilakukan dengan Drs. Joko Santosa, M.Si selaku Kabid Perparkiran Dinas
Perhubungan Kota Semarang pada 23 Juli 2020
67

resmi. Pungutan liar yang dilakukan oleh juru parkir resmi maupun

tidak resmi merupakan reaksi dari kurangnya personil dari Dinas

Perhubungan Kota Semarang, sehingga tidak optimalnya pemantauan

yang dilakukan di lapangan dan menjadi kesempatan bagi oknum

untuk melakukan pungutan liar, Oknum yang lari ketika hendak

dilakukan penindakan atas pungutan liar yang dilakukan. Hal ini tentu

menyulitkan Dinas Perhubungan Semarang untuk melakukan teguran

maupun memberikan pembinaan ulang, karena oknum yang

bersangkutan malah melarikan diri

b. Adanya oknum juru parkir yang mendapat bantuan dari salah satu

aparat penegak hukum sendiri. Cukup mengejutkan bahwa penegakan

hukum pidana terhadap pungutan liar juru parkir justru terhambat

karena salah satu aparat penegak hukum kita sendiri.

c. Masyarakat sebagai pengguna jasa parkir yang malah kurang aktif

dalam membantu Dinas Perhubungan Semarang memberantas

pungutan liar. Misalnya dengan lebih kritis ketika ada oknum juru

parkir yang meminta retribusi parkir yang melebihi standar, atau ketika

menjadi korban pungutan liar langsung melapor kepada Dinas

Perhubungan Semarang.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa adanya

kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan Semarang terhadap

pungutan liar juru parkir adalah kurangnya jumlah pegawai dari Dinas

Perhubungan Kota Semarang, adanya oknum juru parkir yang mendapat


68

bantuan dari penegak hukum sendiri serta dari faktor masyarakat itu

sendiri yang justru kurang aktif dalam memberantas pungutan liar.

3. Upaya Penegakan Hukum Pidana Terhadap Pungutan Liar Juru Parkir

di Semarang

Pungli adalah salah satu bentuk penyakit kronis dan endemis yang

disebut korupsi di masyarakat kita. Disebut kronis karena sudah menjadi

„penyakit menahun‟, sehingga seolah menjadi suatu kewajaran. Disebut

endemis karena dilakukan bukan oleh pejabat politik maupun pemerintahan

dalam skala milyaran (atau bahkan trilyunan), tapi juga oleh „rakyat kecil‟ ,

termasuk tukang parkir, di mana-mana. Korupsi melalui pungli di tempat

parkir tak kalah dengan pungli oleh para pejabat pemerintah maupun pejabat

politik di sarang-sarang korupsi. Meski hanya dengan skala dan nominal

kecil, pungli oleh „rakyat kecil‟ ini sama menyengsarakannya dengan korupsi

oleh koruptor kakap. Uang seribu rupiah yang dikutip oleh tukang parkir jelas

sangat memberatkan „rakyat kecil‟ lain yang menggunakan jasa parkir. Lagi

pula kadang pungli parkir juga tidak rasional. Untuk belanja Rp. 500,- di

sebuah toko kecil, dipungut biaya parkir Rp. 1.000,-. Keluarga yang mencari

„hiburan‟ di ruang publik (karena diyakini gratis), ternyata justru dipungut

pungli parkir.

Ada dualisme pemahaman parkir yang dijadikan legitimasi oleh para

tukang parkir. Di satu sisi sebagai retribusi parkir (yang artinya tukang parkir

sebagai pengumpul „pajak‟ parkir pemerintah). Parkir jenis ini biasanya di

pungut di jalan-jalan besar. Di sisi lain sebagai penjaga keamanan kendaraan.


69

Tetapi, apa pun argumennya, dua hal itu sering menjadi sumber kecurangan.

Kecurangan dalam kategori pertama diantaranya adalah: tukang parkir

mengutip ongkos lebih tinggi, menggunakan karcis bekas, atau bahkan tanpa

karcis sama sekali. Kecurangan dalam kategori kedua adalah „tukang parkir‟

yang hanya mengutip uang parkir, dan tidak menjalankan fungsi

mengamankan.

Pungutan liar dapat terjadi karena berbagai faktor, salah satunya

adalah faktor ekonomi. Maraknya pungutan liar tidak hanya terjadi dalam

ekonomi makro tetapi juga dalam ekonomi mikro. Pungutan liar yang sering

terjadi dan kerap ditemui masyarakat adalah pungutan liar dalam

penyelenggaraan juru parkir. Pungutan liar oleh juru parkir di Kota Semarang

menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Keresahan masyarakat timbul

karena juru parkir tidak melaksanakan kewajiban.

Di sisi lain dalam Fakta Sosial masih sering ditemukan juru parkir

yang melakukan pungutan liar di tempat parkir tepi jalan umum di Kota

Semarang, penegakan hukum pidana yang dilakukan juga tidak bisa dirasakan

secara jelas oleh masyarakat sebagai pengguna jasa parkir. Tentu hal ini

menimbulkan keresahan karena tidak adanya kepastian hukum bagi pengguna

jasa parkir di Kota Semarang. Berdasarkan uraian perihal adanya pungutan liar

yang dilakukan oleh juru parkir di Kota Semarang padahal ketentuan apabila

melakukan pelanggaran pidananya sudah diatur dengan jelas dalam aturan

tentang penyelenggaraan perparkiran.


70

Penegakan hukum terhadap pungutan liar yang dilakukan oleh juru

parkir melalui beberapa pendekatan. Pendekatan yang dilakukan oleh Dinas

Perhubungan Semarang ketika mengetahui adanya pungutan liar yang

dilakukan oleh juru parkir adalah:

1) Teguran secara langsung;

Pendekatan ini dilakukan apabila terdapat oknum juru parkir yang

tertangkap tangan sedang melakukan pungutan liar.

2) Setelah diberi teguran secara langsung, pihak Dinas Perhubungan akan

melakukan pemantauan lebih lanjut terhadap oknum tersebut.Pemberian

surat panggilan kepada juru parkir; Pendekatan ini dilakukan ketika

oknum juru parkir yang sudah diberi teguran secara langsung namun

masih kedapatan melakukan pungutan liar, akan dipanggil oleh Dinas

Perhubungan Semarang. Dalam pendekatan ini, oknum juru parkir akan

dibina ulang mengenai peraturan -peraturan yang sudah dijelaskan ketika

ia mendaftar sebagai juru parkir di Kota Semarang. Setelah dibina ulang,

oknum tersebut akan dilepas untuk dipantau kembali. Pendekatan kedua

ini dapat dilakukan maksimal sampai 3 (tiga) kali. Penertiban Juru Parkir

secara langsung oleh Dinas Perhubungan. Pendekatan ini dilakukan

sebagai pendekatan terakhir dari Dinas Perhubungan Semarang, apabila

oknum juru parkir masih melakukan pungutan liar setelah dilakukan

kedua pendekatan di atas. Pendekatan ini sekaligus akan mencabut surat

ijin juru parkir yang ketahuan melakukan pungutan liar di Kota

Semarang.
71

Pemberantasan korupsi harus komprehensif dan holistik. Pertama,

definisi korupsi harus dipertegas. Mestinya korupsi (secara hakekat)

dimaknai bukan saja sebagai kegiatan yang menimbulkan „kerugian negara‟

sebagaimana definisi formal saat ini. Korupsi harus mencakup segala

tindakan mengambil keuntungan tanpa hak dan kewenangan. Pungli parkir

adalah salah satunya. Yang disoroti bukanlah pada besar-kecilnya tarip

resmi, tapi pada tidak dipatuhinya aturan yang sudah ditetapkan.

Upaya pemberantasan pungutan liar dapat dilakukan melalui beberapa

kegiatan seperti:

a. Meningkatkan pelayanan publik berupa memangkas waktu pelayanan,

memangkas jalur birokrasi, memberlakukan system antri (queueing

system), memasang tarif yang berlaku terkait dengan pembayaran

pelayanan, serta transparan

b. Mengedukasi masyarakat dalam bentuk kampanye publik untuk tidak

memberi tips kepada Petugas Pelayanan, Mau mengantri dengan tertib

untuk mendapatkan pelayanan

c. Kontrol dari atasan langsung yang lebih

d. Adanya inspeksi berkala dari pijhak atasan.

Berdasarkan paparan di atas, penegakan hukum pidana terhadap

pungutan liar dilakukan. Penegakan hukum pidana terhadap pungutan liar

oleh juru parkir dilakukan, jika ada laporan dari masyarakat atau ketika

sedang melakukan operasi rutin. Semestinya pemerintah (pemerintah

daerah) menegakkan peraturan perparkiran yang sudah ditetapkan dan


72

dengan tegas memberlakukan sanksi bagi setiap pelanggaran. Tetap

meraknya pungli perparkiran ini patut ditengarai adanya pembiaran oleh

pemerintah daerah (baik melalui sistematika birokrasi maupun alasan

kekurangan sumberdaya penegak aturan atau karena alasan „membiarkan

orang mencari nafkah.

B. Pembahasan

1. Pelaksanaan Penegakan Hukum Terhadap Pungutan Liar Juru Parkir di

Kota Semarang Ditinjau Dari Aspek Hak Asasi Manusia

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat disimpulkan pungutan liar

adalah penyalahgunaan wewenang, tujuannya untuk memudahkan urusan

atau memenuhi kepentingan dari si pembayar pungutan. Pungli melibatkan

dua pihak (pengguna jasa dan oknum petugas), melakukan kontak

langsung untuk melakukan transaksi rahasia maupun terang-

terangan.Menurut KPK, pungli termasuk gratifikasi yang merupakan

kegiatan melanggar hukum, dalam hal ini diatur dalam Undang-Undang

No.20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi.

Ancaman pidana berlaku bagi Juru Parkir yang melakukan pungutan

liar, dengan menarik retribusi tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Mekanisme dalam pengendalian salah satunya dengan diadakannya

kegiatan patroli. Mengingat SDM diseksi pengawasan dan pengamanan

parkir yang dimiliki masih terbatas, maka disetujui bahwa adanya tim

gabungan dari kepolisian, tim saber pungli yang diharapkan dapat

meningkatkan fungsi pengawasan di lapangan terhadap kegiatan


73

perparkiran yang dilakukan juru parkir. Beberapa kegiatan yang ditetapkan

mekanismenya adalah proses penetapan denda/sanksi, dan pengendalian di

luar mekanisme seperti pembentukan tim penertiban dan pengawasan,

penertiban menggunakan alat.

2. Hambatan yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum

Terhadap Pungutan Liar Juru Parkir di Kota Semarang Ditinjau Dari aspek

Hak Asasi Manusia

Pungutan liar atau pungli adalah pengenaan biaya di tempat yang tidak

seharusnya biaya dikenakan atau dipungut. Kebanyakan pungli dipungut

oleh pejabat atau aparat, walaupun pungli termasuk ilegal dan digolongkan

sebagai KKN, tetapi kenyataannya hal ini jamak terjadi di Indonesia

Adanya hambatan atau kendala yang dihadapi oleh Dinas Perhubungan

Semarang terhadap pungutan liar juru parkir adalah kurangnya personil

dari Dinas Perhubungan Kota Semarang, adanya oknum juru parkir yang

mendapat bantuan dari penegak hukum sendiri serta dari faktor

masyarakat itu sendiri yang justru kurang aktif dalam memberantas

pungutan liar.

3. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam Pelaksanaan Penegakan Hukum

Terhadap Pungutan Liar Juru Parkir di Kota Semarang Ditinjau Dari

Aspek Hak Asasi Manusia

Hakekat permasalahan ini adalah perlunya para pemangku

kepentingan menjunjung tinggi peraturan perparkiran yang sudah

disepakati. Perlu diingat bahwa peraturan daerah adalah suatu


74

„kesepakatan‟ antara para pemangku kepentingan perparkiran. Berapa pun

taripnya (termasuk bila taripnya harus „mahal‟ seperti yang saat ini

dipungut oleh para tukang parkir), bila memang sudah diatur dan

ditetapkan dalam peraturan daerah, semua pemang kepentingan harus

tunduk. Dengan demikian transaksi jasa perparkiran akan menjadi lebih

„fair‟. Tentu saja tidak berarti pemerintah daerah bisa menetapkan tarip

parkir sesukanya. Justru itulah demokrasi harus dijalankan dengan

seutuhnya. Proses pembahasan tarip parkir sebelum ditetapkan harus

melibatkan semua pihak, termasuk pemerintah daerah, tukang parkir, dan

pengguna jasa parkir. Perdebatan bisa saja sangat sengit, tetapi ketika

sudah disepakati aturannya (tempat maupun taripnya), sudah semestinya

semua pihak mematuhinya: pengguna parkir membayar dan tukang parkir

menerima sesuai tarip parkir. Jadi tidak ada alasan lagi tarip parkir tidak

sesuai dengan „kebutuhan hidup layak‟ tukang parkir, atau tidak sesuai

dengan „kemampuan bayar‟ pengguna jasa parkir.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah peneliti paparkan, dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Penegakan hukum terhadap pungutan liar yang dilakukan oleh juru parkir

melalui beberapa pendekatan. Pendekatan yang dilakukan oleh Dinas

Perhubungan Semarang ketika mengetahui adanya pungutan liar yang

dilakukan oleh juru parkir adalah:

a. Teguran secara langsung;

Pendekatan ini dilakukan apabila terdapat oknum juru parkir yang

tertangkap tangan sedang melakukan pungutan liar.

b. Setelah diberi teguran secara langsung, pihak Dinas Perhubungan

akan melakukan pemantauan lebih lanjut terhadap oknum

tersebut.Pemberian surat panggilan kepada juru parkir; Pendekatan

ini dilakukan ketika oknum juru parkir yang sudah diberi teguran

secara langsung namun masih kedapatan melakukan pungutan liar,

akan dipanggil oleh Dinas Perhubungan Semarang. Dalam

pendekatan ini, oknum juru parkir akan dibina ulang mengenai

peraturan -peraturan yang sudah dijelaskan ketika ia mendaftar

sebagai juru parkir di Kota Semarang. Setelah dibina ulang, oknum

tersebut akan dilepas untuk dipantau kembali. Pendekatan kedua ini

75
76

dapat dilakukan maksimal sampai 3 (tiga) kali. Penertiban Juru

Parkir secara langsung oleh Dinas Perhubungan. Pendekatan ini

dilakukan sebagai pendekatan terakhir dari Dinas Perhubungan

Semarang, apabila oknum juru parkir masih melakukan pungutan

liar setelah dilakukan kedua pendekatan di atas. Pendekatan ini

sekaligus akan mencabut surat ijin juru parkir yang ketahuan

melakukan pungutan liar di Kota Semarang.

Penegakan hukum pidana terhadap pungutan liar dilakukan.

Penegakan hukum pidana terhadap pungutan liar oleh juru parkir

dilakukan, jika ada laporan dari masyarakat atau ketika sedang

melakukan operasi rutin. Semestinya pemerintah (pemerintah daerah)

menegakkan peraturan perparkiran yang sudah ditetapkan dan dengan

tegas memberlakukan sanksi bagi setiap pelanggaran. Tetap meraknya

pungli perparkiran ini patut ditengarai adanya pembiaran oleh

pemerintah daerah (baik melalui sistematika birokrasi maupun alasan

kekurangan sumberdaya penegak aturan atau karena alasan

„membiarkan orang mencari nafkah‟).

Pemberantasan korupsi harus komprehensif dan holistik. Pertama,

definisi korupsi harus dipertegas. Mestinya korupsi (secara hakekat)

dimaknai bukan saja sebagai kegiatan yang menimbulkan „kerugian

negara‟ sebagaimana definisi formal saat ini. Korupsi harus mencakup

segala tindakan mengambil keuntungan tanpa hak dan kewenangan.

Pungli parkir adalah salah satunya. Yang disoroti bukanlah pada besar-
77

kecilnya tarip resmi, tapi pada tidak dipatuhinya aturan yang sudah

ditetapkan.

2. Kendala dalam Melakukan Penegakan Hukum Pidana terhadap Pungutan

Liar Juru Parkir di Semarang Penegakan hukum pidana yang dilakukan

oleh Dinas Perhubungan Semarang terhadap pungutan liar juru parkir

seringkali terhalang oleh beberapa kendala, yaitu: Kurangnya personil

dari Dinas Perhubungan Semarang dalam melakukan pemantauan

terhadap juru parkir baik resmi ataupun tidak resmi. Pungutan liar yang

dilakukan oleh juru parkir resmi maupun tidak resmi merupakan reaksi

dari kurangnya personil dari Dinas Perhubungan Kota Semarang,

sehingga tidak optimalnya pemantauan yang dilakukan di lapangan dan

menjadi kesempatan bagi oknum untuk melakukan pungutan liar, (2)

Oknum yang lari ketika hendak dilakukan penindakan atas pungutan liar

yang dilakukan. Hal ini tentu menyulitkan Dinas Perhubungan Semarang

untuk melakukan teguran maupun memberikan pembinaan ulang, karena

oknum yang bersangkutan malah melarikan diri, (3) adanya oknum juru

parkir yang mendapat bantuan dari salah satu aparat penegak hukum

sendiri. Cukup mengejutkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap

pungutan liar juru parkir justru terhambat karena salah satu aparat

penegak hukum kita sendiri.

3. Upaya dalam mengatasi hambatan pungutan parkir liar di Kota Semarang

dapat dilakukan melalui beberapa kegiatan seperti:


78

a. Meningkatkan pelayanan publik berupa memangkas waktu pelayanan,

memangkas jalur birokrasi, memberlakukan system antri (queueing

system), memasang tarif yang berlaku terkait dengan pembayaran

pelayanan, serta transparan

b. Mengedukasi masyarakat dalam bentuk kampanye publik untuk tidak

memberi tips kepada Petugas Pelayanan, Mau mengantri dengan tertib

untuk mendapatkan pelayanan

c. Kontrol dari atasan langsung yang lebih

d. Adanya inspeksi berkala dari pijhak atasan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memiliki beberapa saran yaitu:

1. Perlu dilakukan kajian Terhadap Peraturan Daerah Kota Semarang

Nomor 2 Tahun 2016 Tentang Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah

Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum di

Kota Semarang dibagian sanksi pidana yang dirasa terlalu ringan

sehingga tidak memberikan efek jera kepada para pelaku tindak pidana

tersebut.

2. Melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana prosedur

pelaporan atau pengaduan yang baik dan benar agar mempercepat proses

hukum suatu perkara dalam penyelesaiaannya. Lembaga yang melakukan

pengawasan terhadap bidang perparkiran harus lah bisa bekerja lebih

optimal dalam menanggapi keluhan masyarakat yang dirasa hanya

masalah-masalah yang sama


79

3. Meskipun sanksi pidana mengenai pelanggaran yang dilakukan juru

parkir hanya diatur dalam Peraturan Daerah, ada baiknya untuk

meperhatikan sanksi yang diberikan supaya lebih memberikan efek jera.


DAFTAR PUSTAKA

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Rajawali Pers, 2013


Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Grafindo Persada,
Jakarta,

Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tindak
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta. 2006
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang: PT.
Suryandaru Utama. 2005.

http://bastianunmer.blogspot.com/2016/03/fungsi-hukum-pidana.html diakses pada Maret


2020
Lawrence M. Friedman, 2009, System Hukum Dalam Perspektif Ilmu Sosial, The.
Legal System: A Sosial Science Perspektive, Nusa Media, Bandung
M. Ali Zaidan, Menuju Pembaruan Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika. 2015
Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, 2011, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat, Jakarta, Gramata
Publishing

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Jakarta: Bumi


Aksara, Cet- 24, 2005

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas


Diponegero, Semarang. 1995
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni. 2005
Perda Kota Semarang No. 2 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan
Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa
Umum

O. Notohamidjojo, Soal - Soal Pokok Filsafat Hukum, Salatiga: Griya Media.


2011

P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,


1984

Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis),


Genta Publishing, Semarang. 2008

Satjipto Rahardjo, Tanpa Tahun. Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan


Sosiologis, Sinar Baru, Bandung
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung. 2000.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia - Press,
Jakarta.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Sudarsono, Pokok-pokok hukum Islam, Jakarta: Rineka Cipta, Cet.ke-2, 2001

Sudarto, Hukum Pidana I,Semarang: Yayasan Sudarto. 1990


Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum, Liberty, Semarang. 1996

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press. 2010


76
77

Anda mungkin juga menyukai