Fullpdf

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 133

PROSES PENYIDIKAN DALAM RANGKA PENEGAKAN

HUKUM NARKOTIKA DI POLRESTABES SEMARANG

TESIS

Oleh :

PRADANA FERRYAN WISNU M

N.I.M : : 20302100077
Konsentrasi : : Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2023
PROSES PENYIDIKAN DALAM RANGKA PENEGAKAN
HUKUM NARKOTIKA DI POLRESTABES SEMARANG

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Guna


Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh :

PRADANA FERRYAN WISNU M

N.I.M : : 20302100077
Konsentrasi : : Hukum Pidana

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2023

ii
iii
iv
v
vi
ABSTRAK

Kota Semarang merupakan kota tertinggi peredaran narkoba di Jawa


Tengah. Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika terkendala
oleh perkembangan peradaban masyarakat dunia. Polri merupakan aparat penegak
hukum yang berperan sebagai penyidik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
dan menganalisis penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di
Polrestabes Semarang serta untuk mengetahui proses penyidikan dalam rangka
penegakan hukum narkotika di Polrestabes Semarang.
Metode pendekatan penelitian ini adalah yuridis sosiologis, spesifikasi
penelitian deskriptif analitis. Jenis data menggunakan data primer dan data
sekunder sehingga metode pengumpulan data melalui penelitian lapangan dan
penelitian kepustakan. Metode analisis data adalah analisis kualitatif. Sebagai
pisau analisis adalah teori penegakan hukum, teori kepastian hukum dan teori
keadilan menurut Islam
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum
terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes Semarang dilakukan melalui
upaya preventif dan represif. Upaya preventif lebih menekankan pada pencegahan
sedangkan upaya represif dilakukan sebagai tindak lanjut atas terjadinya tindak
pidana narkotika yaitu melalui serangkaian tindakan penyidikan. Proses
penyidikan dalam rangka penegakan hukum narkotika di Polrestabes Semarang
didasarkan pada KUHAP, UU Nomor 35 Tahun 2019, Perkap Polri Nomor 6
Tahun 2019, dan Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
berdasarkan Keadilan Restoratif. Penyidikan yang dilaksanakan merupakan tindak
lanjut dari hasil penyelidikan petugas opsnal Sat Resnarkoba Polrestabes
Semarang.

Kata kunci : penyidikan, penegakan hukum narkotika

vii
ABSTRACT

Semarang City is the highest city for drug trafficking in Central Java. Law
enforcement efforts against narcotics crimes are constrained by the development
of civilization in the world community. Polri is a law enforcement apparatus that
acts as an investigator. This study aims to find out and analyze law enforcement
against narcotics crimes at the Semarang Polrestabes and to find out the
investigative process in the context of enforcing narcotics law at the Semarang
Polrestabes.
This research approach method is sociological juridical, descriptive
analytical research specifications. The type of data uses primary data and
secondary data so that the data collection method is through field research and
library research. The data analysis method is qualitative analysis. As a knife of
analysis are the theory of law enforcement, the theory of legal certainty and the
theory of justice according to Islam
Based on the results of the study, it can be concluded that law enforcement
against narcotics crimes at the Semarang Polrestabes is carried out through
preventive and repressive efforts. Preventive efforts emphasize prevention while
repressive efforts are carried out as a follow-up to the occurrence of narcotics
crimes, namely through a series of investigative actions. The investigation process
in the context of enforcing narcotics law at Polrestabes Semarang is based on the
Criminal Procedure Code, Law Number 35 of 2019, Police Perkap Number 6 of
2019, and Perpol Number 8 of 2021 concerning Handling of Crimes based on
Restorative Justice. The investigation carried out was a follow-up to the results of
the investigation by the operational officers of the Semarang Polrestabes
Polrestabes Narcotics Unit.

Keywords: investigation, narcotics law enforcement

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

telah melimpahkan rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Proses Penyidikan Dalam

Rangka Penegakan Hukum Narkotika Di Polrestabes Semarang” yang

merupakan salah satu syarat guna memperoleh gelar derajat S2 Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang.

Tesis ini tidak mungkin selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak berupa

saran maupun dorongan yang sangat bernilai bagi penulis. Untuk itu penulis ingin

mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr.. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt, M.Hum., selaku Rektor Universitas

Islam Sultan Agung Semarang.

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

3. Dr. Hj. Widayati, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

4. Dr. Arpangi, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas

Islam Sultan Agung Semarang.

5. Dr. Denny Suwondo, S.H. M.H., selaku Ketua Program Magister (S2) Ilmu

Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

6. Dr. Andri Winjaya Laksana, S.H, M.H., selaku Sekretaris Program Magister

Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

ix
7. Dr. Hj. Sri Kusriyah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing yang telah

berkenan memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian penelitian

ini.

8. Segenap Guru Besar dan Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Islam Sultan Agung Semarang yang telah berkenan membimbing penulis

selama menuntut ilmu di Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

9. Seluruh staf dan karyawan Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas

Islam Sultan Agung Semarang.

10. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah

membantu terselesaikanya tesis ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan bantuan yang telah

diberikan pada penulis. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak

kekurangan, untuk itu segala saran dan kritik dari semua pihak sangat penulis

harapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi

ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Semarang, Februari 2023


Penulis

x
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

Allah tidak membebani seseorang


melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
(Al-Baqarah: 286)

Kupersembahkan Tesis ini buat :


1. Ibu dan Ayah tercinta
2. Keluarga besarku tercinta
3. Almamater

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


HALAMAN JUDUL............................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................... Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAN ................................ Error! Bookmark not defined.
SURAT PERNYATAAN KEBENARAN DATA . Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ......................................................................... xi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1
B. Perumusan Masalah ..........................................................................4
C. Tujuan Penelitian ..............................................................................4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................5
E. Kerangka Konseptual .......................................................................5
F. Kerangka Teori .................................................................................9
G. Metode Penelitian ...........................................................................24
1. Metode Pendekatan .................................................................24
2. Spesifikasi Penelitian ..............................................................24
3. Jenis dan Sumber Data ............................................................25
4. Metode Pengumpulan Data .....................................................26
5. Metode Analisis Data ..............................................................27
H. Sistematika Penulisan .....................................................................27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................29
A. Tinjauan tentang Tindak Pidana .....................................................29
1. Pengertian Hukum Pidana .......................................................29
2. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana ...........................36

xii
B. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika ....................................42
1. Pengertian Narkotika ...............................................................42
2. Tindak Pidana Narkotika berdasarkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ...............................45
C. Tinjauan tentang Penyidikan ..........................................................55
1. Pengertian Penyidik .................................................................55
2. Tugas dan Wewenang Penyidik ..............................................58
3. Penyidikan ...............................................................................60
D. Tindak Pidana Narkotika Menurut Hukum Islam ..........................67
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................74
A. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Narkotika di
Polrestabes Semarang .....................................................................74
B. Proses Penyidikan dalam Rangka Penegakan Hukum Narkotika
di Polrestabes Semarang .................................................................87
BAB IV PENUTUP ...........................................................................................114
A. Simpulan .......................................................................................114
A. Saran .............................................................................................115
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................116

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan

atas kekuasaan (machtstaat).1 Hal ini sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat

(3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga ada

beberapa konsekuensi yang ada padanya. 2

Hukum merupakan kumpulan peraturan yang bersifat memaksa, yang

menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat

oleh badan-badan resmi negara dan memuat sanksi yang tegas atas peraturan

tersebut.3 Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan, apa yang boleh

dilakukan serta apa yang dilarang. Salah satu tindak pidana yang masih marak

terjadi adalah tindak pidana narkotika.

Narkotika pada mulanya digunakan untuk kepentingan umat manusia,

khususnya untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan. Di dunia kedokteran

narkotika banyak digunakan khususnya dalam proses pembiusan sebelum

pasien dioperasi. Agar penggunaan narkotika dapat memberikan manfaat bagi

kehidupan umat manusia, peredarannya harus diawasi secara ketat.4 Untuk itu

1
C.S.T Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet Ke-8, Jakarta
: Balai Pustaka, h. 346.
2
Angga Dwi Arifian and Sri Kusriyah, “The Investigation on Criminal Acts of Corruption
in the Jurisdiction of Rembang Police”, Law Development Journal Volume 3 Issue 3, September
2021, h.460, url : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ldj/article/view/16086/5838
3
Ishaq, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, h. 3.
4
Direktorat Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerjasama BNN, 2016, Himpunan

1
pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika (UU Narkotika).

Seiring perkembangan zaman, narkotika tidak lagi untuk kepentingan

pelayanan kesehatan tetapi disalahgunakan untuk hal-hal negatif yang bersifat

melawan hukum. Praktek penyalahgunaan narkotika tidak hanya terjadi di

perkotaan saja melainkan sudah merambah ke pedesaan dan pada semua

golongan masyarakat baik kaya, miskin, tua, muda, bahkan tidak jarang

terdapat aparat penegak hukum yang terjerumus dalam penyalahgunaan

narkotika.

Penyalahgunaangunaan narkotika merupakan suatu perbuatan tindak

pidana. Tindak pidana dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial

yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan

negara. Kenyataan telah membuktikan bahwa tindak pidana hanya dapat

dicegah dan di kurangi tetapi sulit diberantas secara tuntas. Menurut

Moeljatno, perbuatan pidana merupakan sesuatu perbuatan yang dilarang oleh

suatu peraturan hukum dan juga disertai suatu sanksi pidana tertentu.5

Di Indonesia, tindak pidana narkotika masih tergolong tinggi.

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN), pada tahun 2020

mencapai sebanyak 833 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 1.307 orang.

Sedangkan pada 2021 sebanyak 766 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak

1.184 orang.6

Peraturan Tentang Narkotika dan Peraturan Lainnya, Jakarta, h. 2


5
Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 54.
6
Ali Mahmudan, Kasus Narkoba di Indoensia Turun dalam 3 Tahun Terakhir,
https://dataindonesia.id, diakses 15 November 2022

2
Di Jawa Tengah, berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN)

Jawa Tengah, kasus narkoba di Jateng selama pandemi justru mengalami

peningkatan, yaitu pada tahun 2020, sebanyak 1875 kasus narkoba, sedangan

pada 2021 per semester (6 bulan) sudah sebanyak 1039 kasus. 7 Sedangkan di

wilayah hukum Polrestabe Semarang data jumlah kasus narkotika pada tahun

2020 sebanyak 172 kasus dengan 217 orang. Sedangkan pada tahun 2021

sebanyak 185 kasus dengan jumlah tersangka sebanyak 255 orang.

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika seringkali

terkendala oleh perkembangan masyarakat dan merupakan suatu konsekuensi

logis dari perkembangan peradaban masyarakat dunia.8 Dalam rangka

penegakkan hukum, apabila terjadi suatu peristiwa yang diduga atau patut

diduga merupakan tindak pidana, maka aparat hukum wajib melakukan

berbagai tindakan sesuai dengan kewenangan masing-masing sebagaimana

yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.9

Polri merupakan aparat penegak hukum yang berperan sebagai

penyidik. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyidik, Polri mempunyai

wewenang yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewenangan

tersebut adalah melakukan peneyelidikan oleh penyelidik dan kemudian

7
BNN Jateng Sebut Kasus Narkoba Mengalami Peningkatan selama Pandemi,
https://jogja.tribunnews.com, diakses 15 November 2022.
8
Rully Abdi dan Piatur Pangarimbun, 2019, Pelaku Tindak Pidana Peredaran Gelap
Narkotika Golongan I Bukan Tanaman, Yogyakarta : K-Media, h.6
9
Kusfitono, Umar Ma‟ruf dan Sri Kusriyah, “Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 130/PUU-XIII/2015 Terhadap Proses Penyidikan Tindak Pidana Pencurian Dengan
Pemberatan Di Sat Reskrim Polres Kendal” Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol. 12. No. 4
Desember 2017, h.862, url : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/view/2303

3
diteruskan dengan penyidikan sebagai suatu tindakan untuk mencari dan

mengumpulkan bukti supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi

terang serta dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Upaya untuk

menemukan dan menentukan pelaku dalam suatu peristiwa pidana sangat

penting untuk menentukan siapa yang harus dipertanggungjawabkan secara

pidana atas peristiwa pidana tersebut.10 Pada prakteknya, proses penyidikan

tindak pidana narkotika sering terkendala karena perkembangan teknologi

sehingga sulit mengungkap bandar narkotika.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: “Proses Penyidikan dalam Rangka Penegakan

Hukum Narkotika di Polrestabes Semarang”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, maka permasalahan yang dibahas

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di

Polrestabes Semarang ?

2. Bagaimanakah proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum

narkotika di Polrestabes Semarang ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis penegakan hukum terhadap tindak

10
Ibid.

4
pidana narkotika di Polrestabes Semarang.

2. Untuk mengetahui proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum

narkotika di Polrestabes Semarang.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana terkait penyidikan

terhadap tindak pidana narkotika.

2. Manfaat praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak

kepolisian dalam penyidikan terhadap tindak pidana narkotika.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi

masyarakat terkait penyidikan tindak pidana narkotika.

E. Kerangka Konseptual

1. Penyidikan

Penyidik adalah pejabat yang oleh undang-undang ditunjuk atau

ditugaskan untuk melaksanakan penyidikan perkara pidana. Dalam

kalangan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), khususnya dalam

bidang Reserse Kriminal, pejabat itu juga disebut Reserse. 11 Menyidik

berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu

ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun

11
M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika,h. 109.

5
mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu

pelanggaran hukum.12

Penyidikan menurut Pasal 1 butir 2 KUHAP adalah serangkaian

tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-

undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu

membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan

tersangkanya. Dengan demikian, penyidikan dimulai sesudah terjadinya

tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan tentang : 13

a. Bentuk tindak pidana apa yang terjadi

b. Kapan dan dimana tindak pidana terjadi

c. Bagaimana tindak pidana itu terjadi

d. Apa latar belakang terjadinya tindak pidana

e. Siapa pelaku tindak pidana tersebut.

2. Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan masalah yang berhubungan erat

dengan masalah kriminalisasi yang diartikan sebagai proses penetapan

perbuatan orang yang semula bukan merupakan tindak pidana menjadi

tindak pidana, proses penetapan ini merupakan masalah perumusan

perbuatan-perbuatan yang berada di luar diri seseorang.14

12
Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, h.118.
13
AR. Sujono dan Bony Daniel, 2001, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar Grafika, h.148.
14
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2016, Hukum Pidana, Malang: Setara Press, h.57

6
Tindak pidana menurut Indiyanto Seno Adji adalah perbuatan

seseorang yang diancam pidana, perbuatannya bersifat melawan hukum,

terdapat suatu kesalahan yang bagi pelakunya dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. 15 Sedangkan menurut J.

Baumann merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat

melawan hukum dan dilakuan dengan kesalahan. Menurut Karni, delik itu

mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang

dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan

kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan.16

3. Narkotika

Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu

yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor

(bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius. Menurut istilah

kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan terutama

rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga

dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong

yang lama dalam keadaan yang masih sadar serta menimbulkan adiksi atau

kecanduan.17

Narkotika menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35

Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi

15
Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor Pengacara dan
Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan, h.155
16
Sudarto, 2018, Hukum Pidana 1 (Edisi Revisi), Semarang :Yayasan Sudarto, h.51
17
Fransiska Novita Eleanora, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan
dan Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis)”, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, April 2011.

7
sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran

hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat

menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang

kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri kesehatan.

4. Polrestabes Semarang

Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata

Kerja Pada Tingkat Kepolisian Resort dan Kepolisian Sektor

mendefinsikan Kepolisian Resort (Polres) adalah pelaksana tugas dan

wewenang Polri di wilayah kabupaten/kota yang berada di bawah

Kapolda.

Polrestabes Semarang merupakan pelaksana tugas dan wewenang

Polri di wilayah Kota Semarang di bawah Polda Jawa Tengah.

Sebagaimana ketentuan Pasal 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010, Polrestabes Semarang

bertugas menyelenggarakan tugas pokok Polri dalam memelihara

keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas Polri lainnya dalam daerah

hukum Polres, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

8
F. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Pengertian penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto adalah

kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam

kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai

rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara

dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.18

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan

hidup. Sejalan dengan fungsi hukum tersebut, Sudikmo Mertokusumo

menjelaskan bahwa “Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara

normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum dan

harus ditegakkan. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur uang

selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit),

kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).”19

Pelaksanaan hukum sangat penting dalam kehidupan masyarakat

sehari-hari, karena tujuan hukum terletak pada pelaksanaan hukum

tersebut. Ketertiban dan ketentraman hanya dapat diwujudkan jika hukum

dilaksanakan, dan sebaliknya jika hukum tidak dilaksanakan maka

peraturan hukum itu hanya menjadi susunan kata-kata yang tidak

18
Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta
: Rajawali Press, h.3.
19
Sudikmo Mertokusumo, 2001, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung : Citra
Aditya Bakti, Bandung, h.1

9
bermakna dalam kehidupan masyarakat.

Penegakan hukum menurut Ilhami Bisri adalah usaha semua

kekuatan bangsa, menjadi kewajiban kolektif semua komponen bangsa,

dan merupakan ralat bahwa hukum hanya boleh ditegakkan oleh golongan-

golongan tertentu saja, antara lain: 20

a. Aparatur negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu

seperti polisi, hakim dan jaksa, yang dalam dunia hukum disebut

secara ideal sebagai the three musketers atau tiga pendekar hukum,

yang mempunyai fungsi penegakan dengan sifat yang berbeda-beda

akan tetapi bermuara pada terciptanya hukum yang adil, tertib dan

bermanfaat bagi semua manusia. Polisi menjadi pengatur dan

pelaksana penegakan hukum di dalam masyarakat, hakim sebagai

pemutus hukum yang adil sedangkan jaksa adalah institusi penuntutan

negara bagi para pelanggar hukum yang diajukan polisi;

b. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat

baik yang bekerja secara individual ataupun yang bergabung secara

kolektif melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, yang menjadi

penuntun masyarakat yang awam hukum, agar dalam proses peradilan

tetap diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehormatan, hak

dan kewajiban, sehingga putusan hakim akan mengacu pada

kebenaran, keadilan yang dilandasi penghormatan manusia atas

manusia;

20
Ilhami Bisri, 2012, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi Hukum di
Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers, h.128.

10
c. Para eksekutif yang bertebaran di berbagai lahan pengabdian sejak dari

pegawai pemerintah yang memiliki beraneka fungsi dan tugas

kewajiban sampai kepada para penyelenggara yang memiliki

kekuasaan politik (legislatif);

d. Masyarakat pengguna jasa hukum yang kadang-kadang secara ironi

menjadi masyarakat pencari keadilan.

Menurut Barda Nawawi Arief, penegakan hukum adalah suatu

usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa

keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan

terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada

pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang

dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana

dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan

politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil

perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada

suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.21

Berdasarkan pendapat tersebut, diketahui bahwa penegakan hukum

adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-

norma hukum secara nyata sebagai pedoman atau hubungan-hubungan

hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Oleh karena itu,

perlakuan dalam penegakan hukum tidak hanya memberikan hukuman

saja melalui pidana, tetapi juga melakukan penegakan hukum yang bersifat

21
Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 109.

11
pencegahan agar tidak terjadi kejahatan yang serupa.

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban

dan perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini

dapat terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu

menjaga keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil

yang didasarkan oleh nilai-nilai actual di dalam masyarakat beradab.

Sebagai proses kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk

masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan adalah keharusan untuk

melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum

merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang kepastian

hukum, ke-manfaatan sosial dan keadilan menjadi kenyataan. Proses

perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum.

Penegakan hukum adalah suatu proses dilakukannya upaya untuk tegaknya

atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai dengan

pedoman perilaku atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum itu sendiri adalah suatu

proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan,

yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum di sini adalah pikiran-

pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan

hukum itu.22

Penegakan hukum berkaitan erat dengan ketaatan bagi pemakai

22
Satjipto Rahardjo, 2005, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar
Baru, Bandung, h. 24

12
dan pelaksana peraturan perundang-undangan, dalam hal ini baik

masyarakat maupun penyelenggara negara yaitu penegak hukum. 23

Fungsi dari penegakan hukum adalah untuk mengaktualisasi

aturan-aturan hukum agar sesuai dengan cita-cita hukum sendiri, yakni

mewujudkan sikap atau tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai yang

telah ditetapkan oleh undang-undang atau hukum. Sistem penegakan

hukum yang mempunyai nilai-nilai yang baik adalah menyangkut

penyerasian antara nilai dengan kaidah serta perilaku nyata manusia.24

Teori yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah teori

penegakan hukum yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Menurut

Soerjono Soekanto secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan

sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk men-

ciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.25

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasamya mempunyai

pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang

buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam

pasangan-pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban

dengan nilai ketenteraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai

23
Shahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Graha Ilmu,
Yogyakarta, h. 132.
24
Siswanto Sunaryo, 2004, Penegakkan Hukum Psikotropika (Dalam Kajian Sosiologi
Hukum), Raja Grafindo Persada, Jakarta, h, 71
25
Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 5.

13
kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme,

dan seterusnya.

Di dalam penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu

diserasikan, umpamanya perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan

nilai ketenteraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan,

sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam

kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan

di dalam wujud yang serasi.

Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan

penjabaran secara lebih konkret lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya

bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk

kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin

berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang Hukum Tata

Negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang

berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan

tertentu, atau tidak melakukannya. Di dalam kebanyakan kaidah Hukum

Pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan

tertentu, sedang-kan di dalam bidang Hukum Perdata ada kaidah-kaidah

yang berisikan kebolehan-kebolehan. Kaidah-kaidah tersebut kemudian

menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang

dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut

bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan

14
kedamaian.26

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupa-

kan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak

secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mem-punyai unsur

penilaian pribadi. Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka

LaFavre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada di antara

hukum dan moral (etika dalam arti sempit).27

Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada

ketidakserasian antara “tritunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku.

Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai

yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang ber-

simpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian

pergaulan hidup.28

Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia ke-

cenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement

begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengarti-

kan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.29

Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-

faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut, adalah

26
Ibid., h.6.
27
Ibid.
28
Ibid.
29
Ibid.

15
sebagai berikut :30

a. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang);

b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak-pihak yang membentuk maupun

yang menerapkan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas;

d. Faktor masyarakat, yaitu lingkungan tempat hukum tersebut berlaku

atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

2. Teori Kepastian Hukum

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti. Hukum secara

hakiki harus pasti dan adil. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang

hanya bisa dijawab secara normatif bukan sosiologi. Kepastian hukum

secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan

secara pasti karena mengatur secara pasti dan logis. 31

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dan dapat

dikatakan upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian

hukum adalah pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap suatu tindakan

tanpa memandang siapa yang melakukan. Adanya kepastian hukum setiap

orang dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika melakukan tindakan

hukum itu, kepastian sangat diperlukan untuk mewujudkan keadilan.

30
Ibid., h. 8.
31
CST Kansil, 2009, Kamus istilah Hukum, Gramedia Pustaka, Jakarta, h.385.

16
Kepastian salah satu ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama

untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan

makna karena tidak dapat digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap

orang.32

Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-

Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia

hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom,

yang mandiri, karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya

kumpulan aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari

sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu

diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu

aturan hukum yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan

hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan

keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.33

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan

bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat

memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan34 Kepastian

hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya, sehingga

masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Penciptaan

kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan, memerlukan

32
Ibid., h.270
33
Aryani Witasari, Materi Kuliah Teori-Teori Hukum, Magister Ilmu Hukum, Unissula
Semarang, 2020.
34
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta
2007, h. 160.

17
persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu

sendiri.35

Menurut Jan Michael Otto yang merinci kepastian hukum dalam

arti materiil yaitu :36

a. Tersedia aturan hukum yang jelas, konsisten, dan dapat diakses,

diterbitkan oleh dan diakui karena (kekuasaan) Negara;

b. Instansi-instansi pemerintahan menerapkan aturan-aturan hukum itu

secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;

c. Warga secara principil menyesuaikan perilaku mereka terhadap

aturan– aturan tersebut;

d. Hakim-hakim (peradilan) mandiri dan tidak memihak, menerapkan

aturan-aturan hukum itu sendiri konsisten sewaktu mereka

menyelesaikan sengketa;

e. Keputusan pengadilan secara konkret dilaksanakan.

Menurut pendapat Jan Michael Otto, kepastian hukum dapat

dicapai apabila situasi tertentu : 37

a. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah

diperoleh;

b. Instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan

hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadap

aturan tersebut.

35
Fernando M Manulang, 2007, Hukum Dalam Kepastian, Prakarsa, Bandung h. 95.
36
Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, PT.
Refika Aditama, Bandung, h. 85.
37
Jan Michael Otto, 2003, Kepastian hukum di Negara Berkembang, Terjemahan Tristam
Moeliono, Komisi Hukum Nasional Jakarta, h. 25.

18
Keberadaan asas kepastian hukum merupakan sebuah bentuk

perlindungan bagi yustisiabel (pencari keadilan) terhadap tindakan

sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dan dapat

memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hal ini

memiliki arti bahwa pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa

yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara

dan perlindungan bagi para pencari keadilan. Tanpa adanya kepastian

hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya

timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan

menimbulkan kekacauan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum.

3. Teori Keadilan dalam Perspektif Islam

Keadilan adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap

orang dalam tatanan kehidupan sosial mereka. Lembaga sosial yang

bernama negara maupun lembaga-lembaga dan organisasi internasional

yang menghimpun negara-negara nampaknya mempunyai visi dan misi

yang sama terhadap keadilan, walaupun persepsi dan konsepsi mereka

barangkali berbeda dalam masalah tersebut. Keadilan merupakan konsep

yang relatif. Skala keadian sangat beragam antara satu negara dengan

negara lain, dan masing-masing skala keadilan itu didefinisikan dan

ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial masyarakat yang

bersangkutan.38

Keadilan adalah suatu tuntutan sikap dan sifat yang seimbang

38
Tamyies Dery, Keadilan dalam Islam, Mimbar, Volume XVIII Nomor 3, Juli-September
2002, h.338.

19
antara hak dan kewajiban. Salah satu asas dalam hukum yang

mencerminkan keadilan yaitu asas equality before the law yaitu asas yang

menyatakan bahwa semua orang sama kedudukannya dalam hukum.

Definisi keadilan dapat dipahami sebagai suatu nilai (value) yang

digunakan untuk menciptakan hubungan yang seimbang antar manusia

dengan memberikan apa yang menjadi hak seseorang dengan prosedur dan

bila terdapat pelanggaran terkait keadilan maka seseorang perlu diberikan

hukuman.39

Keadilan dalam Islam merupakan salah satu asas yang harus

dijunjung. Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-„Adlu) yang harus

dicontoh oleh hamba-Nya. Bagi kebanyakan manusia, keadilan sosial

adalah sebuah cita-cita luhur. Al-Qur‟an sebagai sumber ajaran Islam yang

utama, banyak sekali menyebut keadilan. Kata al-Adl, dalam berbagai

bentuk katanya disebut sebanyak 28 kali, kata al-Qisth dalam berbagai

shighahnya disebut sebanyak 27 kali, dan kata al-Mizan yang mengandung

makna yang relevan dengan keduanya disebut 23 kali.40

Wahbah Zuhayli, dalam menafsirkan surat Al-Syura ayat 14

menyatakan bahwa keadilan salah satu ajaran yang diemban oleh setiap

rasul, bahkan konsep keadilan itu tidak mengalami perubahan dari

generasi seorang rasul sampai kepada generasi rasul-rasul berikutnya, dan

berakhir pada Muhammad saw. Nabi Muhammad saw sebagai pengemban

risalah Allah yang terakhir, juga memiliki ajaran keadilan. Jika Al-Qur‟an
39
Aryani Witasari, 2020, Materi Kuliah Teori-Teori Hukum, Magister Hukum Unissula,
Semarang.
40
Tamyiz Dery, Op.Cit., h.338.

20
dan Al Hadits disepakati sebagai dua sumber pokok dan utama dan ajaran

Muhammad saw, maka umat Islam memiliki pegangan yang kuat untuk

menggali dan memahami konsep keadilan yang kemudian dapat

diaplikasikan dalam kehidupan individual dan sosial mereka.41

Al-Qur‟an banyak memberikan perintah untuk menegakkan

keadilan, karena Islam menghendaki agar setiap orang menikmati hak-

haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan agamanya

keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya), keselamatan

akalnya, keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab

keturunannya. Sarana pokok yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut

adalah tegaknya keadilan (al‟adl) di dalam tatanan kehidupan

masyarakat.42

Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah

menempatkan sesuatu pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya

pikul seseorang, memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya

dengan kadar yang seimbang. Allah SWT tidak akan menghukum

seseorang jika seseorang tersebut belum mengetahui ilmunya dan belum

kedatangan penyampai.43

Para ulama fiqh dan para mufassir mendefinisikan keadilan adalah

melaksanakan hukum Tuhan, manusia menghukum sesuai dengan syariat

41
Ibid.
42
Didin Hafidhuddin, 2006, Agar Layar Tetap Terkembang: Upaya Menyelamatkan Umat,
Gema Insani Press, Jakarta, h. 249
43
Aryani Witasari, Loc.Cit.

21
agama sebagaimana diwahyukan Allah kepada nabi-nabi-Nya dan rasul-

rasul-Nya. Karena itu, mengerjakan keadilan berarti melaksanakan

keadilan yang diperintahkan oleh Allah SWT.44

Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil

atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang

dilakukan. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surah

An-Nisa ayat 58 yang berbunyi :

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruhmu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat.
(QS. An-Nisa : 58).

44
Muhammad Dhiaduddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Gema Insani Press, Jakarta,
Op.Cit., h.268.

22
Perintah adil selanjutnya terdapat dalam surah An-Nisa Surah An-

Nisa ayat 58 berbunyi :

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat


kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat (QS. An-Nisa : 58).

Manusia, dituntut adil tidak saja dalam berinteraksi dengan sesama

manusia, tapi yang lebih penting adalah adil dalam berinteraksi dengan

Khaliq-nya dan dirinya sendiri, serta makhluk lain. Kegagalan berlaku adil

kepada salah satu sisi kehidupannya, hanya membuka jalan luas bagi

kesewenang-wenangan kepada aspek kehidupannya yang lain.

Ketidakadilan dalam berinteraksi dengan Sang Khaliq, misalnya, justru

menjadi sumber segala bencana kehidupan.45

Keadilan dalam Islam digantungkan kepada keadilan yang telah

ditentukan oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui

keadilan itu secara benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului

pengertian, karena telah ditetapkan segala yang ditentukan oleh Allah

45
M. Syamsi Ali, 2007, Dai Muda di New York City, Gema Insani Press, Jakarta, h. 272

23
SWT pasti adil. Apa pun sifatnya, keadilan dalam Islam dirumuskan

dengan berpegang teguh pada hukum ilahi atau kehendak Allah SWT yang

dirumuskan oleh para ulama untuk dijadikan hukum dalam hidup bersama

sebagai warga negara. Keadilan merupakan cita-cita kolektivistik yang

memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai

organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai

dengan posisi dan sifat alamiahnya. 46

G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis sosiologis, yaitu selain menggunakan asas dan prinsip hukum

dalam meninjau, melihat, dan menganalisa masalah-masalah, penelitian ini

juga meninjau bagaimana pelaksanaannya dalam praktek.47 Penelitian

meninjau dari sudut ilmu hukum dan peraturan-peraturan tertulis lainnya

serta pelaksanaan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, karena peneliti

berkeinginan untuk menggambarkan atau memaparkan atas subjek dan

objek penelitian, yang kemudian menganalisa dan akhirnya ditarik

46
Fauzi Almubarok, Keadilan Dalam Perspektif Islam, Istighna, Volume 1, Nomor 2, Juli
2018, h.122
47
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta :
Ghalia Indonesia, Jakarta, h.33.

24
kesimpulan dari hasil penelitian tersebut.48 Dikatakan deskriptif karena

dari penelitian ini diharapkan dapat memperoleh gambaran yang jelas,

rinci, dan sistematis, sedangkan dikatakan analisis karena data yang

diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun data kasus yang akan

dianalisa untuk memecahkan terhadap permasalahan sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer

dan data sekunder.

a. Data primer

Data primer adalah data yang diperoleh terutama dari hasil penelitian

lapangan, yaitu dilakukan melalui wawancara dengan pihak

Polrestabes Semarang yang berkaitan dengan penyidikan terhadap

tindak pidana narkotika.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian

kepustakaan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-

pendapat atau tulisan-tulisan para ahli hukum atau pihak-pihak lain

yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam

bentuk ketentuan formal. Bahan hukum data sekunder terdiri dari :

48
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, h.183.

25
1) Bahan hukum primer

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b) Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Republik Indonesia.

c) Undang- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika.

d) Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8

Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan

Keadilan Restoratif.

e) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan

Tindak Pidana.

2) Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder diambil dari literatur, buku-buku dan

makalah-makalah yang ada relasinya dengan permasalahan

penelitian.

3) Bahan hukum tersier

Bahan hukum yang memberikan petunjuk atas bahan hukum

primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia dan sebagainya.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi lapangan

dan studi kepustakaan

a. Studi lapangan

Studi lapangan dilakukan melalui wawancara secara bebas terpimpin

26
dengan pihak-pihak terkait khususnya pihak Satresnarkoba Polrestabes

Semarang.

b. Studi kepustakaan

Studi kepustakan dilakukan dengan mempelajari literatur, peraturan

perundang-undangan dan lainnya yang ada relevansinya dengan pokok

bahasan penelitian.

5. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode analisis kualitatif yaitu analisis yang sifatnya naratif. Dalam proses

analisisnya, penulis menyajikan terlebih dahulu data yang diperoleh dari

lapangan atau dari wawancara, selanjutnya interpretasi dan penafsiran data

dilakukan dengan mengacu pada rujukan teoritis yang berhubungan

dengan permasalahan penelitian.49

H. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual,

kerangka teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

49
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, h.174.

27
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tinjauan tentang tindak

pidana, tinjauan tentang tindak pidana narkotika, tinjauan tentang

penyidikan, tinjauan tentang tindak pidana narkotika menurut hukum

Islam.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan menjelaskan dan menganalisis tentang

penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes

Semarang dan proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum

narkotika di Polrestabes Semarang

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai simpulan dan saran.

28
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Hukum Pidana

Mezger sebagaimana dikutip oleh Sudarto mendefinisikan hukum

pidana sebagai aturan hukum yang mengikatkan kepada suatu perbuatan

yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.50

Jadi, hukum pidana berpokok pada 2 hal yaitu perbuatan yang memenuhi

syarat-syarat tertentu dan pidana. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu dimaksudkan perbuatan sebagai yang dilakukan oleh orang yang

memungkinkan adanya pemberian pidana. Perbuatan itu disebut perbuatan

yang dapat dipidana. Yang dimaksud pidana adalah penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu itu.

Menurut Sudarto, pengertian hukum pidana disebut juga ius

poenale. Disamping ius poenale ada ius puniendi. Ius puniendi secara

sempit diartikan sebagai hak untuk menuntut perkara-perkara pidana,

menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan

perbuatan yang dilarang. Sedangkan dalam arti luas, ius puniendi diartikan

sebagai hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk

mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu. Jadi ius

50
Sudarto, 2018, Hukum Pidana I Edisi Revisi, Yayasan Sudarto, Semarang, h. 9.

29
poniendi adalah hak mengenakan pidana yang harus didasarkan pada ius

poenale.51

Dalam menentukan definisi hukum pidana menurut ilmu

pengetahuan, dapat dibedakan beberapa golongan pendapat :52

a. Hukum pidana adalah hukum sanksi

Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang

membedakan dengan lapangan hukum yang lain yaitu bahwa hukum

pidana sebenarnya tidak mengadakan norma sendiri melainkan sudah

terletak pada lapangan hukum yang lain, dan sanksi pidana diadakan

untuk menguatkan ditaatinya norma-norma di luar hukum pidana.

Secara tradisional definisi hukum pidana ini dianggap benar sebelum

hukum pidana berkembang dengan pesat.

b. Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum mengenai

perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana dan aturan pidananya.

c. Hukum pidana dalam arti :

1) Objektif (ius poenale) meliputi :

a) Perintah dan larangan yang pelanggarannya diancam dengan

sanksi pidana oleh badan yang berhak.

b) Ketentuan-ketentuan yang mengatur upaya yang dapat

dipergunakan, apabila norma itu dilanggar, yang dinamakan

hukum penetintiaire.

51
Ibid., h.10.
52
Bambang Purnomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogykarta, h.
19.

30
c) Aturan-aturan yang menentukan kapan dan dimana berlakunya

norma-norma tersebut di atas.

2) Subjektif (ius puniendi) yaitu hak negara menurut hukum untuk

menuntut pelanggaran delik dan untuk menjatuhkan serta

melaksanakan pidana.

d. Hukum pidana dibedakan dan diberikan arti :

1) Hukum pidana materiel yang menunjuk pada perbuatan pidana dan

yang oleh sebab perbuatan itu dapat dipidana, dimana perbuatan

pidana (strafbare feiten) itu mempunyai dua bagian yaitu :

a) Bagian objektif merupakan suatu perbuatan atau sikap

(nalaten) yang bertentangan dengan hukum positif, sehingga

bersifat melawan hukum yang menyebabkan tuntutan hukum

dengan ancaman pidana atas pelanggarannya.

b) Bagian subjektif merupakan suatu kesalahan, yang menunjuk

kepada si pembuat (dader) untuk dipertanggungjawabkan

menurut hukum.

2) Hukum pidana formil yang mengatur cara hukum pidana materiel

dapat dilaksanakan.

Menurut Sudarto, hukum pidana materiil memuat aturan-aturan

yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat

dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk menjatuhkan

pidana dan ketentuan mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana

formil mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat

31
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.

Hukum pidana formil disebut juga hukum hukum acara pidana.53

Tirtaamidjaja sebagiamana dikutip Leden Marpaung

menjelaskan bahwa kumpulan aturan hukum yang menentukan

pelanggaran pidana, menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana

untuk dapat dihukum, menunjukkan orang yang dapat dihukum dan

menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. Sedangkan hukum

pidana formil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara

mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran yang

dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau dengan kata lain, mengatur

cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga diperoleh

keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan

hakim.54

e. Hukum pidana diberikan arti bekerjanya sebagai :

1) Peraturan hukum objektif yang dibagi menjadi :

a) Hukum pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat

bilamanakah, siapakah dan bagaimanakah sesuatu itu dapat

dipidana.

b) Hukum pidana formil yaitu hukum acara pidananya.

2) Hukum subjektif yaitu meliputi hukum yang memberikan

kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan

53
Sudarto, Op.Cit., h.10.
54
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 2.

32
putusan dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada

negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.

3) a. Hukum pidana umum (algemene strafrecht) yaitu hukum

pidana yang berlaku bagi semua orang.

b. Hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht) yaitu dalam

bentuknya sebagai ius speciale seperti hukum pidana militer,

dan sebagai ius singulare seperti hukum pidana fiskal.

Pengertian hukum pidana menurut Moeljatno bahwa hukum

pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di

suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :


55

1. Menentukan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang

dilarang, yang disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang

telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau

dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa

hukum pidana adalah :56

55
Ibid. h. 8.
56
Ibid. h. 21.

33
1. Hukum positif

2. Hukum yang menentukan tentang perbuatan pidana dan

menentukan tentang kesalahan bagi si pelanggarnya (substansi

hukum pidana).

3. Hukum yang menentukan tentang pelaksanaan substansi hukum

pidana (hukum acara pidana).

Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu fungsi

yang umum dan yang khusus. Fungsi yang umum oleh karena hukum

pidana merupakan sebagian dari keseluruhan lapangan hukum, maka

fungsi hukum pidana pada umumnya ialah mengatur hidup

kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Hukum

hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang Socialrelevan. Artinya

yang ada sangkut pautnya dengan masyarakat. Ia pada dasarnya tidak

mengatur sikap batin seseorang yang bersangkutan dengan tata susila,

demikian juga dengan hukum pidana. Sangat mungkin ada perbuatan

seseorang yang sangat tercela dan bertentangan dengan kesusilaan, akan

tetapi hukum pidana/negara tidak turun tangan/campur tangan, karena

tidak dinyatakan secara tegas di dalam aturan hukum atau hukum yang

benar-benar hidup dalam masyarakat. Di samping itu, seperti pada

lapangan hukum lainnya, hukum pidana pun tidak hanya mengatur

masyarakat begitu saja, akan tetapi juga mengaturnya secara patut dan

bermanfaat. Ini sejalan dengan anggapan bahwa hukum dapat digunakan

sebagai sarana untuk menuju ke policy dalam bidang ekonomi, sosial dan

34
budaya.57

Fungsi hukum pidana secara khusus adalah melindungi

kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya

dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika

dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum

lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum ini boleh dari orang seorang dari

badan atau dari kolektiva, misalnya masyarakat, negara dan lain

sebagainya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda,

kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang

memperkosa badan-badan hukum itu. Dapat dikatakan bahwa hukum

pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.58

Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan)

terhadap terjadinya pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya

ada apabila sanksi itu benar-benar diterapkan terhadap pelanggaran yang

konkrit. Akan tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam peraturan

hukum.

Sebagai alat social control, fungsi hukum pidana adalah subsidier,

artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan apabila usaha lain kurang

memadai. Sanksi yang tajam dari hukum pidana ini membedakannya dari

lapangan hukum lainnya. Hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan

dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam masyarakat.

Inilah sebabnya hukum pidana harus dianggap sebagai ultimatum

57
Sudarto, Op.Cit. h.11.
58
Ibid., h. 12.

35
remedium yaitu obat terakhir, apabila sanksi atau upaya-upaya pada

cabang-cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mampu.

Oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi, jika masih ada jalan lain

sebaiknya tidak menggunakan hukum pidana.

2. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Menurut para sarjana hukum pidana, terdapat beberapa perumusan

atau definisi tentang tindak pidana, namun pada dasarnya pendapat dari

para sarjana atau ahli dibagi dalam dua golongan yaitu “aliran monistis”

dan “aliran dualistis”. Aliran monistis adalah aliran yang melihat

kecenderungan syarat untuk adanya pidana itu, kesemuanya merupakan

sifat dari perbuatan atau dengan kata lain tidak memisahkan antara

perbuatan pidana (criminal act) dengan pertanggungjawaban pidana

(criminal responsibility). Aliran dualistis adalah aliran yang memisahkan

antara pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungan

jawab pidana (criminal responsibility).59

Golongan monistis antara lain :

a. D. Simons; strafbaar feit adalah : “een stafbaar gestelde, on

rechmatige, met schuld verband staande handeling van een toere

keningsvatbaar persoon”. Unsur stafbaar feit adalah : 60

1) Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat

atau membiarkan)

59
Sudarto, 2018, Hukum Pidana I Edisi Revisi, Yayasan Sudarto, Semarang, h. 51.
60
Ibid., h. 51

36
2) Diancam dengan pidana (stafbaar gesteld)

3) Melawan hukum (onrech matig)

4) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)

5) Oleh orang yang mampu bertanggungjawab (toere keningsvatbaar

person).

Simons menyebut adanya unsur obyektif dan unsur subyektif

dari stafbaar feit. 61

1) Unsur obyektif tindak pidana meliputi :

a) Perbuatan orang

b) Akibat yang kelihatan dalam perbuatan tersebut

c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan

tersebut, seperti ketentuan Pasal 281 KUHP yang mengandung

syarat “open baar” (di muka umum).

2) Unsur subyektif tindak pidana meliputi :

1) Orang yang mampu bertanggungjawab

2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa), perbuatan tersebut harus

mengandung kesalahan. Kesalahan yang dimaksud dapat

berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan

keadaan mana perbuatan tersebut dilakukan.

3) Tidak ada alasan pemaaf.

61
Ibid. h.52

37
b. Van Hammel memberikan definisi Strafbaar feit adalah “een wettelijk

omschreven men schelijke gedraging, onrechtmatig, strafwardig en

aan schuld te wijten”. Unsur-unsur strafbaar feit adalah : 62d

1) perbuatan manusia yang dirumuskan dalam Undang-undang

2) melawan hukum

3) dilakukan dengan kesalahan, dan

4) patut dipidana.

c. E. Mezger memberikan definisi bahwa Die straftat ist der inbegrief

der voraussetzungen der strafe” (tindak pidana adalah keseluruhan

syarat untuk adanya pidana). Unsur-unsur tindak pidana adalah:63

1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau

membiarkan)

2) Sifat melawan hukum (bersifat obyektif maupun subyektif)

3) Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang

4) Diancam dengan pidana.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut jelas sekali tidak ada

pemisahan antara criminal act (perbuatan pidana) dengan criminal

responsibility (pertanggungan jawab pidana).

Golongan dualistis antara lain :

a. W.P.J. Pompe

Berpendapat bahwa “menurut hukum positif feit adalah tidak lain

daripada feit, yang diancam pidana dalam ketentuan Undang-undang”


62
Ibid, h.52
63
Ibid., h.53

38
Strafbaar feit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan hukum,

dilakukan dalam kesalahan dan diancam pidana. Dalam hukum positif,

menurut Pompe sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid) dari

kesalahan (schuld) bukanlah sifat mutlak untuk adanya tindak pidana

(strafbaar feit).64

b. Moeljatno

Moeljatno memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan sebagai

perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang diancam dengan

pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Untuk adanya

perbuatan pidana harus ada unsur-unsur : 65

a. Perbuatan (manusia)

b. Yang memenuhi rumusan dalam Undang-undang (syarat formil)

c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

Unsur-unsur tindak pidana tersebut mengisyaratkan bahwa

seseorang yang mampu bertanggung jawab secara hukum dan sifatnya

bertentangan dengan ketentuan dalam undang-undang, perlu syarat

formil sebagai unsur tindak pidana dalam penerapan hukum tindak

pidana dilakukan asas legalitas, sebagaimana diatur dalam ketentuan

Pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu “tiada suatu perbuatan dapat dipidana

kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang

telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Sedangkan syarat materiil

dimaksudkan agar perbuatan yang bersangkutan harus betul-betul

64
Ibid., h. 54
65
Ibid. h. 55

39
dirasakan oleh masyarakat.

40
Rumusan tindak pidana tidak tidak disebutkan secara jelas dalam

KUHP, namun pada KUHP baru (UU Nomor 1 Tahun 2023) yang baru

akan berlaku tiga tahun yang ada datang memberikan definisi tindak

pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 KUHP Baru, yaitu :

(1) Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang-

undangan diancam dengan sanksi pidana dan/ atau tindakan.

(2) Untuk dinyatakan sebagai Tindak Pidana, suatu perbuatan yang

diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan oleh peraturan

perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau bertentangan

dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

(3) Setiap Tindak Pidana selalu bersifat melawan hukum, kecuali ada

alasan pembenar.

Setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai

dengan hukum, menyerang kepentingan masyarakat atau individu yang

dilindungi hukum, tidak disenangi oleh orang atau masyarakat baik yang

langsung atau tidak langsung terkena tindakan itu disebut tindak pidana.

Pada umumnya untuk menyelesaikan setiap tindakan yang sudah dipandang

merugikan kepentingan umum disamping kepentingan perseorangan,

dikehendaki turun tangannya penguasa dan apabila penguasa tidak turun

tangan maka tindakan-tindakan tersebut merupakan sumber kekacauan yang

tidak ada habis-habisnya. Demi menjamin keamanan, ketertiban dan

kesejahteraan dalam masyarakat perlu ditentukan mengenai tindakan yang

dilarang dan diharuskan. Sedangkan pelanggaran terhadap ketentuan

41
tersebut diancam dengan pidana. Singkatnya perlu ditentukan tindakan-

tindakan apa saja yang dilarang dan diharuskan dan ditentukan ancaman

pidananya dalam perundang-undangan.66

B. Tinjauan tentang Tindak Pidana Narkotika

1. Pengertian Narkotika

Narkotika berasal dari perkataan narcotic yang artinya sesuatu

yang dapat menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan efek stupor

(bengong), bahan-bahan pembius dan obat bius. Menurut istilah

kedokteran, narkotika adalah obat yang dapat menghilangkan terutama

rasa sakit dan nyeri yang berasal dari daerah viresal atau alat-alat rongga

dada dan rongga perut, juga dapat menimbulkan efek stupor atau bengong

yang lama dalam keadaan yang masih sadar serta menimbulkan adiksi atau

kecanduan.67

Narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun

semi sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.

Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran, adalah

mengakibatkan daya khayal/halusinasi (ganja), serta menimbulkan daya

rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut dapat menimbulkan

ketergantungan (depend). Narkotika yang dibuat dari alam yang dikenal

66
Barda Nawawi Arief, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta, h. 81
67
Fransiska Novita Eleanora, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha Pencegahan dan
Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis)”, Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, April 2011.

42
adalah candu (opium), ganja dan cocaine.68

Narkotika adalah zat-zat (obat) baik dari alam atau sintetis maupun

semi sintetis yang dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan.

Efek narkotika disamping membius dan menurunkan kesadaran, adalah

mengakibatkan daya khayal/halusinasi (ganja), serta menimbulkan daya

rangsang/stimulant (cocaine). Narkotika tersebut dapat menimbulkan

ketergantungan (depend). Narkotika yang dibuat dari alam yang dikenal

adalah candu (opium), ganja dan cocaine.69

Narkotika menurut penjelasan dari Merriam-Webster sebagaimana

dikutip oleh AR. Sudjono dan Bony Daniel adalah A drug (as opium or

morphine) that in moderate doses dulls the senses, relieves pain, and

induces profound sleep but in excessive doses causes stupor, coma, or

convulsions. Terjemahan bebasnya adalah sebuah obat (seperti opium atau

morfin) yang dalam dosis tertentu dapat menumpulkan indra, mengurangi

rasa sakit, dan mendorong tidur, tetapi dalam dosis berlebihan

menyebabkan pingsan, koma, atau kejang. 70

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009

menyatakan bahwa yang dimaksud narkotika adalah zat atau obat yang

berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi

sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran

hilangnya rasa mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat

68
Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Mandar Maju,
Bandung, hal. 35.
69
Ibid.
70
AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1.

43
menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-

golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang

kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri kesehatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009, narkotika digolongkan menjadi 3 golongan sebagai berikut :

a. Narkotika Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat

dipergunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak

digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi yang sangat tinggi

mengakibatkan ketergantungan. Pada Golongan I dalam Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2009 ada beberapa penambahan bahan dari

golongan I dan beberapa golongan II psikotropika dari ketentuan UU

No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika karena sering terjadi

penyalahgunaan seperti Brolamfetamin, Amfetamin, metamfetamin dan

sebagainya. Pada lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

dinyatakan bahwa Narkotika Golongan I terdiri dari 65 jenis narkotika.

Penambahan pada jenis Narkotika Golongan I ini dikarenakan

digabungkannya jenis Psikotropika Golongan I dan II ke dalam

kategori Narkotika Golongan I. Jenis Psikotropika Golongan I dan II

yang paling banyak diminati oleh para pecandu narkoba adalah jenis

shabu dan ekstasi. Hal ini diperkuat dalam Pasal 153 point b yang

menyatakan bahwa Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I

dan Golongan II sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-

44
Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3671) yang telah dipindahkan

menjadi Narkotika Golongan I menurut Undang-Undang ini, dicabut

dan dinyatakan tidak berlaku.71

b. Narkotika Golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu

pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Menurut Lampiran UU No. 35 Tahun 2009 narkotika

golongan II terdiri dari 86 jenis.

c. Narkotika Golongan III, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan

dan banyak digunakan dalam potensi ringan mengakibatkan

ketergantungan. Menurut Lampiran UU No. 35 Tahun 2009 narkotika

golongan II terdiri dari 14 jenis.

2. Tindak Pidana Narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2009 tentang Narkotika

Tindak pidana narkotika berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009 dapat

digolongkan sebagai berikut :

1) Tindak pidana yang menyangkut produksi narkotika

Tindak pidana yang menyangkut produksi narkotika yang

diatur dalam undang-undang bukan hanya sebatas perbuatan

71
Gatot Supramono, 2007, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, h.200-215.

45
produksinya saja melainkan perbuatan yang sejenis dengan itu, berupa

menananm, memelihara, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi,

merakit dan menyediakan narkotika untuk semua golongan. Kejahatan

yang menyangkut produksi narkotika golongan I diatur dalam Pasal

111, 112, 113, untuk golongan II diatur dalam Pasal 118, dan Pasal

123 mengatur kejahatan produksi narkotika golongan III.

Pasal 111 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam,
memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 112 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00
(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 113 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).

Pasal 118 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00

46
(delapan miliar rupiah).

Pasal 123 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan
Narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

2) Tindak pidana menyangkut jual beli narkotika

Tindak pidana jenis ini bukan hanya berbatas kepada jual beli

dalam arti sempit melainkan termasuk pula perbuatan seperti ekspor,

impor dan tukar menukar narkotika. Hal ini diatur dalam Pasal 113,

114 untuk kejahatan jual beli narkotika golongan I, Pasal 118 untuk

golongan II, dan Pasal 124 untuk golongan III.

Pasal 113 :
Orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).

Pasal 114 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Pasal 118 :
Bahwa setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan

47
Narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan pidana denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00
(delapan miliar rupiah).

Pasal 124 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

3) Tindak pidana menyangkut pengangkutan narkotika

Tindak pidana narkotika termasuk juga perbuatan membawa,

mengirim dan mentransito narkotika. Pengangkutan narkotika

golongan I secara melawan hukum diatur dalam Pasal 115, untuk

golongan II diatur dalam Paal 119 dan 120, sedangkan untuk golongan

III diatur dalam Pasal 125.

Pasal 115 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).

Pasal 119 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara
dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika
Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar
rupiah).

48
Pasal 120 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 125 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa,
mengirim, mengangkut, atau mentransito Narkotika Golongan
III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua)
tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

4) Tindak pidana menyangkut penguasaan narkotika

Tindak pidana penguasaan narkotika golongan I diatur dalam

Pasal 111 dan 112, sedangkan untuk tindak pidana penguasaan

terhadap narkotika golongan II diatur dalam Pasal 117, dan untuk

penguasaan terhadap narkotika golongan III diatur dalam Pasal 122.

Pasal 117 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).

Pasal 122 :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika
Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

5) Tindak pidana menyangkut penyalahgunaan narkotika

49
Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dibedakan menjadi

dua macam, yaitu perbuatan yang ditujukan untuk orang lain dan

perbuatan yang ditujukan untuk diri sendiri. Hal ini diatur dalam Pasal

127 yang menyatakan sebagai berikut :

(1) Setiap penyalah guna :


a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib
menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

6) Tindak pidana narkotika menyangkut tidak melaporkan pecandu

narkotika

Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa, pecandu

narkotika wajib melaporkan dirinya sendiri atau keluarganya yang

melaporkan dirinya kepada pihak yang berwenang. Apabila kewajiban

yang terdapat pada Pasal 55 tidak dipenuhi ataupun tidak dijalankan,

maka dapat merupakan tindak pidana bagi orang tua, wali dan pecandu

yang bersangkutan. Untuk sanksi dari tindak pidana yang disebabkan

orang tua, wali dan pecandu itu sendiri tidak melaporkan pecandu

narkotika karena kewajiban, maka undang-undang menggariskannya

pada Pasal 128 yang meyatakan sebagai berikut :

1) Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) yang
sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan

50
paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling
banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
2) Pecandu Narkotika yang belum cukup umur dan telah
dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.
3) Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) yang sedang menjalani
rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di
rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang
ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
4) Rumah sakit dan/atau lembaga rehabilitasi medis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi
standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

7) Tindak pidana narkotika menyangkut label dan publikasi

Pasal 45 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pabrik

obat diwajibkan mencantumkan label pada kemasan narkotika baik

dalam bentuk obat maupun bahan baku narkotika. Selanjutnya Pasal 46

menyatakan, bahwa untuk dapat dipublikasikan harus dilakukan pada

media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.Bila

tidak dilaksanakan demikian, maka akan dikenakan ketentuan pidana

oleh undang-undang narkotika Pasal 135 sebagai berikut :

Pengurus Industri Farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 40.000.000,00
(empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

8) Tindak pidana narkotika yang berkaitan dengan jalannya peradilan

Proses peradilan meliputi pemeriksaan perkara ditingkat

penyidikan, penuntutan dan pengadilan. Tindak pidana narkotika

terkait proses peradilan diatur dalam Pasal 138 yang menyatakan

51
bahwa setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit

penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana

Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika di muka sidang

pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh)

tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus

juta rupiah).

9) Tindak pidana menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika

Barang bukti dalam tindak pidana narkotika dapat berupa

tanaman yang jumlahnya sangat banyak, hingga barang bukti tersebut

tidak mungkin diajukan ke persidangan seluruhnya. Berdasarkan

ketentuan Pasal 90 UU No. 35 Tahun 2009, barang bukti yang

demikian dilakukan penyisihan yang wajar dan selebihnya barang

bukti itu dimusnahkan. Semua tindakan penyidik tersebut yang berupa

penyitaan, penyisihan dan pemusnahan wajib membuat berita acara

dan dimasukkan kedalam berkas perkara. Apabila tindakan tersebut

tidak dilaksanakan, maka menurut ketentuan Pasal 140 dianggap telah

melakukan tindak pidana. Adapun bunyi dari Pasal 140 adalah sebagai

berikut :

1) Penyidik pegawai negeri sipil yang secara melawan hukum


tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 88 dan Pasal 89 dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
2) Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90,

52
Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat
(2), ayat (3), dan ayat (4) dikenai pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

10) Tindak pidana narkotika menyangkut keterangan palsu

Tindak pidana narkotika menyangkut keterangan palsu diatur

dalam Pasal 143 UU nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa

saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan

perkara tindak pidana Narkotika dan prekursor narkotika di muka

sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1

(satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

11) Tindak pidana menyangkut penyimpangan fungsi lembaga

Lembaga-lembaga yang diberikan wewenang oleh UU No. 35

Tahun 2009 untuk memproduksi, menyalurkan atau menyerahkan

narkotika yang ternyata melakukan suatu tindakan diluar ketentuan

perundang-undangan atau tidak sesuai tujuaan penggunaannya, maka

pimpinan lembaga yang bersangkutan dapat dijatuhi pidana

sebagaimana yang diatur oleh Pasal 147 yang menyebutkan :

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun


dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah), bagi:
a. pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik
pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika
Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan;

53
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam,
membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika
bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi
Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan
Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan
Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan
pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan.

12) Tindak pidana narkotika menyangkut pemanfaatan anak dibawah

umur

Tindak pidana memanfaatkan anak di bawah umur guna

melakukan kegiatan narkotika adalah suatu tindak pidana yang diatur

dalam Pasal 133 sebagai berikut :

1) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan


sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau
membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111,
Pasal 112, Pasal 113, Pasal 114, Pasal 115, Pasal 116, Pasal
117, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121, Pasal 122,
Pasal 123, Pasal 124, Pasal 125, Pasal 126, dan Pasal 129
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
2) Setiap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan
sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan,
memberikan kemudahan, memaksa dengan ancaman,
memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau
membujuk anak yang belum cukup umur untuk
menggunakan Narkotika, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp

54
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

C. Tinjauan tentang Penyidikan

1. Pengertian Penyidik

Penyidik adalah pejabat yang oleh undang-undang ditunjuk atau

ditugaskan untuk melaksanakan penyidikan perkara pidana. Dalam

kalangan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI), khususnya dalam

bidang Reserse Kriminal, pejabat itu juga disebut Reserse.72 Terkait

dengan hal ini, Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa penyidik

adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat Pegawai

Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.

Pengertian mengenai penyidik juga terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia pada

Pasal 1 angka 10 yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk melakukan penyidikan, sedangkan Penyidik

Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan

mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam

lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

72
M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika,h. 109.

55
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 sebagaimana telah

diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang

Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada Pasal 2A

bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik calon harus

memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. berpangkat paling rendah Inspektur Dua Polisi dan


berpendidikan paling rendah sarjana strata satu atau yang
setara;
b. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua)
tahun;
c. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi
fungsi reserse kriminal;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter;
e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

Persyaratan untuk diangkat sebagai PPNS ditentukan dalam Pasal

3A Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 yaitu sebagai berikut :

a. masa kerja sebagai pegawai negeri sipil paling singkat 2 (dua)


tahun;
b. berpangkat paling rendah Penata Muda/golongan III/a;
c. berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain
yang setara;
d. bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
e. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;
f. setiap unsur penilaian pelaksanaan pekerjaan dalam Daftar
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai negeri sipil paling
sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir;
g. mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang
penyidikan.

Selanjutnya menurut Pasal 3C Peraturan Pemerintah Nomor 58

Tahun 2010, selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3A ayat (1), calon pejabat PPNS harus mendapat pertimbangan dari

56
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik

Indonesia. Selain penyidik terdapat juga penyidik pembantu sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 10 KUHAP yang menyebutkan bahwa penyidik

pembantu yaitu pejabat kepolisian yang diangkat oleh Kepala Kepolisian

berdasarkan syarat kepangkatan yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyidik pembantu hanya

berasal dari lingkungan Kepolisian Republik Indonesia yang terdiri dari

pejabat polisi berpangkat tertentu di bawah pangkat penyidik. Pedoman

pelaksanaan KUHAP menjelaskan bahwa latar belakang atau

pertimbangan diaturnya pejabat penyidik pembantu ini pada pokoknya

adalah terbatasnya tenaga POLRI (Serse) berpangkat tertentu sebagai

penyidik. Terutama bagi daerah/Sektor Kepolisian terpencil, masih banyak

yang dijabat anggota POLRI berpangkat Bintara yang bukan Bintara

tinggi.73

Adapun syarat kepangkatan penyidik pembantu diatur dalam Pasal

3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 adalah sebagai

berikut :

a. berpangkat paling rendah Brigadir Dua Polisi;


b. mengikuti dan lulus pendidikan pengembangan spesialisasi
fungsi reserse kriminal;
c. bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat 2 (dua)
tahun;
d. sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat
keterangan dokter; dan
e. memiliki kemampuan dan integritas moral yang tinggi.

73
Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1992, Pedoman Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman, h. 28.

57
2. Tugas dan Wewenang Penyidik

Pada Pasal 7 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa penyidik

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai

wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya

masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah

koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1)

huruf a.

Wewenang Kepolisian sebagai penyidik dalam penyelesaian

perkara pidana, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan

bahwa penyidik mempunyai wewenang sebagai berikut :

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya


tindak pidana.
b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian.
c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka.
d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara.
i. Mengadakan penghentian penyidikan.
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.

Selain diatur dalam KUHAP, wewenang penyidik juga diatur

dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa dalam

58
rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13

dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia

berwenang untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian

perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka

penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau

saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang

berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak

atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka

melakukan tindak pidana;

59
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai

negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri

sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

3. Penyidikan

Penyidikan merupakan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar

dengan pengertian opsporing = menyidik (Belanda) dan investigation

(Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). Menurut Pinto,

sebagaimana dikutip Bambang Tri Bawono meyatakan bahwa menyidik

(opsiporing) berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang

untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan

apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi

sesuatu pelanggaran hukum.”74

Penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk mencari

dan mengumpulkan bukti agar dapat ditemukan tersangka. 75 Penyidikan

menurut K. Wantjik Saleh sebagaimana dikutip Sahuri Lasmadi adalah

“Usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran tentang

apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang melakukan perbuatan

itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta siapakah yang terlibat dengan

74
Bambang Tri Bawono, Tinjauan Yuridis Hak-Hak Tersangka dalam Pemeriksaan
Pendahuluan, Jurnal Hukum, Vol XXVI, No. 2, Agustus 2011, h. 62.
75
Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,
Media Aksara Prima, Jakarta, h. 67

60
perbuatan itu.”76

76
Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana Korupsi
Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 2 Nomor 3, 2010, h. 10

61
Pasal 1 butir 2 KUHAP menyebutkan bahwa penyidikan adalah

serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam

undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya. Dengan demikian, penyidikan dimulai sesudah

terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan-keterangan

tentang : 77

a. Bentuk tindak pidana apa yang terjadi

b. Kapan dan dimana tindak pidana terjadi

c. Bagaimana tindak pidana itu terjadi

d. Apa latar belakang terjadinya tindak pidana

e. Siapa pelaku tindak pidana tersebut.

Penyidikan terhadap suatu tindak pidana biasanya dilakukan

setelah penyidik mengetahui adanya suatu peristiwa yang diduga

merupakan suatu tindak pidana. Disamping itu, penyidikan juga akan

dimulai apabila penyidik menerima laporan ataupun pengaduan tentang

dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana.

Yahya Harahap memberikan penjelasan mengenai penyidik dan

penyidikan yang menyatakan bahwa sebagaimana yang telah dijelaskan

pada pembahasan ketentuan umum Pasal 1 angka 1 dan 2 memberikan

perumusan penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri

atau pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-

77
AR. Sujono dan Bony Daniel, 2011, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, h.148.

62
undang. Sadangkan penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam

undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti, dan dengan

bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana yang terjadi

serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya.”

Andi Hamzah memberikan menyataan definisi penyidikan berdasarkan

ketentuan Pasal 1 butir 2 yaitu, penyidikan dalam acara pidana hanya

dapat dilakukan berdasarkan undang-undang, hal ini dapat disimpulkan

dari kata-kata “menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”. 78

Menyidik berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang

untuk itu ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan

apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi

sesuatu pelanggaran hukum.79

Penyidik mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana melalui

sumber yang dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tertangkap tangan dan

di luar tertangkap tangan. Yang dimaksud dengan tertangkap tangan

menurut Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah tertangkapnya seorang pada

waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah

beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan

oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila

sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah

dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan

bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu


78
M. Yahya Harahap, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2000, h 112.
79
Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, h.118.

63
melakukan tindak pidana itu.

Pengetahun penyidik tentang terjadinya tindak pidana yang

diketahui di luar tertangkap tangan adalah bahwa penyidik mengetahui

adanya tindak pidana dari laporan, pengaduan dan pengetahuan penyidik

sendiri. Pasal 1 butir 24 KUHAP mermuskan laporan adalah

pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau

kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang

tentang telah atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana. Terkait

pengaduan, Pasal 1 butir 25 KUHAP menyebutkan bahwa pengaduan

adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan

kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang

yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya. Setelah

diketahui terjadinya suatu tindak pidana, apakah itu karena tertangkap

tangan, menerima laporan, menerima pengaduan ataupun mengetahui

secara langsung maka penyidik segera melakukan tindakan penyidikan.

Berdasarkan hasil penyidikan, maka ada dua kemungkinan sikap

penyidik yaitu meneruskan penyidikan atau menghentikan penyidikan.

Apabila penyidik berpendapat bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada

penyidikan itu dapat diteruskan, dan penyidik mulai mengambil tindakan

yang diperlukan sesuai dengan wewenangnya sebagaimana yang tersebut

dalam Pasal 7 KUHAP. Setiap tindakan penyidik tersebut dibuatkan berita

acaranya. Pengertian tentang apa yang dimaksud dengan berita acara tidak

dijelaskan oleh KUHAP.

Setelah penyidikan suatu tindak pidana selesai, maka menurut

64
Pasal 8 KUHAP penyidik menyerahkan berkas perkara kepada Penuntut

Umum. Jika dalam waktu 14 hari Penuntut Umum tidak mengembalikan

hasil penyidikan atau sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada

pemberitahuan tentang hal ini dari Penuntut Umum kepada penyidik, maka

penyidikan itu dianggap telah selesai (Pasal 110 ayat (4) KUHAP).

Pemeriksaan penyidikan baru dapat dilaksanakan penyidik setelah

dapat mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang

diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya

peristiwa tindak pidana pembunuhan atau oleh karena berdasarkan laporan

ataupun berdasarkan pengaduan dan menduga peristiwa itu merupakan

suatu tindak pidana, maka penyidik wajib segera melakukan tindakan

penyidikan yang diperlukan, dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan

itu adalah pemeriksaan langsung tersangka saksi-saksi maupun ahli.

Langkah yang harus diambil pada saat memulai penyidikan,

pejabat penyidik perlu mengingat adanya kewajiban yang harus

diperhatikan dan dilaksanakan sebelum memulai penyidikan dan

pemeriksaan terhadap tersangka, yang paling pokok diantaranya wajib

memberitahu penuntut umum dan wajib memberitahu tersangka tentang

haknya. Pada pemeriksaan tindak pidana tidak hanya tersangka saja yang

harus diperiksa, adakalanya diperlukan pemeriksaan saksi atau ahli demi

untuk terang dan jelasnya peristiwa tindak pidana pembunuhan yang

disangkakan.80

80
Husein Harum M, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 1991, hlm. 8.

65
Sehubungan dengan pemeriksaan tersangka, undang-undang telah

memberi beberapa hak perlindungan terhadap hak asasinya serta

perlindungan terhadap haknya untuk mempertahankan kebenaran dan

pembelaan diri yaitu hak tersangka untuk segera mendapat pemeriksaan

oleh penyidik, hak tersangka wajib untuk diberitahukan dengan jelas

dalam ahasa yang dimengerti tentang apa yang disangkakan kepadanya

pada waktu pemeriksaan dimulai. Sebagai penyidik, polisi dibatasi oleh

rambu-rambu sebagaimana diatur dalam Pasal 6 KUHAP yang selanjutnya

kewenangannya selaku penyidik disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1)

KUHAP.

Berdasarkan hasil penyidikan, maka ada dua kemungkinan sikap

penyidik yaitu meneruskan penyidikan atau menghentikan penyidikan.

Apabila penyidik berpendapat bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada

penyidikan itu dapat diteruskan, dan penyidik mulai mengambil tindakan

yang diperlukan sesuai dengan wewenangnya sebagaimana yang tersebut

dalam Pasal 7 KUHAP. Tindakan penyidikan tersebut meliputi :

a. Penangkapan

Menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu

tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan

tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna

kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal

serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

66
b. Penahanan

Pasal 1 angka 21 KUHAP menyatakan bahwa penahanan adalah

penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik

atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

c. Pemeriksaan terhadap saksi

Menurut Pasal 1 angka 26, saksi adalah orang yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan

tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan

ia alami sendiri.

d. Pemeriksaan terhadap tersangka

Menurut Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka adalah seorang yang

karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan

patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

e. Analisis kasus

Berdasarkan hasil pemeriksaan selanjutnya penyidik akan menentukan

unsur-unsur tindak pidana apa sajakah yang terpenuhi oleh pelaku.

D. Tindak Pidana Narkotika Menurut Hukum Islam

Tindak pidana dalam hukum Islam disebut dengan jinayah yakni suatu

tindakan yang dilarang oleh syara‟ karena dapat menimbulkan bahaya bagi

jiwa, harta, keturunan, dan akal (intelegensia). Pengertian dari istilah jinayah

mengacu pada hasil perbuatan seseorang dan dalam pengertian tersebut

67
terbatas pada perbuatan yang dilarang. Umumnya para fuqaha menggunakan

istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam

keselamatan jiwa seperti pemukulan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu

ada fuqaha yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan yang

diancam dengan hukuman hudud dan Qishash, tidak termasuk perbuatan-

perbuatan yang diancam dengan hukuman ta‟zir, istilah lain yang sepadan

dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara‟ yang

diancam Allah dengan hukuman had atau ta‟zir.81

Syari‟at islam memerangi dan mengharamkan segala hal yang

memabukkan dan segala bentuk narkoba dengan berbagai macam dan jenisnya

yang beragam. Karena barang-barang itu mengandung bahaya yang nyata bagi

manusia; kesehatan, akal, kehormatan, reputasi, prestis, dan nama baiknya.

Khamar dan segala macam jenisnya telah diharamkan secara jelas dan

tegas dalam Alquran. Namun, obat-obatan terlarang seperti narkotika tak

disebutkan dalam Alquran maupun hadis.

Adapun dalil al Qur‟an yang mengharamkan narkoba adalah ayat

berikut:

81
Yandi Maryandi, 2017, Gagasan Pemberlakuan Pidana Islam di Indonesia, Jurnal
Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, h. 25

68
Artinya : “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang
mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka
segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan
membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya,
menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya
(Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-A‟raf: 157)

Jadi sangat jelas bahwa segala macam yang buruk telah diharamkan

oleh Allah subhanahu wa ta‟ala. Lantas bagaimana cara mengetahui perkara

yang buruk tersebut? Tidak lain dan tidak bukan yaitu dengan al-Qur‟an dan

al-Hadits, kemudian juga dengan akal yang masih sehat.

Rasulullah saw bersabda, “laa dharara wa laa dhirar.” Maksud hadist

ini adalah, tidak boleh menimbulkan kemudharatan dan bahaya terhadap diri

sendiri atau orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh membahayakan

dirinya sendiri atau orang lain tanpa alasan yang benar dan tanpa adanya

69
tindak kejahatan sebelumnya. Juga, tidak boleh membalas kemudharatan

dengan kemudharatan yang lain, karena itu, apabila ada seorang mencaci-

maki, maka janganlah membalasnya dengan cacaian yang serupa.

Dalam Islam, narkotika dan obat-obatan terlarang, seperti ganja,

heroin, dan lainnya disebut dengan istilah mukhaddirat. Hukum mengonsumsi

benda-benda ini, apa pun bentuknya, telah disepakati keharamannya oleh para

ulama. Tak ada satu pun ulama yang menyelisihkan keharaman mukahddirat

tersebut.

Para ulama mengqiyaskan hukum mukhaddirat pada hukum khamar.

Mereka berdalil dengan hadis yang dikemukakan Umar bin Khattab RA,

"Khamar adalah segala sesuatu yang menutup akal.Tak diragukan lagi,

narkotika bisa mengacaukan, menutup, dan mengeluarkan akal dari tabiatnya

yang dapat membedakan antara sesuatu dan mampu menetapkan sesuatu.

Benda-benda ini akan memengaruhi akal dalam menghukumi atau

menetapkan sesuatu sehingga terjadi kekacauan dan ketidaktentuan, yang jauh

dipandang dekat dan yang dekat dipandang jauh.

Yusuf Qardhawi dalam kumpulan fatwa kontemporernya

menerangkan, akibat yang ditimbulkan pemakai narkotika sama saja dengan

orang yang mabuk karena khamar. Sering kali terjadi kecelakaan lalu lintas

sebagai akibat dari pengaruh benda-benda memabukkan itu. Hal ini bukti

hilangnya kesadaran seseorang akibat narkotika. Lebih lanjut, Qardhawi

menerangkan, kalau barang-barang mukhaddirat tersebut tidak dimasukkan

dalam kategori khamar atau memabukkan, ia tetap haram dari segi

melemahkan (menjadikan loyo). Banyak orang yang memang tidak mabuk

70
mengonsumsi narkoba. Namun, tubuh mereka akan menjadi lemah dan

memiliki efek halusinasi.

Berkenan dengan tindak pidana narkotika atau khamar bentuk

hukuman (sanksi) menjadi dua bagian yaitu :

1. Sanksi hukum bagi pengonsumsi atau pecandu

Sanksi hukum yang diberlakukan kepada peminum/pengonsumsi

khamar adalah ḥadd, yaitu didera (jilid) sebanyak 40 kali. Hal ini

didasarkan atas hadits Nabi Saw yang artinya : “Diriwayatkan dari Anas

bin Malik ra, sesungguhnya Nabi Saw kedatangan seorang laki-laki yang

telah meminum khamar kemudian Nabi Saw, menjilidnya dengan dua

pelepah kurma sebanyak empat puluh kali. Anas berkata: dan Abu Bakar

juga melakukannya (empat puluh kali jilid). Ketika Umar menemui

peminum khamar, maka Abdurrahman bin „Auf berkata: seringan-

ringannya ḥudūd (batas hukuman meminum khamar) adalah delapan puluh

kali, kemudian Umar memerintahkan (had meminum khamar) sebanyak

delapan puluh kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).82

Penerpan ḥadd bagi peminum khamar para sahabat menderanya

dengan menggunakan pelepah kurma, sebagaimana dalam diriwayatkan

dalam hadits riwayat Bukhari yang artinya “Dari Uqbah bin Harist ra,

katanya, telah didatangkan Nu‟aiman atau Ibnu Nu‟aimah, karena itu

minum yang memabukkan, maka Rasulullah Saw, memerintahkan kepada

orang yang di dalam rumah supaya memukulnya, maka Uqbah saja juga

82
Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, 2009, Subulus Salam Syarah Bulughul
Maram, Jilid 3, Darussunnah Press, Jakarta Timur, h. 449

71
diantara orang-orang yang memukulnya lalu ia dipukul dengan terompah

dan pelepah kurma,”83

Jelaslah bahwa hukuman yang disyariatkan terhadap peminum

khamar adalah pukulan yang dimaksudkan untuk menghinakan si

peminum, menghardiknya dan membuat orang-orang menjauhi perbuatan

itu. Sedangkan pukulan sebanyak 40 atau 80 kali adalah ijtihad dari para

khalifah. Abu Bakar memilih 40 kali, sedangkan Umar 80 kali berdasarkan

kesepakatan Abdurrahman bin Auf yang menyerupakan dengan ḥadd

menuduh wanitawanita muḥṣanāt (yang memelihara diri). Sedangkan jika

yang bersangkutan berulang kali mengonsumsi khamar maka hukumannya

ditingkatkan menjadi hukum mati.

Hadits di atas menunjukkan bahwa peminum khamar yang

mudaratnya yang ditimbulkannya hanya sebatas dirinya saja, keempat

kalinya ia harus dihukum mati. Tentunya yang lebih dari itu, yaitu bagi

para pedagang atau pemasok yang sudah jelas-jelas menimbulkan mudarat

lebih luas tidak hanya menimpa perorangan, lebih layak mendapat vonis

mati daripada peminum khamar.

2. Sanksi hukum bagi pengedar narkotika

Syariat Islam tidak hanya menjatuhkan hukuman atas penggunaan

barang memabukkan semata, namun seluruh pihak yang terlibat dalam

kasus penyalahgunaan juga terkena sanksi hukum. Abu Daud

83
Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq, 1427 H, Nailul Authar min Asrar Muntaqa al-
Akhbar, Dar Ibn Taimiyah, Riyadh, h. 165.

72
meriwayatkan dalam Sunannya dari Ibnu Umar ia berkata, Rasulullah Saw

bersabda yang artinya : “Allah melaknat pemabuk khamar, penuang,

penjual, pembeli, pemeras anggur, yang meminta diperaskan, yang

membawa dan yang dibawakan,” (HR. Abu Dawud).

73
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum terhadap Tindak Pidana Narkotika di Polrestabes

Semarang

Kota Semrang masih menjadi kota tertinggi peredaran narkoba di Jawa

Tengah. Hal ini sebagaiimana data dari Badan Narkotika Nasional Provinsi

(BNNP) Jawa Tengah (Jateng).84 Kondisi tersebut merupakan salah satu

pekerjaan rumah yang menjadi prioritas bagi Polri khususnya Polrestabes

Semarang. Upaya penegakan hukum telah dilakukan, namun tetap saja tindak

pidana narkotika masih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang

menunjukan jumlah kasus narkotika di Polrestabes Semarang sebagai berikut :

Tabel
Data Jumlah Kasus Narkotika di Polrestabes Semarang
Tahun 2020 s/d 2021
No Tahun Jumlah kasus Jumlah tersangka
1 2020 172 217
2 2021 185 282
3 2022 183 239
Sumber : Polres Semarang, 2023

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui jumlah kasus narkotika di

Polrestabes Semarang pada tahun 2020 sebanyak 172 kasus dengan jumlah

tersangka 217 orang, sedankan pada tahun 2021 jumlah kasus narkotika

84
BNN Ungkap Semarang Peringkat Pertama Peredaan narkba di Jateng,
https://news.detik.com, diakses 20 Febuari 2023.

74
meningkat menjadi 182 kasus dengan jumlah tersangka 282orang, dan pada

tahun 2022 jumlah kasus narkotika sebanyak 183 kasus dengan jumlah

tersangka sebanyak 239 orang. Data tersebut menggambarkan bahwa

meskipun kasus narkotika turun pada tahun 2022 dibandingkan dengan tahun

2021, namun pelaku yang terlibat dalam tindak pidana tersebut masih banyak.

Hasil penelitian di Polrestabes Semarang menyebutkan bahwa

penyebab tingginya kasus narkotika di wilayah hukum Polrestabes Semarang

di duga adanya faktor-faktor seperti faktor lingkungan, yaitu banyaknya

remaja Kota Semarang yang mengikuti teman sebaya, hal tersebut merupakan

faktor risiko tertinggi penyalahgunaan narkoba pada remaja. Banyak remaja

yang ikut-ikutan teman atau agar diterima di pergaulan. Selain itu adalah

kurangnya lapangan pekerjaan sehingga mengakibatkan banyaknya

pengangguran. Akibatnya ada sebagian masyarakat yang tergiur untuk

menjadi kurir narkotika ataupun terlibat dalam jual beli narkotika untuk

memperoleh pendapatan.85

Upaya penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika sudah

dilakukan semaksimal mungkin, namun tindak pidana narkotika masih tetap

marak terjadi. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk

tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai

pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.86 Penegakan hukum adalah segala

85
Hasil wawancara dengan AKP Damuri, selaku Kasubnit 2 Satresnarkoba Polrestabes
Semarang, 6 Februari 2023.
86
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, http://www.jimly.com, diakses 16
Februari 2023.

75
daya dan upaya untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum di dalam kehidupan

masyarakat, sehingga dengan demikian dapat terlaksana tujuan hukum dalam

masyarakat berupa perwujudan nilai-nilai keadilan, kesebandingan, kepastian

hukum, perlindungan hak, ketentraman masyarakat dan lain-lain.87

Penegakan hukum bertujuan untuk tegaknya hukum, tercapainya

kepastian hukum, dan terwujudnya keadilan. Apabila penegakan hukum

buruk, maka mustahil tujuan itu tercapai. Penegakan hukum sebagai suatu

proses dimulai pada saat peraturan hukum dibuat atau diciptakan oleh

pembuat peraturan hukum. Perumusan pikiran pembuat peraturan yang

dituangkan dalam peraturan hukum akan ikut menentukan bagaimana

penegakan hukum itu dijalankan. Kegagalan atau keberhasilan penegak

hukum dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan atau ditegakkan

itu dibuat. Jika pembuat peraturan hukum membuat peraturan hukum yang

sulit dilaksanakan, maka artinya pembuat peraturan ikut mempengaruhi

kegagalan para penegak hukum dalam menjalankan peraturan hukum

tersebut.88

Penegakan hukum pidana merupakan rangkaian proses menerapkan

nilai-nilai, ide, dan cita hukum yang bersifat abstrak menjadi tujuan hukum.

Sebagai bagian dari politik kriminal, maka tujuan umum dari hukum pidana

dalam segala aspeknya adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai

87
Munif Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Bandung
: Citra Aditya Bakti, h. 39.
88
Abdul Rachmat Budiono, Manajemen Penegakan Hukum, Jurnal Humaniora &
Pendidikan. Vol 2 No. 1, Pebruari, 2010.

76
kesejahteraan masyarakat.89 Sebagaimana diketahui bahwa salah satu fungsi

hukum sebagaimana dikemukakan Soerjono Soekanto adalah hukum sebagai

mekanisme pengendalian sosial, yang mana merupakan fungsi yang telah

direncanakan dan bersifat memaksa agar anggota masyarakat mematuhi

norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang sedang berlaku.90

Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan

perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat

terlaksana, apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga

keselarasan, keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang

didasarkan oleh nilai-nilai actual di dalam masyarakat beradab. Sebagai proses

kegiatan yang meliputi berbagai pihak termasuk masyarakat dalam rangka

pencapaian tujuan adalah keharusan untuk melihat penegakan hukum pidana

sebagai suatu sistem peradilan pidana.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes

Semarang dilakukan melalui upaya preventif dan represif.91 Hal ini sejalan

dengan pendapat Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa penegakan

hukum adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan secara rasional,

memenuhi rasa keadilan dan berdaya guna. Dalam rangka menanggulangi

kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan

kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana,

89
Angga Dwi Arifian, Sri Kusriyah, The Investigation on Criminal Acts of Corruption in the
Jurisdiction of Rembang Police, Law Development Journal, Volume 3 Issue 3, September 2021,
h.461.
90
Tim Hukum Online, Upaya Preventif dan Represif dalam Penegakan Hukum,
https://www.hukumonline.com, diakses 20 Februari 2023.
91
Wawancara dengan AKBP Edy Sulistiyanto selaku Kasatresnarkoba Polrestabes
Semarang, tanggal 2 Februari 2023

77
yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana

dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik

hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-

undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu

dan untuk masa-masa yang akan datang.92 Oleh karena itu, perlakuan dalam

penegakan hukum tidak hanya memberikan hukuman saja melalui pidana,

tetapi juga melakukan penegakan hukum yang bersifat pencegahan agar tidak

terjadi kejahatan yang serupa.

Penegakan hukum non penal (Upaya preventif) adalah upaya

pencegahan yang menekankan pada usaha untuk menghilangkan kesempatan

untuk terjadinya tindak pidana narkotika.93 Hal ini sejalan dengan ketentuan

Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang

menyatakan bahwa Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

mengutamakan tindakan pencegahan.

Upaya preventif dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana

narkotika dilaksanakan melalui kegiatan sosialisasi atau penyuluhan kepada

masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan narkotika baik di lingkungan

sekolah maupun di lingkungan masyarakat umum. Selain itu juga membuat

selebaran himbauan tentang bahaya narkoba. Polrestabes Semarang juga

melakukan kegiatan bimbingan dan penyuluhan/sosialisasi bahaya narkoba

yang terdiri dari binluh kepada masyarakat yang sedang melaksanakan

rehabilitasi dan Pembagian brosur/pamplet tentang bahaya narkoba.


92
Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti,
Bandung, h. 109.
93
M.Ali Zaidan, 2016, Kebijakan Kriminal, Jakarta : Sinar Grafika, h. 112.

78
Polrestabes Semarang juga melakukan bimbinan dan penyuluhan kepada

eks/mantan pengguna narkoba serta kegiatan kampanye anti narkoba melalui

media cetak, media elektronik dan medsos. 94

Kegiatan lain yang dilakukan oleh Polrestabes Semarang adalah

melalukan operasi narkoba, yaitu Operasi Candi Antik 2021 dan Operasi

Bersinar 2022 yang digelar Polda Jateng. Operasi gabungan terdiri dari Satgas

Preemtif, Satgas Banops dan Satgas Gakkum yang melaksanakan sejumlah

kegiatan razia dengan sasaran tempat hiburan malam di Kota Semarang. razia

di tempat hiburan juga dilakukan razia di terminal bus, dan pelabuhan.

Selanjutnya kegiatan yang dilakukan adalah pencegahan, dan penyuluhan

bahaya narkoba.95

Penegakan hukum penal (upaya represif) merupakan upaya terakhir

setelah terjadinya tindak pidana narkotika. Dalam hal ini dilakukan

serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan. Penegakan hukum

terhadap tindak pidana narkotika melalui penyelidikan dan penyidikan

berpedoman KUHAP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika, dan Perkap Polri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak

Pidana.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika merupakan

perkara yang didahulukan dari perkara lain. Hal ini sebagiamana tertuang

dalam ketentuan Pasal 74 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

94
Wawancara dengan AKBP Edy Sulistiyanto selaku Kasatresnarkoba Polrestabes
Semarang, tanggal 2 Februari 2023
95
Wawancara dengan AKBP Edy Sulistiyanto selaku Kasatresnarkoba Polrestabes
Semarang, tanggal 2 Februari 2023

79
tentang Narkotika yang menyatakan, bahwa perkara penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika, termasuk perkara yang

didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian

secepatnya. Penegakan hukum tindak pidana narkotika dimulai dari tingkat

penyelidikan dan penyidikan dimana aparat yang berwenang melakukan

tindakan penyelidikan dan penyidikan adalah pihak kepolisian.

Penegakan hukum penal melalui tindakan penyelidikan dan penyidikan

tidak selalu dilanjutkan ke tahap penuntutan, karena apabila memenuhi syarat

diselesaikan berdasarkan restorative justice (keadilan restoratif), yang mana

terhadap pelaku dilakukan rehabilitasi. Sebagai pedoman penyelesaian

restorative justice pada pengakan hukum narkotika adalah Peraturan

Kepolisian Republik Indonesia (Perpol) Nomor 8 Tahun 2021 tentang

Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

Penegakan hukum narkotika berdasarkan restorative justice harus

memenuhi umum meliputi materiil sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Perpol

Nomor 8 Tahun 2021 adalah sebagai berikut :

a. tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat;

b. tidak berdampak konflik sosial;

c. tidak berpotensi memecah belah bangsa;

d. tidak bersifat radikalisme dan separatisme;

e. bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan;

f. bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara,

tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

80
Selain persyaratan umu, juga harus memenuhi persyaratan khusus

sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Perpol Nomor 8 Tahun 2021 yaitu :

a. Pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba yang mengajukan

Rehabilitasi,

b. Pada saat tertangkap tangan :

1. Ditemukan barang bukti Narkoba pemakaian 1 (satu) hari dengan

penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

2. Tidak ditemukan barang bukti tindak pidana narkoba, namun hasil tes

urine menunjukkan positif narkoba;

c. Tidak terlibat dalam jaringan tindak pidana narkoba, pengedar dan/atau

Bandar

d. Telah dilaksanakan asesmen oleh tim asesmen terpadu

e. Pelaku bersedia bekerjasama dengan penyidik Polri untuk melakukan

penyelidikan lanjutan.

Hasil penelitian di Polrestabes Semarang, penegakan hukum terhadap

tindak pidana narkotika tidak banyak yang selesaikan berdasarkan restortive

justice. Hal ini karena kasus yang ditangani oleh Polrestabes Semarang

kebanyakan adalah kasus peredaran gelap narkotika sehingga tidak dapat

diselesaikan melalui restorative justice.96

Bahaya narkotika sangat luar biasa bagi bagi masa depan generasi

penerus bangsa. Hal ini karena apabila pelaku sudah ketergantungan akan

96
Hasil wawancara dengan AKP Damuri, selaku Kasubnit 2 Sat Resnarkoba Polrestabes
Semarang, 6 Februari 2023

81
berdampak ke tindak pidana lain. Hal ini tentu dapat menganggu keamanan

dan ketertiban masyarakat. Oleh karenanya, Polrestabes Semarang berupaya

melakukan berbagai upaya pencegahan dengan edukasi dan sosialisasi bahaya

penyalahgunaan narkoba kepada masyarakat. Namun hal tersebut

membutuhkan peran aktif dari masyarakat untuk ikut memerangi narkotika.

hal ini sebagaimana amanah Pasal 104 Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 yang menyatakan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang

seluas-luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan

pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor

Narkotika. Pasal 105 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menentukan

bahwa masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya

pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap

narkotika dan prekursor narkotika.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas

penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, karena tanpa dukungan

masyarakat maka segala usaha, pada dan kegiatan penegakkan hukum akan

mengalami kegagalan. Pada prakteknya, masyarakat yang diharapkan turut

membantu pemberantasan narkotika belum sesuai harapan. Banyak

masyarakat yang acuh terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika.

Masyarakat beranggapan bahwa penyalahgunaan narkotika yang terjadi di

lingkungannya adalah merupakan tanggung jawab aparat penegak hukum dan

bukan tanggungjawabnya. Hal ini juga dipengaruhi oleh pola kehidupan

masyarakat perkotaan yang cenderung individualistis, sehingga tidak

82
menyadari seandainya tetangganya terlibat dalam tindak pidana narkotika.97

97
Ibid

83
Pihak aparat penegak hukum sendiri pada kondisi tertentu juga

mengalami hambatan dalam penegakan hukum tindak pidana narkotika. Salah

satu kasus yang dialami adalah dalam pelaksanaan pemeriksaan penyidikan di

Polrestabes Semarang suatu ketika pelaku diduga mengalami gangguan

kejiwaan sedangkan penyidik tidak mempunyai keterampilan atau ilmu

pengetahuan tentang kejiwaan dan psikiatri sehingga proses pemeriksaan

menjadi terhambat dan membutuhkan waktu yang lama. Oleh karenanya, Sat

Resnarkoba Polrestabes Semarang mengikutkan anggotanya untuk mengikuti

pendidikan dan pengembangan (DIKBANG) dalam penanganan kasus Tindak

Pidana Narkotiba yang diselenggarakan oleh Pusat atau Mabes Polri terhadap

anggota penyidik yang menangani kasus narkotika. Kondisi-kondisi tersebut

turut mempengaruhi upaya penegakan hukum tindak pidana narkotika di

Polrestabes Semarang.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa penegakan hukum

terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes Semarang dilakukan melalui

penegakan hukum penal (represif) dan penegakan hukum non penal

(preventif). Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika tersebut

sejalan dengan teori penegakan hukum Soerjono Soekanto yang menyatakan

bahwa inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan

hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah dan

mengejawantah dalam sikap dan tindakan untuk menciptakan, memelihara,

dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.98 Penegakan hukum

98
Soerjono Soekanto, Op.Cit, h. 5.

84
terhadap tindak pidana narkotika baik secara penal maupun non penal

bertujuan untuk memerangi narkoba sehingga tercipta kedamaian dan

kesejahteraan hidup.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes

Semarang dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagaimana dikemukakan oleh

Soerjono Soekanto yaitu faktor undang-undang, faktor penegak hukum, faktor

sarana dan prasarana, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.

Faktor undang-undang merupakan faktor pendukung terhadap

penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes Semarang.

Dalam upaya penegakan hukum tindak pidana narkotika, peraturan

perundang-undangan telah memberikan rumusan yang jelas mengenai

penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana narkotika sebagaimana

diatur dalam KUHAP, Perkap Polri Nomor 16 Tahun 2019 tetang Penyidikan

Tindak Pidana serta Perpol Nomor Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Sedangkan

hukum materiil yang memuat tindak pidana narkotika sudah diatur dalam UU

Nomor 35 Tahun 2009 sebagai pedoman dalam menyimpulkan pasal yang

dilanggar oleh pelaku yang akan disangkakan kepada tersangka.

Faktor penegak hukum, dalam hal ini adalah Satresnarkoba

Polrestabes Semarang sebagai penyelidik maupun penyidik. Dalam hal ini

kurangnya kemampuan penyidik dalam menangani pelaku tindak pidana yang

memiliki penyakit tertentu misal kejiwaan. Hal ini merupakan faktor

penghambat dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika.

85
86
Faktor sarana dan prasarana dalam penegakan hukum tindak pidana

narkotika di Polrestabes Semarang sudah cukup mendukung. Dari segi

anggaran sudah memadai dimanaa biaya penyidikan dianggarkan dari DIPA.

Faktor masyarakat dalam hal ini kurang mendukung penegakan hukum

terhadap tindak pidana narkotika. Peran serta masyarakat dalam

pemberantasan tindak pidana narkotika masih rendah dan belum sesuai

harapan, dimana masyaarakat masih acuh dan menganggap bahwa

pemberantsan tindak pidana narkotika merupakan tanggung jawab aparat

penegak hukum.

Faktor kebudayaan, dalam hal ini adalah adanya budaya hidup

masyarakat perkotaan yang indiviualistis. Faktor kebudayaan masyarakat

kurang mendukung dalam proses penegakan hukum tindak pidana narkotika.

Akibatnya masyarakat tidak peduli dengan lingkungan sekitarnya, kurang

saling mengenal tetangga, sehingga tidak tahu seandainya tetangganya adalah

pelaku tindak pidana narkotika atau lingkunganya menjadi lokasi transaksi

narkotika.

B. Proses Penyidikan dalam Rangka Penegakan Hukum Narkotika di

Polrestabes Semarang

Penegakan hukum pidana secara represif terhadap tindak pidana

narkotika di Polrestabes Semarang adalah melalui tindakan penyidikan.

Berdasarkan hasil penelitian di Polrestabes Semarang, penyidikan terhadap

tindak pidana narkotika dilaksanakan setelah sebelumnya dilakukan

87
penyelidikan terhadap tindak pidana narkotika. Penyelidikan dalam tidak

pidana narkotika didasarkan pada laporan, ataupun didasarkan pada

pengembangan kasus yang sudah pernah ada sebelumnya.99

Untuk mengetahui proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum

narkotika di Polrestabes Semarang, berikut diuraikan contoh kasus dalam LP

Nomor : LP/A/23/I/2022/SPKT.SATRESNARKOBA/POLRESTABES

SEMARANG/ POLDA JAWA TENGAH

Perkara :

Tindak pidana setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menjadi perantara dalam jual beli atau memiliki, menyimpan, menguasai

narkotika golongan I bukan tanaman jenis sabu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 114 ayat (1) subsider Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009

tentang Narkotika yang terjadi pada hari Kamis tanggal 6 Januari 2022 sekira

pukul 15.40 WIB di Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat

Kota Semarang, yang dilakukan oleh AAI. Awalnya tim opsnal mendapat

informasi bahwa di Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat

Kota Semarang sering digunakan untuk transaksi jual beli narkotika jenis

sabu. Kemudian team melakukan penyelidikan dan penangkapan serta

melakukan penggeledahan pada hari Kamis tanggal 6 Januari 2022 sekira

pukul 15.40 WIB di Jl.Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat

Kota Semarang terhadap AAI ditemukan 1 (satu) buah bungkus bekas rokok

Djarum 76 yang didalamnya terdapat 1 (satu) buah plastik klip kecil berisi

99
Hasil wawancara dengan AKP Damuri, selaku Kasubnit 2 Sat Resnarkoba Polrestabes
Semarang, 6 Februari 2023

88
narkotika jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu yang di

simpan di dashboard sepeda motor sebelah kanan yang merupakan milik

MBAK kemudian ditemukan 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya

terdapat 1 (satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram yang di simpan di dashboard sepeda motor sebelah kiri yang

merupakan milik terlapor. Awalnya terlapor mendapat pesanan dari MBAK

paket sabu dengan harga Rp 1.000.000,-kemudian terlapor membeli sabu

kepada AN dengan cara mentransfer ke rekening BCA 7960916438 SNP,

setelah itu mendapatkan letak sabu yang terletak di Jl. Tawangmas, setelah itu

diambil sabu tersebut yang beratnya ± 1 (satu) gram, kemudian oleh terlapor

dibagi menjadi 2 (dua) paket yang berat 0,50990 gram untuk MBAK dan yang

berat 0,15752 gram merupakan keuntungan yang didapat oleh terlapor.

Fakta-fakta :

1. Pemanggilan : tidak dilakuan

2. Perintah membawa : tidak dilakukan

3. Penangkapan : dengan surat perintah penangkaan dilakukan penangkapan

terhadap tersangka AAI dengan dibuatkan berita acara penangkapan.

4. Penahanan : dengan surat perintah penahanan dilakukan penahanan

terhadap tersangka AAI dengan dibuatkan berita acara penahanan

5. Penggeledahan : dengan surat perintah penggeledahan telah dilakukan

penggeledahan terhadap tersangka AAI dengan dibuatkan berita acara

penggeledahan.

6. Penyitaan : dengan Surat Perintah Penyitaan dari AAI telah dilakukan

89
penyitaaan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76 yang didalamnya

terdapat 1 (satu) buah plastik klip kecil berisi narkotika jenis sabu yang

dibungkus tisu,

b. 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya terdapat 1 (satu) buah

plastik yang berisi narkotika jenis sabu,

c. 1 (satu) buah handphone merk OPPO A16 warna silver dengan nomor

081216794386,

d. 1 (satu) buah sepeda motor merk Honda Beat warna merah dengan

nopol H-5528-DJ berikut STNK,

e. 1 (satu) buah kartu ATM BCA

f. 1 (satu) buah tube berisi urine milik tersangka.

7. Keterangan saksi :

a. Saksi AR, anggota Polri bersama dengan team yang melakukan

penangkapan terhadap AAI, menerangkan bahwa awalnya unit III

Satresnarkoba Polrestabes Semarang, mendapatkan informasi bahwa

disekitar Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Semarang sering digunakan

untuk transaksi narkotika jenis sabu. Pada hari Kamis tanggal 6 Januari

2022 sekira pukul 14.00 WIB saksi dan team melakukan patroli di

sekitar Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Semarang. Kemudian sekitar

pukul 15.40 WIB kami melihat seorang laki-laki yang mencurigakan

sedang berada di pinggir Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec.

Semarang Barat Kota Semarang sedang duduk diatas sepeda motor,

90
kemudian kami mendekati laki-laki tersebut dan kami

memperkenalkan bahwa kami anggota Satresnarkoba Polrestabes

Semarang dan menanyakan tujuan berada di tempat tersebut tetapi saat

itu jawabnnya mencurigakan. Team kemdian melakukan penangkapan

terhadap laki-laki tersebut yang diketahui bernama AAI setelah itu

dilakukan penggeledahan ditemukan barang bukti berupa ditemukan

barang bukti berupa 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76

yang didalamnya terdapat 1 (satu) buah plastik klip kecil berisi

narkotika jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu

yang di simpan di dashboard sepeda motor sebelah kanan kemudian

ditemukan 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya terdapat 1

(satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram yang di simpan di dashboard sepeda motor sebelah kiri.

b. Saksi YS, memberikan keterangan yang pada pokoknya sama dengan

keterangan saksi AR, karena merupakan anggota team yang ikut

melakukan penangkapan terhadap tersangka AAI.

c. Saksi MS, memberikan keterangan bahwa awalnya pada hari Kamis

tanggal 6 Januari 2022 sekira pukul 15.40 WIB pada saat melintas di

Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang

saat itu dipanggil oleh pihak kepolisian untuk menyaksikan

penggeledahan terhadap seorang laki-laki yang bernama AAI

kemudian dilakukan penggeledahan terhadap AAI ditemukan barang

bukti berupa 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76 yang

91
didalamnya terdapat 1 (satu) buah plastik klip kecil berisi narkotika

jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu yang di

simpan di dashboard sepeda motor sebelah kanan kemudian ditemukan

1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya terdapat 1 (satu) buah

plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat 0,15752 gram

yang di simpan di dashboard sepeda motor sebelah kiri.Setelah itu

tersangka berikut barang bukti dii bawa ke kantor Resnarkoba

Polrestabes Semarang untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut

d. Keterangan tersangka

Tersangka memberikan keterangan bahwa pada pada hari

Kamis tanggal 6 Januari 2022 sekira pukul 14.00 WIB tersangka

dihubungi oleh MBAK yang saat itu memesan narkotika jenis sabu

dengan harga Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Kemudian tersangka

menyetujuinya dan sepakati untuk pembayaran diserahkan kepada saya

secara tunai di Jl. Madukoro Raya Kel. Tawang Mas Kec. Semarang

Barat Kota Semarang. Kemudian sekitar pukul 14.00 WIB MBAK

menyerahkan uang tunai sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)

kepada saya secara tunai, setelah itu MBAK meninggalkan lokasi dan

saya kemudian menghubungi AN untuk memberitahukan bahwa

hendak membeli narkotika jenis sabu dengan harga Rp 1.000.000,-

(satu juta rupiah), kemudian AN menyuruh melakukan pembayaran ke

nomor rekening BCA 7960916438 an. SNP. Kemudia sekira pukul

15.07 WIB tersangka melakukan pembayaran tersebut dengan cara

92
melakukan transfer ke rekening BCA 7960916438 an. SNP dengan

cara melakukan setor tunai di mesin ATM BCA yang terletak di Bank

BCA Puri Anjasmoro Jl. Puri Anjasmoro Kel. Tawangsari Kec.

Semarang Barat Kota Semarang saat itu saya mentransfer sebesar Rp

900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah). Kemudian sekira pukul 15.08

WIB pada saat berada di Bank BCA Puri Anjasmoro Jl. Puri

anjasmoro Kel. Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang yang

pesan tersebut berbunyi “Jl. Tanah Mas ada warung kiri jalan dibawah

batu dibungkus isolasi hitam”. Kemudian sekitar pukul 15.09 WIB

saya kembali mentransfer sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah)

dengan cara menggunakan MBanking BCA ke rekening BCA

7960916438 an. SNP, setelah itu segera menuju ke petunjuk letak

narkotika jenis sabu yang terletak di Jl. Tanah Mas Kel. Kuningan

Kec. Semarang Utara Kota Semarang. Sekitar pukul 15.13 WIB

tersangka telah sampai di Jl. Tanah Mas Kel. Kuningan Kec. Semarang

Utara Kota Semarang dan kemudian melakukan pencarian, kemudian

sekitar pukul 15.15 WIB tersangka telah berhasil menemukan 1 (satu)

plastik klip kecil berisi narkotika jenis sabu yang dibungkus isolasi

warna hitam, kemudian saya menuju ke Jl. Madukoro Raya Kel.

Tawang Mas Kec. Semarang Barat Kota Semarang. Sekitar pukul

15.20 WIB tersangka telah sampai di Jl. Madukoro Raya Kel. Tawang

Mas Kec. Semarang Barat Kota Semarang kemudian membagi paket

93
sabu tersebut menjadi 2 (dua) paket. 1 (satu) buah plastik klip kecil

berisi narkotika jenis sabu dengan berat 0,50990 gram merupakan

milik MBAK sedangkan 1 (satu) buah plastik yang berisi narkotika

jenis sabu dengan berat 0,15752 gram merupakan milik yang

merupakan keuntungan saya dengan membelikan narkotika jenis sabu

tersebut, kemudian 1 (satu) buah plastik klip kecil berisi narkotika

jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu dimasukkan

ke dalam 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76 sedangkan 1

(satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram saya masukkan ke dalam 1 (satu) buah kardus parfum,

setelah itu sekitar pukul 15.30 WIB menghubungi MBAK untuk

ketemuan di di Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat

Kota Semarang. Sekitar pukul 15.40 WIB saya telah sampai di Yos

Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang untuk

menunggu MBAK, tiba-tiba datang beberapa laki-laki yang mengaku

dari anggota kepolisian satuan reserse narkoba Polrestabes Semarang,

kemudian dilakukan penggeledahan terhadap tersangka ditemukan

barang bukti berupa 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76

yang didalamnya terdapat 1 (satu) bua plastik klip kecil berisi

narkotika jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu

yang saya simpan di dashboard sepeda motor sebelah kanan kemudian

ditemukan 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya terdapat 1

94
(satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram yang saya simpan di dashboard sepeda motor sebelah

kiri. Setelah itu tersangka berikut barang bukti dibawa ke kantor

Resnarkoba Polrestabes Semarang untuk dilakukan penyelidikan lebih

lanjut.

Pembahasan :

1. Analisa kasus

Tindak pidana setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

menjadi perantara dalam jual beli atau memiliki, menyimpan,menguasai

narkotika golongan I bukan tanaman jenis sabu sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 114 ayat (1) subsider Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun

2009 tentang Narkotika yang terjadi pada hari Kamis tanggal 6 Januari

2022 sekira pukul 15.40 WIB di Jl. Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec.

Semarang Barat Kota Semarang, yang dilakukan oleh AAI

Awalnya tim opsnal mendapat informasi bahwa di Jl. Yos Sudarso

Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang sering digunakan

untuk transaksi jual beli narkotika jenis sabu.Kemudian team melakukan

penyelidikan dan penangkapan serta melakukan penggeledahan pada hari

Kamis tanggal 6 Januari 2022 sekira pukul 15.40 WIB di Jl.Yos Sudarso

Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang terhadap AAI

ditemukan 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76 yang

didalamnya terdapat 1 (satu) bua plastik klip kecil berisi narkotika jenis

sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu yang di simpan di

95
dashboard sepeda motor sebelah kanan yang merupakan milik MBAK

kemudian ditemukan 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya

terdapat 1 (satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram yang di simpan di dashboard sepeda motor sebelah kiri yang

merupakan milik tersangka. Awalnya tersangka mendapat pesanan dari

MBAK paket sabu dengan harga Rp 1.000.000,-kemudian tersangka

membeli sabu kepada AN dengan cara mentransfer ke rekening BCA

7960916438 an.SEPTIAN NUR PRASET, setelah itu mendapatkan letak

sabu yang terletak di Jl. Tawangmas, setelah itu diambil sabu tersebut

yang beratnya ± 1 (satu) gram, kemudian oleh terlapor dibagi menjadi 2

(dua) paket yang berat 0,50990 gram untuk MBAK dan yang berat

0,15752 gram merupakan keuntungan yang didapat oleh tersangka.

2. Analisa yuridis

Berdasarkan analisa kasus tersebut diatas terdapat petunjuk adanya

tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka AAI terpenuhi unsur Pasal

114 ayat (1) subsider pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang

Narkotika. Pasal 114 ayat (1) UU RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika

menyatakan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menjadi

perantara dalam jual beli narkotika Golongan I bukan tanaman jenis Sabu,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) subsider Pasal 112 ayat

(1) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, dipidana dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.

96
1.000.000,- (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000,-

(sepuluh miliar rupiah).

Adapun unsur – unsur dalam Pasal 114 ayat (1) UU RI No. 35

tahun 2009 tentang Narkotika :

1. Setiap orang, adalah tersangka AAI didalam pemeriksaan penyidikan

tidak diketemukan unsur pembenar atau pemaaf, sehingga

perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sebagai

orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan.

2. Yang tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual

beli narkotika Golongan I bukan tanaman

Tersangka menerangkan Pada mulanya pada hari Kamis tanggal 6

Januari 2022 sekira pukul 14.00 WIB dihubungi oleh MBAK yang

saat itu memesan narkotika jenis sabu dengan harga Rp 1.000.000,-

(satu juta rupiah). Kemudian tersangka menyetujuinya dan di sepakati

untuk pembayaran diserahkan kepada tersangka secara tunai di Jl.

Madukoro Raya Kel. Tawang Mas Kec. Semarang Barat Kota

Semarang. Kemudian sekitar pukul 14.00 WIB MBAK menyerahkan

uang tunai sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) kepada tersangka

secara tunai, setelah itu MBAK meninggalkan lokasi dan tersangka

kemudian menghubungi AN untuk memberitahukan bahwa tersangka

hendak membeli narkotika jenis sabu dengan harga Rp 1.000.000,-

(satu juta rupiah), kemudian sdr.ANDRI menyuruh melakukan

pembayaran ke nomor rekening BCA 7960916438 an. SNP. Kemudian

97
sekira pukul 15.07 WIB tersangka melakukan pembayaran tersebut

dengan cara melakukan transfer ke rekening BCA 7960916438 an.

SNP dengan cara melakukan setor tunai di mesin ATM BCA yang

terletak di Bank BCA Puri Anjasmoro Jl. Puri Anjasmoro Kel.

Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang saat itu tersangka

mentransfer sebesar Rp 900.000,- (sembilan ratus ribu rupiah). Sekitar

pukul 15.09 WIB tersangka kembali mentransfer sebesar Rp 100.000,-

(seratus ribu rupiah) dengan cara menggunakan MBanking BCA ke

rekening BCA 7960916438 an. SNP, setelah itu tersangka segera

menuju ke petunjuk letak narkotika jenis sabu yang terletak di Jl.

Tanah Mas Kel. Kuningan Kec. Semarang Utara Kota Semarang.

Tersangka tidak mempunyai ijin untuk menjadi perantara dalam jual

beli Narkotika Golongan I bukan tanaman jenis Sabu dan tersangka

mengetahui perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-Undang,

sehingga tersangka tidak mempunyai hak atas perbuatan tersebut.

Dengan demikian unsur menjadi perantara dalam jual beli Narkotika

Golongan I bukan tanaman jenis sabu tersebut. Dengan demikian unsur

tersebut telah terpenuhi.

Pasal 112 ayat (1) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika :

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum

memiliki,menyimpan,menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman

jenis Sabu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

98
Rp.800.000.000.,-(delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak

Rp.8.000.000.000,- (delapan miliar rupiah). Unsur-unsurnya adalah :

1. Setiap orang, adalah tersangka AAI didalam pemeriksaan penyidikan

tidak diketemukan unsur pembenar atau pemaaf, sehingga

perbuatannya dapat dipertanggung jawabkan secara hukum sebagai

orang yang melakukan atau turut melakukan perbuatan.

2. Yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,menyimpan,menguasai

Narkotika Golongan I bukan tanaman

Pada hari Kamis tanggal 6 Januari 2022 sekira pukul 15.40 WIB di

Jl.Yos Sudarso Kel.Tawangsari Kec. Semarang Barat Kota Semarang

terhadap ditemukan 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76

yang didalamnya terdapat 1 (satu) bua plastik klip kecil berisi

narkotika jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang dibungkus tisu

yang di simpan di dashboard sepeda motor sebelah kanan yang

merupakan milik sdri. MBAK kemudian ditemukan 1 (satu) buah

kardus parfum yang didalamnya terdapat 1 (satu) buah plastik yang

berisi narkotika jenis sabu dengan berat 0,15752 gram yang di simpan

di dashboard sepeda motor sebelah kiri yang merupakan milik

tersangka. Awalnya tersangka mendapat pesanan dari MBAK paket

sabu dengan harga Rp 1.000.000,-kemudian membeli sabu kepada sdr.

AN dengan cara mentransfer ke rekening BCA 7960916438 an. SNP,

setelah itu mendapatkan letak sabu yang terletak di Jl. Tawangmas,

setelah itu diambil sabu tersebut yang beratnya ± 1 (satu) gram,

99
kemudian oleh terlapor dibagi menjadi 2 (dua) paket yang berat

0,50990 gram untuk MBAK dan yang berat 0,15752 gram merupakan

keuntungan yang didapat oleh tersangka. Berdasarkan Berita Acara

Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik dari Laboratorium Forensik

POLRI cabang Semarang berupa 2 (dua) bungkus plastik yang masing-

masing berlak segel dan berlabel barang bukti, setelah dibuka

kemudian diberi nomor barang bukti berupa 1 (satu) buah bungkus

bekas rokok Djarum 76 yang didalamnya terdapat 1 (satu) bua plastik

klip kecil berisi narkotika jenis sabu dengan berat 0,50990 gram yang

dibungkus tisu setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratoris di

LABFOR Polri Cab. Semarang positif METAMFETAMINA. Barang

bukti berupa 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya terdapat 1

(satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratoris di

LABFOR Polri Cab. Semarang positif METAMFETAMINA.

Tersangka AAI tidak mempunyai ijin untuk memiliki, menyimpan,

menguasai Narkotika Golongan I bukan tanaman jenis Sabu dan

tersangka mengetahui perbuatan tersebut dilarang oleh Undang-

Undang, sehingga tersangka tidak mempunyai hak atas perbuatan

tersebut. Dengan demikian unsur memiliki, menyimpan, menguasai

Narkotika Golongan I bukan tanaman jenis sabu tersebut terpenuhi.

Kesimpulan :

Berdasarkan hasil pembahasan serta penjabaran setiap unsur-unsur

100
pasal tersebut diatas, dan Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris

Kriminalistik dari Laboratorium Forensik POLRI cabang Semarang Nomor

Lab berupa 2 (dua) bungkus plastik yang masing-masing berlak segel dan

berlabel barang bukti, setelah dibuka kemudian diberi nomor, barang bukti

berupa 1 (satu) buah bungkus bekas rokok Djarum 76 yang didalamnya

terdapat 1 (satu) bua plastik klip kecil berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,50990 gram yang dibungkus tisu setelah dilakukan pemeriksaan secara

laboratoris di LABFOR Polri Cab. Semarang positif METAMFETAMINA,

dan barang bukti berupa 1 (satu) buah kardus parfum yang didalamnya

terdapat 1 (satu) buah plastik yang berisi narkotika jenis sabu dengan berat

0,15752 gram setelah dilakukan pemeriksaan secara laboratoris di LABFOR

Polri Cab. Semarang positif METAMFETAMINA, terdaftar dalam Golongan I

(satu) Nomor urut 61 lampiran UU RI No.35 tahun 2009 tentang Narkotika

digunakan sebagai barang bukti, Maka Penyidik berkesimpulan bahwa

tersangka AAI dapat disangka telah melakukan Tindak pidana setiap orang

yang tanpa hak atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli atau

memiliki,menyimpan,menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman jenis

Sabu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) subsider Pasal 112 ayat

(1) UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika .

Berdasarkan uraian contoh kasus di atas dapat diketahui bahwa

penyidikan terhadap tindak pidana narkotika merupakan tindak lanjut dari

hasil penyelidikan team Opsnal Satresnarkoba Polrestabes Semarang.

Penyelidikan dilakukan setelah adanya laporan bahwa di sekitar lokasi sering

101
dijadikan sebagai tempat untuk transksi narkoba. Atas dasar laporan tersebut,

petugas kemudian melakukan penyelidikan di lokasi kejadian. Dari hasil

penyelidikan, team Opsnal Satresnaroba Polrestabes Semarang berhasil

mengamankan tersangka berikut barang bukti tindak pidana narkotika.

Berdasarkan hasil penyelidikan tersebut, segera laporan polisi Model A yaitu

laporan terhadap kejadian yang ditemukan oleh anggota Polri dan

ditinjalanjuti dengan tindakan penyidikan.

Dalam proses penyelidikan Polrestabes Semarang mempunyai

beberapa rangkaian mulai dari observasi atau pengamatan, interview atau

wawancara, surveillance atau pembuntutan, undercover atau penyamaran, dan

menggunakan informan. Dari beberapa raingkaian tersebut petugas

Polrestabes sangat sering menggunakan metode wire tapping (penyadapan),

undercover (penyamaran) dalam mendapatkan informasi dan bukti tindak

pidana narkoba. Adapun tujuan dari penyelidikan terhadap tindak pidana

narkotika adalah menemukan atau mencari bukti yang dianggap atau diduga

terjadi tindak pidana dengan menyalahgunaan narkotika agar nantinya menjadi

penentu akan dilaksanakannya penyidikan. 100

Pada tindak pidana narkotika, biasanya tindakan penangkapan,

penggeledahan, penyitaan barang bukti sudah dilaksanakan oleh penyelidik

pada saat tindakan penyelidikan. Penyelidik mempunyai wewenang untuk

melakukan penangkapan, penggeledahan dan penyitaan barang bukti. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa

100
Hasil wawancara dengan AKP Damuri, selaku Penyidik Satresnarkoba Polrestabes
Semarang, 6 Februari 2023.

102
penyelidik : a) karena kewajibannya mempunyai wewenang :

1. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak

pidana;

2. mencari keterangan dan barang bukti;

3. menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta

memeriksa tanda pengenal diri;

4. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHPAP menyatakan bahwa atas perintah penyidik

dapat melakukan tindakan berupa :

1. penangkapan, larangan meninggalkn tempat, penggeledahan dan

penyitaan;

2. pemeriksaan dan penyitaan surat;

3. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

4. membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik

Atas dasar ketentuan diatas, maka dalam penyidikan tindak pidana

narkotika tidak dilakukan pemanggilan, penangkapan ataupun peggeledahan,

karena tindakan tersebut sudah dilaksanakan oleh penyelidik pada saat di

lokasi kejadian. Setelah upaya paksa yang dilakukan oleh penyelidik,

selanjutnya diajukan ke penyidik untuk tindak lanjut ke proses penyidikan.

Proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum narkotika di

Polrestabes Semarang dilaksanakan sesuai dilaksanakan sesuai Standar

Operasional Porsedur (SOP) dengan berpedoman pada KUHAP, UU Nomor

35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019

103
tentang Penyidikan Tindak Pidana. Proses penyidikan terhadap tindak pidana

narkotika melalui beberapa tahap sebagai berikut :101

1. Laporan Polisi

Laporan polisi menurut Pasal 1 ayat (24) KUHAP adalah laporan

tertulis yang dibuat oleh anggota polisi tentang adanya suatu peristiwa

yang diduga terdapat pidananya, baik yang ditemukan sendiri maupun

melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau

kewajiban berdasarkan undang-undang. Pada penyidikan tindak pidana

narkotika yang dilaporan oleh petugas penyelidik adalah dengan Model A.

2. Pemanggilan

Pemanggilan diatur dalam Pasal 112 ayat (1) KUHAP yaitu

dengan surat panggilan. Pemanggilan di tingkat penyidikan untuk meminta

keterangan para saksi, tersangka atau ahli terkait tindak pidana yang

terjadi. Pada contoh kasus tindak pidana narkotika tidak dilakukan

pemanggilan, karena penyelidik langsung melakukan pemeriksaan

pendahuluan di tempat dan membawa pelaku untuk diajukan ke penyidik.

3. Penangkapan

Pasal 1 butir 20 KUHAP menyatakan bahwa penangkapan yaitu

suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan

tersangka atau terdakwa apabila terdapat bukti guna kepentingan penyidik

atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang

diatur dalam undang-undang. Penangkapan harus disertai dengan surat

101
Ibid

104
penangkapan yang memuat identitas tersangka. Pada contoh kasus tidak

dilakukan penangkapan, karena tersangka sudah diamankan oleh

penyelidik di lokasi kejadian pada saat tindakan penyelidikan.

4. Penahanan

Penahanan terhadap tersangka dilakukan untuk kepentingan

pemeriksaan. Jangka waktu penahanan di tingkat penyidikan menurut

Pasal 24 ayat (1) KUHAP adalah 20 hari dan diperpanjang oleh penuntut

umum yang berwenang untuk paling lama empat puluh hari. Dengan

demikan lama waktu penahanan tersangka maksimal adalah 60 hari.

Ada beberapa alasan mengapa harus dilakukan penahanan terhadap

tersngka yaitu sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang

menyatakan bahwa perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan

terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan

tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan

yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan

melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau

mengulangi tindak pidana. Hal tersebut merupakan alasan subkektif

dilakukannya penahanan terhadap tersangka.

Adapun alasan objektif dikenakan tindakan penahanan adalah

sebagaimana ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP yaitu terhadap

pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau

lebih dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),

105
Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal

372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459,

Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang- undang Hukum Pidana, Pasal 25

dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-

undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42,

Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976

tentang Narkotika.

5. Penggeledahan

Penggeledahan diatur dalam Pasal 32 KUHAP yang menyatakan

bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan

penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian atau penggeledahan

badan menurut tata cara yang ditentukan dalam undang-undang. Selain itu

juga diatur dalam Pasal 75 huruf e UU Nomor 35 Tahun 2009 yang

menyatakan, bahwa penyidik berwenang memeriksa, menggeledah, dan

menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran

gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika. Pada contoh kasus,

penggeledahan dilakukan oleh penyelidik pada saat mengamankan

tersangka di lokasi kejadian.

6. Penyitaan barang bukti

Penyitaan diatur dalam Pasal 38 KUHAP yang menyatakan bahwa

penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua

pengadilan negeri setempat. Namun dalam keadaan yang sangat perlu dan

mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin

106
untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, penyidik dapat melakukan

penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera

melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh

persetujuannya. Pada contoh kasus penyitaan dilakukan oleh penyelidik

bersamaan dengan diamankannya tersangka di lokasi kejadian.

7. Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan untuk memperoleh keterangan, kejelasan

dan identitas tersangka atau saksi atau barang bukti ataupun unsur unsur

tindak pidana yang telah terjadi. Pemeriksaan berperan pnting dalam

proses penyidikan., karena dari hasil pemeriksaan diperoleh gambaran

yang jelas mengenai kronologis kejadian yang dapat memberikan petunjuk

dalam pengungkapan tindak pidana narkotika.

Saksi menurut Pasal 1 angka 26 KUHAP adalah orang yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan

peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat

sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi menurut Pasal 1

angka 26 KUHAP adalah saksi adalah salah satu alat bukti dalam

perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu

peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, Ia lihat sendiri dan ia alami sendiri

dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.

Tata cara pemeriksaan terhadap para saksi menurut M. Yahya

Harahap, yaitu sebagai berikut :102

102
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h. 136.

107
1. Masing-masing saksi diperiksa sendiri-sendiri terpisah antara saksi

yang satu dengan saksi yang lain misalnya secara bergiliran.

2. Pemeriksaan dilakukan dengan jalan wawancara dengan mengajukan

pertanyaan-pertanyaan kepada saksi tentang apa yang dilihat, didengar

dan diketahui sendiri tentang peristiwa tersebut..

3. Pada waktu sebelum pemeriksaan terhadap saksi, penyidik

menanyakan keadaan saksi, apakah pada waktu dilakukan pemeriksaan

dalam keadaan sehat.

Tata cara pemeriksaan terhadap tersangka mengacu pada ketentuan

Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 KUHAP. Pada Pasal 50 ayat (1) KUHAP

disebutkan bahwa tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh

penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Pada

penjelasannya disebutkan bahwa diberikannya hak kepada tersangka atau

terdakwa dalam pasal ini adalah untuk menjauhkan kemungkinan

terkatung-katungnya nasib seorang yang disangka melakukan tindak

pidana terutama mereka yang dikenakan penahanan, jangan sampai lama

tidak mendapat pemeriksaan sehingga dirasakan tidak adanya kepastian

hukum, adanya perlakuan sewenang-wenang dan tidak wajar. Selain itu

juga untuk mewujudkan peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat

dan biaya ringan.

Pada Pasal 51 huruf a KUHAP disebutkan bahwa untuk

rnempersiapkan pembelaan maka tersangka berhak untuk diberitahukan

dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang

108
disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai. Hal ini

dimaksudkan bahwa dengan diketahui serta dimengerti oleh tersangka

mengenai tindak pidana tentang perbuatan apa disangkakan kepadanya,

maka tersangka akan merasa terjamin kepentingannya untuk mengadakan

persiapan dalam usaha pembelaan. Dengan demikian tersangka akan

mengetahui berat ringannya sangkaan terhadap dirinya sehingga

selanjutnya dapat mempertimbangkan tingkat atau pembelaan yang

dibutuhkan, misalnya perlu atau tidaknya ia mengusahakan bantuan

hukum untuk pembelaan tersebut. Supaya pemeriksaan dapat mencapai

hasil yang tidak menyimpang daripada yang sebenarnya maka tesangka

dijauhkan dari rasa takut. Oleh karena itu wajib dicegah adanya paksaan

atau tekanan terhadap tersangka atau terdakwa.103

Pemeriksaan di hadapan penyidik adalah tersangka, dimana dari

tersangka diperoleh keterangan tentang peristiwa pidana yang sedang

diperiksa. Keterangan tersangka sangat diperlukan dalam proses

penyidikan untuk dapat mengungkap tindak pidana penyalahgunaan

narkotika yang disangkakan kepada tersangka. Pasal 189 butir (2) KUHAP

menberikan penjelasan bahwa keterangan terdakwa yang diberikan di luar

sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti disidang

asalkan keterangan itu didukung oleh alat bukti yang sah sepanjang

mengenai hal yang didakwakan padanya.

8. Pemeriksaan barang bukti di laboratorium

103
M. Yahya Harahap, Op.Cit., h.135

109
Pada Polrestabes Semarang, pemeriskaan barang bukti

dilaksanakan di Laboratoris Kriminalistik dari Laboratorium Forensik

POLRI cabang Semarang untuk mengetahui apakah barang yang disita

dari tersangka mengandung narkotika atau tidak. Pada contoh kasus

barang bukti yang diperiksa mengandung METAMFETAMINA.

9. Kesimpulan

Berdasarkan fakta-fakta yagn ditemukan melalui alat bukti

keterangan saksi, keterangan tersangka didukung dengan hasil hasil

pemeriskaan barang bukti, maka disimpulkan bahwa telah terjadi tindak

pidana narkotika. Penyidik selanjutnya menyimpulkan pasal yang

dilanggar oleh tersangka.

10. Penyelesaian berkas perkara

Penyelesaian berkas perkara setelah upaya paksa dan pemeriksaan.

Jangka waktu penyesaian berkas perkara adalah selama tersangka ditahan

yaitu 60 hari. Waktu yang dimiliki oleh penyidik dalam menyelesaikan

berkas perkara adalah selama 60 hari sesuai dengan lamanya masa

penahanan terhadap tersangka.

11. Penyerahan berkas perkara kepada Jaksa penuntut umum

Berkas perkara yang sudah dijilid lengkap selanjutnya diajukan ke

jaksa penuntut umum. Proses penyerahan berkas perkara terkadang bisa

beberap kali. Dalam hal Jaksa penuntut umum mengembalikan berkas

perkara, maka penyidik harus melakukan perbaikan dan merevisi berkas

acara pidana sesuai dengan petunjuk jaksa penuntut umum. Pada

110
prakteknya ada kalanya jaksa penuntutu umum mengembalikan berkas

tidak hanya sekali, berkali-kali untuk dilengkapi. Setelah dilengkapi sesuai

petunjuk JPU, maka dialnjutkan penyerahan tersangka dan barang bukti.

Dengan diserahkanya berkas perkara, tersangka, maupun barang bukti

maka penyidikan dinyatakan selesai. Untuk selanjutnya baik tersangka

maupun barang bukti menjadi tanggug jawab jaksa penuntut umum.104

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa proses penyidikan

terahdap tindak pidana dalam rangka penegakan hukum narkotika di

Polrestabes Semarang telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku sehingga telah memenuhi asas kepastian hukum. Hal ini sejalan

dengan teori kepasatian hukum sebagaimana dikemukakan oleh Jan Michael

Otto yang menyatakan bahwa kepastian hukum dapat dicapai apabila tersedia

aturan-aturan hukum yang jelas, konsisten dan mudah diperoleh; serta

instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum

tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat terhadap aturan tersebut.

Proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum narkotika di Polrestabes

Semarang memiliki dasar hukum yang jelas, dan telah dilaksanakan sesuai

dengan prosedur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu

KUHAP, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Perkap

Polri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, serta Peraturan

Kepolisian (Perpol) Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang

Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Pada prakteknya

104
Wawancara Op.Cit.

111
penydik Satresnarkoba Polrestabes Semarang telah melaksanakan peraturan

tersebut dalam setiap tindakan penyidikan mulai dari tahap penyelidikan,

penyidikan sampai dengan penyerahan kepada jaksa penuntut umum. Dalam

proses penyelidikan atau penyidikan apabila memenuhi syarat maka juga

dapat diterapkan restorative justice yaitu dengan rehabilitasi apabila pelaku

tindak pidana narkotika adalah korban dan memenuhi syarat sebagaimana

ditentukan dalam Perpol Nomor 8 Tahun 2021.

Proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum narkotika di

Polrestabes Semarang juga sesuai dengan teori keadilan menurut Islam.

Makna yang terkandung pada konsepsi keadilan Islam ialah menempatkan

sesuatu pada tempatnya, membebankan sesuatu sesuai daya pikul seseorang,

memberikan sesuatu yang memang menjadi haknya dengan kadar yang

seimbang.105 Islam memerintahkan kepada setiap manusia untuk berbuat adil

atau menegakkan keadilan pada setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan

sebagaimana firman Allah SWT dalam Surah An-Nisa ayat 58. Penyidikan

dalam rangka penegakan hukum narkotika telah memberikan rasa keadilan

bagi tersangka, dimana tersangka disangkakan dengan pasal UU narkotika

setelah adanya fakta-fakta alat bukti yaitu keterangan saksi, barang bukti, dan

keterangan tersangka sendiri. Hal ini dapat menghindarkan tersangka dari

sangkaan pasal yang keliru. Hal ini juga memberikan keadilan bagi

masyarakat, sebab dengan dihadapkannya tersangka pada peradilan, maka

dapat menciptakan kedamaian di masyarakat. Penyidikan tindak pidana

narkotika merupakan perwujudan dari sikap adil sebagaimana firman Allah

dalam QS. An-Nisa ayat 58 yang menyuruh manusia untuk berbuat adil
105
Aryani Witasari, Loc.Cit.

112
apabila menetapkan hukum di antara manusia.

113
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika di Polrestabes

Semarang ditempuh melalui upaya penal (represif) dan upaya non penal

(preventif). Upaya preventif dilaksanakan melalui sosialisasi dan operasi

narkob. Sedangkan upaya penal melalui tindakan penyelidikan dan

penyidikan. Baik upaya penal maupun upaya non penal dilaksanakan

berpedoman peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini

bertujuan untuk menciptakan perdamaian hidup dan kesejahteraan

masyarakat dengan berasaskan kepastian hukum, keadilan.

2. Proses penyidikan dalam rangka penegakan hukum narkotika di

Polrestabes Semarang didasaran pada KUHAP, UU Nomor 35 Tahun

2019, Perkap Polri Nomor 6 Tahun 2019, dan Perpol Nomor 8 Tahun 2021

tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.

Penyidikan yang dilaksanakan merupakan tindak lanjut dari hasil

penyelidikan petugas opsnal Sat Resnarkoba Polrestabes Semarang,

sehingga dalam banyak kasus, upaya paksa berupa penangkapan,

penggeledahan, penyitaan dilaksanakan oleh penyelidik di lokasi kejadian.

114
A. Saran

1. Bagi pihak kepolisian, hendaknya terus melakukan sosialisasi secara rutin

dan kontinyu terhadap masyarakat khususnya generasi muda terkait

pemberantasan tindak pidana narkotika.

2. Bagi masyarakat hendaknya benar-benar memiliki kesadaran hukum untuk

turut aktif berpertisipasi dalam pemberantasan tindak pidana narkotika.

115
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Andi Hamzah, 2005, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.

AR. Sujono dan Bony Daniel, 2001, Komentar dan Pembahasan Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Jakarta : Sinar
Grafika.

Aryani Witasari, 2000, Materi Kuliah Teori-Teori Hukum, Magister Ilmu


Hukum, Unissula Semarang.

Bambang Purnomo, 1992, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,


Yogykarta.

Barda Nawawi Arief, 2002, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra


Aditya Bakti, Bandung

_________________, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana


(Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru), Kencana, Jakarta.

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, CV. Mandar
Maju, Bandung.

C.S.T Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Cet
Ke-8, Jakarta : Balai Pustaka.

Didin Hafidhuddin, 2006, Agar Layar Tetap Terkembang: Upaya


Menyelamatkan Umat, Jakarta : Gema Insani Press.

Direktorat Hukum Deputi Bidang Hukum dan Kerjasama BNN, 2016,


Himpunan Peraturan Tentang Narkotika dan Peraturan Lainnya,
Jakarta.

Fernando M Manulang, 2007, Hukum Dalam Kepastian, Prakarsa, Bandung.

Gatot Supramono, 2007, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta.

Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana,


Mandar Maju, Bandung.

Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di


Indonesia, Media Aksara Prima, Jakarta.

116
Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika,
Jakarta.

M.Ali Zaidan, 2016, Kebijakan Kriminal, Sinar Grafika, Jakarta.

Moeljatno, 2008, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.

M. Syamsi Ali, 2007, Dai Muda di New York City, Jakata : Gema Insani Press.

Muhammad Dhiaduddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Jakarta : Gema


Insani Press.

M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika.

Husein Harum M, 1991, Penyidikan dan Penuntutan dalam Proses Pidana,


Rineka Cipta, Jakarta.

Ilhami Bisri, 2012, Sistem Hukum Indonesia: Prinsip-Prinsip & Implementasi


Hukum di Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers .

Indriyanto Seno Adji, 2002, Korupsi dan Hukum Pidana, Jakarta: Kantor
Pengacara dan Konsultasi Hukum “Prof. Oemar Seno Adji & Rekan.

Ishaq, 2012, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika.

Jan Michael Otto, 2003, Kepastian hukum di Negara Berkembang,


Terjemahan Tristam Moeliono, Komisi Hukum Nasional Jakarta

Muhammad Dhiaduddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Gema Insani Press,
Jakarta.

Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, 2009, Subulus Salam Syarah


Bulughul Maram, Jilid 3, Darussunnah Press, Jakarta Timur.

Muhammad Subhi bin Hasan Hallaq, 1427 H, Nailul Authar min Asrar
Muntaqa al-Akhbar, Dar Ibn Taimiyah, Riyadh.

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum


Normatif dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

M. Syamsi Ali, 2007, Dai Muda di New York City, Gema Insani Press,
Jakarta.

Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan


Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti

117
Rasyid Ariman dan Fahmi Raghib, 2016, Hukum Pidana, Malang: Setara
Press.

Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,


Jakarta : Ghalia Indonesia.

Rully Abdi dan Piatur Pangarimbun, 2019, Pelaku Tindak Pidana Peredaran
Gelap Narkotika Golongan I Bukan Tanaman, Yogyakarta : K-Media.

Satjipto Rahardjo, 2005, Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan


Sosiologis, Sinar Baru, Bandung .

Shahrul Machmud, 2012, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Graha


Ilmu, Yogyakarta.

Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum, Suatu Tawaran Kerangka Berpikir,


PT. Refika Aditama, Bandung.

Siswanto Sunaryo, 2004, Penegakkan Hukum Psikotropika (Dalam Kajian


Sosiologi Hukum), Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Soerjono Soekanto, 2016, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan


Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sudarto, 2018, Hukum Pidana 1 (Edisi Revisi), Semarang :Yayasan Sudarto.

Sudikmo Mertokusumo, 2001, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung


: Citra Aditya Bakti.

___________________, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,


Yogyakarta

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum


Pidana

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Undang- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik


Indonesia. Jakarta, 2002.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

118
Jalan.

C. Jurnal

Angga Dwi Arifian and Sri Kusriyah, “The Investigation on Criminal Acts of
Corruption in the Jurisdiction of Rembang Police”, Law Development
Journal Volume 3 Issue 3, September 2021, h.460, url :
http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/ldj/article/view/16086/5838.

Abdul Rachmat Budiono, Manajemen Penegakan Hukum, Jurnal Humaniora


& Pendidikan. Vol 2 No. 1, Pebruari, 2010.

Bambang Tri Bawono, Tinjauan Yuridis Hak-Hak Tersangka dalam


Pemeriksaan Pendahuluan, Jurnal Hukum, Vol XXVI, No. 2, Agustus
2011.

Fauzi Almubarok, Keadilan Dalam Perspektif Islam, Istighna, Volume 1,


Nomor 2, Juli 2018.

Fransiska Novita Eleanora, Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Serta Usaha


Pencegahan dan Penanggulangannya (Suatu Tinjauan Teoritis)”,
Jurnal Hukum, Vol XXV, No. 1, April 2011.

Kusfitono, Umar Ma‟ruf dan Sri Kusriyah, “Implementasi Putusan Mahkamah


Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 Terhadap Proses Penyidikan
Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Di Sat Reskrim Polres
Kendal” Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol. 12. No. 4 Desember 2017,
h.862, url : http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/jhku/article/view/2303.

Sahuri Lasmadi, Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak


Pidana Korupsi Pada Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jurnal Ilmu
Hukum, Volume 2 Nomor 3, 2010.

Tamyies Dery, Keadilan dalam Islam, Mimbar, Volume XVIII Nomor 3, Juli-
September 2002.

Yandi Maryandi, 2017, Gagasan Pemberlakuan Pidana Islam di Indonesia,


Jurnal Tahkim, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam.

D. Lain-Lain

Ali Mahmudan, Kasus Narkoba di Indoensia Turun dalam 3 Tahun Terakhir,


https://dataindonesia.id, diakses 15 November 2022.

BNN Jateng Sebut Kasus Narkoba Mengalami Peningkatan selama Pandemi,

119
https://jogja.tribunnews.com, diakses 15 November 2022.

BNN Ungkap Semarang Peringkat Pertama Peredaan narkba di Jateng,


https://news.detik.com, diakses 20 Febuari 2023.

Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, http://www.jimly.com,


diakses 16 Februari 2023.

Tim Hukum Online, Upaya Preventif dan Represif dalam Penegakan Hukum,
https://www.hukumonline.com, diakses 20 Februari 2023.

120

Anda mungkin juga menyukai