Kisah Teladan Hamka DKK
Kisah Teladan Hamka DKK
Kisah Teladan Hamka DKK
1. BUYA HAMKA
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan singkatan
HAMKA lahir di desa kampung yang molek, Sungai Batang, Maninjau,
Sumatera Barat, 17 Februari 1908.M /13 Muharram 1362.H. Ia anak pertama
dari tujuh orang bersaudara dari kalangan kelurga yang taat beragama. Ayahnya
bernama Abdul Karim Amrullah seorang ulama yang akrab dipanggil dengan
Haji Rasul, ibunya bernama Sitti Shafiyah. Ia juga diberikan sebutan Buya
( bahas Arab = abi, abuya) yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.
Masa kecilnya Hamka tinggal bersama neneknya di dekat Danau
Maninjau. Ketika berusia enam tahun, ia pindah bersama ayahnya ke Padang
Panjang. Sebagaimana umumnya anak-anak laki-laki di Minangkabau, sewaktu
kecil ia belajar mengaji dan silek serta tidur di surau. Selain itu ia suka
mendengarkan kaba, kisah-kisah yang dinyanyikan dengan alat-alat musik
tradisional Minangkabau.
Ketika berusia tujuh tahun ia dimasukkan ke Sekolah Desa belajar setiap
paginya. Disamping itu sore harinya ia belajar di Diniyah School. Namun sejak
dimasukkan ke Thawalib ( sekolah yang didirikan ayahnya ), ia tidak dapat lagi
mengikuti pelajaran di Sekolah Desa. Karena kepatuhan kepada ayahnya sejak
itu ia berhenti di Sekolah Desa dan bersekolah di Thawalib pagi hari sedangkan
sorenya tetap belajar di Diniyah School dan malamnya kembali ke surau. Di
surau HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. dibawah
bimbingan ulama terkenal.
Selama belajar di Thawalib, Hamka lebih sering berada di perpustakaan
umum milik gurunya, Zainuddin Labay El Yunusy. Dari sinilah, ia leluasa
membaca bermacam-macam buku, bahkan beberapa ia pinjam untuk dibawanya
pulang. Namun, karena buku yang dipinjamnya itu tidak ada hubungannya
93
dengan pelajaran, ia sempat dimarahi oleh ayahnya ketika ketahuan tengah asyik
membaca Kaba Cindua Mato. Ayahnya berkata, "Apakah engkau akan menjadi
orang alim nanti, atau menjadi orang tukang cerita?". Hamka tidak sedikitpun
merasa jengkel dengan sikap ayahnya, namun kemarahan ayahnya itu malah
menjadi cemeti dan motivasi baginya untuk lebih giat belajar dan mewujudkan
obsesinya.
Untuk menunjukkan jatidiri kepada ayahnya dan sebagai akibat dari
persentuhannya dengan buku-buku yang dibacanya tentang daya tarik tanah
Jawa, menyebabkan Hamka sangat berminat untuk merantau ke tanah Jawa.
Empat tahun belajar di Thawalib akhirnya ia memutuskan untuk keluar
sekalipun tanpa memperoleh ijazah.
Makin hari jiwa kemandirian HAMKA semakin berkembang. HAMKA
yang dikenal sebagai seorang pengelana sehingga ayahnya memberi gelar Si
Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu
agama serta pergerakan dan organisasi. Walaupun keinginanya itu kandas akibat
sakit cacar yang dideritanya sesampai di Bengkulu. Meski begitu setelah sembuh
niatnya untuk pergi ke pulau Jawa tetap tidak terbendung, maka iapun berangkat
ke Jawa dan menetap Yogyakarta, Bandung dan Pekalongan. Di sana ia
berkesempatan mengikuti berbagai diskusi dan pelatihan pergerakan Islam yang
diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Secara
otodidak HAMKA belajar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat.
Setahun lamanya berada di Jawa, Hamka kembali lagi ke Padang
Panjang dan ia aktif menulis di majalah pertamanya berjudul Chatibul Ummah,
dan Majalah Tabligh Muhammadiyah, disamping itu iapun menyempatkan
berpidato di beberapa tempat di Padang Panjang. Namun semuanya justru
dikritik tajam oleh ayahnya, "Pidato-pidato saja adalah percuma, isi dahulu
dengan pengetahuan, barulah ada arti dan manfaatnya pidato-pidatomu itu." Di
sisi lain, ia tidak mendapatkan penerimaan baik dari masyarakat. Ia sering kali
dicemooh sebagai "tukang pidato yang tidak berijazah", serta kritikan dari
sebagian ulama karena belum menguasai bahasa Arab dengan baik. Berbagai
94
kritikan dan cemoohan itu ia jadikan cambuk untuk membekali diri lebih
matang.
Dengan semangat keilmuan yang tinggi dan dengan biaya sendiri tahun
1927 ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah hajinya sekaligus
memperdalam ilmu agama dan bahasa Arab. Disana ia bekerja di perusahaan
percetakan yang memberinya peluang untuk membaca kitab-kitab klasik, buku-
buku, dan buletin Islam dalam bahasa Arab. Ketika di Makkah ia berjumpa
dengan Agus Salim dan sempat menyampaikan hasratnya untuk menetap di
Mekkah, tetapi Agus Salim justru menasihatinya untuk segera pulang. Ia pun
segera kembali ke tanah air, namun bukannya pulang ke Padang Panjang akan
tetapi ia malah menetap di Medan, kota tempat berlabuhnya kapal yang
membawanya pulang. Selama di Medan, HAMKA bekerja sebagai guru agama
disamping aktif berdakwah melalui tulisan. Selain itu ia juga menuliskan
laporan-laporan perjalanannya, Pada tahun 1927 ia melahirkan romannya yang
pertama dalam bahasa Minangkabau berjudul Si Sabariyah.
Ketika Padang Panjang (1926) diguncang gempa bumi 7,6 SR yang
meluluhlantakkan rumah ayah Hamka di Pasar Usang, membuat ia memutuskan
untuk pulang ke kampung halamannya di Maninjau. Ia diterima ayahnya dengan
penuh haru hingga menitikkan air mata. Ayahnya terkejut mengetahui Hamka
telah berangkat haji dengan ongkos sendiri. Ayahnya bahkan berkata, "Mengapa
tidak engkau beritahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu ?” Hamka
menjawab dengan penuh simpati dan perhatian “Abuya (ayah) ketika itu sedang
susah dan miskin”. “Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas
bungkal diasah." Namun, setelah sekitar setahun menetap di Sungai Batang, ia
kembali meninggalkan kampung halamannya pindah ke Medan dan bekerja
sebagai editor sekaligus pemimpin redaksi Majalah Pedoman Masyarakat yang
untuk pertama kalinya ia memperkenalkan nama pena "HAMKA". Disinilah ia
menulis roman “Di Bawah Lindungan Ka'bah”, yang terinspirasi dari
perjalanannya ke Mekkah pada tahun 1927, kemudian Tenggelamnya Kapal Van
der Wijck, Merantau ke Deli, Keadilan Ilahi, Tuan Direktur, Angkatan Baru,
Terusir, Di Dalam Lembah Kehidupan, Ayahku, Tasawuf Modern, dan Falsafah
Hidup.
95
Sewaktu di Medan inilah kariernya di Muhammadiyah kian menanjak
hingga ia terpilih menjadi pimpinan Muhammadiyah untuk wilayah Sumatera
Timur, kemudian menjadi Ketua Muhammadiyah Sumatera Barat. Melalui
organisasi Muhammadiyah inilah akhirnya HAMKA menapak karir dalam
berbagai bidang dengan segudang prestasi di pentas Nasional dan Internasional.
Hamka merupakan sosok yang idelais. Terbukti tahun 1951 Hamka
diangkat oleh Menteri Agama menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama. Akan
tetapi jabatan itu diletakannya tahun 1960 ketika Sukarno menyuruhnya memilih
antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro
Muslimin Indonesia (Masyumi).
Tahun 1955 HAMKA masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan
menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah
pemikiran HAMKA sering bergesekan dengan penguasa seperti
memperjuangkan syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia, penolakannya
atas gagasan Soekarno yang akan menerapkan Demokrasi Terpimpin, sekaligus
berakhirnya karir politik HAMKA sejalan dibubarkannya Konstituante serta
diharamkannya Masyumi oleh pemerintah tahun 1960.
Karena pemikirannya terus berseberangan dengan pemerintah saat itu,
maka tahun 1964 HAMKA dipenjarakan oleh Presiden Soekarno. Semasa
dipenjara baginya bukanlah sebuah siksaan dan hukuman, akan tetapi ia rasakan
wujud cinta kasih sayang Allah kepadanya. Keadaan itu ia manfaatkan dengan
menulis dan menyusun Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah
monumental terbesarnya. Meski begitu, HAMKA tidak pernah sakit hati dan
menaruh dendam terhadap Presiden Sukarno. Hal ini ditunjukannya ketika
Sukarno wafat, justru HAMKA yang menjadi imam shalatnya.
Semasa pemerintahan Orde Baru, HAMKA secara total berperan sebagai
ulama. Keulamaan HAMKA lebih menonjol lagi ketika dia menjadi ketua MUI
pertama tahun 1975. Sebagai ulama HAMKA dikenal seorang yang moderat
sekalipun kesehariannya memakai kain sarung. Bukti kemoderatan Hamka
ditunjukannya dalam berbagai hal. Hamka pernah menjadi imam dikalangan
jamaah yang biasa melaksanakan qunut dan menjadi makmum kepada imam
yang biasa menjaharkan bismillah. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata
96
keras, apalagi kasar dalam berdakwah. Disamping itu beliau lebih banyak
berdakwah melalui tulisan dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Di Era orde baru ini lagi lagi Hamka berbeda pandangan dengan
pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Mendikbud saat itu ( 1978 ) untuk
mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan dan permintaan Menteri
Agama Alamsyah Ratuprawiranegara agar MUI mencabut fatwa yang melarang
perayaan Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, HAMKA langsung menolak
keinginan itu. Sikap tegas HAMKA kemudian ditanggapi Alamsyah dengan
rencana pengunduran diri dari jabatannya sebagai menteri. Mendengar niat itu
HAMKA lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula
HAMKA dengan istiqamah dan penuh simpati memutuskan mundur sebagai
Ketua MUI.
Setelah mengundurkan diri sebagai ketua MUI, kesehatannya terus
menurun, yang akhirnya beliau menemui ajal pada hari Jum'at, 24 Juli 1981
dalam usia 73 tahun. Jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini. Beliau
bukan saja diterima sebagai seorang tokoh politik, ulama dan sastrawan di
negara kelahirannya, bahkan jasanya di seantero Nusantara, termasuk negara
berpenduduk muslim di Asia Tenggara seperti Malaysia, Singapura, Thailand
Selatan, Brunei, Filipina Selatan, dan beberapa negara Arab. Atas jasa dan
karya-karyanya, HAMKA telah menerima anugerah penghargaan, yaitu Doctor
Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), dan Universitas
Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), gelar Profesor dari Universitas Prof. Dr.
Moestopo serta Gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah
Indonesia
Karakter HAMKA
1. Mandiri dan Bertangungjawab
2. Tahu diri, Perhatian dan Empati
3. Idealis dan Istiqamah
4. Tegas dan Lugas
5. Penyabar tidak dendam
6. Demokratis dan Toleran
97
7. Haus dan cinta ilmu
8. Disiplin waktu dan memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk berbuat
kebaikan
9. Memiliki rasa hormat, Rendah hati dan Penyantun.
10. Memiliki semangat dan kemauan yang keras untuk maju
98
2. MOHAMMAD NATSIR
99
Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku
Capita Selecta.
Sejak sekolah di Bandung jiwa pergerakan dan kepemimpinan M Natsir
semakin berkembang hingga ia diangkat menjadi ketua Jong Islamieten Bond
(JIB) Bandung yang akhirnya mengantarkan beliau menjadi tokoh organisasi
Islam Persatuan Islam.
100
berpusat di Mekkah, Pusat Studi Islam Oxford (Oxford Centre for Islamic
Studies) di Inggris, dan Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) di
Karachi, Pakistan.
Di era Orde Baru, ia membentuk Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII). Ia juga mengkritikisi kebijakan pemerintah yang membuat ia
dicekal. Walaupun ia diperlakukan tidak adil oleh pemerintah saat itu namun
tidak sedikitpun rasa dendam terpancar dari jiwanya. Keinginannya untuk
berjuang dan berbuat dalam membangun Indonesia serta dunia Islam sangatlah
tinggi. Ini dibuktikan dengan usahanya dalam kapasitas sebagai ketua DDII,
mengirim nota kepada Tunku Abdul Rahman dalam rangka mencairkan
hubungan dengan Malaysia. Mengajak pemerintah Kuwait agar menanam modal
di Indonesia dan meyakinkan pemerintah Jepang tentang kesungguhan Orde
Baru membangun ekonomi.
Disamping sebagai aktifis politik, tokoh pergerakan, budayawan dan
tokoh agama Islam, M Natsir juga dikenal sebagai seorang jurnalis ulung.
Banyak ide dan pemikirannya yang dituangkan dalam tulisan yang diterbitkan
dalam berbagai jurnal, majalah dan surat kabar dalam dan luar negeri saat itu.
M. Natsir selalu menganjurkan masyarakat untuk senantiasa hidup
sederhana, baik dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat. Anjuran
tersebut dipraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
berpakaian yang terkesan itu-itu saja. Padahal secara pribadi M. Natsir sangat
mampu untuk membeli pakaian yang mahal dan bermerk.
Sepanjang hidupnya Mohammad Natsir dikenal sebagai pemipin yang
rendah hati sederhana dan bersahaja namun tegas dan disiplin. Waktu menjadi
Menteri Penerangan, ia menggunakan jas yang bagus. Sering menggunakan baju
tambalan ya ng dijahitnya sendiri. Bahkan rumahnya di Jalan Cokroaminoto, tak
lain adalah hadiah dari Pak Idit Djunaedi, karena melihat Natsir, yang tinggal
disebuah gang, dan tak layak ditempati seorang perdana menteri. Ia juga
menolak hadiah mobil Chevy Impala dari cukong walau sebenarnya di tempat
tinggalnya cuma mempunyai mobil tua merk De Soto. Dia satu-satunya pejabat
pemerintah, yang pulang dari Istana yang membonceng sepeda sopirnya,
sesudah menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.
101
Sebagai seorang yang santun dalam kehidupan politik M. Natsir selalu
menampilkan konsistensi dan etika politik yang sangat tinggi. Ia tidak sudi
menggunakan cara yang tidak bermoral guna mencapai tujuannya dan tidak
pernah membenci lawan politiknya. Namun jika sudah meyakini kebenaran
keputusan politiknya, M. Natsir tidak bersedia ditawar oleh siapapun dan dengan
imbalan apapun. Bahkan M. Natsir rela dipenjara dan dimusuhi pemerintah jika
harus dipaksa merubah keputusan politik yang diyakininya benar. M. Natsir
selalu menghargai sebuah proses politik dan tidak menyukai cara instan guna
mencapai tujuan.
Dalam hal jiwa nasionalisme Islaminya, M Natsir sangatlah dipujikan.
Sekalipun Natsir memiliki latar belakang pendidikan Belanda dan pergaulan
dengan tokoh nasionalis dan sosialis barat, Natsir tidak terpengaruh dan tergerak
sama sekali untuk melakukan westernisasi atau sekularisasi dalam dunia
pendidikan Islam. Ia juga peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap
generasi muda.
Oleh negara-negara lain, Natsir benar-benar dihormati serta dihargai.
Mohammad Natsir diakui oleh Dunia Islam sebagai pahlawan lintas bangsa serta
negara yang banyak membantu pembaruan Islam. Di tahun 1957, Mohammad
Natsir menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia,
Lamine Bey dari pemerintah Afrika Utara, Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah
serta penghargaan dari Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi serta Abul A'la
Maududi. Selain itu juga mendapatkan penghargaan Faisal Award dari Raja
Fahd Arab Saudi. Gelar Doktor ( HC ) bidang politik Islam dari Kampus Islam
Libanon. Dua gelar kehormatan, yakni dalam bidang sastra dari Universitas
Kebangsaan Malaysia serta bidang pemikiran Islam dari Universitas Sains
Malaysia.
Mohammad Natsir wafat pada 6 Februari 1993 di Jakarta. Pada masa
pemerintahan B. J. Habibie, dia diberi penghargaan Bintang Republik Indonesia
Adipradana.
Karakter M Natsir
1. Mandiri dan Bertangungjawab
2. Perhatian dan Empati
102
3. Idealis dan Istiqamah
4. Tegas dan Lugas
5. Sederhana
6. Penyabar tidak dendam
7. Demokratis dan Toleran
8. Haus dan cinta ilmu
9. Disiplin waktu
10. Memiliki rasa hormat, Rendah hati dan Penyantun.
11. Memiliki kemauan yang keras untuk maju
103
3. RAHMAH EL YUNUSIYAH;
SYAIKHAH DAN PEJUANG PENDIDIKAN PEREMPUAN
b. Pendidikan
Meski hanya mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) hingga kelas III,
tapi Rahmah El-Yunusiyah memiliki wawasan yang luas. Dia lebih banyak belajar
otodidak dan juga belajar langsung kepada kedua kakak laki-lakinya, Zainuddin Labay
dan Mohammad Rasyid serta ulama-ulama terkemuka lainnya, seperti:
104
1. Syekh Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul, atau dikenal pula dengan
sebutan Inyiak DR (De-Er), ayahanda dari ulama terkenal Buya Hamka, di Surau
Jembatan Besi, Padang Panjang.
2. Syekh Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim (pimpinan Madrasah Thawalib Padang
Panjang).
Rahmah dan tiga sahabat dekatnya: Rasuna Said, Nanisah dan Jawana Basyir,
selalu mengikuti kuliah agama Syekh DR. Abdul Karim Amrullah yang biasanya hanya
diikuti laki-laki. Mereka selalu menjadi cemoohan “mana mungkin perempuan bisa
belajar agama secara mendalam karena mereka punya kemampuan terbatas.” Cemoohan
itu bukan melemahkan, melainkan memicu semangat Rahmah untuk memajukan
pendidikan kaum perempuan di kemudian hari.
Rahmah dikenal sebagai sosok yang cerdas, lincah, menyukai hal-hal baru,
dan memiliki tekad baja. Jika sudah menginginkan sesuatu, maka tiada seorang pun
yang mampu menghalanginya. Karena kecerdasannya, setelah lulus sekolah dia diminta
menjadi guru bagi almamaternya. Disela-sela kesibukannya mengajar, dia mengikuti
kursus kebidanan di RSU Kayu Taman (1931-1935). Ia juga belajar ilmu kesehatan dan
pertolongan pertama pada kecelakaan.
Jadi, selain belajar ilmu agama, Rahmah juga belajar ilmu kebidanan dari salah
seorang saudara ibunya dan menimba ilmu kesehatan dari beberapa orang dokter yang
ada pada waktu itu, seperti dr. Sjofjan Rasjad, dr. Tazar (Kayutanam), dr. A. Saleh
(Bukittinggi), dr. Arifin (Payakumbuh), dan dr. Rasjidin serta dr. A. Sani (Padang
Panjang).
Pada saat itu masih sangat sedikit perempuan yang bersekolah. Menurut Sensus
tahun 1930, baru 6 persen penduduk pribumi yang bisa membaca dan selebihnya buta
huruf. Mereka yang terdidik lebih didominasi kaum pria, sedangkan perempuan
dianggap hanyalah makhluk kelas dua yang tidak perlu bersekolah tingi. Percuma
bersekolah jika akhirnya hanya masuk ke dapur. Perempuan masa itu sangat pasif dan
belum mampu memberikan kontribusi riil bagi kemajuan agama dan bangsanya.
Rahmah sangat prihatin dengan kondisi ini. Ia berpendapat pendidikan sangat penting
bagi kaum perempuan. Dengan pendidikan maka kaum perempuan mampu mengangkat
harkat dan martabatnya, mampu melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Karena
itu, Rahmah sampai pada satu kesimpulan: perlu ada perguruan khusus untuk anak-
anak perempuan.
105
c. Mendirikan Sekolah
Berangkat dari keprihatinan di atas, Rahmah El-Yunusiyah bertekad untuk
mendirikan sekolah khusus bagi kaum perempuan. Dibantu oleh kakak sulungnya
Zainuddin Labay, akhirnya Rahmah El-Yunisiyah berhasil mewujudkan mimpinya.
Pada tanggal 1 November 1923 berdirilah Madrasah Diniyah Li al-Banat, artinya
sekolah khusus untuk anak-anak perempuan.
Mulanya perguruan ini tidak melaksanakan pendidikan dalam ruang kelas,
melainkan hanya di sebuah surau di Pasar Usang Padang Panjang, murid-murid Rahmah
duduk di tikar dan belajar membaca buku-buku berbahasa dan bertulisan Arab.
Seiring berjalannya waktu, murid Rahmah pun bertambah. Akan tetapi baru
sepuluh bulan sekolah ini berjalan, Zainuddin Labay dipanggil oleh Allah SWT,
meninggal dalam usia muda. Rahmah sangat terpukul dengan musibah ini.
Namun, dia tetap melanjutkan keberadaan Madrasah Diniyah Li al-Banat
bahkan membuat keputusan untuk memberikan pengajaran klasikal lengkap dengan
sarananya seperti gedung, meja, bangku, papan tulis, kapur dan sebagainya.
Rahmah berjuang keras untuk mendirikan gedung bagi sekolahnya. Berkat
kegigihannya, gedung sekolah itu pun dapat berdiri diatas tanah wakaf dari ibundanya
sendiri, Ummu Rafiah.
Baru berjalan tiga tahun, terjadi gempa Padang Panjang tahun 1926. Gedung
sekolah itu rubuh bersama banyak bangunan lainnya di kota itu. Bahkan gempa itu
menelon korban, sahabatnya sekaligus guru di Diniyah Putri, Nanisah, tertimbun
reruntuhan akibat gempa tersebut. Tapi Rahmah tetap bersemangat dan berusaha
mendirikan kembali sekolahnya. Rahmah memutuskan untuk mengadakan tour
sosialisasi cita-cita dan pemikirannya tentang perguruannya ke luar daerah sekaligus
penggalangan dana.
Pada tahun 1927, dia menggalang dana di Aceh dan Sumatera Utara selama tiga
bulan. Selain penggalangan dana, tour ini juga bertujuan sebagai ajang study banding
bagi para calon guru di Madrasah Diniyah Li al-Banat.
Ia juga berkunjung hingga ke Semenanjung Malaysia. Rahmah masuk ke istana-
istana Sultan, seperti Negeri Sembilan, Penang, Selangor, Pahang dan Kedah. Di sana ia
juga mengajar putri-putri istana. Para sultan pun memberikan apresiasi hingga bantuan
untuk membangun kembali perguruannya.
Setelah itu, Rahmah berhasil membangun gedung dan asrama yang mampu
menampung 275 murid dari 350 total murid keseluruhan. Selain perbaikan sarana fisik,
Rahmah juga mengadakan perbaikan kurikulum. Jika sebelumnya hanya mengajarkan
106
ilmu-ilmu agama, maka selanjutnya Rahmah memasukan pelajaran umum seperti
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Belanda, menulis latin, berhitung, tata buku,
hitung rugi laba, kesehatan, ilmu alam, ilmu tubuh manusia, ilmu bumi, ilmu
tumbuhan, ilmu binatang dan menggambar. Sedangkan program ekstra kurikulernya
meliputi renang, musik, menganyam, bertenun. Di tahun 1930-an, di depan
perguruannya ada kolam lalu digunakan untuk belajar berenang bagi murid-muridnya di
mana kolam tersebut dipagari dengan kain-kain mereka.
Berkat kegigihannya, lembaga pendidikannya mengalami perkembangan yang
sangat pesat. Di tahun 1926 ia membuka kelas Menjesal School. Kelas ini ditujukan
bagi para wanita yang belum bisa baca tulis. Kemudian tahun 1934 Rahmah berhasil
mendirikan sekolah Taman Kanak Kanak (Freubel School) dan Junior School (setingkat
HIS). Ia juga mendirikan Diniyah School Putri tujuh tahun yang terdiri dari tingkat
Ibditaiyah selama empat tahun dan tingkat Tsanawiyah selama tiga tahun.
Dalam kenyataannya, Rahmah el Yunusiyyah menghadapi problem tenaga
pendidik untuk lembaga pendidikan yang dibukanya. Guna memenuhi tuntutan tersebut,
ia membuka Kulliyat al Mu’alimat al Islamiyah pada tahun 1937. Kulliyatul Mu’alimat
al Islamiyyah ini bertujuan untuk mencetak tenaga guru muslimah profesional. Jangka
waktu pendidikannya ditempuh selama tiga tahun. Setahun sebelumnya, yaitu tahun
1936 Rahmah berhasil mendirikan sekolah tenun.
Diniyah School Putri Padang Panjang mendapat tempat di hati masyarakat.
Lulusannya sangat diminati. Tidak hanya di Sumatra dan Jawa bahkan hingga
masyarakat Malaysia dan Singapura. Rahmah kemudian membuka cabang Diniyah
School di beberapa tempat. Ketika ia mengikuti Kongres Perempuan Indonesia
mewakili Sumatera Barat di tahun 1935, Rahmah sekaligus membuka cabang di
Kwitang dan Tanah Abang. Kemudian di tahun 1950, ia membuka cabang di Jatinegara
dan Rawasari.
Rahmah juga mengirim siswi tamatan Diniyyah Puteri untuk mengajar di
Malaysia. Akhirnya banyak pula orang tua di negera tersebut yang menitipkan putrinya
untuk bersekolah dan dididik di Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang. Diantara
anak didiknya yang berhasil adalah Aisyah Aminy, politisi Indonesia, Nurhayati
Subakat, pengusaha kosmetik, dan Aisyah Gani, yang pernah menjabat sebagai Menteri
Kebajikan Masyarakat Malaysia.
Rahmah juga berusaha menyempurnakan institusinya dengan cara memiliki
lembaga pendidikan setingkat perguruan tinggi. Cita-cita ini terlaksana pada tahun 1967
dengan berdirinya Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Dakwah. Pada tahun 1969. Kedua
107
fakultas ini berubah namanya menjadi Fakultas Dirasah Islamiyyah Diniyah Puteri.
Ijazah Sarjananya diakui setara dengan Ijazah Fakultas Ushuluddin Sekolah Tinggi
Agama Islam Negeri (STAIN).
Dalam mengelola lembaga pendidikannya, Rahmah memilih sikap independen
tidak berafiliasi kepada pihak manapun, baik pemerintah maupun partai.Sikap ini
terlihat jelas ketika Rahmah menolak subsidi dana pendidikan dari pemerintah kolonial
Belanda. Rahmah juga menolak penggabungan sekolah-sekolah Islam di Minangkabau.
Dia berpendapat, independensi menyebabkan sekolah bebas untuk berjalan sesuai
dengan visi dan misi sendiri, sehingga mampu menghasilkan para pelajar yang cerdas,
shalihah dan militan.
108
11. Ia juga menjadi anggota Mahkamah Syari’ah Bukittinggi dan anggota Majelis Islam
Tinggi Sumatera Tengah.
12. Rahmah ikiut mendirikan organisasi sosial politik seperti ADI (Anggota Daerah
Ibu) Sumatera Tengah, tujuannya untuk menentang pengerahan kaum perempuan
Indonesia terutama di Sumatera Tengah sebagai jugun ianfu (perempuan penghibur)
tentara Jepang. ADI menuntut Jepang agar menutup rumah kuning (istilah untuk
prostitusi waktu itu) karena tidak sesuai dengan kebudayaan dan agama yang
dipeluk oleh bangsa Indonesia. Ternyata tuntutan itu berhasil. Perempuan Indonesia
tidak lagi menjadi budak pemuas nafsu seks tentara Jepang. Sebagai gantinya,
Jepang mendatangkan perempuan-perempuan dari Singapura dan Korea.
13. Rahmah adalah orang yang pertama kali mengibarkan sangsaka Merah Putih di
halaman sekolahnya setelah ia mendengar berita bahwa Indonesia Merdeka dari
Engku Syafi’i, Ketua Sumatera Cuo Sangi In, sedangkan Rahmah sendiri salah
seorang anggotanya. Mendengar berita bendera Merah Putih telah berkibar di
halaman Diniyah Puteri, pada hari itu pengebiran bendera pun terjadi di kantor-
kantor yang ada di berbagai pelosok.
e. Perjuangan Pasca-Kemerdekaan
Selama perang kemerdekaan, Rahmah ikut berjuang, meskipun tidak
memanggul senjata. Tanggal 12 Oktober 1945, Rahmah mempelopori berdirinya TKR
(Tentara Keamanan Rakyat) yang anggotanya berasal dari Gyu Gun Ko En Kai atau
Laskar Rakyat. Dapur asrama dan harta miliknya direlakan untuk pembinaan TKR yang
rata-rata masih muda usia.
Rahmah juga mengayomi barisan pejuang yang dibentuk organisasi Islam
seperti laskar Sabilillah, laskar Hizbullah dan lain-lain. Karena sifatnya yang
mengayomi, pemuda-pemuda pejuang kemerdekaan menyebutnya sebagai Bundo
Kanduang dari barisan perjuangan.
Ketika kota Padang panjang diduduki Belanda pada Agresi II, Desember 1948,
Rahmah mengubah perguruannya menjadi rumah sakit lalu memindahkan basis
gerakannya ke lereng Gunung Singgalang. Hal ini dilakukan agar Perguruan Diniyah
tidak diduduki oleh tentara Belanda.
Tanggal 7 Januari 1949, Rahmah ditangkap tentara Belanda di persembunyian-
nya di lereng Gunung Singgalang lalu ditahan di rumah seorang pejabat polisi Belanda
dengan penjagaan ketat dan dilarang menerima tamu. Tujuan penahanan ini hanya
untuk memisahkan dia dari kaum pejuang karena dianggap besar pengaruhnya.
109
Rahmah dibebaskan pada September 1949 dan diizinkan mengikuti Konferensi
Pendidikan di Yogyakarta lalu mengikuti pula Kongres Kaum Muslimin Indonesia di
Jakarta. Ia kembali ke Padang Panjang setelah penyerahan kedaulatan akhir 1949.
Rahmah juga tercatat sebagai salah seorang pendiri Partai Masyumi di
Minangkabau. Pada Pemilu 1955, Rahmah dicalonkan partainya dan terpilih menjadi
angota Dewan Perwakilah Rakyat Sementara (DPRS) mewakili Sumatera Tengah
(1955-1958).
g. Wafat
Pada tanggal 16 Februari 1969, Rahmah El-Yunusiyyah menemui Gubernur
Sumatera Barat, Harun Zain untuk membicarakan usaha memajukan perguruannya
khususnya dan perguruan Sumbar umumnya. Hari itu gubernur mengantarkannya
hingga halaman kantornya, melepas Rahmah menaiki mobil yang akan membawanya
kembali ke Padang Panjang. Esok harinya, Harun Zain menerima kabar bahwa Syaikhah
Rahmah el-Yunusiyah meninggal dunia. Rahmah wafat tanggal 27 Februari 1969 dalam
usia 68 tahun lewat dua bulan.
Rahmah El-Yunusiyyah telah berhasil membuktikan kepada dunia bahwa
muslimah Indonesia bukanlah perempuan yang terbelakang. Bahwa muslimah taat bisa
berkontribusi bagi agama dan bangsanya. Beliau berhasil mewujudkan cita-citanya
karena keyakinannya yang teguh kepada Allah serta tekadnya yang membaja. Meskipun
beliau telah tiada tapi semangatnya tetap mengalir hingga hari ini. Kisah hidupnya tetap
memberi inspirasi bagi seluruh muslimah Indonesia.
110
Referensi:
Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Center
Sumatera Barat, 1981.
Hamka, Ayahku; Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di
Sumatera, Jakarta: UMMINDA, 1982, cetakan ke-4
Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia, 2010
http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Khatib_Al-Minangkabawi
http://muslim.or.id/biografi/imam-khathib-masjid-al-haram-ahmad-al-khathib-al-minangkabawi.html
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1982
Putra, Apria,Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Matematika, http://surautuo.blogspot.
com/2013/11/syekh-ahmad-khatib-al-minangkabawi-dan.html
Yunus,Yulizal, dkk.,BeberapaUlama di Sumatera Barat, Padang:PemerintahPropinsi Sumatera Barat,
DinazsPariwisataSenidanBudaya UPTD Museum Adityawarman, 2008
\ Sumber:
Emma Yohanna, “Syaikhah Rahmah el-Yunusiyah”, dalam Edwar (ed.), Riwayat Hidup dan
Perjuangan 20 Ulama Besar Sumatera Barat, Padang: Islamic Center Sumatera Barat,
1981.
Hasril Chaniago, 101 Orang Minang di Pentas Sejarah, Padang: Yayasan Citra Budaya
Indonesia, 2010
Rahmah El Yunusiyah, Mujahidah dan Pelopor Pendidikan Perempuan Asal Padang, dalam
http://muslimahzone.com/rahmah-el-yunusiyah-mujahidah-dan-pelopor-pendidikan-
perempuan-asal-padang/
Rahmah El Yunusiyyah, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Rahmah_El_Yunusiyyah
Widi Astuti, dalam http://serbasejarah.wordpress.com/2013/05/03/rahmah-el-yunusiyah-
syaikhah-dunia-pendidikan-perempuan/
111