Bab 1-2

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

LAPORAN KASUS

1.1 Identitas pasien


Nama : Ny. Naniek Widjaja
Umur : 53 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status perkawinan : Sudah Menikah
Alamat : Dusun Krajan RT.01, RW.01, Sukapura
Tanggal masuk IGD : 27 Mei 2022
No.RM : 246865
DPJP : dr. Erika Arys Sandra, Sp.PD

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama :
Badan sering lemas

Riwayat Penyakit Sekarang (RPS) :


Pasien datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan badan sering
lemas dan kesemutan pada tangan sebelah kiri sejak 1 minggu. Kedua tangan
dirasakan baal/ kebas, kadang terasa nyeri. Pasien merasa heran karena
selama ini pasien banyak makan, dan minum manis tetapi justru badan
semakin lemas dan berat badan tidak naik. Pasien juga mengeluh sering
buang air kecil dan merasa sering haus. Nyeri kepala sejak 1 minggu. Pada
awalnya pasien mengeluh leher belakang terasa berat lalu diikuti nyeri kepala.
Keluhan demam, mual muntah, pusing berputar disangkal. Pasien sering sulit
tidur malam hari karena perasaan cemas yg sering muncul ingin menjaga
rumahnya saat malam hari. Pasien juga membawa hasil laboratorium.

Riwayat Penyakit Dahulu (RPD) :


 Riwayat diabetes mellitus (+) sejak 10 tahun yg lalu namun tidak pernah
minum obat dna kontrol. Riwayat dulu pernah minum obat glimepirid

1
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat alergi disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga (RPK) :


 Riwayat diabetes mellitus pada ayah pasien (+)
 Riwayat hipertensi dan alergi disangkal
 Riwayat penyakit asma pada keluarga disangkal

1.3 Pemeriksaan Fisik


Keadan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 199/101 mmHg
Nadi : 91 x / menit
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu : 36,6 ° C
SpO2 : 100 % RA

STATUS GENERALIS :
KEPALA
A/I/C/D : -/-/-/-
Leher : Kaku kuduk (-), tidak ada pembesaran KGB
THORAX
Pulmo:
Gerak nafas : Simetris normal
Suara nafas : Vesikuler/vesikuler , Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor :
Ictus cordis : Tidak tampak
Suara jantung : S1 S2 tunggal, reguler Murmur (-), Gallop (-)
ABDOMEN
Soefl, Bising usus (+) dbn, timpani pada seluruh dinding abdomen, nyeri
tekan (-) , massa (-).

2
EKSTREMITAS
Akral Hangat, Kering, Merah:
+ +
+ +

- - Edema:

- -

1.4 Pemeriksaan penunjang :


 Pemeriksaan laboratorium (25/05/2022)
 Hb : 12,9 g/dL
 Leukosit : 4730/ul
 PCV Hematokrit : 41
 Trombosit : 261.000/ul
 GDP : 153 mg/dl
 G2PP : 274 mg/dl
 BUN : 9 mg/dl
 Creatinin : 0,6 mg/dl
 Asam urat : 5,1 mg/dl
 Kolesterol total : 139 mg/dl
 HDL : 49 mg/dl
 LDL : 80 mg/dl mmol/L
 Trigliserida : 180 mg/dl

1.5 Diagnosa Kerja


Diabetes Melitus tipe 2 + Hipertensi + Neuropati DM + Hipertrigliserida

1.6 Resume
Pasien datang ke poli penyakit dalam dengan keluhan badan sering lemas
dan kesemutan pada tangan sebelah kiri sejak 1 minggu. Kedua tangan
dirasakan baal/ kebas, kadang terasa nyeri. Pasien banyak makan minum dan

3
sering buang air kecil dan merasa sering haus. Nyeri kepala sejak 1 minggu.
Pada awalnya pasien mengeluh leher belakang terasa berat lalu diikuti nyeri
kepala.Pasien sering sulit tidur malam hari karena perasaan cemas yg sering
muncul ingin menjaga rumahnya saat malam hari. Riwayat penyakit dahulu
DM (+).Pasien pernah konsumi obat glimepiride. Riwayat penyakit keluarga
ayah pasien DM (+). Hasil Laboratorium GDP 153 mg/dl, G2PP 274 mg/dl,,
Trigliserida 180 mg/dl.

1.7 Tatalaksana
 Glimepiride 1 mg 1-0-0
 Amlodipin 10 mg 0-0-1
 Candesartan 8 mg 1-0-0
 Neurobion 1x 5000
 Atorvastatin 20 mg 0-0-1
 Alprazolam 0,5 mg 0-0-1

1.8 Prognosis
dubia ad bonam

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Definisi

American Diabetes Association (ADA) mendefinisikan diabetes melitus


(DM) sebagai suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua- duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berasosiasi dengan kerusakan
jangka panjang, disfungsi, dan kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.6World Health Organization (WHO)
merumuskan diabetes melitus sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan
kimiawi akibat dari sejumlah faktor di mana didapat definisi insulin absolut atau
relatif dan gangguan fungsi insulin.3

2.1.2 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa pada tahun 2014,


sekitar 422 juta orang dengan usia lebih dri 18 tahun telah menderita DM, dimana
prevalensi tertingginya diduduki oleh negara bagian Asia Tenggara dan Pasifik
Barat. International Diabetes Federation (IDF) mengestimasikan bahwa
Indonesia akan mengalami peningkatan dalam jumlah penyandang DM sebesar
9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035. Berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2007, prevalensi nasional DM di Indonesia untuk usia di atas
15 tahun mencapai 5,7%. Hal ini membuat Indonesia menempati peringkat kelima
dalam jumlah penyandang DM terbanyak di dunia.1,4

Berdasarkan tipenya, DM Tipe 2 memiliki prevalensi yang jauh lebih besar


dibandingkan dengan DM Tipe 1 (>85%). Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2001 mendapatkan prevalensi diabetes melitus pada penduduk usia
25-64 tahun di Jawa dan Bali sebesar 7,5%. 4 World Health Organization (WHO)
memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes melitus di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini

5
menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes melitus sebanyak 2-
3 kali lipat pada tahun 2035.1

2.1.3 Patogenesis

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh kombinasi faktor genetik yang


berhubungan dengan gangguan sekresi insulin, resitensi insulin, dan faktor
lingkungan seperti obesitas, over eating, kurang berolah raga, stres, dan juga
penuaan. Penyakit ini merupakan penyakit multifaktorial yang melibatkan
multipel gen dan faktor lingkungan dan biasanya terjadi pada usia 30 tahun ke
atas.9

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan terganggunya sekresi insulin,


resistensi insulin, produksi hepatic glucose yang berlebihan, serta abnormalitas
metabolisme lemak. Pada fase awal penyakit ini, toleransi glukosa masih
mendekati normal meskipun ada resistensi insulin, hal tersebut karena sel beta
pankreas masih bisa mengkompensasi dengan meningkatkan sekresi insulin.
Seiring dengan berjalannya waktu, pancreatic islet tidak mampu mempertahankan
keadaan hiperinsulinemia. Setelah itu munculah suatu keadaan yang disebut
sebagai Impaired Glucose Tolerance (IGT) yang ditandai dengan peningkatan
kadar gula darah post prandial. Penurunan lebih lanjut pada sekresi insulin dan
meningkatnya produksi hepatic glucose menyebabkan terjadinya diabetes yang
nyata terlihat dengan hiperglikemia puasa. Akhirnya, kegagalan sel beta terjadi
kemudian.10
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Namun kini
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang
diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti :
jaringan lemak, gastrointestinal, sel alpha pancreas, ginjal, dan otak, berperan
dalam terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2. Delapan organ
penting yang terlibat dalam patogenesis hiperglikemia pada DM tipe 2 ini dikenal
sebagai omnius octet.1

6
Gambar 1. Ominous Octet, delapan organ yang dianggap berkaitan

dengan patogenesis hiperglikemia DM tipe 2

1. Kegagalan sel beta pancreas

Fungsi sel beta sudah sangat berkurang ketika diagnosis DM tipe 2


ditegakkan.1
2. Liver

Resistensi insulin yang berat pada DM Tipe 2 memicu glukoneogenesis


sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver meningkat atau
dikenal dengan sebutan hepatic glucose production (HGP).1
3. Otot

Gangguan kerja insulin yang multipel di intramioselular terjadi akibat


gangguan fosforilasi tirosin sehingga menimbulkan gangguan transport
glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi
glukosa.1
4. Sel Lemak

Peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas (FFA = free fatty
acid) dalam plasma diakibatkan oleh sel lemak yang resisten terhadap efek
antilipolisis dari insulin. Peningkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga
7
akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini
disebut sebagai lipotoxicity.1
5. Usus

Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon, yaitu GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependentinsulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada DM tipe 2 didapatkan defisiensi GLP- 1 dan
resistensi terhadap GIP. Selain itu, incretin juga segera dipecah enzim DPP-4,
sehingga incretin hanya bekerja dalam beberapa menit. Saluran pencernaan
juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan menyebabkan meningkatnya glukosa darah
setelah makan.1
6. Sel Alpha Pankreas

Ketika keadaan puasa, sel Alpha akan meningkat kadarnya di dalam plasma
dan berfungsi dalam sintesis glukagon. Peningkatan ini menyebabkan HGP
dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding orang normal.1
7. Ginjal

Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa per hari. Sembilan puluh persen
dari glukosa yang terfiltrasi akan diserap kembali melalui peran SGLT-2
(Sodium Glucose co-Transporter) pada bagian convulated tubulus
proksimal. Sedangkan 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT1
pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa
dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT- 2.1

8. Otak

Insulin berperan sebagai penekan nafsu makan yang kuat, akan tetapi pada
individu dengan DM asupan makanan justru meningkat karena adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak.1

2.1.4 Manifestasi Klinis


8
Manifestasi klinis pada DM tipe 2 dapat berupa keluhan klasik dan
keluhan lain. Keluhan klasik terdiri dari poliuria, polifagia, polidipsia, dan
penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Sedangkan
keluhan lain terdiri dari badan lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi, pruritus vulva.1

Polidipsia dan poliuria terjadi akibat tingginya kadar gula dalam aliran
darah sehingga menyebabkan cairan ditarik keluar dari jaringan, sehingga
menyebabkan penderita DM sering buang air kecil dan sering minum sebagai
kompensasinya. Polifagia disebabkan karena glukosa tidak bisa masuk ke sel
dan digunakan oleh sel, sehingga otot dan organ tubuh menjadi kekurangan
energi. Terganggunya penggunaan glukosa terjadi akibat terganggunya
kinerja insulin. Penurunan berat badan terjadi karena ketidakmampuan tubuh
untuk memetabolisme glukosa, sehingga tubuh menggunakan energi alternatif
yang diambil dari yang tersimpan di otot maupun lemak tubuh.11
2.1.5 Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan berdasarkan pemeriksaan kadar glukosa


darah. Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan untuk diagnosis adalah
pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan berupa plasma darah
vena. Glukosuria tidak dapat menegakkan diagnosis. Jika individu
mengalami keluhan yang baik berupa keluhan utama maupun keluhan lain,
kecurigaan terhadap DM perlu dipikirkan.1
Kriteria diagnosis DM adalah sebagai berikut.2
a. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL. Puasa didefinisikan sebagai tidak
ada intake kalori dalam setidaknya 8 jam, atau
b. Glukosa plasma 2 jam setelah tes toleransi glukosa ≥ 200 mg/dL. Tes
toleransi glukosa dilakukan sesuai standar WHO dengan 75gram glukosa
anhidrat yang dilarutkan dalam air, atau

c. A1C ≥ 6,5%. Pemeriksaan dilakukan pada laboratorium yang


menggunakan metode yang tersertifikasi NGSP dan terstandardisasi
DCCT assay, atau
d. Pasien dengan gejala klasik hiperglikemia atau krisis hiperglikemia,
dengan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL.
9
2.1.6 Penatalaksanaan

Modalitas terapi pada pasien DM terdiri dari edukasi, terapi


nutrisi, jasmani, dan terapi farmakologis.1
1. Edukasi

Edukasi meliputi promosi hidup sehat dan dilakukan sebagai


upaya pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari
pengelolaan DM secara holistik.1
2. Terapi Nutrisi

Komposisi makanan dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45-65%


terutama yang berserat tinggi. Lemak dianjurkan sekitar 20-25%
kebutuhan kalori, tidak melebihi 30% total asupan energi. Protein
sebesar 10-20% total asupan energi. Asupan natrium sama seperti
orang sehat yaitu <2300 mg per hari. Konsumsi serat dianjurkan 20-
35 gram/hari.1

Kebutuhan kalori bagi penderita DM adalah 25 kal/kgBB ideal


untuk wanita dan 30 kal/kgBB ideal untuk laki-laki. Jumlah
kebutuhan kalori bisa ditambah atau dikurangi atas dasar beberapa
faktor, seperti jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-
lain. Stres metabolik juga memengaruhi jumlah kalori yang harus
diberi, penambahan 10- 30% tergantung dari beratnya stres
metabolik (sepsis, operasi, trauma).1
Penghitungan berat badan ideal menggunakan rumus Broca yang
dimodifikasi, seperti berikut:1
- Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
- Pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di
bawah 150 cm, rumusnya menjadi:
- (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
- BB normal : BB ideal ± 10%
- Kurus : kurang dari BBI - 10%
- Gemuk : lebih dari BBI + 10%

10
3. Jasmani

Latihan jasmani merupakan salah satu pilar pengelolaan DM


tipe 2 yang tidak disertai nefropati. Kegiatan jasmani dilakukan
secara teratur sebanyak 3-5 kali per minggu selama sekitar 30-
45 menit, dengan total 150 menit per minggu. Latihan jasmani
yang dilakukan adalah yang bersifat aerobik dengan intensitas
sedang (50-70% denyut jantung maksmial). Contoh latihan
jasmani tersebut meliputi jalan cepat, bersepeda santai, jogging,
dan berenang.1
4. Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1
A. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat ini dibagi menjadi 5
golongan.
a.) Pemacu Sekresi Insulin
• Sulfonilurea : mempunyai efek utama sebagai
peningkat sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek
samping utamanya berupa hipoglikemia dan
peningkatan berat badan.
• Glinid : cara kerja sama dengan sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
pertama.
b.) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin
• Metformin : merupakan pilihan pertama bagi sebagian
besar kasus DM tipe 2. Efek utamanya mengurangi
produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan memperbaiki
ambilan glukosa di jaringan perifer.
• Tiazolindindion :agonis dari Peroxisome Proliferator
Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu
reseptor inti yang terdapat di sel otot, lemak, dan hati.

c.) Penghambat Absorpsi Glukosa di Saluran Pencernaan


Penghambat glusidase alfa : bekerja dengan memperlambat

11
absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan.

d.) Penghambat DPP-IV

Menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1


(Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif.
e.) Penghambat SGLT-2

Menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal


ginjal dengancara menghambat kinerja transporter glukosa
SGLT-2.
B. Obat Antihiperglikemia Suntik
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan :
- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik
- Penurunan berat badan yang cepat
- Hiperglikemia berat disertai ketosis
- Krisis hiperglikemia
- Gagal dengan kombinasi obat hiperglikemik oral
(OHO) dosis optimal
- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark
miokard akut, stroke)
- Kehamilan dengan DM/Diabetes melitus gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
- Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
- Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
- Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
Berdasarkan lama kerja insulin terbagi menjadi 5 jenis, yaitu :
1) Insulin kerja cepat (rapid-acting insulin)
Contoh: lispro (humalog), aspart (novorapid), glulisin
(apidra).Awitan (onset) 5-15 menit, puncak efek 1-2
jam, lama kerja 4-6 jam.
2) Insulin kerja pendek (short-acting insulin)
12
Contoh: humulin R, actrapid.Awitan (onset) 30-60
menit, puncak efek 2-4 jam, lama kerja 6-8 jam.
3) Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
Contoh: humulin N, insulatard, insuman basal.Awitan
(onset) 1,5-4 jam, puncak efek 4-10 jam, lama kerja 8-
12 jam.
4) Insulin kerja panjang (long acting insulin)
Contoh: glargine (lantus), detemir (levemir), lantus
300. Awitan (onset) 1-3 jam, puncak efek hampir tanpa
puncak, lama kerja 12-24 jam.
5) Insulin kerja ultra panjang (ultra long acting insulin)
Contoh: degludec (tresiba). Awitan (onset) 30-60
menit, puncak efek hampir tanpa puncak, lama kerja
sampai 48 jam.
6) Insulin campuran tetap.

Terapi insulin dapat diberikan secara infus intravena


kontinyu atau subkutan, secara terprogram atau
terjadwal. Kebutuhan insulin harian total (IHT) dapat
didasarkan pada dosis insulin sebelum perawatan atau
dihitung sebagai 0,5-1 unit/kg BB/hari. Untuk lanjut
usia atau pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
hendaknya diberikan dosis yanglebih rendah, misalnya
0,3 unit/kg BB/hari.12 Setelah kebutuhan insulin harian
total (IHT) dihitung, misalnya pada pasien dengan berat
badan 100 kg maka kebutuhan IHT nya adalah 0,5 unit
dikali 100 kg = 50 unit per hari. Empat puluh persen
dari 50 unit itu merupakan dosis insulin basal (50 unit x
40% = 20 unit) yang diberikan sebelum tidur. Enam
puluh persen dari 50 unit itu adalah dosis insulin
prandial (50 unit x 60% = 30 unit), dosis sebesar 30 unit
itu dibagi 3 dan dikonsumsi setiap setelah makan atau
dengan kata lain 10 unit setiap setelah makan.13

13
2.1.7 Komplikasi

Komplikasi pada DM tipe 2 dapat dibagi menjadi komplikasi aku dan


komplikasi kronik.1

A. Komplikasi Akut

- Krisis Hiperglikemia

Ketoasidosis Diabetik (KAD) merupakan komplikasi


akut yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah
yang tinggi (300600 mg/dL), disertai dengan tanda dan gejala
asidosis dan plasma keton (+) kuat, osmolalitas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi peningkatan anion
gap. Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) juga termasuk
krisis hiperglikemia dengan peningkatan glukosa darah
hingga 600-1200 mg/dL tanpa disertai tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380
mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit
meningkat.1
- Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah menurunnya kadar glukosa darah


< 70 mg/dL. Hipoglikemia ditandai dengan adanya whipple's
triad, yaitu terdapat gejala-gejala hipoglikemia, kadar
glukosa darah yang rendah, dan gejala berkurang dengan
pengobatan.1

B. Komplikasi Kronik

- Makroangiopati

Makroangiopati bisa mengenai pembuluh darah jantung,


pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Apabila
mengenai pembuluh darah tepi, gejala tipikal yang biasa
muncul pertama kali adalah nyeri ketika beraktivitas dan
berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun
sering juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki

14
merupakan kelainan yang bisa dapat ditemukan pada
penderita.1

- Mikroangiopati

Mikroangiopati dapat berupa retinopati diabetik,


nefropati diabetik, dan neuropati. Nefropati diabetik
merupakan penyebab paling utama dari gagal ginjal stadium
akhir. Sekitar 20-40% penderita diabetes akan mengalami
nefropati diabetes. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan
jika didapatkan kadar albumin >30 mg dalam urin 24 jam
pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan,
tanpa penyebab albuminuria lainnya.1

Pada neuropati perifer, hilangnya sensai distal


merupakan faktor penting yang berisiko tinggi untuk
terjadinya ulkus kaki dan meningkatkan risiko amputasi.
Gejala yang sering terasa oleh penderita meliputi rasa
terbakar pada kaki dan bergetar sendiri, serta pada malam
hari terasa lebih sakit. Pada polineuropati distal perlu
dilakukan perawatan kaki yang memadai untuk mengurangi
risiko ulkus pada kaki yang akhirnya bisa menjadi kaki
diabetes.1

15
2.2 Hipertensi

2.2.1 . Definisi

Berdasarkan JNC VII, seseorang dikatakan hipertensi bila tekanan


sistolik nya melebihi 140 mmHg dan atau diastoliknya melebihi 90 mmHg
berdasarkan rerata dua atau tiga kali kunjungan yang cermat sewaktu duduk
dalam satu atau dua kali kunjungan.21

Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah1,3

JNC ESC/ISH
VII (2007)
Klasifika
si
Sistoli Diastoli Sistoli Diastoli
k k k
k
Normal < 120 < 80 Optimal < 120 < 80
Pre- 130- 80-89 Normal 120- 80-84
129
Hipertensi 139
Tahap 1 140- 90-99 Normal 130- 85-89
Tinggi 139
159
Tahap 2 >160 >100 Tingkat 1 140- 90-99
159
Tingkat 2 160- 100-
179 109
Tingkat 3 > 180 > 110
Hipertensi > 140 < 90
Sistolik

2.2.2. Etiologi Hipertensi


Berdasarkan etiologinya hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi
hipertensi primer/essensial dengan insiden 80-95% dimana pada hipertensi jenis
ini tidak diketahui penyebabnya. Selain itu terdapat pula hipertensi sekunder
16
akibat adanya suatu penyakit atau kelainan yang mendasari, seperti stenosis
arteri renalis, penyakit parenkim ginjal, feokromositoma, hiperaldosteronism,
dan sebagainya.21

17
2.2.3. Faktor Resiko Hipertensi

Faktor-faktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik,


umur, jenis kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi
meliputi stres, obesitas dan nutrisi.22,24
 Usia
Usia mempengaruhi faktor resiko terkena Hipertensi dengan kejadian
paling tinggi pada usia 30 – 40 th. Kejadian 2X lebih besar pada orang kulit
hitam, dengan 3X lebih besar pada laki-laki kulit hitam, dan 5X lebih besar
untuk wanita kulit hitam.
 Jenis kelamin
Komplikasi hipertensi meningkat pada seseorang dengan jenis kelamin laki-
laki.
 Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi memberikan resiko terkena
hipertensi sebanyak 75%.
 Obesitas
Meningkatnya berat badan pada masa anak-anak atau usia pertengahan
resiko hipertensi meningkat.
 Serum lipid
Meningkatnya triglycerida atau kolesterol meninggi resiko dari hipertensi.
 Diet
Meningkatnya resiko dengan diet sodium tinggi, resiko meninggi pada
masyarakat industri dengan tinggi lemak, diet tinggi kalori.
 Merokok
Resiko terkena hipertensi dihubungkan dengan jumlah rokok dan lamanya
merokok. Terdapat penambahan kriteria, sebagai berikut :
a. Keturunan atau Gen
Kasus hipertensi esensial 70%-80% diturunkan dari orang tuanya
kepada anaknya.
b. Stres Pekerjaan
Hampir semua orang di dalam kehidupan mereka mengalami stress
berhubungan dengan pekerjaan mereka. Stres dapat meningkatkan
18
tekanan darah dalam waktu yang pendek, tetapi kemungkinan bukan
penyebab meningkatnya tekanan darah dalam waktu yang panjang

c. Asupan Garam
Konsumsi garam memiliki efek langsung terhadap tekanan darah.
Terdapat bukti bahwa mereka yang memiliki kecenderungan menderita
hipertensi secara keturunan memiliki kemampuan yang lebih rendah
untuk mengeluarkan garam dari tubuhnya
d. Aktivitas Fisik (Olahraga)
Olahraga lebih banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi
karena olahraga isotonik dan teratur dapat menurunkan tekanan darah.

2.2.4. Patogenesis Hipertensi


Pada dasarnya hipertensi merupakan penyakit multifaktorial yang timbul
akibat berbagai interaksi faktor-faktor resiko tertentu. Faktor-faktor resiko yang
mendorong timbulnya kenaikan.23
Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan abdomen.
Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak ke
bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini, neuron
preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan merangsang serabut saraf pasca
ganglion ke pembuluh darah kapiler, dimana dengan dilepaskannya norepinefrin
mengakibatkan konstriksi pembuluh darah kapiler.23

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi


respon pembuluh darah terhadap rangsang vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norepinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi. Pada saat bersamaan dimana
sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang
emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan tambahan aktivitas
vasokontriksi. Medula adrenal mengsekresi epinefrin yang menyebabkan
vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresi kortisol dan steroid lainnya, yang

19
dapt memperkuat respon vasokontriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin.
Renin merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi
angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang
sekresi aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi
natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume
intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetus keadaan hipertensi.
Perubahan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah perifer
bertanggung jawab pada perubahan tekanan darah yang terjadi pada lanjut usia.
Perubahan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas jaringan ikat,
dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah, yang pada
gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan daya regang pembuluh
darah. Konsekuensinya, aorta dan arteri besar berkurang kemampuannya dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume sekuncup),
mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan tahanan perifer.23

20
Gambar 2.1 Patogenesis Hipertensi23
Pada dasarnya, tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tekanan
perifer. Berbagai faktor yang mempengaruhi curah jantung dan tekanan perifer
akan mempengaruhi tekanan darah seperti asupan garam yang tinggi, faktor
genetik, stres, obesitas, faktor endotel. Selain curah jantung dan tahanan
perifer sebenarnya tekanan darah dipengaruhi juga oleh tebalnya atrium
kanan, tetapi tidak mempunyai banyak pengaruh. Dalam tubuh terdapat sistem
yang berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secara akut yang disebabkan
oleh gangguan sirkulasi yang berusaha untuk mempertahankan kestabilan
tekanan darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekanan darah
sangat kompleks. Pengendalian dimulai dari sistem yang bereaksi dengan cepat
misalnya reflek kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflek kemoreseptor, respon
iskemia, susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, arteri pulmonalis otot
polos. Dari sistem pengendalian yang bereaksi sangat cepat diikuti oleh sistem
pengendalian yang bereaksi kurang cepat, misalnya perpindahan cairan antara
sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol hormon angiotensin dan
vasopresin. Kemudian dilanjutkan sistem yang poten dan berlangsung dalam
jangka panjang misalnya kestabilan tekanan darah dalam jangka panjang
dipertahankan oleh sistem yang mengatur jumlah cairan tubuh yang melibatkan
berbagai organ. Peningkatan tekanan darah pada hipertensi primer dipengaruhi
oleh beberapa faktor genetik yang menimbulkan perubahan pada ginjal dan
membran sel, aktivitas saraf simpatis dan renin, angiotensin yang
mempengaruhi keadaan hemodinamik, asupan natrium dan metabolisme
natrium dalam ginjal serta obesitas dan faktor endotel. Akibat yang ditimbulkan
dari penyakit hipertensi antara lain penyempitan arteri yang membawa darah
dan oksigen ke otak, hal ini disebabkan karena jaringan otak kekurangan
oksigen akibat penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah otak dan akan
mengakibatkan kematian pada bagian otak yang kemudian dapat
menimbulkan stroke. Komplikasi lain yaitu rasa sakit ketika berjalan kerusakan
pada ginjal dan kerusakan pada organ mata yang dapat mengakibatkan kebutaan,
sakit kepala, Jantung berdebar-debar, sulit bernafas setelah bekerja keras
atau mengangkat beban kerja, mudah lelah, penglihatan kabur, wajah memerah,
hidung berdarah, sering buang air kecil terutama di malam hari telingga
21
berdering (tinnitus) dan dunia terasa berputar.23

2.2.5. Manifestasi Klinis Hipertensi


Gambaran klinis pasien hipertensi meliputi nyeri kepala saat terjaga,
kadang-kadang disertai mual dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah
intrakranial. Penglihatan kabur akibat kerusakan retina akibat hipertensi. Ayunan
langkah yang tidak mantap karena kerusakan susunan saraf pusat. Nokturia
karena peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerulus. Edema
dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler. Gejala lain
yang umumnya terjadi pada penderita hipertensi yaitu pusing, muka merah,
sakit kepala, keluaran darah dari hidung secara tiba-tiba, tengkuk terasa pegal
dan lain- lain.23

2.2.6. Diagnosis Hipertensi


Berdasarkan anamnesis, sebagian besar pasien hipertensi bersifat
asimptomatik. Beberapa pasien mengalami keluhan berupa sakit kepala, rasa
seperti berputar, atau penglihatan kabur. Hal yang dapat menunjang kecurigaan
ke arah hipertensi sekunder antara lain penggunaan obat-obatan seperti
kontrasepsi hormonal, kortikosteroid, dekongestan maupun NSAID, sakit kepala
paroksismal, berkeringat atau takikardi serta adanya riwayat penyakit ginjal
sebelumnya. Pada anamnesis dapat pula digali mengenai faktor resiko
kardiovaskular seperti merokok, obesitas, aktivitas fisik yang kurang,
dislipidemia, diabetes milletus, mikroalbuminuria, penurunan laju GFR, dan
riwayat keluarga.22,23

Berdasarkan pemeriksaan fisik, nilai tekanan darah pasien diambil rerata


dua kali pengukuran pada setiap kali kunjungan ke dokter. Apabila tekanan
darah ≥ 140/90 mmHg pada dua atau lebih kunjungan maka hipertensi dapat
ditegakkan. Pemeriksaaan tekanan darah harus dilakukan dengan alat yang baik,
ukuran dan posisi manset yang tepat (setingkat dengan jantung) serta teknik
yang benar. Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memeriksa komplikasi
yang telah atau sedang terjadi seperti pemeriksaan laboratorium seperti darah
lengkap, kadar ureum, kreatinin, gula darah, elektrolit, kalsium, asam urat dan
urinalisis. Pemeriksaan lain berupa pemeriksaan fungsi jantung berupa
22
elektrokardiografi, funduskopi, USG ginjal, foto thoraks dan ekokardiografi.
Pada kasus dengan kecurigaan hipertensi sekunder dapat dilakukan pemeriksaan
sesuai indikasi dan diagnosis banding yang dibuat. Pada hiper atau
hipotiroidisme dapat dilakukan fungsi tiroid (TSH, FT4, FT3),
hiperparatiroidisme (kadar PTH, Ca2+), hiperaldosteronisme primer berupa
kadar aldosteron plasma, renin plasma, CT scan abdomen, peningkatan kadar
serum Na, penurunan K, peningkatan eksresi K dalam urin ditemukan alkalosis
metabolik. Pada feokromositoma, dilakukan kadar metanefrin, CT scan/MRI
abdomen. Pada sindrom cushing, dilakukan kadar kortisol urin 24 jam. Pada
hipertensi renovaskular, dapat dilakukan CT angiografi arteri renalis, USG
ginjal, Doppler Sonografi.23,24

2.2.7. Penatalaksanaan Hipertensi


Penatalaksanaan hipertensi meliputi modifikasi gaya hidup namun terapi
antihipertensi dapat langsung dimulai untuk hipertensi derajat 1 dengan penyerta
dan hipertensi derajat 2. Penggunaan antihipertensi harus tetap disertai dengan
modifikasi gaya hidup.24
Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah:
 Target tekanan darah <150/90, untuk individu dengan diabetes, gagal ginjal,
dan individu dengan usia > 60 tahun <140/90
 Penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler
Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor resiko atau
kondisi penyerta lainnya seperti diabetes mellitus atau dislipidemia juga harus
dilaksanakan hingga mencaoai target terapi masing-masing kondisi.
Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfakmakologis dan
farmakologis. Terpai nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien
hipertensi dengan tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-
faktor resiko penyakit penyerta lainnya.
Modifikasi gaya hidup berupa penurunan berat badan (target indeks massa
tubuh dalam batas normal untuk Asia-Pasifik yaitu 18,5-22,9 kg/m2), kontrol diet
berdasarkan DASH mencakup konsumsi buah-buahan, sayur-sayuran, serta
produk susu rendah lemak jenuh/lemak total, penurunan asupan garam dimana
konsumsi NaCl yang disarankan adalah < 6 g/hari. Beberapa hal lain yang

23
disarankan adalah target aktivitas fisik minimal 30 menit/hari dilakukan paling
tidak 3 hari dalam seminggu serta pembatasan konsumsi alkohol. Terapi
farmakologi bertujuan untuk mengontrol tekanan darah hingga mencapai tujuan
terapi pengobatan. Berdasarkan JNC VIII pilihan antihipertensi didasarkan pada
ada atau tidaknya usia, ras, serta ada atau tidaknya gagal ginjal kronik. Apabila
terapi antihipertensi sudah dimulai, pasien harus rutin kontrol dan mendapat
pengaturan dosis setiap bulan hingga target tekanan darah tercapai. Perlu
dilakukan pemantauan tekanan darah, LFG dan elektrolit.21,24

Jenis obat antihipertensi:24


1. Diuretik

Obat-obatan jenis diuretic bekerja dengan mengeluarkan cairan tubuh


(lewatkencing), sehingga volume cairan tubuh berkurang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan dan berefek pada turunnya tekanan
darah. Contoh obat-obatan ini adalah: Bendroflumethiazide, chlorthizlidone,
hydrochlorothiazide, dan indapamide.
2. ACE-Inhibitor

Kerja obat golongan ini menghambat pembentukan zat angiotensin II (zat


yang dapat meningkatkan tekanan darah). Efek samping yang sering
timbul adalah batuk kering, pusing sakit kepala dan lemas. Contoh obat yang
tergolong jenis ini adalah Catopril, enalapril, dan lisinopril.
3. Calsium channel blocker

Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung


dengan menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang
tergolong jenis obat ini adalah amlodipine, diltiazem dan nitrendipine.
4. ARB

Kerja obat ini adalah dengan menghalangi penempelan zat angiotensin II pada
reseptornya yang mengakibatkan ringannya daya pompa jantung. Obat-obatan
yang termasuk golongan ini adalah eprosartan, candesartan, dan losartan.
5. Beta blocker

Mekanisme obat antihipertensi ini adalah melalui penurunan daya pompa


jantung. Jenis obat ini tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
24
mengidap gangguan pernafasan seperti asma bronchial. Contoh obat yang
tergolong ke dalam beta blocker adalah atenolol, bisoprolol, dan beta
metoprolol.

25
Gambar 2.3 Tata Laksana Menurut JNC
VII

26
Gambar 2.3 Algoritma penanganan hipertensi (JNC
8)

27
2.3. Dislipidemia
2.3.1. Definisi
Dislipidemia merupakan abnormalitas metabolisme lipid; dapat
berupa salah satu ataupun kombinasi tingginya kadar LDL-c, trigliserida,
dan/atau HDL-c.4 ASCVD merupakan proses inflamasi kompleks ditandai
dengan peningkatan inflamasi, akumulasi lipid pada dinding vaskular, dan
penyempitan lumen arteri.25

2.3.2. Etiologi dan patogenesis


Aterosklerosis merupakan gangguan umum akibat lemak,
kolesterol, dan endapan kalsium di lapisan arteri.26 Penumpukan ini
menghasilkan fibrous plaque yang terdiri dari tiga komponen:
1) ateroma yang merupakan massa nodular berlemak berwarna kekuningan
2) lapisan kristal kolesterol
3) lapisan terluar yang terkalsifikasi.27
Pecahnya plak akan mengakibatkan trombosis akut dan menjadi
penyebab ASCVD termasuk sindrom koroner akut seperti; angina tidak
stabil, nonST-elevation myocardial infarction (NSTEMI), dan ST
elevation myocardial infarction (STEMI), penyakit arteri perifer
(peripheral arterial disease/PAD), dan penyakit serebrovaskular.26

2.3.3. Klasifikasi
Dislipidemia terbagi menjadi dislipidemia primer dan sekunder.25
Dislipidemia primer terjadi karena masalah genetik berupa mutasi protein
reseptor yang mungkin disebabkan oleh cacat gen tunggal (monogenik)
atau beberapa gen (poligenik).28 Sedangkan dislipidemia sekunder terjadi
akibat perubahan pola makan dan kurangnya aktivitas fisik yang tepat.26
Dislipidemia sekunder muncul akibat penyakit yang mendasari seperti
diabetes melitus,sindrom nefrotik, konsumsi alkohol menahun, dan
penggunaan obat-obatan seperti kortikosteroid, kontrasepsi oral, serta
penyekat beta.

28
2.3.4. Faktor Resiko
Dislipidemia merupakan faktor risiko utama penyakit jantung
koroner (PJK) dan stroke di samping faktor risiko lain, baik faktor risiko
konvensional (diabetes melitus, hipertensi,obesitas, inaktivitas fisik,
merokok, jenis kelamin, dan umur) maupun faktor risiko non-
konvensional (inflamasi, stres oksidatif,gangguan koagulasi, dan
hiperhomosistein).25

2.3.5. Manifestasi Klinis


Dislipidemia umumnya tidak bergejala dan cenderung ditemukan
saat pemeriksaan profil lipid darah.27 Manifestasi klinis biasanya
merupakan komplikasi dislipidemia seperti PJK dan stroke.25 Kadar
trigliserida sangat tinggi dapat menyebabkan pankreatitis akut,
hepatosplenomegali, parestesia, dan gangguan kesadaran.26 Pada kadar
LDL sangat tinggi (hiperkolesterolemia familial) dapat timbul xantelasma
di kelopak mata juga xantoma di daerah tendon Achilles, siku, dan lutut.28

29
2.3.6. Diagnosis
Penapisan dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium untuk mencari faktor risiko kardiovaskular
terutama PJK, PAD, serta neurisma aorta abdominal.25 Anamnesis dan
pemeriksaan fisik terutama dilakukan pada :29
 Laki-laki usia ≥ 45 tahun, wanita usia ≥ 55 tahun
 Riwayat keluarga dengan PJK dini (infark miokard atau kematian
mendadak usia <55 tahun pada bapak atau <65 tahun pada ibu)
 Perokok aktif
 Hipertensi
 Kadar HDL-c rendah (<40 mg/dL)

2.3.7. Tatalaksana
Non-Farmakologi
Gaya hidup sehat mengurangi risiko ASCVD di segala usia.29 Beragam
jenis modifikasi gaya hidup sehat dan pengaruhnya tertera pada Tabel 4

30
Farmakologi
Statin Merupakan obat utama dalam tatalaksana dislipidemia;
dikenal sebagai HMG-CoA Reductase Inhibitor (atorvastatin, fluvastatin,
lovastatin, pravastatin, rosuvastatin, simvastatin) yang akan menghambat
reductase 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A (HMG-CoA),
mengganggu konversi biosintesis HMG-CoA serta mengurangi sintesis
LDL dan peningkatan katabolisme LDL melalui reseptor LDL.8 Statin
memiliki efek pleiotropik yang secara independen berperan dalam
pencegahan ASCVD.11 Efek pleiotropik akan memperbaiki fungsi
endotel, menghambat proses remodelling, menstabilkan plak
aterosklerosis, dan menurunkan stres oksidatif serta respons inflamasi
pada dinding vaskular.10Non-Statin Obat penurun kadar LDL-c selain
statin, yaitu penghambat absorpsi kolesterol, bile acid sequestrants, dan
PCSK9 inhibitor.29 Alur pemberian terapi farmakologi menurunkan kadar
lipid dapat dilihat pada Gambar 2.

31
32
33
34
DAFTAR PUSTAKA

1. Perkeni. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di


Indonesia. Jakarta: PB Perkeni. 2015.
2. ADA. Standards of Medical Care in Diabetes 2017. American Diabetes
Association. 2017; vol.40(Supplement 1).
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
4. Kemenkes RI. Infodatin Situasi dan Analisis Diabetes. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. 2014.
5. Cheng D. Prevalence, predisposition and prevention of type II diabetes. Nutr
Metab (Lond). 2005;2:29.
6. ADA. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care.
2014;37(Supplement 1): S81-S90.
7. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Global estimates of the prevalence of
diabetes for 2010 and 2030. Diabetic Reserach and clincal practice.
2010;87:4-14.
8. International Diabetes Federation. IDF Diabetes Atlas. 2015.
9. Ozougwu JC, Obimba KC, Belonwu CD, Unakalamba, CB. The pathogenesis
and pathophysiology of type 1 and type 2 diabetes mellitus. J. Physiol.
Pathophysiol. 2013;4(4):46-57.
10. Jameson JL. Harrison's Endocrinology 3rd Edition. McGrawHill. 2013.
11. Mayo Clinic. Type 2 Diabetes. 2016. Tersedia dalam :
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/type-2-
diabetes/symptomscauses/dxc-20169861 (diakses 5 Maret 2017).
12. Perkeni. Konsensus Penggunaan Insulin. Jakarta : PB Perkeni. 2015.
13. Canada Diabetes Association. Insulin Prescription. 2014.
14. Kartika RW. Pengelolaan Gangren Kaki Diabetik. CDK-248. 2017;44(1).
15. DeOrio JK. Claw Toe. 2016. Tersedia dalam :
http://emedicine.medscape.com/article/1232559-overview (diakses 5 Maret
2017).
16. Rykberg RG. Diabetic Foot Ulcers:Pathogenesis and Management. American
Family Physician. 2002;66(9):1655-62.
17. NHS. Gangrene Treatment. 2015. Tersedia dalam :
http://www.nhs.uk/Conditions/Gangrene/Pages/new_Treatment.aspx (diakses
5 Maret 2017).
18. Aggelidakis J, Lasithiotakis K, Topalidou A, Koutroumpas J, Kouvidis G,
Katonis P. Limb salvage after gas gangrene: a case report and review of the
literature. World Journal of Emergency Surgery. 2011;6:28.
19. Zhang P., Lu J., Jing Y., Tang S. Global epidemiology of diabetic foot
ulceration: a systematic review and meta-analysis. Journal Annals of
Medicine.
35
20. Warren C., Elasy. Review of the Patophysiology, Classification, and
Treatment of Foot Ulcers in Diabetic Patients. Journal of Clinical
Diabetes;27(2).
21. The Eight Joint National Commitee. Evidence based guideline for the
management of high blood pressure in adults-Report from the panel members
appointed to the eight joint national commitee. 2014.
22. ESH and ESC. 2013. ESH/ESC Guidelines For the Management Of Arterial
Hypertension. Journal Of hypertension 2013, vol 31, 1281-1357.
23. Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th Edition page 1653. The
McGraw – Hill Companies. 2005
24. Mohammad Yogiantoro. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Hipertensi
Esensial. Perhipunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia.
25. Aman A, Soewondo P, Soelistijo S. Pedoman pengelolaan dislipidemia di
Indonesia 2019. PB PERKENI; 2019.
26. Cabezas MC, Burggraaf B, Klop B. Dyslipidemias in clinical practice. Clinica
Chimica Acta. 2018;487:117-25
27. Verma N. Introduction to hyperlipidemia and its treatment: A review. Int J Curr
Pharm Res. 2016;9(1):6-14.
28. Onwe P, Folawiyo M, Anyigor-Ogah C, Umahi G, Okorocha A, Afoke A.
Hyperlipidemia: Etiology and possible control. Dent Med Sci. 2015;14(10):93-
100
29. Grundy SM, Stone NJ, Bailey AL, Beam C, Birtcher KK, Blumenthal RS, et al.
AHA/ACC/AACVPR/AAPA/ABC/ACPM/ADA/AGS/APhA/ASPC/NLA/PCN
A guideline on the management of blood cholesterol. A report of the American
College of Cardiology/American Heart Association Task Force on clinical
practice guidelines (vol 139,pg e1082, 2019). Circulation 2019;139(25):1182-6.

36

Anda mungkin juga menyukai