LP Appendikcitis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

APPENDICITIS

DOSEN PENGAMPU: DEBBIE NOMIKO, Ners., M.Kep

NAMA: MARIA ULFA


NIM: PO71202220078

PROGRAM STUDI PROFESI NERS JURUSAN KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES JAMBI
TAHUN 2022/2023
LAPORAN PENDAHULUAN APPENDICITIS

I. KONSEP DASAR
1. Definisi
Appendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini menyerang semua
umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki
berusia 10 sampai 30 tahun dan merupakan penyebab paling umum inflamasi akut
pada kuadran bawah kanan dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah
abdomen darurat (Smeltzer & Bare, 2013).
Appendisitis adalah kondisi dimana infeksi terjadi di umbai cacing. Dalam
kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak kasus memerlukan
laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang terinfeksi (Anonim, 2007
dalam Docstoc, 2010).

2. Anatomi & Fisiologi Appendicitis

a. Anatomi Appendisitis

Appendiks vermiformis atau yang sering disebut sebagai apendiks


adalah organ berbentuk tabung dan sempit yang mempunyai otot dan banyak
mengandung jaringan limfoid. Panjang apendiks vermiformis bervariasi dari
3-5 inci (8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan aspek posteromedial
caecum, 2,5 cm dibawah junctura iliocaecal dengan lainnya bebas. Lumennya
melebar di bagian distal dan menyempit di bagian proksimal (S. H. Sibuea,
2014).

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks


Sumber: (Eylin, 2009b).
Apendiks vermiformis terletak pada kuadran kanan bawah abdomen di
region iliaca dextra. Pangkalnya diproyeksikan ke dinding anterior abdomen
pada titik sepertiga bawah yang menghubungkan spina iliaca anterior
superior dan umbilicus yang disebut titik McBurney (Siti Hardiyanti Sibuea,
2014).
Hampir seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan
mesoapendiks (mesenter dari apendiks) yang merupakan lipatan peritoneum
berjalan kontinue disepanjang apendiks dan berakhir di ujung apendiks.
Vaskularisasi dari apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali di
ujung dari apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular,
derivate cabang inferior dari arteri ileocoli yang merupakan trunkus
mesentrik superior. Selain arteri apendikular yang memperdarahi hampir
seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius. Untuk aliran
balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocolic berjalan ke vena mesentrik
superior dan kemudian masuk ke sirkulasi portal (Eylin, 2009).

b. Fisiologi Appendisitis

Secara fisiologis, apendiks menghasilkan lendir 1 – 2 ml per hari.


Lendir normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalirkan ke
sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks berperan pada patogenesis
apendiks. Immunoglobulin sekreator yang dihasilkan oleh GALT (Gut
Associated Lympoid Tissue) yang terdapat di sepanjang saluran pencerna
termasuk apendiks ialah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai
perlindungan terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil
sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh
tubuh (Arifin, 2014).

3. Etiologi
Appendisitis akut merupakan infeksi bakteria. Berbagai hal berperan sebagai
faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan
sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor
apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain
yang diduga dapat menimbulkan appendisitis adalah erosi mukosa apendiks
karena parasit seperti E. histolytica (Jong, 2010).
Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan
rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendisitis. Konstipasi
akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.
Semuanya ini akan mempermudah timbulnya appendisitis akut (Jong, 2010).
4. Patofisiologi
Appendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh feses yang terlibat atau fekalit. Penjelasan ini sesuai dengan pengamatan
epidemiologi bahwa appendisitis berhubungan dengan asupan serat dalam
makanan yang rendah (Burkitt, 2007).
Pada stadium awal dari appendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular
dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada
permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang
bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal
(Burkitt, 2007).
Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam
lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai
apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi
nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan 12 menyebar ke rongga
peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan
terjadi (Burkitt, 2007).

5. Klasifikasi
Klasifikasi appendisitis terbagi menjadi dua yaitu, appendisitis akut dan
appendisitis kronik (Sjamsuhidajat & de jong, 2010):
a. Appendisitis akut.
Appendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh
radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai
maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala appendisitis akut
talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral
didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual
dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa
jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri dirasakan lebih
tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik
setempat.
b. Appendisitis kronik.
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan
adanya: riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria
mikroskopik appendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding
apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan
parut dan ulkus lama dimukosa, dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden
appendisitis kronik antara 1-5%.

6. Manifestasi Klinis

a. Nyeri kuadran kanan bawah dan biasanya demam

b. Mual, muntah
c. Anoreksia, malaise
d. Nyeri lepas lokal pada titik Mc. Burney
e. Spasme otot
f. Konstipasi, diare

7. Penatalaksanaan Medis

Menurut (Wijaya & Putri, 2013) penatalaksanaan medis pada appendisitis


meliputi:

a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala
appendisitis seringkali belum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat
perlu dilaksanakan. Klien diminta melakukan tirah baring dan
dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rektal serta pemeriksaan darah
(leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan
toraks tegak dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit
lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan lokalisasi
nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya infeksidan abses intra
abdominal luka operasi pada klien apendiktomi. Antibiotik diberikan
sebelum, saat, hingga 24 jam pasca operasi dan melalui cara pemberian
intravena (IV) (Sulikhah, 2014).
b. Operasi
Tindakan operasi yang dapat dilakukan adalah apendiktomi.
Apendiktomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara membuang
apendiks (Wiwik Sofiah, 2017). Indikasi dilakukannya operasi
apendiktomi yaitu bila diagnosa appendisitis telah ditegakkan berdasarkan
gejala klinis. Pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksan
penunjang USG atau CT scan.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anastesi umum atau spinal
dengan insisi pada abdomen bawah. Anastesi diberikan untuk memblokir
sensasi rasa sakit. Efek dari anastesi yang sering terjadi pada klien post
operasi adalah termanipulasinya organ abdomen sehingga terjadi distensi
abdomen dan menurunnya peristaltik usus. Hal ini mengakibatkan belum
munculnya peristaltik usus (Mulya, 2015).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Kiik, 2018) dalam 4 jam
pasca operasi klien sudah boleh melakukan mobilisasi bertahap, dan dalam
8 jam pertama setelah perlakuan mobilisasi dini pada klien pasca operasi
abdomen terdapat peningkatan peristaltik ususbahkan peristaltik usus
dapat kembali normal. Kembalinya fungsi peristaltik usus akan
memungkinkan pemberian diet, membantu pemenuhan kebutuhan
eliminasi serta mempercepat proses penyembuhan.
Operasi apendiktomi dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu operasi
apendiktomi terbuka dan laparaskopi apendiktomi. Apendiktomi terbuka
dilakukan dengan cara membuat sebuah sayatan dengan panjang sekitar 2
– 4 inci pada kuadran kanan bawah abdomen dan apendiks dipotong
melalui lapisan lemak dan otot apendiks. Kemudian apendiks diangkat
atau dipisahkan dari usus (Dewi, 2015).
Sedangkan pada laparaskopi apendiktomi dilakukan dengan membuat
3 sayatan kecil di perut sebagai akses, lubang pertama dibuat dibawah
pusar, fungsinya untuk memasukkan kamera super mini yang terhubung ke
monitor ke dalam tubuh, melalui lubang ini pula sumber cahaya
dimasukkan. Sementara dua lubang lain di posisikan sebagai jalan masuk
peralatan bedah seperti penjepit atau gunting. Ahli bedah mengamati organ
abdominal secara visual dan mengidentifikasi apendiks. Apendiks
dipisahkan dari semua jaringan yang melekat, kemudian apendiks diangkat
dan dikeluarkan melalui salah satu sayatan (Hidayatullah, 2014).

Jika apendiks mengalami perforasi bebas, maka abdomen dicuci


dengan garam fisiologis dan antibiotika.Tindakan pembedahan dapat
menimbulkan luka insisi sehingga pada klien post operatif apendiktomi
dapat terjadi resiko infeksi luka operasi.

c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan. Klien
dibaringkan dalam posisi terlentang. Klien dikatakan baik bila dalam 12
jam tidak terjadi gangguan. Puasa diteruskan sampai fungsi usus kembali
normal.

8. Komplikasi

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan appendisitis.Adapun


jenis komplikasi menurut (Sulekale, 2016) adalah:

a. Abses
Abses merupakan peradangan apendiks yang berisi pus. Teraba massa
lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mulamula
berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus.
Hal ini terjadi apabila appendisitis gangren atau mikroperforasi ditutupi
oleh omentum. Operasi appendektomi untuk kondisi abses apendiks dapat
dilakukan secara dini (appendektomi dini) maupun tertunda
(appendektomi interval). Appendektomi dini merupakan appendektomi
yang dilakukan segera atau beberapa hari setelah kedatangan klien di
rumah sakit. Sedangkan appendektomi interval merupakan appendektomi
yang dilakukan setelah terapi konservatif awal, berupa pemberian
antibiotika intravena selama beberapa minggu.
b. Perforasi
Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri
menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama
sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapat
diketahui praoperatif pada 70% kasus dengan gambaran klinis yang timbul
lebih dari 36 jam sejak sakit, panas lebih dari 38,5° C, tampak toksik, nyeri
tekan seluruh perut, dan leukositosis terutama Polymorphonuclear (PMN).
Perforasi baik berupa perforasi bebas maupun mikroperforasi dapat
menyebabkan terjadinya peritonitis. Perforasi memerlukan pertolongan
medis segera untuk membatasi pergerakan lebih lanjut atau kebocoran dari
isi lambung ke rongga perut. Mengatasi peritonitis dapat dilakukan oprasi
untuk memperbaiki perforasi, mengatasi sumber infeksi, atau dalam
beberapa kasus mengangkat bagian dari organ yang terpengaruh.
c. Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan pada peritoneum. Bila infeksi tersebar
luas pada permukaan peritoneum dapat menyebabkan timbulnya peritonitis
umum. Aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus
meregang, dan hilangnya cairan elektrolit mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oliguria. Peritonitis disertai rasa sakit perut yang
semakin hebat, muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.
Penderita peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat inap di rumah
sakit.
Beberapa penanganan bagi penderita peritonitis adalah:
1. Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik suntik
atau obat antijamur bila dicurigai penyebabnya adalah infeksi jamur,
untuk mengobati serta mencegah infeksi menyebar ke seluruh tubuh.
Jangka waktu pengobatan akan disesuaikan dengan tingkat keparahan
yang dialami klien.
2. Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk membuang
jaringan yang terinfeksi atau menutup robekan yang terjadi pada
organ dalam
II. WOC

Invasi & Multiplikasi

APPENDICITIS

Peradangan pada jaringan Mual Muntah sekresi mucus berlebih


pada lumen apendiks

Kerusakan control suhu terhadap inflamasi Resiko Hipovolemia Appendiks


teregang

Hipertermia Operasi Nyeri


Akut

Luka Insisi Defisit Anastesi

Kerusakan Jaringan Pintu masuk Kuman Ansietas Peristaltic usus

Pelepasan Prostagladin Distensi


abdomen

Spinal cord Nyeri Akut Mual Muntah

Cortex serebri Nyeri dipersepsikan Resiko


Hipovolemia

Sumber: (Nurarif & Kusuma, 2016)


III. Konsep Masalah Keperawatan
1. Definisi
Masalah keperawatan merupakan label diagnosis keperawatan yang
menggambarkan inti dari respon klien terhadap kondisi kesehatan atau proses
kehidupannya (PPNI, 2017).
2. Kriteria Mayor & Minor
Kriteria mayor adalah tanda dan gejala yang ditemukan sekitar 80%-100%
untuk validasi diagnosa. Sedangkan kriteria minor adalah tanda dan gejala yang
tidak harus ditemukan, namun dapat mendukung penegakan diagnosis (PPNI,
2017).
3. Faktor Yang Berhubungan
Kondisi atau situasi yang berkaitan dengan suatu masalah yang dapat
menunjang kelengkapan data untuk menegakan suatu diagnosis atau masalah
keperawatan (PPNI, 2017).
a. Masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus pre operatif appendicitis
yaitu:
1. Nyeri akut (D.0077).
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan
jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan
berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan.
Penyebab:
a. Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma).
b. Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan).
c. Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan).
Gejala dan Kriteria:
a. Mayor:
(1) Subjektif : Mengeluh nyeri.
(2) Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif (mis. Waspada
posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit
tidur.

b. Minor:
1) Subjektif:
2) Objektif: Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu
makan berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri, diaphoresis.
2. Hipertermia (D.130).
Suhu tubuh meningkat di atas rentang tubuh normal.
Penyebab
a. Dehidrasi.
b. Terpapar lingkungan panas.
c. Proses penyakit (mis. Infeksi, kanker.)
d. Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan.
e. Peningkatan laju metabolisme.
f. Respon trauma.
g. Aktivitas berlebihan.
h. Penggunaan incubator.
Gejala dan Kriteria:
a. Mayor :
(1) Subjektif :
(2) Objektif : Suhu tubuh diatas nilai normal.
b. Minor :
(1) Subjektif :
(2) Objektif : Kulit memerah, kejang, takikardi, takpnea, kulit terasa
hangat.
3. Resiko Hipovolemia (D.0034).
Beresiko mengalami penurunan volume cairan intravaskuler,
interstisiel, dan atau intraseluler.
Factor resiko :
a. Kehilangan cairan secara aktif.
b. Gangguan absorsi cairan.
c. Usia lanjut.
d. Kelebihan berat badan.
e. Status hipermetabolik.
f. Kegagalan mekanisme regulasi.
g. Evaporasi.
h. Kekurangan intake dan output cairan.
i. Efek agen farmakologis
4. Ansietas (D.0080).
Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap obyek
yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memugkinkan
individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.
Penyebab :
a. Krisis situsional.
b. Kebutuhan tidak terpenuhi.
c. Krisis maturasional.
d. Ancaman terhadap konsep diri.
e. Ancaman terhadap kematian.
f. Kekhawatiran mengalami kegagalan.
g. Disfungsi system keluarga.
h. Hubungan orang tua anak tidak memuaskan.
i. Factor keturunan (tempramen mudah teragitasi sejak lahir).
j. Penyalahgunaan zat.
k. Terpapar bahaya lingkungan (mis. Toksin, polutan, dan lain lain).
l. Kurang terpapar informasi.
Gejala dan Kriteria:
a. Mayor :
1. Subjektif : Merasa bingung, merasa khawatir dengan akibat
dari kondisi yang dihadapi, sulit berkonsentrasi.
2. Objektif : Tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur.
b. Minor :
1. Subjektif : Mengeluh pusing, anoreksia, palpitasi, merasa tidak
berdaya.
2. Objektif : Frekuensi nafas meningkat, frekuensi nadi
meningkat, tekanan darah meningkat, diaphoresis, tremor,
muka tampak pucat, suara bergetar, kontak mata buruk, sering
berkemih, berorintasi pada masa lalu.

b. Masalah keperawatan yang akan muncul pada kasus post operatif


appendicitis yaitu:
1) Nyeri akut (D.0077).
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak
atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung
kurang dari 3 bulan. Penyebab :
a) Agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia, neoplasma).
b) Agen pencedera kimiawi (mis. terbakar, bahan kimia iritan).
c) Agen pencedera fisik (mis. abses, amputasi, terbakar, terpotong,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik
berlebihan).
Gejala dan Kriteria :
a) Mayor :
(1) Subjektif : Mengeluh nyeri.
(2) Objektif : Tampak meringis, bersikap protektif (mis. Waspada
posisi menghindari nyeri), gelisah, frekuensi nadi meningkat,
sulit tidur.
b) Minor :
(1) Subjektif :
(2) Objektif : Tekanan darah meningkat, pola nafas berubah, nafsu
makan berubah, proses berfikir terganggu, menarik diri,
berfokus pada diri sendiri, diaphoresis.
2) Resiko hypovolemia (D.0034).
Beresiko mengalami penurunan volume cairan intravaskuler,
interstisiel, dan atau intraseluler.
Factor resiko :
a) Kehilangan cairan secara aktif.
b) Gangguan absorsi cairan.
c) Usia lanjut.
d) Kelebihan berat badan.
e) Status hipermetabolik.
f) Kegagalan mekanisme regulasi.
g) Evaporasi.
h) Kekurangan intake dan output cairan.
i) Efek agen farmakologis
3) Resiko Infeksi (D.0142).
Beresiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
Factor resiko :
a) Penyakit kronis (mis. Diabetes mellitus).
b) Efek prosedur infasif.
c) Malnutrisi.
d) Peningkatan paparan organisme pathogen lingkungan.
e) Ketidak adekuatan pertahanan tubuh primer:
(1) Gangguan peristaltic.
(2) Perubahan sekresi HP.
(3) Kerusakan integritas kulit.
(4) Penurunan kerja siliaris.
(5) Ketuban pecah lama.
(6) Ketuban pecah sebelum waktunya.
(7) Merokok.
(8) Status cairan tubuh.
f) Ketidak adekuatan pertahanan pertahanan tubuh sekunder :
(1) Penurunan hemoglobin.
(2) Imunosupresi.
(3) Leukopenia.
(4) Supresi respon inflamasi.
(5) Vaksinasi tidak adekuat

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Kadrianti, E., & I. (2013). Pengaruh Tindakan Mobilisasi Terhadap Penyembuhan
Luka Post Operasi Usus Buntu (Appendicitis) Di RSI Faisal Makassar.
Arifin, D. S. (2014). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Post Operatif Apendiktomy et
cause Appendisitis Acute.
Ariska, D. W., & Ali, M. S. (2019). Pengaruh Kebiasaan Konsumsi Junk Food Terhadap
Kejadiaan Obesitas Remaja. Jurnal Kesehatan Surya Mitra Husada, 1–7.
Bickley Lynn S & Szilagyi Peter G. (2018). Buku Saku Pemeriksaan Fisik & Riwayat
Kesehatan (p. 49). p. 49.
Burkitt, and R. (2007). Appendicitis. In: Essential Surgery Problems, Diagnosis, &
Management . (4th ed.). London: Elsevier Ltd.
Dewi, A. A. W. T. (2015). Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis Pada klien Operasi
Appendisitis Akut di Instalasi Rawat Inap RS Baptis Batu Jawa Timur.
Elizabeth J. Corwin. (2011). Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Adityamedi.
Eylin. (2009a). Karakteristik Klien dan Diagnosis Histologi Pada Kasus Appendisitis
Berdasarkan Data Registasi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UI
RSUP Cipto Mangunkusumo.
Eylin. (2009b). Ksrskteristik Klien dan Diagnosis Histologi Pada Kasus Appendisitis
Berdasarkan Data Registasi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UI
RSUP Cipto Mangunkusumo.
Goleman, daniel; boyatzis, Richard; Mckee, A. (2019). Kebiasaan Konsumsi Makanan Cepat
Saji Pada Siswa Kelas Viii Smp Negeri 1 Yogyakarta. Journal of Chemical Information
and Modeling, 53(9), 1689–1699. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Hasanah, H. (2016). Teknik-teknik observasi. 21–46.
Hidayatullah, R. M. R. (2014). Efektivitas Antibiotik yang Digunakan pada Pasca Operasi
Appendisitis Di RUMKITAL dr . Mintohardjo Jakarta Pusat.
Jong, S. & de. (2010). Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Kedokteran, F. (2018). Teknik inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. Basic Physical
Examination : Teknik Inspeksi, Palpasi, dan auskultasi,(0271)
Kiik, S. M. (2018). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Waktu Pemulihan Peristaltik Usus
Pada Ruang ICU BPRSUD Labuang Baji Makassar.
Mansjoer, A. (2011). Kapita Selekta Kedokteran (ketiga jil). Jakarta.
Mulya, R. E. (2015). Pemberian Mobilisasi Dini Terhadap Lamanya Penyembuhan Luka Post
Operasi Apendiktomi.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Berdasarkan Penerapan
Diagnosa Nanda, NIC, NOC dalam Berbagai Kasus. Jogjakarta: Mediaction.
Potter, P., & Perry, A. (2014). Fundamentals of Nursing (7th ed.). Philadelphia: Elsevier Ltd.
PPNI, T. P. S. D. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan:
Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
RAdwan, G. M. (2013). Penyakit Hati, Lambung, Usus, dan Ambeien (Cetakan 1).
Yogyakarta: Nuha Medika. Rasubala. (2017). Pengaruh Teknik Relaksasi Benson
Terhadap Skala Nyeri pada Klien Post Operasi di RSUP. PROF. dr. R.D. Kandou dan
RS Tk. III R.W. Monginsidi Teling Manado.

Anda mungkin juga menyukai