Makalah Tasawuf

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:

Hj. Ida Firdaus, M.Pd. I

Disusun Oleh:
Ayu Septiani (2031060027)
Kelas/Prodi: 2A, Psikologi Islam

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb.

Segala puji bagi Allah SWT. atas segala Rahmat dan taufik-Nya, sehingga tugas makalah dapat
saya selesaikan dengan lancar. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi
Muhammad Saw. yang telah membimbing manusia ke jalan yang lurus dan di ridhai Allah SWT.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak dan Tasawuf, yang berupa
penjelasan tentang definisi, tujuan, hakikat, sejarah serta sumber normatif ajaran Tasawuf dalam
Al-Qur’an dan Hadist dari Tasawuf. Saya menyadari bahwa penyajian makalah ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun.

Demikian yang dapat saya sampaikan, berharap laporan makalah ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak. Atas bantuannya saya ucapkan terimakasih.

Wassalamualaikum wr.wb.

Lampung, April 2021

Ayu Septiani
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ............................................................................................................................i
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................................................ii
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................
1.3 Tujuan......................................................................................................................

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian................................................................................................................
2.2 Tujuan......................................................................................................................
2.3 Hakikat.....................................................................................................................
2.4 Sejarah Tasawuf......................................................................................................
2.5 Sumber Normatif ajaran Tasawuf …..…………………………………………….
BAB III PENUTUPAN
3.1 Kesimpulan...................................................................................................................
3.2 Saran ............................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tasawuf dalam dunia Islam baru akhir-akhir ini dipelajari sebagai ilmu, sebelumnya dipelajari
sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Manusia pada dasarnya adalah suci, maka
kegiatan yang dilakukan oleh sebagian manusia untuk mensucikan diri merupakan naluri
manusia. Usaha yang mengarah kepada pensucian jiwa terdapat di dalam kehidupan tasawuf.
Tasawuf merupakan suatu ajaran untuk mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Allah bahkan
kalau bisa menyatu dengan Allah melalui jalan dan cara, yaitu maqâmât dan ahwâl. Untuk lebih
jelasnya, dalam makalah ini saya akan mencoba memaparkan beberapa persoalan yang
berhubungan dengan tasawuf, yaitu pengertian tasawuf, sejarah perkembangan tasawuf, manfaat
tasawuf, serta sumber normatif ajaran Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadist.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Tasawuf?
2. Apa tujuan dan hakikat dari Tasawuf?
3. Bagaimana sejarah perkembangan Tasawuf?
4. Bagaimana sumber normatif ajaran Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadist?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Tasawuf
2. Untuk mengetahui tujuan dan hakikat Tasawuf
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan Tasawuf
4. Untuk mengetahui sumber normatif ajaran Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadist.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tasawuf

Terdapat beragam pendapat mengenai akar kata tasawuf. Ada yang mengatakan bahwa kata
tasawuf berasal dari kata shufah (kain dari bulu), karena kepasrahan seorang sufi kepada Allah
ibarat kain wol yang dibentangkan. Ada yang berpendapat shifah (sifat) sebab, seorang sufi
adalah orang yang menghiasi diri dengan segala sifat terpuji dan meninggalkan setiap sifat
tercela.

Pendapat lain mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata shuffah (sufah) sebab, seorang sufi
mengikuti ahli sufah dalam sifat yang telah ditetapkan Allah bagi mereka. Al-Qusyari
berpendapat bahwa tasawuf berasal dari shafwah (orang pilihan atau suci). shaf (saf), seolah para
sufi berada di saf pertama dalam menghadapkan diri kepada Allah dan berlomba-lomba untuk
melakukan ketaatan.

Sebagian kalangan mengatakan, kata tasawuf dinisbatkan pada kain wol yang kasar (shuf
khasyin). Sebab, para sufi gemar memakainya sebagai simbol zuhud dan kehidupan yang keras.

Jadi Tasawuf adalah usaha untuk membersihkan atau mensucikan jiwa, serta cara untuk melawan
hawa nafsu, memperbaiki akhlak dan mencapai maqam ihsan. Dengan kata lain yaitu usaha
menaklukan dimensi jasmani manusia agar tunduk dimensi rohani.

Tasawuf oleh kaum orientalis disebut dengan sufisme. Sufisme dipakai untuk mistisisme Islam
dan tidak dipakai untuk mistisisme agama-agama lain. Orang yang pertama kali memakai kata
sufi adalah Abu Hasyim al-kufi di Irak (150 H).

2.2 Tujuan

Secara umum, tujuan terpenting dari sufi ialah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Akan
tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, terlihat adanya tiga sasaran
“antara” dari tasawuf, yaitu:

1. Tasawuf yang bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan
kestabilan jiwa yang berkesinambungan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga
manusia konsisten dan komitmen hanya kepada keluhuran moral. Tasawuf yang bertujuan
moralitas ini, pada umumnya bersifat praktis.

2. Tasawuf yang bertujuan ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-Kasyf
al-Hijab. Tasawuf jenis ini sudah bersifat teoritis dengan seperangkat ketentuan khusus yang
diformulasikan secara sistimatis analitis.
3. Tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri
kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis hubungan antara Tuhan dengan makhluk,
terutama hubungnan manusia dengan Tuhan dan apa arti dekat dengan Tuhan.dalam hal apa
makna dekat dengan Tuhan itu, terdapat tiga simbolisme yaitu; dekat dalam arti melihat dan
merasakan kehadiran Tuhan dalam hati, dekat dalam arti berjumpa dengan Tuhan sehingga
terjadi dialog antara manusia dengan Tuhan dan makan dekat yang ketiga adalah penyatuan
manusia dengan Tuhan sehingga yang terjadi adalah menolong antara manusia yang telah
menyatu dalam iradat Tuhan.

Dari uraian singkat tentang tujuan sufisme ini, terlihat ada keragaman tujuan itu. Namun
dapat dirumuskan bahwa, tujuan akhir dari sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan
atau keduanya secara bersamaan, yaitu: (1) penyerahan diri sepenuhya kepada kehendak mutlak
Allah, karena Dialah penggerak utama dari sermua kejadian di alam ini; (2) penanggalan secara
total semua keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan
kehidupan duniawi (teresterial) yang diistilahkan sebagai fana’ al-ma’asi dan baqa’ al-ta’ah; dan
(3) peniadan kesadaran terhadap “diri sendiri” serta pemusatan diri pada perenungan terhadap
Tuhan semata, tiada yang dicari kecuali Dia. Ilāhi anta maksūdīy wa ridhāka mathlūbīy.

2.3 Hakikat Tasawuf

Kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau masuk ke
dalam II Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari. Syaikhul Islam ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan dalam Majmu 'Fatawa-nya: ”Adapun kata sufi tidak dikenal di 3 masa
yang utama) shahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in) dan hanya dikenal setelah masa itu. Hal ini banyak
dinukil oleh para imam, seperti imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad-darani dll.
Diriwayatkan bahwa Sufyan Ats-Tsuari berbicara tentang masalah ini (sufi), tapi sebagian
mereka menceritakan riwayat tsb dari Al Hasan Al Bashri.

Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf
(bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama kali
muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah
sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adlah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia
(Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa
takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia.

Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah
sampai berita tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia:
”Sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba.
Mereka menyatakan ingin tahu pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita
lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dll, atau komentar yang senada dengan
itu.
Kemudian beliau (Ibn Taimiyah) melanjutkan: ”Mereka menisbatkan kepada pakaian yang
dhahir, yaitu pakaian dari bulu domba, maka mereka disebut shuffi…. Akhirnya beliau (ibn
Taimiyah) berkata: ”Maka inilah asal tasawwuf, kemudian berkembang menjadi beraneka ragam
dan bercabang-” [Majmu Fatawa: XI: 5-7, 16, 17]

Disini diterangkan bahwa tasawuf tumbuh dinegeri-negeri Islam melalui para ahli ibadah dari
Basrah SBG hasil sikap keterlaluan mereka dalam zuhud dan ibadah. Kemudian hal itu terus
berkembang melalui kitab-kitab orang-orang yang belakangan ini dan ditanamkan dinegeri-
negeri kaum muslimin melalui ideologi-ideologi masyarakat seperti Hindu, Budah dan
kepasturan Nashrani. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Muhammad bin Sirrin yang
berkata: “Sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu
domba. Mereka menyatakan ingin tahu pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi
kita lebih kita cinta. ”Jelaslah bahwa tassawuf memiliki ikatan dengan agama Nashrani!!!

Dr. Shobir Tho'imah memberi komentar dalam kitab As Shufiyah Mu'taqadan wa maslakan: ”
Jelas bahwa tasawuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nashrani, mereka suka
memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. dan ini banyak sekali. Islam
memutuskan kebiasaan ini ketika ia membebaskan negeri dngan tauhid. Islam memberikan bekas
dengan jelas thd kehidupan peribadatan orang-orang dahulu

Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah pernyataan dalam bukunya At Tashawwuf al Mansya
'wal Mashadir: ”Ketika kita memperhatikan dengan telitiI tentang ajaran sufi yang pertama dan
terakhir (belakangan) serta pendapat-pendapat yang dinukil dan membantu oleh mereka di dalam
kitab-kitab sufi baik yang lama atau yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan
yang jauh antara Sufi dengan al Qur'an dan As Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya
bibit-bibit sufi dalam perjalanan hidup Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam dan para shahabat
beliau, yang mereka adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan mahlukNya (setelah para
Nabi dan Rasul, ed), tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan
Nasharani, Brahmana (Hindu) dan Yahudi serta kezuhudan agama Budha.

Syaikh Abdurrahman al Wakil rahimahullah kalimat di dalam kitabnya Mashra'ut tashawwuf: ”


Sesungguhnya tasawuf itu adalah tipuan / makar paling rendah / hina dan tercela. Setan telah
menipu para hamba Allah dan mengatur Allah Azza wa Jalla dan rasulNya. Sesungguhnya
tasawuf adalah (sebagai) topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang Rabbani,
bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di
dalamnya (ajaran sufi itu) Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme,
Nashranisme, dan Paganisme “

Dalam kesempatan ini kita telah membawakan pendapat-pendapat dari kitab-kitab sekarang
tentang asalnya sufi dan juga banyak yang tidak kita sebutkan yang semuanya saling berpendapat
seperti ini. Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari) luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini
tampak dari kebisaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya (tashawwuf). Sufi adalah suatu
ajaran yang aneh (asing) di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah Azza wa Jalla. Yang
dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi
kebohongan. adapun yang terdahulu (dinisbatkan), mereka masih netral seperti Al Fudhail bin
Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham

2.4 Sejarah Perkembangan Tasawuf

Dari beberapa keterangan, diketahui bahwa sesungguhnya pengenalan tasawuf sudah ada dalam
kehidupan Nabi saw., sahabat, dan tabi’in. Sebutan yang populer bagi tokoh agama sebelumnya
adalah zāhid, ābid, dan nāsik, namun term tasawuf baru dikenal secara luas di kawasan Islam
sejak penghujung abad kedua Hijriah. Sebagai perkembangan lanjut dari ke-shaleh-an asketis
(kesederhanaan) atau para zāhid yang mengelompok di serambi masjid Madinah. Dalam
perjalanan kehidupan, kelompok ini lebih mengkhususkan diri untuk beribadah dan
pengembangan kehidupan rohaniah dengan mengabaikan kenikmatan duniawi. Pola hidup ke-
shalehan yang demikian merupakan awal pertumbuhan tasawuf yang kemudian berkembang
dengan pesatnya. Fase ini dapat disebut sebagai fase asketisme dan merupakan fase pertama
perkembangan tasawuf, yang ditandai dengan munculnya individu-individu yang lebih mengejar
kehidupan akhirat sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan keasyikan
duniawi. Fase asketisme ini setidaknya sampai pada dua Hijriah dan memasuki abad tiga Hijriah
sudah terlihat adanya peralihan konkrit dari asketisme Islam ke sufisme. Fase ini dapat disebut
sebagai fase kedua, yang ditandai oleh antara lain peralihan sebutan zāhid menjadi sufi. Di sisi
lain, pada kurun waktu ini, percakapan para zāhid sudah sampai pada persoalan apa itu jiwa yang
bersih, apa itu moral dan bagaimana metode pembinaannya dan perbincangan tentang masalah
teoritis lainnya.

Tindak lanjut dari perbincangan ini, maka bermunculanlah berbagai teori tentang jenjang-
jenjang yang harus ditempun oleh seorang Sufi (al-maqāmat) serta ciri-ciri yang dimiliki oleh
seorang sufi pada tingkat tertentu (al-hāl). Demikian juga pada periode ini sudah mulai
berkembang pembahasan tentang al-ma’rifat serta perangkat metodenya sampai pada tingkat
fana’ dan ijtihad. Bersamaan dengan itu, tampil pula para penulis tasawuf, seperti al-Muhāsibi
(w. 243 H), al-Kharraj (w. 277 H.), dan al-Junaid (w. 297 H.), dan penulis lainya. Fase ini
ditandai dengan munculnya dan berkembangnya ilmu baru dalam khazanah budaya Islam, yakni
ilmu tasawuf yang tadinya hanya berupa pengetahuan praktis atau semacam langgam
keberagamaan. Selama kurun waktu itu tasawuf berkembang terus ke arah yang lebih spesifik,
seperti konsep intuisi, al-kasyf, dan dzawq.

Kepesatan perkembangan tasawuf sebagai salah satu kultur ke-Islaman, nampaknya


memperoleh infus atau motivasi dari tiga faktor. Infus ini kemudian memberikan gambaran
tentang tipe gerakan yang muncul.

Pertama: adalah karena corak kehidupan yang profan dan hidup kepelesiran yang diperagakan
oleh ummat Islam terutama para pembesar dan para hartawan. Dari aspek ini, dorongan yang
paling besar adalah sebagai reaksi dari sikap hidup yang sekuler dan gelamour dari kelompok elit
dinasti penguasa di istana. Profes tersamar ini mereka lakukan dengan gaya murni etis,
pendalaman kehidupan spiritual dengan motivasi etikal. Tokoh populer yang dapat mewakili
aliran ini dapat ditunjuk Hasan al-Bahsri (w. 110 H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam
kesejarahan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd dan khawf – al-raja’, rabi’ah al-Adawiyah
(w. 185 H) dengan ajaran al-hubb atau mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w. 200 H) dengan
konsepsi al-syawq sebagai ajarannya. Nampaknya setidaknya pada awal munculnya, gerakan ini
semacam gerakan sektarian yang interoversionis, pemisahan dari trend kehidupan, eksklusif dan
tegas pendirian dalam upaya penyucian diri tanpa memperdulikan alam sekitar.

Kedua: timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal kepada radikalisme kaum khawarij dan
polarisasi politik yang ditimbulkannya. Kekerasan pergulakan politik pada masa itu, orang-orang
yang ingin mempertahankan ke-shaleh-an dan ketenangan rohaniah, terpaksa mengambil sikap
menjauhi kehidupan masyarakat ramai untuk menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari
keterlibatan langsung dalam pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran
‘uzlah yang dipelopori oleh Surri al-Saqathi (w. 253 H). Apabila diukur dari kriteria sosiologi,
nampaknya kelompok ini dapat dikategorikan sebagai gerakan “sempalan”, satu kelompok
ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif yang cenderung ekslusif dan kritis tehadap
penguasa.

Dalam pandangan ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya


merupakan pelarian, atau mencari konpensasi untuk menang dalam medan perjuangan duniawi.
Ketika di dunia yang penuh tipu daya ini sudah kering dari siraman cinta sesama, mereka bangun
dunia baru, realitas baru yang terbebas dari kekejaman dan keserakahan, dunia spiritual yang
penuh dengan salju cinta.

Faktor ketiga, tampaknya adalah karena corak kodifikasi hukum Islam dan perumusan ilmu
kalam yang rasional sehingga kurang bermotivasi etikal yang menyebabkan kehingan
moralitasnya, menjadi semacam wahana tiada isi atau semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas
faham keagamaan dirasakan semakin kering dan menyesakkan rūh al-dīn yang menyebabkan
terputusnya komunikasi langsung suasana keakraban personal antara hamba dan penciptanya.
Kondisi hukum dan teologis yang kering tanpa jiwa itu, karena dominannya posisi agama dalam
agama, para zuhūdan tergugah untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga
memacu penggeseran seketisme ke-shaleh-an kepada tasawuf.

Apabila dilihat dari sisi tasawuf sebagai ilmu, maka fase ini merupakan fase ketiga yang
ditandai dengan dimulainya unsur-unsur di luar Islam berakulturasi dengan tasawuf. Ciri lain
yang penting pada fase ini adalah timbulnya ketegangan antara kaum orthodoks dengan
kelompok sufi berfaham ittihad di pihak lain.

Akibat lanjut dari pembenturan pemikiran itu, maka sekitar akhir abad ketiga Hijriah
tampil al-Karraj (w. 277 H) bersama al-Junaid (w. 297 H) menawarkan konsep-konsep tasawuf
yang kompromistis antara sufisme dan orthodoksi. Tujuan gerakan ini adalah untuk
menjembatani atau bila dapat untuk mengintegrasikan antara kesadaran mistik dengan syariat
Islam. Jasa mereka yang paling bernilai adalah lahirnya doktrin al-baqa’ atau subsistensi sebagai
imbangan dan legalitas al-fana’. hasil keseluruhan dari usaha pemaduan itu, doktrin sufi
membuahkan sejumlah besar pasangan-pasangan kategori dengan tujuan memadukan kesadaran
mistik dengan syari’ah sebagai suatu lembaga. Upaya tajdid itu mendapat sambutan luas dengan
tampilnya penulis-penulis tasawuf tipologi ini, seperti al-Sarraj dengan al-Luma, al-Kalabasi
dengan al-Ta’arruf li Mazhāhib Ahl al-Tasawuf dan al-Qusyairi dengan al-Risālah.

Sesudah masanya ketiga sufi ini, muncul jenis tasawuf yang berbeda, yaitu tasawuf yang
merupakan perpaduan antara sufisme dan filsafat sebagai hasil pikir Ibnu Masarrah (w. 381 H)
dengan konsepsinya ma’rifat sejati, sebagai gabungan dari sufisme dan teori emanasi Neo-
Platonisme. Gagasan ini, sesudah masa al-Gazali dikembangkan oleh Suhrawardi al-Maqtūl (w.
578 H) dengan doktrin al-Isyrākiyah atau illuminasi. Gerakan orthodoksi sufisme mencapai
puncaknya pada abad lima Hijriah memalui tokoh monumental al-Gazali (w. 503 H). Dengan
upayanya mengikis semua ajaran tasawuf yang menurutnya tidak Islami. Sufisme hasil
rekayasanya itu yang sudah merupakan corak baru, mendapat tempat yang terhormat dalam
kesejahteraan pemikiran ummat Islam. Cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan pertikaian
itu, adalah dengan penegasan bahwa ucapan ekstatik berasal dari orang arif yang sedang dalam
kondisi sakr atau terkesima. Sebab dalam kenyataanya, kata al-Gazali, setelah mereka sadar
mereka mengakui pula, bahwa kesatuan dengan Tuhan itu bukanlah kesatuan hakiki, tetapi
kesatuan simbolistik.

Pendekatan yang dilakukan oleh al-Gazali, nampaknya bagi satu pihak memberikan
jaminan untuk mempetahankan prinsip bahwa Allah dan alam ciptaan-Nya adalah dua hal yang
berbeda, sehingga satu sama lain tidak mungkin bersatu. Di pihak lain memberikan kelonggaran
pula bagi para sufi untuk memasuki pengalaman-pengalaman ke-sufi-an puncak itu tanpa
kekhawatiran dituduh kafir. Gambaran ini menunjukkan tasawuf sebagai ilmu telah sampai ke
fase kematangannya atau memasuki fase keempat, yang ditandai dengan timbulnya dua aliran
tasawuf, yaitu tasawuf sunni dan tasawuf filsafati.

Fase-fase dalam perkembangan tasawuf:

1. Pada masa awal era Islam dakwah kepada tasawuf itu belum diperlukan, karena pada era itu,
semua orang adalah ahli takwa, waraa dan ahli ibadah. Mereka semua berlomba mengikuti dan
meneladani Rasulullah dalam setiap aspek. Oleh karena itu, mereka belum membutuhkan
tasawuf karena segala sesuatunya didasarkan pada perkataan, perbuatan dan ketetapan
Rasulullah.

2. Pada masa sahabat dan tabi’in sudah menggunakan tasawuf, tetapi belum mengggunakan
istilah tasawuf, karena para sahabat dan tabiin merupakan sufi yang sesungguhnya. Tasawuf
merupakan sifat-sifat umum yang terdapat pada hampir seluruh sahabat Nabi tanpa terkecuali
dan adanya perasaan takut dan cintanya mereka kepada Allah dan Rasulullah melebihi dirinya
sendiri.

3. Setelah masa Sahabat dan Tabiin beragam bangsa mulai memeluk Islam. Bidang ilmu
pengetahuan semakin meluas dan terspesialisasi, muncullah ilmu fiqih, ilmu tauhid, ilmu hadits,
ilmu ushul fiqih, ilmu faraid dan ilmu-ilmu lainnya.

4. Setelah fase tersebut pengaruh spiritual Islam sedikit demi sedikit melemah. Manusia mulai
lupa akan kewajibannya kepada Allah, sehingga ahli uhud terdorong untuk mengkodifikasikan
ilmu tasawuf serta menerangkan kemuliaan dan keutamaannya diantara ilmu-ilmu lainnya. Mulai
dari fase inilah ilmu tasawuf berkembang.

2.5 Sumber Normatif Ajaran Tasawuf dalam Al-Qur’an dan Hadist

Dalil-Dalil Al-Quran dan Hadits yang Berkenaan tentang Perlunya Tasawuf

Al-Quran

Ayat-ayat Al-Quran yang menjadi sumber ajaran tasawuf dan sebagai pendorong untuk
mengikatkan dan mendekatkan diri kepada Allah, di antaranya adalah sebagai berikut:

َ َ‫اع ِإ َذا َدعَا ِن َوِإ َذا َسَأل‬


ٌ‫ك ِعبَا ِدي َعنِّي فَِإنِّي قَ ِريب‬ ‫ُأ‬
ِ ‫ِجيبُ َد ْع َوةَ ال َّد‬
Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. (Al-Baqarah: 186).

‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ فََأ ْينَ َما تُ َولُّوْ ا فَثَ َّم َوجْ هُ هللاِ ِإ َّن هللاَ َوا ِس ٌع َعلِ ْي ٌم‬
ُ ‫َو ِهللِ ْال َم ْش ِر‬

Artinya: Dan kepunyaan Allah lah Timur dan Barat; maka ke mana pun kamu menghadap, di-
sanapun ada wajah Allah; sesungguhnya Allah adalah Maha Luas lagi Maha Mengetahui. (Al-
Baqarah: 115).

َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َم ْن يَرْ تَ َّد ِم ْن ُك ْم ع َْن ِدينِ ِه فَ َسوْ فَ يَْأتِي هَّللا ُ بِقَوْ ٍم ي ُِحبُّهُ ْم َويُ ِحبُّون‬

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari
agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan
merekapun mencintai-Nya. (QS: Al-Maidah Ayat: 54)

Hadits

Se lain dari itu di dalam hadits Rasulullah banyak dijumpai keterangan yang berbicara tentang
kehidupan rohaniah manusia yang dapat difahami dengan pendekatan tasawuf, seperti hadits;

‫من عرف نفسه فقد عرف ربه‬


Artinya:

“Barangsiapa yang mengenal dirinya sendiri berarti ia mengenal tuhannya.”

‫ال يزال العبد يتقرب الي بالنوافل حتى أحبه فاءذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع وبصره الذي يبصربه ولسانه الذي ينطق به‬
‫ويده الذي يبطش بها ورجله الذي يمشى بها فبي يسمع فبي يبصر وبي ينطق وبي يعقل وبي يبطش وبي يمشى‬

Artinya:

“senantiasa seorang hamba itu mendekatkan diri kepadaku dengan amalan-amalan sunnah
sehingga aku mencintainya. Maka tetkala mencintainya, jadilah aku pendengarnya yang dia
pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai
untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan-Ku-lah dia
mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninjau dan berjalan.”

1. “Jika seorang hamba mendekat kepada-Ku sejengkal maka Aku mendekatinya sehasta, jika dia
mendekat sehasta, maka Aku mendekat sedepa, jika dia datang kepada-Ku dengan berjalan maka
Aku datang kepadanya berlari (H.R. Bukhari)”.

2. “Senantiasa hamba-Ku mendekat kepada-Ku dengan amal nawafil sehingga Aku


mencintainya, apabila Aku mencintainya jadilah Aku pendengarannya yang ia gunakan untuk
mendengar, matanya yang dipergunakan untuk melihat, lidahnya yang digunakan untuk
berbicara, tangannya yang digunakan untuk menggenggam, kakinya yang digunakan untuk
berjalan, dengan Aku dia mendengar, berpikir, menggengam, dan berjalan (H.R. Bukhari)”.

Hadits juga menggambarkan Tuhan itu dekat. Nabi itu sudah dekat dengan Tuhan, dan praktek
Sufi juga tergambar dalam sunah nabi.

Jadi terlepas dari kemungkinan adanya atau tidak adanya pengaruh dari luar, ayat-ayat serta
hadits-hadits di atas dapat membawa kepada timbulnya aliran sufisme atau tasawuf dalam Islam,
yaitu ajaran-ajaran tentang berada sedekat mungkin pada Tuhan.
BAB III

PENUTUPAN

KESIMPULAN

Kata tasawuf mulai dipercakapkan sebagai satu istilah sekitar akhir abab dua Hijriah yang
dikatkan dengan salah satu jenis pakaian kasar yang disebut shuff atau wool kasar. Namun dasar-
dasar tasawuf sudak ada sejak datangnya agama Islam. Hal ini dapat diketahui dari kehidupan
Nabi Muhammad saw. cara hidup beliau yang kemudian diteladani dan diteruskan oleh para
sahabat. Selama periode Makkiyah, kesadaran spiritual Rasullah saw. adalah berdasarkan atas
pengalaman-pengalaman mistik yang jelas dan pasti, sebagaimana dilukiskan dalam Aquran
surah al-Najm: 12-13; surah al-Takwir:

Kalau dalam pencarian akar kata tasawuf sebagai upaya awal untuk mendefenisikan tasawuf,
ternyata sulit untuk menarik satu kesimpulan yang tepat. Kesulitan serupa ternyata dijumpai pula
pada pendefenisian tasawuf. kesulitan itu nampaknya berpangkal pada esesnsi tasawuf sebagai
pengalaman rohaniah yang hampir tidak mungkin dijelaskan secara tepat melalui bahasa lisan.

Sementara tujuan akhir tasawuf itu sendiri adalah etika murni atau psikologi murni yang
mencakup:

1. Penyerahan diri sepenuhnya kepada kehendak mutlak Allah.


2. Penanggalan secara total keinginan-keinginan pribadi dan melepaskan diri dari sifat-sifat
jelek.
3. Pemusatan pada perenungan terhadap Tuhan, tiada yang dicari kecuali Dia.

SARAN

Dalam penulisan makalah ini saya menyadari bahwa masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan penyusunannya. Oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran serta masukan yang membangun penulis
agar dapat menyusun makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Fazlur Rahman. Islam. Diterjemahkan oleh Ahsin dengan judul Islam Bandung: Pustaka, 1984.

Al-Iskandariah, Ibnu Athaillah Syekh ahamd ibn. Pengubah Abu Jihaduddin Rifqi al-Hanif
dengan judul Mempertajam Mata Hati. t.t: Bintang Pelajar, 1990.

al-Jaeliy, Al-Syekh Abd al-Karim ibn Ibrahim. Insan al-Kāmil fi Ma’rifat Awāliri wa al-Awā’il.
Jilid II. Mesir: Syarikah Matba’ah Mustafa- Babil Halabi wa Alādih, 1375 H.

al-Manawi, Mustafa Muhammad al-Allāmah. Faedul Qadīr. Jilid IV. Mesir: Sanabun Maktabah,
1357 H.

Nicholson. The Mystic of Islam. London: Keqan Paul Ltd., 1966.

Permadi, K. Pengantar Ilmu Tasawuf. Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sahabuddin. Metode Mempelajari Ilmu Tasawuf, menurut Ulama Sufi Cet. II; Surabaya: Media
Varia Ilmu, 1996.

Siregar, H.A. Rivay. Tasawuf, dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Cet. I; Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1999.

Anda mungkin juga menyukai