Aliran-Aliran Filsafat Hukum.
Aliran-Aliran Filsafat Hukum.
Aliran-Aliran Filsafat Hukum.
ABSTRAK
Tiap-tiap aliran hukum yang berkembang dalam filsafat hukum memiliki aliran yang berbeda satu
dengan lain. Aliran hukum alam adalah moralitas dan normatifitas. Aliran positivisme adalah sesuatu
yang dialami merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan. Realisme hukum memisahkan antara
hukum dan moral dan lebih mementingkan fakta sosial. Aliran teori hukum Analitical Austin
merupakan Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau
sebaliknya. Aliran teori hukum murni Kelsen merupakan sintesis dari tesis hukum alam dan
positivisme empiris/realisme hukum. Aliran Sociological Jurisprudence merupakan sintesis dari
positivisme hukum dan mazhab sejarah; ia pemisahan antara hukum dan moral serta penyatuan
antara hukum dan fakta. Sedangkan tesis utilitarianisme adalah pemisahan antara hukum dan moral
serta kesatuan antara hukum dan fakta.
ABSTRACT
Each school of law that develops in legal philosophy has a different flow from one another. The flow
of natural law is morality and normativity. The flow of positivism is something that is experienced is
really a reality. Legal realism separates law and morals and is more concerned with social facts. The
flow of Austin's analytical legal theory is that law is a coercive order, which can be wise and just, or
vice versa. Kelsen's flow of pure legal theory is a synthesis of the thesis of natural law and empirical
positivism/legal realism. The flow of Sociological Jurisprudence is a synthesis of legal positivism and
historical schools; it is the separation between law and morals and the union between law and fact.
While the utilitarianism thesis is the separation between law and morals and the unity between law
and fact.
B. Pembahasan
Perkembangan aliran hukum alam dimulai sejak 2.500 tahun yang lalu, yang berangkat
pada pencarian cita-cita pada tingkatan yang lebih tinggi. Dalam konteks lintas sejarah,
Friedman1, menyatakan bahwa aliran ini lahir karena kegagalan umat manusia dalam
mencari keadilan yang absolut. Hukum alam ini dipandang sebagai hukum yang berlaku
universal dan abadi. Disadari bahwa aliran hukum alam merupakan media untuk
mentransformasikan hukum sipil kuno pada zaman Romawi menuju pada zaman yang
dianggap sebagai perkembangan dari zaman kuno tersebut. Dalam hal ini, gagasan
mengenai hukum alam didasarkan kepada asumsi bahwa melalui penalaran hakikat
makhluk hidup akan dapat diketahui, dan pengetahuan tersebut menjadi dasar bagi tertib
sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum
yang sengaja dibentuk oleh manusia.2
Aliran hukum alam pada dasarnya dibedakan menjadi dua macam: (1) aliran hukum alam
irrasional, yang berpandangan bahwa segala bentuk hukum yang berbentuk universal dan
abadi bersumber Tuhan secara langsung, dan (2) aliran hukum alam rasional, yang
berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.
Diskursus tentang hukum alam irrasional dengan hukum alam rasional pada dasarnya tetap
berada pada satu jalur yang sama, dimana hakikat alam menjadi tema sentral dalam
menemukan hakikat hukum alam itu sendiri. Friedman mencoba mengkonstruksi hukum
1
Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 47.
2
Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 5-6
ala mini dengan memandang dari sudut fungsi yang dimilikinya. Menurutnya3, hukum alam
memiliki sifat jamak, yakni:
1. Sebagai instrumen utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman
Romawi ke suatu sistem yang luas dan kosmopolitan
2. Sebagai senjata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara gereja pada Abad
Pertengahan dan para Kaisar Jerman
4. Sebagai dasar bagi para hakim Amerika (yang berhak untuk menafsirkan
konstitusi) dalam menentang usaha-usaha perundang-undangan negara unutk memodifikasi
dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi dengan menerapkan
prinsip-prinsip hukum alam.
Berikut merupakan para tokoh yang mengawal perkembangan aliran hukum alam, yaitu:
Untuk Hukum Alam Klasik Irrasional, Thomas Aquinas, John Salisbury (1115-1180),
Dante Alighieri (1269-1321), Piere Dubois, Marsilius Padua (12701340), William Occam
(1280-1317), Jhon Wyclife (1320-1384), dan Johannes Huss (1369-1415), sedangkan untuk
Hukum Alam Klasik Rasional, tokohnyaadalah Hugo de Groot alias Grotius (1583-1645),
Samuel van Pufendorf (1632-1694), Christian Thomasius (1655-1728), dan Immanuel Kant
(1724-1804).
Positivism sebagai sistem filsafat muncul pada kisaran abad ke-19. Sistem ini didasarkan
pada beberapa prinsip bahwa sesuatu dipandang benar apabila ia tampil dalam bentuk
pengalaman, atau apabila ia sungguh-sungguh dapat dipastikan sebagai kenyataan, atau
apabila ia ditentukan melalui ilmu-ilmu pengetahuan apakah sesuatu yang dialami
merupakan sungguh-sungguh suatu kenyataan.4 Dalam kaitannya dengan positivisme ini,
maka dipandang perlu ada pemisahan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum
3
Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 147
4
Theo Huijbers, 1982, Filasafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Jakarta, hlm. 122
yang berlaku dan hukum yang seterusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata
positivis, tiada hukum lain kecuali perintah pengusaha (law is a command of the lewgivers).
Bahkan, bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama legisme, berpendapat lebih
tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang lebih tegas, bahwa hukum itu
identik dengan undang-undang.5
Positivisme hukum dapat dibedakan dalam dua corak : (1) Aliran Hukum Positif Analitis
(Analitical Jurisprudence) atau biasa juga disebut positivisme sosiologis yang
dikembangkan oleh John Austin dan (2) Aliran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) atau
dikenal juga positivisme yuridis yang dikembangkan oleh Hans Kelsen.6
o Aliran Positivisme Sosiologis : John Austin (1790-1859) Hukum adalah perintah dari
penguasa negara. Begitulah kira-kira yang digambarkan Austin, hukum dipandang sebagai
sesuatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Austin juga membedakan hukum dalam dua
jenis: (1) Hukum dari Tuhan untuk manusia (The Divine Laws) dan (2) Hukum yang dibuat
oleh manusia. Berikutnya dia membagi lagi hukum yang dibuat oleh manusia dalam dua
bagian, yaitu: 1. Hukum yang sebenarnya dan 2. Hukum yang tidak sebenarnya. Dimana
hukum yang sebenarnya yang lebih kita kenal dengan hukum positif. Dimana hukum yang
sebenarnya memiliki empat unsure, yaitu: perintah (command), sanksi (sanction),
kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereighnty).
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menetukan apa yang
diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia mem-
berlakukan hukum dengan dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah laku
orang lain kearah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat
saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.7
5
Kajian hukum yang klasik ini disebut positive jurisprudence dalam bahasa Inggris atau lebih
extreme pernah disebut eine reine rechtslehre di dalam bahasa Jerman oleh Hans Kelsen. Dalam
perkembangannya, khususnya di Amerika Serikat sepanjang abad ke-20, the classical positive
jurisprudence yang berkonsentrasi pada kajian tentang norma-norma hukum as it is written in the
book.
6
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 113.
7
Lyons, 1983, Ethics and The Ride of Law, Cambridge: Cambridge University Press, Hlm. 7-8.
o Aliran Positivisme Yuridis : Hans Kelsen (1881-1973) Menurut Kelsen, hukum hatus
dibersihakan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis,
bahkan etis. Pemikiran inilah yang kemudian dikenal dengan Teori Hukum Murni (Reine
Rechtlehre) dari Kelsen. Jadi, hukum adalah suatu Sollenskategorie (kategori
keharusan/ideal), bukan Seins Kategorie (kategori faktual). Baginya, hukum adalah suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini
yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah “bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law
ought to be). Tetapi “apa hukumnya itu” Sollenkategorie, yang dipakai adalah hukum
positif (ius consitusium), bukan yang dicita-citakan (ius constituendum).
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran Austin, walaupun Kelsen
mengatakan bahwa waktu ia mulai mengembangkan teori-teorinya, ia sama sekali tidak
mengetahui karya Austin.8 Walaupun demikian, asal usul filosofis antara pemikiran Kelsen
dan Austin berbeda. Kelsen medasarkan pemikirannya pada Neokantianisme, sedangkan
Austin pada Utilitarianisme.
(3) Utilitarianisme
Utilitarianisme atau utilism lahir sebagai reaksi terhadap ciri-ciri metafisis dan abstark dari
filsafat hukum dan politik pada abad ke-18. Aliran ini adalah aliran yang meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan
(happiness).9 Jadi baik buruknya hukum itu bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Paham ini pada akhirnya sampai pada
kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping
untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak.
Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari
rasio saja. Beberapa tokoh yang mengawal perkembangan aliran ini adalah Jeremy
Bentham (1748-1832), John Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering.
8
Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 169.
9
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 117-121.
Mashab Sejarah (Historische Rechtsschule) merupakan reaksi terhadap tiga hal, yaitu:10
1. Rasinalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan
prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan terutama
mengandalkan jalan pikiran deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan dan
kondisi nasional
3. Pendapat yang berkembang saat itu yang melarang hakim menafsirkan hukum
karean undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum. Code civil
dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu yang suci karena
berasal dari alasan-alasan yang murni.
Mazhab sejarah muncul untuk menentang universalisme, selain itu juga timbul sejalan
dengan gerakan nasionalisme di Eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan
perhatiannya pada individu, penganut Mazhab Sejarah sudah mengarah pada bangsa,
tepatnya jiwa dan bangsa (Volksgeist)12. Beberapa tokoh aliran ini antara lain adalah
Friedrich Karl von Savigny (1770-1861), Puchta (1798-1846), dan Henry Summer (1822-
1888).
10
Basuki, 1989, “Mashab Sejarah dan Pengaruhnya Terhadap Pembentukan Hukum Nasional
Indonesia,” dalam: Lili Rasjidi & B. Arief Idharta (Eds.). Filasafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,
Remadja Karya, Bandung, hlm.332.
11
Soekanto, 1979, Pengantar Sejarah Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 26
12
Paton, 1951, A Tex book of jurisprudence, Oxford: The Clarendom Press, hlm. 15
(5) Sociological Jurisprudence
Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum yang
sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara
hukum positif (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika anatar (tesis)
Positivisme hukum dan (antitesis) Mazhab Sejarah. Beberapa tokohnya antara lain adalah
Eugen Ehrlich (1862-1922) dan Roscoe Pound (1870-1964). Prinsipnya aliran sociological
jurisprudence menyatakan bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan
aturan-aturan yang hidup di masyarakat13. Aliran ini tampak jelas memisahkan secara tegas
antara hukum positif (hukum adalah undang-undang yang dibuat negara) dan hukum yang
hidup (hukum adalah norma-norma yang hidup dan diakui oleh masyarakat).
Perbedaan yang mendasar antara Sociological Jurisprudence dan sosiologi hukum menurut
Lili Rasjidi14 adalah , pertama, Sociological Jurisprudence adalah nama aliran dalam
filsafat hukum, sedangkan sosiologi hukum adalah nama cabang dari soskiologi. Kedua,
walaupun obyek yang dipelajari keduanya adalah tentang pengaruh timbal balik antara
hukum dan masyarakat, namun pendekatannya berbeda. Sociological Jurisprudence
menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum memilih
pendekatan dari masyarakat ke hukum.
Dalam pandangan penganut Realisme (para realis), hukum adalah hasildari kekuatan-
kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hamper tidak
terbatas, kepribadian manusiam lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis,
gagasan yang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan
hasil hukum dalam kehidupan.
Dalam realisme hukum dikenal pula dua aliran lainnya yaitu Realisme Amerika dengan
tokoh-tokohnya, Charles Sanders Peirce, Johan Chipman Gray, Oliver Wendell Holmes, Jr.,
William James, John Dwey, Benjamin Nathan Cardozo Jerome Frank. Berikutnya adalah
13
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, hal. 47
14
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990, hal. 48-
49
Realisme Skandinavia dengan tokohnya yaitu Axel Hagerstom, Alf Ross, H.L.A. Hart,
Julius Stone, dan John Rawls.
7. Freirechtslehre
15
Sukarno Aburaera dkk, 2010, Filsafat Hukum, Refleksi, Makassar, hlm.159
C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa aliran-aliran filsafat dan
kaitannya dengan ilmu pengetahuan. Terutama aliran realisme, aliran rasionalisme, aliran
emparisme dan ailran positivisme. Aliran realisme memandang bahwa obyek pengetahuan
berada di luar diri manusia. Aliran rasionalisme memandang bahwa akal pikiran atau
rasio adalah sebagai dasar pengetahuan manusia.
Referensi
Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 47.
Soekanto, 1985, Perspektif Teoritis Studi Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm. 5-6
Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 147
Theo Huijbers, 1982, Filasafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Jakarta, hlm. 122
Kajian hukum yang klasik ini disebut positive jurisprudence dalam bahasa Inggris atau
lebih extreme pernah disebut eine reine rechtslehre di dalam bahasa Jerman oleh Hans
Kelsen. Dalam perkembangannya, khususnya di Amerika Serikat sepanjang abad ke-20, the
classical positive jurisprudence yang berkonsentrasi pada kajian tentang norma-norma
hukum as it is written in the book.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 113.
Lyons, 1983, Ethics and The Ride of Law, Cambridge: Cambridge University Press, Hlm.
7-8.
Friedman, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali, Jakarta, hlm. 169.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 2004, Pokok-pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm. 117-121.
Paton, 1951, A Tex book of jurisprudence, Oxford: The Clarendom Press, hlm. 15
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990,
hal. 48-49
Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1990,
hal. 47