Bab 1-5
Bab 1-5
Bab 1-5
PENDAHULUAN
1
Penyakit jantung congenital merupakan 42% dari keseluruhan kecacatan
kelahiran.Lebih kurang 10-15% dari seluruh penyakit jantung bawaan.
Diantara penyakit jantung bawaan sianotik, Tetralogi Fallot merupakan 2/3 nya.
Tetralogi fallot ( TOF ) merupakan penyakit jantung sianotik yang paling banyak
ditemukan. TOF menempati urutan keempat penyakit jantung bawaan pada anak
stelah defek septum ventrikel, defek septum atrium dan duktus arteriosus per
Besar pasien TOF didapat diatas 5 tahun dan prevalensi menurun setelah
umur 10 tahun. Dari banyaknya kasus kelainan jantung serta kegawatan yang
ditimbulkan akibat kelainan jantung bawaan ini. Pada sebagian besar kasus,
penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui secara pasti. Namun
diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebabnya adalah multifactor.
Setiap anak yang lahir dengan deformitas ataupun kelainan dapat
mengakibatkan ancaman pada kehidupan dan karir serta berakibat kecemasan
berlebihan dan stress. PJB merupakan salah satu kelainan bawaan terbanyak dan
mengakibatkan berbagai masalah tertentu pada keluarga.
Dari ulasan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat
1.2 TUJUAN
2
c. Menentukan intervensi pada pasien TOF di Ruang Observasi Intensif
Dalam hal ini penulis hanya membatasi pada masalah asuhan keperawatan
pada An. A deangan diagnosa TOF POST OPEN HEART di Ruang Observasi
1.4 Manfaat
a. Bagi program pelatihan ICU
Hasil makalah ini dapat meningkatkan pemahaman para perawat
ICU dalam mengenal masalah – masalah yang terjadi pada pasien dengan
TOF.
b. Untuk diri sendiri
Hasil dari makalah ini dapat saya gunakan sebagai motivasi untuk
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1.2 Batas Jantung
Batas-batas jantung:
Kana
n : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior
(VCI)
5
trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup
pulmonal.
Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami
oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah.
Darah merah ini kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena
pulmonalis. Dari atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri melalui katup
mitral dan selanjutnya dipompakan ke aorta.
Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri,
dinamakan tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi
maksimal, ventrikel ini mulai mengalami relaksasi dan darah dari atrium kiri
akan mengalir ke ventrikel ini. Tekanan dalam arteri akan segera turun saat
ventrikel terisi darah. Tekanan ini selanjutnya dinamakan tekanan darah
diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, begitu pula dengan
kedua ventrikel.
6
foramen ovale ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri melalui arkus aorta,
darah dialirkan ke seluruh tubuh.
Darah yang mengandung karbondioksida dari tubuh bagian atas,
memasuki ventrikel kanan melalui vena cava superior. Kemudian melalui
arteri pulmonalis besar meninggalkan ventrikel kanan menuju aorta
melewati duktus arteriosus. Darah ini kembali ke plasenta melalui aorta,
arteri iliaka interna dan arteri umbilikalis untuk mengadakan pertukaran gas
selanjutnya. Foramen ovale dan duktus arteriosus berfungsi sebagai saluran/
jalan pintas yang memungkinkan sebagian besar dari cardiac output yang
sudah terkombinasi kembali ke plasenta tanpa melalui paru-paru.
Bayi segera menghisap udara dan menangis kuat tepat setelah
dilahirkan. Dengan demikian paru-parunya akan berkembang, tekanan
dalam paru-paru mengecil dan seolah-olah darah terhisap ke dalam paru-
paru (tahanan vaskular paru menurun dan aliran darah pulmonal
meningkat). Duktus arteriosus menutup dan tidak berfungsi lagi, demikian
pula karena tekanan dalam atrium sinistra meningkat maka foramen ovale
akan tertutup sehingga selanjutnya tidak berfungsi lagi. Tahanan vaskular
sistemik juga meningkat. Akibat dipotong dan diikatnya tali pusat, arteri
umbilikalis dan duktus venosus akan mengalami obliterasi. Dengan
demikian setelah bayi lahir maka kebutuhan oksigen dipenuhi oleh udara
yang dihisap ke paru-paru dan kebutuhan nutrisi dipenuhi oleh makanan
yang dicerna dengan sistem pencernaan sendiri.
7
Gambar 2. Sirkulasi
fetal.
Jumlah darah yang mengalir dalam sistem sirkulasi pada orang
dewasa mencapai 5-6 liter (4.7-5.7 liter). Darah bersirkulasi dalam sistem
sirkulasi sistemik dan pulmonal.
a. Sirkulasi sistemik
Sistem sirkulasi sistemik dimulai ketika darah yang mengandung
banyak oksigen yang berasal dari paru, dipompa keluar oleh jantung melalui
ventrikel kiri ke aorta, selanjutnya ke seluruh tubuh melalui arteri-arteri
hingga mencapai pembuluh darah yang diameternya paling kecil (kapiler).
Kapiler melakukan gerakan kontraksi dan relaksasi secara
bergantian, yang disebut dengan vasomotion sehingga darah mengalir secara
intermittent. Dengan aliran yang demikian, terjadi pertukaran zat melalui
dinding kapiler yang hanya terdiri dari selapis sel endotel. Ujung kapiler
yang membawa darah teroksigenasi disebut arteriole sedangkan ujung
kapiler yang membawa darah terdeoksigenasi disebut venule; terdapat
hubungan antara arteriole dan venule “capillary bed” yang berbentuk seperti
anyaman, ada juga hubungan langsung dari arteriole ke venule melalui
arteri-vena anastomosis (A-V anastomosis). Darah dari arteriole mengalir ke
venule, kemudian sampai ke vena besar (v.cava superior dan v.cava inferior)
dan kembali ke jantung kanan (atrium kanan). Darah dari atrium kanan
selanjutnya memasuki ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis.
b. Sirkulasi pulmonal
Sistem sirkulasi pulmonal dimulai ketika darah yang terdeoksigenasi
yang berasal dari seluruh tubuh, yang dialirkan melalui vena cava superior
dan vena cava inferior kemudian ke atrium kanan dan selanjutnya ke ventrikel
kanan, meninggalkan jantung kanan melalui arteri pulmonalis menuju paru-
paru (kanan dan kiri). Di dalam paru, darah mengalir ke kapiler paru dimana
terjadi pertukaran zat dan cairan, sehingga menghasilkan darah yang
teroksigenasi. Oksigen diambil dari udara pernapasan. Darah yang
teroksigenasi ini kemudian dialirkan melalui vena pulmonalis (kanan dan kiri),
menuju ke atrium kiri dan selanjutnya memasuki ventrikel kiri melalui katup
mitral (bikuspidalis). Darah dari ventrikel kiri kemudian masuk ke aorta untuk
dialirkan ke seluruh tubuh (dan dimulai lagi sirkulasi sistemik).
8
Gambar 3. Sirkulasi paru dan sistemik
9
2) Katup Pulmonal
Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium
kiri menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup
pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.
4) Katup Aorta
Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta.
Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah
akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup pada saat
ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam
ventrikel kiri.
Pembuluh darah yang terdiri dari arteri, arteriole, kapiler dan venula
serta vena merupakan pipa darah dimana didalamnya terdapat sel-sel darah
dan cairan plasma yang mengalir keseluruh tubuh. Pembuluh darah
berfungsi mengalirkan darah dari jantung ke jaringan serta organ2 diseluruh
tubuh dan sebaliknya. Arteri, arteriole dan kapiler mengalirkan darah dari
jantung keseluruh tubuh, sebaliknya vena dan venula mengalirkan darah
kembali ke jantung.
10
Gambar 4. Katup jantung.
11
bawaan di seluruh dunia adalah kira-kira sama serta menetap dari waktu-
waktu. Meski demikian pada negara sedang berkembang yang fasilitas
kemampuan untuk menetapkan diagnosis spesifiknya masih kurang
mengakibatkan banyak neonatus dan bayi muda dengan PJB berat telah
meninggal sebelum diperiksa ke dokter.
Pada negara maju sekitar 40-50% penderita PJB terdiagnosis pada umur
1 minggu dan 50-60% pada usia 1 bulan. Sejak pembedahan paliatif atau
korektif sekarang tersedia untuk lebih 90% anak PJB, jumlah anak yang hidup
dengan PJB bertambah secara dramatis, namun keberhasilan intervensi ini
tergantung dari diagnosis yang dini dan akurat. Oleh sebab itu insidens
penyakit jantung bawaan sebaiknya dapat terus diturunkan dengan
mengutamakan peningkatan penanganan dini pada penyakit jantung bawaan
tetapi juga tidak mengesampingkan penyakit penyerta yang mungkin diderita.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi angka mortalitas dan morbisitas pada anak
dengan PJB.
2.2.3 Klasifikasi PJB
Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
besar berdasarkan pada ada atau tidak adanya sianosis, yang dapat ditentukan
melalui pemeriksaan fisik. Klasifikasi penyakit jantung bawaan menjadi PJB
sianotik dan PJB asianotik tersebut sering dikenal dengan klasifikasi klinis.
Tapi bagi kelainan jantung kongenital yang lebih komplek bentuknya,
klasifikasi segmental mungkin lebih tepat –suatu pendekatan diagnosis
berdasarkan anatomi dan morfologi bagian-bagian jantung secara rinci dan
runut.
Penyakit jantung bawaan asianotik atau non sianotik umumnya
memiliki kelainan yang lebih sederhana dan tunggal sedangkan tipe sianotik
biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan
bervariasi. Baik keduanya hampir 90% memerlukan intervensi bedah jantung
terbuka untuk pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti
kebocoran sekat bilik jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri
seiring dengan pertambahan usia anak.
12
2.2.4 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa sejak lahir dan sesuai dengan namanya, pasian ini tidak
ditandai dengan sianosis. Penyakit jantung bawaan ini merupakan bagian
terbesar dari seluruh penyakit jantung bawaan. Bergantung pada ada tidaknya
pirau (kelainan berupa lubang pada sekat pembatas antar jantung), kelompok
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) PJB asianotik dengan pirau
Adanya celah pada septum mengakibatkan terjadinya aliran pirau
(shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan
darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi disbanding sisi kanan, maka
aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah
paru berlebihan. Aliran pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang
menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka.
Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah yang kaya oksigen
ke sirkulasi darah yang miskin oksigen, maka penampilan pasien tidak biru
(asianotik). Namun, beban yang berlebihan pada jantung dapat
menyebabkan gagal jantung kiri maupun kanan. Yang termasuk PJB
asianotik dengan aliran pirau dari kiri kanan ialah :
a) Atrial Septal Defect (ASD)
Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah
kelainan akibat adanya lubang pada septum intersisial yang memisahkan
antrium kiri dan kanan. Defek ini meliputi 7-10% dari seluruh insiden
penyakit jantung bawaan dengan rasio perbandingan penderita
perempuan dan laki-laki 2:1.
Berdasarkan letak lubang defek ini dibagi menjadi defek septum
atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, defek
septum atrium sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis dan
defek sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus, serta
defek sinus koronarius.
Sebagian besar penderita defek atrium sekundum tidak
memberikan gejala (asimptomatis) terutama pada bayi dan anak kecil,
13
kecuali anak sering batuk pilek sejak kecil karena mudah terkena infeksi
paru. Bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak napas.
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik yakni dengan
askultasi ditemukan murmur ejeksi sistolik di daerah katup pulmonal di
sela iga 2-3 kiri parasternal. Selain itu terdapat juga pemeriksaan
penunjuang seperti elektrokardiografi (EKG) atau alat rekam jantung,
foto rontgen jantung, MRI, kateterisasi jantung, angiografi koroner, serta
ekokardiografi. Pembedahan dianjurkan untuk semua penderita yang
bergejala dan juga yang tidak bergejala dan penutupan defek tersebut
dilakukan pada pembedahan jantung terbuka dengan angka mortalitas
kurang dari 1%.
b) Ventricular Septal Defect (VSD)
Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD)
merupakan kelainan berupa lubang atau celah pada septum di antara rongga
ventrikal akibat kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel.
Defek ini merupakan defek yang paling sering dijumpai, meliputi 20-30%
pada penyakit jantung bawaan. Berdasarkan letak defek, VSD dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu defek septum ventrikel perimembran, defek
septum ventrikel muskuler, defek subarterial.
Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar
kecilnya defek. Pada defek yang kecil seringkali asimptomatis dan anak
17
masih dapat tumbuh kembang secara normal. Sedangkan pada defek
baik sedang maupun besar pasien dapat mengalami gejala sesak napas
pada waktu minum, memerlukan waktu lama untuk menghabiskan
makanannya, seringkali menderita infeksi paru dan bahkan dapat terjadi
gagal jantung.
Pada pemeriksaan fisik, terdengar intensitas bunyi jantung ke-2
yang menigkat, murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri sternum dan
17
murmur ejeksi sistolik pada daerah katup pulmonal. Terapi ditujukan
untuk mengendalikan gejala gagal jantung serta memelihara tumbuh
kembang yang normal. Jika terapi awal berhasil, maka pirau akan
menutup selama tahun pertama kehidupan. Operasi dengan metode
14
transkateter dapat dilakukan pada anak dengan risiko rendah (low risk)
setelah berusia 15 tahun.
c) Patent Ductus Arteriousus (PDA)
Patent Ductus Arteriousus (PDA) atau duktus arteriosus persisten
1
adalah duktus arteriosus yang tetap membuka setelah bayi lahir.
17,18
Kelainan ini banyak terjadi pada bayi-bayi yang lahir prematur.
Insiden duktus arteriosus persisten sekitar 10-15% dari seluruh penyakit
jantung bawaan dengan penderita perempuan melebihi laki-laki yakni
2:1.
Penderita PDA yang memiliki defek kecil dapat hidup normal
dengan tidak atau sedikitnya gejala, namun defek yang besar dapat
menimbulkan gagal jantung kongestif yang serupa dengan gagal jantung
pada VSD. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya murmur
sinambung (continous murmur) di sela iga 2-3 kiri sternum menjalar ke
infraklavikuler.
Pengetahuan tentang kapan tepatnya penutupan duktus terjadi
penting dalam tatalaksana penanganan PDA, karena pada kasus tertentu
seperti pasien PDA yang diikuti dengan atresia katup pulmonal, duktus
arteriosus justru dipertahankan untuk tetap terbuka. Pada kasus PDA
pada umumnya penderita memerlukan penutupan duktus dengan
pembedahan.
2) PJB asianotik tanpa pirau
Penyakit jantung bawaan jenis ini tidak ditemukan adanya defek
yang menimbulkan hubungan abnormal antara ruang jantung. Kelainan
dapat berupa penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian
tertentu jantung, yakni katup atau salah satu bagian pembuluh darah diluar
jantung yang dapat menimbulkan gangguan aliran darah dan membebani
otot jantung. Jenis PJB tanpa pirau antara lain :
a) Stenosis pulmonal
Istilah stenosis pulmonal digunakan secara umum untuk
menunjukkan adanya obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan
15
atau a. pulmonalis dan cabang-cabangnya. Kelainan ini dibagi menjadi
3 tipe yaitu valvar, subvalvar, dan supravalvar. Stenosis pulmonal 80%
merupakan tipe valvuler dan ditemukan sebagai kelainan yang berdiri
sendiri. Insiden stenosis pulmonal meliputi 10% dari keseluruhan
penyakit jantung bawaan.
Sebagian besar stenosis pulmonal bersifat ringan dengan
prognosis baik sepanjang hidup pasien. Pada stenosis yang berat akan
terjadi limitasi curah jantung sehingga menyebabkan sesak napas,
16
c) Koarktasio aorta
Koarktasio aorta meupakan kelainan jantung non sianotik yang
paling banyak menyebabkan gagal jantung pada bayi-bayi di minggu
pertama setelah kelahirannya. Insidens koarktasio aorta kurang lebih
sebesar 8-15% dari seluruh kelainan penyakit jantung bawaan serta
ditemukan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan (2:1).
Diagnosis dapat dengan menemukan adanya perbedaan yang
besar antara tekanan darah pada extremitas atas dengan extremitas
bawah. Foto rontgen dada memperlihatkan kardiomegali dengan kongesti
vena pulmonalis, pemeriksaan Doppler pada aorta akan memperlihatkan
17
murmur ejeksi sitolik di bagian parasternal sela iga 2-3 kiri.
Bayi-bayi dengan tetralogi berat memerlukan pengobatan medik
dan intervensi bedah pada masa neonatus. Terapi ditujukan segera pada
pemberian segera penambahan aliran darah pulmonal untuk mencegah
1
sekuele hipoksia berat. Pemberian PGE dapat menyebabkan dilatasi
duktus arteriousus dan memberi aliran darah pulmonal yang cukup
sampai prosedur bedah dapat dilakukan.
b) Atresia Pulmonal
Atresia pulmonal merupakan kelainan jantung kongenital
sianostik yang sangat jarang ditemukan. Atresia pulmonal disebabkan
oleh gagalnya proses pertumbuhan katup pulmonal, sehingga tidak
terdapat hubungan antara ventrikel kanan dengan arteri pulmonal.
Kelainan ini dapat terjadi dengan septum ventrikel yang masih intak atau
disertai dengan defek pada septum ventrikel. Insiden atresia pulmonal
dengan septum yang masih intak atau utuh sekitar 0,7-3,1% dari
keseluruhan kasus PJB.
Gejala dan tanda sianotik tampak pada hari-hari pertama
kehidupan. Bunyi jantung ke-2 terdengar tunggal, dan tidak terdengar
adanya murmur pada sela iga 2-3 parasternal kiri karena arteri pulmonal
atretik. Pada foto rontgen ditemukan pembesaran jantung dengan
vaskularisasi paru yang berkurang.
Prostalglandin digunakan untuk mempertahankan duktus
arteriosus tetap membuka sambil menunggu intervensi lebih lanjut.
Septostomi atrial dengan balon harus dilakukan secepatnya apabila pirau
antarinteratrial agak retriktif. Koreksi total yakni membuat ligasi
koleteral baru dilakukan bila anak sudah berusia di atas 1 tahun.
18
jantung bawaan dan kelainan ini ditemukan lebih banyak paada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.
Pada kelainan ini terjadi perubahan posisi aorta dan a. pulmonalis,
yakni aorta keluar dari ventrikel kanan, sedangkan a. pulmonalis keluar
dari ventrikel kiri. Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan
paru tersebut terpisah, dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila
ada komunikasi antara dua sirkulasi ini.
Manifestasi klinis bergantung pada adanya percampuran yang
adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru dan adanya stenosis pulmonal.
Stenosis pulmonal terdapat pada 10% kasus. Pengobatan dilakukan untuk
mempertahankan duktus arteriosus agar darah dapat tercampur sampai
tindakan bedah dilakukan. Operasi paling baik dilakukan pada saat
anak berusia 1-2 tahun dengan prosedur Mustard.
19
1) Faktor Endogen
Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan.
2) Faktor Eksogen
Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau suntik
minum obat-obatan tanpa resep dokter (thalidomide,
extroamphetamine, aminopterin, amethopterin, jamu)
Terpapar terhadap sinar-X
Gizi yang buruk selama hamil
Ibu yang alkoholik
Usia ibu di atas 40 tahun.
(Sumber : Ilmu Kesehatan Anak, 2001)
20
bila anak melakukan aktivitas (misalnya menangis, setelah makan atau
mengedan). (Buku ajar Keperawatan Kardiovaskuler, 2001).
2.3.4 Patofisiologi
Proses pembentukan jantung pada janin mulai terjadi pada hari ke-18
usia kehamilan. Pada minggu ke-3 jantung hanya berbentuk tabung yang
disebut fase tubing. Mulai akhir minggu ke-3 sampai minggu ke-4 usia
kehamilan, terjadi fase looping dan septasi, yaitu fase dimana terjadi proses
pembentukan dan penyekatan ruang-ruang jantung serta pemisahan antara aorta
dan arteri pulmonalis. Pada minggu ke-5 sampai ke-8 pembagian dan
penyekatan hampir sempurna. Akan tetapi, proses pembentukan dan
perkembangan jantung dapat terganggu jika selama masa kehamilan terdapat
faktor-faktor resiko.
Kesalahan dalam pembagian Trunkus dapat berakibat letak aorta yang
abnormal (overriding), timbulnya penyempitan pada arteri pulmonalis, serta
terdapatnya defek septum ventrikel. Dengan demikian, bayi akan lahir dengan
kelainan jantung dengan empat kelainan, yaitu defek septum ventrikel yang
besar, stenosis pulmonal infundibuler atau valvular, dekstro posisi pangkal
aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Derajat hipertrofi ventrikel kanan yang
timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal. Pada 50% kasus stenosis
pulmonal hanya infundibuler, pada 10%-25% kasus kombinasi infundibuler
dan valvular, dan 10% kasus hanya stenosis valvular. Selebihnya adalah
stenosis pulmonal perifer.
Hubungan letak aorta dan arteri pulmonalis masih di tempat yang
normal, overriding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah ke arah
anterior mengarah ke septum. Klasifikasi overriding menurut Kjellberg: (1)
tidak terdapat overriding aorta bila sumbu aorta desenden mengarah ke
belakang ventrikel kiri, (2) Pada overriding 25% sumbu aorta asenden ke arah
ventrikel sehingga lebih kurang 25% orifisium aorta menghadap ke ventrikel
kanan, (3) Pada overridng 50% sumbu aorta mengarah ke septum sehingga
50% orifisium aorta menghadap ventrikel kanan, (4) Pada overriding 75%
sumbu aorta asenden mengarah ke depan venrikel kanan. Derajat overriding ini
21
bersama dengan defek septum ventrikel dan derajat stenosis menentukan
besarnya pirau kanan ke kiri. (Ilmu Kesehatan anak, 2001).
22
2.3.6 Penatalaksanaan
Pada penderita yang mengalami serangan stenosis maka terapi
ditujukan untuk memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan
cara:
a. Posisi lutut ke dada agar aliran darah ke paru bertambah karena
peningkatan afterload aorta akibat penekukan arteri femoralis. Selain itu
untuk mengurangi aliran darah balik ke jantung (venous).
b. Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV atau dapat pula diberi
Diazepam (Stesolid) per rektal untuk menekan pusat pernafasan dan
mengatasi takipneu.
c. Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian di sini tidak begitu tepat
karena permasalahan bukan kerena kekurangan oksigen, tetapi karena
aliran darah ke paru menurun. Dengan usaha di atas diharapkan anak tidak
lagi takipneu, sianosis berkurang dan anak menjadi tenang. Bila hal ini
tidak terjadi dapat dilanjutkan dengan pemberian :
d. Propanolol 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut
jantung sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dngan 10
ml cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila
serangan belum teratasi sisanyadiberikan perlahan dalam 5-10 menit
berikutnya.
e. Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penanganan serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat
meningkatkan curah jantung, sehingga aliran darah ke paru bertambah dan
aliran darah sistemik membawa oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.
Tindakan operasi dianjurkan untuk semua pasien TOF. Tindakan
operasi yang dilakukan, yaitu :
a) Blalock-Taussig Shunt (BT-Shunt), yaitu merupakan posedur shunt
yang dianastomosis sisi sama sisi dari arteri subklavia ke arteri
pulmonal.
b) Waterson Shunt, yaitu membuat anantomosis intraperikardial dari
aorta asending ke arteri pulmonal kanan,hal ini biasanya dilakukan
pada bayi. Pada tipe ini ahli bedah harus hati-hati untuk menentukan
23
ukuran anastomosis yang dibuat antara bagian aorta asending dengan
bagian anterior arteri pulmonal kanan. Jika anastomosis terlalu kecil
maka akan mengakibatkan hipoksia berat. Jika anastomosis terlalu
besar akan terjadi pletora dan edema pulmonal.
c) Potts Shunt, yaitu anastomosis antara aorta desenden dengan arteri
pulmonal yang kiri. Teknik ini jarang digunakan.
d) Total Korektif, terdiri atas penutupan VSD, valvotomi pulmonal dan
reseksi infundibulum yang mengalami hipertrofi. (Ilmu Kesehatan
Anak, 2001)
2.3.7 Prognosis
Umumnya prognosisnya buruk pada penderita TOF tanpa operasi.
Penderita TOF derajat sedang tanpa operasi dapat bertahan hidup sampai
umur 15 tahun dan hanya sebagian kecil yang bertahan sampai dekade ketiga.
2.3.8 Komplikasi
a. Trombosis pulmonal
b. Polisitemia
c. Abses otak
d. Perdarahan
e. Anemia relatif
24
kehidupan sehingga pasien TF harus menjalani operasi paliatif. Pada saat
yang bersamaan, keadaan pasien diperbaiki untuk mempersiapkan koreksi
total.
Bedah koreksi total merupakan operasi ideal bagi pasien TF. Tujuan
bedah koreksi total adalah menutup DSV dan memperbaiki RVOTO.
Perbaikan obstruksi dilakukan melaluui reseksi bundle otot RVOT,
membentuk penyumbat RVOT dan penyumbat RVOT transanular, valvotomi
atau valvektomi pulmonal, dan arterioplasti pulmonal dari arteri pulmonal.
25
Asma broncheal
c. Kelainan di paru.
Edema paru, atlektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak.
Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e. Kelainan Jantung
Kegagalan jantung kiri.
2.5.4 Kriteria Pemasangan Ventilator
Menurut Pontopidan seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik
(ventilator) bila :
1. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit
2. Hasil analisa gas darah dengan 02 masker Pa02 kurang dari ,70 mmHg
3. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
4. AaDO2 dengan 02 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg
5. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB
26
3. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit)
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi) I : 2
27
3. Mode ASB I PS : (Assisted Spontaneus Breathing l Pressure Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau
pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena
nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien hares mempunyai kendali untuk
bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara
pernafasan tidak diberikan.
4. CPAP : Continous Positive Air Pressure
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian mode
ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot pemafasan
sebelum pasien dilepas dari ventilator.
2.5.7 Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dan' pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah
menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus
dipasang dalam kondisi siap.
2.5.8 Pelembaban dan Suhu
Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan
mekanisme pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses
ini harus digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang
dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan dijenuhkan.
Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada kasus hipotermi
berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan. Suhu yang terlalu itnggi dapat
menyebabkan luka bakar pada trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa
mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan sekresi menjadi kental sehingga sulit
dilakukan penghisapan.
2.5.9 Fisiologi Pernafasan Ventilasi Mekanik
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif
28
sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara
pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara
dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah
positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi
tekanan dalam rongga thorax paling positif.
2.5.10 Efek Ventilasi Mekanik
Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke
jantung terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga menurun.
Bila kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan
usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga
berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga
darah yang menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu
bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 mUkg BB dan tekanan lebih
besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung)
tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.
Efek pada organ lain, Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organ-
organ lainpun menurun seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya. Akibat
tekanan positif di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat sehingga
tekanan intrakranial meningkat.
2.5.11 Komplikasi Ventilasi Mekanik
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara
vaskuler
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat. f.
Aspirasi cairan lambung
29
f. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
g. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
a. Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik
vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi
mekanik dengan tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
b. Terjadi karena penurunan tekanan C02 arteri (PaCO2) dibawah normal
akibat dari hipeventilai
c. Oedema cerebral
d. Terjadi karena peningkatan tekanan C02 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi
e. Peningkatan tekanan intra kranial
f. Gangguan kesadaran
g. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung
c. Gangguan psikologi
30
clan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang ditujunkan oleh
hasil analisa gas darah (Blood Gas)
2. OKSIGENASI
- A-Ado2 100% 50-200 200-350 < 350
mmHg
- PaO2 (mmHg) 100-75 ( Air) 200-70 <70
(O2 Maks) (O2 maks)
3. VENTILASI
- VD/VT 0,3-0,4 0,4-0.6 0,6
- PaCO2 35-45 5-60 60
31
2.6 Asuhan Keperawatan
2.6.1 Pengkajian
1. Anamnesa
1) Biodata
Nama ,alamat umur status pasien.
2) Keluhan utama
sesak nafas, mual, muntah, nyeri kepala yang hebat.
3) Riwayat penyakit masa lalu
Riwayat hipertensi, merokok pengguna alkohol, pola hidup yang
tidak sehat.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Keluarga yang menderita riwayat hipertensi, penyakit PJB.
5) Pola aktivitas sehari-hari
Banyak makan makanan yang mengandung yang bergizi dan serta
tidak rutin dalam melakukan aktivitas olahraga.
6) Keadaan umum pasien
Keadaan umum lemah .
2. Pemeriksaan fisik
1) Breating (B1 = pernafasan)
Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat PJB.
Tanda : distres pernafasan, meningkat pada frekuensi/irama dan
gangguan
kedalaman.
2) Bleeding (B2 = kardiovaskuler)
Riwayat hipertensi, riwayat penyakit jantung.
Tanda : takikardia, disritmia, tekanan darah normal, meningkat atau
menurun. Bunyi jantung mungkin normal. Kulit atau membran mukosa
lembab, dingin, pucat.
3) Brain (B3 = persarafan)
Perubahan status mental, orientassi, pola bicara, afek, proses pikir
Tanda : nyeri kepala
32
4) Blader (B4 = perkemihan)
Gangguan ginjal saat ini atau sebelumnya.
Tanda : disuria, oliguria, anuria poliuria sampai hematuria.
5) Bowel (B5 = pencernaan)
Tanda : mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit,
muntah, perubahan berat badan
6) Bone (B6 = tulang-otot-integumen)
Hipotensi postural, frekuensi jantung meningkat, takipnea.
3. Pemeriksaan Diagnostik :
EKG : hipertrofi atrial atau ventrikuler, iskemia, disritmia misal
takikardi, fibrilasi atria.
Ekokardiogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik dan
serambi, perubahan dalam fungsi atau struktur katup atau area
kontraktilitas ventricular.
Rontgen dada : Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertopi bilik atau serambi, atau
perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan
tekanan pulmonal.
Enzim Hepar : Meningkat dalam gagal atau kongestif hepar.
AGD : gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan
(dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
2.6.2 Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi
miokardium (preload, afterload, kontraktilitas, perubahan irama,
perubahan frekuensi dan stroke volume )
b. Nyeri berhubungan dengan agen cedera sekunder terhadap luka post
operasi thoraks dan kardiovaskuler.
c. Risiko keseimbangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangan cairan aktif sekunder terhadap kehilangan cairan post operasi.
d. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan
ventilasi
33
e. Risiko infeksi berhubungan dengan port de entri luka post operasi,
tindakan invasif dan penurunan ketahanan tubuh primer sekunder akibat
operasi besar (stressor ketahanan tubuh).
2.6.3 Rencana Asuhan Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi
miokardium (preload, afterload, kontraktilitas, perubahan irama,
perubahan frekuensi dan stroke volume).
Tujuan: Mengembalikan curah jantung untuk menjaga/mencapai gaya
hidup yang diinginkan
Kriteria Evaluasi:
1) Parameter hemodinamik dalam batas normal
2) Drainase dada melalui selang pada 4-6 jam pertama kurang dari 300
ml/jam
3) Tanda-tanda vital stabil
4) Perfusi ginjal baik (urin 0,5 – 1 cc / kgBB)
5) EKG negative terhadap perubahan iskemik
Intervensi:
1) Pantau status kardiovaskular, pembacaan parameter hemodinamik
Rasional: Efektifitas curah jantung ditentukan oleh pemantauan
hemodinamik
2) Observasi adanya perdarahan persisten drainase darah yang terus-
menurus dan menetap, hipotensi, CVP rendah, takikardi. Persiapkan
pemberian komponen darah dan larutan vena.
Rasional: Perdarahan dapat terjadi akibat insisi jantung, kerapuhan
jaringan, trauma jaringan, dan gangguan faktor pembekuan
3) Observasi adanya tamponade jantung: hipotensi, , tekanan atrium kiri,
CVP, bunyi jantung lemah, denyut nadi lemah, distensi vena jugularis,
penurunan haluran urine, lakukan pengecekan berkurangnya darah pada
selang drainase.
Rasional: tamponade jantung terjadi karena adanya perdarahan di
kantung pericardium yang akan menekan jantung dan menghambat
34
pengisian ventrikel secara adekuat. Penurunan drainase menunjukkan
bahwa darah cairan terkumpul di kantung pericardium.
4) Observasi gagal jantung: hipotensi, CVP, tekanan atrium kiri, takikardi,
gelisah, sianosis, agitasi, distensi vena, dispneu, acites.
Rasional: Gagal jantung yang terjadi akibat penurunan aksi
pemompaan jantung, dapat mengakibatkan berkurangnya perfusi ke
organ vital.
5) Lakukan pemeriksaan EKG dan enzim berkala.
Rasional: Melakukan observasi adanya infark miokardium
b. Nyeri berhubungan dengan agen cedera sekunder terhadap insisi bedah
post operasi thoraks dan kardiovaskuler
Tujuan : Nyeri hilang/berkurang.
Kriteria hasil:
1) Menyatakan nyeri hilang.
2) Menunjukkan postur tubuh rileks.
3) Kemampuan istirahat/tidur cukup.
Intervensi :
1) Minta pasien untuk melaporkan tipe,lokasi serta intensitas nyeri dan
skala nyeri 0-10.
Rasionalisasi : Nyeri berat harus diselidiki untuk kemungkinan
komplikasi.
2) Observasi cemas, mudah terangsang, menangis, gelisah,gangguan tidur.
Pantau tanda-tanda vital.
Rasionalisasi : Petunjuk non verbal ini menunjukkan adanya derajat
nyeri yang dialami.
3) Identifikasi/ tingkatkan posisi nyaman.
Rasionalisasi :mempertahankan postur tubuh dan penahanan insisi
untuk menurunkan tegangan otot/ meningkatkan kenyamanan.
4) Beri obat pada saat prosedur/ aktifitas sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Kenyamanan/ kerjasama pasien pada pengobatan,
ambulasi, dan produser dipermudah oleh pemberian analgesic.
35
c. Gangguan keseimbangan volume cairan: kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan diuresis osmotic, perdarahan
Tujuan : Kebutuhan cairan dan hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital yang
atabil, nadi perifer dapat diraba, capillary refill baik, haluaran urine dan
kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1) Monitor parameter hemodinamik sacara ketat
Rasional: Memberikan informasi mengenai keadaan hidrasi
2) Monitor nadi perifer, capillary refill, turgor kulit, membrane mukosa
Rasional: untuk mengetahui perfusi ke jaringan.
3) Monitor intake dan output
Rasional: Menentukan kondisi pasien berhubungan dengan status
cairan dan rehidrasi yang akan dilakukan
4) Observasi adanya edema, peningkatan BB, peningkatan tanda-tanda vital
Rasional: Mengevaluasi intervensi untuk rehidrasi cairan.
5) Kolaborasi: berikan terapi cairan dan pantau pemeriksaan laboratorium
d. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan
ventilasi.
Tujuan : Inefektif pola nafas tidak terjadi.
Kriteri hasil : Pasien menunjukan pola nafas adekuat.
Intervensi :
1) Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman, catat upaya pernafasan.
Contoh adanya dyspnoe, penggunaan otot bantu pernafasan
Rasionalisasi : Upaya dan kecepatan nafas mungkin meningkat
karena nyeri, takut, demam, penurunan volume sirkulasi, akumulasi
secret, hipoksia, atau distensi gaster.
2) Auskultasi bunyi nafas.
Rasionalisasi : Bunyi nafas sering menurun pada dasar paru selama
periode waktu pembedahan sehubungan dengan terjadinya atelekstasis.
3) Observasi adanya penyimpangan gerakan dada.
36
Rasionalisasi : Udara atau cairan pada pleura mencegah ekspansi
dada lengkap dan memerlukan pengkajian lanjut status ventilasi.
4) Observasi karakter batuk dan produksi sputum.
Rasionalisasi : Batuk dapat menyebabkan iritasi selang ETT atau
dapat menunjukan kongesti paru. Sputum purulen dapat menunjukan
timbulnya infeksi paru.
5) Tinggikan kepala posisi duduk atau semifowler.
Rasionalisasi : Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru
efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti paru.
6) Tekankan menahan dada dengan bantal selama nafas dalam dan batuk.
Rasionalisasi : Menurunkan tegangan pada insisi dan meningkatkan
ekspansi paru.
e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka op, terpasang alat di
tubuh, imunosupresi
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria Evaluasi: tidak terjadi demam dan tercapai pemulihan luka
tepat pada waktunya
Intervensi:
1) Lakukan prosedur mencuci tangan yang baik staf dan pengunjung.
Rasional: lindungi pasien dari sumber-sumber infeksi
2) Monitor tanda-tanda vital pasien terutama suhu
Rasional: peningkatan suhu terjadi akibat proses inflamasi.
Identifikasi dini memungkinkan terapi yang tepat
3) Ubah posisi secara berkala, pertahankan linen kering dan bebas kerutan
Rasional: menurunkan tekanan dan iritasi pada jaringan dan
mencegah kerusakan kulit (potensial pertumbuhan bakteri.
4) Hindari/batasi prosedur invasive
Rasional: menurunkan risiko kontaminasi, membatasi entri portal
terhadap agen infeksius
5) Patuhi teknik aseptik ketika melakukan tindakan yang berhubungan
dengan alat invasive
37
Rasional: Mencegah kontaminasi kuman pada alat-alat yang melekat
pada tubuh.
38
BAB 3
TINJAUAN KASUS
A. Identitas pasien
Umur : 4 tahun
Agama : Islam
Rumah sakit di kediri, lalu oleh dokter yang ada Rumah sakit di kediri
39
dipindahkan ke Ruang Nakula Sadewa dan dilakukan Operasi jantung tgl 1
Sejak bayi pasien sudah mengalami biru kalau menangis. Sering cepat lelah
setelah aktifitas.
E. Pemeriksaan fisik
TD : 90/60 mmHg N: 108 x/menit S:37,1°C RR: 28x/ menit Spo2: 96%,
Map 70
Bentuk dada simetris suara nafas ronchi +/+ whezing – , ada luka bekas
operasi open heart ± 15x1 cm, terpasang CVC, pernapasan cuping hidung
MAP : 84
GCS 456, pupil isokor reflek cahaya +/+, kaku kuduk – reflek babinski –
Terpasang pempers produksi urin 370 cc/ 7 jam warna kuning genetalia
40
6. Sistem pencernaan
7. Sistem muskuluskletal
Posisi head up 30 derajat, tidak ada edema ekstrimitas atas dan bawah.
kaki kanan terpasang iv line, tangan kanan terpasang iv line , turgor kulit
8. Pengkajian spiritual
Tidak terkaji
F. Pemeriksaan penunjang
Ecg : RBBB
P : 11.0- 14.7
KIMIA KLINIK
Bun 24 10 – 20
SGOT 54 < 41
SGPT 9 < 38
41
Albumin 3.29 3.40 – 5.00
ELEKTROLIT
Cl 112 97 – 103
BGA
PH 7.430 7.35 – 7. 45
FiO2 35 %
G. Terapi
42
3.3.2 Analisa Data
- Whezing
- RR : 28 x/ menit
Resiko aspirasi
cianosis
Penurunan
TD : 90/60 mmHg kesadaran pasien
N: 130 x/menit
43
di dada post op open insisi yang tidak
bersih
heart ± 15x1 cm.
kuman, bakteri
Suhu : 37,1 C berkembang
resiko infeksi
44
3.3.3 Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
oksigen ke otak
45
3.3.4 Intervensi
sekret
No dx
Suara vesikuler
Raonchi -/-
Whezing -/-
RR :16 – 20 x/
menit
SPO2 : > 96 %
2 Setelah 1) Pemberian 1.
46
tindakan 6lpm
KH: 2 jam
GCS 456
Penurunan
Kesadaran
N: 60 – 100 x/
menit
47
cairan di kebutuhan nutrisi menunjang daya tahan
daerah luka yang adekuat tubuh pasien yang
sesuai kebutuhan. optimal.
- Lekosit
dalam batas
5) Rawat luka sesuai 5. Agar tidak terjadi
normal
advise dokter infeksi
- Suhu tubuh
dalam batas
normal 36 –
37 c
48
3.3.5 Implementasi
dx
12.40
MAP
1 16 november
49
14.30 Melakukan nebulizer ventolin 1 amp + Pz
20.00
derajat
1 17 april 2017
50
GCS tiap 2 jam
14.50
Menghindari kontak dengan sumber infeksi.
16.00
(cuci tangan)
18.30 Memberikan susu lewat sonde
Merawat luka
51
3.3.6 Evaluasi
15 1 S: -
Noveber2017 O:
Ronchi berkurang
whezing
13.30 2 S: -
O:
Pasien sadar
GCS 456
P: intervensi no 1 – 4 di lanjutkan
13.45 3 S:-
52
O : pasien tenang
P : intervensi no 1- 5 dilanjutkan
20 30 O:
99%
BGA :
PH : 7.43
PCO2 : 38.1
PO2 : 240.9
HCO3 : 25.6
BE : – 1.1
Ronchi berkurang
whezing -
batuk adekuat
O:
53
Pasien sadar
GCS 456
BGA :
PH : 7.43
PCO2 : 38.1
PO2 : 240.9
HCO3 : 25.6
BE : – 1.1
P: intervensi no 1 – 4 di lanjutkan
tidak ada
O:
Spo2: 99%
P : intervensi no 1- 5 dilanjutkan
54
15 Novembr 1 S: pasien mengatakan tidak sesak
SpO: 100%
BGA :
PH : 7.43
PCO2 : 36.9
PO2 : 235.9
HCO3 : 24.9
BE : – 0.4
Ronchi berkurang
whezing -
batuk adekuat
O:
P : intervensi dilanjutkan
55
BAB 4
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibicarakan pembahasan asuhan keperawatan pada An. A
deangan diagnosa TOF post open heart di ICU RSU Dr. Soetomo
4.1 Pengkajian
a. Umur : pada teori dan kasusnya didapatkan persamaan yaitu TOF ini terjadi
pada usia kurang dari 5 tahun. Pada teori bahwa TOF sering di jumpai pada
b. Riwayat penyakit
c. Pemeriksaan fisik
B1 (Breathing) :
pada kasus ini terdapat kesamaan dengan teori yaitu hipoventilasi, hipoxia
B2 (Blood)
pada kasus ini terdapat persamaan adanya takikardi. Takikardi pada kasus
B3 (Brain)
56
pada kasus ini didapatkan tidak ada permasalahan
B4 (Bladder)
Didapatkan perbedaan pada kasus nyata tidak didapatkan retensi urin dan
inkontinensia urin
B5 (Bowel)
B6 (Bone)
ke otak.
4.4 Implementasi
57
4.5 Evaluasi
1) Pada kasus An. B dengan diagnosa gangguan bersihan jalan napas dan pada
58
BAB 5
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari Asuhan Keperawatan
An. B dengan diagnosa TOF post open heart yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Masalah keperawatan yang muncul adalah : Ketidak efektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret,
Ganggguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai
oksigen ke otak kurang, Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
insisi pembedahan.
2. Intervensi keperawatan yang diberikan sesuai dengan teori yang ada
yakni managemen airway, breathing, pemantauan TTV dan kesadaran.
3. Implementasi dari Intervensi yang telah dibuat sesuai dengan kondisi
dan situasi serta SOP yang telah ada di ICU.
4. Evaluasi dari asuhan keperawatan yang dilakukan, sebagian besar
masalah keperawatan belum dapat teratasi.
5.2 Saran
Adapun saran dari peneliti yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Melihat masalah yang terjadi pada klien dengan TOF, diharapkan bagi
perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang optimal sehingga dapat
meminimalkan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Dengan tuntutan perkembangan di bidang kesehatan diharapkan pada
seluruh fasilitas kesehatan dapat memberikan pelayanan yang optimal pada
klien dengan TOF.
3. Bagi peserta Pendidikan dan Pelatihan ICU serta mahasiswa lain
diharapkan mampu menguasai penanganan pasien dengan TOF dengan
mencari dan mempelajari literatur dalam memberikan Asuhan
Keperawatan yang diberikan, serta mampu berkomunikasi secara
59
terapeutik dan kerja sama yang baik dengan perawat lain maupun keluarga
pasien guna memaksimalkan intervensi dan mengimplementasikan Asuhan
Keperawatan secara profesional.
60
DAFTAR PUSTAKA
61