Bab 1-5

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 61

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya lahir dalam keadaan yang


sehat. Ada sebagian orangtua yang harus rela menerima kenyataan bahwa anak
yang dikandungnya lahir dalam keadaan yang tidak normal. Ketidaknormalan
yang dibawa sejak lahir ini biasa disebut dengan kelainan bawaan, salah satunya
adalah penyakit jantung bawaan. Penyakit Jantung Bawaan (PJB) dapat diartikan
kelainan jantung yang sudah terjadi sebelum anak dilahirkan. Karena terdapat
kelainan pada struktur jantung atau fungsi sirkulasi jantung yang dibawa dari lahir
akibat gangguan atau kegagalan perkembangan stuktur jantung pada fase awal
perkembangan janin.
Angka kejadian penyakit jantung bawaan sekitar 8-10 bayi dari 1000
kelahiran hidup, 30% gejala timbul pada minggu pertama kehidupan dan 50%
meninggal pada bulan pertama kehidupan. Dapat diperkirakan apabila penduduk
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta jiwa maka angka PJB sekitar
30.000 bayi tiap tahun (Indriwanto, 2007).
Pada 111.225 jumlah kelahiran, 921 anak ditemukan mengalami PJB.
Kondisi yang paling sering ditemukan adalah Ventricular Septal
Defect atau VSD (33%), OstiumSecundum Atrial Septal Defects (18%),
dan Pulmonary Valve Abnormalities (10%). Sembilan puluh sembilan persen anak
telah melalui operasi bedah jantung ataupun intervensi kateter, pada penelitian ini
diketahui 4% dari anak tersebut meninggal. Daya tahan hidup pada umur 6 bulan
sampai satu tahun adalah 96% - 97% dan seterusnya tetap stabil. Dibandingkan
dengan defek jantung lainnya mortalitas lebih tinggi pada kondisiUniventricular
Physiology, Pulmonary Atresia dengan VSD, Left Ventricle Outflow
Obstruction dan Tetralogy of Fallot.
Penyakit jantung congenital bisa terjadi pada anak-anak didunia tanpa
melihat kedudukan social ekonomi. Kejadian ini berlaku antara 8-10 kasus setiap
1000 kelahiran hidup. Jika seorang anak terjangkit , kadar berulangnya kejadian
ini pada anaknya nanti ialah antara 4,9-16%.

1
Penyakit jantung congenital merupakan 42% dari keseluruhan kecacatan
kelahiran.Lebih kurang 10-15% dari seluruh penyakit jantung bawaan.
Diantara  penyakit jantung bawaan  sianotik, Tetralogi Fallot merupakan 2/3 nya.
Tetralogi fallot ( TOF ) merupakan penyakit jantung sianotik yang paling banyak
ditemukan. TOF menempati urutan keempat penyakit jantung bawaan pada anak
stelah defek septum ventrikel, defek septum atrium dan duktus arteriosus per
Besar pasien TOF didapat diatas 5 tahun dan prevalensi menurun setelah
umur 10 tahun. Dari banyaknya kasus kelainan jantung serta kegawatan yang
ditimbulkan akibat kelainan jantung bawaan ini. Pada sebagian besar kasus,
penyebab penyakit jantung bawaan tidak diketahui secara pasti. Namun
diperkirakan lebih dari 90% kasus penyebabnya adalah multifactor.
Setiap anak yang lahir dengan deformitas ataupun kelainan dapat
mengakibatkan ancaman pada kehidupan dan karir serta berakibat kecemasan
berlebihan dan stress. PJB merupakan salah satu kelainan bawaan terbanyak dan
mengakibatkan berbagai masalah tertentu pada keluarga.
Dari ulasan tersebut di atas maka penulis tertarik untuk mengangkat

asuhan keperawatan pasien dengan TOF dengan pemasangan ventilator di Ruang

Observasi Intensif (ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Tujuan Umum

Melakukan asuhan keperawatan pada pasien TOF di ruang observasi

intensif (ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya

1.2.2 Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian pada pasien TOF di Ruang Observasi Intensif

(ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya

b. Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien TOF di Ruang Observasi

Intensif (ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya

2
c. Menentukan intervensi pada pasien TOF di Ruang Observasi Intensif

(ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya

d. Melakukan implementasi pada pasien TOF di Ruang Observasi Intensif

(ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya

e. Dapat melaakukan evaluasi pada pasien TOF di Ruang Observasi Intensif

(ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya.

1.3 BATASAN MASALAH

Dalam hal ini penulis hanya membatasi pada masalah asuhan keperawatan

pada An. A deangan diagnosa TOF POST OPEN HEART di Ruang Observasi

Intensif (ICU) RSU Dr. Soetomo Surabaya.

1.4 Manfaat
a. Bagi program pelatihan ICU
Hasil makalah ini dapat meningkatkan pemahaman para perawat
ICU dalam mengenal masalah – masalah yang terjadi pada pasien dengan
TOF.
b. Untuk diri sendiri

Hasil dari makalah ini dapat saya gunakan sebagai motivasi untuk

lebih meningkatkan pengetahuan saya tentang penyakit yang lainnya.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Jantung


2.1.1 Definisi
Jantung  (Latin, cor) adalah rongga organ berotot yang memompa
darah melalui pembuluh darah oleh kontraksi berirama yang berulang.
Jantung adalah organ otot yang berongga dan berukuran sebesar kepalan
tangan. Fungsi utama jantung adalah memompa darah ke pembuluh darah
dengan kontraksi ritmik dan berulang. Jantung normal terdiri dari empat
ruang, 2 ruang jantung atas dinamakan atrium dan 2 ruang jantung di
bawahnya dinamakan ventrikel, yang berfungsi sebagai pompa. Dinding
yang memisahkan kedua atrium dan ventrikel menjadi bagian kanan dan kiri
dinamakan septum.

Gambar 1. Jantung normal dan sirkulasinya.

4
2.1.2 Batas Jantung
Batas-batas jantung:
Kana
n : vena cava superior (VCS), atrium kanan, vena cava inferior

(VCI)

Kiri : ujung ventrikel kiri


Anteri
or : atrium kanan, ventrikel kanan, sebagian kecil ventrikel kiri
Poster
ior : atrium kiri, 4 vena pulmonalis
Inferi
or : ventrikel kanan yang terletak hampir horizontal sepanjang

diafragma sampai apeks jantung


Super
ior : apendiks atrium kiri

2.1.3 Fisiologi Jantung


Jantung dapat dianggap sebagai 2 bagian pompa yang terpisah
terkait fungsinya sebagai pompa darah. Masing-masing terdiri dari satu
atrium-ventrikel kiri dan kanan. Berdasarkan sirkulasi dari kedua bagian
pompa jantung tersebut, pompa kanan berfungsi untuk sirkulasi paru
sedangkan bagian pompa jantung yang kiri berperan dalam sirkulasi
sistemik untuk seluruh tubuh. Kedua jenis sirkulasi yang dilakukan oleh
jantung ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan berkaitan
sangat erat untuk asupan oksigen manusia demi kelangsungan hidupnya.
Ada 5 pembuluh darah mayor yang mengalirkan darah dari dan ke
jantung. Vena cava inferior dan vena cava superior mengumpulkan darah
dari sirkulasi vena (disebut darah biru) dan mengalirkan darah biru tersebut
ke jantung sebelah kanan. Darah masuk ke atrium kanan, dan melalui katup

5
trikuspid menuju ventrikel kanan, kemudian ke paru-paru melalui katup
pulmonal.
Darah yang biru tersebut melepaskan karbondioksida, mengalami
oksigenasi di paru-paru, selanjutnya darah ini menjadi berwarna merah.
Darah merah ini kemudian menuju atrium kiri melalui keempat vena
pulmonalis. Dari atrium kiri, darah mengalir ke ventrikel kiri melalui katup
mitral dan selanjutnya dipompakan ke aorta.
Tekanan arteri yang dihasilkan dari kontraksi ventrikel kiri,
dinamakan tekanan darah sistolik. Setelah ventrikel kiri berkontraksi
maksimal, ventrikel ini mulai mengalami relaksasi dan darah dari atrium kiri
akan mengalir ke ventrikel ini. Tekanan dalam arteri akan segera turun saat
ventrikel terisi darah. Tekanan ini selanjutnya dinamakan tekanan darah
diastolik. Kedua atrium berkontraksi secara bersamaan, begitu pula dengan
kedua ventrikel.

2.1.4 Sirkulasi Darah


Sirkulasi darah fetal pada janin dan sirkulasi darah pada anak dan
dewasa berbeda. Untuk memahami implikasi anestesi pada penyakit
jantung, seorang ahli anestesi harus mengenal sirkulasi fetal dan sirkulasi
dewasa. Perubahan sirkulasi terjadi sangat cepat pada saat kelahiran.
Periode ini dinamakan periode transisi dimana sirkulasi fetal akan berubah
menjadi sirkulasi manusia normal atau dewasa.
Sirkulasi darah janin dalam rahim tidak sama dengan sirkulasi darah
pada bayi dan anak. Dalam rahim, paru-paru tidak berfungsi sebagai alat
pernafasan, pertukaran gas dilakukan oleh plaswenta. Pembentukan
pembuluh darah dan sel darah dimulai minggu ke-3 dan bertujuan
menyuplai embrio dengan oksigen dan nutrien dari ibu.
Darah mengalir dari plasenta ke janin melalui vena umbilikalis yang
terdapat dalam tali pusat. Jumlah darah yang mengalir melalui tali pusat
sekitar 125 ml/kg/BB per menit atau sekitar 500 ml per menit. Melalui vena
umbilikalis dan duktus venosus, darah mengalir ke dalam vena cava
inferior, bercampur darah yang kembali dari bagian bawah tubuh, masuk
atrium kanan di mana aliran darah dari vena cava inferior lewat melalui

6
foramen ovale ke atrium kiri, kemudian ke ventrikel kiri melalui arkus aorta,
darah dialirkan ke seluruh tubuh.
Darah yang mengandung karbondioksida dari tubuh bagian atas,
memasuki ventrikel kanan melalui vena cava superior. Kemudian melalui
arteri pulmonalis besar meninggalkan ventrikel kanan menuju aorta
melewati duktus arteriosus. Darah ini kembali ke plasenta melalui aorta,
arteri iliaka interna dan arteri umbilikalis untuk mengadakan pertukaran gas
selanjutnya. Foramen ovale dan duktus arteriosus berfungsi sebagai saluran/
jalan pintas yang memungkinkan sebagian besar dari cardiac output yang
sudah terkombinasi kembali ke plasenta tanpa melalui paru-paru.
Bayi segera menghisap udara dan menangis kuat tepat setelah
dilahirkan. Dengan demikian paru-parunya akan berkembang, tekanan
dalam paru-paru mengecil dan seolah-olah darah terhisap ke dalam paru-
paru (tahanan vaskular paru menurun dan aliran darah pulmonal
meningkat). Duktus arteriosus menutup dan tidak berfungsi lagi, demikian
pula karena tekanan dalam atrium sinistra meningkat maka foramen ovale
akan tertutup sehingga selanjutnya tidak berfungsi lagi. Tahanan vaskular
sistemik juga meningkat. Akibat dipotong dan diikatnya tali pusat, arteri
umbilikalis dan duktus venosus akan mengalami obliterasi. Dengan
demikian setelah bayi lahir maka kebutuhan oksigen dipenuhi oleh udara
yang dihisap ke paru-paru dan kebutuhan nutrisi dipenuhi oleh makanan
yang dicerna dengan sistem pencernaan sendiri.

7
Gambar 2. Sirkulasi
fetal.
Jumlah darah yang mengalir dalam sistem sirkulasi pada orang
dewasa mencapai 5-6 liter (4.7-5.7 liter). Darah bersirkulasi dalam sistem
sirkulasi sistemik dan pulmonal.
a. Sirkulasi sistemik
Sistem sirkulasi sistemik dimulai ketika darah yang mengandung
banyak oksigen yang berasal dari paru, dipompa keluar oleh jantung melalui
ventrikel kiri ke aorta, selanjutnya ke seluruh tubuh melalui arteri-arteri
hingga mencapai pembuluh darah yang diameternya paling kecil (kapiler).
Kapiler melakukan gerakan kontraksi dan relaksasi secara
bergantian, yang disebut dengan vasomotion sehingga darah mengalir secara
intermittent. Dengan aliran yang demikian, terjadi pertukaran zat melalui
dinding kapiler yang hanya terdiri dari selapis sel endotel. Ujung kapiler
yang membawa darah teroksigenasi disebut arteriole sedangkan ujung
kapiler yang membawa darah terdeoksigenasi disebut venule; terdapat
hubungan antara arteriole dan venule “capillary bed” yang berbentuk seperti
anyaman, ada juga hubungan langsung dari arteriole ke venule melalui
arteri-vena anastomosis (A-V anastomosis). Darah dari arteriole mengalir ke
venule, kemudian sampai ke vena besar (v.cava superior dan v.cava inferior)
dan kembali ke jantung kanan (atrium kanan). Darah dari atrium kanan
selanjutnya memasuki ventrikel kanan melalui katup trikuspidalis.
b. Sirkulasi pulmonal
Sistem sirkulasi pulmonal dimulai ketika darah yang terdeoksigenasi
yang berasal dari seluruh tubuh, yang dialirkan melalui vena cava superior
dan vena cava inferior kemudian ke atrium kanan dan selanjutnya ke ventrikel
kanan, meninggalkan jantung kanan melalui arteri pulmonalis menuju paru-
paru (kanan dan kiri). Di dalam paru, darah mengalir ke kapiler paru dimana
terjadi pertukaran zat dan cairan, sehingga menghasilkan darah yang
teroksigenasi. Oksigen diambil dari udara pernapasan. Darah yang
teroksigenasi ini kemudian dialirkan melalui vena pulmonalis (kanan dan kiri),
menuju ke atrium kiri dan selanjutnya memasuki ventrikel kiri melalui katup
mitral (bikuspidalis). Darah dari ventrikel kiri kemudian masuk ke aorta untuk
dialirkan ke seluruh tubuh (dan dimulai lagi sirkulasi sistemik).

8
Gambar 3. Sirkulasi paru dan sistemik

Jadi, secara ringkas, aliran darah dalam sistem sirkulasi normal


manusia adalah :

Darah dari atrium kiri → melalui katup mitral ke ventrikel kiri →


aorta ascendens – arcus aorta – aorta descendens – arteri sedang – arteriole
→ capillary bed → venule – vena sedang – vena besar (v.cava superior dan
v.cava inferior) → atrium kanan → melalui katup trikuspid ke ventrikel
kanan → arteri pulmonalis → paru-paru → vena pulmonalis → atrium kiri.

2.1.5 Katub Jantung


1) Katup Trikuspid

Katup trikuspid berada diantara atrium kanan dan ventrikel kanan.


Bila katup ini terbuka, maka darah akan mengalir dari atrium kanan menuju
ventrikel kanan. Katup trikuspid berfungsi mencegah kembalinya aliran
darah menuju atrium kanan dengan cara menutup pada saat kontraksi
ventrikel. Sesuai dengan namanya, katup trikuspid terdiri dari 3 daun katup.

9
2) Katup Pulmonal

Darah akan mengalir dari dalam ventrikel kanan melalui trunkus


pulmonalis sesaat setelah katup trikuspid tertutup. Trunkus pulmonalis
bercabang menjadi arteri pulmonalis kanan dan kiri yang akan berhubungan
dengan jaringan paru kanan dan kiri. Pada pangkal trunkus pulmonalis
terdapat katup pulmonalis yang terdiri dari 3 daun katup yang terbuka bila
ventrikel kanan berkontraksi dan menutup bila ventrikel kanan relaksasi,
sehingga memungkinkan darah mengalir dari ventrikel kanan menuju arteri
pulmonalis.
3) Katup Bikuspid

Katup bikuspid atau katup mitral mengatur aliran darah dari atrium
kiri menuju ventrikel kiri. Seperti katup trikuspid, katup bikuspid menutup
pada saat kontraksi ventrikel. Katup bikuspid terdiri dari dua daun katup.
4) Katup Aorta

Katup aorta terdiri dari 3 daun katup yang terdapat pada pangkal aorta.
Katup ini akan membuka pada saat ventrikel kiri berkontraksi sehingga darah
akan mengalir keseluruh tubuh. Sebaliknya katup akan menutup pada saat
ventrikel kiri relaksasi, sehingga mencegah darah masuk kembali kedalam
ventrikel kiri.
Pembuluh darah yang terdiri dari arteri, arteriole, kapiler dan venula
serta vena merupakan pipa darah dimana didalamnya terdapat sel-sel darah
dan cairan plasma yang mengalir keseluruh tubuh. Pembuluh darah
berfungsi mengalirkan darah dari jantung ke jaringan serta organ2 diseluruh
tubuh dan sebaliknya. Arteri, arteriole dan kapiler mengalirkan darah dari
jantung keseluruh tubuh, sebaliknya vena dan venula mengalirkan darah
kembali ke jantung.

10
Gambar 4. Katup jantung.

2.2 Penyakit Jantung Bawaan


2.2.1 Definisi penyakit jantung Bawaan (PJB)
Kelainan kongenital merupakan wujud semasa atau sebelum kelahiran
atau semasa dalam kandungan dan termasuk di dalamnya ialah kelainan
jantung. Penyakit jantung bawaan (PJB) atau penyakit jantung kongenital
merupakan abnormalitas dari struktur dan fungsi sirkulasi jantung pada semasa
kelahiran. Malformasi kardiovaskuler kongenital tersebut berasal dari
kegagalan perkembangan struktur jantung pada fase awal perkembangan janin.
Penyakit jantung kongenital di Indonesia ikut bertanggung jawab
terhadap besarnya mortalitas dan morbiditas pada anak khususnya balita, di
samping penyakit lain, misalnya penyakit infeksi. Penyakit jantung bawaan
sekitar 1% dari keseluruhan bayi lahir hidup dan merupakan penyebab utama
akibat kecacatan sewaktu kelahiran. Sebagian besar pengidap PJB tersebut
meninggal dunia ketika masih bayi kecuali masalah ini dapat dideteksi lebih
awal sehingga penanganan baik terhadap penyakit utama maupun penyakit
penyerta dapat lebih optimal.
2.2.2 Epidemiologi PJB
Telah disebutkan bahwa penyakit jantung bawaan terjadi sekitar 1%
2,14,15
dari keseluruhan bayi lahir hidup atau sekitar 6-8 per 1000 kelahiran.
Pada negara Amerika Serikat setiap tahun terdapat 25.000-35000 bayi lahir
dengan PJB. Terdapat hal menarik dari PJB yakni insidens penyakit jantung

11
bawaan di seluruh dunia adalah kira-kira sama serta menetap dari waktu-
waktu. Meski demikian pada negara sedang berkembang yang fasilitas
kemampuan untuk menetapkan diagnosis spesifiknya masih kurang
mengakibatkan banyak neonatus dan bayi muda dengan PJB berat telah
meninggal sebelum diperiksa ke dokter.
Pada negara maju sekitar 40-50% penderita PJB terdiagnosis pada umur
1 minggu dan 50-60% pada usia 1 bulan. Sejak pembedahan paliatif atau
korektif sekarang tersedia untuk lebih 90% anak PJB, jumlah anak yang hidup
dengan PJB bertambah secara dramatis, namun keberhasilan intervensi ini
tergantung dari diagnosis yang dini dan akurat. Oleh sebab itu insidens
penyakit jantung bawaan sebaiknya dapat terus diturunkan dengan
mengutamakan peningkatan penanganan dini pada penyakit jantung bawaan
tetapi juga tidak mengesampingkan penyakit penyerta yang mungkin diderita.
Hal ini ditujukan untuk mengurangi angka mortalitas dan morbisitas pada anak
dengan PJB.
2.2.3 Klasifikasi PJB
Penyakit jantung bawaan dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok
besar berdasarkan pada ada atau tidak adanya sianosis, yang dapat ditentukan
melalui pemeriksaan fisik. Klasifikasi penyakit jantung bawaan menjadi PJB
sianotik dan PJB asianotik tersebut sering dikenal dengan klasifikasi klinis.
Tapi bagi kelainan jantung kongenital yang lebih komplek bentuknya,
klasifikasi segmental mungkin lebih tepat –suatu pendekatan diagnosis
berdasarkan anatomi dan morfologi bagian-bagian jantung secara rinci dan
runut.
Penyakit jantung bawaan asianotik atau non sianotik umumnya
memiliki kelainan yang lebih sederhana dan tunggal sedangkan tipe sianotik
biasanya memiliki kelainan struktur jantung yang lebih kompleks dan
bervariasi. Baik keduanya hampir 90% memerlukan intervensi bedah jantung
terbuka untuk pengobatannya. Sepuluh persen lainnya adalah kelainan seperti
kebocoran sekat bilik jantung yang masih mungkin untuk menutup sendiri
seiring dengan pertambahan usia anak.

12
2.2.4 Penyakit Jantung Bawaan Asianotik
Penyakit jantung bawaan asianotik adalah kelainan struktur dan fungsi
jantung yang dibawa sejak lahir dan sesuai dengan namanya, pasian ini tidak
ditandai dengan sianosis. Penyakit jantung bawaan ini merupakan bagian
terbesar dari seluruh penyakit jantung bawaan. Bergantung pada ada tidaknya
pirau (kelainan berupa lubang pada sekat pembatas antar jantung), kelompok
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) PJB asianotik dengan pirau
Adanya celah pada septum mengakibatkan terjadinya aliran pirau
(shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi lainnya. Karena tekanan
darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi disbanding sisi kanan, maka
aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran darah
paru berlebihan. Aliran pirau ini juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang
menghubungkan aorta dan pembuluh pulmonal tetap terbuka.
Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah yang kaya oksigen
ke sirkulasi darah yang miskin oksigen, maka penampilan pasien tidak biru
(asianotik). Namun, beban yang berlebihan pada jantung dapat
menyebabkan gagal jantung kiri maupun kanan. Yang termasuk PJB
asianotik dengan aliran pirau dari kiri kanan ialah :
a) Atrial Septal Defect (ASD)
Atrial Septal Defect (ASD) atau defek septum atrium adalah
kelainan akibat adanya lubang pada septum intersisial yang memisahkan
antrium kiri dan kanan. Defek ini meliputi 7-10% dari seluruh insiden
penyakit jantung bawaan dengan rasio perbandingan penderita
perempuan dan laki-laki 2:1.
Berdasarkan letak lubang defek ini dibagi menjadi defek septum
atrium primum, bila lubang terletak di daerah ostium primum, defek
septum atrium sekundum, bila lubang terletak di daerah fossa ovalis dan
defek sinus venosus, bila lubang terletak di daerah sinus venosus, serta
defek sinus koronarius.
Sebagian besar penderita defek atrium sekundum tidak
memberikan gejala (asimptomatis) terutama pada bayi dan anak kecil,

13
kecuali anak sering batuk pilek sejak kecil karena mudah terkena infeksi
paru. Bila pirau cukup besar maka pasien dapat mengalami sesak napas.
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik yakni dengan
askultasi ditemukan murmur ejeksi sistolik di daerah katup pulmonal di
sela iga 2-3 kiri parasternal. Selain itu terdapat juga pemeriksaan
penunjuang seperti elektrokardiografi (EKG) atau alat rekam jantung,
foto rontgen jantung, MRI, kateterisasi jantung, angiografi koroner, serta
ekokardiografi. Pembedahan dianjurkan untuk semua penderita yang
bergejala dan juga yang tidak bergejala dan penutupan defek tersebut
dilakukan pada pembedahan jantung terbuka dengan angka mortalitas
kurang dari 1%.
b) Ventricular Septal Defect (VSD)
Defek septum ventrikel atau Ventricular Septal Defect (VSD)
merupakan kelainan berupa lubang atau celah pada septum di antara rongga
ventrikal akibat kegagalan fusi atau penyambungan sekat interventrikel.
Defek ini merupakan defek yang paling sering dijumpai, meliputi 20-30%
pada penyakit jantung bawaan. Berdasarkan letak defek, VSD dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu defek septum ventrikel perimembran, defek
septum ventrikel muskuler, defek subarterial.
Prognosis kelainan ini memang sangat ditentukan oleh besar
kecilnya defek. Pada defek yang kecil seringkali asimptomatis dan anak
17
masih dapat tumbuh kembang secara normal. Sedangkan pada defek
baik sedang maupun besar pasien dapat mengalami gejala sesak napas
pada waktu minum, memerlukan waktu lama untuk menghabiskan
makanannya, seringkali menderita infeksi paru dan bahkan dapat terjadi
gagal jantung.
Pada pemeriksaan fisik, terdengar intensitas bunyi jantung ke-2
yang menigkat, murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri sternum dan
17
murmur ejeksi sistolik pada daerah katup pulmonal. Terapi ditujukan
untuk mengendalikan gejala gagal jantung serta memelihara tumbuh
kembang yang normal. Jika terapi awal berhasil, maka pirau akan
menutup selama tahun pertama kehidupan. Operasi dengan metode

14
transkateter dapat dilakukan pada anak dengan risiko rendah (low risk)
setelah berusia 15 tahun.
c) Patent Ductus Arteriousus (PDA)
Patent Ductus Arteriousus (PDA) atau duktus arteriosus persisten
1
adalah duktus arteriosus yang tetap membuka setelah bayi lahir.
17,18
Kelainan ini banyak terjadi pada bayi-bayi yang lahir prematur.
Insiden duktus arteriosus persisten sekitar 10-15% dari seluruh penyakit
jantung bawaan dengan penderita perempuan melebihi laki-laki yakni
2:1.
Penderita PDA yang memiliki defek kecil dapat hidup normal
dengan tidak atau sedikitnya gejala, namun defek yang besar dapat
menimbulkan gagal jantung kongestif yang serupa dengan gagal jantung
pada VSD. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya murmur
sinambung (continous murmur) di sela iga 2-3 kiri sternum menjalar ke
infraklavikuler.
Pengetahuan tentang kapan tepatnya penutupan duktus terjadi
penting dalam tatalaksana penanganan PDA, karena pada kasus tertentu
seperti pasien PDA yang diikuti dengan atresia katup pulmonal, duktus
arteriosus justru dipertahankan untuk tetap terbuka. Pada kasus PDA
pada umumnya penderita memerlukan penutupan duktus dengan
pembedahan.
2) PJB asianotik tanpa pirau
Penyakit jantung bawaan jenis ini tidak ditemukan adanya defek
yang menimbulkan hubungan abnormal antara ruang jantung. Kelainan
dapat berupa penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian
tertentu jantung, yakni katup atau salah satu bagian pembuluh darah diluar
jantung yang dapat menimbulkan gangguan aliran darah dan membebani
otot jantung. Jenis PJB tanpa pirau antara lain :
a) Stenosis pulmonal
Istilah stenosis pulmonal digunakan secara umum untuk
menunjukkan adanya obstruksi pada jalan keluar ventrikel kanan

15
atau a. pulmonalis dan cabang-cabangnya. Kelainan ini dibagi menjadi
3 tipe yaitu valvar, subvalvar, dan supravalvar. Stenosis pulmonal 80%
merupakan tipe valvuler dan ditemukan sebagai kelainan yang berdiri
sendiri. Insiden stenosis pulmonal meliputi 10% dari keseluruhan
penyakit jantung bawaan.
Sebagian besar stenosis pulmonal bersifat ringan dengan
prognosis baik sepanjang hidup pasien. Pada stenosis yang berat akan
terjadi limitasi curah jantung sehingga menyebabkan sesak napas,

disritmia hingga gagal jantung. Pada stenosis pulmonal ringan sampai


sedang terdengar bunyi jantung ke-2 yang melemah dan terdapat klik
ejeksi sistolik. Klik diikuti dengan murmur ejeksi sistolik derajat I-III
pada tepi kiri atas sternum yang menjalar ke punggung.
Terapi yang dianjurkan pada kasus sedang hingga berat ialah
valvuloplasti balon transkateter. Prosedur ini sekarang dilakukan oleh
bayi kecil, sehingga dapat menghindari pembedahan neonates yang
berisiko tinggi.
b) Stenosis aorta
Pada kelainan ini dapat ditemui katup aorta hanya memilki dua
daun yang seharusnya tiga, atau memiliki bentuk abnormal seperti
corong. Dalam jangka waktu tertentu lubang atau pembukaan katup
tersebut sering menjadi kaku dan menyempit karena terkumpulnya
endapan kalsium. Stenosis pulmonal mencakup 5% dari total keseluruhan
penyakit jantung bawaan dengan predominasi laki-laki 2:1.
Pada pasien stenosis aorta yang ringan atau pun moderat sering
tidak memberikan keluhan, tapi stenosis akan makin nyata karena proses
fibrosis dan kalsifikasi pada waktu menjelang kian dewasa. Klik ejeksi
sistolik akan terdengar keras dan jelas di sela iga 2-3 pada tepi kanan atas
sternum. Stenosis aorta yang ringan dan asimptomatik biasanya tidak
diperlukan tindakan apapun kecuali profilaksis antibiotik untuk
mencegah endokarditis. Pada stenosis aorta yang cukup berat perlu
dilakukan tindakan secepatnya dengan valvuloplasti balon atau
pembedahan.

16
c) Koarktasio aorta
Koarktasio aorta meupakan kelainan jantung non sianotik yang
paling banyak menyebabkan gagal jantung pada bayi-bayi di minggu
pertama setelah kelahirannya. Insidens koarktasio aorta kurang lebih
sebesar 8-15% dari seluruh kelainan penyakit jantung bawaan serta
ditemukan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan (2:1).
Diagnosis dapat dengan menemukan adanya perbedaan yang
besar antara tekanan darah pada extremitas atas dengan extremitas
bawah. Foto rontgen dada memperlihatkan kardiomegali dengan kongesti
vena pulmonalis, pemeriksaan Doppler pada aorta akan memperlihatkan

aliran arteri yang terganggu. Pada neonates pemberian prostalglandin

(PGE1) untuk membuka kembali duktus arteriosus akan memperbaiki


perfusi sistemik dan mengkoreksi asidosis. Tindakan pelebaran
koarktasio dengan kateter balon bila dikerjakan dengan baik dapat
memberikan hasil yang memuaskan.

2.2.5 Penyakit Jantung Bawaan Sianotik


1) Penyakit jantung bawaan sianotik dengan vaskularisasi paru berkurang
a) Tetralogi Fallot (TF)
Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan sianotik
yang banyak ditemukan yakni berkisar 7-10% dari seluruh penyakit
jantung bawaan. Tetralogi Fallot merupakan kelainan yang terdiri dari
kombinasi 4 komponen uakni defek septum ventrikel, over-riding aorta,
stenosis pulmonal, serta hipertensi ventrikel kanan.
Pada Tetralogi Fallot yang ringan pada waktu istirahat maupun
melakukan aktivitas fisik tidak tampak adanya sianosis. Pada TF yang
moderat hingga berat sianosis akan tampak bahkan pada saat anak
istirahat. Seorang anak yang mengidap TF akan mudah merasa lelah,
sesak dan hiperpnu karena hipoksia.
Pada pemeriksaan fisik, ujung-ujung jari tampak membentol dan
berwarna biru (finger clubbing) dan pada auskultasi terdengar bunyi
jantung ke-1 normal sedangkan bunyi jantung ke-2 tunggal disertai

17
murmur ejeksi sitolik di bagian parasternal sela iga 2-3 kiri.
Bayi-bayi dengan tetralogi berat memerlukan pengobatan medik
dan intervensi bedah pada masa neonatus. Terapi ditujukan segera pada
pemberian segera penambahan aliran darah pulmonal untuk mencegah
1
sekuele hipoksia berat. Pemberian PGE dapat menyebabkan dilatasi
duktus arteriousus dan memberi aliran darah pulmonal yang cukup
sampai prosedur bedah dapat dilakukan.
b) Atresia Pulmonal
Atresia pulmonal merupakan kelainan jantung kongenital
sianostik yang sangat jarang ditemukan. Atresia pulmonal disebabkan
oleh gagalnya proses pertumbuhan katup pulmonal, sehingga tidak
terdapat hubungan antara ventrikel kanan dengan arteri pulmonal.
Kelainan ini dapat terjadi dengan septum ventrikel yang masih intak atau
disertai dengan defek pada septum ventrikel. Insiden atresia pulmonal
dengan septum yang masih intak atau utuh sekitar 0,7-3,1% dari
keseluruhan kasus PJB.
Gejala dan tanda sianotik tampak pada hari-hari pertama
kehidupan. Bunyi jantung ke-2 terdengar tunggal, dan tidak terdengar
adanya murmur pada sela iga 2-3 parasternal kiri karena arteri pulmonal
atretik. Pada foto rontgen ditemukan pembesaran jantung dengan
vaskularisasi paru yang berkurang.
Prostalglandin digunakan untuk mempertahankan duktus
arteriosus tetap membuka sambil menunggu intervensi lebih lanjut.
Septostomi atrial dengan balon harus dilakukan secepatnya apabila pirau
antarinteratrial agak retriktif. Koreksi total yakni membuat ligasi
koleteral baru dilakukan bila anak sudah berusia di atas 1 tahun.

2) Penyakit jantung bawaan sianotik dengan vaskularisasi paru bertambah


a) Transposisi Arteri Besar
Transposisi arteri besar merupakan kelainan jantung yang paling
banyak pada neonatus. Insiden kelainan ini sekitar 25% dari seluruh
kelainan jantung bawaan sianotik atau 5-10% dari kselutuhan penyakit

18
jantung bawaan dan kelainan ini ditemukan lebih banyak paada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.
Pada kelainan ini terjadi perubahan posisi aorta dan a. pulmonalis,
yakni aorta keluar dari ventrikel kanan, sedangkan a. pulmonalis keluar
dari ventrikel kiri. Dengan demikian maka kedua sirkulasi sistemik dan
paru tersebut terpisah, dan kehidupan hanya dapat berlangsung apabila
ada komunikasi antara dua sirkulasi ini.
Manifestasi klinis bergantung pada adanya percampuran yang
adekuat antara sirkulasi sistemik dan paru dan adanya stenosis pulmonal.
Stenosis pulmonal terdapat pada 10% kasus. Pengobatan dilakukan untuk
mempertahankan duktus arteriosus agar darah dapat tercampur sampai
tindakan bedah dilakukan. Operasi paling baik dilakukan pada saat
anak berusia 1-2 tahun dengan prosedur Mustard.

2.3 Tetralogi Of Fallot


2.3.1 Definisi
Tetralogi of Fallot (TOF) adalah kelainan jantung kongenital dengan
gangguan sianosis yang ditandai dengan kombinasi empat hal yang abnormal
meliputi Defek Septum Ventrikel, Stenosis Pulmonal, Overriding Aorta dan
Hipertrofi Ventrikel Kanan. (Buku Ajar Kardiologi Anak, 2002).
Tetralogi of Fallot (TOF) adalah merupakan defek jantung yang terjadi
secara kongenital dimana secara khusus mempunyai empat kelainan anatomi
pada jantungnya. TOF ini adalah merupakan penyebab tersering pada Cyanotik
Heart Defect dan juga pada Blue Baby Syndrome.
TOF pertama kali dideskripsikan oleh Niels Stensen pada tahun 1672.
tetapi, pada tahun 1888 seorang dokter dari Perancis Etienne Fallot
menerangkan secara mendetail akan keempat kelainan anatomi yang timbul
pada tetralogi of fallot.
2.3.2 Etiologi
Pada sebagian kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak
diketahui secara pasti, akan tetapi diduga karena adanya faktor endogen dan
eksogen. Faktor- faktor tersebut antara lain:

19
1) Faktor Endogen
 Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
 Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
 Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit jantung atau kelainan bawaan.

2) Faktor Eksogen
 Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau suntik
 minum obat-obatan tanpa resep dokter (thalidomide,
extroamphetamine, aminopterin, amethopterin, jamu)
 Terpapar terhadap sinar-X
 Gizi yang buruk selama hamil
 Ibu yang alkoholik
 Usia ibu di atas 40 tahun.
(Sumber : Ilmu Kesehatan Anak, 2001)

2.3.3 Manifestasi klinik


Gejala bisa berupa :
a. Sianosis terutama pada bibir dan kuku
b. Bayi mengalami kesulitan untuk menyusu
c. Setelah melakukan aktivitas, anak selalu jongkok (squating) untuk
mengurangi hipoksi dengan posisi knee chest
d. Jari tangan clubbing (seperti tabuh genderang karena kulit atau tulang
di sekitar kuku jari tangan membesar)
e. Pertumbuhan dan perkembangan anak berlangsung lambat
f. Sesak napas jika melakukan aktivitas dan kadang disertai kejang atau
pingsan
g. Berat badan bayi tidak bertambah
h. Pada auskultasi terdengar bunyi murmur pada batas kiri sternum
tengah sampai bawah
Serangan sianosis dan hipoksia atau yang disebut “blue spell” terjadi
ketika kebutuhan oksigen otak melebihi suplainya. Episode biasanya terjadi

20
bila anak melakukan aktivitas (misalnya menangis, setelah makan atau
mengedan). (Buku ajar Keperawatan Kardiovaskuler, 2001).
2.3.4 Patofisiologi
Proses pembentukan jantung pada janin mulai terjadi pada hari ke-18
usia kehamilan. Pada minggu ke-3 jantung hanya berbentuk tabung yang
disebut fase tubing. Mulai akhir minggu ke-3 sampai minggu ke-4 usia
kehamilan, terjadi fase looping dan septasi, yaitu fase dimana terjadi proses
pembentukan dan penyekatan ruang-ruang jantung serta pemisahan antara aorta
dan arteri pulmonalis. Pada minggu ke-5 sampai ke-8 pembagian dan
penyekatan hampir sempurna. Akan tetapi, proses pembentukan dan
perkembangan jantung dapat terganggu jika selama masa kehamilan terdapat
faktor-faktor resiko.
Kesalahan dalam pembagian Trunkus dapat berakibat letak aorta yang
abnormal (overriding), timbulnya penyempitan pada arteri pulmonalis, serta
terdapatnya defek septum ventrikel. Dengan demikian, bayi akan lahir dengan
kelainan jantung dengan empat kelainan, yaitu defek septum ventrikel yang
besar, stenosis pulmonal infundibuler atau valvular, dekstro posisi pangkal
aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Derajat hipertrofi ventrikel kanan yang
timbul bergantung pada derajat stenosis pulmonal. Pada 50% kasus stenosis
pulmonal hanya infundibuler, pada 10%-25% kasus kombinasi infundibuler
dan valvular, dan 10% kasus hanya stenosis valvular. Selebihnya adalah
stenosis pulmonal perifer.
Hubungan letak aorta dan arteri pulmonalis masih di tempat yang
normal, overriding aorta terjadi karena pangkal aorta berpindah ke arah
anterior mengarah ke septum. Klasifikasi overriding menurut Kjellberg: (1)
tidak terdapat overriding aorta bila sumbu aorta desenden mengarah ke
belakang ventrikel kiri, (2) Pada overriding 25% sumbu aorta asenden ke arah
ventrikel sehingga lebih kurang 25% orifisium aorta menghadap ke ventrikel
kanan, (3) Pada overridng 50% sumbu aorta mengarah ke septum sehingga
50% orifisium aorta menghadap ventrikel kanan, (4) Pada overriding 75%
sumbu aorta asenden mengarah ke depan venrikel kanan. Derajat overriding ini

21
bersama dengan defek septum ventrikel dan derajat stenosis menentukan
besarnya pirau kanan ke kiri. (Ilmu Kesehatan anak, 2001).

2.3.5 Pemeriksaan Diagnostik


1) Pemeriksaan laboratorium
Ditemukan adanya peningkatan hemoglobin dan hematokrit (Ht)
akibat saturasi oksigen yang rendah. Pada umumnya hemoglobin
dipertahankan 16-18 gr/dl dan hematokrit antara 50-65%. nilai AGD
menunjukkan peningkatan tekanan partial karbondioksida (PCO2), penurunan
tekanan parsial oksigen (PO2) dan penurunan pH.
2) Radiologis
Sinar-X pada thoraks didapat gambaran penurunan aliran darah
pulmonal, gambaran penurunan aliran darah pulmonal, gambaran khas
jantung tampak apeks jantung terangkat sehingga seperti sepatu boot (boot
shape).
3) Elektrokardiogram
 Pada EKG sumbu QRS hampir selalu berdeviasi ke kanan.
 Tampak pula hipertrofi ventrikel kanan, kadang terdapat juga hipertrofi
atrium kanan.
 Pada anak yang sudah besar dijumpai P pulmonal
4) Ekokardiografi
Memperlihatkan dilatasi aorta, overriding aorta dengan dilatasi
ventrikel kanan, penurunan ukuran arteri pulmonalis dan penurunan aliran
darah ke paru-paru.
5) Kateterisasi
Diperlukan sebelum tindakan pembedahan untuk mengetahui Defek
Septum Ventrikel multiple, mendeteksi kelainan arteri koronaria dan
mendeteksi stenosis pulmonal perifer. Mendeteksi adanya penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan ventrikel kanan, dengan tekanan pulmonalis
normal atau rendah. (Ilmu Kesehatan Anak, 2001)

22
2.3.6 Penatalaksanaan
Pada penderita yang mengalami serangan stenosis maka terapi
ditujukan untuk memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan
cara:
a. Posisi lutut ke dada agar aliran darah ke paru bertambah karena
peningkatan afterload aorta akibat penekukan arteri femoralis. Selain itu
untuk mengurangi aliran darah balik ke jantung (venous).
b. Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV atau dapat pula diberi
Diazepam (Stesolid) per rektal untuk menekan pusat pernafasan dan
mengatasi takipneu.
c. Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian di sini tidak begitu tepat
karena permasalahan bukan kerena kekurangan oksigen, tetapi karena
aliran darah ke paru menurun. Dengan usaha di atas diharapkan anak tidak
lagi takipneu, sianosis berkurang dan anak menjadi tenang. Bila hal ini
tidak terjadi dapat dilanjutkan dengan pemberian :
d. Propanolol 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut
jantung sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dngan 10
ml cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila
serangan belum teratasi sisanyadiberikan perlahan dalam 5-10 menit
berikutnya.
e. Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penanganan serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat
meningkatkan curah jantung, sehingga aliran darah ke paru bertambah dan
aliran darah sistemik membawa oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.
Tindakan operasi dianjurkan untuk semua pasien TOF. Tindakan
operasi yang dilakukan, yaitu :
a) Blalock-Taussig Shunt (BT-Shunt), yaitu merupakan posedur shunt
yang dianastomosis sisi sama sisi dari arteri subklavia ke arteri
pulmonal.
b) Waterson Shunt, yaitu membuat anantomosis intraperikardial dari
aorta asending ke arteri pulmonal kanan,hal ini biasanya dilakukan
pada bayi. Pada tipe ini ahli bedah harus hati-hati untuk menentukan

23
ukuran anastomosis yang dibuat antara bagian aorta asending dengan
bagian anterior arteri pulmonal kanan. Jika anastomosis terlalu kecil
maka akan mengakibatkan hipoksia berat. Jika anastomosis terlalu
besar akan terjadi pletora dan edema pulmonal.
c) Potts Shunt, yaitu anastomosis antara aorta desenden dengan arteri
pulmonal yang kiri. Teknik ini jarang digunakan.
d) Total Korektif, terdiri atas penutupan VSD, valvotomi pulmonal dan
reseksi infundibulum yang mengalami hipertrofi. (Ilmu Kesehatan
Anak, 2001)

2.3.7 Prognosis
Umumnya prognosisnya buruk pada penderita TOF tanpa operasi.
Penderita TOF derajat sedang tanpa operasi dapat bertahan hidup sampai
umur 15 tahun dan hanya sebagian kecil yang bertahan sampai dekade ketiga.
2.3.8 Komplikasi
a. Trombosis pulmonal
b. Polisitemia
c. Abses otak
d. Perdarahan
e. Anemia relatif

2.4 Operasi Jantung


Tindakan operasi pasien TF terbagi menjadi 2 jenis, yaitu terapi
paliatif dan terapi koreksi total. Operasi paliatif bertujuan untuk memperbaiki
keadaan umum, sambil menunggu kapan koreksi total dapat dilakukan.
Operasi paliatif bertujuan memberikan aliran darah yang cukup ke paru
dengan membuat hubungan antara arteri pulmonal dan aliran sistemik.
Operasi paliatif yang paling sering dilakukan adalah Blalock Tausing shunt
(BT shunt). Jenis arteri ini menghubungkan arteri subclavia dan arteri
pulmonal pada sisi yang sama. Prosedur operasi paliatif mulai ditinggalkan
karena kebanyakan pasien TF menjalani koreksi total pada usia dini. Namun
pada beberapa kondisi, koreksi total tidak dapat dilaksanakan di usia awal

24
kehidupan sehingga pasien TF harus menjalani operasi paliatif. Pada saat
yang bersamaan, keadaan pasien diperbaiki untuk mempersiapkan koreksi
total.
Bedah koreksi total merupakan operasi ideal bagi pasien TF. Tujuan
bedah koreksi total adalah menutup DSV dan memperbaiki RVOTO.
Perbaikan obstruksi dilakukan melaluui reseksi bundle otot RVOT,
membentuk penyumbat RVOT dan penyumbat RVOT transanular, valvotomi
atau valvektomi pulmonal, dan arterioplasti pulmonal dari arteri pulmonal.

2.5 Konsep Ventilasi Mekanik (Ventilator)


2.5.1 Pengertian Ventilasi Mekanik
Ventilasi Mekanik adalah suatu alat yang digunakan untuk membantu
sebagian atau seluruh proses ventilasi untuk mempertahankan oksigenasi
2.5.2 Indikasi Pemasangan Ventilator
1. Pasien dengan respiratory failure (gagal napas)
2. Pasien dengan operasi tekhik hemodilusi
3. Post Trepanasi dengan black out
4. Respiratory Arrest.
2.5.3 Penyebab Gagal Nafas
1. Penyebab sentral
 Trauma kepala : Contusio cerebri
 Radang otak : Encepalitis
 Gangguan vaskuler : Perdarahan otak, infark otak
 Obat-obatan : Narkotika, Obat anestesi.
2. Penyebab perifer
a. Kelaian Neuromuskuler:
 Guillian Bare symdrom
 Tetanus
 Trauma servikal.
 Obat pelemas otot.
b. Kelainan jalan napas.
 Obstruksi jalan napas

25
 Asma broncheal
c. Kelainan di paru.
 Edema paru, atlektasis, ARDS
d. Kelainan tulang iga / thorak.
 Fraktur costae, pneumothorak, haemathorak.
e. Kelainan Jantung
 Kegagalan jantung kiri.
2.5.4 Kriteria Pemasangan Ventilator
Menurut Pontopidan seseorang perlu mendapat bantuan ventilasi mekanik
(ventilator) bila :
1. Frekuensi napas lebih dari 35 kali per menit
2. Hasil analisa gas darah dengan 02 masker Pa02 kurang dari ,70 mmHg
3. PaCO2 lebih dari 60 mmHg
4. AaDO2 dengan 02 100 % hasilnya lebih dari 350 mmHg
5. Vital capasity kurang dari 15 ml / kg BB

2.5.5 Macam – Macam Ventilator


Menurut sifatnya ventilator dibagi tiga type yaitu:
1. Volume Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator ini adalah cyclusnya berdasarkan volume. Mesin
berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai volume yang
ditentukan. Keuntungan volume cycled ventilator adalah perubahan pada
komplain paru pasien tetap memberikan volume tidal yang konsisten.
2. Pressure Cycled Ventilator
Perinsip dasar ventilator type ini adalah cyclusnya menggunakan tekanan.
Mesin berhenti bekerja dan terjadi ekspirasi bila telah mencapai tekanan yang
telah ditentukan. Pada titik tekanan ini, katup inspirasi tertutup dan ekspirasi
terjadi dengan pasif. Kerugian pada type ini bila ada perubahan. komplain
paru, maka volume udara yang diberikan juga berubah. Sehingga pada pasien
yang setatus parunya tidak stabil, penggunaan ventilator tipe ini tidak
dianjurkan.

26
3. Time Cycled Ventilator
Prinsip kerja dari ventilator type ini adalah cyclusnya berdasarkan wamtu
ekspirasi atau waktu inspirasi yang telah ditentukan. Waktu inspirasi
ditentukan oleh waktu dan kecepatan inspirasi (jumlah napas permenit)
Normal ratio I : E (inspirasi : ekspirasi) I : 2

2.5.6 Mode – Mode Ventilator


Pasien yang mendapatkan bantuan ventilasi mekanik dengan menggunakan
ventilator tidak selalu dibantu sepenuhnya oleh mesin ventilator, tetapi tergantung
dari mode yang kita setting. Mode - mode tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mode Control
Pada mode kontrol mesin secara terus menerus membantu pernafasan
pasien. Ini diberikan pada pasien yang pernafasannya masih sangat jelek,
lemah sekali atau bahkan apnea. Pada mode ini ventilator mengontrol pasien,
pernafasan diberikan ke pasien pada frekwensi dan volume yang telah
ditentukan pada ventilator, tanpa menghiraukan upaya pasien untuk mengawali
inspirasi. Bila pasien sadar, mode ini dapat menimbulkan ansietas tinggi dan
ketidaknyamanan dan bila pasien berusaha nafas sendiri bisa terjadi fighting
(tabrakan antara udara inspirasi dan ekspirasi), tekanan dalam pare meningkat
dan bisa berakibat alveoli pecah dan terjadi pneumothorax. Contoh mode
control ini adalah: CR (Controlled Respiration), CMV (Controlled Mandatory
Ventilation), IPPV (Intermitten Positive Pressure Ventilation)
2. Mode IMV / SIMV: Intermitten Mandatory Ventilation/Sincronized
Intermitten Mandatory Ventilation
Pada mode ini ventilator memberikan bantuan nafas secara selang seling
dengan nafas pasien itu sendiri. Pada mode IMV pernafasan mandatory
diberikan pada frekwensi yang di set tanpa menghiraukan apakah pasien pada
saat inspirasi atau ekspirasi sehingga bisa terjadi fighting dengan segala
akibatnya. Oleh karena itu pada ventilator generasi terakhir mode IMVnya
disinkronisasi (SIMV). Sehingga pernafasan mandatory diberikan sinkron
dengan picuan pasien. Mode IMV/SIMV diberikan pada pasien yang sudah
bisa nafas spontan tetapi belum normal sehingga masih memerlukan bantuan.

27
3. Mode ASB I PS : (Assisted Spontaneus Breathing l Pressure Suport
Mode ini diberikan pada pasien yang sudah bisa nafas spontan atau
pasien yang masih bisa bernafas tetapi tidal volumnenya tidak cukup karena
nafasnya dangkal. Pada mode ini pasien hares mempunyai kendali untuk
bernafas. Bila pasien tidak mampu untuk memicu trigger maka udara
pernafasan tidak diberikan.
4. CPAP : Continous Positive Air Pressure
Pada mode ini mesin hanya memberikan tekanan positif dan diberikan
pada pasien yang sudah bisa bernafas dengan adekuat. Tujuan pemberian mode
ini adalah untuk mencegah atelektasis dan melatih otot-otot pemafasan
sebelum pasien dilepas dari ventilator.
2.5.7 Sistem Alarm
Ventilator digunakan untuk mendukung hidup. Sistem alarm perlu untuk
mewaspadakan perawat tentang adanya masalah. Alarm tekanan rendah
menandakan adanya pemutusan dan' pasien (ventilator terlepas dari pasien),
sedangkan alarm tekanan tinggi menandakan adanya peningkatan tekanan,
misalnya pasien batuk, cubing tertekuk, terjadi fighting, dll. Alarm volume rendah
menandakan kebocoran. Alarm jangan pernah diabaikan tidak dianggap dan harus
dipasang dalam kondisi siap.
2.5.8 Pelembaban dan Suhu
Ventilasi mekanis yang melewati jalan nafas buatan meniadakan
mekanisme pertahanan tubuh unmtuk pelembaban dan penghangatan. Dua proses
ini harus digantikan dengan suatu alat yang disebut humidifier. Semua udara yang
dialirkan dari ventilator melalui air dalam humidifier dihangatkan dan dijenuhkan.
Suhu udara diatur kurang lebih sama dengan suhu tubuh. Pada kasus hipotermi
berat, pengaturan suhu udara dapat ditingkatkan. Suhu yang terlalu itnggi dapat
menyebabkan luka bakar pada trachea dan bila suhu terlalu rendah bisa
mengakibatkan kekeringan jalan nafas dan sekresi menjadi kental sehingga sulit
dilakukan penghisapan.
2.5.9 Fisiologi Pernafasan Ventilasi Mekanik
Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot
intercostalis berkontrkasi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif

28
sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara
pasif.
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara
dengan memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan sselama inspirasi adalah
positif dan menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi
tekanan dalam rongga thorax paling positif.
2.5.10 Efek Ventilasi Mekanik
Akibat dari tekanan positif pada rongga thorax, darah yang kembali ke
jantung terhambat, venous return menurun, maka cardiac output juga menurun.
Bila kondisi penurunan respon simpatis (misalnya karena hipovolemia, obat dan
usia lanjut), maka bisa mengakibatkan hipotensi. Darah yang lewat paru juga
berkurang karena ada kompresi microvaskuler akibat tekanan positif sehingga
darah yang menuju atrium kiri berkurang, akibatnya cardiac output juga
berkurang. Bila tekanan terlalu tinggi bisa terjadi gangguan oksigenasi. Selain itu
bila volume tidal terlalu tinggi yaitu lebih dari 10-12 mUkg BB dan tekanan lebih
besar dari 40 CmH2O, tidak hanya mempengaruhi cardiac output (curah jantung)
tetapi juga resiko terjadinya pneumothorax.
Efek pada organ lain, Akibat cardiac output menurun; perfusi ke organ-
organ lainpun menurun seperti hepar, ginjal dengan segala akibatnya. Akibat
tekanan positif di rongga thorax darah yang kembali dari otak terhambat sehingga
tekanan intrakranial meningkat.
2.5.11 Komplikasi Ventilasi Mekanik
Ventilator adalah alat untuk membantu pernafasan pasien, tapi bila
perawatannya tidak tepat bisa, menimbulkan komplikasi seperti:
1. Pada paru
a. Baro trauma: tension pneumothorax, empisema sub cutis, emboli udara
vaskuler
b. Atelektasis/kolaps alveoli diffuse
c. Infeksi paru
d. Keracunan oksigen
e. Jalan nafas buatan: king-king (tertekuk), terekstubasi, tersumbat. f.
Aspirasi cairan lambung

29
f. Tidak berfungsinya penggunaan ventilator
g. Kerusakan jalan nafas bagian atas
2. Pada sistem kardiovaskuler
a. Hipotensi, menurunya cardiac output dikarenakan menurunnya aliran balik
vena akibat meningkatnya tekanan intra thorax pada pemberian ventilasi
mekanik dengan tekanan tinggi.
3. Pada sistem saraf pusat
a. Vasokonstriksi cerebral
b. Terjadi karena penurunan tekanan C02 arteri (PaCO2) dibawah normal
akibat dari hipeventilai
c. Oedema cerebral
d. Terjadi karena peningkatan tekanan C02 arteri diatas normal akibat dari
hipoventilasi
e. Peningkatan tekanan intra kranial
f. Gangguan kesadaran
g. Gangguan tidur.
4. Pada sistem gastrointestinal
a. Distensi lambung, illeus
b. Perdarahan lambung
c. Gangguan psikologi

2.5.12 Prosedur Pemberian Ventilator


Sebelum memasang ventilator pada pasien. Lakukan tes paru pada
ventilator untuk memastikan pengesetan sesuai pedoman standar. Sedangkan
pengesetan awal adalah sebagai berikut:
1. Fraksi oksigen inspirasi (Fi02) 100%
2. Volume Tidal: 4-5 ml/kg BB
3. Frekwensi pernafasan: 10-15 kali/menit
4. Aliran inspirasi: 40-60 liter/detik
5. PEEP (Possitive End Expiratory Pressure) atau tekanan positif akhir ekspirasi:
0-5 Cm, ini diberikan pada pasien yang mengalami oedema paru dan untuk
mencegah atelektasis. Pengesetan untuk pasien ditentukan oleh tujuan terapi

30
clan perubahan pengesetan ditentukan oleh respon pasien yang ditujunkan oleh
hasil analisa gas darah (Blood Gas)

2.5.13 Kriteria Penyapihan


Pasien yang mendapat bantuan ventilasi mekanik dapat dilakukan
penyapihan bila memenuhi kriteria sebagai berikut:
Kapasitas vital 10-15 ml/kg BB
Volume tidal 4-5 ml/kg BB
Kekuatan inspirasi 20 cm H2O atau lebih besar
Frekwensi pernafasan kurang dari 20 kali/menit.
2.5.14 Terapi Oksigen
Setelah jalan nafas bebas, maka selanjutnya tergantung dari derajat
hipoksia atau hiperkabinya serta keadaan penderita.
Pontiopidan memberi batasan mekanik, oksigenasi dan ventilasi untuk
menentukan tindakan selanjutnya (lihat tabel)
INSTUBA
SI
ACCAPTABL
FISIOTERAP TRACHE
E RANGE
PARAMETE I DADA, TERAPI OSTOMI
( TIDAK
R OKSIGEN,MONI VENTILA
PERLU TERAPI
TORING KETAT SI
KHUSUS )
MEKANI
K
1. MEKANIK
- Frekuensi 12-25 25-35 > 35
nafas
- vital capacity 70-30 30-15 < 15
(ml)
- inspiratori 100-50 50-25 < 25
force (CmHg)

2. OKSIGENASI
- A-Ado2 100% 50-200 200-350 < 350
mmHg
- PaO2 (mmHg) 100-75 ( Air) 200-70 <70
(O2 Maks) (O2 maks)
3. VENTILASI
- VD/VT 0,3-0,4 0,4-0.6 0,6
- PaCO2 35-45 5-60 60

31
2.6 Asuhan Keperawatan
2.6.1 Pengkajian
1. Anamnesa
1) Biodata
Nama ,alamat umur status pasien.
2) Keluhan utama
sesak nafas, mual, muntah, nyeri kepala yang hebat.
3) Riwayat penyakit masa lalu
Riwayat hipertensi, merokok pengguna alkohol, pola hidup yang
tidak sehat.
4) Riwayat kesehatan masa lalu
Keluarga yang menderita riwayat hipertensi, penyakit PJB.
5) Pola aktivitas sehari-hari
Banyak makan makanan yang mengandung yang bergizi dan serta
tidak rutin dalam melakukan aktivitas olahraga.
6) Keadaan umum pasien
Keadaan umum lemah .
2. Pemeriksaan fisik
1) Breating (B1 = pernafasan)
Dispnea dengan atau tanpa aktivitas, batuk produktif, riwayat PJB.
Tanda : distres pernafasan, meningkat pada frekuensi/irama dan
gangguan
kedalaman.
2) Bleeding  (B2 = kardiovaskuler)
Riwayat hipertensi, riwayat penyakit jantung.
Tanda : takikardia, disritmia, tekanan darah normal, meningkat atau
menurun. Bunyi jantung mungkin normal. Kulit atau membran mukosa
lembab, dingin, pucat.
3) Brain  (B3 = persarafan)
Perubahan status mental, orientassi, pola bicara, afek, proses pikir
Tanda : nyeri kepala

32
4) Blader  (B4 = perkemihan)
Gangguan ginjal saat ini atau sebelumnya.
Tanda : disuria, oliguria, anuria poliuria sampai hematuria.
5) Bowel (B5 = pencernaan)
Tanda : mual, kehilangan nafsu makan, penurunan turgor kulit,
muntah, perubahan berat badan
6) Bone (B6 = tulang-otot-integumen)
Hipotensi postural, frekuensi jantung meningkat, takipnea.
3. Pemeriksaan Diagnostik :
EKG : hipertrofi atrial atau ventrikuler, iskemia, disritmia misal
takikardi, fibrilasi atria.
Ekokardiogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik dan
serambi, perubahan dalam fungsi atau struktur katup atau area
kontraktilitas ventricular.
Rontgen dada : Dapat menunjukkan pembesaran jantung, bayangan
mencerminkan dilatasi atau hipertopi bilik atau serambi, atau
perubahan dalam pembuluh darah mencerminkan peningkatan
tekanan pulmonal.
Enzim Hepar : Meningkat dalam gagal atau kongestif hepar.
AGD : gagal ventrikel kiri ditandai dengan alkalosis respiratorik ringan
(dini) atau hipoksemia dengan peningkatan PCO2 (akhir).
2.6.2 Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi
miokardium (preload, afterload, kontraktilitas, perubahan irama,
perubahan frekuensi dan stroke volume )
b. Nyeri berhubungan dengan agen cedera sekunder terhadap luka post
operasi thoraks dan kardiovaskuler.
c. Risiko keseimbangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
kehilangan cairan aktif sekunder terhadap kehilangan cairan post operasi.
d. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan
ventilasi

33
e. Risiko infeksi berhubungan dengan port de entri luka post operasi,
tindakan invasif dan penurunan ketahanan tubuh primer sekunder akibat
operasi besar (stressor ketahanan tubuh).
2.6.3 Rencana Asuhan Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi
miokardium (preload, afterload, kontraktilitas, perubahan irama,
perubahan frekuensi dan stroke volume).
Tujuan: Mengembalikan curah jantung untuk menjaga/mencapai gaya
hidup yang diinginkan
Kriteria Evaluasi:
1) Parameter hemodinamik dalam batas normal
2) Drainase dada melalui selang pada 4-6 jam pertama kurang dari 300
ml/jam
3) Tanda-tanda vital stabil
4) Perfusi ginjal baik (urin 0,5 – 1 cc / kgBB)
5) EKG negative terhadap perubahan iskemik
Intervensi:
1) Pantau status kardiovaskular, pembacaan parameter hemodinamik
Rasional: Efektifitas curah jantung ditentukan oleh pemantauan
hemodinamik
2) Observasi adanya perdarahan persisten drainase darah yang terus-
menurus dan menetap, hipotensi, CVP rendah, takikardi. Persiapkan
pemberian komponen darah dan larutan vena.
Rasional: Perdarahan dapat terjadi akibat insisi jantung, kerapuhan
jaringan, trauma jaringan, dan gangguan faktor pembekuan
3) Observasi adanya tamponade jantung: hipotensi, , tekanan atrium kiri,
CVP, bunyi jantung lemah, denyut nadi lemah, distensi vena jugularis,
penurunan haluran urine, lakukan pengecekan berkurangnya darah pada
selang drainase.
Rasional: tamponade jantung terjadi karena adanya perdarahan di
kantung pericardium yang akan menekan jantung dan menghambat

34
pengisian ventrikel secara adekuat. Penurunan drainase menunjukkan
bahwa darah cairan terkumpul di kantung pericardium.
4) Observasi gagal jantung: hipotensi, CVP, tekanan atrium kiri, takikardi,
gelisah, sianosis, agitasi, distensi vena, dispneu, acites.
Rasional: Gagal jantung yang terjadi akibat penurunan aksi
pemompaan jantung, dapat mengakibatkan berkurangnya perfusi ke
organ vital.
5) Lakukan pemeriksaan EKG dan enzim berkala.
Rasional: Melakukan observasi adanya infark miokardium
b. Nyeri berhubungan dengan agen cedera sekunder terhadap insisi bedah
post operasi thoraks dan kardiovaskuler
Tujuan : Nyeri hilang/berkurang.
Kriteria hasil:
1) Menyatakan nyeri hilang.
2) Menunjukkan postur tubuh rileks.
3) Kemampuan istirahat/tidur cukup.
Intervensi :
1) Minta pasien untuk melaporkan tipe,lokasi serta intensitas nyeri dan
skala nyeri 0-10.
Rasionalisasi : Nyeri berat harus diselidiki untuk kemungkinan
komplikasi.
2) Observasi cemas, mudah terangsang, menangis, gelisah,gangguan tidur.
Pantau tanda-tanda vital.
Rasionalisasi : Petunjuk non verbal ini menunjukkan adanya derajat
nyeri yang dialami.
3) Identifikasi/ tingkatkan posisi nyaman.
Rasionalisasi :mempertahankan postur tubuh dan penahanan insisi
untuk menurunkan tegangan otot/ meningkatkan kenyamanan.
4) Beri obat pada saat prosedur/ aktifitas sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Kenyamanan/ kerjasama pasien pada pengobatan,
ambulasi, dan produser dipermudah oleh pemberian analgesic.

35
c. Gangguan keseimbangan volume cairan: kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan diuresis osmotic, perdarahan
Tujuan : Kebutuhan cairan dan hidrasi pasien terpenuhi
Kriteria hasil : Hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital yang
atabil, nadi perifer dapat diraba, capillary refill baik, haluaran urine dan
kadar elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1) Monitor parameter hemodinamik sacara ketat
Rasional: Memberikan informasi mengenai keadaan hidrasi
2) Monitor nadi perifer, capillary refill, turgor kulit, membrane mukosa
Rasional: untuk mengetahui perfusi ke jaringan.
3) Monitor intake dan output
Rasional: Menentukan kondisi pasien berhubungan dengan status
cairan dan rehidrasi yang akan dilakukan
4) Observasi adanya edema, peningkatan BB, peningkatan tanda-tanda vital
Rasional: Mengevaluasi intervensi untuk rehidrasi cairan.
5) Kolaborasi: berikan terapi cairan dan pantau pemeriksaan laboratorium
d. Risiko pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan
ventilasi.
Tujuan : Inefektif pola nafas tidak terjadi.
Kriteri hasil : Pasien menunjukan pola nafas adekuat.
Intervensi :
1) Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman, catat upaya pernafasan.
Contoh adanya dyspnoe, penggunaan otot bantu pernafasan
Rasionalisasi : Upaya dan kecepatan nafas mungkin meningkat
karena nyeri, takut, demam, penurunan volume sirkulasi, akumulasi
secret, hipoksia, atau distensi gaster.
2) Auskultasi bunyi nafas.
Rasionalisasi : Bunyi nafas sering menurun pada dasar paru selama
periode waktu pembedahan sehubungan dengan terjadinya atelekstasis.
3) Observasi adanya penyimpangan gerakan dada.

36
Rasionalisasi : Udara atau cairan pada pleura mencegah ekspansi
dada lengkap dan memerlukan pengkajian lanjut status ventilasi.
4) Observasi karakter batuk dan produksi sputum.
Rasionalisasi : Batuk dapat menyebabkan iritasi selang ETT atau
dapat menunjukan kongesti paru. Sputum purulen dapat menunjukan
timbulnya infeksi paru.
5) Tinggikan kepala posisi duduk atau semifowler.
Rasionalisasi : Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru
efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti paru.
6) Tekankan menahan dada dengan bantal selama nafas dalam dan batuk.
Rasionalisasi : Menurunkan tegangan pada insisi dan meningkatkan
ekspansi paru.
e. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka op, terpasang alat di
tubuh, imunosupresi
Tujuan: tidak terjadi infeksi
Kriteria Evaluasi: tidak terjadi demam dan tercapai pemulihan luka
tepat pada waktunya
Intervensi:
1) Lakukan prosedur mencuci tangan yang baik staf dan pengunjung.
Rasional: lindungi pasien dari sumber-sumber infeksi
2) Monitor tanda-tanda vital pasien terutama suhu
Rasional: peningkatan suhu terjadi akibat proses inflamasi.
Identifikasi dini memungkinkan terapi yang tepat
3) Ubah posisi secara berkala, pertahankan linen kering dan bebas kerutan
Rasional: menurunkan tekanan dan iritasi pada jaringan dan
mencegah kerusakan kulit (potensial pertumbuhan bakteri.
4) Hindari/batasi prosedur invasive
Rasional: menurunkan risiko kontaminasi, membatasi entri portal
terhadap agen infeksius
5) Patuhi teknik aseptik ketika melakukan tindakan yang berhubungan
dengan alat invasive

37
Rasional: Mencegah kontaminasi kuman pada alat-alat yang melekat
pada tubuh.

38
BAB 3
TINJAUAN KASUS

3.1 Asuhan Keperawatan


3.3.1 Pengkajian

A. Identitas pasien

Nama : An. B No. Rekam Medik : 1333XXX

Umur : 4 tahun

Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia

Agama : Islam

Pendidikan : Belum sekolah

Status perkawinan : Belum kawin

Alamat : Kunjang Rt 3 Rw 4 Kediri Jawa Timur

Tgl MRS : 4 Oktober 2017 jam 13.30 WIB

Tgl pengkajian/ Jam : 15 November 2017 jam 09.00 WIB

Diagnosa Medik: : TOF POST OP OPEN HEART TOTAL KOREKSI

B. Riwayat penyakit sekarang

1. Keluhan utama : Sesak nafas

2. Riwayat penyakit sekarang

Sebelum pasien di bawa ke Dr sotomo pasien terlebih dahulu dipriksakan ke

Rumah sakit di kediri, lalu oleh dokter yang ada Rumah sakit di kediri

menyarankan untuk dirujuk ke RS Dr sotomo untuk dilakukan operasi

jantung. Lalu oleh keluarga dibawa ke RS Dr sotomo surabaya pada tanggal 4

oktober 2017 jam 13.30 WIB, setibanya di IRD soetomo dilakukan

pemeriksaan TTV TD 90/60 mmHg, N : 108 x/mnt, Rr : 28 x/ S: 37 C, lalu

39
dipindahkan ke Ruang Nakula Sadewa dan dilakukan Operasi jantung tgl 1

november 2017 dan dipindahkan di ICU sampai sekarang.

C. Riwayat penyakit dahulu

Sejak bayi pasien sudah mengalami biru kalau menangis. Sering cepat lelah

setelah aktifitas.

D. Riwayat penyakit keluarga

Keluarga tidak ada yang mengalami penyakit yang sama.

E. Pemeriksaan fisik

1. Tanda- tanda vital

TD : 90/60 mmHg N: 108 x/menit S:37,1°C RR: 28x/ menit Spo2: 96%,

Map 70

2. Sistem pernapasan (B1)

Bentuk dada simetris suara nafas ronchi +/+ whezing – , ada luka bekas

operasi open heart ± 15x1 cm, terpasang CVC, pernapasan cuping hidung

(-) irama nafas teratur menit Spo2: 96%

3. Sistem kardiovaskuler (B2)

T :90/60 mmHg N: 108x/menit S: 37,1°C CRT< 2 detik akral hangat

kering merah terpasang infus di kaki kanan infus D5 ½ Ns 500cc/24 jam

MAP : 84

4. Sistem persyarafan (B3)

GCS 456, pupil isokor reflek cahaya +/+, kaku kuduk – reflek babinski –

5. Sistem perkemihan (B4)

Terpasang pempers produksi urin 370 cc/ 7 jam warna kuning genetalia

bersih tidak ada luka

40
6. Sistem pencernaan

Mukosa bibir kering, merah.

7. Sistem muskuluskletal

Posisi head up 30 derajat, tidak ada edema ekstrimitas atas dan bawah.

kaki kanan terpasang iv line, tangan kanan terpasang iv line , turgor kulit

baik tonus otot tidak terkaji.

8. Pengkajian spiritual

Tidak terkaji

F. Pemeriksaan penunjang

Thorak : simetris, ada bekas luka operasi open heart

Ecg : RBBB

Echocardiografi : Tetralogi of fallot

Lab 15 november 2017

HEMATOLOGI Hasil Nilai Normal

Hb 12,8 L : 13.3 – 16.6

P : 11.0- 14.7

Lekosit 14,79 3.37 – 10.00

Trhombosit 153.000 150 – 450

Eritrosit 5.46 3.60 – 5.46

KIMIA KLINIK

Bun 24 10 – 20

creatinin 0,77 0.50 – 1.20

SGOT 54 < 41

SGPT 9 < 38

41
Albumin 3.29 3.40 – 5.00

GDA 114 40 – 120

ELEKTROLIT

Na 148 136 – 144

K 3.8 3.8 – 5.0

Cl 112 97 – 103

HbSag Negatif Negatif

BGA

PH 7.430 7.35 – 7. 45

PO2 92.7 90 .00 -107.0 0

PCO2 37.7 35.00 – 45.00

HCO3 25.2 21.00 – 25.00

Be - 0.7 - 3.50 – 02.00

FiO2 35 %

SO2 97.9% 00.00 – 00.00

AaDo2 111.5 00.00 – 00.00

G. Terapi

Infus D5 ½ Ns 500 cc /24 jam


Injeksi paracetamol 3x250 mg
Injeksi omeprazol 1x40 mg
Injeksi ceftri 2 x 250 mg
Nebul ventolin : PZ 0,9 % 4x1/hr

42
3.3.2 Analisa Data

No. / tgl Data Etiologi Masalah

1. Ds: hipoksia Ketidakefektifan

17 Do: bersihan jalan

novembe - Suara napas aktivitas menurun napas

r 2017 ronchi +/+ dan bed rest

- Whezing

- Irama napas Peningkatan

teratur secret pada lobus

- Bed rest paru tertentu

- RR : 28 x/ menit
Resiko aspirasi

2 Ds: Hipoksia Gangguan perfusi

Do: jaringan cerebral


Penurunan O2
Sesak nafas pada otak

cianosis
Penurunan
TD : 90/60 mmHg kesadaran pasien

N: 130 x/menit

S:37,1°C RR: 18x/

menit Spo2: 96%

3 Ds: insisi post op Resti infeksi


open heart
Do:
kondisi daerah
ada luka bekas operasi

43
di dada post op open insisi yang tidak
bersih
heart ± 15x1 cm.
kuman, bakteri
Suhu : 37,1 C berkembang

resiko infeksi

44
3.3.3 Diagnosa Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan

1 Gangguan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan sekret

2 Ganggguan perfusi jaringan serebral berhubungan kurangnya suplai

oksigen ke otak

3 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan.

45
3.3.4 Intervensi

Diagnosa 1 : gangguan bersihan jalan napas berhubungan dengan penumpukan

sekret

Tgl/ Tujuan dan Intervensi Rasional

jam kriteria hasil

No dx

15 Setelah 1) Auskultasi suara 1. Menentukan lokasi

Novem dilakukan napas tiap 2 jam sekret

ber tindakan 2) Berikan nebulizer 2. Membantu pengenceran

2017 keperawatan sesuai advis sekret

1. dalam waktu 1x 3) Lakukan suction 3. Mengatasi sumbatan

30 menit bila terdapat jalan napas akibat sekret

bersihan jalan akumulasi sekret

napas teratasi 4) Monitoring tanda- 4. Peningkatan frekuensi

KH: tanda vital napas indikator

Dada simetris sumbatan jalan napas

Suara vesikuler

Raonchi -/-

Whezing -/-

RR :16 – 20 x/

menit

SPO2 : > 96 %

2 Setelah 1) Pemberian 1.

dilakukan Oksigen masker

46
tindakan 6lpm

keperawatan 1 x 2) Monitoring tanda –

60 menit tanda vital tiap jam

gangguan 3) Pertahankan status

perfusi serebral kesadaran dan

teratasi evaluasi GCS tiap

KH: 2 jam

GCS 456

MAP :60 – 110

Tidak ada tanda

Penurunan

Kesadaran

N: 60 – 100 x/

menit

3 Setelah 1) Kaji tanda vital 1. Memonitor gejala dan


diberikan dan tanda – tanda tanda infeksi sedini
asuhan infeksi umum mungkin.
keperawatan lainnya.
selama 1 x 30 2) Hindari kontak 2. Menghindarkan pasien
menit, dengan sumber dari kemungkinan
diharapkan infeksi. terkena infeksi dari
infeksi pada sumber yang dapat
klien tidak dihindari.
terjadi dengan 3) Sediakan waktu 3. Istirahat adekuat
kriteria hasil : istirahat yang membantu
adekuat. meningkatkan keadaan
- tidak ada umum pasien.
rembesan / 4) Sediakan 4. Nutrisi adekuat

47
cairan di kebutuhan nutrisi menunjang daya tahan
daerah luka yang adekuat tubuh pasien yang
sesuai kebutuhan. optimal.
- Lekosit
dalam batas
5) Rawat luka sesuai 5. Agar tidak terjadi
normal
advise dokter infeksi
- Suhu tubuh
dalam batas
normal 36 –
37 c

48
3.3.5 Implementasi

No Tgl/jam Implementasi Ttd

dx

1 15 november  Mengobservasi serta mencatat TTV

2017  Memberikan nebulizer dengan ventolin 1

12.00 amp + Pz 0,9% 2 cc selama 15 menit

 Melakukan suction dengan teknik steril 1

12.20 kali hisapan < 10 detik

12.40

2 12.10  Memberikan oksigen masker 6 lpm

12.15  Melakukan pemeriksaan kesadaran pasien

dan dokumentasi hasil pemeriksaan GCS

12.00  Mengobservasi tanda – tanda vital dan

MAP

3 12.00  mengkaji tanda vital dan tanda – tanda


infeksi umum lainnya.
13.00
 menghindari kontak dengan sumber infeksi.
13.30
 menyediakan waktu istirahat yang adekuat.
 Memberikan injeksi ceftriaxon 250 mg

1 16 november

2017  Timbang terima

14.00  Mengauskultasi suara napas pasien ronchi

+/- , obsevasi TTV

49
14.30  Melakukan nebulizer ventolin 1 amp + Pz

0,9% selama 15 menit

20.00

2 15.00  Memposisikan pasien slight head up 30-45

derajat

14.30  melakukan observasi serta mencatat TTV

15.00  Memberikan terpi komunikasi terapeutik

16.00  melakukan pemeriksaan GCS pasien.

3 14.30  mengkaji tanda vital dan tanda – tanda


infeksi umum lainnya.
 Merawat luka bekas post op yang ada di
18.00
dada
 Menyuapi pasien dengan bubur

1 17 april 2017

14.00  Timbang terima dengan yang jaga pagi

14.30  Monitoring tanda- tanda vital

15.00  Mengauskultasi suara napas tiap

19.00  Memberikan nebulizer dengan ventolin 1

amp + Pz 0,9% 2 cc selama 15 menit

20.00  Melatih batuk efektif

2 14.30  Posisikan head up 15 - 30 derajat

14.30  Monitoring tanda – tanda vital tiap jam

14.45  Pertahankan status kesadaran dan evaluasi

50
GCS tiap 2 jam

15.00  Memberikan injeksi ceftriaxone 250 mg

 Observasi tanda tanda vital

3 14.30  mengkaji tanda tanda vital

14.50
 Menghindari kontak dengan sumber infeksi.
16.00
(cuci tangan)
18.30  Memberikan susu lewat sonde
 Merawat luka

51
3.3.6 Evaluasi

Tgl /jam No dx Evaluasi Ttd

15 1 S: -

Noveber2017 O:

13.30 TD : 116/68 mmHg N: 130 x/menit

S:37,1°C RR: 18x/ menit Spo2: 96%

 Ronchi berkurang

 whezing

 sputum warna putih encer tidah bau

 pergerakan dada simetris

A: masalah teratasi sebagian

P: pertahankan intervensi 1-5

13.30 2 S: -

O:

 Pasien sadar

 GCS 456

 Pupil isokor reflek cahaya +/+

TD : 116/68 mmHg N: 130 x/menit S:37,1°C RR:

18x/ menit Spo2: 96%, Map 84

A: masalah teratasi sebagian

P: intervensi no 1 – 4 di lanjutkan

13.45 3 S:-

52
O : pasien tenang

Tidak ada tanda tanda infeksi

S 37,1 C, TD : 116/68 mmHg N: 130 x/menit

A : masalah teratasi sebagian

P : intervensi no 1- 5 dilanjutkan

11 april 2016 1 S: - pasien mengatakan tidak sesak

20 30 O:

TD : 120/78 mmHg N: 118 x/menit S:36,8°C

RR: 18x/ menit O2 masker 6 L/mnit, Spo2:

99%

BGA :

PH : 7.43

PCO2 : 38.1

PO2 : 240.9

HCO3 : 25.6

BE : – 1.1

 Ronchi berkurang

 whezing -

 batuk adekuat

 pergerakan dada simetris

A: masalah teratasi sebagian

P: pertahankan intervensi 1-5

20. 40 2 S: pasien mengatakan masih mengantuk

O:

53
 Pasien sadar

 GCS 456

 Pupil isokor reflek cahaya +/+

TD : 120/78 mmHg N: 118 x/menit S:36,8°C

RR: 18x/ menit O2 masker 6 L/mnit, RR: 18x/

menit Spo2: 99% MAP : 90

BGA :

PH : 7.43

PCO2 : 38.1

PO2 : 240.9

HCO3 : 25.6

BE : – 1.1

A: masalah belum teratasi

P: intervensi no 1 – 4 di lanjutkan

3 S : pasien mengatakan nyeri di luka operasi sudah

tidak ada

O:

Tidak ada tanda tanda infeksi, pus tidak ada

TD : 120/78 mmHg N: 118 x/menit S:36,8°C RR:

18x/ menit O2 masker 6 L/mnit, RR: 18x/ menit

Spo2: 99%

A : masalah teratasi sebagian

P : intervensi no 1- 5 dilanjutkan

54
15 Novembr 1 S: pasien mengatakan tidak sesak

2017 O: TD : 110/72 mmHg N: 110 x/menit S:37°C

20.30 RR: 18x/ menit, nasal O2 2 L/mnit

SpO: 100%

BGA :

PH : 7.43

PCO2 : 36.9

PO2 : 235.9

HCO3 : 24.9

BE : – 0.4

 Ronchi berkurang

 whezing -

 pergerakan dada simetris

 batuk adekuat

A: masalah teratasi sebagian

P: pertahankan intervensi 1-5

3 S : pasien mengatakan sakit di luka operasi

O:

TD : 110/72 mmHg N: 110 x/menit S:37°C RR:

18x/ menit, nasal O2 2 L/mnit Spo2: 100%

Tidak ada tanda tanda infeksi, pus tidak ada

Tidak ada cairan yang keluar disekitar luka

A : masalah teratasi sebagian

P : intervensi dilanjutkan

55
BAB 4
PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibicarakan pembahasan asuhan keperawatan pada An. A

deangan diagnosa TOF post open heart di ICU RSU Dr. Soetomo

Surabaya.maka penulis dapat membandingkan antara teori dan asuhan

keperawatan berdasarkan kasus nyata.

4.1 Pengkajian

a. Umur : pada teori dan kasusnya didapatkan persamaan yaitu TOF ini terjadi

pada usia kurang dari 5 tahun. Pada teori bahwa TOF sering di jumpai pada

usia kurang dari 5 tahun.

b. Riwayat penyakit

Riwayat penyakit sekarang terdapat kesamaan dengan teori yaitu pasien

mengalami kelainan sejak kecil.

c. Pemeriksaan fisik

B1 (Breathing) :

pada kasus ini terdapat kesamaan dengan teori yaitu hipoventilasi, hipoxia

dan takipnea sehingga di berikan bantuan ventilasi mekanik sehingga kebutuhan

oksigen pasien terpenuhi.

B2 (Blood)

pada kasus ini terdapat persamaan adanya takikardi. Takikardi pada kasus

ini bisa dikarenakan nyeri luka bekas pembedahan.

B3 (Brain)

56
pada kasus ini didapatkan tidak ada permasalahan

B4 (Bladder)

Didapatkan perbedaan pada kasus nyata tidak didapatkan retensi urin dan

inkontinensia urin

B5 (Bowel)

Didapatkan persamaan dengan teori yaitu penurunan bising usus

B6 (Bone)

. pada kasus ini didapatkan tidak ada permasalahan

4.2 Diagnosa Keperawatan dan Intervensi

a. Gangguan bersihan jalan napas berhubungan dengan akumulasi sekret

didapatkan persamaan dengan teori pada pasien dengan pemasangan

ventilator terjadi penumpukan sekret hal ini juga di sebabkan kerusakan

neuromuskuler pada pasien yang tidak sadar

b. Ganggguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan kekurangan oksigen

ke otak.

c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan. Hal ini

disebabkan adanya luka incise yang mengakibatkan tempat pertumbuan dan

jalan masukan kuman ke tubuh pasien yang menimbulkan infeksi

4.4 Implementasi

Didalam pelaksanaan semua tindakan yang direncanakan dapat

diimplementasikan sesuai dengan situasi dan kondisi pasien secara menyeluruh

sesuai dengan fasilitas yang ada.

57
4.5 Evaluasi

1) Pada kasus An. B dengan diagnosa gangguan bersihan jalan napas dan pada

diagnosa keperawatan Ganggguan perfusi jaringan serebral berhubungan

dengan kekurangan suplai oksigen ke otak dapat teratasi, sedangkan

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan insisi pembedahan. Bisa teratasi

dan masih butuh perwatan yang berkesinambungan di ruang rawat inap

58
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dari Asuhan Keperawatan
An. B dengan diagnosa TOF post open heart yang telah dilakukan maka dapat
disimpulkan bahwa :
1. Masalah keperawatan yang muncul adalah : Ketidak efektifan
bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sekret,
Ganggguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan suplai
oksigen ke otak kurang, Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
insisi pembedahan.
2. Intervensi keperawatan yang diberikan sesuai dengan teori yang ada
yakni managemen airway, breathing, pemantauan TTV dan kesadaran.
3. Implementasi dari Intervensi yang telah dibuat sesuai dengan kondisi
dan situasi serta SOP yang telah ada di ICU.
4. Evaluasi dari asuhan keperawatan yang dilakukan, sebagian besar
masalah keperawatan belum dapat teratasi.

5.2 Saran
Adapun saran dari peneliti yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
1. Melihat masalah yang terjadi pada klien dengan TOF, diharapkan bagi
perawat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang optimal sehingga dapat
meminimalkan dan mencegah komplikasi lebih lanjut.
2. Dengan tuntutan perkembangan di bidang kesehatan diharapkan pada
seluruh fasilitas kesehatan dapat memberikan pelayanan yang optimal pada
klien dengan TOF.
3. Bagi peserta Pendidikan dan Pelatihan ICU serta mahasiswa lain
diharapkan mampu menguasai penanganan pasien dengan TOF dengan
mencari dan mempelajari literatur dalam memberikan Asuhan
Keperawatan yang diberikan, serta mampu berkomunikasi secara

59
terapeutik dan kerja sama yang baik dengan perawat lain maupun keluarga
pasien guna memaksimalkan intervensi dan mengimplementasikan Asuhan
Keperawatan secara profesional.

60
DAFTAR PUSTAKA

 Carpenito, Lynda Juall. (1997). Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6.


Jakarta : EGC.
 Doenges, Marilyn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3.
Jakarta : EGC.
 Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare. (2000). Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah. Jakarta : EGC
 U.S National Heart, Lung, and Blood Institute, 2009; Sudden Total
Correction Thorax and Cardiac Prosedur, 2008; Sovari dan Kocheril: 2009
 https://www.scribd.com/doc/145196951/Post-Cardiac-Arrest#download
 https://www.scribd.com/doc/261294372/henti-jantung-1
 Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddarth. Edisi 8. Jakarta: EGC
 Tim IKAPI. 1993. Proses Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta : EGC
 http://akpermalahayatimedan.blogspot.co.id/2013/05/asuhan-keperawatan-
pada-pasien-dengan.html
 http://senyumbening.blogspot.co.id/2011/04/tetralogi-of-falot.html

61

Anda mungkin juga menyukai