MAKALAH KLP. 4 TOF Fix

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN TOF

(TETRALOGY OF FALLOT)

DOSEN

NS. SRI YULIANTI., S.KEP.,M.KEP

OLEH :

KELOMPOK 4

IRNAWATI (201901012)

NABILA PRATIWI (201901022)

IZUL HUDA (201901013)

MUTIARA ANDINI (201901021)

RAHMA PUTRI SEPTIANI (201901029)

NURUL HUMAIRA (201901028)

DIANA AGNES BATE (201901006)

WINDY INDRIYANI P (201901040)

YAYAN (201901041)

PROGRAM STUDI S1 NERS

STIKES WIDYA NUSANTARA PALU

2021
A. Anatomi Fisiologi Sistem Kardiovaskular

Jantung adalah organ berongga dan berotot seukuran kepalan. Organ ini
terletak di rongga toraks (dada) sekitar garis tengah antara sternum (tulang dada)
disebelah anterior dan vertebra ( belakang) di posterior. Jantung memiliki dasar lebar
diatas dan meruncing membentuk titik diujungnya, dibagian bawah yang disebut
apeks. Jantung terletak menyudut dibawah sternum sedemikian sehingga dasarnya
terutama terletak dikanan dan apeks di kiri sternum.ketika jantung berdenyut kuat,
apeks sebenarnya memukul bagian dalam dinding dada di sisi kiri. Jantung adalah
organ tunggal namun sisi kanan dan kiri jantung berfingsi sebagai dua pompa
terpisah.
Jantung dibagi menjadi paruh kanan dan kiri serta memiliki empat rongga
yaitu, satu rongga atas dan satu rongga bawah di masingmasing paruh. Rongga-
rongga atas yang disebut atrium, menerima darah yang kembali ke jantung dan
memindahkan kerongga bawah, ventrikel, yang memompa darah dari jantung.
Pembuluh yang mengembalikan darah dari jaringan ke atrium adalah vena, dan yang
membawa darah dari ventrikel ke jaringan adalah arteri. Kedua paruh jantung
dipisahkan oleh septum, suatu partisi berotot kontiyu yang mencegah pencampuran
darah dari kedua sisi jantung. Pemisahan ini sangat penting separuh kanan jantung
menerima dan memompa darah miskin O2, sementara sisi kiring jantung menerima
dan memompa darah kaya O2.
Daerah dipertengahan dada diantara kedua paru disebut sebagai mediastinum.
Sebagian besar rongga mediastinum ditempati oleh jantung, yang terbungkus dalam
kantong fibrosa tipis yang disebut perikardium. Perikardium melindungi permukaan
jantung agar dapat berfungsi dengan
baik. Ruangan antara permukaan jantung dan lapisan dalam pericardium berisi
sejumlah kecil cairan, yang melumasi permukaan dan mengurangi gesekan selama
kontraksi otot jantung.
Kamar jantung: sisi kanan dan kiri jantung, masing-masing tersusun atas dua
kamar, atrium dan ventrikel. Dinding yang memisahkan kamar kanan dan kamar kiri
disebut septum. Ventrikel adalah kamar yang menyemburkan darah ke arteri. Fungsi
atrium adalah menampung darah yang datang dari vena dan bertindak sebagai tempat
penimbunan sementara sebelum darah kemudian dikosongkan ke ventrikel. Katup
jantung memungkinkan darah mengalir hanya satu arah dalam jantung. katup, yang
tersusun atas bilah-bilah jaringan fibrosa, membuka dan menutup secara pasif
sebagai respon terhadap perubahan tekanan darahdan aliran darah. Ada dua jenis
katup : Atrioventrikularis dan semilunaris.
1. Katup Atrioventrikularis.
Katup yang memisahkan atrium dan ventrikel disebut sebagai katup
atrioventrikularis. Katup trikuspidalis, dinamakan demikian karena tersusun
atas tiga kuspis atau daun, memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan.
Katup mitral atau bikuspidalis ( dua kuspis ) terletak diantara atrium dan
ventrikel kiri.
2. Katup semilunaris.
Katup semilunaris terletak diantara tiap ventrikel dan arteri yang
bersangkutan. Katup anatara ventrikel kanan dan arteri pulmonalis disebut
katup pulmonalis; katup antara ventrikel kiri dan aorta disebut katup aorta.
Katup semilunaris normalnya tersusun atas tiga kuspis, yang berfungsi
dengan baik tanpa otot papilaris dan korda tendinea.
Arteri Koronaria adalah pembuluh yang menyuplai otot jantung., yang
mempunyai kebutuhan metabolisme tinggi terhadap okesigen dan nutrisi. Jantung
menggunakan 70% sampai 80% oksigen yang dihantarkan melalui; arteri
koronaria; sebagai organ perbandingan, organ lain hanya menggunakan rata-rata
seperempat oksigen yang dihantarkan. Arteri koronaria muncul dari aorta dekat
hulunya di ventrikel kiri. Dinding disisi kiri jantung disuplai dengan bagian yang
lebih banyak melalui arteri koronaria utama kiri, yang kemudian terpecah menjadi
dua cabang besar ke bawah (arteri desendens anterior sinistra )dan melintang
( arteri sirkumfleksa ) sisi kiri jantung.
Otot Jantung adalah jaringan otot khusus yang menyusun dinding jantung
dinamakan otot jantung. secara mikroskopis, otot jantung mirip otot serat lurik
( skelet ), yang berada dibawah kontrol kesadaran. Namun secara fungsional, otot
jantung menyerupai otot polos karena sifatnya folunter. Jantung adalah organ
berongga dan berotot yang terletak ditengah thoraks, dan ia menepati rongga
ditengah paru dan diafragma. Beratnya sekitar 300 g ( 10,6 oz ), meskipun berat
dan ukuran dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, berat badan, beratnya latihan dan
kebiasaan fisik dan penyakit jantung.
Fungsi jantung adalah memompa darah ke jaringan, menyuplai O2 dan zat
nutrisi lain sambil mengangkut CO2 dan sampah hasil metabolisme. Sebenarnya
terdapat dua pompa jantung, yang terletak disebelah kanan dan kiri. Kerja pompa
jantung dijalankan oleh kontraksi dan relaksasi ritmit dinding otot. Selama
kontraksi otot ( sistolik ), kamar jantung menjadi lebih kecil karena darah
disemburkan ke luar. Selama relaksasi otot dinding jantung (diastolik ) , kamar
jantung akan terisi darah sebagai persiapan untuk penyemburan berikutnya.
Jantung dewasa normal akan berdetak sekitar 60 –80 kali/menit, menyemburkan
sekitar 70 ml darah dari kedua ventrikel perdetakan, dan keluaran totalnya sekitar
5 L/menit

A. KONSEP MEDIS
1. Defenisi
Penyakit jantung bawaan terdiri dari berbagai jenis dan salah satunya adalah
tetralogi of fallot, yang mana tetralogi of fallot adalah suatu penyakit dengan kelainan
bawaan yang merupakan kelainan jantung bawaan sianotik. penyakit jantung bawaan
ialah kelainan” susunan” jantung “ mungkin “ sudah terdapat sejak lahir. Perkataan
“susunan” berarti menyingkirkan aritmia jantung, sedangkan “mungkin” sudah
terdapat sejak lahir berarti tidak selalu dapat ditemukan selama beberapa
minggu/bulan setelah lahir. Penyakit jantung bawaan atau congenital heart disease
adalah suatu kelainan formasi dari jantung atau pembuluh besar dekat jantung.
"congenital" hanya berbicara tentang waktu tapi bukan penyebabnya. Itu artinya "lahir
dengan" atau "hadir pada kelahiran".
Congenital heart disease (CHD) atau penyakit jantung bawaan adalah
kelainan jantung yang sudah ada sejak bayi lahir, jadi kelainan tersebut terjadi
sebelum bayi lahir. Tetapi kelaianan jantung bawaan ini tidak selalu memberi gejala
segera setelah bayi lahir tidak jarang kelainan tersebut baru ditemukan setelah pasien
berumur beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun
2. . Epidemiologi
Tetralogy of Fallot merupakan kelainan jantung sianotik kongenital yang
paling sering terjadi dengan perkiraan kejadian 1 per 3.500 kelahiran hidup.
Sebanyak 7-10% malformasi jantung kongenital adalah Tetralogy of Fallot. Sebuah
penelitian systematic review menyebutkan bahwa prevalensi Tetralogi of Fallot
lebih tinggi lagi yakni 421 per 1 juta kelahiran hidup atau 1 per 2.375 kelahiran
hidup. Angka pasien Tetralogi of Fallot yang mengalami survival hingga dewasa
bervariasi 20-79%. Data epidemiologi Tetralogy of Fallot di Indonesia masih belum
jelas. Namun dilaporkan bahwa penyakit jantung bawaan ditemukan dalam 8 per
1.000 kelahiran hidup..
3. Etiologi
Pada sebagian besar kasus, penyebab penyakit jantung bawaan tidak di
ketahui secara pasti. Diduga karena adanya faktor endogen dan eksogen.

Faktor – faktor tersebut antara lain yaitu:

a. Faktor endogen
1) Berbagai jenis penyakit genetik : kelainan kromosom
2) Anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan
3) Adanya penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi,
penyakit jantung atau kelainan bawaan
b. Faktor eksogen
1) Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB atau suntuik, minum
obat – obatan tanpa resep dokter
2) Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
3) Pajanan terhadap sinar –x
Para ahli berpendapat bahwa penyebab endogen dan eksogen tersebut jarang
terpisah menyebabkan penyakit jantung bawaan. Diperkirakan lebih dari 90 % kasus
penyebab adalah multifaktor. Adapun sebabnya, pajanan terhadap faktor penyebab
harus ada sebelum akhir bulan kedua kehamilan, oleh karena pada minggu ke delapan
pembentukan jantung janin sudah selesai. TOF lebih sering di temukan pada anak –
anak yang menderita sindrom down. TOF dimasukkan ke dalam kelainan jantung
sianotik karena terjadi pemompaan darah yang sedikit mengandung oksigen ke seluruh
tubuh, sehingga terjadi sianosis (kulit berwarna ungu kebiruaan) dan sesak nafas.
Mungkin gejalah sianotik baru timbul di kemudian hari, dimana bayi mengalami
serangan sianotik karena menyusu atau menangis.
4. Patofisiologi
Proses pembentukan jaringan pada janin mulai terjadi pada hari ke -18 usia
kehamilan. Pada minggu ke -3 jantung hanya berbentuk tabung yabg di sebut fase
tubing. Mulai akhirminggu ke -3 sampai minggu ke -4 usi kehamilan, terjadi fase
looping dan septasi, yaitu fase dimana terjadi proses pembentukan dan penyekatan
ruang – ruang jantung serta pemisahan antara aorta dan arteri pulmonalis. Pada
minggu ke -5 sampai ke -8 pembagian dan penyekatan hampir sempurna. Akan tetapi,
proses pembentukan dan perkembangan jantung dapat terganggu jika selama masa
kehamilan terjadi faktor – faktor resiko. Kesalahan dalam pembagian trunkus dapat
berakibat letak aorta yang abnormal(overriding), timbulnya penyempitan pada arteri
pulmonalis, serta terdapatnya defek septum ventrikel. Dengan demikian, bayi akan
lahir dengan kelainan jantung dengan empat kelainan, yaitu defek septum ventrikel
yang besar, stenosis pulmonal infundibular atau valvular, dekstro pangkat aorta dan
hipertrofi ventrikel kanan. Derajat hipertrofi ventrikel kanan yang timbul bergantung
pada derajat stenosis pulmonal. Pada 50% kasus stenosis pulmonal hanya
infundibuler.
Karena pada TOF terdapat empat macam kelainan jantung yang bersamaan, maka:
a. Darah dari aorta sebagian berasal dari ventrikel kanan melalui lubang pada
septum interventrikuler dan sebagian lagi berasal dari ventrikel kiri, sehingga
terjadi percampuran darah yang sudah teroksigenasi dan belum teroksigenasi.
b. Arteri pulmonal mengalami stenosis, sehingga darah yang mengalir dari
ventrikel kanan ke paru-paru jauh lebih sedikit dari normal.
c. Darah dari ventrikel kiri mengalir ke ventrikel kanan melalui lubang septum
ventrikel dan kemudian ke aorta atau langsung ke aorta, akan tetapi apabila
tekanan dari ventrikel kanan lebih tinggi dari ventrikel kiri maka darah akan
mengalir dari ventrikel kanan ke ventrikel kiri (right to left shunt).
d. Karena jantung bagian kanan harus memompa sejumlah besar darah ke dalam
aorta yg bertekanan tinggi serta harus melawan tekanan tinggi akibat stenosis
pulmonal maka lama kelamaan otot-ototnya akan mengalami pembesaran
(hipertrofi ventrikel kanan).
Pengembalian darah dari vena sistemik ke atrium kanan dan ventrikel kanan
berlangsung normal. Ketika ventrikel kanan menguncup, dan menghadapi stenosis
pulmonalis, maka darah akan dipintaskan melewati defek septum ventrikel tersebut ke
dalam aorta. Akibatnya darah yang dialirkan ke seluruh tubuh tidak teroksigenasi, hal
inilah yang menyebabkan terjadinya sianosis.
Tetralogi fallot di klasifikasikan sebagai kelainan jantung sianotik oleh
karena pada tetralogi falot oksigenasi darah yang tidak adekuat di pompa ke tubuh.
Pada saat lahir, bayi tidak menunjukkan tanda sianosis, tetapi kemudian dapat
berkembang menjadi episode menakutkan, tiba-tiba kulit membiru setelah menangis
atau setelah pemberian makan. Defek septum ventrikel ini menuju ventrikel kiri. Pada
Tetralogi fallot jumlah darah yang menuju paru kurang oleh karena obstruksi akibat
stenosis pulmonal dan ukuran arteri pulmonalis lebih kecil. Hal ini menyebabkan
pengurangan aliran darah yang melewati katup pulmonal. Darah yang kekurangan O2
sebagian mengalir ke ventrikel kiri, diteruskan ke aorta kemudian ke seluruh tubuh.
Shunting darah miskin O2 dari Ventrikel Kanan ke tubuh menyebabkan
penurunan saturasi O2 arterial sehingga bayi tampak sianosis atau biru. Sianosis
terjadi oleh karena darah miskin O2 tampak lebih gelap dan berwarna biru sehingga
menyebabkan bibir dan kulit tampak biru. Apabila penurunan mendadak jumlah darah
yang menuju paru pada beberapa bayi dan anak mengalami cyanotic spells atau
disebut juga paroxysmal hypolemic spell, paroxymal dyspnoe, bayi atau anak menjadi
sangat biru, bernapas dengan cepat dan kemungkinan bisa meninggal.
Selanjutnya, akibat beban pemompaan Ventrikel kanan bertambah untuk
melawan stenosis pulmonal, menyebabkan ventrikel kanan membesar dan menebal
(hipertrofi ventrikel kanan). Pada keadaan tertentu (dehidrasi, spasme infundibulum
berat, menangis lama, peningkatan suhu tubuh atau mengedan), pasien dengan TOF
mengalami hipoksia spell yang ditandai dengan : sianosis (pasien menjadi biru),
mengalami kesulitan bernapas, pasien menjadi sangat lelah dan pucat, kadang pasien
menjadi kejang bahkan pingsan.
Keadaan ini merupakan keadaan emergensi yang harus ditangani segera,
misalnya dengan salah satu cara memulihkan serangan spell yaitu
memberikan posisi lutut ke dada (knee chest position)Defek septum ventrikular rata-
rata besar. Pada pasien dengan tetralogy of fallot, diameter aortanya lebih besdar dan
norma, sedang ateri pulomernya lebih kecil dan normal. Gagal jantung kongestif
jarang terjadi karena tekanan di dalam ventrikel kiri dan kanan sama besar akibat
defek septum tersebut. Masalah utama dari gangguan ini adalah hipoksia. Derajad
sianosis berhubungan dengan beratnya obtruksi anatomik terhadap aliran darah dari
ventrikel kanan ke dalam arteri pulmoner selain dengan status fisiologik anak tersebut.
5. Pathway

- Kehamilan (+) rubella Terpapar faktor endogen Anak dengan syndrom down
- Gizi buruk saat kehamilan dan eksogen selama
- Ibu alkoholik kehamilan trimester I-II

Kelainan jantung konginetal


TOF ( tetralogi of fallot

Stenosis pulmonal Defek septum ventrikel

Penurunan Tek. Sistolik puncak


ventrikel kanan & kiri

Obstruksi paru

Penurunan Aliran darah paru

O2 dlm darah menurun

Pengurangan Aliran yang melewati


Sianosis (blue
katup pulmonal darah
spells)

hipoksemia
sesak - Ggn pola Serangan
nafas hipersianotik
Kelemahan tubuh
Resiko keterlambatan perkembangan
Bayi/anak cepat lelah
jika menetek,
berjalan, beraktifitas
- keletihan
6. Manifestasi klinis
Adapun manifestasi klinis dari penyakit tetralogi of fallot yaitu:
a. Sianosis (sianosis terutama pada bibir dan kuku)
Sianosis muncul setelah berusia beberapa bulan, jarang tampak pada saat
lahir, bertambah berat secara progresi. Serangan sianotik atau “ blue speels( Tet
apeels)” yang di tandai oleh dyspnea; pernafasan yang dalam dan menarik dan
nafas panjang, bradikardia keluhan ingin pingsan, serangan kejang, dan
kehilangan kesadaran, yang semua ini dapat terjadi setelah pasien melakukan
latihan, menangis, mengejan, mengalami infeksi, atau damam (keadaan ini dapat
terjadi karena penurunan oksigen pada otak akibat peningkatan pemintasan atau
shunting aliran darah dari kanan ke kiri yang mungkin disebabkan oleh spasme
jalur keluar ventrikel kanan, peningkatan aliran balik sestemik atau penurunan
resistensi arterial sistemik).
b. Serangan hipersianotik
1) Peningkatan frekuensi dan kedalaman pernafasan
2) Sianosis akut
3) Iritabilitas sistem saraf pusat yang dapat berkembang sampai lemah dan
pingsan dan akhirnya menimbilkan kejang, strok dan kematian
c. Gagal tumbuh
Pada anak dengan kelainan jantung yang kecil atau ringan tidak akan
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangannya. Tetapi pada PJB yang tipe
biru, resiko untuk terjadi gagal tumbuh jauh lebih tinggi. Ada tiga sebab yaitu:
1) Asupan kalori yang tidak adekuat
2) Gangguan pencernaan makanan (melabsorpsi)
3) Pengaruh hormon pertumbuhan
Serangan sianosis dan hipoksia atau yang di sebut “blue spell” terjadi ketika
kebutuhan oksigen otak melebihi suplainya. Episode biasanya terjadi bila anak
melakukan aktifitas (misalnya menangis, setelah makan atau mengedan).

7. Klasifikasi TOF
TOF dibagi dalam 4 derajat :
a. Derajat I : tak sianosis, kemampuan kerja normal
b. Derajat II : sianosis waktu kerja, kemampuan kerja kurang
c. Derajat III : sianosis waktu istirahat. kuku terlihat cembung, saat
beraktifitas sianosis bertambah, ada dispneu.
d. Derjat IV : sianosis dan dispneu istirahat,clubbing fingers
8. Pencegahan
Langkah pencegahan untuk penyakit jantung kongenital ini sebenarnya tidak
diketahui tetapi langkah untukk berjaga-jaga bisa diambil untuk mengurangi
risiko mendapat bayi yang mengidap masalah jantung, yaitu:
a. Sebelum mengandung seseorang wanita itu perlu memastikan ia telah
mendapatkan imunisasi rubella.
b. Jangan merokok, minum alkohol, dan menyalahgunakan obat-obatan.
c. 3. Ibu-ibu yang mengalami penyakit kronik seperti Diabetes,
Fenilketonuria (PKU), epilepsi dan kecacatan jantung perlu
mengunjungi dokter sebelum hamil.
Persatuan Jantung Amerika (AHA) mencadangkan pemberian antibiotik
pencegahan (prophylaxis) kepada anak-anak yang menghidap endokarditis
bakterialis apabila mereka menjalani:
a. Pembedahan tonsil dan adenoid.
b. Pembedahan gastrointestinal, saluran reproduksi dan saluran kemih.
c. Ampicillin 50mg/kg (maksimal 2 g) bersama gentamicin 2 mg (maksimal 80
mg) diberi 30 menit sebelum dilakukan prosedur berkenaan. Dan hendaknya
diulang 6 jam kemudian bagi kedua obat tersebut. Obat ulangan itu boleh
diganti dengan Amoxicillin 25 mg (maksimal 1.5 g) bagi penderita dengan
resiko rendah
9. Penatalaksanaan
Pada penderita yang mengalami serangan stenosis maka terapi ditujukan
untuk memutus patofisiologi serangan tersebut, antara lain dengan cara:
a. Posisi lutut ke dada agar aliran darah ke paru bertambah karena peningkatan
afterload aorta akibat penekukan arteri femoralis. Selain itu untuk
mengurangi aliran darah balik ke jantung (venous).
b. Morphine sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV atau dapat pula diberi
Diazepam (Stesolid) per rektal untuk menekan pusat pernafasan dan mengatasi
takipneu.
c. Oksigen dapat diberikan, walaupun pemberian di sini tidak begitu tepat karena
permasalahan bukan kerena kekurangan oksigen, tetapi karena aliran darah ke
paru menurun. Dengan usaha di atas diharapkan anak tidak lagi takipneu,
sianosis berkurang dan anak menjadi tenang. Bila hal ini tidak terjadi dapat
dilanjutkan dengan pemberian :
d. Propanolol 0,01-0,25 mg/kg IV perlahan-lahan untuk menurunkan denyut
jantung sehingga serangan dapat diatasi. Dosis total dilarutkan dngan 10 ml
cairan dalam spuit, dosis awal/bolus diberikan separuhnya, bila serangan
belum teratasi sisanyadiberikan perlahan dalam 5-10 menitmmberikutnya.
e. Penambahan volume cairan tubuh dengan infus cairan dapat efektif dalam
penanganan serangan sianotik. Penambahan volume darah juga dapat
meningkatkan curah jantung, sehingga aliran darah ke paru bertambah dan
aliran darah sistemik membawa oksigen ke seluruh tubuh juga meningkat.

10. Komplikasi
Penderita dengan TF sebelum perbaikan rentan terhadap beberapa
komplikasi yang serius:

a. Trombosis otak, biasanya terjadi pada vena serebralis atau sinus dura dan
kadang-kadang pada arteri serebralis, lebih sering bila ada polisitemia berat.
Paling sering terjadi pada penderita di bawah 2 tahun.
b. Abses otak, lebih jarang daripada kejadian-kejadian vaskuler otak. Penderita
biasanya di atas 2 tahun. Terdapat kenaikan tekanan intrakranial.
c. Endokarditis bakterialis, terjadi pada penderita yang tidak dioperasi pada
infundibulum ventrikel kanan atau pada katup pulmonal, katup aorta dan
jarang pada katup trikuspid.
1. 4. Gagal jantung kongestif, adalah tanda biasa pada orang-orang dengan
tetralogi fallot. Namun, tanda ini dapat terjadi pada bayi muda dengan TF
”merah” atau asianotik. Karena derajat penyumbatan pulmonal memburuk
bila semakin tua.
11. Farmakologi
a. Pemberian Morfin subkutan dengan dosis tidak melebihi 0,2 mg/kg BB pada
bayi.
b. Pemberian Fenilefrin intravena dapat meningkatkan resistensi vascular dan
memperbaiki keluaran ventrikel kanan.
c. Neonatus yang tetap mengalami sianotik, diberikan prostaglandin E1 (0.01-
0.20 µg/kgBB/menit) agar duktus arteriosus tetap terbuka untuk memperbaiki
aliran darah ke paru-paru.
B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

1. Identitas Pasien : Nama, Usia (Menjelang usia 2-3 bulan pembentukan


jari-jari tabuh pada tangan dan kaki akan tampak. Pada usia tahun
pertama, sianosis akan terjadi dan nampak paling menonjol. Biasanya
muncul pada umur 5 tahun ke atas), Jenis Kelamin
2. Identitas Orangtua: Nama Ayah/Ibu, Usia, Pendidikan (Pendidikan yang
rendah pada orangtua mengakibatkan kurangnya pengetahuan terhadap
penyakit anak), Pekerjaan (Biasanya ibu hamil yang bekerja di pabrik-
pabrik kimia cernderung mempengaruhi kesehatan anak dalam
kandungan)
3. Keluhan
Menanyakan dan melihat keluhan apa saja yang diungkapkan pasien
atau orangtua pasien, baik secara verbal maupun nonverbal. Keluhan utama
tidak selalu merupakan keluhan yang pertama disampaikan. Tetapi

keluhan atau gejala yang menyebabkan pasien dibawa berobat Riwayat


kehamilan ibu Ditanyakan keadaan kesehatan ibu selama hamil, ada atau
tidaknya penyakit, serta apa upaya yang dilakukan untuk mengatasi
penyakit tersebut. Melakukan pemeriksaan kehamilan atau tidak, bila ya
berapa kali seminggu dan kepada siapa (dukun, bidan atau dokter), obat-
obat yang diminum pada trisemester pertama. Infeksi beberapa jenis virus,
misalnya virus Toksoplasma, Rubela, Cytomegalovirus dan HerpeS
simpleks,maupun HIV (TORCH).

4. Riwayat penyakit sekarang

Mengumpulkan data kronologi/ awal terjadinya penyakit. Pada


penderita TF, biasanya diawali dengan gejala sianosis, dispneu,
pertumbuhan dan perkembangan abnormal, bising sistolik, dan murmur.

5. Riwayat penyakit dahulu

Penyakit TF diderita oleh anak yang lahir sebelumnya menderita


penyakit jantung bawaan, adanya penyakit tertentu dalam keluarga
seperti ; DM, hipertensi,kelainan bawaan jantung, ibu menderita
penyakit infeksi

rubella, atau pajanan terhadap sinar X.

6. Riwayat tumbuh kembang

Biasanya anak cendrung mengalami keterlambatan pertumbuhan


karena fatiq selama makan dan peningkatan kebutuhan kalori sebagai
akibat dari kondisi penyakit. Tinggi badan dan keadaan gizi biasanya
berada di bawah rata-rataserta otot-otot dari jaringan subkutan terlihat
kendur dan lunak dan masa pubertas juga terlambat.

7. Data psikososial
Mekanisme koping anak/ keluarga, Pengalaman hospitalisasi
sebelumnya
8. Pemenuhan kebutuhan dasar (di rumah dan di Rumah Sakit)
a. Nutrisi, cairan dan elektrolit
Pada bayi perlu diketahui susu apa yang diberikan : air susu ibu
(ASI) atau pengganti air susu ibu (PASI), ataukah keduanya. Bila
ASI apakah diberikan secara eksklusif atau tidak. (Abdul, 2000;
13).
b. Hygene perseorangan :Bagaimana cara perawatan diri pada
anak khususnya pada gigi geligi.

c. Eliminasi : Biasanya pada penderita tetralogi fallot terjadi penurunan


haluaran urine.

d. Aktivitas dan istirahat tidur : Anak akan sering Squatting (jongkok)


setelah anak dapat berjalan, setelah berjalan beberapa lama anak akan
berjongkok dalam beberapa waktu sebelum ia berjalan kembali.

9. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum : Anak terlihat biru, terutama pada bagian wajah dan
ektremitas atas/bawah, terlihat clubbing finger

b. TTV :
1) Nadi : laju nadi pada TF biasanya bradikardia, iramanya disritmia
pada keadaan ini denyut nadi teraba lebih cepat pada waktu
inspirasi dan lebih lambat pada waktu ekspirasi
2) Tekanan darah : tekanan darah biasanya menurun karena akibat
dari sirkulasi udara yang mengalami hambatan oleh hipertrofi
ventrikel kanan.
3) Pernapasan : pada penderita TF anak akan mengalami dispneu bila
melakukan aktivitas fisik, yang dapat disertai juga sianosis dan
takipneu. perlu diperhatikan apakah distres terjadi terutama pada
inspirasi atau ekspirasi.
4) Suhu : pada TF normal (36oC-37,5oC)
5) Berat badan : pada bayi TF usia 9 bulan berat badan tidak
mengalami pertumbuhan.

2. . Diagnosa Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi
b. Penurunan cardiac output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas
jantung, perubahan tekanan jantung.
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen dengan kebutuhan.
d. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan b/d
misinterpretasi informasi
3. Intervensi Keperawatan
a. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama, gangguan


pertukaran gas pasien teratasi.

Intervensi:
1) Kaji frekuensi, kecepatan dan kedalaman pernafasan.
2) Catat kesimetrisan pergerakan dada, penggunaan otot tambahan, dan
retraksi otot intercostal.
3) Observasi status mental atau tingkat kesadaran pasien.
d. Lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital.
4) Pantau saturasi O2
5) Observasi adanya sianosis terutama di mukosa mulut.
6) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.
7) Kolaborasi pemberian oksigen sesuai indikasi.
8) Kolaborasi pemberian bronkodilator dengan nebulaizer.

b. Penurunan Cardiac Output berhubungan dengan penurunan kontraktilitas


jantung, perubahan tekanan jantung.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan terjadi peningkatan curah


jantung sehingga keadaan normal.

Intervensi:

1) Monitor tanda-tanda vital


2) Informasikan dan anjurkan tentang pentingnya istirahat yang adekuat.
3) Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal / masker sesuai indikasi
4) Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
5) Kaji perubahan pada sensori, contoh letargi, bingung disorientasi cemas f.
Secara kolaborasi, berikan tindakan farmakologis berupa digitalis,
digoxin.

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


oksigen dengan kebutuhan.

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pasien bertoleransi


terhadap aktivitas.

Intervensi:
1) Observasi keterbatasan klien dalam melakukan aktivitas.
b. Kaji faktor yang menyebabkan kelelahan.
2) Monitor respon kardiovaskuler terhadap aktivitas (takikardi, sesak nafas,
diaporesis, pucat).
3) Monitor pola tidur dan lamanya tidur.
4) Bantu klien untuk mengidetifikasi aktivitas yang mampu dilakukan.
5) Memotivasi klien untuk meningkatkan aktivitas sesuai dengan
kemampuan.
d. Kurang pengetahuan mengenai penatalaksanaan terapi dan perawatan b/d
misinterpretasi informasi.

Tujuan: Kebutuhan pengetahuan terpenuhi secara adekuat.


Intervensi:

1) Identifikasi dan ketahui persepsi pasien terhadap ancaman atau situasi.


2) Dorong mengekspresikan dan jangan menolak perasaan marah, takut dll. c.
Mempertahankan kepercayaan pasien ( tanpa adanya keyakinan yang
salah)
3) Terima tapi jangan beri penguatan terhadap penolakan Orientasikan klien
atau keluarga terhadap prosedur rutin dan aktifitas, tingkatkan partisipasi
bila mungkin.
4) Jawab pertanyaan dengan nyata dan jujur, berikan informasi yang
konsisten, ulangi bila perlu.
5) orong kemandirian, perawatan diri, libatkan keluarga secara aktif
dalam perawatan
DAFTAR PUSTAKA

Agarwala, B. (2017). Tetralogy Fallot. J Cardiology, 1(2)

American Heart Association, (2019). Tetralogy of Fallot

Ikatan Dokter Anak Indonesia. Tetralogy of Fallot. Dalam : Pedoman Pelayanan Medis.
Jakarta, 2010.

Perdana, F., & Adriane, P. (2017). Penanganan Perioperatif Pasien Dengan TOF dan
Kardiomiopati Dilatatif disertai Multiple Thrombus di Semua Ruang Jantung. JAI
(Jurnal Anestesiologi Indonesia), 9(1), 10-18

Ruslie R, Darmadi. Diagnosis dan Tata Laksana Tetralogy of Fallot. Dalam : CKC-202
vol.40 no.3, 2013

Yunaidi Y, Dony YH, Bambang BS. Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler FK
UL Buku Ajar Kardiovaskuler. Jilid 2. Jakarta : Sagung Seto. 2017. P.537-40
LAPORAN KASUS
Penanganan Perioperatif Pasien Dengan TOF dan Kardiomiopati Dilatatif Disertai
Multiple Thrombus di Semua Ruang Jantung

Perioperative Management Tetrallogy of Fallot in an pediatric with


Cardiomyopathy and multiple thrombus Formation

Fajar Perdhana *, Prieta Adriane *

*Rumah Sakit Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta

ABSTRACT
Tetralogy of Fallot defined as a condition of congenital heart defect which is
classically understood to involve comprises right ventricular (RV) outflow tract
obstruction (RVOTO) (infundibular stenosis), Ventricular septal defect (VSD), aorta
dextroposition, and RV Hypertrophy. This condition was worsen by cardiomyopathy
leading to heart failure and multiple thrombus formation in all chamber of the heart.
Perioperative challenges include “tet spell” at any time during the pre CPB period,
which is can cause by anesthetic induction and manipulation of the heart and great
vessels by the sugeon, and decrease of the heart fuction caused by cardiomyopathy
can lead to heart failure. Postoperatively, patients may encounter low cardiac output
syndrome. A 2 years and 10 months child, diagnose as TOF with dilatative
cardiomyopathy and multiple thrombus formation, undergoing total correction
procedure. She hospitalized with serious complications such as heart failure and
severe decrease of left and right ventricle fuction. Patient were monitored with
standard electrocardiogram, pulse oximetry and non invasive blood pressure. The
patient was performed anesthesia with inhalation induction with sevoflurane, then
performed invasive blood pressure in left radial artery and central venous catheter
(CVC) in right jugular vein The operation was performed to evacuated all thrombus,
VSD closure with goretex patch and infundibulum resection and then performed
pericardial patch to dilate Right Ventricel Outflow Tract (RVOT). Patient had low
cardiac ouput syndrome in post operative periods, were treated for 21 days in ICU,
and tracheostomy was performed on day 9 of care. The patient was successfully
weaned from the ventilator at day 13. A total correction procedure for TOF patient
with dilatative cardiomyopathy is a challenge for anesthesiologists. Good pre-
operative preparation, durante operation management and careful monitoring on
postoperative care produce good results.

Keywords: Tetrallofy of Fallot, Dilatative Cardiomyopathy, thrombus, low cardiac


output syndrome
ABSTRAK
Tetrallogy of Fallot (TOF) didefinisikan sebagai kondisi penyakit jantung kongenital
yang ditandai dengan adanya obstruksi right ventricle outflow tract (RVOTO) baik

Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


Volume IX, NomorDIKTI
Terakreditasi 1, Tahun 2017
dengan masa berlaku 3 Juli 2014 - 2 Juli 2019 10

Dasar SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 212/P/2014


Jurnal Anestesiologi Indonesia

stenosis pada supravalvar, valvar dan subvalvar, adanya ventricle septal defect (VSD),
dextroposisi dari aorta dan hipertrofi ventrikel kanan. Kondisi ini diperberat dengan
kardiomiopati dilatatif yang menyebabkan pasien jatuh pada keadaan gagal jantung
dan pembentukan trombus multipel di semua ruang jantung. Tantangan perioperatif
adalah terjadinya tet spell pada periode pre CardioPulmonary By pass (CPB), dan
depresi kontraktilitas dapat menyebabkan gagal jantung. Pasca operasi beresiko tinggi
untuk terjadi low cardiac output syndrome. Anak usia 2 tahun 10 bulan dengan
diagnosis TOF dan kardiomiopati dilatatif disertai pembentukan trombus multipel
yang menjalani prosedur total koreksi, dengan penyulit penyerta gagal jantung yang
membaik dengan terapi medikamentosa, fungsi ventrikel kiri dan ventrikel kanan yang
turun. Pasien dipasang monitoring standar EKG, SpO2, dan NIBP, kemudian
dilakukan induksi inhalasi dengan sevofluran, selanjutnya dilakukan pemasangan
invasif blood pressure pada arteri radialis kiri dan pemasangan kateter vena sentral
(CVC) pada vena jugularis kanan. Dilakukan tindakan evakuasi trombus, penutupan
VSD dengan goretex patch dan reseksi infundibulum kemudian dilakukan pericardial
patch untuk melebarkan Right Ventricel Outflow Tract (RVOT). Pasca operasi pasien
mengalami low cardiac ouput syndrome,dirawat selama 21 hari di ICU, dan dilakukan
trakeostomi pada perawatan hari ke-9. Pasien berhasil disapih dari ventilator pada
perawatan hari ke-13 dan pindah dari ICU ke ruang perawatan pada hari ke-21.
Prosedur total koreksi pada pasien TOF dengan disertai kardiomiopati dilatatif
merupakan tantangan tersendiri bagi dokter ahli anestesi. Persiapan pre-operasi yang
baik, manajemen durante operasi dan monitoring yang seksama serta perawatan pasca
operasi yang berkesinambungan menghasilkan hasil yang baik.

Kata kunci : TOF, total koreksi, kardiomiopati dilatatif, low cardiac output syndrome,
trombus

Septal Defect (VSD), Overriding aorta,


right ventricular hypertrophy, stenosis
PENDAHULUAN
Tetrallogy of Fallot (TOF) dijumpai pada
10 % kasus penyakit jantung kon-
genital, TOF adalah bentuk paling
umum dari penyakit jantung sianotik.
Dokter Prancis Etienne Fallot, 1888,
pertama kali mempublikasikan
deskripsi kelainan klinik dan anatomik
secara komprehensif, berdasarkan
sejumlah penelitian postmortem. TOF
ditandai dengan adanya Ventricular

11 Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


Jurnal Anestesiologi Indonesia

pulmonal (infundibular atau subvalvu-


lar, valvular, supravalvular atau kom-
binasi).1,2,3

Lillehei pertama kali berhasil


melakukan prosedur total koreksi pada
TOFtahun 1954. Prosedurtotal koreksi
ditujukan untuk menghilangkan ob-
struksi dengan melakukan reseksi
dinding yang hipertrofi, dan melebar-
kan RVOT dengan pericardial patch.4

11 Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


Jurnal Anestesiologi Indonesia

KASUS Konfirmasi dengan USG thorak


didapatkan efusi pleura kiri. Dilakukan
Anak perempuan usia 2 tahun 10 bulan echocardiografi ulang, didapatkan hasil
dengan berat badan 12 Kg, datang multiple thrombus LV 1,89 X 2,05 cm,
dengan keluhan sesak, batuk dan pilek thrombus di RA 2,75 X 3,4 cm, MPA
lama, bengkak seluruh tubuh, demam 1 0,89 X 1,01 cm, di RVOT 0,7 X 0,7
minggu, disertai sianosis. Lahir cukup cm.
bulan, sianosis (+). Hasil echocardio-
Hasil pemeriksaan MSCT Cardiac: kar-
grafi menunjukkan RA, RV dilatasi; TR
diomegali terutama pembesaran dari
ringan, PS sedang; tampak vegetasi di
RA dan LV disertai thrombus pada LV
katup pulmonal UK 0.6x0.04; dan sep-
ukuran terbesar 3.8 x 2 x 1.2 cm, pada
tum ventrikel VSD defek IVS 1.17 L to
PA ukuran 4.3 x 2.6 x 2.9 cm, dan mul-
R shunt. Kesimpulan hasil echocardio-
tiple pada RV ukuran terbesar 0.3 x 0.4
grafi TOF + vegetasi katup pulmonal +
x 0.5 cm; Brachiocephalic vein tampak
PS sedang+ TR ringan. Disarankan un-
prominen dengan thrombus yang luas
tuk dilakukan operasi BT shunt.
pada dindingnya; VSD sepanjang 1.74
cm lokasi dekat dengan aortic knob;
efusi perikardium minimal dan efusi

Gambar 1. Tetrallogy of Fallot


Gambar 2. Prosedur Total Koreksi

pleura kiri; dan hepatomegali.


Pemeriksaan fisik didapatkan jalan
nafas bebas, frekuensi nafas 28 kali/ Pasien kemudian didiagnosis dengan
menit, tidak ada ronkhi dan wheezing, TOF + Endokarditis + Dilated Cardio-
SpO2 65%, perfusi hangat sianotik myophaty + Multiple Trombus + Heart
dengan tekanan darah 90/50 mmHg, failure. Hasil laboratorium dalam batas
Nadi 128 kali/menit. Pasien sadar tam- normal, dengan analisa gas darah sedi-
pak lemah. didapatkan abdomen sedikit kit asidosis metabolik dengan pH 7,33.
distensi dan ada asites. Ekstremitas
dijumpai pitting edema, clubbing fin- Dilakukan induksi inhalasi sevofluran,
ger, dan sianotik. Pemeriksaan foto ron- dengan ko induksi Midazolam 2 mg IV,
sen thorak didapatkan jantung tidak Fentanyl 30 Mcg IV, Vecuronium 2 mg
dapat dievaluasi, efusi pleura kiri masif. IV, dilakukan intubasi sleep apneu ETT

Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017 12


Jurnal Anestesiologi Indonesia

4,5, cuff (+), batas bibir 12 cm. Mainte- pada anak-anak banyak disebabkan oleh
nance dengan Sevoflurane dan oksi- penyakit jantung kongenital dan
gen. Selama operasi diberikan suple-
men Fentanyl dan vecuronium.Alat
monitoring invasif dipasang arteri line
pada arteri radialis sinistra, dan kateter
vena sentral pada V. Jugularis Interna
dextra. Dilakukan transesofageal
ekokardiografi sebelum dan setelah
koreksi. Tindakan operasi yang dil-
akukan adalah evakuasi thrombus, pe-
nutupan VSD dengan goretex patch dan
reseksi infundibulum kemudian dil-
akukan pericardial patch untuk
melebarkan RVOT. Pasca operasi
pasien disedasi dengan kontrol penuh
ventilasi. Hemodinamik ditopang
dengan adrenalin dan milrinon. Dil-
akukan trakeostomi pada hari rawat ke-
9. Pasien dapat diekstubasi pada hari
rawat ke-13 dan pindah ke ruang
perawatan biasa pada hari rawat ke-19.

Gambar 3. Foto ronsen thorak sebelum operasi

Manajemen Gagal Jantung


pada Anak
Pada kasus ini pasien datang dalam
kondisi gagal jantung, gagal jantung

13 Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


Jurnal Anestesiologi Indonesia

kardiomiopati. Hal ini sangat berbeda


dengan gagal jantung yang terjadi
pada pasien dewasa yang sering
disebabkan oleh penyakit jantung
koroner dan hipertensi. Manajemen
gagal jantung pada anak-anak
sebagian besar ber- dasarkan
pengalaman klinis dan ap- likasi dari
data pada terapi gagal jan- tung pada
dewasa. Pre operasi pasien ini
mendapat terapi diuretik, ace inhibi-
tor, beta bloker dan dobutamin. Pasien
ini mengalami gagal jantung yang
disebabkan oleh kardiomiopati
dilatatif dan kondisinya diperberat
dengan adan- ya kelainan jantung
kongenital TOF. Manajemen gagal
jantung pada pasien ini dengan
restriksi cairan dan medika mentosa.

Gambar 4. Echocardiografi sebelum operasi

Terapi medika mentosa yang


diberikan antara lain diuretik,
memiliki keun- tungan pada gagal
jantung melalui pen- ingkatan
kehilangan cairan, pening- katan
kehilangan sodium. Digunakan luas
pada gagal jantung dewasa dan anak-
anak, mengurangi gejala dengan cepat
akibat volume overload. Pilihan
diuretik adalah loop diuretik karena
efeknya yang kuat, namun memiliki

13 Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


potesi efek yang tidak diinginkan ter- Beta blockers melawan aktivasi sistem
hadap kadar magnesium dan calcium saraf simpatis yang sering muncul pada
intra dan extra seluler dan defisiensi gagal jantung. Keuntungan beta block-
thiamin.Cochrane systematic review er antara lain menurunkan denyut jan-
menyimpulkan diuretik menurunkan tung, meningkatkan keseimbangan
resiko kematian dan memburuknya ga- oksigen supply dan demand, menurunk-
gal jantung.5 an myocardial apotosis dan fibrosis,
efek anti aritmia, dan bersinergi dengan
Terapi yang lain menggunakan ACE ACE inhibitor. Terapi yang lain adalah
inhibitor yang berfungsi menurunkan dobutamin, yang digunakan pada gagal
efek yang dihasilkan dari aktivasi sis- jantung yang berat, dimana terjadi
tem RAA yang sering terjadi pada penurunan cardiac output dan
keadaan gagal jantung. Keuntungan penurunan tekanan darah. Dobutamin
efek ACE inhibitor pada gagal jantung menstimulasi kontraktilitas jantung.
antara lain menurunkan vasokonstriksi,
potensiasi aktivitas system saraf simpa-Koagulopati pada anak dengan
tis, dan menurunkan pelepasan aldoste-
rone (sehingga menurunkan retensi air
pen- yakit jantung
dan sodium, fibrosis myocardial, ham- kongenital (PJK)
batan pelepasan NO, dan kerusakan
bradikinin vasodilator). Ketiga proses Anak dengan penyakit jantung sering
tersebut dimediasi oleh Angiotensin II. memiliki gangguan dalam keseim-
bangan hemostasis, yang dapat
mengakibatkan perdarahan, trombosis,
atau keduanya.Penyakit jantung kon-
genital sianotik dilaporkan memiliki
kecenderungan lebih mengalami system
hemostatic abnormal dibandingkan
penyakit jantung kongenital asianotik
dan penyakit jantung didapat (penyakit
Kawasaki, kardiomiopati).

Studi pada anak-anak dengan PJK


menunjukkan adanya abnormalitas pro-
tein-protein yang tertera dibawah dan
abnormalitas fungsi hemostatik, yang
dapat menimbulkan resiko perdarahan
dan atau thrombosis.6 Protein koagulasi
faktor II, V, VII, VIII, IX, X, dan fi-
Gambar 5.Gambaran MSCT jantung sebelum brinogen menurun; faktor VIII mening-
operasi kat. Inhibitor koagulasi protein C, S dan
anti thrombin menurun. Protein fibrino-
litik: plasminogen menurun. Protrom-

Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017 14


botik polimorfisme genetik
mengidenti- fikasi adanya : Faktor V
Leiden, pro-

Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017 14


trombin gen 20120, plasminogen G4 / makin rendah derajat lesi obstruksi
G4, metilen tetrahidrofolat reduktase
677.

Kelainan fungsi hemostatik meliputi :


peningkatan koagulasi, peningkatan
atau penurunan fibrinolisis,peningkatan
atau penurunan jumlah dan fungsi
trombosit , dan faktor lain berupa keru-
sakan endotel vaskular yang dipicu
pemsangan kateter vena sentral, CPB
dan ECMO.

Tatalaksana Anestesi pada


Pasien TOF
Pada kondisi yang cukup optimal,
pasien ini diputuskan untuk dilakukan
operasi definitif, yaitu total koreksi.
Pertimbangan dilakukan total koreksi
karena pasien ini akan dilakukan open
chamber untuk evakuasi thrombus, dari
hasil kateterisasi tidak didapatkan ab-
normalitas dari arteri koroner, dari hasil
evaluasi di meja operasi didapatkan PA
konfluens ukuran Anulus PA sesuai
dengan full size dan tidak ada stenosis
di RPA maupun LPA.

Induksi anesthesia pada pasien ini dil-


akukan dengan memperhatikan hal-hal
sebagai berikut : 1,2,3

1. Menjaga frekuensi jantung, kon-


traktilitas, dan preload untuk
menjaga cardiac output. Euvolemia
sangat penting untuk menjaga
obstruksi RVOT yang dinamis yang
dapat disebabkan hipovolemia
sehingga frekuensi jantung dan
kontraktilitas meningkat.
2. Menghindari rasio PVR:SVR. Se-

15 Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


RVOTsemakin penting menjaga menyebabkan atau meningkatkan R-L
rasio PVR:SVR. Peningkatan PVR shunt pada keadaan obstruksi RVOT
relatif terhadap SVR, dan yang berat.
penurunan SVR relatif terhadap
PVR, dapat mening- katkan shunt
R_L, menurunkan alu- ran darah
pulmonal, dan menyebab- kan atau
memperberat derajat siano- sis.
3. Manajemen ventilator untuk
menurukan PVR.
4. Menjaga atau meningkatkan SVR.
Sangat penting pada keadaan ob-
struksi RVOT yang berat.
5. Menangani secara agresif episode
hipersianosis
6. Menjaga kontraktilitas. Penurunan
kontraktilitas pada keadaan
obstruksi RVOT yang berat dapat
menyebab- kan RV afterload
mismatch dan menurunkan aliran
pulmonal secara dramatis. Kecuali
pada pasien dengan obstruksi RVOT
pada infundibulum, penurunan
kontraktilitas dapat menurunkan
derajat obstruksi.

Induksi intravena banyak dilakukan


na- mun kebanyakan bayi dan anak-
anak dapat mentoleransi induksi
inhalasi baik dengan sevofluran atau
halothane. Halothane mungkin lebih
baik jika dibandingkan dengan
sevofluran dalam menurunkan
komponen obstruksi RVOT yang
dinamis, karena halothane memiliki
efek inotropik negatif yang potent.
Hipotensi sistemik harus dihindari
atau segera diatasi, karena dapat

15 Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017


Jurnal Anestesiologi Indonesia

Manajemen Hipersianotik atau “Tet untuk meningkatkan impedansi ejeksi


Spell” LV.

Terjadinya episode hipoksia pada  Pemberian morfin sulfat (0.05-


pasien TOF dapat mengancam jiwa. 0.10mg/kg), dengan melakukan
Spell lebih sering terjadi pada pasien sedasi pasien dapat menurunkan efek
sianosis dengan frekuensi puncak spell hiperp- nea.
usia antara 2 - 3 bulan. Timbulnya spell  Pemberian cairan kristaloid 15- 30mL
biasanya memerlukan intervensi bedah / kg. Meningkatkan preload akan
segera. Etiologi spell tidak sepenuhnya meningkatkan ukuran jantung, yang
dipahami, tetapi spasme infundibular
dapat meningkatkan diameter RVOT.
mungkin berperan.4
 Pemberian sodium bicarbonate untuk
Hiperpnea paroksismal adalah gejala mengatasi asidosis metabolik berat
awal.Ada peningkatan laju dan kedala- yang terjadi selama spell. Koreksi asi-
man respirasi, yang mengarah ke pen- dosis metabolik akan menormalkan
ingkatan sianosis dan potensi sinkop,
SVR dan mengurangi hiperpnea.
kejang atau kematian. Selama spell,
Pemberian bikarbonat (1-2 mEq / kg)
bayi akan tampak pucat dan lemas aki-
tanpa adanya analisis gas darah
bat aliran darah jantung yang berku-
diper- bolehkan selama spell.
rang. Hiperpnea meningkatkan kon-
sumsi oksigen melalui peningkatan ker-  Phenylephrine dalam dosis yang
ja pernapasan. Hipoksia menginduksi relatif besar (5-10μg / kg IV bolus
penurunan systemic vascular resistance atau 2-5μg / kg / min) meningkatkan
(SVR), yang selanjutnya meningkatkan SVR dan mengurangi R-L shunt. Ob-
R-L shunt. Hiperpnea juga menurunkan struksi RVOT berat, pemberian phe-
tekanan intratoracic dan mengarah ke nylephrine menginduksi meningkat-
peningkatan aliran balik vena sistemik. kan PVR memberikan efek yang sedi-
Obstruksi infundibular akan meningkat-
kit atau tidak berpengaruh dalam
kan preload RV dan peningkatan R-L
meningkatkan ketahanan RV outflow.
shunt.
 Agonis beta-adrenergic merupakan
Terapi pada spell meliputi:3,4 kontraindikasi absolut. Peningkatan
 Pemberian oksigen 100%. kontraktilitas akan lebih mem-
persempit infundibulum stenosis.
 Kompresi arteri femoralis atau
menempatkan pasien dalam knee-  Pemberian propranolol (0,1 mg / kg)
chest position meningkatkan SVR dan atau esmolol (0.5mg / kg diikuti
mengurangi R-L shunt. Kompresi dengan drip 50-300 mg / kg / min)
manual dari aorta abdominal sangat dapat mengurangi spasme infundibu-
efektif untuk pasien dalam pembiu- lar dengan menekan kontraktilitas.
san. Setelah dada terbuka, ahli bedah Selain itu, memperlambat denyut jan-
dapat mengkompresi aorta asending tung memungkinkan untuk mening-

Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017 16


Jurnal Anestesiologi Indonesia

katkan pengisian
diastolik

Volume IX, Nomor 1, Tahun 2017 16


(peningkatan preload), peningkatan b. Proteksi myocardial pada ventrikel
ukuran jantung, dan peningkatan di- kanan saat cross clamping aorta sulit
ameter RVOT. karena adanya hipertrofi.

 Resusitasi Extra corporeal membrane


oxygenation (ECMO) pada episode
refraktori jika intervensi operasi sege-
ra tidak memungkinkan.

Manajemen pasca CPB1,2,3,4


1. Menjaga denyut jantung tetap sinus
dengan frekuensi jantung yang
sesuai dengan usia. Cardiac output
lebih tergantung pang frekuensi jan-
tung pasca CPB. Kadang diperlukan
pemasangan atrial pacing jika ter-
dapat junctional ectopic tachycardia
(JET)
2. Menurunkan PVR melalui intervensi
ventilator.
3. Support inotropik untuk RV kadang
diperlukan. Penggunaan dobutamin
(5-10 mcg/kgbb/min) atau
dopamine (5-10 mcg/kgbb/min)
dapat menjadi pilihan karena
memiliki efek ino- tropic yang
potenttanpa meningkat- kan PVR.
Milrinone (0,5-1 mch/ kgbb/min)
dapat digunakan karena efek
inotropic dan lusitropiknya ser- ta
efeknya pada PVR.
Setelah total koreksi, ada beberapa
faktor yang dapat mempengaruhi fungsi
sistolik dan diastolic dari ventrikel
kanan, diantaranya :3,4
a. Prosedur ventrikulotomi kanan dan
pemasangan patch pada RVOT dapat
menyebabkan dyskinesia pada dind-
ing bebas ventrikel kanan.
c. Pelebaran RVOT dengan transanular diantaranya ischemia reperfusion injury
dengan gangguan homeostasis kalsium
patch dapat menyebabkan regurgi-
dan ke-
tasi pulmonal, sehingga menambah
beban volume pada RV
d. Adanya residual obstruksi pada
RVOT menambah beban pada RV
e. VSD residual menambah beban vol-
ume pada RV

Low Cardiac Ouput Syndrome


(LCOS)

Operasi jantung konvensional yang


melibatkan Cardiac arrest dan CPB
berhubungan dengan disfungsi
miokard pasca operasi
danLCOS.Faktor intra- operatif diduga
terkait dengan kerusa- kan miokard :1)
jenis solusi yang digunakan untuk
priming CPB, 2) arit- mia persisten,
terutama fibrilasi ven- trikel (VF) 3)
proteksi miokard yang tidak adekuat
4) distensi ventrikel, 5) emboli arteri
koroner, 6) penggunaan katekolamin,
7) lama aortic cross clamping, 8)
prosedur bedah kompleks (misalnya,
ventrikulostomi), 9) reperfu- si diikuti
iskemia, 10) waktu CPB, dan
11) respon inflamasi sistemik. Selain
itu, beberapa factor spesifik seperti
mi- okardium neonatus, hipertrofi
ventrikel, sianosis berat dan gagal
jantung yang sudah ada sebelumnya,
mempengaruhi kerentanan
miokardium dan kecender- ungan
untuk LCOS.7

Pada tingkat seluler dan molekuler,


be- berapa mekanisme terkait dengan
ter- jadinya disfungsi miokard dan
LCOS pada pasien anak yang
menjalani operasi jantung. Salah satu
rusakan mitokondrial, secara konsisten dilaporkan memegang peranan besar terjadinya
disfungsi jantung pasca operasi.7

Pada kasus ini pasca CPB kontraktilitas LV dan RV tidak terlalu baik dengan Tapse 1,0
dan LVEF 35%, dengan per- timbangan pasien ini dengan gagal jan- tung maka sudah
dalam keadaan beta reseptor down regulation dan pasien sudah diprediksi resiko timggi
jatuh pada keadaan low cardiac ouput syn- drome,oleh karena itu pemilihan ino- tropic
adalah inotropic kuat dengan adrenalin dan inotropic non beta reseptor yaitu milrinon.
Pada guideline penggunaan milrinon, indikasi milrinon diantaranya gagal jantung
kongestif, fase low cardiac output pasca bedah jantung, pasien yang refrakter dengan
inotropic beta reseptor, sebagai profil- aksis pasien yang resiko tinggi terjadi low
cardiac output syndrome pasca be- dah jantung seperti Arterial switch dan TOF.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jonas, Richard A. 2004. Comprehensive Surgical Managementof Congenital Heart Disease.


Hodder Arnold. p 279- 283
2. Andropaulus, Dean B. 2010. Anesthesia for Congenital Heart Disease. Willey- Blackwell. p
419-430
3. Dinardo, James A. 2008. Anesthesia for Cardiac Surgery. Blackwell Publishing. p 167
4. Hensley, Frederick A. Cardiac Anesthe- sia. 5th Ed. Lippincot William & Wil- kins. P 1739
5. Beggs, Sean. 2008. Cardiac Failure in Children. Pediatric Department, Royal hobart
Hospital and University of tas- mania
6. Giglia, Therese M, et al. 2013. Preven- tion and Treatment of Thrombosis in Pediatric and
Congenital Heart disease. Circulation.2013;128:2611-2703
7. Bautista, Victor.2016. Cellular and Mo- lecular Mechanisms of Low Cardiac output
Syndrome after Pediatric Cardiac Surgery. Current Vascular Pharmacolo- gy, 2016, Vol. 14,
No. 1

Anda mungkin juga menyukai