PPKH - Model Disabilitas

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

MODEL DISABILITAS

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Pengantar Pendidikan Khusus yang diampu oleh
Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd.

Disusun oleh :

Kiki Rezkiani (2112905)

Rahadian Sakti Pradana (2208225)

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan Rahmat dan HidayahNya
sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah dengan topik Model Disabilitas tanpa suatu
halangan yang berarti. Tak lupa Shalawat serta Salam tercurahkan kepada junjungan Nabi besar
Muhammad saw yang telah membawa petunjuk hidup umat manusia.

Dalam pembuatan makalah, kami mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar penyusunan makalah. Maka dari itu dengan segala kerendahan hati kami
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Imas Diana Aprilia, M.Pd. selaku
dosen pengampu mata kuliah Pengantar Pendidikan Khusus, teman-teman mahasiswa serta
pihak-pihak yang telah memberikan bantuan sehingga makalah ini dapat terselesaikan.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan kami
khususnya. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah masih jauh dari sempurna untuk
itu kami menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan ke arah
kesempurnaan.

Bandung, 20 September 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 4

BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................................... 6

BAB III PEMBAHASAN ............................................................................................ 18

BAB IV KESIMPULAN .............................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 25

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Dalam bermasyarakat, disabilitas sudah tidak asing didengar dan kerap dijumpai
dimanapun. Disabilitas adalah sebuah istilah baru untuk menjelaskan mengenai keadaan
seseorang yang memiliki ketidakmampuan berupa keadaan fisik, mental, kognitif, sensorik,
emosional, perkembangan ataupun kombinasi dari beberapa keadaan tersebut. Istilah disabilitas
saat ini lebih sering digunakan untuk menggantikan istilah penyandang cacat. Mengajar kaum
disabilitas adalah istilah umum yang mengacu pada sekelompok gangguan heterogen yang
dimanifestasikan oleh kesulitan yang signifikan dalam perolehan dan penggunaan kemampuan
mendengarkan, berbicara, membaca, menulis, penalaran, atau matematika, atau keterampilan
sosial.

Individu dengan disabilitas bersifat intrinsik pada individu dan diduga disebabkan oleh
disfungsi sistem saraf pusat. Meskipun mengajar kaum disabilitas dapat terjadi bersamaan
dengan kondisi cacat lainnya (misalnya, gangguan sensorik, keterbelakangan mental, gangguan
sosial dan emosional), dengan pengaruh sosial lingkungan (misalnya, perbedaan budaya,
instruksi yang tidak memadai atau tidak tepat, faktor psikogenik), dan terutama dengan defisit
perhatian. gangguan, yang semuanya dapat menyebabkan masalah belajar, mengajar kaum
disabilitas bukanlah akibat langsung dari kondisi atau pengaruh tersebut. (ICLD, 1987, hal. 222)

Sejalan dengan hal tersebut, istilah yang digunakan untuk menyebut orang dengan
disabilitas pun mengalami perubahan dan pergeseran dari masa ke masa seiring perkembangan
kesadaran dan pemahaman masyarakat terhadap isu persamaan dalam hak asasi manusia (HAM)
bagi orang dengan disabilitas. Istilah cacat menjadi dirasa kurang pantas ketika menyebutkan
orang dengan disabilitas pada saat digunakan istilah orang dengan ketunaan. Orang dengan
ketunaan pun kemudian dirasakan menjadi kurang sopan ketika sebagian orang lainnya
menggunakan istilah orang dengan disabilitas.

Dalam dunia pendidikan, individu dengan disabilitas seringkali disebut dengan


penyandang disabilitas karena anak tersebut memiliki karakteristik khusus. Keadaan khusus

4
membuat mereka berbeda dengan anak pada umumnya. Pada mulanya, pengertian penyandang
disabilitas adalah cacat (difabel), baik cacat fisik maupun cacat mental. Penyandang disabilitas
sering dikucilkan atau termarginalkan dari lingkungan sekitar, dan juga menerima perlakuan
yang diskriminatif dari orang lain. Bahkan untuk menerima pendidikan saja mereka sulit
mendapatkannya.

Dengan semakin meningkatnya kepedulian dan kepekaan masyarakat yang yang


bertumpu pada penguatan sendi-sendi dasar hak asasi manusia (HAM), dimana penyandang
disabilitas pada hakikatnya adalah makhluk sosial yang memiliki potensi, sehingga berpeluang
untuk berkontribusi dan berperan secara optimal dalam segala aspek kehidupan berbangsa
bernegara dan bermasyarakat menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma dari penyandang
disabilitas yang tidak mampu melakukan berbagai hal karena keterbatasan yang dimiliki menjadi
bagaimana mengatasi hambatan bagi individu tersebut agar tetap dapat hidup dengan layak dan
diterima di masyarakat tanpa memandang keterbatasan yang dimiliki anak tersebut.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis merumuskan
permasalah-permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut: “Bagaimana
perubahan paradigma model disabilitas yang terjadi pada masyarakat Indonesia?”

C. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui definisi model disabilitas yang terjadi di Indonesia

2. Mengetahui perubahan paradigma yang terjadi di masyarakat Indonesia

5
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Penyandang Disabilitas

Dalam perkembangan terhadap keberadaan anak berkebutuhan khusus atau penyandang


disabilitas, terdapat dua konsepsi pandangan yaitu: pandangan klinis/medis dan pandangan
sosial. Dalam pandangan klinis atau medis, disabilitas diartikan bahwa kekurangan disabilitas
atau kecacatan sebagai sebuah permasalahan individu. Terminologi ini menempatkan kecacatan
atau kelainan fisik/mental sebagai penyebab hambatan untuk beraktifitas atau hidup sebagaimana
layaknya. Penyandang disabilitas dinilai tidak mampu untuk hidup selayaknya individu pada
umumnya karena label ketunaan yang diberikan.

Menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak


Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus dijelaskan bahwa penyandang disabilitas adalah individu yang mengalami
keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional yang
berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya. Menurut Mangunsong (2009) anak berkebutuhan khusus
didefinisikan sebagai anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami
kelainan/penyimpangan baik itu fisik, mental-intelektual, sosial, bahkan emosional sehingga
memerlukan pelayanan khusus. Masih menurut Mangunsong (2010) dijelaskan bahwa anak yang
tergolong luar biasa atau yang berkebutuhan khusus merupakan anak yang menyimpang dari
rata-rata anak normal dalam hal ciri-ciri metal, kemampuan-kemampuan sensorik, fisik, dan
neuromuskular, perilaku sosial dan emosional, kemampuan berkomunikasi maupun kombinasi
dua atau lebih dari hal-hal tersebut, sejauh anak tersebut memerlukan modifikasi dari tugas-tugas
sekolah, metode belajar atau pelayanan terkait lainnya yang diajukan untuk mengembangkan
potensi atau kapasitasnya secara maksimal.

Ruang lingkup konsep anak berkebutuhan khusus secara garis besar dapat dibagi menjadi
dua kelompok, yaitu:

1. Anak Berkebutuhan Khusus Temporer

6
Anak Berkebutuhan Khusus Temporer adalah anak yang mengalami kesulitan belajar
atau tumbuh kembang karena faktor eksternal. Misalnya, anak-anak yang mengalami trauma
perkosaan dan menjadi bingung secara mental dan tidak bisa belajar. Pengalaman traumatis
semacam itu bersifat sementara, tetapi bisa menjadi permanen jika anak tidak dirawat dengan
tepat. Anak-anak seperti itu memerlukan pendidikan khusus, yaitu pendidikan yang disesuaikan
dengan disabilitas, tetapi anak-anak ini tidak harus dididik di sekolah luar biasa, tetapi di sekolah
umum biasa.

2. Anak Berkebutuhan Khusus Permanen

Anak berkebutuhan khusus permanen adalah anak yang mengalami hambatan belajar dan
perkembangan internal sebagai akibat langsung dari kondisi disabilitas seperti: motorik),
gangguan interaksi dan komunikasi, gangguan emosi, sosial dan perilaku. Dengan kata lain, anak
berkebutuhan khusus permanen sama artinya dengan anak penyandang kecacatan (difabel).
Istilah anak berkebutuhan khusus bukanlah terjemahan atau kata lain dari anak berkebutuhan
khusus, tetapi anak berkebutuhan khusus dapat dibedakan dari anak berkebutuhan khusus
temporer dan anak berkebutuhan khusus permanen. (penyandang cacat). Oleh karena itu, apabila
menyebut anak berkebutuhan khusus selalu diikuti ungkapan anak penyandang cacat. Jadi anak
penyandang cacat merupakan bagian atau anggota dari anak berkebutuhan khusus. Sebagai
konsekuensi logis yaitu, bidang pendidikan luar biasa sangat luas, berbeda dengan bidang
pendidikan pendidikan kebutuhan khusus menjadi sangat luas, berbeda dengan lingkup garapan
Pendidikan Luar Biasa yang hanya menyangkut anak penyandang cacat.

Jenis-Jenis Anak Berkebutuhan Khusus dan Layanan Pendidikan

1. Anak dengan hambatan penglihatan

Anak tunanetra merupakan anak yang mengalami hambatan daya penglihatan sedemikian
rupa sehingga membutuhkan pelayanan khusus baik dalam kehidupannya sehari-hari dan juga
pendidikan. Kategori anak tunanetra: (1) Anak kurang awas (Low Vision) yaitu, jika anak masih
mampu menerima rangsangan cahaya dari luar, meskipun ketajamannya lebih dari 6/12 dan (2)
Anak buta (Blind) yaitu jika anak tidak mampu menerima rangsangan cahaya dari luar atau
visusnya = 0. Indra penglihatan sangat penting dalam penerimaan informasi dan pengalaman.

7
Maka dari itu, muncul berbagai layanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus ini adalah
dengan membaca menulis, dan berhitung menggunakan kaca pembesar ataupun huruf cetak
besar, media yang dapat diraba, didengar, atau diperbesar bagi yang mengalami sedikit
penglihatan (low vision).

Anak tunanetra membutuhkan latihan khusus yang meliputi, latihan membaca dan
menulis huruf braille, penggunaan tongkat, orientasi dan mobilitas, serta melakukan latihan
visual atau fungsional pada penglihatannya. Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat
dilaksanakan melalui sistem segregasi, yaitu suatu sistem yang terpisah dari anak yang masih
memiliki penglihatan yang masih bagus dan integrasi atau terpadu dengan normal di sekolahan
umum lainnya. Tempat pendidikan dengan sistem segregasi meliputi sekolah khusus, yaitu
SLB-A. Strategi proses pembelajaran memiliki kesamaan dengan strategi pembelajaran anak
pada umumnya. Tetapi, ketika dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi agar sesuai dengan
anak yang melakukan pembelajaran dengan menggunakan sistem inderanya yang masih
berfungsi dengan baik sebagai sumber pemberi informasi.

2. Anak dengan hambatan pendengaran

Anak tunarungu merupakan anak yang kehilangan seluruh atau sebagian daya
pendengarannya sehingga mengalami hambatan untuk dapat berkomunikasi secara verbal.
Kategori anak tunarungu: (1) Mild Loses yaitu anak yang kehilangan kemampuan mendengar
20-30 dB; (2) Marginal Loses yaitu anak yang kehilangan kemampuan mendengar 30-40 dB; (3)
Moderat Loses yaitu anak yang kehilangan kemampuan mendengar 40-60 dB; (4) Profound Loss
yaitu anak yang kehilangan kemampuan mendengar di atas 75 dB; dan (5) Deaf yaitu anak yang
kehilangan kemampuan mendengar.

Hal yang kerap terjadi pada anak tunarungu adalah meskipun telah diberikan pertolongan
atau bantuan misalnya dengan alat bantu dengar, mereka akan tetap memerlukan layanan
pendidikan khusus. Anak yang tunarungu bisa diberikan pendidikan berupa keterampilan supaya
aman, menjadi bagian dari masyarakat, dan dapat menjadi seorang yang mandiri. Mereka hanya
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat atau berbicara dengan menggunakan ejaan
huruf isyarat. Yang paling penting adalah bagaimana membuat nyaman berada di lingkungan
(sekolah, keluarga, dan masyarakat).

8
Layanan bagi anak yang tunarungu adalah sekolah yang didalamnya menyertakan guru
pendamping yang berlatar belakang Pendidik Luar Biasa (PLB), berempati terhadap anak
tunarungu agar pembelajaran yang diberikan dapat dipahami dengan mudah, lingkup sekolah
inklusi harus kondusif dan sarana prasarana yang mendukung bagi ABK. Pembelajaran yang
paling penting terhadap anak yang tunarungu adalah pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa
dapat diperoleh melalui percakapan.

3. Anak dengan hambatan kecerdasan intelektual dibawah rata-rata

Anak tunagrahita merupakan anak yang mengalami hambatan dan keterbelakangan


perkembangan mental-intelektual dibawah rata-rata sehingga mereka mengalami kesulitan dalam
berbagai aspek kehidupannya dan mereka sudah tentu memerlukan layanan pendidikan khusus.

Kategori anak tunagrahita: (1) Anak tunagrahita ringan (IQ 50-70) yaitu anak yang
mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian
sosial, dan kemampuan kerja meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat; (2)
Anak tunagrahita sedang (IQ 25-49) yaitu anak yang dapat belajar keterampilan sekolah
meskipun untuk tujuan fungsional mencapai tanggung jawab sosial, dan mencapai penyesuaian
sebagai pekerja dengan bantuan; dan (3) Anak tunagrahita berat dan sangat (IQ 25 - ke bawah)
yaitu anak yang hampir tidak memiliki kemampuan untuk dilatih mengurus diri sendiri
melakukan sosialisasi dan bekerja. Meskipun beberapa diantaranya ada juga yang dapat
mengurus diri sendiri dan dapat berkomunikasi secara sederhana serta dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya yang terbatas.

Anak tunagrahita membutuhkan perhatian yang lebih dalam pengenalan dan pemahaman
akan suatu materi. Layanan pendidikan bagi tunagrahita diantaranya mendapatkan kelas transisi
yaitu salah satu kelas persiapan dan pengenalan pengajaran, memerlukan sekolah khusus/SLB
dan dengan tenaga pendidikan khusus, dan mendapatkan pendidikan terpadu serta panti
rehabilitasi. Selain itu penerapan kurikulum khusus bagi pendidikan luar biasa (PLB) juga perlu
mendapat untuk disesuaikan dengan anak tunagrahita terutama bagi anak yang mengenyam
pendidikan inklusif. Meskipun menggunakan kurikulum yang sama dengan anak reguler, namun
di dalam penerapannya harus disesuaikan dengan kemampuan dari anak tunagrahita.

9
4. Anak dengan hambatan anggota gerak

Anak tunadaksa merupakan anak yang mengalami hambatan yang menetap pada anggota
gerak (tulang, sendi, dan otot). Gangguan gerak tersebut dapat dilihat dari segi fungsi fisik dan
anatomi. Kategori anak tunadaksa: (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system disorders)
yaitu anak tunadaksa yang mengalami kelainan sistem cerebral didasarkan pada letak penyebab
kelainan yang terletak di dalam saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Kerusakan pada
sistem saraf pusat yang mengakibatkan bentuk kelainan krusial karena otak dan sumsum tulang
belakang yang merupakan bagian penting dalam aktivitas anak tersebut karena didalamnya
terdapat pusat kesadaran, pusat ide pusat kecerdasan, pusat motorik, pusat sensoris. Salah satu
contohnya nya anak yang mengalami Cerebral Palsy/CP yang memiliki gangguan gerak karena
kelayuan otot atau gangguan fungsi saraf.; (2) Kelainan pada sistem otot dan rangka
(musculoskeletal system) yaitu anak tunadaksa yang memiliki kelainan pada sistem otot dan
rangka yang merupakan bagian-bagian atau jaringan-jaringan yang membentuk gugusan otot dan
angka sehingga terdapat koordinasi yang abnormal dan disfungsional. Contohnya adalah
poliomyelitis, muscle dystrophy, dan spina bifida. (3) Kelainan karena bawaan (congenital
deformities) yaitu anak tunadaksa yang mengalami cacat ortopedi dari faktor gen dari orang tua.

Antara anak normal dan anak tunadaksa memiliki peluang yang sama untuk melakukan
aktualisasi diri. Hanya saja banyak orang yang meragukan kemampuannya karena keterbatasan
fisiknya yang terlihat nyata. Sistem layanan pendidikan bagi tuna daksa tersebut bervariasi,
mulai dan sistem pendidikan reguler sampai pendidikan yang diberikan di suatu rumah sakit.
Model pelayanan bagi tunadaksa dibagi menjadi dua kategori, yaitu "sekolah khusus" dan
"sekolah terpadu". Sekolah khusus dipergunakan bagi anak yang mengalami masalah
intelektualnya, seperti retardasi mental/kesulitan gerakan dan emosinya. Sedangkan sekolah
terpadu dipergunakan bagi anak tunadaksa yang memiliki intensitas masalah yang relatif ringan
dan tidak disertai problem penyerta. Dengan kata lain, pelayanannya disatukan dengan
anak-anak normal lainnya di sekolah reguler.

5. Anak dengan hambatan perilaku sosial dan emosi

Anak tunalaras merupakan anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang,
berat, dan sangat berat yang berakibat terhambatnya perkembangan emosi dan sosial ataupun

10
keduanya sehingga merugikan dirinya sendiri dan lingkungan. Dalam perngembangan potensi
yang dimiliki tentu anak jenis ini memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus. Anak
tunalaras mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial yang ditunjukkan
dengan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma di sekitarnya.

Pada umumnya anak yang mengalaminya memiliki ciri berani melanggar peraturan,
mudah emosi dan suka melakukan tindakan agresif Anak tunalaras biasanya di sekolahkan di
Sekolah Luar Biasa C. Namun, anak tunalaras bisa saja belajar di sekolah umum. Dengan kata
lain, mereka dibiarkan membaur dengan anak normal lainnya. Kelas khusus diberikan ketika
mereka benar-benar tidak bisa bersatu dengan lingkungan sosial. Pengembangan pendidikan
sebaiknya paralel atau dikaitkan dengan mengintensifkan usaha bimbingan penyuluhan di
sekolah reguler. Caranya dengan pendidikan jasmani adaptif, yaitu suatu sistem penyampaian
layanan yang bersifat menyeluruh (komprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan,
dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor.

6. Anak autis

Anak autis adalah anak mengalami hambatan perkembangan saraf yang kompleks.
Hambatan perkembangan kompleks tersebut menyangkut komunikasi, interaksi sosial, kognisi,
dan aktivitas imajinasi.

Kategori anak autis: (1) Autisme persepsi, yaitu anak yang mengalaminya dianggap
autisme asli karena kelainan yang sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmampuan anak berbahasa
termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, termasuk juga kemampuan
anak bekerjasama dengan orang lain sehingga anak ini bersikap masa bodoh.; (2) Autisme reaksi,
yaitu anak yang mengalaminya karena terjadi karena beberapa permasalahan yang menimbulkan
kecemasan seperti orang tau meninggal, sakit berat, dan lain-lain. Autis tipe ini memunculkan
gerakan-gerakan tertentu berulang0ulang, kadang disertai dengan kejang-kejang. Gejala ini
biasanya muncul pada usia 6-7 tahun atau sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.; dan
(3) Autisme yang timbul kemudian yaitu anak mengalaminya pada usia lebih besar dari dua tipe
sebelumnya. Hal tersebut terjadi karena ada kelainan jaringan otak jaringan otak yang terjadi
setelah anak lahir. Hal ini akan mempersulit pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan
untuk mengubah perilakunya yang sudah melekat.

11
Gejala yang tampak dan anak autis adalah berperilaku hiperaktif dan agresif, menyakiti
diri sendiri dan ada juga yang bersifat pasif. Dalam layanan pendidikan untuk anak autis harus
disesuaikan dengan usia dari anak tersebut, kemampuan yang dia miliki, hambatan yang dimiliki
anak ketika belajar, serta gaya belajarnya pada masing-masing anak. Metode yang biasanya
diberikan adalah bersifat kombinasi dan beberapa metode. Biasanya menggunakan alat bantu
(stimulus visual).

7. Anak berkesulitan belajar

Anak dengan gangguan kesulitan belajar merupakan anak yang mengalami hambatan
dalam suatu proses psikologis dasar, disfungsi sistem saraf pusat, atau gangguan neurologis yang
dimanifestasikan dalam kegagalan-kegagalan nyata dalam berbagai aspek seperti pemahaman,
gangguan mendengarkan, berbicara, membaca, mengeja, berpikir, menulis, berhitung, ataupun
keterampilan sosial.

Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak dengan kesulitan belajar dapat
dilakukan pada sekolah reguler. Dimana guru akan membuatkan program khusus untuk anak
kesulitan belajar tersebut agar tetap dapat mengikuti kurikulum sekolah.

8. Anak lamban belajar (slow learner)

Anak lamban belajar merupakan anak yang memiliki potensi intelektual sedikit di bawah
anak normal. Namun tidak termasuk anak tunagrahita. Jenis ini biasanya memiliki IQ 80-85.
Dalam beberapa hal anak ini mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir, merespon
rangsangan, dan kemampuan untuk beradaptasi. Anak ini membutuhkan waktu lebih lama dalam
belajar daripada anak-anak seusianya.

Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak lamban belajar senada dengan yang
diberikan kepada anak dengan kesulitan belajar dimana anak dapat tetap bersekolah di sekolah
reguler. Dimana guru akan membuatkan program khusus untuk anak lamban belajar tersebut agar
tetap dapat mengikuti kurikulum sekolah.

9. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain

12
Anak dengan kebutuhan yang dimaksudkan adalah anak yang mengkonsumsi,
penggunaan secara melawan hukum, memiliki, menyimpan, menguasai, narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya. Termasuk juga di dalamnya anak yang dieksploitasi untuk
memproduksi atau menjual narkotika alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Layanan pendidikan yang diberikan kepada anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, obat terlarang, dan zat adiktif lain adalah sekolah reguler. Pada dasarnya anak tersebut
tidak memiliki gangguan khusus seperti anak berkebutuhan khusus yang sebelumnya telah
dipaparkan, namun anak yang menjadi korban diakibatkan oleh faktor eksternal seperti
lingkungan. Dengan demikian anak tersebut tetap dapat bersekolah di sekolah reguler dengan
bantuan guru yang ketat agar anak tersebut tidak menjadi korban perundungan dan tidak
menyebarkan atau mencontohkan kebaikan pada anak lain di sekolah.

Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang luar biasa, karenanya mereka
memerlukan layanan yang lebih/khusus terhadap anak normal kebanyakan. Layanan yang harus
didapat dari anak berkebutuhan khusus salah satunya adalah layanan pendidikan, karena dengan
layanan pendidikan yang baik dan terpadu akan menghasilkan anak yang andal serta dapat
diterima di dalam kehidupan kemasyarakatan. Selain itu, pemilihan metode pembelajaran yang
tepat juga mempengaruhi hasil belajar ABK tersebut.

B. Kajian Model Disabilitas

Pendidikan inklusif adalah konsep multidimensi yang mencakup dan menghargai


perbedaan dan keragaman serta mempertimbangkan hak asasi manusia, sosial isu klinis, model
sosial dan model hubungan sosial. Kita akan membahas pertumbuhan gerakan penyandang
penyandang disabilitas dan pembentukan model sosial disabilitas dalam rekonstruksi hubungan
kekuasaan dan struktur di hubungan penyandang disabilitas profesional.

Di mana perspektif sosial dipertimbangkan dalam kaitannya dengan pendidikan khusus,


di sana kadang-kadang merupakan posisi tersirat dari perspektif semacam itu yang bertentangan
dengan atau sama sekali setidaknya dalam ketegangan kreatif dengan pandangan individu. Oleh
karena itu, untuk mengeksplorasi perspektif sosial, mungkin akan membantu untuk mengenali

13
pandangan individu dari yang beberapa dari mereka yang memiliki perspektif lebih sosial
mungkin berusaha untuk menjauh diri. Terdapat 3 model yang secara khusus memaknai
mengenai keberadaan penyandang disabilitas, yaitu :

1. Model klinis : Menurut Degner (2000) pada model klinis memandang penyandang
disabilitas sebagai orang dengan masalah medis, yang penanganannya bergantung pada jaminan
sosial dan kesejahteraan yang disediakan pada setiap negara. Pada model ini penyandang
disabilitas diungkapkan tidak mampu untuk berbuat apa-apa karena label “kecacatan” yang
dimiliki. Hal tersebut pun terjadi di bidang pendidikan dimana penyandang disabilitas
diklasifikasikan sesuai dengan label yang mereka miliki.

2. Social model : Menurut Sofiana Millati menjelaskan bahwa persepsi sosial atau Social
Model merupakan pandangan yang mencoba mendekonstruksi persepsi Medical model.
Pendekatan sosial dikembangkan oleh aktivis-aktivis disabilitas untuk menggugat pandangan
ortodoks lama bahwa penyandang disabilitas adalah manusia yang “menyimpang” atau “tidak
normal”. Selain itu klaim-klaim medis yang menempatkan persoalan disabilitas pada diri
individu yang sakit, dan semata-mata persoalan fisik yang perlu ditangani serba medis. Pelopor
Social Model dalam literatur dipopulerkan oleh seorang akademisi disabilitas bernama Mike
Oliver yang menantang keras Medical Model.

3. Social-relational model : Kekurangan model sosial lainnya adalah tidak mengafirmasi


pengalaman individu dan tidak menerima adanya perbedaan fisik yang selama ini menjadi
pandangan medis. Ragam kritik tersebut datang dari orang-orang yang memandang bahwa kedua
model tersebut harus digabungkan untuk dapat mengidentifikasi kebutuhan difabel, di selain
fokus pada kebutuhan sosial. Karena di kalimat pertama mereka masih mengakui bahwa “,” tutur
Sofiana. Orang dengan disabilitas adalah setiap orang yang memiliki keterbatasan fisik,
intelektual, dan mental sensorik dalam jangka waktu yang lama. Tapi yang dalam berinteraksi
dengan lingkungannya dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk dapat berpartisipasi
dengan penuh dan tertib dalam berdasarkan kesamaan hak.

14
BAB III

PEMBAHASAN

A. Perubahan Paradigma

Penyandang disabilitas atau anak berkebutuhan khusus disebut sebagai orang cacat,
sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak produktif, tidak mampu menjalankan tugas
dan tanggung jawabnya sehingga hak-haknya pun diabaikan. Berbagai gerakan dari masyarakat
menuntut persamaan hak dan aksesibilitas fisik maupun non-fisik untuk diadakannya sarana dan
prasarana aksesibilitas yang memungkinkan penyandang disabilitas agar dapat mengakses
layanan publik dan persamaan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan
pendidikan, kemasyarakatan, politik dan keagamaan. Konvensi hak orang dengan disabilitas
menyatakan bahwa harus ada perubahan paradigma terkait orang dengan disabilitas. Konsep
bahwa penyandang disabilitas adalah “objek amal, pengobatan dan perlindungan sosial” menjadi
pandangan bahwa penyandang disabilitas sebagai subjek penyandang hak yang mampu
memperjuangkan hak-haknya dan mampu membuat keputusan atas hidupnya berdasarkan
kebebasannya sendiri sebagai anggota masyarakat aktif. Pada konvensi tersebut juga
diungkapkan bahwa bahwa setiap orang dengan segala jenis disabilitas harus dapat menikmati
seluruh hak asasi manusia dan kebebasan dasar.

Indonesia memiliki beberapa peraturan dan juga Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 yaitu
tentang Penyandang Cacat menyebutkan bahwa kesetaraan dan non-diskriminasi merupakan
salah satu syarat terbukanya berbagai akses bagi orang dengan disabilitas. Regulasi lain yaitu
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang penyandang cacat/disabilitas mengungkapkan
kelompok masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya yang menyangkut penyandang disabilitas dan hak asasi
manusia. Perubahan pandangan terhadap penyandang disabilitas dapat dilihat dari definisi
penyandang disabilitas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang penyandang
disabilitas, yaitu: “setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental dan atau
sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Berdasarkan kebijakan undang-undang terlihat

15
jelas bahwa pemerintah sangat mendukung keberadaan penyandang disabilitas di masyarakat
tanpa memandang hambatan yang dimiliki anak tersebut. Secara rinci, negara menjamin
penyandang disabilitas dengan memberikan perlindungan dan persamaan hak. Namun demikian,
implementasi dari berbagai undang-undang yang terus diperbaharui tersebut atas pemenuhan hak
orang dengan disabilitas masih jauh dari sepantasnya. Dibutuhkan harmonisasi dan kesamaan
tujuan dari para stakeholders agar implementasi regulasi tersebut dapat berjalan dengan baik.

Dalam pandangan The International Classification of Functioning, Disability and Health


(ICF) (WHO, 2011) mengenai disabilitas meliputi impairment, activity limitations, dan
participation restriction. Dalam konteks ini, impairment meliputi masalah pada fungsi atau
struktur tubuh; keterbatasan aktivitas ditujukan pada kesulitan dalam melaksanakan tugas atau
melakukan aksi, dan hambatan partisipasi yaitu bahwa orang dengan disabilitas mengalami
masalah dalam keterlibatan di masyarakat atau situasi kehidupannya. Dengan demikian, orang
dengan disabilitas tidak lagi dipandang sebagai orang yang bermasalah, akan tetapi
lingkungannya yang bermasalah dalam menyediakan kesamaan akses dan menjadi inklusif bagi
setiap orang di masyarakatnya.

Salah satu penyebab terbesar dari kegagalan program yang menunjang keberadaan dari
penyandang disabilitas adalah aksesibilitas. Fasilitas berupa aksesibilitas fisik dan non-fisik
untuk penyandang disabilitas relatif sangat terbatas, sehingga menyulitkan mereka untuk bisa
melakukan kegiatannya secara mandiri. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai macam hambatan
dialami oleh penyandang disabilitas, antara lain adalah hambatan-hambatan sebagai berikut:

1. Inadequate policies & standards: Kebijakan/aturan yang dibuat sering tidak


memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas, misal kebijakan pendidikan,
pekerjaan.
2. Negative attitudes: Sikap negatif dan prejudice menghambat bidang pendidikan,
pekerjaan, pelayanan kesehatan dan partisipasi sosial.
3. Lack of provision of services: Terutama pada pelayanan kesehatan, rehabilitasi, dan
support & assistance.
4. Problems with service delivery: Karena kurangnya koordinasi, staf tidak mencukupi,
kompetensi kurang.

16
5. Inadequate funding: Sumber-sumber dana yang dialokasikan untuk
mengimplementasikan kebijakan tidak mencukupi.
6. Lack of accessibility: Bangunan publik, sistem transportasi dan informasi tidak
penyandang disabilitas aksesibel.
7. Lack of consultation & involvement: Penyandang disabilitas sering tidak ikut dilibatkan
dalam pengambilan keputusan.
8. Lack of data & evidence: Kurangnya data tentang disabilitas dan bukti efektivitas
program mempengaruhi program aksi selanjutnya.

Berdasarkan situasi tersebut, maka permasalahan yang dihadapi penyandang disabilitas


pun mulai bergeser. Semula disabilitas dipandang sebagai permasalahan dalam konteks individu
kemudian bergeser menjadi isu sosial sehingga terjadi pergeseran paradigma atas penyandang
disabilitas dimana semula berupaya untuk menghilangkan atau meminimalisir malfunction yang
dialami oleh individu, kemudian menjadi upaya untuk menghilangkan atau meminimalisir
hambatan dalam masyarakat. Berbagai bentuk pergeseran dan berbagai perubahan perspektif
masyarakat dalam hal memandang disabilitas dapat dirangkum dalam tabel di bawah ini:

Tabel 3.1 Perubahan Paradigma dalam Memandang Disabilitas1

Paradigma Lama Paradigma Baru

Isu individual Isu sosial


Isu disabilitas
Mal function Hambatan di masyarakat

Layanan langsung Perubahan sosial

Pendekatan Kuratif Promotif dan preventif

Mengubah disabled Mengubah masyarakat

Spesialistik Umum dan spesifik


Pelayanan
Oleh profesional Oleh masyarakat dan umum

Rehabilitasi Perbaikan fungsi Pemecahan hambatan sosial

1
Santoso, Meilanny dan Nurliana C. 2017. “Pergeseran Paradigma Dalam Disabilitas”, Journal Of
International Studies, edisi 1(2), hal. 166-176

17
Semula disabilitas dipandang sebagai permasalahan dalam konteks individu kemudian
bergeser menjadi isu sosial, sehingga upaya untuk mengatasi permasalahan orang dengan
disabilitas pun mengalami pergeseran, semula berupaya untuk ditujukan untuk menghilangkan
atau meminimalisir malfunction yang dialami oleh individu, kemudian menjadi upaya untuk
menghilangkan atau meminimalisir hambatan dalam masyarakat yang mungkin dihadapi oleh
orang dengan disabilitas.

Pendekatan layanan yang diberikan bagi orang dengan disabilitas pun mengalami
perubahan, semula berupa layanan langsung, kuratif dan ditujukan untuk mengubah disabled,
kemudian bergeser menjadi upaya melakukan perubahan sosial dalam masyarakat agar lebih
kondusif bagi orang dengan disabilitas, upaya promotif dan preventif serta dilakukan
upaya-upaya untuk mengubah masyarakat, mulai dari persepsi, stigma, perlakuan dan
menyiapkan masyarakat agar dapat lebih kondusif dalam penerimaan dan perlakuannya bagi
orang dengan disabilitas.

Dalam hal pelayanan yang diberikan oleh para ahli pun ikut bergeser, semula bersifat
spesialistik dan dilakukan oleh professional, yaitu sejalan dengan perspektif medis dalam
memandang permasalahan orang dengan disabilitas, kemudian bergeser menjadi bersifat umum
dan spesifik, dilakukan oleh masyarakat dan professional. Begitu pun dengan bentuk rehabilitasi
yang diberikan pada orang dengan disabilitas turut berubah dari perbaikan fungsi menjadi upaya
pemecahan hambatan sosial.

Seiring dengan pergeseran paradigma dalam memandang disabilitas dan terus bergulirnya
isu disabilitas di tengah masyarakat, hal ini telah memicu dan mendorong perkembangan sudut
pandang stakeholders yang memiliki perhatian terhadap isu disabilitas dalam memandang
paradigma disabilitas, hingga kemudian mendorong upaya untuk membangun paradigma baru
disabilitas.

Paradigma baru dalam memandang disabilitas tercermin pada sudut pandang yang
memandang permasalahan disabilitas: (1) Disabilitas semula dipandang sebagai masalah
individu menjadi masalah sosial; (2) Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan perubahan
pada individu disabilitas menjadi perubahan pada perilaku masyarakat; (3) Dalam menangani
disabilitas, semula terarah pada pemenuhan kebutuhan praktis saja menjadi pemenuhan

18
kebutuhan praktis dan strategis; (4) Solusi yang diberikan semula bersifat partial solution
menjadi integrated solution; dan (5) Program yang dibuat untuk menangani permasalahan
disabilitas semula berupa eksklusif program menjadi inklusif program.

B. Optimalisasi Layanan

Perubahan paradigma dari model klinis menjadi model sosial perlu dioptimalkan. Hal-hal
yang berkaitan dengan optimalisasinya, yaitu:

1. Aksesibilitas

Berbagai regulasi yang dibuat bertujuan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan penyandang disabilitas agar dapat sepenuhnya hidup
bermasyarakat. Tujuannya dengan adanya regulasi yang dibuat oleh pemerintah adalah
memberikan kemudahan kemudahan aksesibilitas yang menjamin para penyandang disabilitas,
diantaranya dengan adanya fasilitas ramah disabilitas berupa alat transportasi, sarana pendidikan,
lapangan kerja, maupun tempat rekreasi ataupun ruang terbuka publik yang dapat mereka
manfaatkan dengan nyaman.

2. Inklusivitas

Kesadaran para stakeholders mengenai berbagai fakta diskriminasi terhadap disabilitas


membuat mereka berpikir bahwa masalah ini sebagai persoalan sosial yang menyangkut sistem
ekonomi, kebijakan, prioritas distribusi sumber daya, kemiskinan, pengangguran, sistem
pelayanan medis. Stakeholdernya tidak hanya penyandang disabilitas itu sendiri. Namun,
mencakup pembuat kebijakan, pengacara, politikus, pelaku ekonomi, masyarakat umum,
jurnalis, aktor film, dan elemen masyarakat lain. Fakta ini memposisikan bahwa penyandang
disabilitas dan “orang normal” berada pada kondisi setara dan bentuk perwujudan masyarakat
yang inklusif.

Masyarakat inklusif merupakan kondisi semua elemen masyarakatnya memiliki


kesempatan setara untuk berkontribusi dalam kehidupan bermasyarakat tanpa membedakan suku,
ras, agama, dan perbedaan bentuk fisik. Maka dengan terwujudnya tatanan tersebut, para
penyandang disabilitas bisa memberikan kontribusi dengan berbagai karya yang dapat dilakukan,

19
baik hal kecil maupun besar. Selain keterbukaan, masyarakat inklusif harus memenuhi empat
nilai dan dioperasionalkan secara simultan dan seimbang dalam masyarakat. Empat nilai tersebut
adalah pluralisme atau keberagaman, kesetaraan, martabat, dan partisipasi aktif. Keberagaman
menerima kondisi orang lain yang berbeda dengan menjaga kesetaraan bahwa tidak seorangpun
individu boleh diperlakukan lebih tinggi atau rendah secara hukum dan sosial dalam masyarakat
dengan demikian semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam banyak hal. Martabat
seseorang harus dihargai dalam relasi yang dibangun dan dengan berpartisipasi aktif adalah
wujud dari keterlibatan dan berkontribusi dalam aktivitas sosial dalam masyarakat guna
tercapainya masyarakat yang madani.

3. Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan sesuatu yang diupayakan dan direncanakan melalui


program-program yang tepat untuk mengembangkan potensi penyandang disabilitas. Rehabilitasi
mencakup berbagai bidang layanan sehingga memerlukan kolaborasi dari berbagai bidang
keahlian. Tujuan rehabilitasi adalah memperbaiki dan memungkinkan individu yang mengalami
disabilitas dapat mencukupi kehidupannya sendiri sebisa mungkin. Bentuk rehabilitasi telah
diatur didalam regulasi Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal
18 ayat 2, rehabilitasi meliputi rehabilitasi medik, pendidikan, pelatihan, dan sosial. Keempat
jenis rehabilitasi tersebut saling berkaitan satu sama lain.

Optimalisasi layanan dapat berjalan dengan baik apabila para stakeholders mau bekerja
sama dalam mewujudkan. Penyandang disabilitas merupakan aktor utamanya. Keluarga sebagai
bagian terdekat harus menjadi support system yang baik dayang dapat dimulai dengan menerima
atas keberadaan individu penyandang disabilitas tersebut di keluarganya. Ketika keluarga sudah
sepenuhnya menerima dengan baik, selanjutnya adalah masyarakat. Masyarakat diupayakan
untuk memperlakukan penyandang disabilitas setara tanpa memandang kondisi penyandang
disabilitas. Ketika masyarakat sudah terbuka akan keberadaan penyandang disabilitas di
lingkungannya, pemerintah memiliki andil untuk turut membantu masyarakat dalam memberikan
pelayanan dan juga terbuka dengan penyandang disabilitas menggunakan regulasi yang tentu
saja menghargai keberadaan penyandang disabilitas di masyarakat.

20
BAB IV

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan berbagai macam kajian literatur dan dokumen yang telah diuraikan
pergeseran paradigma dimulai dengan model tradisional, dengan kegiatan utama yang
dilakukan bagi orang dengan disabilitas adalah bersifat kesukarelaan, kemudian berubah
menjadi model klinis dengan titik berat bantuan yang diberikan berupa rehabilitasi
kepada orang-orang dengan disabilitas. Kemudian model klinis tersebut bergeser menjadi
ketiga model dengan fokus pelayanan lebih ditujukan kepada terjadinya perubahan sosial
masyarakat.

Seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat Indonesia secara menyeluruh


perlu bekerja sama untuk mulai menerapkan penerimaan keberadaan penyandang
disabilitas dalam memastikan hak asasi orang yang memiliki disabilitas dapat dipenuhi
dan dapat dipandang sebagai manusia seutuhnya yang juga bisa berkontribusi untuk
Indonesia dengan optimalisasi layanan aksesibilitas, inklusivitas, dan rehabilitasi.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Nandiyah. (2013). Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Magistra No. 86 Th.
XXV.

Bradley, Renee. Danielson Louis & Hallahan, Daniel P..(2002) IDENTIFICATION OF


LEARNING DISABILITIES: RESEARCH TO PRACTICE. New Jersey : Lawrence
Erlbaum Associates, Inc.

Farrell, Michael. (2009) Foundations of Special Education : An Introduction. Chichester :


John Wiley & Sons, Ltd.

French, S. and Swain, J. (2001). The relationship between disabled people and health and
welfare professionals, in Albrecht, G. L., Seelman, K. D. and Bury, M. (eds)
Handbook of Disability Studies. Thousand Oaks: Sage.

Hornby, Garry. (2014). Inclusive Special Education Evidence-Based Practices for


Children with Special Needs and Disabilities. New York : Springer.

Kemmis, dan Rosmawati, Ati. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus


Tunagrahita. Jakarta: PT. Luxima Media.

Ratnaningsih, Erna. (2016). Pergeseran Paradigma Tentang Penyandang Disabilitas


dalam UU No. 8 Tahun 2016. diakses melalui
vvhttps://business-law.binus.ac.id/2016/04/29/pergeseran-paradigma-tentang-peny
andang-disabilitas-dalam-uu-no-8-tahun-2016/ pada 18/09/2022 pukul 15.00

Santoso, Meilanny Budiarto; Nurliana Cipta Apsari. (2017). Pergeseran Paradigma


dalam Disabilitas. Journal of International Studies. Volume 1 No. 2 Mei 2017
e-ISSN. 2503-443X halaman 166-176

Yulianto, Muhammad Joni. (2014). Hak-Hak Penyandang disabilitas dalam Buku


Panduan Bantuan Hukum Indonesia : Pedoman Anda Memahami dan
Menyelesaikan Masalah Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia halaman
254–256

22

Anda mungkin juga menyukai