Makalah Kodifikasi Hadis
Makalah Kodifikasi Hadis
Makalah Kodifikasi Hadis
Disusun Oleh:
Kelompok 2
1. HAIRUMAN
2. SURLIANA
3. IRA HERMA JULIANA
4. SITI MAULIDI LAILA
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................ii
DAFTAR ISI........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................1
C. Tujuan ......................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Sejarah Kodifikasi Hadis..........................................................................3
B. Penyusunan Disiplin Ilmu Hadis Secara Sistematis................................10
C. Profil Kitab Hadis Pokok, Metode Penyusunan dan Profil
Penyusunannya........................................................................................14
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..............................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan salah satu pedeman umat islam dalam menjalankan
agama Islam disamping Al-Qur’an. Maka dari itu, menjaga kemurnian hadis
agar tetap menjadi sumber ajaran Islam yang mampu membawa pada
kemaslahatan menjadi tanggung jawab umat Islam, terutama dari kalangan
intelektual Islam. Salah satu persoalan dalam studi hadis yang senantiasa
menjadi perdebatan adalah masalah kodifikasi hadis. Masalah ini selalu
menjadi perdebatan yang cukup hangat dan menyita banyak energi di
kalangan para sarjana keislaman, khususnya bagi mereka yang menaruh
minat yang sangat tinggi pada bidang kelimuan hadis. Masalah kodifikasi
apabila ditinjau dari sejarahnya cukup memiliki berbagai macam persoalan
didalamnya, mulai dari munculnya kepentingan aliran, wafatnya para
penghafal hadis, hingga banyaknya hadis yang tercampur dengan pendapat
para sahabat serta tabi’in, serta hal yang tak kalah pentingnya dibicarakan
adalah kerangka metodologis kodifikasi (tadwin) hadis itu sendiri. Kajian
seputar metodologis dalam kodifikasi tersebut tentunya akan mengungkap
data penting tentang bagaimana proses historis tadwin hadis dibangun di atas
landasan dan dasar-dasar metodologis yang kokoh. Berbagai macam
persoalan kodifikasi tersebut tentunya perlu diluruskan untuk kepentingan
kemaslahatan berama, khususnya umat islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sejarah kodifikasi hadis serta dinamika yang ada
didalamnya?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong dilakukannya kodifikasi hadis?
3. Kebijakan-kebijakan apa sajakah yang memiliki peranan cukup penting
dalam proses kodifikasi hadis?
4. Bagaimanakah metodologis yang dikembangkan oleh ulama hadis dalam
1
proses kodifikasi hadis?
C. Tujuan
1. Mendeskripsikan sejarah kodifikasi hadist serta dinamika-dinamika yang
ada didalamnya
2. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendorong dilakukannya
kodifikasi hadis di masa lampau
3. Mengetahui kebijakan-kebijakan apa sajakah yang memiliki peranan
cukup penting dalam proses kodifikasi hadis
4. Mengetahui metodologis yang dikembangkan oleh ulama hadis dalam
proses kodifikasi hadis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar ilmu Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
78
3
semakin meningkat. Para sahabat semakin berhatihati dalam menerima hadis
karena telah muncul benih-benih hadis palsu pada masa Ali bin Abi Thalib
dan semakin kuat ketika masa Muawiyah bin Abu Sufyan.2 Misalnya hadis
“Ali sebaik-baik manusia, barang siapa meragukannya maka dia kafir.” Hadis
digunakan oleh kelompok pembela Ali (Syi’ah). Kemudian salah satu contoh
lai adalah “Sosok yang berkarakter jujur ada tiga: aku, Jibril, dan
Muawiyyah” yang digunakan sebagai legitimasi kekuasaan dinasti baru
setelah khalifah Ali, yakni dinasti Umayyah dengan Muawiyah sebagai
khalifahnya. Kaum Rafidhah Syi’ah yang merupakan pendukung sayyidina
Ali merupakan golongan yang banyak memalsukan hadis. Al-Kholili dalam
kitab Irsyad mengatakan bahwa kaum Rafidhi talah memalsukan lebih dari
13.000 hadis yang isinya sanjungan terhadap Khalifah Ali bin Abi Thalib dan
kecaman terhadap dua Khalifah pertama yaitu Abu Bakar dan Umar bin
Khattab.3
Kodifikasi Hadis secara resmi terjadi pada khalifah ‘Umar ibn ‘Abd
al-‘Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayah. Proses kodifikasi hadis yang
baru dilakukan pada masa ini dimulai dengan khalifah mengirim surat ke
seluruh pejabat dan ulama di berbagai daerah pada akhir tahun 100 H yang
berisi perintah agar seluruh hadis Nabi di masing-masing daerah segera
dihimpun, ‘Umar yang didampingi Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-
Zuhri (w. 124 H/ 742 M), seorang ulama besar di negeri Hijaz dan Syam,
menggalang agar para ulama hadis mengumpulkan hadis di masing-masing
daerah mereka. al-Zuhri berhasil menghimpun hadis dalam satu kitab
sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirimkan oleh khalifah
ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadis selanjutnya. ‘Umar
juga memerintah Abu Bakar Muhammad ibn ‘Amr ibn Hazm (w. 117 H)
untuk mengumpulkan hadis yang terdapat pada Amrah binti ‘Abd al-Rahman
(murid kepercayaan ‘Asiyah) dan Qosim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-
2
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 46
3
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Umar Bin Abdul Aziz Dan Semangat Penulisan Hadis”,
ESENSIA Vol. XIV No. 2 Oktober 2013, 260
4
Shiddiq.4
1. Kodifikasi Hadis Abad II Hijriah
Pada abad kedua, para ulama dalam aktivitas kodifikasi hadis, tidak
melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka tidak membukukan hadis-
hadis saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam
kitab-kitab mereka. Dengan kata lain, seleksi hadis pada abad kedua ini
disamping memasukkan hadis-hadis Nabi juga perkataan para sahabat dan
para tabi’in juga dibukukan, sehingga dalam kitab-kitab itu terdapat hadis-
hadis marfu, hadis-hadis mawquf, dan hadis-hadis maqthu.
Pada abad kedua ini ulama yang berhasil menyusun kitab tadwin dan
sampai pada kita adalah Malik ibn Anas (93 – 179) yang menyusun kitab
al-Muwaththa’. Kitab ini disusun sejak tahun 143 H. Pada masa khalifah
al-Manshur, salah seorang khalifah Bani ‘Abbasiyah. Kitab ini tidak hanya
memuat hadis Rasul saja, tetapi juga ucapan sahabat dan tabi’in bahkan
tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri atau praktik ulama dan
masyarakat Madinah. Imam Al-Syafi’i, muridnya, memberikan pujian
terhadap karya Imam Malik ini dengan sebutan: kitab paling sahih setelah
al-Qur’an adalah Muwaththa’ Malik.5
Menurut Hasbi ash-Shiddieqy, diantara kitab-kitab abad kedua ini yang
mendapat perhatian umum ulama adalah al-muwaththa’ karya Imam
Malik, al- Musnad, Muskhtalif al-Hadis susunan Imam al-Syafi’ie, dan al-
Maghazie wa al- Siyar yang terkenal dengan al-Sirah al-Nabawiyyah
karya Muhammad ibn Ishaq. Kitab-kitab tersebut banyak menjadi
perhatian dan rujukan dalam kajian-kajian hadis dan sirah. Meskipun pada
abad kedua hadis tidak dipisahkan dari fatwa sahabat dan pendapat tabi’in,
pada abad ini sudah ada pemisahan antara hadis-hadis umum dengan
hadis-hadis tafsir, sirah dan maghazi.
Disamping itu, pada abad kedua ini juga diwarnai dengan meluasnya
pemalsuan hadis yang telah ada semenjak masa khalifah ‘Ali ibn Abi
4
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 95
5
ibid
5
Thalib dan menyebabkan sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk
mempelajari keadaan para periwayat hadis, disamping pada waktu itu
memang banyak periwayat yang lemah, meskipun tidak berarti pada abad
pertama tidaka da perhatian sama sekali terhadap keberadaan para
periwayat hadis. Pada abad kedua, kegiatan telaah terhadap ahwal al-
ruwah (keberadaan para periawayat hadis) semakin diintensifkan,
meskipun saat itu belum terbentuk ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam bentuk
disiplin ilmu yang mandiri.6
2. Kodifikasi Hadis Abad III Hijriah
Pada abad ketiga Hijriah merupakan masa penyaringan dan pemisahan
antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Masa
penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani ‘Abbasyiyah, yakni masa al-
Ma’mun sampai al-muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Periode
penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bisa dipisahkan
antara hadis marfu’, mawquf, dan maqthu, hadis yang dha’if dari yang
sahih ataupun hadis yang mawdhu’ masih tercampur dengan yang sahih.
Pada saat itu pula mulai dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk
menentukan apakah suatu hadis itu sahih atau dha’if. Para periwayat pun
tidak luput dari sasaran penelitian mereka untuk diteliti kejujuran,
kekuatan hafalan dan lain sebagainya. Materi kodifikasi yang dibukukan
pada abad ini dipisahkan antara hadis Nabi, pendapat sahabat dan tabi’in,
meskipun hadis-hadis yang dihimpun tidak diterangkan antara yang sahih,
hasan, dan dhaif. Para ulama mengkodifikasikan hadis-hadis dalam kitab-
kitab mereka dalam keadaan masih tercampur antara ketiga macam hadis
tersebut. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi
lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab hadis hasil karya
mereka disebut dengan istilah musnad.7
3. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah
Jika pada abad pertama, kedua dan ketiga, Hadis berturut-turut
mengalami masa periwayatan, penulisan (pendewanan) dan penyaringan
6
Ibid, 96
7
Ibid, 97
6
dari fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, dan hadis yang telah
didewankan oleh ulama Mutaqqadimin (ulama abad kesatu sampai ketiga)
tersebut mengalami sasaran baru, yakni dihafal dan diselidiki sanadnya
oleh ulama Muta-akhkhirin (ulama abad keempat dan seterusnya).8
Mereka berlomba-lomba untuk menghafal sebanyak-banyaknya hadis-
hadis yang telah terdewan itu, hingga tidak mustahil sebagian dari mereka
sanggup menghafal beratus-ratus ribu hadis. Sejak periode inilah timbul
bermacam-macam gelar keahlian dalam ilmu hadis, seperti gelar keahlian
Al-Hakim, Al-Hafidh, dan lain sebagainya.
Pada abad keempat merupakan abad pemisah antara ulama
Mutaqaddimin, yang dalam menyusun kitab hadis mereka berusaha sendiri
menemui para sahabat atau tabi’in penghafadh hadis dan kemudian
menelitinya sendiri, dengan ulama Muthakkhirin yang dalam usahanya
menyusun kitab-kitab hadis, mereka hanya menukil dari kitab-kitab yang
telah disusun oleh Mutaqaddimin.9
Hadis-hadis yang dikumpulkan oleh ulama hadis pada abad keempat
dan seterusnya kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab karya
ulama mutaqaddimun, sedikit sekali yang mengumpulkan hadis dari usaha
mencari sendiri kepada para penghafalnya. Dengan kata lain, kebanyakan
mereka meriwayatkan hadis dengan berpegang pada kitab-kitab yang
sudah ada. Periwayatan hadis langsung dari para periawayat sebagaimana
abad pertama sampai ketifa hijriah jarang dilakukan para ulama hadis,
disamping karena hampir semua hadis sudah ditulis dalam beberapa kitab
yang sudah ada juga tradisi periwayatan mulai berkurang.
Pada periode keempat, yakni hadis pada masa Intisyar riwayah il
alamshar (penyampaian hadis ke berbagai wilayah) semakin banyak
sahabat kecil dan tabiin yang menjadi pengajar agama Islam dan
penyambung lidah Rasulullah, sehingga para pencari hadis dan cerita-
cerita yang berkait dengan Rasulullah dicari dan dikumpulkan. Hanya saja
pengumpulannya baru sebatas dilakukan oleh para individu, dan belum
8
Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadis (Bandung: Alma’arif, 1974), 58
9
Ibid
7
ada kordinasi dengan pihak para khalifah Umayyah.
Pembukuan hadis pada periode ini lebih mengarah pada usaha
mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab hadis yang
sudah ada. Maka, setelah beberapa tahun dari kemunculan al-Kutub al-
Sittah, al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan al-Musnad Ahmad ibn
Hanbal, para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab-kitab
yang berbentuk jawami’, takhrij, athraf, syarah, dan mukhtashar, dan
menyusun hadis untuk topik-topik tertentu.
Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadis pada abad-abad ini
meliputi beberapa hal berikut:
a. Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah
kitab sebagaimana dilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal
dengan sebutan Ibn al- Furrat (w. 414 H) dan Muhammad ibn ‘Abd
Allah al-Jawzaqa dengan kitabnya al- Jami’ bayn al-Shahihayn.
b. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah
kitab, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd al-Haqq ibn ‘Abd al-Rahman
al-Syibli yang dikenal dengan ibn al-Khurrath dengan kitabnya al-
Jami’.
c. Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab ke dalam satu kitab,
sebagaimana dilakukan oleh al-Imam.
d. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab hadis,
sebagaimana dilakukan oleh Ibn Taymiyah dengan kitabnya Muntaqa
al-Akhbar yang kemudian disyarah oleh al-Syawkani dengan kitabnya
Nayl al-Awthar.
e. Menyusun pokok-pokok (pangkal-pangkal) hadis yang terdapat dalam
kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim sebagai petunjuk kepada
materi hadis secara keseluruhan, seperti Ibrahim al-Dimasyqi (w. 400
H) yang menyusun kitab Athraf al-Shahihayn, hadis-hadis yang
terdapat dalam kitab enam sebagaimana dilakukan oleh Muhammad
ibn Thahir al-Maqdisi (w. 507 H) dengan kitabnya Athraf al-kutub al-
Sittah, dan hadis-hadis dalam kitab sunan yang empat seperti
8
dilakukan Ibn ‘Asakir al-Dimasyqi (w. 571 H) dengan karyanya
Athraf al-Sunan al-Arba’ah yang diberi judul al-Isyraf ‘ala Ma’rifah
al-Athraf.
f. Men-takhrij dari kitab-kitab hadis tertentu, kemudian meriwayatkan
dengan sanad sendiri yang lain sanad yang sudah ada dalam kitab-
kitab tersebut, sebagaimana yang dilakukan oleh al-hafizh Abu
‘Awanah (w. 316) dengan kitabnya Mustakhraj Shahih Muslim dan
oleh al-Hafizh ibn Mardawayh (w. 416) dengan kitabnya Mustakhraj
Shahih al-Bukhari.10
4. Kodifikasi Hadis Abad Ketujuh Sampai Sekarang
Kodifikasi hadis yang dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan
cara menertibkan isi kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun
kitab-kitab takhrij, membuat kitab-kitab jami’ yang umum, kitab-kitab
yang mengumpulkan hadis- hadis hukum, men-takhrij hadis-hadis yang
terdapat dalam beberapa kitab, mentakhrij hadis-hadis yang terkenal di
masyarakat, menyusun kitab takhraf, mengumpulkan hadis-hadis disertai
dengan menerangkan derajatnya, mengumpulkan hadis-hadis dalam
Shahih al-bukhari dan Shahih Muslim, mentashhih sejumlah hadis yang
belum di-tashhih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadis-hadis
tertentu sesuai topik, dan mengumpulkan hadis dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya ketika
muncul kitab-kitab hadis yang model penyusunannya hampir sama seperti
penyusunan kitab-kitab jami’, kitab-kitab takhrij, athraf, kecuali penulisan
dan pembukuan hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab hadis
sebelumnya dalam sebuah kitab yang dikenal dengan istilah kitab
zawaid.11
10
Idri, Studi Hadis (Jakarta : Kencana, 2013), 101
11
ibid
9
kitab, 1920 bab dan 5253 hadis. Dalam kitab sunan-nya, dimulai dengan
pembahasan kitab taharah hingga sampai kitab tentang adab. Di antaranya
yaitu:12
- Taharah - Ilmu
- Salat - Asyribah
- Zakat - Aṭ„imah
- Luqaṭah - Ṭibbi
- Manāsik - „Itq
- Nikah - Ḥurūf wa al-Qirā‟at
- Talak - Ḥamām
- Ṣiyām - Libās
- Jihad - Tarajjul
- Ḍahāyā - Khatām
- Ṣaydu - Fitan wa al-malāḥim
- Waṣāyā - Mahdi
- Farāiḍ - Malāḥim
- Kharāj al-imārah al-fay - Ḥudūd
- Janāiz - Diyāt
- Īmān wa al-Nuzūr - Sunnah
- Buyū„ Ijārah - Adab
- Aqḍiyah
Susunan sistematika kitab Sunan Abī Dāwud di atas, adalah sebagai
berikut:
a. Penyusunan kitab dimulai dengan pembahasan bab ibadah; taharah,
salat, zakat dan dilanjutkan dengan bab muamalah; luqaṭah,
pembahasan bab tentang ibadah belum semua tersusun secara teratur,
tetapi sudah memulai pembahasan lainnya.
b. Setelahnya diikuti dengan dengan kitab manāsik yang juga termasuk
pembahasan bab ibadah, dan diikuti bab munakahat; nikah, talak,
12
Muhammad Abū Syuhbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Sihhah al-Sittah, (ttp:
Majma„ al-Bulus al-Islamiah, 1969), 110.
10
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ibadah kembali yaitu;
puasa, jihad, ḍaḥāyā, bab muamalah; ṣaydu, waṣāyā, kharāj al-
imārah al-fay.
c. Selanjutnya kembali pembahasan ibadah; janāiz, īmān al-nuzūr, bab
muamalah; buyū„, aqḍiyah, bab ilmu; asyribah, aṭ„imah, ṭibbi,
kemudian dilanjutkan bab muamlah; „itq, dan bab ilmu; ḥur al-
qira‟ah, adab; ḥamām, libās, muamalah; tarajjul, khātam, fitan,
mahdi, malāḥim, bab jinayat; hudūd, diyāt, bab ibadah; sunnah,
hingga sampai pembahasan bab adab.
2. Kitab Sunan al-Nasāī, terdiri dari 8 jilid, yang memuat 51 kitab, 2541 bab
dan 5748 hadis dengan pembahasan yang dimulai dengan kitab taharah
sampai asyribah. Sistematika kitabnya yaitu:
- Taharah - Talak
- Miyāh - Khayl
- Haiḍ wa al-istihāḍah - Ahbās
- Ghuslu wa al-tayamum - Waṣāyā
- Salat - Nahl
- Mawāqīt - Hibah
- Adzan - Ruqbā
- Masājid - „Umrā
- Qiblat - Al-īmān al-nuzūr wa al-
muzaraah
- Imāmah - „Isyaratu al-nisa
- Iftitāh - Tahrimuddam
- Taṭbīq - Qasmul fai
- Sahwi - Bai„at
- Jum‟at - „Aqiqah
- Taqsīr al-salat fī safar - Far„u wa al-atirah
- Kasūfi - Ṣayd wa al-ḍabāih
- Istisqā‟ - Ḍahāyā
- Salat al-khauf - Buyū„
11
- Salat „īdayn - Qasāmah
- Qiyāmu al-layl wa taṭawu„ al-nahāri - Qaṭ„u al-sāriqi
- Janāiz - Īmānu wa syarāi„ihi
- Ṣiyām - Zina
- Zakat - Adāb al-qaḍai
- Manāsik al-Hajj - Isti„ādhah
- Jihad - Asyribah
- Nikah
3. Ibnu Mājah dalam menyusun kitab sunan-nya berdasarkan masalah
hukum, kitabnya dimulai dari muqaddimah sampai bab zuhud, memuat
banyak hadis dengan berbagai kualitas hadis, kitab ini disusun
berdasarkan beberapa kitab dan bab, memasukan masalah-masalah
lainnya diantaranya tentang masalah zuhud, tafsir dan sebagainya. Kitab
sunan-nya terdiri dari 4 jilid, memuat 38 kitab,1514 bab dan 4570 hadis,
dengan pembahasan dari muqaddimah hingga zuhud. Berikut ini
susunannya:13
- Muqaddimah - „Itq
- Taharah - Hudūd
- Salat - Diyāt
- Adzan - Waṣāyā
- Masājid - Farāiḍ
- Iqāmah al-Salat - Jihad
- Janāiz - Manāsik
- Ṣiyām - Aḍāhī
- Zakat - Ḍabāih
- Nikah - Ṣaydu
- Talak - Aṭ„imah
- Kafarat - Asyribah
- Tijārat - Ṭibbi
- Ahkām - Libās
13
Zeid B.Smeer, Ulumul Hadis, 123.
12
- Hibāt - Adab
- Ṣadaqāt - Du‟ā
- Rahūn - Ta„bīr al-ru‟yā
- Syuf‟ah - Fitan
- Luqatah - Zuhud
Penyusunan kitab Sunan Ibnu Mājah berdasarkan sistematika yang
sesuai dengan bab-bab fikih, di antaranya meliputi:
a. Dimulai dengan pembahasan bab ibadah; taharah, salat,
adzan, masājid, iqāmah al-salat, janāiz, ṣiyām, zakat, dan
diikuti bab munakahat; nikah, talak, ibadah; kafarat.
b. Selanjutnya bab muamalah; tijarah, bab jinayat; aḥkām,
kemudian kembali pembahasan bab muamalah; hibat,
syuf„ah, luqaṭah, „itq dan bab jinayat; hudūd, diyāt,
muamalah; waṣāyā, farāiḍ.
c. Kemudian diteruskan ke persoalan ibadah; jihad, manāsik,
ḍabāih, ṣaydu, adab; at‟imah, asyribah, bab ilmu; ṭibbi, bab
adab; libās,
4. Al-Dārimī dalam kitab sunan-nya, memuat 24 kitab dan di dalamnya
terdapat 1302 bab dan 2849 hadis yang dimulai dengan muqaddimah
sampai faḍāil Qur‟an. Berikut ini susunan kitabnya:14
- Muqaddimah - Talak
- Al-salat wa al-taharah - Hudūd
- Salat - Al-nuzūr al-īmān
- Zakat - Diyāt
- Al-ṣiyām - Jihad
- Al-manāsik - Sīru
- Al-aḍāhī - Al-buyū„
- Al-Ṣaydu - Al-istīdhan
- Aṭ„imah - Riqāq
14
M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadis, 184 – 185.
13
- Asyribah - Farāiḍ
- Ru‟yā - Waṣāyā
- Nikah - Faḍāil Qur‟ān
Penyusunan kitab Sunan al-Dārimī, di antaranya adalah:
a. Penyusunan kitab dimulai dengan muqaddimah, pembahasan ibadah;
taharah, salat wa al-taharah, salat, zakat, ṣiyām, manāsik, aḍāhī, dan
diukuti bab muamalah; ṣaydu, bab adab; aṭ„imah, asyribah, bab ilmu;
ru„yā.
b. Selanjutnya diikuti bab munakahat; nikah, talak, bab jinayat; hudūd,
dan diikuti bab ibadah; al-nuzūr al-īmān, kembali pembahasan bab
jinayat; diyāt, kemudian bab ibadah; jihad, sīru.
c. Setelahnya dilanjutkan bab muamalah; buyū„,bab ibadah; istīdhan,
bab muamalah; riqāq,farāiḍ, waṣāyā, bab ilmu; faḍāil Qur‟an.
C. Profil Kitab Hadis Pokok, Metode Penyusunannya dan Profil
Penyusunan
Di antara sederet kitab hadis yang ditulis para ulama sejak abad ke-2 Hijriah,
para ulama lebih banyak merujuk pada enam kitab hadis utama atau Kutub As-
Sittah. Keenam kitab hadis yang banyak digunakan para ulama dan umat Islam
di dunia itu adalah:15
1. Sahih al-Bukhari
Kitab hadis ini disusun oleh Imam Bukhari. Sejatinya, nama lengkap
kitab itu adalah Al-Jami Al-Musnad As-Sahih Al-Muktasar min Umur
Rasulullah Sallallahu Alaihi Wassallam wa Sunanihi. Kitab hadis nomor
satu ini terbilang unggul, karena hadis-hadis yang termuat di dalamnya
bersambung sanadnya sampai kepada Rasulullah SAW.
‘’Sekalipun ada hadis yang sanadnya terputus atau tanpa sanad sekali,
namun hadis itu hanya berupa pengulangan,’’ tulis Ensiklopedi Islam.
Karena kualitas hadisnya yang teruji, Imam Az-Zahabi, mengatakan, kitab
hadis yang ditulis Imam Bukhari merupakan kitab yang tinggi nilainya dan
paling baik, setelah Alquran.
15
https://khazanah.republika.co.id/berita/m367qg/inilah-enam-kitab-hadis-utama
14
Dengan penuh ketekunan dan semangat yang sangat tinggi, Imam
Bukhari menghabiskan umurnya untuk menulis Shahih Al-Bukhari. Ia sangat
prihatin dengan banyaknya kitab hadis, pada zaman itu, yang
mencampuradukan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif – tanpa membedakan
hadis yang diterima sebagai hujah (maqbul) dan hadis yang ditolak sebagai
hujah (mardud).
Imam Bukhari makin giat mengumpulkan, menulis, dan membukukan
hadis, karena pada waktu itu hadis palsu beredar makin meluas. Selama 15
tahun, Imam Bukhari berkelana dari satu negeri ke negeri lain untuk
menemui para guru hadis dan meriwayatkannya dari mereka.
Dalam mencari kebenaran suatu hadis, Imam Bukhari akan menemui
periwayatnya di mana pun berada, sehingga ia betul-betul yakin akan
kebenarannya. Beliau pun sangat ketat dalam meriwayatkan sebuah hadis.
‘’Hadis yang diterimanya adalah hadis yang bersambung sanadnya sampai
ke Rasulullah SAW.’’
Tak hanya itu. Ia juga memastikan bahwa hadis itu diriwayatkan oleh
orang yang adil dan kuat ingatan serta hafalannya. Tak cukup hanya itu.
Imam Bukhari juga akan selalu memastikan bahwa antara murid dan guru
harus benar-benar bertemu. Contohnya, apabila rangkaian sanadnya terdiri
atas Rasulullah SAW – sahabat – tabiin –tabi at tabiin – A –B – Bukhari,
maka beliau akan menemui B secara langsung dan memastikan bahwa B
menerima hadis dan bertemu dengan A secara langsung.
Menurut Ibnu hajar Al-Asqalani, kitab hadis nomor wahid ini memuat
sebanyak 7.397 hadis, termasuk yang ditulis ulang. Imam Bukhari menghafal
sekitar 600 ribu hadis. Ia menghafal hadis itu dari 90 ribu perawi. Hadis itu
dibagi dalam bab-bab yang yang terdiri dari akidah, hukum, etika makan dan
minum, akhlak, perbuatan baik dan tercela, tarik, serta sejarah hidup Nabi
SAW.
2. Sahih Muslim
Menurut Imam Nawawi, kitab Sahih Muslim memuat 7.275 hadis,
termasuk yang ditulis ulang. Berbeda dengan Imam Bukahri, Imam Muslim
15
hanya menghafal sekitar 300 ribu hadis atau separuh dari yang dikuasai
Imam Bukhari. ‘’Jika tak ada pengulangan, maka jumlah hadis dalam kitab
itu mencapai 4.000,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Imam Muslim meyakni, semua hadis yang tercantum dalam kitab yang
disusunnya itu adalah sahih, baik dari sisi sanad maupun matan. Seperti
halnya Shahih Bukhari, kitab itu disusun dengan sistematika fikik dengan
topiknya yang sama.
Sang Imam, tergerak untuk mengumpulkan, menulis, dan membukukan
hadis karena pada zaman itu ada upaya dari kaum zindik (kafir), para ahli
kisah, dan sufi yang berupaya menipu umat dengan hadis yang mereka buat-
buat sendiri. Tak heran, jika saat itu umat islam sulit untuk menilai mana
hadis yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan bukan.
Soal syarat penetapan hadis sahih, ada perbedaan antara Imam Bukhari
dan Imam Muslim. Shahih Muslim tak menerapkan syarat terlalu berat.
Imam Muslim berpendapat antara murid (penerima hadis) dan guru (sumber
hadis) tak harus bertemu, cukup kedua-duanya hidup pada zaman yang sama.
3. Sunan Abi Dawud
Kitab ini memuat 5.274 hadis, termasuk yang diulang. Sebanyak 4.800
hadis yang tercantum dalam kitab itu adalah hadis hukum. ‘’Di antara imam
yang kitabnya masuk dalam Kutub as-Sittah, Abu Dawud merupakan imam
yang paling fakih,’’ papar Ensiklopedi Islam.
Karenanya, Sunan Abi Dawud dikenal sebagai kitah hadis hukum, para
ulama hadis dan fikih mengakui bahwa seorang mujtahid cukup merujuk
pada kitab hadis itu dan Alquran. Ternyata, Abu Dawud menerima hadis itu
dari dua imam hadis terdahulu yakni Imam Bukhari dan Muslim. Berbeda
dengan kedua kitab yang disusun kedua gurunya itu, Sunan Abi Dawud
mengandung hadis hasan dan dhaif.Kitab hadis tersebut juga banyak
disyarah oleh ahli hadis sesudahnya.
4. Sunan At-Tirmizi
Kitab ini juga dikenal dengan nama Jami’ At-Tirmizi. Karya Imam At-
Tirmizi ini mengandung 3.959 hadis, terdiri dari yang sahih, hasan, dan
16
dhaif. Bahkan, menurut Ibnu Qayyim al-Jaujiyah, di dalam kitab itu
tercantum sebanyak 30 hadis palsu. Namun, pendapat itu dibantah oleh ahli
hadis dari Mesir, Abu Syuhbah.
‘’Jika dalam kitab itu terdapat hadis palsu, pasti Imam At-Tirmizi pasti
akan menjelaskannya,’’ tutur Syuhbah. Menurut dia, At-Tirmizi selalu
memberi komentar terhadap kualitas hadis yang dicantumkannya.
5. Sunan An-Nasa’i
Kitab ini juga dikenal dengan nama Sunan Al-Mujtaba. An-Nasa’I
menyusun kitab itu setelah menyeleksi hadis-hadis yang tercantum dalam
kitab yang juga ditulisnya berjudul As-Sunan Al-Kubra yang masih
mencampurkan antara hadis sahih, hasan, dan dhaif. Sunan An-Nasa’I berisi
5.671 hadis, yang menurut Imam An-Nasa’I adalah hadis-hadis sahih.
Dalam kitab ini, hadis dhaif terbilang sedikit sekali. Sehingga, sebagian
ulama ada yang meyakini kitab itu lebih baik dari Sunan Abi Dawud dan
Sunan At-Tirmizi. Tak heran jika, para ulama menjadikan kitab ini rujukan
setalah Sahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.
6. Sunan Ibnu Majah
Kitab ini berisi 4.341 hadis. Sebanyak 3.002 hadis di antaranya terdapat
dalam Al-Kutan Al-Khasah dan 1.339 hadis lainnya adalah hadis yang
diriwaytkan Ibnu Majah. Awalnya, para ulama tak memasukan kitab hadis
ini kedalam jajaran Kutub As-Sittah, karena di dalamnya masih bercampur
antara hadis sahih, hasan dan dhaif. Ahli hadis pertama yang memasukan
kitab ini ke dalam jajaran enam hadis utama adalah Al-Hafiz Abu Al-fadal
Muhammad bin Tahir Al-Maqdisi (wafat 507 Hijiriah).
Metodologi penyusunan kitab al-Hadis al-Ushuli (Kitab Sumber) terdiri
atas tipe kitab hadis Muwaththa’/Musannaf, Musnad, Jami’, Sunan dan Ajza.
Metode penyusunan kitab al-Hadis al-Buhuthi (Kitab Kajian) terdiri atas
tipe kitab hadis Jawami, Mustadrak, Athraf, Syarh/Ta’liq, Mu’jam,
Mustakhraj, dan Zawa’id.16
16
Nuruddin, Ulumul Hadis (Cet. IV; Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 196.
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sejarah Kodifikasi hadis dengen pembabakan waktunya masinh- masing
memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada abad kedua, para ulama
dalam aktivitas kodifikasi hadis, tidak melakukan penyaringan dan
pemisahan, mereka tidak membukukan hadis-hadis saja, tetapi fatwa sahabat
dan tabi’in juga dimasukkan ke dalam kitab- kitab mereka. Pada abad ketiga
Hijriah merupakan masa penyaringan dan pemisahan antara sabda Rasulullah
dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Hadis-hadis yang dikumpulkan pada abad
keempat dan seterusnya kebanyakan dikutip atau dinukil dari kitab-kitab
karya ulama mutaqaddimun, sedikit sekali yang mengumpulkan hadis dari
usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya. Kodifikasi hadis yang
dilakukan pada abad ketujuh dilakukan dengan cara menertibkan isi kitab-
kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun dari kitab-kitab.
18
DAFTAR PUSTAKA
19